Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
KERBAU DAN MASYARAKAT BANTEN: PERSPEKTIF ETNO-HISTORIS (Buffalo and Banten People: An Ethnohistory Perspective) MOH. ALI FADILLAH Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Banten
ABSTRACT Buffalo is known to have more advantage compared to other ruminant like cattle or goat. At least there or two advantages. First, physically buffalo has high adaptability to the environment, therefore buffalo in Indonesia can be found every where from dry areas in Nusa Tenggara islands to the paddi field areas in Java; from swamp area in South Sulawesi, Kalimantan and northern beach area of Sumatra to mountainous Toraja North Tapanuli and Tengger. In Banten buffalo can be found along the coastal areas (Tangerang, Serang, Cilegon) and also at mountainous areas like Pandeglang, Lebak upto western coastal areas of Banten. Second, from economical aspect, riverine buffalo and swam buffalo have significant contribution in meat production and also their milk is consumed since long time ago. Buffalo milk product is known as dadih (North Sumatera), dadihah. Saga puan, gula puan (South and West Sumatera), danke (South Sulawesi), and susu goring (NTT) has became traditional food since long time ago. On the other hand to Banten people buffalo milk product is unknown, therefore buffalo has good opportunity to be developed in order to create food differences and to have contribution in beef self sufficiency program. Banten province is an ideal location to develop buffalo farming, since based on tradition, religion and belief norms there is no objection in consuming buffalo meat and milk and also to meet national food self sufficiency. Moreover for Banten people, buffalo has been part of the community since a long time ago as grought power or as source of local food. The main problem is why buffalo farming in Banten did not developed well, while on the other hand meat demand is high. If vission of buffalo farming will be developed into supporting meat self sufficiency, technological application will become a good alternative solusition, but the human resources should be changed toward betterment. This paper will discuss etnography aspects of Banten in regard to buffalo farming. In order to obtain comprehensive nkowladge buffalo historical aspect is needed to give general chronological point of view and Banten people attitude toward buffalo. Key Words: Buffalo, Ethnohystory, People, Banten ABSTRAK Dalam khazanah kepustakaan, kerbau dikenal memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan ternak ruminan lain seperti sapi dan kambing. Kekhususan hewan ini dapat dilihat dari banyak aspek. Namun sekurang - kurangnya ada dua faktor yang mendasari keunggulan kerbau. Pertama, dari segi fisik kerbau mempunyai daya adaptasi alam yang tinggi (jarang terkena penyakit dan tingkat kematian rendah). Kualitas itu dapat pula dilihat dari luas sebarannya di Indonesia, dari daerah beriklim kering di kepulauan Nusa Tenggara, daerah persawahan subur di Jawa, daerah rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan pantai utara Sumatera sampai ke daerah pegunungan Toraja, Tapanuli Utara dan Tengger. Demikian pula di Provinsi Banten, sepanjang pesisir utara dari Tangerang, Serang sampai ke Cilegon, ternak kerbau masih dominan. Juga di daerah pegunungan selatan antara Pandeglang, Lebak sampai ke pesisir barat dan selatan Banten, penduduk masih setia memelihara dan memperkerjakan kerbau di sawah mereka Kedua, dari segi ekonomi. Dari dua bangsa kerbau di Indonesia: kerbau sungai (riverine buffalo) dan kerbau lumpur(swam buffalo), kecuali penghasil daging yang banyak disukai masyarakat, susu kerbau pun telah lama dikonsumsi orang. Olahan susu kerbau seperti dadih (Sumatera Utara), dadihah. saga puan, gula puan (Sumatera Salatan dan Barat), danke (Sulawesi Selatan), dan susu goreng (NTT) telah menunjukkan suatu tradisi yang berakar kuat pada suku-suku di Indonesia. Kecuali di daerah Banten, masyarakat masih asing dengan susu kerbau. Maka daging dan susu kerbau, dengan argumentasi di atas, sangat potensial untuk diproduksi dan akan berkontribusi terhadap diversitas pangan, baik untuk konsumen Banten maupun daerah lainnya di Indonesai. Potensi itu sangat mungkin dikembangkan di Provinsi Banten, karena dari segi nilai, norma, tradisi dan agama atau kepercayaan, tidak ada larangan untuk beternak dan mengkonsumsi daging dan susu kerbau.
