PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI SAPI POTONG DENGAN KELAPA SAWIT ABSTRAK Perkembangan sapi potong cenderung lambat bahkan mengalami penurunan yang mempunyai kaitan dengan penyusutan lahan yang beralih fungsi. Agar upaya perbaikan produktivitas yang diprogramkan dapat berjalan dengan baik maka ternak sapi membutuhkan kondisi yang stabil dalam arti tatalaksana yang semakin memadai dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun. Pengkajian ini telah dilaksanakan Sejak bulan April sampai dengan bulan Desember 2006 pada kelompok tani Lelejae, Desa Lelejae, Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara dengan menggunakan metode survey pemahaman pedesaan secara partisipatif (rapil rural appraisal) maupun wawancara langsung dengan petani responden dengan mengisi daftar yang telah disiapkan. Berdasarkan karakteristik responden rata-rata tingkat pendidikan cukup memadai dan potensial menerima informasi dan komunikasi, sedangkan rata-rata umur cukup produktif demikian juga pengalaman beternak dari daerah asalnya. Potensi pengembangan perkebunan yang paling dominana adalah kelapa sawit dengan rata-rata produksi 994.4000 ton dengan luas areal pertanaman 9.899 ha (perkebunan rakyat) dan perkebunan besar 38.039 ha. Terjadi peningkatan populasi ternak selama 2 tahun terakhir sebesar 3,0% atau rata-rata 1,5% pertahun, dimana populasi pada 9.629 ekor (tahun2002) menjadi 9.912 ekor ( tahun 2004). Berdasarkan analisa ekonomi rata-rata pendapatan responden RP. 1.884.993/bulan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pola pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, merupakan factor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak sapi di Indonesia. Dengan pola integrasi atau diversivikasi tanaman, dan ternak (khususnya ternak sapi) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan kelapa sawit, yang akhirnya dapat memberikan dampak yang sangat besar artinya. Sebagai konsekwensi upaya tersebut diyakini upaya pendapatan permanen perkebunan kelapa sawit melalui integrasi pemanfaatan produk samping tanaman dan pabrik pengelolahan kelapa sawit dapat meningkatkan. Dengan penerapan dan adopsi teknologi SISKA maka pengelolahan limbah secara mekanis, kimia maupun biologis berpotensi untuk menghasilkan pakan selain itu hasil samping dari perkebunban kelapa sawit berupa rumput liar seperti tanaman legumonosa penutup tanah sebagai sumber pakan dalam pengembangan ternak ruminansia (khususnya sapi). Bila potensi ini digarap dengan serius memungkinkan Indonesia menjadi yang sangat kompotitif dalam menghasilkan daging, sehingga mengurangi ketergantungan pada produk imfor. Pola pemeliharaan ternak sapi secara terpadu dengan perkebunan kelapa sawit untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam berupa vegetasi dan lahan tersedia di sub sector perkebunan kelapa sawit adapun sasaran keikutsertaan komponen ternak didalam proses budi daya tanaman – perkebunan 1) Meningkatkan pendapatan melalui proses konversi vegetasi atau gulma menjadi produk daging dan melalui penekanan biaya penyiangan dengan memanfaatkan ternak sebagai “ penyiangan biologis “, 2) Meningkatkan produk daging baik konsumsi dalam negeri tujuan ekspor.
Kata kunci : kelapa sawit, integrasi, sapi potong
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
PENDAHULUAN 1.
Latar belakang
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa Negara utama dari sector non migas. Beberapa komoditas perkebunan yang menunkukkan peningkatan ekspor yang cukup tajam adalah kakao dan mente, sedangkan komoditas yang dinilai masih memberikan sumbangan yang cukup tinggi bagi devisa diantaranya adala karet, kopi, dan minyak kelapa sawit (suyana et al .,1998). Prospek kelapa sawit cukup menjanjikan seperti dilaporkan Oil Word ( Lembaga Penyedia Jasa Informasi dan Perkiraan Produksi Minyak Nabati), yang memproyeksikan priduksi minbyak sawit Indonesia akan menyalip Malaysia –pada tahun 2010 ( Kompas, 21 Mei 2003). Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas lainnya, dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 12,6% (Liwang, 2003). Untuk seluruh indonesi pada tahun 2002 menjadi 4.116.000 ha (Ditjen perkebunan, 2002). Ternak sapi yang semula merupakan pemasok daging nasional tertinggi (53%) berangsur – angsur turun sumbangannya menjadi 24% pada akhir PJP I. Pada hal permintaan daging sapi cenderung meningkatkan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, prubahan gaya hidup, kesadaran gizi dan perbaikan tingkat pendidikan (Delego et al,1999). Kondisi ini dikhwatirkan meningkaynya ketergantungan pada daging impor sampai 70% dalam waktu mendatang seperti ramalan peneliti Australia dalam laporan ACIAR 2003 (quirke et al ., 2003). Berdasarkan laporan ACIAR tahun 2002 (Hadiet et al ., 2002), impor daging beku maupun jerohan dari Australia mendekati 1 : 1 : 1. Seiring dengan hal tersebut, data terakhir menunjukkan impor sapi bakalan atau siap dipotong pada tahun 2002 telah mencapai lebih dari 420.000 ekor (Puslitbangnak, 2003). Laju pertumbuhan populasi sapi cenderung lambat dan mempunyai kaitan dengan penyusutan lahan yang beralih fungsi. Agar perbaikan produktivitas yang diprogramkan dapat berjalan dengan baik maka ternak sapi membutuhkan kondisi yang stabil dalam arti tatalaksana yang semakin memadai dan ketersediaan serta pemberian pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian pakn yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak merupakan factor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak sapi di Indonesia. Dengan pola inte4grasi atau diversifikasi tanaman, dan ternak (khususnya ternak sapi) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan kelapa sawit, yang akhirnya dapat memberikan dampak yang sangat besar artinya. Sebagai konsekuensi dari upaya tersebut diyakini pendapatan permanen di perkebunan kelapa sawit melalui integrasi pemanfaatan produk samping tanaman dan pabrik pengolahan kelapa sawit dapat meningkat. Dalam mengoptimalkan usaha tani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian (khusus kelapa sawit) sangat potensial sebagai pakan sapi potong. Mangut Iman S. (2003) mengatakan bahwa hasil penelitian di lapangan menunjukkan produk-produk industry peternakan dan bisnis di sector peternakan telah menyumbangkan angka pertumbuhan ekonomi yang sangat mencolok, melihat peluang strategi ini. Maka pemerintah daerah perlu mengambil
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
kebijakan dan member kesempatan yang kepada usaha kecil menengah dan kelompok peternak menjadi industry biologis dimana bahan pakan yang tidak berguna yang dimiliki petani dapat diberikan kepada sapi untuk menjadi daging dan dapat berubah menjadi kotoran sapi yang dapat diolah menjadi pupuk organic yang berkualitas. Dimasa yang akan dating diharapkan mampu menjadi motor penggerak pembangunan nasional, han hal ini akan terjadi bila agroindustri dikembangkan berdasarkan sumberdaya lokal yang tersedia melalui penerapan teknologi yang tepat guna. Disamping itu pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga operlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannya tidak bersaing dengan tanaman perkebunan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman perkebunan dengan ternak.hal sangat penting mengingat tanaman hasil pertanian dan industry juga mengalami fluktuasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminasia 60 - 70 % dari hijauan (Nitis et al ., 1992). Pola pemeliharaan ternak spapi secara terpadu dengan perkebunan kelapa sawit untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam berupa vegetasi dan lahan tersedia untuk sub sekotr perkebunan kelapa sawit. Adapun sasaran keikutsertaan komponen ternak didalam proses budidaya tanaman – perkebunan 1). Meningkat pendapatan melalui proses konversi vegetasi dan gulma menjadi produk daging dan melalui penekanan biaya penyiangan dengan memanfaatkan ternak sebagai “penyiang biologis”2). Meningkatkan produksi daging baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. 2. Dasar pertimbangan Problem utama dalam meningkatkan priduksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, sebagai yang dikatakan Chen et al.(1990). Peranan pakan dalam usaha ternak sapi potong sangat penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan produksi ternak. Jenis pakan ternak yang terpenting adalah hijauan karena merupakan pakan utama ternak ruminansia, 70% dari makanan ternak ruminansia adalah hijauan (Nitis et al,1992). Peranan perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sumber hijauan yang yang dapat digunakan sebagai lahan pengembangan ternak sangatlah mendukung, ditunjang oleh peranan vegetasi lahan sebagai penutup tanah dan pakan ternak. Sebagai tanaman perkebunan lain yang bercirikan tanaman keras, hasil samping yang dihasilkan merupakan limbah dengan nilai nutrisi rendah dan kandungan lignin yang cukup tinggi. Diperlukan pengolahan pakan hijauan dalam upaya memaksimalkan kandungan nutrisi dan manfaat limbah perkebunan sebagai pakan pengganti/subtitusi pada musim kemarau. Dengan pola integrasi atau diversifikasi tanaman, dan ternak (khususnya ternak sapi) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan kelapa sawit, yang akhirnya dapat memberikan dampak yang sangat besar artinya. Sebagai kensekuensi upaya tersebut diyakini pendapatan permanen di perkebunan kelapa sawit, melalui integrasi pemanfaatan produk samping tanaman dan pabrik pengolahan kelapa sawit dapat meningkat.