Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
PENGEMBANGAN INTEGRASI TERNAK KERBAU DENGAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI BANTEN Buffalo Livestock Development Integration with Oil Palm in Province Banten HASANATUN HASINAH1, ENDANG ROMJALI1 dan AGUS M. TAUCHID2) 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 e-mail:
[email protected] 2 Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten Jl. Syech Nawawi Albantani Palima, Serang 42171
ABSTRACT To meet a need of meat in Indonesia beside from beef and chicken can be fulfilled by buffalo meat, because of in some areas such as Banten the buffalo meat was more favored than beef. Banten Province has been a region that has contributions supplying of buffalo meat in Indonesia. Based on the potential of the natural resources available, development of the buffalo farm in Banten province can be done through integration pattern of buffalo with palm oil. Integrating of buffalo with palm oil plantations was expected create efficiencies and better business profits. Integration was done to give benefits in both sides. Patterns of integration were done in Banten consists of 2 (two) patterns, namely: 1). Extensive or grazing patterns, and 2). Semi Extensive pattern, by allowing cattle to feed on oil palm plantations. Several locations palm oil plantations in the province of Banten which have a potential to development of integration between buffalo and palm oil to be developed: 1) In the Pandeglang Regency (Sub District of Cisata and Cikeusik), and 2) In Lebak regency, namely in the Sub District Malingping, Banjarsari, Cijaku, Wanasalam, Cileles, Gunung Kencana and Panggarangan. For more increase the population and productivity of the buffalo was needed a technology (feed, reproduction, etc.) so that the development of the buffalo can be better. Key Words: Buffalo, Integration, Banten ABSTRAK Kebutuhan daging di Indonesia selain dari daging sapi dan ayam dapat dipenuhi oleh daging kerbau karena di beberapa daerah seperti Banten daging kerbau lebih disenangi daripada daging sapi. Provinsi Banten merupakan wilayah yang memiliki kontribusi penyediaan daging kerbau di Indonesia. Berdasarkan potensi sumberdaya alam yang ada, pengembangan usaha peternakan kerbau di Provinsi Banten dapat dilakukan melalui pola integrasi kerbau dengan kelapa sawit. Dengan mengintegrasikan pemeliharaan kerbau dengan kebun sawit diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan usaha yang lebih baik. Integrasi yang dilakukan dapat memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Pola integrasi yang dilakukan di perkebunan sawit Banten terdiri dari 2 (dua) pola yaitu: 1). Pola ekstensif atau pola grazing, dan 2). Pola semi ekstensif, yaitu dengan membiarkan ternak mencari pakan di lahan perkebunan sawit. Beberapa lokasi kebun kelapa sawit di Provinsi Banten yang potensial untuk dikembangkan melalui sistem integrasi kerbau dengan kebun kelapa sawit antara lain: 1) di Kabupaten Pandeglang yaitu di Kecamatan Cikeusik dan Kecamatan Cisata, dan 2) di Kabupaten Lebak yaitu di Kecamatan Malingping, Banjarsari, Kecamatan Cijaku, Wanasalam, Cileles, Gunung Kencana dan Panggarangan. Untuk lebih meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau diperlukan adanya input teknologi (pakan, reproduksi, dan lain-lain) agar pengembangan kerbau dapat lebih baik lagi. Kata Kunci: Kerbau, Integrasi, Banten
PENDAHULUAN Permintaan terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk olahannya) sangat besar dan diproyeksikan akan meningkat sangat cepat seirama dengan
pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, kesadaran gizi, urbanisasi, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi. Kondisi tersebut diatas merupakan peluang untuk mengembangkan usaha peternakan.
