Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
STATUS DAN PROSPEK PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI BANTEN MAYUNAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Banten Jl. Raya Ciptayasa Km 01 Ciruas 42182 Serang Banten
ABSTRAK Populasi kerbau di Provinsi Banten terus menurun. Disamping pemotongan dan tingkat kelahiran yang rendah, penurunan populasi juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi dan peran dalam sistem usahatani. Walaupun demikian, fungsi dan peran kerbau bagi petani adalah sebagai sumber tenaga, sumber pendapatan, tabungan keluarga, sumber pupuk dan status sosial. Pada tahun 2005, populasi ternak kerbau di Banten tercatat sebanyak 135.033 ekor, dimana populasi terbanyak terdapat di Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Kontribusi daging kerbau dalam penyediaan protein hewani masih rendah karena pertambahan populasi yang lambat dan produktivitas yang rendah. Pada masa mendatang, kerbau diharapkan berfungsi sebagai ternak penghasil daging dominan. Daging kerbau memiliki kadar lemak renfah dibanding jenis daging lainnya. Keunggulan lain adalah kemampuan menghasilkan susu berlemak tinggi dan mencerna pakan berserat tinggi lebih baik dibanding sapi. Berdasarkan hal tersebut, maka kepada peternak perlu diperkenalkan konsep beternak dan pemuliaan yang baik termasuk penyediaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Kata kunci: Kerbau, pengembangan, status, prospek, Banten
PENDAHULUAN Kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang penting setelah sapi. Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 1994 tercatat sebanyak 3.369.671 ekor (SIREGAR dan DIWYANTO, 1996), sedangkan pada tahun 2000 sebanyak 2.436.080 ekor (ANONIMUS, 2002). Populasi tertinggi dijumpai di Provinsi NAD dan selanjutnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara, dimana sebagian besar kerbau yang dipelihara adalah kerbau lumpur (Bubalus bubalus). Di Indonesia terdapat beberapa tipe kerbau, diantaranya: kerbau Bonga di Toraja, kerbau rawa di Alabio, kerbau Binanga di Tapanuli Selatan dan kerbau Moa di Maluku (MUHAMMAD dan KUSUMANINGRUM, 2005). Ternak kerbau mempunyai fungsi dan peran dalam sistem usahatani sebagai sumber ternaga, sumber pupuk dan sekaligus memberikan pendapatan tambahan bagi petani. Pada beberapa daerah, kehadiran traktor menyebabkan fungsi ketbau dan sapi semakin berkurang. Walaupun demikian, pengolahan lahan pertanian menggunakan kerbau dan sapi masih tetap bertahan di sebagian wilayah Indonesia termasuk Banten. Berdasarkan kondisi demikian, pemeliharaan kerbau kedepan harus diarahkan pada produksi daging dan susu
sebagai bahan dasar perbaikan gizi masyarakat. Pertambahan bobot hidup kerbau lebih lambat dibanding sapi karena terbatasnya kemampuan untuk merubah kelebihan energi menjadi jaringan lemak. Sebagai tindak lanjut dari revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), salah satu program pokok dari revitalisasi peternakan adalah Program Swasembada Daging atau kecukupan daging sapi 2010, yang diartikan sebagai penyediaan pasokan kebutuhan daging dalam negeri sebesar 90 – 95% dari total kebutuhan. Kegiatan utama program swasembada daging adalah : peningkatan produktivitas melalui inseminasi buatan, peningkatan populasi, reproduksi sapi potong, penyediaan biaya berbunga rendah dan penyediaan fasilitas bidang peternakan sapi potong. Oleh karenan itu, masalah yang perlu dibenahi dalam bidang peternakan meliputi bidang teknis, konsumsi, pendapatan peternak, infrastruktur kelembagaan, pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan kecukupan daging 2010, pemerintah telah menetapkan pembangunan aspek pembenihan dan perbibitan sebagai salah satu kegiatan prioritas. Di bidang peternakan, sasaran program aksi perbibitan
169
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
adalah berkembangnya kelompok perbibitan ternak yang meliputi sapi potong 38 kelompok, sapi perah 4 kelompok, kerbau 5 kelompok, kambing dan domba 22 kelompok, babi 10 kelompok serta itik dan ayam lokal 23 kelompok, sehingga terbentuk pusat perbibitan pedesaan (village breeding center). Program perbibitan tersebut diharapkan dapat meningkatkan mutu, produktivitas dan reproduktivitas ternak melalui pemurnian (perkawinan sebangsa) dan persilangan (perkawinan dengan bangsa lain). Berdasarkan sensus pertanian, jumlah rumah tangga peternak pada tahun 1993 sebanyak 4,4 juta dan pada tahun 2003 sebanyak 7,05 juta.