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Dengan penerapan dan adopsi teknologi SISKA makapengolahan limbah sawit secara mekanis, kimia maupun biologis berpotensi untuk menghasilkan pakan dalam pengembangan ternak khususnya sapi. Bila potensi ini digarap dengan serius memungkinkan Indonesia menjadi Negara yang sangat kompetitif dalam menghasilkan daging, sehingga mengurangi ketergantungan pada produk impor. Dengan demikian paradigma baru pengembangan peternakan dapat diwujudkan dimana import daging semakin dikurangi dan promosi ekspor semakin ditingkatkan, sehingga pada saatnya nanti Indonesia akan tampil menjadi pengekspor sapi potong di kawasan Asia. METODOLOGI Pengkajian initelah dilaksanakan menggunakan metode survey pemahaman desa secara partisipatif (rapid rural apprasial ) di Desa Lelejae, Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara mulai bulan April sampai Desember 2006. Wawancara dengan responden bertujuan untuk menggali permasalahan desa, khususnya yang berkaitan dengan ternak sapi yang terintegrasi dengan kelapa sawit. Sehubungan dengan penyebaran ternak oleh dinas terkait melalui system gaduhan, penggaduh adalah petani/kelompok peternak yang menerime atau memelihara ternak sebagai informasi kunci adalah pemasok ternak. Dengan adanya pengadaan ternak dari Dinas terkait maka BPTP melaksanakan introduksi teknologi berupa perkandangan secara kolektif, pelatihan pengolahan limbah kelapa sawit dan pengolahan pupuk kandang sebagai kompos.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Perkandangan secara kolektif Kandang merupakan sarana yang sangat penting untuk memelihara ternak yang baik, kandang berfungsi sebagai tempat istirahat, mengindari dari lingkungan yang merugikan. Dengan adanya kandang maka ternak lebih terawasi serta kesehatannya lebih terjamin, dapat hidup sehat. Sehingga mendukung perkembangan dan produktivitas ternak. Untuk keperluan tersebut harus diciptakan suatu lingkungan atau kandang yang optimal yaitu dengan suatu kontruksi yang memadai sehingga lingkungan kandang dapat diatur dan disesuaikan menurut tempat serta jenis ternak yang dipelihara. Dan hal ini jga sangat berpengaruh pada rendahnya produksi dan produktivitas ternak (Huitema, 1986). Untuk mengindari hal tersebut maka teknologi perkandangan secara kolektif sangat cocok diterapkan dilokasi sehingga masing-masing pemilik ternak mendapat giliran untuk menjaga yang jadwalnya telah diatur sehingga semuanya mendapat giliran yang sama. Adapun syarat kandang kolektif sebagai berikut: - Kandang sapi dibuat dengan system kelompok - Kapasitas kandang 12-15 ekor - Ukuran kandang 6 x 8 m - Tempat pakan dan minuman pada sisi luar - Lantai terbuat dari beton - Serbuk gergaji sebagai alas kandang diberi setebal 15-20 cm diganti setiap 3-4 minggu Manfaat kandang kolektif tidak hanya dirasakan oleh petani peternak yangmenjadi anggota kelompok tetapi juga oleh masyarakat antara lain : 1. Dapat mengatasi kerawanan pencurian ternak. Hal ini dapat dirasakan oleh para petani peternak yang menjadi anggota kelompok belum pernah terjadi pencurian sejak diterapkan kandang kelompok. 2. Pelayanan kesehatan lebih mudah, dan tepat waktu. 3. Kebersihan linkungan kampong lebih terjamin. 4. Mempeemudah dalam memberikan pembinaan dan penyaluhan. 5. Ternak milik anggto kelompok tidak ada lagi kurus karena bersaing dalam penampilan ternaknya dan merasa malu kalau ternaknya kurus, mereka termotivasi untuk mencarikan ternaknya pakan yang lebih baik. 6. Kotoran ternak mudah dikumpulkan untuk dibuat menjadi kompos sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. 7. Produktivitas tanaman pangan dapat meningkatkan dan terjadinya efisiensi penggunaan pupuk anorganik, karena petani dapat mengurangi dosis pupuk anorganik berdasarkan rekomendasi setempat. 8. Kelompok dapat menjual kompos, sehingga pendapatan dapat meningkat. 1. Proses Fermentasi Jerami Proses fermentasi terbuka dilakukan pada tempat yang terlindungi dari sinar matahari langsung. Proses pengelohan limbah kelapa sawit dibagi dua tahap yaitu : tahap fermentasi dan tahap pengeringan dan penyimpanan. Tahap pertama limbah kepala sawit dengan kandungan air sekitar 65% dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan. Bahan yang digunakan dalam proses fermentasi limbah