69
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Kebutuhan daging di Indonesia selain dari daging sapi dan ayam dapat dipenuhi oleh daging kerbau. Kualitas daging kerbau serupa dengan daging sapi, bahkan di beberapa daerah seperti Banten lebih disenangi daging kerbau daripada daging sapi karena kadar lemaknya relatif lebih rendah. Swasembada daging yang dicanangkan oleh pemerintah (PSDSK 2014) tentu saja tidak hanya terpaku pada daging sapi, namun juga berasal dari daging kerbau sehingga hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau mempunyai potensi untuk dikembangkan. Secara umum, ternak kerbau dan sapi adalah hewan yang berbeda baik jenis maupun bangsanya. Tetapi dalam soal produk, di pasar tidak ada perbedaan antara daging kerbau dengan daging sapi. Hampir di seluruh wilayah Indonesia daging kerbau dikenal sebagai daging sapi. Sistem pemeliharan kerbau di Provinsi Banten sudah berlangsung sejak turun temurun. Umumnya pemeliharaan masih dilakukan secara tradisional tanpa ada input teknologi di dalamnya dan dilaksanakan sebagai usaha sampingan. Mengingat potensi populasi yang sangat besar, diperlukan adanya input teknologi agar pengembangan kerbau dapat lebih baik lagi. Berdasarkan potensi sumberdaya alam yang ada, pengembangan usaha peternakan kerbau di Provinsi Banten dapat dilakukan melalui pola integrasi kerbau dengan kelapa sawit. Dengan mengintegrasikan pemeliharaan kerbau dengan kebun sawit diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan usaha yang lebih baik. Integrasi yang dilakukan dapat memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, integrasi yang bisa dilakukan adalah terkait pengelolaan limbah sektor peternakan untuk pemanfaatan sebagai pupuk kandang bagi perkebunan kelapa sawit, sementara limbah perkebunan kelapa sawit dapat dimanfatkan sebagai pakan ternak bagi kelompok tani peternak. POTENSI TERNAK KERBAU DI WILAYAH BANTEN Provinsi Banten memiliki luas wilayah sekitar 9.662,92 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 10.632.166 (sensus penduduk tahun 2010), Banten merupakan salah satu provinsi
70
baru di Indonesia yang ditetapkan berdasarkan UU No. 23 tahun 2000. Sektor pertanian di Provinsi Banten merupakan salahsatu kegiatan basis bagi sebagian besar penduduk Provinsi Banten. Dalam struktur perekonomian maupun komposisi penduduk menurut mata pencaharian terlihat bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang masih dominan. Potensi sektor pertanian terdiri atas sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan serta kehutanan. Provinsi Banten yang memiliki 4 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang memperlihatkan suatu spesifikasi atau keunggulan dari masing-masing daerah/kota. Populasi ternak kerbau di Provinsi Banten Provinsi Banten merupakan wilayah yang memiliki kontribusi penyediaan daging kerbau di Indonesia. Tercatat populasi kerbau di Banten pada tahun 2012 sebanyak 123.537 ekor yang tersebar di masyarakat petani dan peternak dan merupakan populasi terbesar kelima di Indonesia (Tabel 1). Kerbau di Provinsi Banten tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan jumlah yang bervariasi satu dengan lainnya. Berdasarkan data BPS (2009), populasi kerbau tertinggi berada di Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang (Tabel 2). Terkait dengan populasi kerbau yang cukup besar, saat ini Kabupaten Lebak telah menjadi pemasok kebutuhan daging untuk wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Produksi daging Selain memiliki peranan sebagai tenaga kerja, kerbau juga merupakan ternak yang dagingnya biasa dikonsumsi oleh masyarakat Banten. Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten mengungkapkan bahwa secara sosial budaya, masyarakat Banten lebih menyukai daging kerbau dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini dapat dijadikan sebagai pemicu guna peningkatan jumlah kerbau, dengan harapan angka kecukupan daging kerbau terpenuhi. Dengan kata lain Banten
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
mampu memenuhi kebutuhan daging kerbau bagi masyarakatnya. Total produksi daging tahun 2010 di Provinsi Banten sebesar 5,055,790 kg, produksi daging tertinggi disumbang oleh Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan
Kabupaten Lebak. Produksi daging terendah dihasilkan oleh Kabupaten Cilegon, sementara itu Kota Tangerang dan Tangerang Selatan tercatat tidak menghasilkan daging kerbau (Tabel 3).
