Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
INTEGRASI TERNAK SAPI BALI DENGAN PERKEBUNANAN KELAPA SAWIT: 2. ANALISIS FINANSIAL PEMBIBITAN SAPI POTONG MELALUI PENDEKATAN SECARA TERINTEGRASI (Bali Cattle and Oil Palm Plantation Integration: 2. Financial Analysis of Integrating Beef Cattle and Oil Palm Plantation) BAMBANG NGAJI UTOMO dan ERMIN WIDJAJA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian KaLimantan Tengah, Jl. G. Obos Km 5, Palangka Raya
ABSTRACT In Kalimantan, Bali cattle are rearred integratedly in oil-palm plantation. These cattle are grazed during daylight and housed at night. Forages given in the barn was obtained from the plantation areas. Solid heavy paste (palm oil by product) was also given as feed suplenment. Brachiaria decumbens and Brachiaria huminicola were planted in the grazing area for the cut and carry purposes. This study was aimed at studying the feed availability in supporting the breeding farm and the financial analysis of beef cattle breeding farm through integation system. The production of B. decumbens and B. huminicola was 18.464 kg/ha/year and 17.00 kg/ha/year, respectively with carrying capacity of 2.7 and 1.5 A.U. The area of oil palm plantation of 20.000 ha produced 3.600.000 ton/year of calopogonium as cover crop and other vegetation. These roughages decreased the input (forage) for animals by 54.4% (from Rp. 3,098/head/day to Rp. 1,145/head/day). Therefore integrating beef cattle and oil palm plantation could reduce the production cost. It need only Rp. 452,275 to produce one calf. Key Words: Bali Cattle, Breeding, Oil Palm, Integration, Forages, Financial Analysis ABSTRAK Sapi Bali yang dalam pengelolaaannya di Kalimantan Selatan diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit. Sapi dipelihara dengan sistim pemeliharaan semi intensif, dimana pada pagi hari sampai dengan siang hari dilepas di area grazing sedangkan sore hari dikandangkan kembali. Pakan yang diberikan adalah rumput unggul yang dibudidayakan baik rumput untuk grazing maupun rumput untuk cut and carry, cover crop dan vegetasi alam yang tumbuh di area kelapa sawit serta sebagai pakan tambahan adalah solid sawit. Solid sawit diperoleh dari pabrik kelapa sawit yang lokasinya tidak jauh ± 3,5 km dari lokasi peternakan. Dikatakan bahwa usaha pembibitan sapi tidak menguntungkan karena biaya pakan untuk menghasilkan anak sapi (pedet) lebih mahal dari harga pedet itu sendiri. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui produktivitas pakan sebagai pendukung kegiatan pembibitan dan analisa finansial usaha pembibitan sapi yang dipadukan dengan perkebunan kelapa sawit. Hasil monitoring produksi rumput unggul yang dibudidayakan di area grazing adalah untuk rumput Brachiaria decumbens dan Brachiaria huminicola masing-masing adalah 18.464 kg/ha/tahun dan 17.110 kg/ha/tahun dengan kapasitas tampungnya adalah 2,7 UT dan 1,5 UT. Jumlah rumput yang dikembangkan masih belum mencukupi pakan untuk 278 ekor sapi yang tersedia dan ini dicukupi dari HMT yang ada di area kelapa sawit dengan umur pohon 2 tahun yang luasnya sekitar 20.000 ha, berupa cover crop Calopogonium dan vegetasi alam lainnya, dimana dari hasil monitoring produksi rata-rata 3 kg/m2 atau sekitar 30.000 kg/ha. Dengan luas perkebunan kelapa sawit 20.000 ha maka mempunyai potensi biomasa Calopogonium 3.600.000 ton/tahun. Dari hasil kalkulasi biaya pakan rumput sebelum memanfaatkan HMT di area sawit sebesar Rp. 3.098/ekor/hari, sebaliknya setelah memanfaatkan HMT yang ada di area kelapa sawit ditekan menjadi Rp. 1.145/ekor/hari. Dengan demikian ada efisiensi harga rumput sebesar 54,4%, sedang efisiensi total biaya pakan yang dikeluarkan sebesar 54,36%. Berdasarkan harga pakan rumput Rp. 1.145/ekor/hari, biaya untuk menghasilkan seekor pedet di PT Sulung Ranch dengan jarak beranak 13 bulan (395 hari) adalah sebesar 395 x Rp. 1.145 = Rp. 452.275. Dengan demikian terbukti bahwa usaha pembibitan ternak sapi akan sangat efisien dan menguntungkan apabila diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit. Kata Kunci: Sapi Bali, Pembibitan, Kelapa Sawit, Integrasi, Hijauan Makanan Ternak, Analisa Finansial
309