STATUS PETERNAKAN KERBAU Penyebaran populasi Populasi kerbau di Provinsi Banten terus menurun. Disamping pemotongan dan tingkat kelahiran yang rendah, penurunan populasi kerbau juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi dan peranan dalam sistem usahatani serta berkurangnya lahan garapan petani dan lahan pengembalaan (sumber pakan). Disamping itu ada kemungkinan bahwa memelihara kerbau kurang menguntungkan, sehingga petani kurang bergairah untuk memelihara dalam jumlah banyak.
Tabel 1. Populasi ternak kerbau dan ternak lainnya di Provinsi Banten Daerah
Tahun
Kerbau
Sapi
Kuda
Kambing
Domba
Kabupaten Lebak
2005 2006
52.028 53.047
3.869 3.945
10 10
186.148 189.793
158.230 161.328
Kabupaten Pandeglang
2005 2006
41.992 47.631
374 467
62 43
167.868 242.116
143.502 149.070
Kabupaten Serang
2005 2006
27.727 26.951
4.079 4.348
34 33
165.525 185.388
102.406 117.767
Kabupaten Tangerang
2005 2006
12.671 18.156
10.068 1.136.610
33 53
31.213 44.373
29.705 37.559
Kota Cilegon
2005 2006
578 578
147 147
18 18
10.533 10.533
3.606 3.606
Kota Tangerang
2005 2006 2005 2006
37 90 135.033 146.453
301 236 18.838 1.145.753
12 12 169 169
6.236 9.050 567.550 681.253
6.257 6.477 443.706 475.807
Jumlah
Sumber: DINAS PERTANIAN dan PETERNAKAN PROVINSI BANTEN (2006)
Ternak kerbau di Provinsi Banten tersebar luas tetapi tidak merata. Populasi terbanyak terdapat di Kabupaten Lebak dan selanjutnya di Kabupaten Pandeglang, Serang, Tangerang serta Kota Cilegon dan Tangerang (Tabel 1). Kerbau berkembang pada berbagai ekosistem, baik di daerah dataran rendah maupun pegunungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya adaptasi ternak kerbau pada berbagai kondisi agroekosistem cukup baik.