23
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Dengan demikian pengembangan usaha peternakan kerbau merupakan solusi alternative dalam rangka swasembada pangan nasional. Dan masyarakat Banten, secara turun temurun memiliki preferensi khusus pada hewan kerbau, baik sebagai “hewan pekerja” maupun bahan pangan berbasis sumberdaya lokal. Masalahnya adalah mengapa peternak kerbau di Banten belum berkembang secara intensif, sementara kebutuhan akan daging sapi juga belum tercukupi. Jika visi peternakan kerbau akan diarahkan pada peningkatan swasembada daging, aplikasi teknologi memang menjadi solusi alternatif, namun fondasi awalnya harus dimulai dari perubahan mentalitas pada pola pikir, gagasan, dan tindak manusia dalam tatanan masyarakat dan lingkungan budaya yang dikehendaki. Oleh karena itu, makalah ini akan mengupas persoalan mendasar berkenaan dengan aspek-aspek etnografi Banten dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerbau. Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, aspek-aspek historisitas kerbau diperlukan untuk memberikan gambaran kronologis tentang pandangan dan perilaku masyarakat Banten terhadap kerbau. Kata Kunci: Kerbau, Budaya, Masyarakat, Banten
PENDAHULUAN Kerbau merupakan salah satu hewan terpenting dalam kebudayaan Nusantara, karena memainkan banyak peran dalam kehidupan masyarakat sejak masa nirleka hingga sekarang Dalam berbagai penelitian arkeologi di Indonesia pernah ditemukan beberapa fosil fragmen kerangka kerbau. Misalnya berupa gigi, fragmen tulang iga dan tulang kaki kerbau bersama fosil hewan lain terasosiasi dengan kapak batu dan fragmen tengkorak manusia di situs prasejarah Patiayam, Kudus dan Blora tepian Bengawan Solo, Jawa Tengah (1979 dan 2007) Fragmen tulang kerbau purba (Bubalus Paleokarabau) itu diperkirakan berasal dari umur geologi antara 700.000 hingga 1 juta tahun yang lalu. Jejak kerangka hewan bernama latin Bubalus bubalis ini ternyata ditemukan pula di Pulau Sumatera. Situs-situs yang mengandung temuan tulang kerbau antara lain Gua Togindrawa, Nias dan Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamlang. Fragmen tulang kerbau yang ditemukan terasosiasi dengan alat bantu dari fase mesolitikum tersebut menunjukkan adanya jejak awal domestikasi kerbau dan pola makan manusia prasejarah, di mana kerbau merupakan salah satu hewan yang dikonsumsi manusia. Pada periode lebih muda, tulang kerbau masih ditemukan, terutama di situs berciri budaya megalitik yang terkonsentrasi pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan temuan dari situs Telagamukmin, Lampung Utara terasosiasi dengan dolmen (sejenis meja batu) dan pada penggalian arkeologi di daerah Wonogiri ditemukan tulang kerbau terletak dibawah menhir (batu besar) (SUKENDAR, 1990: 215). Beberapa relik kerbau yang dipahat baik
24
berbentuk patung, relief maupun lukisan di berbagai kompleks megalitik di Sumatera Selatan menjelaskan asosiasi kuat kerbau dan manusia, yang pada umumnya ditafsirkan bahwa kerbau merupakan salah satu binatang suci terkait dengan konsepsi pemujaan nenek moyang (SOEJONO, 1992: 216) Tipe “pemujaan” kerbau dari tradisi megalitik tersebut rupanya berkelanjutan sampai periode Hindu – Budha, sebagaimana buktinya ditemukan berupa arca kepala dan pahatan kepala kerbau pada sarkofagus (kubur batu) di situs Munduk Tumpeng, Bali yang dikaitkan dengan lambang kesuburan dan kendaraan arwah (AZIZ, 1999: 3). Sementara itu, di daerah Banten pernah ditemukan fragmen tulang kerbau dalam penggalian arkeologis di situs Banten Girang terasosiasi dengan pecahan keramik china dari periode Dinasti Tang, Song dan Yuan (abad IX – XIII Masehi) (GUILLOT et al., 1994). Sejak abad X