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Kebijakan pembangunan peternakan di Propinsi Kalimantan Tengah dewasa ini lebih ditekankan pada upaya untuk menyongsong kecukupan daging 2010. Suksesnya pengembangan ternak salah satu faktor yang dominan adalah ketersediaan sumber pakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan sub sektor peternakan. Berdasarkan laporan dari Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah tahun 2004 ada 83 perusahan besar swasta kelapa sawit yang tersebar di 7 Kabupaten dengan target area 697.337 ha dan saat ini sudah tertanam 275.356 ha dan didukung dengan pabrik pengolahan yang jumlahnya sementara ada 16 buah. Jumlah pabrik akan makin bertambah seiring meningkatnya produksi. Usaha tanaman perkebunan kelapa sawit sangat dimungkinkan diusahakan secara terpadu dengan komoditas ternak (JALALUDIN, 1997) merupakan suatu pola produksi alternatif yang layak dikembangkan di Indonesia (GINTING, 1991; HORN et al., 1994). Kegiatan penelitian mengenai keterpaduan ternak dengan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Malaysia memberikan dampak yang positif (HORN et al., 1994). Dengan adanya ternak yang dikembangkan di lahan kelapa sawit merupakan usahatani yang sinergis dan bersifat mutualistis dimana limbah kelapa sawit terutama solid sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (UTOMO dan WIDJAJA, 2004), kotoran sapi dan limbah pabrik kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pupuk organik (UTOMO et al., 2006). Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi biaya produksi dalam usahatani perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah setiap tahunnya masih harus mendatangkan sapi sekitar 7.000 ekor (SAMARA, 2006 komunikasi pribadi), karena produksi lokal hanya mampu memenuhi sekitar 45 – 50% dari total kebutuhan, oleh karena itu pengembangan ternak sapi dengan pola pembibitan merupakan program yang mendesak untuk dilaksanakan. Bahkan Pemda kabupaten Kotawaringin Barat (tempat kegiatan dilaksanakan) mencanangkan secara kombinasi antara penggemukan sapi jantan dengan pengembangan sapi betina
310
(DINAS PERTANIAN dan PETERNAKAN KAB. KOBAR, 2005). Pola integrasi sapi dengan kelapa sawit menggugah pemda Kalimantan Tengah untuk mencoba menerapkan dan mengembangkan. Untuk tahun anggaran 2006 telah disebarkan sapi sebanyak 500 ekor dan 26 ekor diantaranya disebarkan di Kabupaten Kotawaringin Barat untuk model integrasi sapi-sawit. Demikian halnya di kabupaten Barito Utara, dimana sebanyak 50 ekor telah disebarkan di plasma salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit. Untuk mendukung kegiatan tersebut para petani plasma telah dilatih oleh peneliti dari BPTP Kalimantan Tengah bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Barito Utara. Tujuan kegiatan ini salah satunya adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pembibitan sapi potong melalui analisa finansial yang dikelola oleh pihak swasta melalui pendekatan secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. MATERI DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di sebuah peternakan swasta di Desa Sulung, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Propinsi Kalimantan Tengah. Peternakan tersebut menepati area seluas sekitar 350 ha di dalam area perkebunan kelapa sawit dan berdekatan dengan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit yang berjarak sekitar 3,5 km. Ada 2 kegiatan utama yang dilakukan oleh pihak perusahaan peternakan tersebut saat ini, yaitu (1) pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) unggul dan (2) pemeliharaan sapi potong pola pembibitan dengan program 1 induk 1 anak 1 tahun. Bahan yang digunakan dalam pengkajian ini sebagian besar disediakan oleh perusahaan. Bahan dan peralatan yang tersedia adalah ternak sapi Bali saat dilangsungkan kegiatan penelitian ini berjumlah 278 ekor, limbah kelapa sawit yang berupa solid sawit intuk pakan tambahan ternak, kandang sapi, kandang jepit, bahan untuk pengembangan hijauan makanan ternak, timbangan sapi dan peralatan kandang. Ada dua kegiatan yang akan dimonitoring, yaitu HMT unggul dan analisis finansial pembibitan sapi potong. Pengembangan HMT penting untuk dilakukan monitoring kaitannya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
dengan ketersediaan sumber hijauan pakan karena pakan memegang peranan sangat penting bagi keberhasilan usaha peternakan, dimana dilaporkan 60 – 70% biaya produksi adalah dari pakan.
