Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PROFIL USAHATANI KERBAU DI PROPINSI BANTEN (The Profile of Buffalo Rearing System in Banten Province) E. JUARINI, I. HERDIAWAN, I G.M. BUDIARSANA dan U. KUSNADI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT In term of buffalo, the province of Banten is one of the most populated area in Indonesia. The total population of buffalo in Banten province is about 100.000 heads. The animal has been used mainly for draught power, besides providing meat and fertilizer. Population of buffaloes decreased 2.72% per year occurred between year 2000 and 2005 mainly due to low productive and reproductive performance causing less profit from buffalo in farming system. The objective of this study was to identify the profile of farming system and to evaluate the production and reproduction performance of buffalo in different agro-ecosystems in Banten Province. The study was conducted in Lebak District and Pandeglang District represented low land and high land, respectively. A survey was conducted on 60 farmers in each agro-ecosystem and using 60 female and 30 male buffaloes aged more than 2 years old. Research showed that condition of farming system in each agro-ecosystem was still potential to develop more buffaloes; however, availability of land for supporting forage was limited. Most buffaloes were raised traditionally. In high land, buffalo farming system was integrated with food crops. Reproductive performance of buffaloes in high land was lower that that in low land. Production performance of buffaloes was better in low land than that of high land, with the body length, body height and width girth were 118.1 cm, 122.1 cm and 176.2 cm, respectively. Reprodutivity was higher in low land with fertility of 76%, maturity age of 3.5 years old, first calving of 4.1 years old, calving interval of 21 months. The profit from bull fattening per head for 90 days was Rp. 1,084,500. This condition indicated that development of buffalo agribusiness in Banten Province can be considered improving. Key Words: Buffalo, Farming System, Production, Banten ABSTRAK Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki populasi kerbau terbanyak (lebih dari 100.000 ekor), di Indonesia selain sebagai sumber tenaga kerja kerbau berperan dalam penyediaan daging di Indonesia (3,18%). Populasi kerbau di Provinsi Banten tahun 2000 – 2005 mengalami penurunan 2,72% per tahun. Penurunan ini diduga karena produktivitas dan reproduktivitas kerbau rendah sehingga tidak menguntungkan bagi petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil usahatani, tingkat produktivitas dan reproduktivitas serta keuntungan usaha kerbau di Provinsi Banten penelitian dilakukan di dataran nrendah Kabupaten Lebak dan dataran tinggi Kabupaten Pandeglang. Penelitian dilakukan dengan metode survei melalui wawancara langsung terhadap 60 orang petani dan pengukuran langsung terhadap 60 ekor kerbau induk dan 30 ekor jantan umur kurang lebih 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi petani cukup potensial untuk pengembangan kerbau, namun ketersediaan lahan sebagai sumber pakan terbatas. Usahatani kerbau dilakukan secara tradisional. Untuk dataran tinggi usahatani kerbau lebih terintegrasi dengan tanaman. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran rendah lebih baik dari pada kerbau di dataran tinggi yaitu panjang badan 118,1, tinggi pundak 122,1 dan lingkar dada 176,2 dibandingkan dengan kerbau di dataran tinggi. Begitu juga angka produktivitas reproduktivitas kerbau di dataran rendah lebih baik yaitu fertilitas 76%, umur dewasa kelamin 3,5 tahun, umur beranak pertama 4,1 tahun calving interval 21 bulan. Usaha penggemukan atau pembesaran kerbau cukup memberi keuntungan yaitu Rp. 1.084.500/ekor/90 hari. Dari kondisi ini sebenarnya pengembangan kerbau di Provinsi Banten cukup menjanjikan bagi pengusaha di Provinsi Banten. Kata Kunci: Kerbau, Usahatani, Produktivitas, Banten
353
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Ternak kerbau mempunyai potensi sebagai sumber tenaga kerja. Selain itu kerbau termasuk ternak ruminansia besar yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan daging di Indonesia, sebagai sumber protein hewani, penghasil susu dan pupuk, yang sangat perlu dilestarikan dan dikembangkan secara optimal. Populasi kerbau masih rendah yaitu 2.572.169 ekor jika dibandingkan dengan ternak sapi 10.726.347 ekor. Di lain pihak bahwa di beberapa wilayah yang sumber daya alamnya mendukung cukup potensial untuk pengembangan ternak kerbau seperti kerbau kalang di Kalimantan Selatan, kerbau belang di Toraja (Sulawesi Selatan), kerbau murah di Asahan dan kerbau Lumpur di Banten, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Tengah serta beberapa daerah lainnya di Indonesia. Pada umumnya kerbau dipelihara petani dalam skala pemilikan yang kecil, dengan tujuan utamanya untuk dimanfaatkan tenaganya dalam mengolah lahan sawah dan dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging (WIRYOSUHANTO 1980 dan KUSNADI et al., 2005). Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 1994 mencapai 2.684.239 ekor. Namun dalam dekade 10 tahun terakhir menurun secara signifikan, hingga mencapai angka 2.572.169 ekor pada tahun 2005 (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Penurunan ini terjadi hampir di setiap propinsi, termasuk di propinsi Banten. Propinsi Banten, termasuk sepuluh propinsi yang memiliki populasi kerbau lebih dari 100.000 ekor (terbanyak) di Indonesia, (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Pada tahun 1994 populasi kerbau di Propinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing adalah 172.382 ekor, 176.254 ekor dan 145.176 ekor. Namun pada tahun 2004 tercatat hanya 163.834 ekor di Banten, 170.203 ekor di Jawa Barat dan 144.481 di Jawa Tengah (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2005). Ini berarti di ketiga propinsi tersebut terjadi penurunan populasi rata-rata 0,32% per tahun. Menurut WIRYOSUHANTO (1980) populasi kerbau di Indonesia menurun sejak tahun 1925 dengan laju penurunan yang makin besar. Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa penanganan khusus tidak mustahil kerbau di Indonesia akan
354
terkuras terutama yang memiliki bibit yang unggul, sehingga untuk pengembangan selanjutnya akan lebih sulit lagi. Oleh karena itu perlu ada usaha-usaha dari berbagai aspek keilmuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendorong berkembangnya ternak kerbau di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan populasi kerbau di Indonesia diantaranya adalah peran kerbau dalam meningkatkan pendapatan petani relatip rendah. Menurut data BPS yang dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan 2005, keuntungan memelihara ternak kerbau adalah Rp. 204 ribu/ekor/tahun. Minimnya keuntungan dalam memelihara kerbau, menyebabkan petani kurang bergairah untuk mengembangkan usaha ternak kerbau (KUSNADI et al., 2005). Disamping itu terganggunya lingkungan hidup kerbau dalam suatu agroekosistem, seperti berkurangnya lahan baik sebagai lahan garapan petani maupun lahan sebagai sumber pakan menyebabkan kerbau sulit berkembang. Menurut TRIWULANINGSIH (2005) sistem pemeliharaan tradisional menyebabkan terjadi perkawinan sedarah (in breeding) sehingga kualitas bibit kerbau menurun yang berakibat pada perkembangan populasi yang lambat. Atas dasar pemikiran tersebut dilakukan penelitian ini dengan tujuan ingin mengetahui kelayakan usaha ternak kerbau pada sistem pemeliharaan yang berbeda baik secara ekonomis, teknis maupun sosial di beberapa agroekosistem. Kelayakan usaha baik secara ekonomis, teknis mapun sosial merupakan jaminan untuk berkembangnya usaha kerbau di suatu wilayah. MATERI DAN METODE Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Banten Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang (dataran tinggi) dan Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Lebak (dataran rendah). Pemilihan lokasi untuk setiap Kabupaten berdasarkan pada: 1. Merupakan wilayah pengembangan ternak kerbau sesuai dengan program pemerintah daerah setempat (dipilih satu Kecamatan terpadat ternak kerbau). 2. Lokasi yang memiliki agroekosistem dan sistem pemeliharaan yang berbeda.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
3. Lokasi yang memiliki prospek pengembangan kerbau ditinjau dari ketersediaan lahan dan sarana prasarana wilayah.
Analisa peluang usaha dilakukan dengan indikator kelayakan teknis dan ekonomis proyek (GRAY etal., 1996).
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei yang dilanjutkan dengan farm record keeping (MANWAN et al., 1996; KUSNADI et al., 1993) terhadap petani terpilih (20 orang petani) untuk memperoleh data dinamika usaha kerbau (teknis, ekonomis dan sosial) pada sistem pemeliharaan, status kepemilikan (milik sendiri, gaduhan dan kredit) dan agroekosistem yang berbeda. Petani terpilih yang menjadi kooperator diharapkan yang memiliki skala usaha lebih dari 10 ekor induk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang dikumpulkan Data primer mencakup aspek teknis, sosial dan ekonomis meliputi potensi dan kendala, sistem perkandangan, tatalaksana pemberian pakan, reproduksi, pembibitan, penggemukan, pengendalian penyakit, pemasaran, inputoutput yang berkaitan dengan sistem usaha ternak kerbau. Data sekunder diperoleh dari dinas yang terkait berupa sumberdaya fisik meliputi prasarana dan sarana produksi, sistem kelembagaan, harga dan pemasaran serta daya dukung lahan.