sampai dengan akhir abad XV, situs Banten Girang pernah memainkan peran sebagai ibukota kerajaan bercorak Hindu yang dipusatkan di bagian hulu sungai Cibanten sebelum berdirinya kesultanan Banten pada awal abad XV) di muara Cibanten. Temuan tulang kerbau membuktikan pentingnya keberadaan kerbau dalam kehidupan masyarakat Banten sedini abad IX Masehi. Maka setengah berseloroh, ketika ditanya “mengapa orang Banten lebih menyukai daging kerbau daripada sapi, GUILLOT, seorang arkeolog Perancis yang memimpin ekskavasi di situs Banten GIRANG (1991), mengatakan, Mungkin karena dahulu orang Banten penganut Hindu, yang meyakini sapi (lembu) sebagai kendaraan dewa Siwa yang disebut Nandi, maka sampai sekarang mereka lebih suka makan daging kerbau’. Dan kita mengetahui, di pelabuhan Karangantu, muara
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Cibanten pernah ditemukan patung lembu Nandi, yang sekarang disimpan di Museum Banten Lama”. Persepsi masyarakat tentang kerbau Secara arkeologis telah terbukti bahwa hubungan manusia dan kerbau di Indonesia sudah berlangsung sejak masa prasejarah hingga periode Hindu-Buddha. Namun tapak pertama munculnya persepsi masyarakat tentang kerbau baru berkembang setelah dikenalnya system religi pada periode prehistori akhir, ketika manusia mengalami apa yang disebut cultural revolution, yaitu transformasi budaya dari food gathering ke food producing, dimana manusia memulai hidup sedenter setelah cukup lama nomanden. Periode yang biasa disebut awal dikenalnya tradisi membangun batu-batu besar (megalithic culture) itu ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya konsepsi keyakinan terhadap kerbau sebagai sumber kekuatan magis yang mampu mengusir dan menolak kekuatan jahat, sehingga kerbau banyak digunakan sebagai hewan kurban dalam ritual pemujaan roh nenek moyang. Tradisi ini sampai sekarang masih terus berlangsung seperti pada ma syarakat Nias, Flores, Sumba, Toraja dan juga di Bali, apakah itu terasosiasi dengan ritual di sekitar kompleks megalitik ataukah dalam rangkaian upacara siklus hidup. Beberapa bangunan megalitik di Banten mengindikasikan asosiasi kuat antara kerbau dan manusia seperti halnya ditemukan pada situs Cihunjuran, Pandegelang berupa menhir, kemudian pada situs Citaman berupa kompleks batu gong, di Cipeucang terdapat dolmen (batu Ranjang). Tetapi tradisi yang masih terus dipertahankan terdapat di situs Gunung Cupu, Kecamatan Cimanuk, dimana ritual memotong kerbau masih tetap dilangsungkan di sekitar situs tersebut. Jejak historis kedekatan kerbau dan masyarakat Banten memang mengalami perubahan sekarang, namun transformasi budaya itu kenyataannya tidak sama sekali merubah persepsi masyarakat secara keseluruhan. Beberapa fakta menunjukkan masih adanya hubungan kuat itu. Pertanyaan mengapa dalam tarian magis Dzikir Saman digunakan perangkat kipas dari kulit kerbau,
adalah sesuatu yang “tidak biasa” menurut konteks fungsional. Demikian pula pada hampir setiap ada perayaan semisal syukuran (selamatan) suatu keberhasilan atau menghadapi musibah, kerap orang menandainya dengan memotong kerbau. Lebih-lebih pada perayaan Iedul Adha dimana orang dianjurkan untuk turut merayakannya dengan berkurban. Dan sekali lagi, sebagian besar masyarakat Banten sesungguhnya lebih suka memilih kerbau, ketimbang sapi. Maka penjelasan dalam konteks spiritual diperlukan untuk memahami persepsi masyarakat tentang kerbau. Tetapi lain halnya dengan anggapan sebagian masyarakat tentang kelainan fisik seekor kerbau. Bahwa di daerah Banten, terlepas dari ketiadaan alasan ilmiah, masih ada kerbau yang dianggap “keramat” seperti apa yang disebut orang dengan kebo dugul; konon kerbau bule (albino) yang sepasang tanduknya menggantung itu dianggap memiliki “tuah” yang dapat membawa “hoki” bagi pemiliknya. Namun lebih ekstrim lagi, apabila tanduk kerbau bule itu sampai melingkar dan kedua ujungnya bertemu secara simetris di bagian bawah leher, biasa dijuluki kebo dungkul kalung, selain kerbaunya sendiri dianggap “keramat”, konon air seninya pun bisa dijadikan semacam obat bagi penyakit tertentu. Kendati tidak sejauh persepsi masyarakat Banten tentang kerbau, fakta lain menunjukkan tradisi yang sama. Misalnya dengan kerbau bule milik keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di kompleks alun-alun selatan Kota Solo, Jawa Tengah, pada setiap libur hari raya, orang beramai-ramai memberi makan untuk memperoleh berkah dari kerbau “keramat” itu. Lantas bagaimana kita memahami “kerbau sorga” dalam kepercayaan masyarakat Toraja untuk menghormati te’dong bonga? Mungkin komparatif dengan persepsi orang Banten tentang kerbau. Persepsi lain tentu saja masih hidup di daerah Banten. Sampai sekarang, di beberapa desa di pedalaman Banten masih ada anggapan bahwa kerbau dapat dijadikan ukuran kekayaan seseorang. Itu sebabnya, kerbau bisa juga menjadi “mas kawin”. Prestise status sosial yang didasarkan pada kuantitas kepemilikan kerbau ini menunjukkan tradisi yang cukup tua. Tampaknya dalam hal ini, kerbau merupakan investasi jangka panjang dalam
25
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
system ekonomi tradisional masyarakat Banten. Maka wajar apabila kerbau bisa dijadikan semacam “alat tukar” atau “jaminan “ dalam berbagai transaksi, secara sukarela atau terpaksa. Kerbau dalam roman Max Havelar Kisah Saijah dan Adinda di Onderdistrict van Lebak dalam roman satire Max Havelar Multatuli yang termashur itu memberikan gambaran betapa kerbau dapat dijadikan jaminan piutang antara “tuan tanah” yang kaya dengan “pribumi” yang miskin. Kisah yang mengambil setting di Kabupaten Lebak pada akhir masa colonial, pada intinya menceritakan betapa kerbau satu-satunya milik orang tua Saijah harus dirampas oleh Kepala Distrik Parung Kujang, karena belum membayar pajak tanah. Maka persoalannya bukan hanya seekor kerbau, tetapi serangkaian proses produksi bahan pangan utama pasti terganggu. Bagaimana mengolah tanah, kemudian tandur, dan akhirnya panen? Itulah yang ada dibenaknya, karena ia tidak sendiri, seorang isteri dan anak-anak yang masih kecil (Saijah diantaranya), menjadi tanggung jawab sang ayah. Kehilangan kerbau dengan cara itu, tentu saja membuat keluarga Saijah dirundung malang. Dikisahkan selanjutnya, ayah Saijah menjual keris pusaka untuk membeli seekor kerbau pengganti, yang setelah berada di tangan Saijah langsung jinak. Meskipun baru berumur 7 tahun, ia memang suka memelihara kerbau. Tetapi kegembiraan Saijah sebentar saja, kerbau yang inipun kembali dirampas. Lagi-lagi ayah Saijah menjual barang pusaka untuk kembali membeli kerbau gantinya. Diceritakan, kerbau ketiga tidak terlalu kuat, tetapi mempunyai ciri khusus, berupa kuncir di bagian punggung belakang. Konon tanda itu membawa keberuntungan. Tetapi kerbau yang inipun dirampas lagi oleh Kepala Distrik Parung Kujang, sampai ayah Saijah tak memiliki harta lagi untuk membelinya kembali. Keluarga Saijah jatuh miskin, dan memaksa mereka meninggalkan tanah kelahiran untuk “mengadu nasib” di Batavia (Jakarta sekarang). Cerita Max Havelar memang rekaan, tetapi itulah gambaran nyata dari drama kehidupan di
26