pabrik kelapa sawit yang lokasinya terletak dekat dengan peternakan. Solid sawit diberikan dalam bentuk segar dan dicampur dengan mineral. Pakan HMT dan solid sawit diberikan pada pagi dan sore hari saat sapi-sapi berada di kandang.
Manajemen pemeliharaan sapi Jenis sapi yang dikembang biakkan adalah sapi Bali murni. Sapi dipelihara dengan sistem pemeliharaan semi intensif, dimana pada pagi hari setelah diberi pakan sampai dengan siang hari dilepas di area grazing sedangkan menjelang sore hari dikandangkan kembali. Pakan yang diberikan adalah rumput unggul yang dibudidayakan baik rumput untuk grazing maupun rumput untuk cut and carry, cover crop dan vegetasi alam yang tumbuh di area kelapa sawit serta sebagai pakan tambahan adalah solid sawit. Solid sawit diperoleh dari
Pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) unggul Jenis rumput yang dikembangkan adalah rumput Brachiaria decumbens (BD) dan Brachiaria huminicola (BH). Penanaman rumput direncanakan untuk tahap awal seluas 30 hektar dengan manajemen grazing dan dilakukan secara rotasi. Pengembangan rumput akan selalu dilakukan seiring dengan makin bertambahnya jumlah sapi yang dipelihara. Setiap hektar luasan rumput diberi pembatas berupa pagar kayu.
Gambar 1. Peta area pengembangan HMT dan bentuk wilayah peternakan Sulung Ranch
311
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Selain itu juga dikembangkan rumput untuk cut and carry (rumput Gajah dan Mexico). Pengembangan rumput untuk grazing mencapai 30 hektar dan untuk cut and carry seluas 9 ha dimana target awal adalah seluas 60 ha. Untuk tahun 2006 ada tambahan pengembangan rumput grazing seluas 3 ha. Rumput gajah dikembangkan pada lahan dengan kelerengan yang tajam (15 – 25o), sedangkan rumput grazing dikembangkan dengan kelerengan yang tidak terlalu tajam (< 15o) karena untuk padang gembalaan sapi. Peta area pengembangan HMT dan lokasi lahan peternakan disajikan pada Gambar 1. Parameter yang diamati adalah produksi rumput khusus untuk di area grazing saja (rumput BD dan rumput BH) selama 1 tahun dan kapasitas tampung ternak. Selain itu juga dilakukan pengukuran produksi HMT di area perkebunan kelapa sawit dengan umur tanaman kelapa sawit sekitar 2 tahun. Kapasitas tampung rumput diukur melalui penimbangan produksi rumput secara ubinan dan dilakukan selama periode tertentu selama 1 tahun baik pada area grazing rumput BH maupun rumput BD. Analisis finansial Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui efisiensi budidaya sapi potong pola pembibitan yang dipadukan dengan perkebunan kelapa sawit. Kalkulasi dilakukan dengan memperhatikan aspek biaya pakan (rumput dan solid sawit), tenaga kerja dan jarak beranak sapi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan hijauan makanan ternak unggul Hasil monitoring produksi rumput di area grazing, yaitu rumput BD dan rumput BH disajikan pada Tabel 1. Dengan rata-rata bobot badan sapi Bali di lokasi peternakan 188,5 kg, kebutuhan konsumsi rumput rata-rata 10% dari bobot badan yaitu 18,85 kg/ekor/hari, maka kebutuhan pakan ternak untuk 1 tahun adalah 18,85 kg/hari x 365 hari = 6.880,25 kg/ekor/ tahun. Produksi rumput grazing jenis
312
Brachiaria decumbens 18.464 ton/ha/tahun mempunyai kapasitas tampung ternak, yaitu: 18.464 kg/tahun: 6.880,25 kg/ekor/tahun = 2,7 ekor/tahun = 2,7 unit ternak. Sedangkan dengan kalkulasi yang sama diperoleh kapasitas tampung untuk rumput Brachiaria huminicola adalah: 17.110 kg/tahun: 6.880,25 kg/ekor/ tahun = 2,5 ekor/tahun = 2,5 unit ternak. Tabel 1. Produksi rumput BD dan BH selama 1 tahun monitoring