Tabel 1. Populasi kerbau tahun 2008 – 2012 per Provinsi Provinsi Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Aceh Jawa Barat Banten Sumatera Utara Sumatera Barat Sulawesi Selatan Jawa Tengah Jambi
2008 148.772 161.450 280.662 145.847 153.004 155.341 196.854 130.109 102.591 72.008
Tahun (ekor) 2010 163.551 158.064 306.259 139.730 153.204 158.741 207.648 130.097 111.097 76.143
2009 150.403 155.307 290.772 142.465 151.976 156.210 202.997 124.141 105.506 73.852
2011 150.038 105.391 131.494 130.157 123.143 114.289 100.310 96.505 75.674 46.538
2012 153.038 144.110 134.117 128.778 123.537 116.575 108.073 100.695 78.313 47.808
Sumber: Ditjen PKH (2012) Tabel 2. Populasi ternak kerbau di Provinsi Banten Kabupaten/kota Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kabupaten. Lebak Kabupaten Pandeglang Kota Tangerang Kota Serang Kota Cilegon Kota Tangsel Banten
Populasi (ekor) 2008 26,72 20,30 56,14 42,85 99,00 6,454 444 153,004
2009
2010
2011
24,520 21,498 56,105 43,293 61 5,761 116 4,602 155,956
24,972 21,634 57,313 44,102 248 4,487 184 264 153,204
12,336 30,596 43,737 28,107 181 5,622 2,319 245 123,143
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten Tabel 3. Produksi daging Kabupaten/kota Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kabupaten Lebak Kabupaten Pandeglang Kota Tangerang Kota Serang Kota Cilegon Kota Tangsel Banten
2008 257,692 553,600 768,806 668,360 15,800 169,100 7,360 2,440,718
Produksi daging (kg) 2009 295,533 1,731,672 690,331 693,330 10,000 200,850 6,875 3,628,591
2010 1,387,819 1,793,760 829,578 762,080 222,140 60,413 5,055,790
71
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Hasil olahan daging kerbau biasa disajikan pada acara-acara besar seperti hari raya Idul Fitri. Pemilihan daging kerbau sebagai penganan khas di hari raya telah berlangsung secara turun temurun. Bahkan untuk mendapatkan daging kerbau, masyarakat seringkali melakukan penggalangan dana bersama untuk membeli ternak kerbau yang akan disembelih. Penggalangan dana dilakukan dengan cara menabung selama setahun dengan dikoordinir oleh panitia yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Saat ini, penganan daging kerbau sebagai makanan khas di Banten sudah mulai dikenal masyarakat luas. Beberapa penganan khas asal daging kerbau antara lain sate kerbau, nasi sumsum kerbau, semur kerbau dan dendeng kerbau. Setiap penganan memiliki kekhasan dari segi aroma dan rasa. POTENSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI BANTEN Saat ini perkebunan kelapa sawit tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia, kecuali Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali. Menurut SETIADI et al. (2011), luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 7.873.840 ha, yang tersebar di 22 provinsi termasuk di Banten.
Luas lahan Luas lahan untuk tanaman kelapa sawit yang sudah digunakan di Provinsi Banten mencapai 15.023 ha, yang terdiri atas Perkebunan Rakyat yang berada di wilayah Kabupaten Pandeglang (2.907 ha) dan Kabupaten Lebak (3.888 ha) dan Perkebunan Negara (8.228 ha) (Gambar 1). Potensi pakan dari kebun sawit Pengembangan peternakan kerbau terkendala oleh penyediaan pakan yang berkualitas karena semakin terbatasnya lahan untuk penggembalaan dan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Program P2SDS mendorong agar usaha peternakan rakyat dapat diintegrasikan dengan usaha perkebunan atau pertanian pangan/hortikultura. Bahan pakan yang berasal dari hasil samping atau limbah pertanian, perkebunan maupun agroindustri yang jumlahnya sangat besar masih belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan menjadi beban pengusaha dalam pencemaran lingkungan. Sebagian limbahlimbah tersebut digunakan sebagai bahan bakar, pupuk organik, bahan baku industri dan sebagian besar masih terbuang atau dibakar karena dianggap mengganggu lingkungan.