Identitas peternak kerbau Pada umumnya peternak di kedua lokasi penelitian (dataran tinggi dan dataran rendah) memelihara kerbau merupakan pekerjaan sambilan artinya beternak kerbau bukan merupakan usaha pokok, disamping pekerjaan utama mereka sebagai petani gurem dengan rataan pemilikan lahan antara 0,34 ha petani didataran tinggi dan 0,7 ha didataran rendah. Rata-rata usia petani di kedua lokasi tidak jauh berbeda dengan pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Sementara pengalaman beternak jauh berbeda dimana petani di dataran tinggi rata-rata mempunyai pengalaman beternak 15 tahun sementara petani di dataran rendah hanya 6 tahun, hal ini seiring dengan status pemilikan dimana sekitar 90% petani di dataran tinggi memiliki sendiri ternak mereka dibanding 60% petani didataran rendah yang memiliki kerbau mereka sendiri meskipun begitu rata-rata pemeliharaan ternak di dataran rendah lebih tinggi yaitu 6,3 dibandingkan dengan di dataran tinggi (Tabel 1). Dengan perkataan lain Tabel 1. Identitas peternak kerbau
Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara berstruktur (instrument questionaire), diskusi kelompok fokus (focus group discussion) terhadap petani peternak, petugas dinas terkait serta kelompok petani melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Data yang diperoleh dianalisis. Bila hasil analisis mengindikasikan perlunya pengumpulan data yang lebih mendalam, maka dilakukan kunjungan dan diskusi lain dengan pihak-pihak yang terkait, baik dilokasi awal maupun lokasi lain, untuk memperoleh gambaran data yang lebih lengkap.
Dataran rendah (Kab. Lebak)
Dataran tinggi (Kab. Pandeglang)
Rata-rata umur petani (tahun)
36
42
Pengalaman beternak (tahun)
6
15
Pendidikan
SD
SD
Rata-rata pemilikan lahan (ha)
0,7
0,34
Uraian
Pekerjaan utama Pekerjaan tambahan Pemilikan kerbau (ekor)
Analisa data Data diolah secara parsial sesuai dengan status kepemilikan dalam satu siklus produksi.
Bertani
Bertani
Beternak kerbau
Beternak kerbau
6
3
Status pemilikan Milik sendiri (%)
60
90
Gaduhan (%)
40
10
355
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Dapat dikatakan bahwa ditinjau dari umur, pengalaman dan pendidikan petani, kondisi petani cukup potensial untuk pengembangan usaha. Sementara itu kalau ditinjau dari pemilikan lahan dibandingkan dengan pemilikan kerbau tidak akan mencukupi kebutuhan pakan, sehingga petani mengandalkan pakan dari luar usahatani. Sementara itu, hasil pengamatan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan
kerbau juga berbeda diantara kedua lokasi penelitian, semua petani didataran rendah memelihara kerbau mereka secara ekstensif dan 50% dari mereka tidak mempunyai kandang, 50% selebihnya mempunyai kandang yang sangat sederhana. Sementara itu, petani di dataran tinggi memelihara kerbau mereka secara semi intensif dimana kerbau dikandangkan pada malam hari (Tabel 2).
