BAB
6
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEBUDAYAAN PROVINSI BANTEN
Aktivitas Menenun Masyarakat Baduy Sumber : Disbudpar Prov. Banten
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
BAB ARAH KEBIJAKAN
6
DAN STRATEGI KEBUDAYAAN PROVINSI BANTEN
A.
Arah Kebijakan A.1. Orientasi Filosofis Kebudayaan Banten Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia menciptakan gambaran tentang dunia yang akan menjadi rujukannya. Interaksinya dengan dunia, baik alam, sesama manusia maupun yang gaib, telah memunculkan apa yang disebut dengan kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (1998: 111), kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Di samping itu, kebudayaan juga menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikapsikap, dan juga hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu (Ember & Ember, 1984: 18). Bagaimana hal itu tercipta, Ignas Kleden mengungkapkan: Dalam suatu kebudayaan yang berkembang baik, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar itu diberikan jawabannya berdasarkan suatu kerangka penjelasan yang bulat yang dapat menjadi pegangan penganut kebudayaan itu dalam memandang, memahami dan mengambil sikap terhadap dirinya dan lingkungannnya, baik lingkungan fisik dan sosial maupun lingkungan metafisik dan spiritual. Secara singkat, kebudayaan adalah sumber pertama untuk pandangan dunia (Weltanschauung) yang memungkinkan seseorang mampu menangkap dunianya ke dalam persepsinya (ontologi), dan menangkapnya bukan sebagai sesuatu yang kacau, melainkan sebagai sesuatu yang beraturan dan bermakna (kosmologi). Kalau ontologi membuat kebudayaan menjadi suatu realitas, maka kosmologi membuat kebudayaan menjadi suatu sistem realitas (system of reality) dan sistem makna (system of meaning) (Kleden, 1988: 238). Selanjutnya, kalau pandangan dunia itu diterjemahkan menjadi aturan tingkah laku, maka akan kita dapati pandangan hidup (Lebensanschauung), yang tidak hanya memungkinkan seseorang mengetahui dan memahami, tetapi juga mengambil sikap terhadap apa yang diketahui atau dipahaminya. Dunianya tidak ditanggapi hanya sebagai sesuatu yang ada (ontologi), atau sesuatu yang teratur dan bermakna (kosmologi), tetapi juga sebagai sesuatu yang mengandung nilai-nilai dan peraturan mengenai nilai-nilai itu (yaitu norma). Pada tingkat ini kebudayaan sebagai sistem makna berubah menjadi kebudayaan sebagai sistem nilai (value system) dan sekaligus sebagai sistem dari peraturan-peraturan mengenai nilai-nilai tersebut (normative system). Pada sistem nilai inilah ditentukan, entah suatu kebudayan sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna menjelma (dan dijelmakan) menjadi
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
189
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
sistem tingkah laku, perbuatan dan tindakan. Secara singkat, etika dan moral merupakan titik kritis yang menentukan apakah suatu sistem budaya (cultural system) yang terdiri dari perangkat makna dan perangkat nilai dapat diterjemahkan menjadi sistem sosial (social system) berupa perangkat tindakan, perbuatan dan tingkah laku. Kalau hal ini terjadi, maka suatu sistem budaya dapat dikatakan benarbenar berfungsi, yaitu dalam fungsinya sebagai landasan kognitif dan landasan normatif bagi sistem sosial. Ibarat drama, maka sistem budaya menentukan skenario, sedangkan sistem sosial adalah performance di atas pentas (Kleden, 1988: 238-239). Terkait dengan hakikat dan makna kebudayaan, van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1988: 11) mengungkapkan bahwa: …kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku atau statis. Dulu kata “kebudayaan” diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih sebagai sebuah kata kerja. Kebudayaan bukan lagi pertama-tama sebuah koleksi barang-barang kebudayaan, seperti misalnya karya-karya kesenian, bukubuku, alat-alat, apalagi jumlah museum, gedung-gedung universitas, ruang-ruang konperensi, kantor-kantor pajak dsb. Bukan, kini kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia yang membuat alat-alat dan senjata-senjata, dengan tata upacara tari-tarian dan mantera-mantera yang menentramkan