180 176
Reproduksi Pada pemeliharaan sederhana, umur melahirkan pertama pada kerbau adalah 33 – 48 bulan dan pada kondisi terkontrol (penelitian) adalah 24 – 36 bulan, sedangkan jarak beranak pada kondisi tersebut adalah 427 – 912 hari dan 370 – 450 hari (Chatalakhana, 1994). Jarak beranak panjang pada kerbau antara lain dapat disebabkan oleh deteksi birahi yang sulit, masa birahi pendek, nutrisi yang kurang baik, pejantan yang
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
kurang, status kerbau betina sebagai sumber tenaga kerja, kurangnya pengetahuan peternak dan pelaksanaan IB yang kurang sempurna. Pertumbuhan yang lambat menyebabkan dewasa kelamin dicapai lebih lama atau saat kerbau mulai birahi berat badannya belum optimal untuk dapat berproduksi dengan baik. Menurut survei ternak nasional tahun 1990, persentase kelahiran kerbau adalah 17,45% dengan tingkat kematian sebesar 4,14%. Rendahnya angka kelahiran dan tingginya angka kematian prasapih (4,94 – 21%) merupakan kendala dalam peningkatan populasi kerbau. Hasil observasi HARDJOPRANOTO (1982) menunjukkan bahwa dari 325 ekor populasi kerbau yang diamati, 35,39% dalam keadaan bunting dan 24 ekor betina mengalami kelainan alat kelamin (ovarium tidak aktif, uterus kecil, ovarium cystic, ovarium hipoplasia, corpus luteum persisten dan servik uteri). Fungsi dan peranan Pada masa lampau dan saat ini, ternak kerbau banyak digunakan sebagai tenaga kerja dalam pengolahan tanah dan sebagai alat angkutan. Dalam hal tenaga kerja, kerbau mampu mengolah tanah seluas 216 m2/jam (RUKMANA, 1979). Kehadiran traktor dan sapi peternakan Ongole (PO) menyebabkan fungsi kerbau semakin berkurang. Walaupun demikian, pemeliharaan kerbau pada beberapa daerah masih bertahan dan berkembang cukup baik. Selain penghasil daging, kerbau juga dijadikan ternak perah untuk diambil susunya. Menurut SIREGAR dan DIWYANTO (1996), pada daerah dengan padang pengembalan cukup luas seperti di Aceh, Sumut, NTB, NTT dan Kalsel, ada peternak yang memiliki kerbau sampai ratusan ekor. Karena padang pengembalan bersifat umum, maka terjadi perubahan cepat kearah kepemilikan yang lebih kecil. Hasil survei di Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan Lebak ) menunjukkan bahwa fungsi dan peranan kerbau adalah sebagai sumber tenaga, sumber pendapatan, tabungan keluarga, sumber pupuk dan status sosial (KUSNADI et al., 2005). Bagi petani yang memelihara kerbau pada lahan sawah dataran rendah, fungsi dan peranan kerbau paling dominan adalah sebagai sumber pendapatan, sedangkan pada lahan sawah dataran tinggi
sebagai sumber tenaga kerja. Fungsi dan peranan kerbau sebagai status sosial di kedua lokasi tersebut masih cukup melekat, karena petani pemilik termasuk orang yang terpandang dan mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitarnya. Pola usaha Pola usaha peternakan kerbau sebagian besar masih bertumpu pada skala kecil dan bahkan hanya sebagai aset atau usahatani campuran berbasis tanaman pangan. Walaupun demikian, beberapa peternak sudah mencoba sistem usaha penggemukan yaitu memeliharta kerbau beberapa bulan lalu dijual kembali atau dipotong untuk memenuhi kebutuhan daging. Selain hijauan rumput, peternak juga sudah memanfaatkan jerami padi sebagai pakan tambahan dan kotoran sebagai pupuk tanaman. Menurut SEMALI et al., 1995 dalam SIREGAR dan DIWYANTO (1996), rataan kepemilikan ternak kerbau di Jawa Barat dan Banten hanya 2,39 + 1,24 ekor (pemilikan tertinggi 6 ekor), sedangkan di Aceh 7 – 12 ekor (Desa Bueng dan Aweek). Dengan demikian, pola usaha yang mungkin dikembangkan adalah kearah pengelolaan bersama dalam bentuk kooperasi atau PIR. Kepemilikan ternak kerbau di Kabupaten Lebak berkisar antara 10-16 ekor dan di Kabupaten Pandeglang 4-8 ekor. Hasil analisa menunjukkan bahwa jumlah pemilikan kerbau berkorelasi positif dengan luas pemilikan lahan. Memelihara kerbau merupakan usaha sampingan dan mengurangi biaya tenaga kerja, sedangkan usaha pokok adalah padi sawah. Berdasarkan hasil analisa, rataan pendapatan petani/tahun di Kabupaten Lebak adalah Rp. 4.995.000,- dan di Kabupaten Pandeglang Rp. 2. 587.500,-. Dari total pendapatan tersebut, usaha ternak kerbau menyumbang Rp. 2.730.000,- (Lebak) dan Rp. 1.500.000,- (Pandeglang). SOEHADJI (1992) menyatakan, bahwa usahatani capuran (mixed farming) dengan ternak yang tingkat pendapatannya 30-70% tidak lagi merupakan usaha sambilan tetapi sudah mengarah ke semi komersial.