bawah rejim colonial di pedalaman Banten dimana kerbau menjadi isu utama dalam tradisi petani Baten. Kisah Saijah dan Adinda tentu saja sangat menyentuh nurani setiap pembaca. Namun dalam konteks ini, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat memahami demikian berharganya kerbau sehingga dapat dijadikan semacam “jaminan” dalam urusan pajak. Tetapi yang lebih penting lagi, betapa despotism rejim berkuasa telah merusak tata nilai dan norma yang berlaku dengan memutus ikatan emosional antara Saijah dengan kerbaunya. Karena bagi Saijah, kerbau bukan sekedar “traktor hidup”, melainkan juga sebagai “sahabat” dan, lebih dari itu, kerbau telah menjadi “dewa penolong” bagi keselamatan jiwa Saijah ketika hendak diterkam harimau. Pertanyaannya adalah, apakah persepsipersepsi masyarakat yang telah mengakar demikian lama dan pemeliharaan kerbau dapat menjelaskan seberapa dalam notion orang Banten tentang kerbau? Apakah mereka memahami bahwa kerbau yang dianggap “keramat”, “bertuah” dan “membawa keberuntungan” sesungguhnya memiliki kelainan fisik (defect) sebagai akibat dari kelangkaan ternak jantan (pemacek) dan mengalami inbreeding yang sudah sangat tinggi?. Apakah pula mereka memahami bahwa kerbau yang konon menjadi “sahabat petani” atau “dewa penology” sesungguhnya hanya menjadi bagian dari komoditas politik ekonomi?. Mungkin karena pandangan seperti ini, peternakan kerbau di Banten tetap status quo dalam rejim domestikasi tradisional? Mungkin pula karena itu, populasi kerbau tidak pernah bertambah secara signifikan, padahal kebutuhan akan daging kerbau terus meningkat, sejalan dengan semakin bertambahnya konsumen kerbau. Preferensi terhadap kerbau Di era global sekarang ini, persepsi masyarakat Banten tentang kerbau terus mengalami transformasi. Dalam pandangan masyarakat, kerbau hanyalah sosok hewan biasa, yang dapat ditemukan setiap hari di sawah, di kebun atau di tegalan. Pekerjaan sehari-hari binatang ini adalah merumput, sendiri atau berkelompok, membantu petani
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
membajak di sawah atau bermain di kubangan. Pagi hari, seperti masih sering terlihat oleh pengendara, serombongan kerbau kerap menyeberang jalan, digiring dari kandang ke persawahan terdekat atau disebar di padang rumput. Sore hari menjelang matahari tenggelam, sesudah dimadikan, dikembalikan ke kandang untuk istirahat di tempat yang terlindung; tidak jauh dari rumah pemilik atau penggembala, yang juga petani. Esok hari kembali melakukan hal yang sama dan di tempat yang sama pula: dari kandang ke sawah, membajak, merumput, berkubang, dan kembali ke kandang. Begitulah siklus hidup kerbau setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun, sampai ia menemukan takdirnya, dibawa ke tempat jagal, dipotong dan dikonsumsi manusia. Bagi sebagian besar masyarakat Banten, daging kerbau dirasakan sangat khas dibandingkan dengan daging sapi, sementara kulitnya dipergunakan untuk kerajinan, terutama untuk bidang pukul bedug berbahan kayu kelapa, yang biasa ditemukan di masjid atau mushola. Bedug-bedug typique itu belakangan menjadi perangkat utama kesenian “rampak bedug” khas Pandegelang. Ada pula yang memanfaatkan kulit kerbau untuk membuat kendang (alat musik kayu dengan dua bidang tabuh); salah satu gamelan tradisional Banten (pengiring kesenian debus misalnya) dan bahan membuat hihid (kipas) untuk perlengkapan tarian Dzikir Saman. Demikian akrabnya hubungan kerbau dengan manusia sehingga kerbau bukan hanya ternak biasa, tetapi bisa dibilang sebagai “traktor tanpa bensin” sekaligus sumber pangan “menu special” bagi sebagian besar masyarakat Banten. Oleh sebab itu, daging kerbau mudah di beli di pasar dan mudah pula ditemukan di beberapa rumah makan dalam tipe masakan berselera: semur, sop, gule angeun lada, dendeng dan sate kerbau. Jenis masakan yang terakhir ini, sekarang mulai “digemari” masyarakat perkotaan; memberi inovasi baru bagi gastronomie Banten. Hubungan khusus kerbau dan manusia juga menapak pada ranah spiritual. Ada tradisi “tanam kepala kerbau” dalam beberapa ritual khusus. Misalnya menjelang pembangunan jembatan atau struktur bangunan tertentu. Biasanya didahului dengan memotong kerbau dan bagian kepalanya dikuburkan di mana