Bulan Januari (musim hujan) Maret Mei Juli September (musim hujan) November (musim hujan) Total
Rata-rata produksi (kg/ha/tahun) BD
BH
3033 2822 2555 2666 3444 3944
2889 2389 2444 2722 3222 3444
18.464
17.110
Jumlah rumput yang dikembangkan masih belum bisa mencukupi pakan untuk 278 ekor sapi yang tersedia, sehingga masih harus disuplai dari luar, yaitu dari HMT yang ada di area kelapa sawit dengan umur tanaman sekitar 2 tahun yang terdiri dari cover crop Calopogonium dan vegetasi alam (rumput liar). Luas area kelapa sawit sebagai penyedia HMT tersebut sekitar 20.000 ha. Kalkulasi biaya pakan perbibitan sapi potong yang dipadukan dengan kelapa sawit Pendekatan sapi pada perkebunan kelapa sawit, dimana pakan rumputnya sebagian diambilkan di sekitar area kebun kelapa sawit tersebut dapat menekan biaya pakan. Biaya rumput yang dianggarkan adalah upah tenaga kerja pencari rumput sebesar Rp. 22.500/ orang/hari. Sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan rumput dimana produksi di dalam peternakan sendiri masih belum mencukupi harus membeli rumput dari luar sebanyak Rp. 18.000.000/bulan. Sekarang hijauan makanan ternak diambil di dalam perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Sumber Mas Sarana yaitu hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit untuk membantu memenuhi seluruh kebutuhan pakan sapi yang ada di
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
lokasi peternakan. Saat ini total sapi induk betina 219 ekor, pejantan 6 ekor, dan pedet 53 ekor, sehingga total jumlah sapi adalah 278 ekor. Hijauan makanan ternak yang ada di antara pohon kelapa sawit dengan umur tanaman ±2 tahun adalah tanaman cover crop Calopogonium. Produksi tanaman tersebut berdasarkan penimbangan secara ubinan di 6 titik lokasi rata-rata 27 kg/3 m2 (30 ton/ha). Dari hasil kalkulasi biaya pakan antara sebelum memanfaatkan HMT di area sawit (diistilahkan non integrasi) dengan setelah memanfaatkan HMT di area sawit (diistilahkan integrasi) disajikan pada Tabel 2. Nampak bahwa biaya pakan rumput sebelum memanfaatkan HMT di area sawit sebesar Rp 3.098/ekor/hari, sebaliknya setelah memanfaatkan HMT yang ada di area kelapa sawit biaya pakan rumput ditekan menjadi Rp. 1.145/ekor/hari. Dengan demikian ada pengurangan harga rumput yang semula Rp. 3098/kg menjadi Rp. 1.145/kg, sehingga
ada efisiensi harga rumput sebesar: 20.910.000 – 9.541.888 : 20.910.000 x 100% = 54,4%. Efisiensi total biaya pakan yang dikeluarkan adalah Rp. 20.910.000 – Rp 9.541.888 = Rp. 11.368.200 atau sebesar 54,36%. Berdasarkan harga pakan rumput Rp. 1.145/ekor/hari, maka biaya untuk menghasilkan seekor pedet (anak sapi) di PT. Sulung Ranch dengan jarak beranak 13 bulan (395 hari) adalah sebesar 395 x Rp. 1.145 = Rp. 452.275. Dengan demikian terbukti bahwa usaha perbibitan ternak sapi khususnya akan sangat efisien dan menguntungkan apabila diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, biaya pakan tambahan yang berupa solid sawit tidak diperhitungkan karena solid sawit merupakan limbah yang dibuang oleh perusahaan dan tempat pembuangannya salah satunya adalah di lokasi ranch (sebagai pakan ternak), dimana jarak antara pabrik dan ranch kalau ditarik garis lurus (shortcut) hanya 3,5 km saja (Gambar 2).