169
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Potensi daging Kemampuan kerbau menghasilkan daging dapat ditentukan dengan berbagai ukuran atau perbandingan yang diinginkan. Produksi daging berdasarkan kemampuan induk dapat dihitung berdasarkan bobot anak lahir persatuan waktu, sedangkan berdasarkan sumberdaya alam adalah menghitung jumlah biomassa untuk menghasilkan 1 kg daging. Selanjutnya potensi biologis diukur berdasarkan beberapa parameter antara lain:kemampuan reproduksi, kemampuan tumbuh, efisiensi penggunaan pakan dan mortalitas. Ukuran yang paling sederhana untuk melihat kinerja kerbau adalah persentase kelahiran dan anak sapih, pertambahan berat badan dari sapih sampai umur 1,5 tahun, berat potong, efisiensi penggunaan pakan dan persentase karkas. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, peternakan berperan penting dalam penyediaan pangan hewani yang memiliki asupan kecukupan protein tinggi seperti daging, susu dan telur. Pada tahun 2003, ketersediaan protein sebesar 76,4 g dengan konsumsi 55,37 g. Namun apabila dilihat dari komposisi jenis sumber protein, konsumsi terbesar masih berasal dari protein nabati yaitu 41,3 g, sedangkan protein hewani hanya 14,7 g. Komposisi yang ideal adalah 64% untuk protein nabati dan 36% untuk protein hewani. Menurut data Dewan Ketahanan Pangan Nasional, diantara kelompok masyarakat defisit energi juga terdapat defisit protein yang bersarnya 81, 5 juta jiwa pada tahun 2003. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah menetapkan sasaran konsumsi daging pada tahun 2009 sebesar 8,3 kg/kapita. Tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia masih sangat rendah (5,4 kg/kapita/ tahun) dibanding negara Asia lainnya. Konsumsi protein hewani yang berasal dari daging ayam adalah 4,7 kg/kapita/tahun, daging sapi 1,75 kg/kapita/tahun, telur 72 butir/kapita/ tahun dan susu 6,6 kg/kapita/tahun. Kondisi yang masih jauh dari ideal (masih rendah) merupakan peluang pangsa untuk mengembangkan usaha peternakan sebagai sumber penyediaan protein hewani masih sangat terbuka dan prospektif. Dilihat dari trend perkembangan produksi daging selama periode 2001-2005 (Tabel 2)
182 176
maka terlihat perkembangan secara keseluruhan sebesar 12,90%, dimana perkembangan terbesar adalah itik dan sapi. Produksi daging dari ternak ruminansia paling tinggi disumbang oleh sapi dengan pertumbuhan 25,46% dan kerbau hanya 0,27%, sedangkan kambing dan domba terjadi penurunan. Permintaan daging sapi terus meningkat dan tidak seimbang dengan produksi. Hal tersebut terlihat dari neraca ekspor-impor komoditi peternakan, dimana peningkatan import terbesar berasal dari ternak sapi. Oleh karena itu, daya substitusi antara daging sapi dan daging lainnya adalah daging kerbau. Peluang tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan faktor produksi dan managemen, perubahan tringkat pemotongan serta meningkatkan produktivitasnya. Pada masa mendatang, kerbau diharapkan berfungsi sebagai ternak penghasil daging dan susu. Daging kerbau memiliki kadar lemak rendah dibanding jenis daging lainnya (Tabel 3). Keunggulan lain dari kerbau adalah kemampuannya sebagai penghasil susu berlemak tinggi dan responnya pada pakan berkualitas rendah (berkadar serat kasar tinggi) lebih baik dari pada sapi. Protein hewani mampu membuat pertumbuhan sel-sel organ tubuh dengan baik, membentuk otak manusia dan sel darah merah lebih kuat sehingga tidak mudah pecah. Anak-anak mendapat cukup protein hewani semasa dalam kandungan akan lahir menjadi generasi yang tangguh, cerdas, sehat dan produktif. Asupan protein hewani sudah dianjurkan sejak masih janin hingga paling sedikit umur 2 tahun. KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI Pada saat ini dan dimasa datang, tantangan dibidang peternakan adalah menciptakan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas dan mutu produk peternakan yang meliputi teknologi pembibitan, teknologi budidaya dan teknologi pascapanen. Untuk menghasilkan paket teknologi yang lengkap dan dapat diterapkan secara luas diperlukan suatu kegiatan perakitan teknologi secara sistematik. Perakitan teknologi diarahkan untuk memacu
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
penerapan teknologi sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Oleh sebab itu, pengembangan agribisnis peternakan kerbau
harus didukung teknologi perbibitan, teknologi produksi, teknologi pakan, teknologi veteriner dan teknologi pascapanen.