sebuah struktur akan didirikan. Ada pula kerbau yang dianggap keramat, karena memiliki tuah bagi pemiliknya dan juga masyarakat sekitar, karena dipercaya membawa “keberuntungan”. Percaya atau tidak, tetap irasional, karena sampai saat ini belum ada argumentasi ilmiah untuk menjelaskan fenomena metafisik ini. Tetapi, mengingat tradisi yang sama juga ditemukan pada kebudayaan suku-suku lain di Indonesia, ada proposisi bahwa kerbau merupakan hewan terpenting dalam kebudayaan Nusantara, karena selain binatang pekerja dan hewan peliharaan, kerbau juga dianggap sebagai the sacred animal, yang secara turun temurun menjadi binatang persembahan dalam berbagai ritual ancestor workship. Pandangan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa pengurbanan kerbau diyakini sebagai sumber kekuatan magis (als magische krachbron) dalam menjaga keseimbangan kosmik antara makrokosmos (dunia manusia) dan makrokosmos (jagad raya). Begitu kuatnya asosiasi kerbau dengan budaya suku-suku bangsa di Indonesia, sehingga muncul sebutan kepulauan Nusantara sebagai centrum van buffecultus. Namun untuk kasus Banten, tampaknya mitos tentang kerbau mulai luntur sejalan dengan masuknya agama islam ke daerah ini dan desakan modernisasi di pedesaan. Secara empirik memang tak tampak adanya sakralisasi kerbau, karena yang terpenting dari keluarga bovidae ini adalah dagingnya. Dari semua menu ternak kaki empat yang “halal” dikonsumsi, daging kerbau bagi masyarakat Banten mempunyai rasa “berbeda”, mengingatkan orang pada selera dan cita rasa warisan leluhur orang Banten. Dengan kata lain, orang Banten lebih suka daging kerbau dibandingkan daging lainnya. Preferensi ini dapat dilihat pada setiap hari raya Islam, Iedul Fitri dan Iedul Adha, daging kerbau menjadi hidangan paling istimewa. Bahkan, masyarakat telah mencatatkan hari khusus untuk memotong kerbau sebagai poe meuncit kebo (hari penyembelihan kerbau), dua hari menjelang lebaran. Menuju peternakan modern
27
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Populasi kerbau di Indonesia memang tersebar di seluruh provinsi, namun jumlah tertinggi dijumpai di Nangro Aceh Darussalam, diikuti oleh Sumatera Barat dan kemudian Sumatera Utara. Lalu bagaimana dengan Banten, mengapa populasi kerbau di Banten berada di urutan keempat secara nasional? Dari data statistik diperoleh keterangan bahwa populasi kerbau di Provinsi Banten bersifat fluktuasif antara tahun 2004 (163.564 ekor) dan 2007 (144.944 ekor). Namun pada tahun 2008 menunjukkan kenaikan meskipun tidak terlalu signifikan, yaitu sebesar 163.622 ekor (Banten Dalam Angka 2009). Tetapi dibandingkan dengan populasi nasional, populasi kerbau di Provinsi Banten tergolong kecil, yaitu masih dibawah 8% dari seluruh populasi nasional. Sekarang mari membandingkannya dengan sapi dan ternak besar lain. Populasi kerbau di Provinsi Banten ternyata berada di urutan tertinggi. Hingga tahun 2008, tercatat populasi ternak kerbau mendominasi populasi ternak besar dengan jumlah populasi sebanyak 163.522 ekor, sedangkan sapi (potong) hanya sebanyak 11.812 ekor saja. Meskipun demikian, dengan kuantitas itu, dominasi ternak kerbau belum signifikan, karena sebagian besar dari kerbau itu lebih banyak digunakan dalam usaha pertanian tanaman padi, seperti untuk ngawaluku (mengaduk tanah) dan ngagaru (meratakan tanah) menjelang tandur. Hal itu tampak jelas pada data