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
kelapa sawit adalah urea dan probiotik. Limbah kelapa sawit segar yang difermentasi ditumpuk hingga ketebalan 20 cm, kemudian ditaburi dengan urea dan probiotik dan diteruskan pada lapisan timbunan limbah kelapa sawit berikutnya yang juga setebal sekitar 20 cm demikian seterusnya hingga ketebalan tumpukan limbah kelapa sawit mencapai 1 sampai 2 meter. Takaran urea dan probiotik pada limbah kelapa sawit dilakukan secara merata, kemudian didiamkan selama 21 hari agar proses fermentasi dapat langsung dengan sempurna. Pada tahap kedua tumpukan limbah kelapa sawit yang telah mengalami proses fermentasi dikeringkan denga sinar matahari dan dianginkan sehingga cukup kering sebelum disimpan pada tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung atau langsung diberikan ternak sapi. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kabupaten Mamuju Utara Kabupaten Mamuju Utara di bagian utara Propinsi Sulawesi Selatan atau pada bagian dari pulau Sulawesi yang terletak pada posisi : 0° 52‟ 110‟‟-1° 38‟ 110‟‟ Lintang Selatan 11° 54‟ 47‟‟-13° 5‟ 35‟‟ Bujur Timur dari Jakarta (0° 0‟ 0‟‟ Jakarta= 160° 48‟ 28‟‟ Bujur Timur Green Wich) Dengan batas wilayah :
Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat
: Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah : Kabupaten Luwu Utara : Kabupaten Mamuju : Selat Makassar
Kabupaten Mamuju Utara dengan luas wilayah 304.375 Ha, pada tahun 2004 secara adminitrasi Pemerintahan terbagi atas 4 Kecamatan dan terdiri dari 33 Desa. Penduduk Kabupaten Mamuju Utara tahun 2004 berjumlah 94.330 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 50.081 jiwa dan perempuan sebanyak 44.429 jiwa. Kecamatan Sarudu merupakan kecamatan terluas dengan luas 1007.407 Ha atau 35.29 persen dan seluruh luas wilayah kabupaten Mamuju Utara, dan terkecil adalah kecamatan Bambalamotu dengan luas 43.881 ha (14,42%), seperti terlihat pada Tabel 1.
Table 1. luas Daerah Kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara Kecamatan (1) Sarudu Baras Pasangkayu Bambalamotu Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Mamuju, 2005 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Luas (Ha) (2) 107.407 88.153 64.934 43.881 304.375
Persentase (%) (3) 35,29 28,96 21,33 14,43 100,00
Penduduk selain sebagai subyek juga sekaligus obyek dari semua kegiata pembangunan. Oleh karenanya aspek kependudukan harus selalu menjadi pertimbangan utama dalam setiap perencanaan pembangunan yang mutahir baik informasi mengenai kuantitas, komposisi, sebaran maupun perkembangannya. Jumlah penduduk Kabupaten Mamuju Utara tahun 2004 adalah sebesar 94.330 jiwa yang terdiri dari 50.081 jiwa, penduduk laki-laki dan 44.249 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan keadaan athun sebelumnya, jumlah tersebut mengalami pertumbuhan 3,05%, dengan ratio jenis kelamin (sex ratio) penduduk daerah ini yakni sebesar 113,2. Angka ini menunjukkan bahwa untuk setiap 100 penduduk perempuan, terdapat sekitar 113 hingga 114 penduduk laki-laki, jumlah rumah tangga 19.901. mempunyai anggota rata-rata antara 4 hingga 5 orang. Kabupaten Mamuju Utara dengan luas wilayah 3.043,75 km2 terbagi atas 4 wilayah kecamatan dan 33 desa dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 31 jiwa/km2. Sebaran penduduk baik pada wilayah kecamaran maupun desa/kelurahan/UPT cukup merat, denga tingkat kepadatan penduduk 19,1 hingga 55,1 jiwa/km2, keadaan ini menggambarkan bahwa distribusi penduduk di daerah ini secara umum cukup baik. Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Bambalamotu yakni sekitar 54,7 jiwa/km2 dan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling kecil yaitu Kecamatan Sarudu yakni 19,1 jiwa/km2. Kabupaten Mamuju Utara yang membentang di sepanjang Barat Laut wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana halnya dengan daerah kabupaten lainnya sangat potensial untuk berbagai jenis komodotas pertanian. Tidak heran kalau sebagian besar penduduknyan menggantungkan kehidupannya dari usaha pertanian. Menurut hasil Susenes tahun 2004, tercatat sebanyak 37.550 jiwa atau sekitar 86,78 persen penduduk Kabupaten Mamuju Utara bekerja disektor pertanian, sedangkan mata pencarian lain persentasenya kurang dari 10 persen. Berdasarkan agama/keyakinan dari 94.330 jiwa penduduk Kabupaten Mamuju Tahun 2004 sekitar 84.04 persen yang memeluk agama islam, pemeluk agama Kristen sekitar 7,52 persen, katolik sekitar 1,47 persen, dan lainnya sekitar 6,97 persen.