Tabel 2. Kalkulasi biaya rumput pada peternakan sapi Bali di PT Sulung Ranch antara sebelum dan setelah menggunakan HMT yang tumbuh di area perkebunan kelapa sawit Uraian Jumlah sapi induk (ekor) Jumlah pedet (ekor) 1 HOK (Rp) 1 HOK (kg Calopogonium dan HMT lainnya) Harga HMT 22.500:250 (Rp/kg) Harga rumput kumpai (Rp/kg) Harga rumput unggul (Rp/kg) Pembelian rumput kumpai (Rp/bulan) Kebutuhan rumput kumpai (kg/hari) Pemberian rumput 2.000 kg:225 x 30 (kg/ekor/bulan) Kebutuhan rumput unggul 485 kg/hari: 225 x 30 (kg/ekor/bulan) Total kebutuhan rumput (kg/bulan) Biaya rumput unggul 485 kg x 30 hari x Rp 200 (Rp) Pemberian rumput untuk induk 15 x 225 x 30 (kg/ekor/bulan) Pemberian rumput untuk pedet 3 x 53 x 30 hari (kg/ekor/hari) Biaya rumput 106.020 x 90 (Rp) Total biaya rumput 18.000.000 + 2.910.000 (Rp/bulan) Biaya pakan rumput (Rp/ekor/hari)
Non integrasi
Integrasi
225 300 200 18.000.000 2.000 266,7 64,8 331,5 2.910.000 -
225 53 22.500 250 90 101.250 4.770 9.541.800 9.541.800 1145
20.910.000 3.098
313
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Gambar 2. Peta situasi lokasi peternakan PT Sulung Ranch dan pabrik kelapa sawit PT SSS
Ketersediaan sumber pakan ternak Introduksi HMT unggul Jumlah rumput yang diproduksi setiap panennya berfluktuasi namun ada kecenderungan produksinya menurun terutama pada musim kemarau dan mulai meningkat di saat ada hujan. Produksi rumput tersebut tergantung pula pada penanganan pasca panen terutama dalam hal pemberian pupuk. Beberapa penelitian yang dilakukan sebagaimana dilaporkan oleh SANTOSO dan TUHERKIH (2003) menunjukkan bahwa pemupukan secara nyata dapat meningkatkan produksi pakan ternak. Keberadaan rumput khususnya yang dikembangkan pada pola grazing mampu menghambat terjadinya erosi tanah, hal ini dapat terlihat dari pengukuran secara sederhana menggunakan kayu dimana terjadi penurunan tanah untuk yang ditanami rumput rata-rata 1,7 mm sedangkan pada lahan yang tidak ditanami rumput mencapai penurunan rata-rata 5,8 mm. Jenis rumput yang dikembangkan di area peternakan tersebut adalah termasuk diantara 9 jenis rumput unggul yang mempunyai daya adaptasi baik pada lahan kritis (TARMUDJI,
314
1998) dan sesuai untuk dikembangkan di kawasan perkebunan kelapa sawit yang umumnya memanfaatkan lahan kritis. Produksi kesembilan jenis rumput tersebut per hektar per tahun telah dilaporkan oleh Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Kalimantan Selatan (BPT-HMT KALIMANTAN SELATAN, 1996) sekarang Balai Pembibitan Ternak, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Diantara rumput-rumput tersebut ada 4 jenis rumput unggul yang tidak memerlukan perhatian khusus artinya mempunyai input rendah. Rumput tersebut adalah Brachiaria decumbens, Benggala, Paspalum plicatum dan Brachiaria brizantha (TARMUDJI, 1998). Untuk lahan kering menurut SANTOSO dan TURHEKIH (2003) sebagaimana pada lokasi kegiatan ini, sifat tanaman (hijauan makanan ternak) yang perlu dikembangkan haruslah toleran terhadap kekeringan, mampu memperbaiki kesuburan tanah dengan fiksasi nitrogen udara, mampu memanfaatkan P tanah yang rendah dan efisien penggunaan P, responsif terhadap pemupukan, serta resisten terhadap tekanan penggembalaan. Berdasarkan penelitian dengan pertimbangan tersebut, Stylosantes cocok untuk dikembangkan dan persisten di lahan kering. Keunggulan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 3. Produksi rata-rata bahan segar rumput (ton/ha/tahun) selama tahun 1993 – 1996 di Kalimantan Selatan Produksi