Gambar 1. Peta Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit di Banten
72
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
MATHIUS (2008) menyatakan bahwa dengan luas kebun sawit jutaan hektar tersebut mampu menghasilkan 41,9 juta ton biomassa berupa pelepah, daun, solid, BIS, serat perasan dan tandan kosong, yang apabila 70%-nya saja dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, maka jumlah ternak yang dapat ditampung adalah sebanyak 13 juta ekor sapi dewasa. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bagian dalam (daging) pelepah kelapa sawit segar yang telah dicacah dapat dipergunakan sebagai pengganti pakan hijauan. Berdasarkan data luas tanam kelapa sawit di provinsi Banten, terlihat potensi yang produk samping cukup besar. Produk samping yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yaitu tandan kosong, serat buah, lumpur sawit, bungkil dan cangkang sedangkan produk samping yang dihasilkan dari perkebunan yaitu pelepah, daun dan batang kelapa sawit. Menurut DIWYANTO et al. (2003) suatu perkebunan kelapa sawit dapat menyediakan pakan ternak yang berasal dari ”limbah sawit” yaitu berupa daun dan pelepah sawit, lumpur sawit, bungkil inti sawit dan serat buah. Hal ini diperkirakan mampu menampung 1 – 3 ekor sapi/kerbau dewasa per hektar sepanjang tahun. 1. DIWYANTO et al. (2011) menyampaikan secara teori jika dilihat dari potensi yang ada di lokasi dari luas perkebunan milik PTPN VIII di Banten yang mencapai sekitar 13.000 ha dan milik rakyat seluas sekitar 6.000 ha, diperoleh rata-rata produksi tandan buah segar (TBS) per hektar luas tanam mencapai 13 ton/ha/tahun. Potensi biomasa untuk pakan ternak dari luasan perkebunan kelapa sawit tersebut antara lain 2. Produksi daun tanpa lidi diperkirakan mencapai 27,17 ribu ton dan 119,5 ribu ton pelepah tanpa kulit 3. Produk samping berupa tandan kosong sejumlah 56,81 ribu ton dan serat perasan (fiber) sejumlah 44,46 ribu ton; 3) Total biomasa yang dihasilkan sejumlah 247,9 ribu ton mampu mencukupi kebutuhan sapi potong yang ada di Banten sekitar 80 ribu ekor. Pelepah merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari tanaman sawit yang diperoleh dari hasil pemangkasan yang rutin dilakukan. Berdasarkan perkiraan, tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 18 – 25 pelepah/pohon/
tahun (LUBIS,1992) atau sekitar 10 ton kering/ha/tahun (Purba dan Ginting, 1997). INTEGRASI KERBAU KELAPA SAWIT Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas, disamping menghasilkan produk utama juga menghasilkan produk samping, seperti disampaikan oleh MATHIUS et al. (2005) bahwa biomasa sebagai produk samping pertanian dan perkebunan tersedianya cukup banyak jumlahnya. Hasil samping tersebut berupa limbah pertanian yang dengan cara-cara sederhana dapat diubah menjadi pakan ternak (BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN, 2000). Pengembangan integrasi ternak dengan usahatani lainnya merupakan potensi yang cukup besar untuk mengembangkan ternak kerbau. Integrasi merupakan sistem usaha yang menggabungkan dua atau lebih macam komoditas dalam satu kawasan. Integrasi tanaman dengan ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan komponen tanaman