Tabel 2. Produksi daging di Indonesia (dalam metrik ton) Jenis daging Sapi Kerbau Kambing Domba Babi Kuda Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik Jumlah
2001 338,68 43,65 48,70 44,77 160,15 1,09 275,14 88,30 536,95 23,12 1.560,60
2002 330,29 42,30 58,71 68,71 164,49 1,06 288,40 42,77 751,93 21,78 1.769,84
2003 369,71 40,64 63,86 80,64 177,09 1,60 298,52 38,15 771,12 21,25 1.871,40
2004 447,57 40,24 57,13 66,06 194,68 1,57 296,42 48,38 846,10 22,21 2.020,36
2005 463,82 40,75 58,86 66,49 198,15 1,67 309,96 51,71 883,37 38,67 2.112,90
Pertumbuhan (%) 25,46 0,27 - 7,83 - 17,54 11,89 4,19 3,83 6,27 14,56 81,96 12,90
Sumber: DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN dalam TROBOS 2006
Tabel 3. Kandungan nutrisi beberapa jenis daging (%) Jenis daging Daging sapi Daging kerbau Daging kambing Daging domba Daging ayam Daging itik
Kalori 207 85 164 206 302 326
Protein 18,8 18,7 16,6 17,1 18,2 16,6
Lemak 14,0 0,5 9,2 14,8 25,0 28,6
Sumber: KARYADI dan MUHILAL (1992)
Teknologi perbibitan Pada kondisi riil yang ada saat ini ternyata usaha pembibitan peternakan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan antara lain beluim tercukupinya kebutuhan bibit ternak, baik kuantitas maupun kualitas. Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui program aksi perbibitan berupaya meningkatkan kinerja sekaligus menstimuler kelompok peternak pembibit potensial untuk lebih meningkatkan partisipasinya. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan kerbau potong untuk menghasilkan daging maka diperlukan bibit yang tepat dan teknologi reproduksi. Kualitas kerbau bisa ditingkatkan melalui seleksi induk, perkawinan alami dan inseminasi buatan. Pemilihan kualitas donor dan sperma pejantan unggul akan memberikan
kualitas anak yang memiliki sifat-sifat unggul, baik dari induk betina maupun pejantannya. Teknologi pakan Pakan merupakan faktor utama dalam menentukan produktivitas ternak, disamping potensi genetik dan lingkungan. Kebutuhan zat gizi disesuaikan dengan status fisiologis ternak serta tingkat produksi yang diharapkan. Pertumbuhan berat badan akan lebih tinggi dan maksimal bila pakan yang diberikan merupakan kombinasi antara hijauan dan konsentrat. Pemilihan hijauan pakan dan konsentrat dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan, mudah dan murah untuk memperolehnya, dengan syarat sesuai kebutuhan dasar zat gizi ternak yang dipelihara. Pemberian hijauan pakan berkualitas rendah (al. Jerami padi, pucuk tebu,
169
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
daun jagung, daun ubi kayu) berkisar 40- 45% dan hijauan pakan berkualiatas sedang sampai tinggi (al. Rumput raja, rumput gajah, lamtorogung, daun gamal, glirisidae) adalah 55-60%, sedangkan sisanya berupa konsentrat. Konsentrat dibuat dari berbagai bahan yaitu dedak padi, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung tulang, onggok jagung, garam dapur dan premix. HENDRATNO et al. (1981) melaporkan, pemberian bungkil kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau jantan umur 2,5-3,0 tahun (bobot 170-225 kg) memberikan pertumbuhan sebesar 0,75 kg/ ekor/hari, sedangkan pemberian dedak 1, 2 dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertumbuhan sebesar 0,21 kg/ekor/hari; 0,70 kg/ekor/hari dan 0,78 kg/ekor/hari. Teknologi produksi Seperti halnya ternak sapi, hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan usaha ternak kerbau adalah manajemen pemeliharaan yang sesuai dengan kondisi lokasi pengembangan. Dengan metode LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau sistem integrasi tanaman ternak (SIPT), dimana potensi sumberdaya pakan yang baik dan murah direkayasa dan dimanfaatkan secara optimal. Misalnya integrasi sawit dengan ternak sapi, integrasi padi dengan ternak sapi atau ternak lainnya dengan perkebunan coklat dan kopi. Model tersebut dapat diaplikasikan untuk ternak kerbau. Percontohan sistem integrasi padi ternak (SIPT) cukup direspon petani karena dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi serta pendapatan petani. Selain itu, kotoran ternak yang sudah diolah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada tanaman padi atau tanaman lainnya. Di Bengkulu, sapi dipelihara diperkebuan sawit (SISKA), dimana pakan rumput diganti dengan pelepah daun yang dicincang, sedangkan pengganti konsentrat menggunakan lumpur sawit dan bungkil inti sawit yang difermentasi (Ferlawit) hingga kandungan proteinnya mencapai 24%. Pertumbuhan bobot sapi cukup baik (0,582 kg/ekor/hari) dengan konversi pakan 7,04 dibanding pakan komersial (pertambahan
184 176
bobot 0,354 kg/ekor/hari dan konversi pakan 11,36). Selanjutnya integrasi ternak domba dengan perkebunan karet yang memanfaatkan hijauan sebagai sumber pakan dengan waktu pengembalaan 6-8 jam/hari menghasilkan laju pertumbuhan sebesar 30-40 g/hari (DAUD dan YUSUF, 1983). BRATFORD dan BERGER (1990) memprediksi bahwa populasi ternak domba yang dipelihara diperkebunan akan berlipat ganda dalam waktu 2-4 tahun atau meningkat 10 kali lipat dalam waktu 6-17 tahun. Pengendalian penyakit Penyakit kerbau secara umum disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. Untuk mengatasi penyakit akibat virus dapat dilakukan melalui vaksinasi, penyakit bakteri dengan antibiotik dan penyakit parasit dengan pemberantasan parasit. Salah satu teknologi Balitvet untuk pengendalian penyakit Enterotoksemia pada sapi dan kerbau adalah dengan Closvak Multi (merupakan vaksin in-aktif). Vaksinasi pertama dilakukan pada pedet umur 3-5 bulan, vaksinasi kedua sebulan kemudian, dan selanjutnya diulangi setiap 12 bulan. Teknologi pascapanen Penanganan ternak sebelum dipotong perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi warna daging (ternak diistirahatkan dan dipuasakan selama 12 jam dengan pemberian air minum secara berlebihan). Dalam rangka mempertahankan mutu dan memperpanjang daya simpan daging dapat digunakan larutan asam (TRIYANTINI dan SIRAIT, 1998). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa daging yang disimpan pada suhu kamar mengalami pembusukan pada jam ke-25 dan pembusukan sempurna pada jam ke-37. Penyimpanan pada suhu 0-80C menyebabkan terjadinya pembusukan pada hari ke-22. dan melalui prosses pembekuan ternyata daging masih tetap segar pada hari ke-30. Teknologi biogas Kotoran ternak berupa feses dan urin dapat diolah menjadi biogas dan pupuk organik.