roh-roh jahat, dengan cara anak-anak dididik dan orang-orang yang bercacad mental diperlakukan, dengan aneka pola kelakuan yang bertautan dengan erotik, perburuan, sidang-sidang parlemen, resepsi perkawinan, dsb. Oleh karena kebudayaan dimaknai sebagai kata kerja, maka kebudayaan meniscayakan sifat dinamis di dalamnya. Kebudayaan menurut van Peursen, jangan dipandang sebagai sebuah titik tamat atau keadaan yang telah tercapai, melainkan terutama sebagai penunjuk jalan, sebuah tugas: kebudayaan itu ibarat sebuah cerita yang belum tamat, yang masih harus disambung. Maka dari itu kebudayaan dewasa ini hendaklah dilukiskan sebagai suatu tahap, sebagai suatu bagian dalam cerita tentang sejarah perkembangan (van Peursen, 1988: 13). Sifat dinamis kebudayaan terkait dengan hakikat manusia itu sendiri. Dalam pandangan Cassirer, ciri utama manusia, ciri khasnya, bukan kodrat fisik atau kodrat metafisik—melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem kegiatan-kegiatan manusiawilah, yang menentukan dan membatasi dunia “kemanusiaan” (Ernst Cassirer, 1987: 104). Ciri manusia yang senantiasa berkarya inilah yang menjadi mesin penggerak dinamika kebudayaan. Walaupun demikian, bukan berarti pewarisan kebudayaan itu bersifat genetis, melainkan diwariskan lewat proses belajar (Ember & Ember, 1984: 18). Kemudian, karena manusia hidup di tengah-tengah alam, maka interaksi manusia dengan alam sebenarnya adalah juga salah satu pemicu tumbuh kembang kebudayaan. Sebagai makhluk yang hidup di alam, manusia selalu berusaha menjalin hubungan dengan alam. Budaya
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
190
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
masyarakat prasejarah Indonesia sendiri, misalnya, dibagi menjadi tiga tingkatan penghidupan, yaitu, masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa kemahiran teknik/ perundagian (Poesponegoro, 1993: 29, 167, 239). Ketiga fase ini terkait dengan interaksi dan adaptasi manusia terhadap alam. Oleh karena itulah, hubungan antara manusia, alam dan kebudayaan kemudian memunculkan apa yang disebut Julian H. Steward sebagai cultural ecology atau ekologi budaya (Poerwanto, 2005: 68). Seperti halnya makhluk-makhluk hidup lainnya, agar ia tetap dapat mempertahankan hidupnya, maka manusia harus selalu menjaga hubungan adaptasi dengan ekosistemnya. Kebudayaan sebagai satu sistem budaya merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Adaptasi mengacu pada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan suatu organisme pada suatu lingkungan, dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme tersebut (Purwanto, 2005: 61). Kebudayaan sebagai hasil interaksi manusia dengan alam dan manusia lainnya bergantung pula pada konteks ruang dan waktu. Keragaman ruang dan waktu yang dialami manusia memunculkan pula keragaman karakteristik dan bentuk kebudayaannya. Akibatnya, keragaman ini juga menjadi salah satu penciri etnik seorang manusia. Keragaman ini dapat dilihat dengan jelas pada kasus Indonesia yang memiliki keragaman etnik dengan budaya, bahasa, dan kepercayaan maupun agama. Demikian pula halnya dengan Provinsi Banten. Secara historis, di era Kejayaan Kesultanan Banten, beragam etnis dari Nusantara, Asia, Eropa, dan Timur Tengah hidup berdampingan dengan masyarakat Banten. Hal itu ditunjukkan dengan ditemukannya artefak-artefak yang beragam dan peta tata kota Banten Lama. Saat ini, sekurangkurangnya, di samping etnis Banten (yang berbahasa Jawa dan Sunda Banten), ditemukan pula etnik-etnik yang lain yang menghuni daerah-daerah tertentu di wilayah Provinsi Banten, yakni etnik Betawi, Tionghoa, Bugis-Makasar, dan Lampung. Keragaman ini tentu saja merupakan kekayaan Provinsi Banten yang tak ternilai harganya. Jika tidak dikelola dengan baik, maka tidak saja menjumudkan masyarakat Banten, akan tetapi dapat memicu konflik horizontal. Satu model pendekatan keragaman etnik dan budaya adalah pendekatan multikulturalisme. Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku (etnis), dan agama. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co exixtence yang ditandai oleh kesediaan menghormati budaya lain (Maslikhah, 2007: 9).