dengan ternak. Hijauan dan residu hasil tanaman merupakan sumber pakan utama, dan ternak menyediakan pupuk organik yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Sistem Integrasi Tanaman–Ternak (SITT) bertujuan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya wilayah dalam rangka mempertahankan kesuburan lahan melalui siklus dari lahan, limbah tanaman, sapi/kerbau, pupuk organik dan kembali ke tanaman lagi. Disamping itu SITT bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya pertanian dalam meningkatkan produktivitas kerbau dan tanaman yang bermuara pada peningkatan pendapatan. Beberapa hasil penelitian dan pengkajian di berbagai tempat dan agroekologi dilaporkan oleh SYAM dan SARIUBANG (2004) menunjukkan bahwa pada umumnya integrasi ternak dengan tanaman, baik itu tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman industri memberikan nilai tambah yang cukup signifikan. Disampaikan juga oleh SUBAGYONO (2004) bahwa pengembangan sistem integrasi antara tanaman dengan ternak akan memberikan manfaat langsung dan tidak
73
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
langsung bagi kesejahteraan petani sekaligus peternak, baik berupa tambahan penghasilan dari penjualan hasil produksi ternak, pemanfaatan limbah dan penyediaan tambahan lapangan kerja. Produk sampingan (by product) hasil ternak dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik yang dapat dipergunakan untuk menyuburkan lahan pertanian dan biogas yang secara ekonomi sangat menguntungkan. Sementara itu, limbah tanaman dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak (kerbau), jumlahnya pada saat musim panen sangat berlimpah tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan demikian limbah tanaman mempunyai potensi yang sangat besar sebagai penyedia pakan sumber serat bagi ternak kerbau. Pada sistem ini kotoran kerbau dapat diolah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah, melalui siklus unsur hara secara sempurna, sehingga produktifitas usahatani menjadi optimal. Pupuk organik akan dapat mengurangi ketergantungan petani akan pupuk buatan/anorganik yang relatif semakin mahal terhadap harga output hasil pertanian, serta tingkat pemakaian yang sudah mendekati ambang batas kualitas lahan. Adanya ternak yang digembalakan di areal perkebunan sawit akan dihasilkan pupuk organik berasal dari kotoran ternak dan dapat digunakan langsung di areal perkebunan sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas tiap hektar kebun sawit. Hal ini dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhui kebutuhan pupuk. Menurut SIAHAAN et al. (2009) ada komponen-komponen yang harus tersedia bagi usaha tersebut yang dapat digunakan untuk pemeliharaan ternak sapi/kerbau. Komponen ini terutama adalah lahan (termasuk rumputrumputan yang tumbuh di atasnya), produk samping dari perkebunan (pelepah sawit dan daun) dan produk samping pabrik pengolahan sawit (serat perasan, lumpur sawit dan bungkil inti sawit). Pola integrasi kerbau – sawit di Banten Pola integrasi yang dilakukan di perkebunan sawit Banten terdiri dari 2 (dua) pola yaitu:
74