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Biogas adalah energi alternatif hasil proses dekomposisi bahan organik secara anaerob oleh mikroorganisme terutama bekteri metan (ANONIMUS, 2006). Gas yang hasilkan diantaranya adalah metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Efisensi penggunaan biogas mencapai 30-40%, lebih tinggi dibandingkan dengan kayu bakar (20-30%). Berdasarkan hasil penelitian, satu ekor sapi atau kerbau berbobot 454 kg dapat memproduksi feses dan urin sebanyak 30 kg/hari, sedangkan setiap 1 kg feses dapat menghasilkan biogas sebanyak 60 liter. Proses dekomposisi hingga diperoleh gas berlangsung dalam wadah pencerna (digester) dengan kedalam 2 m dan diameter 3 m. Digester dihubungkan dengan lubang pemasukan limbah dan tempat penampungan limbah hasil sampingan (sludge). DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2002. Statistik Peternakan Tahun 2002. Ditjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian. ANONIMUS, 2006. Biogas, Teknologi Zero Waste. Majalah Trobos No. 82 Juli 2006 : 48 – 49. BRADFORD, G.E. dan Y.M. BERGER. 1990. Breeding Strategies for Small Ruminants in Arid and Aemi Arid Areas. In E.F. THOMSON and F.S THOMSON (Eds). Increasing Small Ruminants Productivity in Semi Arid Ares. Elsevier. 95109. CHATALAKHANA, C. 1994. Swamp Buffalo Development in the Past Three Decades and Sustainable Production Beyond 2000. Long Them Improvement of the Buffalo Proceeding of the Fors ABA Congress BPRADEC. Bangkok. DAUD, M.J. dan M.K.M. YUSUF. 1983. Supplementation with selected feedstuffs for sheep grazing under rubber plantations. Proceedings of the 7th Annual Converence of Malaysian : 199 – 205.
HARDJOPRANOTO, S. 1982. Kasus-kasus Infertilitas pada Kerbau Lumpur di Jawa Timur. Proc. Seminar Penelitian Peternakan, PuslitbangnakBogor. HENDRATNO, L., SUKARYONO, Z. ABIDIN, R. BAHARUDDIN dan J.M. OBST. 1981. Penggunaan Dedak Dibandingkan dengan Bungkil Kedelai sebagai Konsentrat pada Kerbau yang Diberi Makan Rumput Lapangan. Proc. Seminar Penelitian Peternakan, Puslitbangnak-Bogor : 156 – 160. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.6. SIANTURI dan E. TRIWULANNINGSIH. 2005. Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem Usahatani di Provinsi Banten. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan : 316 – 322. MUHAMMAD, Z. DAN D.A. KUSUMANINGRUM. 2005. Penampilan Produksi Ternak Kerbau Lumpur (Bubalus bubalus) di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Proceeding Seminar, Pusltbang Peternakan : 310 – 315. RUKMANA, M. P. 1979. Microhaematocrit Method as a New Technology in Diagnosing Surra and its Relevancy to Livestock Socio-Economics. PhD Thesis, Padjajaran University Bandung. SINURAT, A.P. 2006. Teknologi Pengolahan Limbah Pabrik Sawit menjadi Pakan Ternak. Makalah Seminar Indo Livestock di Jakarta Convention Center, 13 Juli 2006 : 7 Hal. SIREGAR, A.R. dan K. DIWYANTO. 1996. Ternak Kerbau Sumberdaya Ternak Lokal sebagai Penghasil Daging (Review). Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian :371 – 384. SOEHADJI. 1992. Usaha Peternakan Sekarang dan Dimasa Depan. Proceeding Agro-Industri Peternakan di Pedesaan, Puslitbang Peternakan. TRIYANTINI dan C.H. SIRAIT. 1988. Larutan Asam untuk Memperpanjang Masa Simpan Daging Sapi, Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia, Bogor 8-10 Nevember 1988 : 246-251.
169