Jenis rumput
Rata-rata
1993/1994
1994/1995
1995/1996
Raja
200,95
206,88
160,20
189,34
B. decumbens
125,16
129,14
139,40
131,23
Mexico
124,79
102,28
84,40
103,82
Gajah
124,02
98,06
80,20
100,76
Atratium
-
95,32
105,90
100,61
Paspalum
79,59
89,85
131,80
100,40
Setaria
161,92
49,89
82,30
93,04
Benggala
124,02
64,33
88,70
92,35
-
74,54
70,70
73,15
B. brizantha
Sumber: BPTHMT KALIMANTAN SELATAN (1996)
persistensi tersebut menurut AMAR (2003) antara lain dimungkinkan kemampuan dalam menghasilkan tanaman baru (seedlings). Pakan memegang peranan penting pada keberhasilan program pembibitan. Pakan yang tidak mencukupi sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas sapi. Menurut TOELIHERE (1981) bahwa pada tingkat makanan yang rendah akan menurunkan jumlah spermatozoa per ejakulat (kualitas semen rendah), atrofi testes dan kehilangan libido. Dari hasil penelitian ELLA et al. (2003) menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan yang tinggi disebabkan karena ketersediaan pakan dari segi kuantitas maupun kualitas sehingga kondisi fisiologis dapat mendukung. Hal ini sesuai juga dengan pendapat TOLLENG (1997) dalam ELLA et al. (2003) bahwa perbaikan pakan sangat berpengaruh terhadap respon birahi dan tingkat kebuntingan. Pemberian pakan yang kurang berkualitas pada kurun waktu yang agak lama menurut ELLA et al. (2003) memungkinkan penurunan fertilisasi. PANE (1990) melaporkan bahwa sapi Bali dara yang mendapatkan pakan yang baik akan lebih cepat mencapai berat badan siap kawin ± 165 kg. Dengan demikian faktor pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya adalah faktor yang penting dalam peningkatan produktivitas ternak. Suplai pakan untuk sapi-sapi yang ada di lokasi kegiatan (PT SULUNG RANCH) relatif tidak masalah terutama dari segi kualitasnya, apalagi ketersedian legume yang melimpah
yang mempunyai kualitas relatif bagus sebagai pakan ternak, namun jumlah pemberiannya yang barangkali perlu dievaluasi lagi, terutama untuk periode sebelum dan setelah dikawinkan. HMT antar tanaman kelapa sawit Kapasitas tampung ternak pada areal grazing hanya mampu memenuhi 2,5 – 2,7 unit ternak/ha. Harapan bahwa areal grazing mampu untuk memenuhi kebutuhan 10-20 ekor sapi masih belum bisa tercapai. Hal ini disebabkan karena produkstivitas rumput grazing masih rendah. Rendahnya produktivitas karena lahan grazing merupakan lahan kritis yang tidak subur, terlebih merupakan lahan bukaan baru yang tanahnya dikupas bagian atasnya, akibatnya tanah menjadi tidak subur yang berakibat pada pertumbuhan rumput yang kurang subur meski sudah dilakukan pemupukan (organik dan an organik). Namun demikian karena ketersediaan HMT yang berupa cover crop Calopogonium dan vegetasi liar lainnya di area kebun kelapa sawit seluas 20.000 ha, ketersediaan hijauan makanan ternak menjadi tidak masalah. Hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit yang digunakan sebagai cover crop adalah Calopogonium yang biasa tumbuh subur sampai tanaman kelapa sawit berumur 5 tahun dan akan berkurang seiring dengan rendahnya intensitas sinar matahari yang masuk di bawah tajuk daun kelapa sawit.