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
191
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orientasi filosofis kebudayaan Banten merujuk pada lima hal. Pertama, bahwa kebudayaan dimaknai sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat penganut dan juga menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikapsikap, dan juga hasil kegiatan manusia yang khas. Kedua, kebudayaan dimaknai sebagai kata kerja. Ketiga, karena dimaknai sebagai kata kerja, maka kebudayaan berarti bersifat dinamis. Keempat, kebudayaan haruslah menjalin hubungan harmonis dengan alam dan lingkungan. Kelima, pengelolaan kebudayaan haruslah dengan pendekatan multikulturalisme. A.2. Orientasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam pandangan teori struktural fungsional bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.1 Masyarakat sebagai kelompok sosial. Ia melakukan pergaulan atau hubungan manusia dan kehidupan kelompok manusia, terutama pada kehidupan dalam masyarakat teratur. Cara pergaulan dan cara hubungan itu mengalami perubahan dalam perjalanan masa, membawa bersamanya perubahan masyarakat. Ruang lingkup perubahan dalam masyarakat amat luas, baik mengenai nilai, norma, prilaku, organisasi atau susunan lembaga sosial atau lembaga sosial itu sendiri. Poin penting perbincangan penyelenggaraan pemerintahan adalah hubungan antara negara dengan masyarakat. Sehingga kondisi yang timpang antara negara dan masyarakat merupakan titik tolak yang kurang memungkinkan terciptanya pemerintahan yang baik, bersih, partisipatif, dan akuntabel. Oleh karena itu, satu-satunya langkah strategis yang mesti diambil adalah penguatan masyarakat atau pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan pada hakekatnya memampukan masyarakat agar dapat mengaktualisasikan diri dalam pengelolaan lingkungan budaya yang terdapat di sekitarnya dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak-pihak lain.
1
George Ritzer & Douglas J. Googman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta, Kecana, 2008), hlm. 127-128
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
192
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
Gagasan dasar konsep pemberdayaan yang sering diartikan sebagai empowerment2 berawal dari permasalahan power3 (kemampuan, kekuatan) yang menurut penganut gagasan ini perlu diberikan kepada setiap orang atau kelompok, karena mereka sebagai bagian dari masyarakat berhak atas power tersebut. Disadari pula bahwa sebagian masyarakat tidak sedikit yang sukar untuk memperoleh power tersebut karena keterbatasan atau suatu kondisi yang tidak memungkinkannya. Oleh karena itu harus ada upaya dari pihak lain yang “kuat” untuk memberikan power tersebut kepada masyarakat yang powerless atau lemah. Upaya untuk memampukan masyarakat yang berada dalam kondisi yang tidak berdaya itulah yang disebut dengan pemberdayaan atau empowerment. Konsep permberdayaan sebagaimana didefinisikan oleh Pranarka dan Moeljarto lebih mengacu pada konsep dasar yang masih sangat luas atau bahkan terlalu umum. Yaitu “upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi.”4 Sedangkan Phill Bartle mendefinisikan community development sebagai “the strengthening or increase of capacity of a community”5 atau dengan kata lain alat untuk menjadikan masyarakat semakin kompleks dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih kompleks, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya. Karena itu, bisa dimaknai bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
2
Pemberdayaan (empowerment) adalah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, khusus Eropa. Pemikiran ini muncul kira-kira bersamaan dengan tumbuhnya aliran pemikiran pasca modernisme (post-modernism) yang mengalami perkembangan pada dekade 80-an, dengan penekanan pada sikap dan pendapat yang orientasinya cenderung mengarah ke antisistem, antistruktur dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Mengenai proses muncul dan berkembangnya konsep pemberdayaan lihat Pranaka, A.M.W. dan Vidyandika Moelyarto, “Pemberdayaan (emporwement)” dalam Onny S. Priyono dan A.M.W. Pranaka, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), 1996). 3 Kata power dapat mengandung beberapa arti, seperti “kekuatan”, “kemampuan”, atau “kekuasaan”. Tidak mudah untuk membedakan secara tepat ketiga pengertian power tersebut. Pengertian power tumpang tindih, bahkan sering diterjemahkan dengan “daya”. Dalam tulisan ini power mengacu pada pengertian kemampuan atau kekuatan. 4 Pranarka dan Vidhyandika Moeljarto. “Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka, Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996), hlm. 56 5 http://www.cec.vcn.bc.ca/cmp/modules/ref-glo.htm