Tabel 2. Profil usahatani kerbau Uraian
Dataran rendah
Dataran tinggi
Sistem pemeliharaan
Ektensif
Semi intensif
Kandang
- 50% Tidak ada - 50% kandang sederhana
- 100% ada kandang - Malam hari di kandangkan
Pakan
Cari sendiri di lapangan, sawah, - Cari sendiri di kebun, sawah, hutan bera, kebun kelapa dan lahan - Disediakan rumput lapangan dan rumput kosong kebun dalam kandang - Limbah pertanian (daun jagung dan daun ubi)
Pemanfaatan
Tidak dikerjakan
68% sebagai tenaga pengolah lahan
Tujuan usaha
- Penghasil anak -Tambahan pendapatan
- Penghasil anak - Produksi daging - Sumber tenaga kerja - Sumber pupuk - Tambahan pendapatan
Belum ada
Inseminasi buatan pada sebagian kecil
- Produksi daging
Adaptasi teknologi
Tabel 3. Rata-rata penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau Uraian
Dataran rendah
Dataran tinggi
Induk umur > 2 tahun (60 ekor) Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual (Rp/ekor)
30 ekor 118,1 ± 16,2 122,1 ± 9,6 176,2 ± 13,1 4.200.000
30 ekor 112,1 ± 14,7 120 ± 11,2 168,5 ± 9,3 4.000.000
Jantan umur > 2 tahun (30 ekor) Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual (Rp/ekor)
15 ekor 126,3 ± 12,4 124,9 ± 8,6 184,6 ± 13,2 5.600.000
15 ekor 116,1 ± 10,8 121 ± 11,4 173,3 ± 9,8 5.200.000
76 3,5 – 4,1 21 16 – 28
70 3,7 – 4,3 24 16 – 29
Ukuran tubuh (Cm)
Produktivitas dan reproduktivitas Fertilitas (%) Umur beranak pertama (tahun) Calving interval (bulan) Estrous cycle
356
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa sistem usahatani kerbau yang dilakukan petani baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi masih bersifat tradisional, dimana belum ada sentuhan teknologi. Namun hasil pengamatan menunjukkan, apabila dibandingkan antara kedua sistem pemeliharaan tersebut ternyata di dataran tinggi pemeliharaan kerbau lebih terintegrasi dengan usaha tanaman ditinjau dari penggunaan sebagai tenaga kerja dan sumber pupuk. Tabel 3 menunjukkan bahwa penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran tinggi lebih rendah dari dataran rendah, mungkin disebabkan karena di dataran tinggi kerbau digunakan sebagai tenaga kerja sehingga mempengaruhi pertumbuhan produksi dan reproduksi kerbau. Secara ekonomis kedua sistem pemeliharaan kerbau di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya pemeliharaan kerbau memberikan keuntungan cukup besar antara lain karena rendahnya biaya pemeliharaan yang mereka keluarkan sehingga prospek untuk pengembangannya cukup menarik sebagai usaha pokok (Tabel 4). Tabel 4. Gambaran usaha penggemukan/ pembesaran ternak kerbau di dataran tinggi Uraian
Dataran tinggi
Kerbau jantan umur 26 bulan Berat awal Harga beli PBHH
338 Kg Rp.14.500/kg 0,7 kg/ekor/hari
Lama pemeliharaan
90 hari
Berat Jual
401 kg
Biaya pakan/hari
Rp. 2.000
Harga jual
Rp. 15.500
Biaya transpor
Rp. 50.000
Biaya (Rp) Pembelian
4.901.000
Trasport
50.000
Biaya pemeliharaan
180.000
Jumlah
5.131.000
Penerimaan (Rp.) Penjualan ternak
6.215.500
Keuntungan (2 – 1)
1.084.500
KESIMPULAN 1. Ditinjau dari kondisi petani, pengembangan kerbau di Banten cukup potensial, namun ketersediaan lahan sebagai sumber pakan sangat terbatas. 2. Usahatani kerbau masih dilakukan secara tradisional. Untuk di dataran tinggi pemeliharaan kerbau lebih terintegrasi dengan usaha tanaman karena berperan sebagai sumber tenaga kerja maupun sumber pupuk. 3. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran tinggi kurang baik dibanding di dataran rendah diduga karena dipakai untuk tenaga kerja. 4. Gambaran usaha penggemukan/pembesaran kerbau selama 90 hari dapat memberikan keuntungan Rp. 1.084.500 sehingga cukup menarik untuk usaha pokok bagi petani. DAFTAR PUSTAKA DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Budidaya Ternak ruminansia (kerbau) di Indoneia. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Makalah Lokakarya Kerbau. 29 – 30 Nopember 2005. GRAY. C., L.K. SABUR. P. SIMANJUNTAK dan P.F.L. MASPAITELLA. 1996. Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia, Jakarta. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, RIASARI G.S. dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Propinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier. 17 – 18 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. KUSNADI, U., S. ISKANDAR and M. SABRANI. 1993. Research methodology for crop animal system in hilly areas of Indonesia crop animal interaction Proc. of an International Workshop. Held at Khon Kaen Thailand. MANWAN, I., dan MADE OKA A. 1996. Konsep penelitian dan pengembangan sistem usahatani. Makalah Seminar Usahatani Terpadu 2 Nopember 1995 Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. TRIWULANINGSIH, E. 2005. Breeding dan Reproduksi Ternak Kerbau di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. WIRYOSUHANTO.
1980. Peternakan Kerbau di Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
357