1. Pola ekstensif atau pola grazing, yaitu dengan membiarkan ternak mencari pakan di lahan perkebunan sawit 2. Pola semi ekstensif, yaitu dengan membiarkan ternak mencari pakan di lahan perkebunan sawit di siang hari, menyiapkan kandang di sekitar kebun sawit dan menyediakan pakan rumput di kandang. Pola ke-1 dan 2 dilakukan baik di Kabupaten Lebak maupun di Pandeglang. Lokasi lebun kelapa sawit yang potensial untuk pengembangan integrasi dengan ternak kerbau di Provinsi Banten Beberapa lokasi kebun kelapa sawit di Provinsi Banten yang potensial untuk dikembangkan melalui sistem integrasi kerbau dengan kebun kelapa sawit antara lain: 1. Di Kabupaten Pandeglang yaitu di Kecamatan Cikeusik dan Kecamatan Cisata 2. Di Kabupaten Lebak yaitu di Kecamatan Malingping, Banjarsari, Kecamatan Cijaku, Wanasalam, Cileles, Gunung Kencana dan Panggarangan. Pada masing-masing wilayah sudah terbentuk kelompok tani dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) dengan tujuan yaitu: 1. Meningkatkan populasi, produktivitas dan efisiensi usaha ternak kerbau 2. Mengembangkan kawasan sentra produksi kerbau berbasis agribisnis 3. Membangun sentra ternak kerbau (Village Breeding Centre) di wilayah Kabupaten Pandeglang dan Banten. Kelompok integrasi sawit – kerbau kampung kerbau Cibarani (Kabupaten Pandeglang) Lokasi kampung ternak kerbau berada Desa Cibarani, Kecamatan Cisata, Kabupaten Pandeglang dengan kondisi wilayah lahan kering 580.7 ha, lahan kelapa sawit 232.2 ha, lahan karet 221 ha, Perkebunan rakyat 11.12 ha dan pekarangan 11.12 ha, dan lahan pertanian produktif 348.58 ha. Potensi khusus yang di kampung kerbau Cibarani terdapat lokasi khusus kandang koloni kerbau dengan kapasitas 300 ekor di kampung Cigelam dan mempunyai potensi hijauan dapat menampung 3000 ekor ternak. Populasi kerbau
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
di Desa Cibarani 749 ekor dengan jumlah betina produktif lebih dari 50%. Kelompok integrasi sawit – kerbau kampung kerbau Solear (Kabupaten Lebak) Lokasi kampung ternak kerbau berada di kampung Solear, Desa Sindang Mulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak mempunyai potensi khusus dimana Lokasi Kandang sangat dekat dengan perkebunan sawit. Lokasi perkebunan sawit juga dekat dengan lahan sawah. Potensi hijauan masih melimpah dengan Populasi Kerbau di kampung Solear lebih dari 500 ekor, dan di kelompok Solear 143 ekor dengan jumlah betina produktif lebih dari 50%.
2. Beberapa kali terjadi kematian kerbau karena mengkonsumsi rumput yang sudah diberi herbisida oleh petugas lapangan PTP, padahal petugas paham bahwa lokasi tersebut adalah lokasi penggembalaan kerbau 3. Belum optimalnya pemanfaatan potensi kebun sawit oleh kerbau di lahan perkebunan sawit di wilayah Banten (kerbau hanya memanfaatkan rumput di areal perkebunan, belum memanfaatkan pelepah, tandan kosong, serat buah secara kontiniu) 4. Kurang tersosialisasinya integrasi ternak – sawit di kalangan petugas PTP, sehingga kurang mendukung peternak kerbau Permasalahan internal Sementara itu permasalahan yang dihadapai dari internal yaitu: 1. Tingkat inbreeding yang masih tinggi 2. Skala usaha rata-rata masih kecil 3. Keterbatasan modal 4. Keterbatasan bibit unggul yang ada 5. Keterbatasan jumlah pejantan pemacek karena adanya penjualan pejantan yang bernilai ekonomis.