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
193
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tema sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah dengan paradigma baru pendekatan pembangunan. Paradigma pembangunan lama yang bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan. Paradigma pembangunan yang baru tersebut juga harus berprinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama dilakukan atas inisitaif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya; termasuk pemilikan serta penguasaan aset infrastrukturnya sehingga distribusi keuntungan dan manfaat akanlebih adil bagi masyarakat. Syarat mutlak program pemberdayaan adalah orientasinya yang selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan, dan keberlanjutan. Naif sekali apabila suatu program pemberdayaan berjalan sambil menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain atau kepada pihak pelaku pemberdayaan tersebut. Kemandirian adalah sikap yang bersumber pada kepercayaan diri. Kemandirian juga adalah kemampuan (mental dan fisik) untuk: 1) memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri; 2) memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan; dan 3) memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan sekaligus mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan. Tidak salah bila masyarakat—terutama yang disebut civil society—dianggap sebagai “kumpulan seluruh lembaga dan asosiasi non-keluarga dalam suatu negara” yang mandiri, independen dari Negara dan mampu secara efektif mampu mempengaruhi kebijakan publik.6 Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.7 Jadi, semua unsur yang mempengaruhi perubahan dalam masyarakat merupakan suatu rangkaian yang saling mempengaruhi. Perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik tidak mungkin terjadi jika tidak ada perubahan pada rangkaian unsur perubahan itu secara 6 7
M. Nur Khoiron, et.al, Pendidikan Politik bagi Warga Negara (Yogyakarta: LKiS, 2000) John Friedmann, Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell, 1992
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
194
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
keseluruhan. Ekonomi masyarakat tidak akan meningkat jika tidak dibarengi dengan peningkatan pendidikan dalam masyarakat itu sendiri. Begitupun pendidikan dalam masyarakat tidak akan bisa berjalan jika tidak ditopang dengan adanya modal social dan budaya yang kuat di dalamnya. Keberadaan unsur-unsur itu seperti sebentuk bangunan piramida yang tersusun dari tumpukan kartu Remi, jika satu tak terpasang maka piramida itu tidak akan bisa berdiri. Dalam kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
195
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Dan tak kalah pentingnya adalah mengubah relasi kuasa (power relations) yang ada di masyarakat jika itu dinilai merugikan kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki akses terhadap kuasa milik (power of ownership system), kuasa kelola (power of management system) dan kuasa manfaat (power of utility system). Akhirnya, aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan komponen masyarakat (terutama para kaum “powerless” seperti kaum miskin dan kelompok yang terpinggirkan lainnya), dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, keterlibatan banyak pihak (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara berkelajutan. Menurut Pudentia (2008: 3), terkait dengan pengembangan kebudayaan, pemerintah harus membangun sistem kemitraan berbasis masyarakat yang tidak hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya. Pengelolaan khazanah budaya yang tidak memasukkan pengelolaan masyarakat pemilik dan pendukungnya merupakan usaha yang hanya menyentuh ranah kreativitas atau penciptaan. Padahal, menurut Pudentia, ranah kreativitas tidak dapat dipisahkan dari ranah produksi (ke arah industri), ranah perlindungan, ranah pemanfaatan, dan ranah pengembangan. A.3. Orientasi Pengembangan Kebudayaan Berkelanjutan Dalam orientasi filosofis kebudayaan Banten dikatakan bahwa kebudayaan dimaknai sebagai kata kerja, oleh karena itu kebudayaan niscaya bersifat dinamis. Dari orientasi filosofis inilah kemudian diturunkan orientasi pengembangan kebudayaan yang berkelanjutan. Dengan kata lain, pengembangan kebudayaan tidak hanya bersifat penyelenggaraan event kebudayaan saja, melainkan harus berorientasi pada pengembangan kebudayaan yang mampu mengakomodir segala perubahan dan kebutuhan masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
196
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
Orientasi pengembangan kebudayaan berkelanjutan diusahakan melalui poin-poin berikut ini: 1.