315
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Produksi Calopogonium adalah 3 kg/m2 = 30.000 kg/ha. Pemanenan Callopogonium dilakukan 2 bulan sekali sehingga produksinya adalah 30 ton x 6 = 180 ton/ha/tahun. Dengan luas perkebunan kelapa sawit 20.000 ha, maka mempunyai potensi biomasa Callopogonium sebanyak 20.000 x 180 ton/ha/tahun = 3.600.000 ton/tahun.Bila kebutuhan pakan hijauan untuk ternak dengan bobot hidup 200 kg/ekor adalah 20 kg/ekor/hari, dalam 1 tahun 7.300 kg/ekor/tahun, maka biomasa tersebut mampu menampung 493.150 ekor (3.600.000 ton/tahun: 7.300 kg/ekor/tahun), atau setiap hektar kebun kelapa sawit mampu menampung 180.000 kg/ha/tahun: 7.300 kg/ekor/tahun = 24 ekor sapi dengan bobot hidup rata-rata 200 kg/ekor. Ketersediaan pakan ternak dari limbah pabrik kelapa sawit (PKS) Salah satu hasil samping dari pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar (CPO) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah solid sawit. Produksi solid sawit sementara saat ini rata-rata 5 ton/hari sesuai dengan hasil panen dari tandan buah segar yang saat ini dihasilkan. Kapasitas mesin pengolah CPO adalah 45 ton TBS/jam, maka berpotensi menghasilkan solid sekitar 20 ton/hari. Solid yang dihasilkan saat ini 5 ton/hari dapat digunakan untuk pakan sapi sebanyak 1,5% bobot badan dan dapat mencukupi kebutuhan pakan sapi sebanyak 416 ekor dengan bobot hidup 200 kg/ekor. Jika sudah berproduksi normal maka solid yang dihasilkan adalah 20 ton/hari akan mampu mencukupi kebutuhan pakan bagi 1664 ekor sapi. Jumlah ini sesuai dengan keinginan investor yang akan mengembangkan sapi sebanyak 1000 ekor. Selain mengolah CPO, direncanakan 3-4 tahun ke depan pabrik milik investor ini juga akan mengolah minyak inti sawit (PKO). Apabila pengolahan PKO sudah terealisir maka akan menghasilkan produk samping yaitu bungkil inti sawit (BIS) yang sangat baik untuk pakan sapi karena kandungan nutrisinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan solid sawit. Produk BIS adalah 2,2% dari PKO yang dihasilkan. Dengan demikian jumlah ternak yang dapat dicukupi kebutuhan pakannya akan semakin bertambah banyak.
316
Kalkulasi biaya pakan pada perbibitan sapi potong yang dipadukan dengan kelapa sawit Kegiatan pembibitan sapi potong nampaknya kurang diminati oleh para investor, hal ini disebabkan karena padat dengan modal dan menurut DIWYANTO (2005) dengan pola pemeliharaan yang selama ini dilakukan tidak menguntungkan. Dengan biaya pakan mencapai Rp. 4000/hari/ekor dan rata-rata jarak beranak sekitar 600 hari, maka untuk menghasilkan 1 ekor pedet dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp. 2.400.000, sementara harga pedet per ekor hanya sekitar Rp. 1.500.000. Dengan demikian biaya pakan untuk menghasilkan 1 ekor pedet lebih mahal daripada harga pedet itu sendiri. Oleh karena itu, agar usaha pembibitan sapi potong tersebut memberikan keuntungan, maka harus dilakukan melalui pendekatan secara terintegrasi, hal ini ada kaitannya dengan upaya menekan biaya pakan yang mencapai 60 – 70% dari total biaya produksi melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya lokal berupa vegetasi atau limbah pertanian sebagai sumber pakan. Hal tersebut di atas telah dibuktikan di peternakan PT Sulung Ranch, yaitu dengan pendekatan secara terintegrasi biaya pakan bisa ditekan hingga 54,36%. Pakan selain berasal dari rumput yang dikembangkan dengan pola gembala (grazing), juga berasal dari hijauan makanan ternak yang ada diantara tanaman kelapa sawit umur ± 2 tahun. Sedangkan sebagai pakan tambahan (konsentrat) adalah solid sawit yang diperoleh dari PKS yang lokasinya tidak begitu jauh sekitar 3 km dari peternakan. Dari hasil kalkulasi, biaya rumput untuk pakan 278 ekor sapi yang terdiri dari upah tenaga kerja untuk mencari HMT di area kelapa sawit sebesar Rp. 22.500/orang/hari, biaya rumput dari area grazing dan rumput cut and carry, diperoleh harga pakan untuk per ekornya hanya Rp. 1.145/hari. Apabila jarak beranak disamakan sebagaimana umumnya pemeliharaan pola petani (tradisional) yaitu 600 hari maka untuk menghasilkan 1 ekor pedet (anak sapi) membutuhkan biaya pakan sebesar Rp. 687.000 dan ternyata memberikan keuntungan yang signifikan. Keuntungan lebih bisa ditingkatkan lagi manakala jarak beranak sebagaimana yang dikerjakan di PT.Sulung Ranch lebih pendek lagi yaitu hanya 13 bulan (395 hari), maka keuntungan yang diperoleh