Gambar 2. Integrasi kerbau – kelapa sawit di kampung kerbau Cibaranai dan kampung kerbau Solear
PERMASALAHAN DAN KENDALA Permasalahan yang dihadapi dalam integrasi kerbau – kelapa sawit di Provinsi Banten adalah permasalahan dari eksternal dan internal. Permasalahan eksternal Permasalahan yang berasal dari eksternal antara lain: 1. Masih adanya keengganan pihak perusahaan dalam mencampur kebun kelapa sawitnya dengan hewan ternak karena dikhawatirkan kotoran hewan ternak dapat mendatangkan hama baru bagi kebun kelapa sawitnya
UPAYA TINDAK LANJUT DAN DUKUNGAN PEMERINTAH Untuk mencapai hasil yang diharapkan dalan integrasi kerbau – kelapa di Provinsi Banten, telah dilaksanakan berbagai upaya yaitu bansos kegiatan IPBP dan PBP, bansos pengembangan pembibitan ternak kerbau, bansos ULIB, bansos pengembangan budidaya kerbau, pelatihan pengolahan pupuk organik dan penelitian kualitas pakan, dll. Upaya lainnya yang telah dilakukan dalam mendukung kampung ternak kerbau ini adalah pelayanan kesehatan hewan rutin, penelitian derajat inbreeding pada darah ternak kerbau oleh Fapet IPB, penelitian marka genetik penentu keempukan daging oleh Fapet IPB, pengembangan ULIB, introduksi IB pada ternak kerbau, pengembangan pembibitan ternak kerbau, insentif betina produktif Tahun 2011, pembinaan kelompok, pelatihan pengolahan pupuk organik dan biogas oleh
75
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
BPTP dan pilot project IB pada ternak kerbau oleh Balitnak (Badan Litbang Pertanian). PENUTUP Kehadiran ternak dengan pengelolaan yang benar diyakini memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung dan memberikan dampak yang sangat besar artinya dalam mempertahankan tekstur dan struktur tanah serta sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Penerapan sistem integrasi ternak kerbau dengan kebun sawit memiliki prospek yang cukup baik. Produk sampingan (by product) hasil ternak dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik yang dapat dipergunakan untuk menyuburkan lahan pertanian dan biogas yang secara ekonomi sangat menguntungkan. Sementara itu limbah tanaman dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak (kerbau). Untuk lebih meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau diperlukan adanya input teknologi (pakan, reproduksi, dll) agar pengembangan kerbau dapat lebih baik lagi. Selanjutnya bagi pengembangan kerbau di masa mendatang dapat disarankan antara lain 1) Pemerintah Daerah dan Provinsi untuk membuat grand design pengembangan yang disesuaikan dengan potensi agroekosistem; 2) pengembangan kerbau pada masyarakat yang secara sosiokultur dekat dengan kerbau; 3) mengembangkan peternakan yang terintegrasi dengan tanaman/pertanian. DAFTAR PUSTAKA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN. 2000. Integrasi sapi di lahan pertanian (Crop Livestock Production Systems). Jakarta. DITJEN PKH. 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. Jakarta. DIWYANTO, K., B. SETIADI, W. PUASTUTI, I.G.A.P. MAHENDRI. 2011. Koordinasi Koordinasi Sistem Integrasi Sapi-Tanaman Kelapa Sawit. Laporan Akhir. Puslitbang Peternakan. Bogor.
76
DIWYANTO, K., D. SITOMPUL, I. MANTI, I-W MATHIUS dan SOENTORO. 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-SapiBengkulu, 9 – 10 September 2003.Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pemprov Bengkulu dan PT. Agricinal. Bogor. hlm. 11 – 22 MATHIUS, I.W., A.P. SINURAT, B.P. MANURUNG, D.M. SITOMPUL dan AZMI. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi lumpur–bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 153–161. MATHIUS, I-W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3): 206 – 224. PURBA, A. dan S. P. GINTING. 1997. Integrasi perkebunan kelapa sawit dengan ternak ruminansia. J. Penelitian Kelapa Sawit 5(2) 55-60. SETIADI, B., K. DIWYANTO, W. PUASTUTI, I.G.A.P. MAHENDRI dan B. TIESNAMURTI. 2011. Peta Potensi dan Sebaran Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia: Sistem Integrasi SapiKelapa Sawit (SISKA). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. SUBAGYONO, D. 2004. Prospek pengembangan temak pola integrasi di kawasan perkebunan. Prosiding seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan, BPTP Bali dan Crop Animal System Research Network (CASREN). Bogor. hlm.13-17. SYAM, A. dan M. SARIUBANG. 2004. Pengaruh pupuk organik (kompos kotoran sapi) terhadap produktivitas padi di lahan irigasi. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi TanamanTernak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor. hlm. 93 – 103.