2.
3.
4.
5.
Bahwa berkelanjutannya kebudayaan daerah meniscayakan dua hal, yaitu peningkatan SDM kebudayaan dan terjaminnya proses regenerasi guna terwariskannya unsur kebudayaan itu sendiri. SDM kebudayaan itu meliputi keahlian bidang kebudayaan tertentu dan kreativitas tanpa batas. Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya sendiri, dengan demikian akan muncul kesadaran bahwa setiap unsur kebudayaan memiliki nilai untuk pengembangan kualitas spiritual. Ketika kesukarelaan telah tumbuh dalam masyarakat, maka dinamika kebudayaan akan berkembang ke arah kemajuan. Komodifikasi budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pemilik kebudayaan tanpa mengorbankan akar dan nilai kebudayaan itu bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, pelaku kebudayaan harus menyajikan kebudayaan yang mampu meningkatkan kualitas pengalaman dan pemahaman “konsumen.” Dengan demikian, peningkatan kualitas hidup, dalam pengertian ekonomis, tidak melunturkan nilai hakiki kebudayaan itu sendiri. Dalam komodifikasi budaya diusahakan juga untuk meningkatkan jumlah apresiator, sambil juga diinternalisasi nilai-nilai hakiki kebudayaan bagi manusia. Dengan demikian akan muncul cara pandang dan perilaku bahwa berkebudayaan adalah bagian dari aktualisasi diri, baik secara individual maupun sosial. Untuk mendukung itu semua, pemerintah harus berperan sebagai fasilitator, pencipta medium bagi berkembangnya kebudayaan, dan membuka akses untuk kuasa milik (power of ownership system), kuasa kelola (power of management system) dan kuasa manfaat (power of utility system).
B.
Strategi B.1. Strategi Perlindungan Seiring pesatnya perkembangan budaya populer yang semakin hari semakin menghegemoni perilaku dan gaya hidup generasi muda Banten melalui beragam media elektronik dan cetak, keberadaan budaya lokal semakin kehilangan peminat dan daya tariknya. Hal itu disebabkan karena kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah dan berbagai elemen masyarakat. Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan berbagai wujud kebudayaan baik dari wujud gagasan, aktivitas sosial, dan wujud fisik akan punah karena ditinggalkan oleh pemiliknya (masyarakat). Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah strategis sebagai bentuk strategi perlindungan agar bisa melestarikan dan melindungi
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
197
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
kebudayaan daerah Banten. Jika strategi pelindungan ini bisa diaplikasikan dan diimplementasikan secara baik dan berkelanjutan, kepunahan beragam wujud kebudayaan yang saat ini sudah berada pada titik kritis dapat diatasi, bahkan sangat mungkin menghidupkan kembali beragam wujud kebudayaan yang saat ini sudah punah dan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Perlindungan merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan kebudayaan berupa gagasan, perilaku, dan karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam. Sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap kebudayaan daerah Banten, Pemerintah Provinsi Banten akan melakukan beberapa strategi perlindungan kebudayaan berikut ini: 1. Membuat Regulasi tentang kebudayaan daerah 2. Memperkuat basis data, sumber informasi dan referensi tentang sejarah dan nilai budaya. 3. Menginternalisasi nilai-nilai budaya dan sejarah kepada masyarakat 4. Merevitalisasi unsur-unsur kebudayaan, baik yang tangible maupun intangible, yang punah atau hampir punah, dengan cara melakukan pembinaan, latihan, atau perlombaan kaitannya dengan berbagai bentuk budaya yang sudah dan/atau hampir punah. 5. Melakukan penelitian untuk mengumpulkan, mencatat, dan mengidentifikasi berbagai wujud kebudayaan Banten baik yang tangible maupun intangible. 6. Melakukan registrasi dan database berbagai wujud kebudayaan yang ada di Banten sehingga dapat diakses secara luas khususnya oleh masyarakat Banten 7. Melakukan klasifikasi atau kategorisasi berbagai wujud kebudayaan Banten dan memilah-milah jenis/ragam budaya mana yang masih ada dan mana yang sudah punah 8. Mendokumentasikan berbagai wujud kebudayaan baik dalam bentuk visual, audio, audio visual dan juga dalam bentuk tertulis 9. Melakukan digitalisasi, transkripsi, transliterasi manuskrip Banten 10. Melakukan advokasi kebudayaan untuk mencegah terjadinya kerusakan terhadap warisan budaya 11. Melakukan penyelamatan atas berbagai benda budaya yang memiliki nilai sejarah, baik yang sudah didata sebagai BCB maupun yang belum 12. Melakukan penggalian berbagai benda budaya yang belum teridentifikasi atau belum terdata
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
198
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
13.