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
akan lebih besar lagi yaitu untuk mendapatkan 1 ekor pedet hanya mengeluarkan biaya Rp. 452.275 karena biaya pakan bisa ditekan. Sehingga keuntungan untuk mendapatkan seekor pedet adalah Rp. 1.500.000 – Rp. 452.275 = Rp. 1.047.725/ekor. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kunci keberhasilan pembibitan sapi potong yang dilakukan di PT Sulung Ranch adalah ketersediaan sumber pakan ternak yang berupa HMT baik yang dibudidayakan maupun yang diperoleh dari area kebun kelapa sawit dan pakan tambahan dari hasil samping pabrik kelapa sawit secara cukup bahkan untuk sementara cenderung berlebih. 2. Pembibitan sapi yang dipadukan dengan perkebunan kelapa sawit mampu mengurangi biaya pakan hingga menjadi Rp.1.145,-/ekor/hari dan terjadi efisiensi harga rumput sebesar 54,4% dan efisiensi total biaya pakan yang dikeluarkan adalah 54,36%. 3. Biaya untuk menghasilkan pedet (anak sapi) hanya sebesar Rp.452.275,-/ekor dengan jarak beranak 13 bulan. 4. Pembibitan sapi potong yang dilakukan dengan pendekatan secara terintegrasi dengan kelapa sawit menguntungkan dilihat dari biaya pakan dan harga pedet. 5. Pengembangan rumput unggul pada area grazing disarankan untuk dikombinasi dengan legum stylosantes (tumpang sari). 6. Pola ini perlu dikembangkan oleh swasta lainnya karena pembibitan menjadi menguntungkan manakala diintegrasikan dengan tanaman (perkebunan kelapa sawit). 7. Pola ini dapat menjadi contoh pelestarian plasma nutfah sapi Bali dan sekaligus sebagai salah satu sumber penghasil sapi Bali murni selain dari pulau Bali, NTB dan Sulsel. 8. Pola ini juga dapat mengurangi potensi konflik horizontal antara pihak perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya, karena masyarakat di sekitarnya ikut diberdayakan melalui usaha pemeliharaan sapi.
DAFTAR PUSTAKA BPT-HMT KALIMANTAN SELATAN. 1996. Laporan Pelaksanaan Pencatatan Produksi berbagai Jenis HMT. Pelaihari. DINAS PERTANIAN dan PETERNAKAN KAB. KOBAR. 2005. Evaluasi Program dan Kegiatan, Tahun Anggaran 2005. Pangkalan Bun. ELLA, A., D. PASAMBE, M. SARIUBANG dan A.B. LOMPONGENG ISHAK. 2003. Upaya perbaikan reproductivitas sapi potong melalui penerapan penggunaan hormon sinkronisasi birahi (oestradiol benzoat + CIDR). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 69 – 72. GINTING, S.P. 1991. Keterpaduan ternak ruminansia dengan perkebunan: 2. Pola pemeliharaan dan produksi ternak. J. Litbang Pertanian. X(1): 9 – 12. HORNE, P.M., ISMAIL and CHONG DAI THAI. 1994. Agroforestry palntation system: Sustainable forage and animal production in rubber and oil palm plantation. Proc. of An International Symposium Held In Association With 7th AAAP Animal Science Congress, Bali, Indonesia. 11 – 16 July 1994. JALALUDIN, S. 1997. Integrated animal production in the oil palm plantation. Second FAO Electronic Conference on Tropical Feeds. Livestock Feed Resources within Integrated Farming Systems (9 September 1996 – 28 Februari 1997). Proc. (Acrobat version). PANE, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. 2 – 3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. SANTOSO, D. dan E. TUHERKIH. 2003. Meningkatkan pengelolaan lahan untuk memacu pengembangan ternak ruminansia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 258 – 265. TARMUDJI. 1998. Strategi pengembangan peternakan sapi potong di Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 234 – 247. TOELIHERE, M.R. 1981. Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
317
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
UTOMO, B.N. dan E. WIDJAJA. 2004. Limbah padat pengolahan minyak sawit sebagai sumber nutrisi ternak ruminansia. J. Litbang Pertanian. 23(1): 22 – 28.
318
UTOMO, B.N., E. WIDJAJA, A. BERMANA, HIJRAHTUNISIA dan NURMILI. 2006. Laporan Akhir Integrasi Ternak sapi Program Breeding dan Penggemukan Pada Perkebunana Kelapa Sawit di Lahan Marginal Kalimantan Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. Palangka Raya.