Sedangkan lokasi kegiatan di Desa Lelejae dengan batas wilayah :
Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat
: Desa Lariang : Desa Kasta Buana : Desa Lelemuri : Kampung Godang
Karakteristik Responden Rata-rata tingkat responden dianggap cukup memadai dan potensial menerima infoprmasi atau berkomumikasi, akan tetapi rata-rata umur responden dianggap cukup produktif
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
demikian pula pengalaman beternak yang dianggap cukup dari daerah asalnya serta tanggungan keluarga yang tidak terlalu besar. Usia petani yang produktif disertai pengalaman yang cukup dapat menjamin ketrampilan berkebun dan beternak yang tidak diragukan lagi. Menurut Gultom (1990) bahwa tingkat pendidikan, pembinaan dan jenis usaha tani mempengaruhi tingkat adopsi teknologa bagi petani. Pola usahatani di lokasi pengkajian ini adalah berkebun kelapa sawit. Pada Tabel.2. Nampak bahwa 100% responden mengusahakan kelapa sawit dengan rincian sebagai beriku : Tabel 2. Karakteristik petani responden Uraian Karakteristik Responden : Umur, tahun Pendidikan (%) - Tidak sekolah - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi Jumlah Anggota keluarga, jiwa Jumlah Anggota Keluarga yang terlibat dalam usahatani Karakteristik Usaha Tani Petani Kelapa Sawit, % Petani Kelapa Sawit dan Kakao, % Petani Kakao Total Karakteristik Usaha Ternak Rata-rata pemilikan ternak (ekor) Bangsa sapi (%) - Sapi Bali - PO - D11 Total Tujuan utama pemeliharaan sapi (%) : - Tenaga kerja - Tabungan keluarga - D11 Total Potensi Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Rataan 43,1 8,3 16,8 41,6 25,0 8,3 3,9 3,1 66,7 33,3 0 100 1 100 100 35 60 15 100
Hasil tanaman perkebunan yang cukup dominan pada tahun 2004 di Kabupaten Mamuju Utara adalah kelapa sawit dan coklat. Produksi kelapa sawit mencapai 994.440 ton dan coklat mencapai 11.228 ton. Disamping itu jenis tanaman Perkebunan lain adalah kelap (dalam dan hibrida) dengan produksi sebanyak 5.1254 ton. Data rinci mengenai produksi dan luas panen tanaman perkebunan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Areal Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Jenis Tanaman (1) Perkebunan Rakyat Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kakao Cengkeh Sagu Aren/enau
Luas areal Menghasilkan (2) -
Muda
4.258 397 9.710 18.333 147 300 200
Produksi (ton)
Tua/rusak (4)
Jumlah (5)
189 825 -
10.000 200 100
14.258 397 9.899 19.158 147 500 300
4.960 165 234.360 11.228 119 30 16
-
-
-
-
(3)
(6)
-
II. Perkebunan Besar Kelapa Dalam Kelapa Sawit
291 37,371
568
-
791 38.039
938 710.049
Abaca
350
-
-
350
-
Sumber : Dinas Perkebunan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Mamuju Utara, 2005 Jenis dan Populasi Ternak Jenis dan jumlah populasi ternak pada tahun 2004 dalam ekor di Kabup[aten Mamuju Utara terlihat pad Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan populasi ternak di Kabupaten Mamuju Utara Jenis ternak 2002
Tahun 2003
Ternak Besar Sapi perah Sapi potong 9.629 9.673 64 70 Kerbau 45 54 Kuda Ternak Kecil Kambing 1.471 1.879 Domba 4.424 3.533 Babi Unggas Ayam ras Ayam buras 275.713 259.075 Itik 13.095 11.906 Sumber : Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Mamuju Utara, 2004
2004 9.912 81 80 2.385 3.771 6.900 272.975 12.305
Keuntungan dan Manfaat dalam Penerapan SISKA System integrasi sapi – kelapa sawit (SISKA) dikembangkan berdasarkan kenyataan bahwa lahan budidaya kelapa sawit, khususnya pada tanaman muda, ditumbuhu tanaman penutup tanah, baik jenis rumput-rumputan pendek maupun dari jenis kacang-kacangan (legume cover crop). Dengan jarak tanam kelapa sawit sekitar 9x9 m, populasi tanaman penutup tanah ini secara periodik dipangkas untuk mengendalikan pertumbuhan tanam,an untuk tidak mengganggu tanaman utama. Selama ini dimanfaatkan dan hanya dibiarkan sebagai penambah bahan organik tanah. Padahal bekas pangkasan tanaman penutup tanah ini dapat digunakan sebagai pakan ternak. Ketike tanaman mulai menghasilkan dan konopi
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
tanaman mulai meluas, sebagai pelepah dipangkas bersama-sama dengan panen. Selam ini hasil pangkasan tersebut hanya ditumpuk di lahan tanpa dimanfaatkan secara komersial. Padahal pelepah daun kelapa sawit tersebut juga merupakan sumber pakan ternak jika dikelola dengan baik. Pengembangan ternak sapi juga merupakan usaha untuk meningkatkan produksi daging baik local maupun nasional. Jumlah populasi ternak yang tidak seimbang dengan tingginya tingkat permintaan konsumsi daging dalam negeri, menyebabkan perlu upaya peningkatan populasi dan produksi ternak untuk mengurangi intervensi dagoing impor. Salah satu kendala pengembangan populasi dan produksi ternak adalah semakin sempitnya lahan yang tersedia untuk peternakan. Pesetnya perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Propinsi Sulawesi Barat dapat di manfaatkan untuk mengatasi kekurangan lahan untuk usaha pengembangan ternak sapi. Keberadaan lahan kelapa sawit tersebut sangat memungkinkan untuk dipadukan dengan usaha peternakan sapi. Keuntungan akan semakin berlipat ganda apabila keberadaan ternak sapi tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit, keuntungan timbale balik antara usaha sapi dan sawit tersebut akhirnya akan berdampak positif pada peningkatan penghasilan petani. Pendapatan Regional Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indicator kemajuan ekonomi suatu daerah yang didefenisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun di wilayah tersebut. PDRB kabupaten Mamuju utara atas dasar harga berlaku pada tahun 2004 sebesar 511995.85 juta rupiah dengan kontribusi terbesar diberikan oleh sektor pertanian sebesar 58,09 persen, disusunoleh sector industry pengolahan dengan sumbangan terbesar 31,07 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 5,35 persen, sedangkan sector lainnya tidak ada mencapai 5 persen. Perekonomian Kabupaten Mamuju Utara tahun 2004 tumbuh sekitar 6,78 persen lebih laju dibanding tahun sebelumnya sekitar 6,10 persen. Pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor keuangan perusahaan dan jasa perusahaan yang tumbuh lebih dari sepuluh persen atau 14,65 persen, kemudian diikuti oleh sektor Perdagangan yang tumbuh sekitar 8,93 persen dan sektor industri yang tumbuh sekitar 8,08 persen. Sedangkan sector ekonomi yang lajunya terendah adalah sector jasa yang hanya tumbuh sekitar 2,95 persen dan sector listrik, gas dan air bersih yang tumbuh sekitar 3,78 persen. Selama lima tahun terakhir ini (2000 -2004) perekonomian Kabupaten Mamuju secara rata-rata tumbuh sebesar 6,21 persen. Angka lainnya yang dapat diturunkan angka PDRB adalah angka PDRB perkapita indicator ini bias digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk disuatu daerah PDRB perkapita (Atas dasar harga berlaku), penduduk Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2004 sebesar 5.593.443 rupiah, meningkat sebesar 5,51 persen dibandingkan pada tahun 2003 dengan PRDB perkapita sebeasr 5.301.456 rupiah.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
PENINGKATAN NILAI GIZI LIMBAH KELAPA SAWIT Berbagai upaya telah dilakukan melalui penelitian untuk meningkatkan nilao gizi limbah kelapa sawit dengan penggunaan senyawa kimia, terutama NaOH, fermentasi dan perlakuan uap. Perlakuan larutan NaOH bertujuan untuk meningkatkan kecernaan dengan memutus ikatan selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energy tersedia dapat meningkat. Teknik ini telah dicobakan pada batang dan pelepah kelapa sawit (Oshio etal., 1988). Penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi 10% ternyata mampu meningkatkan kecernaan bahan organic dari 20-30% (tanpa pemberian NaOH) menjadi 63%. Peningkatan kecernaan menunjukkan kecenderungan yang linear walaupun pengaruhnya tidak sebesar pada batang kelapa sawit. Pada pelepah sawit penambahan larutan 10% NaOH meningkatkan kecernaan bahan organik dari 24% (tanpa perlakuan) menjadi 45%, sedangfakn pada daun sawit dari 20% menjadi 50%. Perlakuan dengan larutan 10-12% NaOH cenderung menurunkan palatabilitas (kesenangan) yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Disarankan bahwa larutan 6-9 NaOH merupakan konsentrasi optimal untuk meningkatkan kualitas batang dan pelepah sawit. Prosedur pengolahan penggunaan NaOH relative sederhana yaitu batang dan pelepah atau daun kelapa sawit dicacah dan dikeringkan selama 4-5 hari dibawah sinar matahari, kemudian dicampur dengan larutan NaOH. Bahan kemudian disimpan didalam drum dan ditutup rapat selama 7 hari. Perlakuan fermentasi untuk menghasil silase pada prinsipnya bertujuan untuk preservasi dan konservasi. Pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relative kecil. Untuk meningklatkan kandungan gizi dalam proses fermentasi dapat ditambahkan urea. Hasil penelitian Hasan et al. (1996) menunjukkan bahwa proses fermentasi pelepah sawit menjadi produk silase tidak meningkatkan kecernaan. Namun penambahan urea 3 atau6% berturut-turut meningkatkan kandungan protein bahan dari 5,6 menjadi 12,5 atau 20%. Proses pembuatan silase dilakukan dengan mencacah bahan menjadi partikel panjang 1-3 cm. cacahan dapat diperciki dengan larutan urea (3-6%), kemudian dimasukkan kedalam drum, dipadatkan dan ditutup rapat untuk mempertahankan kondisi tanpa udara (aerob) selama 2-3 minggu untuk sawit atau 60 hari untuk batang sawit. Perlakuan uap dengan tekanan bertujuan untuk memecahkan ikatan selulosa atau hemiselulose dengan lignin, sehingga energi yang terkandung didalam bahan pakan lebih banyak tersedia bagi ternak. Proses tekanan uap menggunakan mesin steaming. Racikan bahan dimasukan kedalam mesin steaming. Setelah waktu tertentu bahan dikeluarkan dari mesin steaming.racikan bahan dimasukan kedalam mesin, ditutup rapat dan dibiarkan 9 hari. Hasil penelitian Oshio et al. (1988) menunjukkan bahwa ini dapat meningkatkan kecernahan bahan kering, bahan organic lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan NaOH. Untuk dimanfaatkan secara optimal maka produk samping tanaman dan pengelolahan buah kelapa sawit maka perluh diberikan perlakuan untuk meningkatkan nilai gizi limbah perkebunan tersebut. Hal tersebut secara fisik (cacah, giling, tekana uap), kimia (NaOH), biologis (fermentasi) ataupun kombinasi dari padanya. Adapun nutrien produk saping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit disajikan pada Tabel 5
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 5. Komposisi nutrient produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit Bahan produk camping
BK%
Abu PK SK L BETN Ca P ------------------------------%-----------------------------------------13,40 14,12 21,52 4,37 46,59 0,84 0,17
Daun tanpa 46,18 lidih Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,94 Solid 24,08 14,40 14,58 35,88 Bungkil 91,83 4,14 16,33 36,68 Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 Sumber : Mathius et al., 2003.