14.
15. 16. 17. 18.
Melakukan pelatihan baik untuk masyarakat, budayawan dan seniman, pejabat pemerintah, berkaitan dengan proses atau metode perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan Mempresentasikan atau menyajikan hasil-hasil penelitian, kajian, penggalian dan sejenisnya baik dalam bentuk seminar, workshop, dan sejenisnya agar masyarakat luas mengetahui berbagai aktivitas kaitannya dengan pelestarian dan perlindungan kebudayaan Melakukan pendaftaran atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau produk-produk budaya yang menjadi ciri khas kebudayaan Banten Mensosialisasi informasi kebudayaan lokal ke masyarakat Menjamin regenerasi SDM kebudayan (praktisi seni budaya) Melakukan penguatan dan regenerasi SDM pengkaji, pemerhati, kritikus, dan kurator kebudayaan
B.2. Strategi Pengembangan Suatu wujud kebudayaan seringkali ditinggalkan oleh komunitas pemiliknya karena dianggap sudah tidak lagi relevan dengan budaya masa kini, dianggap kuno, terbelakang, dan jauh dari kemodernan dan kekinian. Berbagai bentuk kebudayaan yang mengalami kepunahan juga disebabkan oleh minimnya atau bahkan tidak adanya inovasi, modifikasi, kreasi terhadap kebudayaan lokal yang ada sehingga terlihat old-fashion dan tidak lagi menarik baik bagi komunitas pemiliknya maupun oleh masyarakat luar. Kondisi ini bukan hanya menjadikan budaya lokal sulit berkembang, tetapi juga akan kehilangan peminat, dan lambat laun akan ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakat karena dipandang tidak bisa mendatangkan keuntungan dan manfaat baik secara finansial maupun sosial. Padahal jika masyarakat, terutama para praktisi seni dan budaya dengan dukungan pemerintah daerah, mau sedikit meluangkan waktu untuk melakukan inovasi, modifikasi, kreasi, dan komodifikasi terhadap beragam jenis kebudayaan lokalnya, dengan tidak meninggalkan kekhasannya, kemungkinan besar beragam bentuk budaya lokal akan banyak diminati oleh masyarakat pemiliknya, masyarakat luar, dan bahkan masyarakat internasional. Jika hal ini berhasil dilakukan, maka budaya lokal akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan mancanegara untuk datang dan menikmati berbagai suguhan pertunjukan budaya lokal Banten. Hal ini tentu saja akan sangat berdampak positif dan membawa keuntungan ekonomi baik bagi Pemerintah Provinsi Banten, maupun masyarakat Banten secara umum. Terdapat banyak bukti dan fakta di mana bentuk kebudayaan lokal yang dikemas dengan apik, elegan, dan menarik dengan sedikit inovasi, kreasi, dan modifikasi dengan kondisi kekinian, tanpa menghilangkan identitas lokalnya, mampu menarik pengunjung dari berbagai
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
199
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
tempat dan negara, seperti di Yogyakarta dan Bali. Untuk bisa memperoleh kondisi semacam ini, dibutuhkan strategi pengembangan yang perlu secepatnya dilakukan oleh pemerintah Provinsi Banten dengan dukungan seluruh elemen masyarakat Banten agar citra budaya lokal Banten mendapat tempat khusus baik ditingkat lokal, nasional, maupun internasional. Pengembangan adalah upaya dalam berkarya yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan gagasan, perilaku, dan karya budaya berupa perubahan, penambahan, atau penggantian sesuai tata dan norma yang berlaku pada komunitas pemiliknya tanpa mengorbankan keasliannya. Sebagai upaya dalam mengembangkan