statistik, dimana kerbau belum pernah masuk ke dalam katagori “kerbau potong” atau “kerbau perah” seperti halnya sapi. Dengan mempertimbangkan preference dan trend konsumen kerbau baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional, mestinya ada alasan kuat untuk mengembangkan peternakan kerbau dalam menunjang perekonomian daerah khususnya dalam domain agribisnis. Apalagi di daerah Banten, dimana daging kerbau lebih disukai, sementara harganya lebih tinggi daripada sapi, maka seharusnya ini dapat menjadi pemicu untuk memelihara kerbau secara lebih intensif. Dengan demikian pemerintah daerah memiliki alasan kuat untuk mempromosikan kebijakan pengembangan agribisnis kerbau, dimana daging dan susu kerbau dapat menjadi produk unggulan Provinsi Banten. Untuk itu perlu segera disusun system inovasi daerah
28
berbasis peternakan kerbau, yang diarahkan pada aplikasi teknologi, penguatan manajemen bisnis dan transformasi budaya. Sistem inovasi itu mencakup faktor-faktor yang saling berfungsi secara sistemik dalam siklus pembibitan, pemeliharaan dan pemanfaatan serta perluasan jaringan pasar dalam kluster khusus dan etos kerja yang spesifik. Berdasarkan data statistik (Banten Dalam Angka 2009), dari delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten, pada tahun 2008 populasi terbesar ternak kerbau berada di Kabupaten Lebak sebanyak 58.434 ekor dan Kabupaten Serang (termasuk Kota Serang) sebesar 46.905 ekor. Sedangkan pada urutan ketiga dan keempat masing-masing Kabupaten Tangerang (29.128 ekor) dan Kabupaten Pandegelang (27905 ekor) Mengacu pada data tersebut, keempat daerah otonom itu berpotensi untuk menjadi sentra pengembangan peternakan kerbau di Provinsi Banten.
KESIMPULAN Pengembangan peternakan kerbau di provinsi Banten cukup menjanjikan Dilihat dari aspek sosial budaya, preferensi masyarakat terhadap kerbau menunjukkan probabilitas tinggi bagi peternakan kerbau modern. Persepsi masyarakat yang dilatarbelakangi unsur metafisik dan spiritualitas dimungkinkan akan mengalami transformasi kea rah pemikiran rasional. Demikian pula dilihat dari aspek teknologi ekonomi, pengetahuan dasar masyarakat tentang kerbau dapat dijadikan modal dasar bagi intensifikasi peternakan kerbau. Dari data arkeologi, sejarah dan etnografi, diketahui bahwa sejak masa awal Masehi, kemudian pada masa kerajaan Banten Girang sampai pada millennium Ketiga sekarang, tradisi pemeliharaan kerbau terus berlanjut, baik dalam fungsinya membajak sawah maupun sebagai bahan pangan masyarakat. Oleh karena itu, secara teknis tampaknya tidak terlalu sukar mempromosikan peternakan kerbau secara modern, apabila persoalannya bertumpu pada dua hal. Pertama karena faktor internal seperti sifat-sifat alamiah kerbau itu sendiri yang membuat peternakan kerbau tidak semudah sapi. Dan kedua, karena faktor
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
eksternal seperti keterbatasan bibit unggul, kualitas pakan, perkawinan silang, kelangkaan tenaga kerja, dan kurangnya pengetahuan peternak. Berangkat dari dua faktor itu, maka sudah tentu kendala peternakan kerbau dapat dijawab dengan aplikasi teknologi dan pengembangan manajemen bisins. Namun, apabila persoalannya lebih berpangkal pada nilai budaya dan system sosialnya, maka langkah awal menuju
pengembangan peternakan kerbau harus dimulai dari transformasi budaya dari sekadar self sufficience menuju market oriented. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa perubahan itu hendaknya bertumpu pada semangat transformasi: dari “budaya petani” ke “budaya peternak” dan dari rejim”tradisional” menuju “modernitas” yang dikehendaki sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Banten.
29