1,07 39,82 14,78 16,36 6,49 28,19 3,22 4,70 -
0,96 1.08 0,56 -
0,08 0,25 0,84 -
GE (kal/g) 4461 4841 4082 5178 4684
POTENSI LIMBAH KELAPA SAWIT Potensi biomasa setiap ha secara teoritis dapat menampung 143 pohon tanaman, bila jarak antara pokon 9 x 9 m. di lapang pada kenyataannya jumlah pohon kelapa sawit hanya mencapai ± 130 pohon/ha tergantung kondisi wilayah. Setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dengan rataan pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan). Sehingga pelepah juga dihasilkan daun sekitar 0,5 kg/pelepah sehingga setiap tahun akan diperoleh bahan kering dari daun untuk pakan sejumlah 1,66 ton/ha/tahun (Diwyanto, et al., 2003). Minyak kelapa sawit (palm oil) merupakan produk utama adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bunghkil kelapa sawit. Setiap 1000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit sejumlah 250 kg, hasil samping sebanyak 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil sawit dan 180 kg serat perasan. Sedangkan untuk petani di lokasi kajian dengan jumlah pemilikan kelapa sawit 2 ha maka jumlah bahan kering yang didapat setiap petani adalah 20.022 kg. Dengan kata lain bahwa setiap ha areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan menghasilkan pelepah, daun dan limbah untuk pakan ternak disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap ha Biomasa Segar (kg) Bahan kering (%) Daun 1.430 46,18 Pelepah 9.292 26,07 Tandan kosong 3.680 92,1 Serat perasa 2.880 93,11 Lumpur sawit, solid 4.704 24,07 Bungkil Kelapa 560 91,83 sawit Total Biomasa Sumber : Jalaluddin et al., 1991 diikutif Diwyanto et al., 2003
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Bahan kering (kg) 658 1.640 3.386 2.681 1.132 514 10.011
Oleh karna vegetasi iang berperan sebagai sumber hijauan sangat berfluktuasi,baik produk maupun kompposisi botanisnya, maka diperlukan sinkronisasi atau mensinergiskan antara pola pemeliharaan ternak dengan vegetasi perkebunan untuk mencapai sasaran semaksimal mungkin. (Ginting,1999). Sejalan yang dikemukakan Chen (1985) bahkan diperkirakan 70 – 80% dari areal perkebunan dapat menghasilkan limbah yaitu 486 ton pelepah kering dan 17,1 ton daun sawit kering per tahun (Sianipar et al., 2003), 10 – 15 ton tandan buah sawit segar (TBS). setiap ton TBS jika diolah dapat menghasilkan tiga jenis limbah yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak yaitu 45 – 46% bungkil inti sawit, 2% Lumpur sawit dan 12% sabun sawit (Devendra dan Burns, 1983). Daun kelapa sawit kandungan proteinnya rendah 10 – 15%, Lumpur sawit 12 – 14 % dan BIS 15 – 17%. Kondisi ini dianggap cukup dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan proses dalam rumen. Namun daya cernemya cukup rendah (Winugroho dan Mariati, 1999). Sejaln yang dikemukakan Batubara et al., (2004). Bahwa untuk meningkatkan penampilan produksi kambing dengan menggunakan ransum berbasis limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit perlu dilakukan suplemen energi yang cukup mendorong proses fermentasi dalam rumen. Sedangkan untuk sapi potong memberikan pertambahan bobot badan 0.58 kg per hari dengan komposisi pakan pelepah 60%, Lumpur dan BIS masing-masing 18%, dan dedak padi 4% (Elisabith dan Ginting, 2003). PEMBUATAN PUPUK ORGANIK Pembuatan pupuk organik terhadap pertanaman kelapa sawit telah dilaporkan oleh PKKS bahwa telah memberikan hasil yang cukup memuaskan, selain berkurangnya pencemaran lingkungan biomasa tersebut, hasil pembuatan kompos hasil olahan tandan kosong tersebut memberikan nilai tambah tersendiri. Teknologi pengomposan yang dilakukan merupakan kombinasi pengolahan produk samping dalam bentuk padat dan cair dalam suatu proses. Setelah tandan kosong, sebagai produk samping yang padat dicacah dengan ukuran 40 – 60 mm, ditumpuk memanjang dengan ketinggian 1,2 m dan lebar 3 m. selanjutnya dalam proses pengomposan, tumpukan tandan kosong disiram dengan sejumlah tertentu produk samping cair, yang untuk selanjutnya dibalik setiap minggu sekali. Proses pengomposan berlangsung selama 42 hari, yang untuk selanjutnya dikeringkan dan dipacking (bila perlu), atau dapat dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organic. Biaya yang dikeluarkan untuk setiap kg kompos yang dihasilkan adalah RP.115,- sementara harga jual dapat mencapai RP.400 – RP. 600 per kg kosong. Penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama ternyata menyebabkan kondisi tanah menjadi sakit untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini berkaitan dengan perubahan fisik dan mikribiologi tanah sedemikian rupa sehingga pertumbuhan perakaran tanaman menjadi terganggu yang pada gilirannyaakan mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Hal ini berarti diperlukan pupuk organic yang sangat besar untuk mempertahankan “ kesehatan “ lahan. Dilain pihak, ternak ruminasia memberikan peluang besar untuk menghasilkan kotoran yang didapat diproses menjadi pupuk organic. Kandungan mikroba rumen untuk menghasilkan untk membantu proses dekomposisi manure dan proses ini dapat dipercepat dengan penambahan „mikroba unggul‟ (Puslitbangnak, 2000).
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pemeliharaan sapi secara sistem “kereman” maka akan diperoleh banyak keuntungan antara lain : (a) kandang tidak dibersihkan setiap hari sehingga menghemat tenaga kerja, (b) ternak tidak mengganggu manajemen pemeliharaan kebun, dan (c) kotoran dapat tertampung dan dikumpulkan setiap bulan untuk selanjutnya diproses menjadi kompos. ANALISIS USAHA EKONOMI PENDAPATAN SISTEM SISKA Keragaan pendapatan dan penghasilan dari system intgrasi ternak – sawit (SISKA) diwilayah Mamuju Utara, Desa Lelejae, Kecamatan Baras, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Diketahui bahwa penghasilan petani di desa lelejae belum mengalami peningkatan dengan adanya pemeliharaan sapi, apalagi bila sapi tersebut dipelihara secara integrasi karena baru disebarkan sekitar satu bulan. Adapun pendapatan petani dengan adanya system integrasi sapi – sawit. Tabel 7. Penghasilan petani SISKA di Desa Lelejae, Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara Parameter Nilai A. Luas lahan sawit : Tanaman Menghasilkan 2,0 Ha 32.640.000 Produksi TBS (kg/ha/tahun 48.000 X RP. 680 B. Jumlah Pemeliharaan Sapi (ekor) 1,0 10.024.880 C. Biaya Produksi (juta/2ha/thn - Pupuk 14 Zak X RP. 150.000 2.100.000 - KCI 14 Zak X RP. 75.000 1.050.000 - Urea 14 Zak X RP. 120.000 1.680.000 - TSP 42 Zak X RP. 10.000 420.000 - Biaya Pemupukan 4 kali X RP. 200.000 800.000 - Penyiangan 2 Kali X RP. 300.000 600.000 - Pemangkasan 2.400.000 - Panen 974.880 - Potongan saran jalan, kelompok, Sarana sosial dll. 22.615.120 D. Penghasilan (juta/tahun) A - C 1.884.993 E. Pendapatan petani/bulan Catatan : Untuk Sawit TM adalah 15 sedangkan umur sapi 1,8 – 2,5 tahun Sedangkan untuk sapi belum diperhitungkan karena baru disebar satu bulan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
KESIMPULAN Pemanfaatan hasil samping kelapa sawit menjadi pakan ternak menyebabkan daur ulang bahan organik yang ada di sistem perkebunan menjadi terbuka. Sebagian bahan organic yang keluar akan memberikan nilai tambah secara keseluruhan. Perkebnan kelapa sawit memeliki ppotensi yang besar sebagai ,,supplier‟‟ bahan pakan bagi perkembangan industry ternak ruminansia. Tanaman sela diantara akan lebih menjamin/memperkaya ketersediaan pakan (kuantitas dan kualitas) bagi integrasi ternak dengan kelapa sawit, terutama pada periode tanaman belum menghasilkan di mana sumber bahan baku pakan pertanaman kelapa sawit belum cukup tersedia.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id