kebudayaan lokal Banten, Pemerintah Provinsi Banten, dengan didukung oleh seluruh masyarakat Banten, perlu melakukan beberpa langkah strategis berikut ini: 1. Menyelenggarakan diskusi, seminar,workshop terkait upaya pengembangan produk budaya 2. Melakukan uji coba berbagai produk budaya yang mungkin untuk dikembangkan melalui berbagai kegiatan dan event 3. Mendorong para pelaku seni untuk melakukan inovasi kemasan budaya yang menarik dengan tidak meninggalkan keaslian bentuk budaya sehingga bisa mendatangkan pengunjung baik lokal, nasional, maupun mancanegara 4. Mendorong kemandirian masyarakat dalam bidang kebudayaan 5. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung bagi gerak kebudayaan 6. Memberikan pengayaan dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan berbagai budaya dan tradisi yang ada di masyarakat dengan melakukan berbagai event dan kegiatan seperti seminar, workshop, pelatihan, lomba-lomba dan lain sebagainya 7. Menyelenggarakan berbagai event rutin seperti pagelaran budaya, pameran, dan sejenisnya untuk memperkenalkan berbagai budaya Banten kepada masyarakat Banten secara khusus, dan secara umum kepada masyarakat luas baik dalam dan luar negeri 8. Mengembangkan jaringan dengan lembaga-lembaga lain di luar Banten maupun di luar negeri untuk pementasan dan pameran berbagai produk budaya Banten 9. Menyebarluaskan hasil-hasil kajian dan penelitian berkaitan dengan kebudayaan kepada masyarakat luas 10. Melakukan pengembangan wisata dengan memperkenalkan dan mempromosikan berbagai tempat wisata sekaligus juga memperkenalkan dan melakukan berbagai pementasan seni tradisi Banten di tempat-tempat wisata untuk menarik pengunjung
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
200
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Menyebarluaskan dan mempromosikan berbagai tempat wisata dan produk budaya lainnya kepada masyarakt Banten dan masyarakat luas dalam berbagai media (cetak dan elektronik) Meningkatkan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat bidang kebudayaan Meningkatkan kajian dan penelitian bidang sejarah dan kebudayaan Melakukan penguatan apresiasi terhadap kebudayaan dan nilai kesejarahan Meningkatkan SDM kebudayaan (motivasi, pengetahuan, dan regenerasi) Mendirikan lembaga pendidikan, baik tingkat sekolah menengah, jurusan di universitas, atau sekolah tinggi. Meningkatkan kelembagaan kebudayaan (manajemen & jaringan). Memberikan penghargaan kepada pelaku kebudayaan yang konsisten dan aktif Mendorong tumbuhnya komunitas budaya dan historia Mereaktualisasi nilai-nilai tradisional pengelolaan alam berbasis ekosistem Membangun gaya hidup 'green culture' pada masyarakat Banten Menentukan dan membuat Surat Keputusan Gubernur tentang lagu resmi provinsi Banten (hymne dan mars) Mempertahankan Brand Image Banten sebagai daerah yang relijius Merevitalisasi warisan budaya kesultanan Banten
B.3. Strategi Pemanfaatan Sebuah bentuk kebudayaan akan bisa bertahan dan berkembang ketika ia memiliki nilai manfaat bagi komunitas pemiliknya, baik manfaat untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini, pemanfaatan dimaknai sebagai upaya penggunaan karya budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan itu sendiri. Dari sisi pendidikan, berbagai wujud kebudayaan bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi lembaga-lembaga pendidikan, formal, informal maupun non-formal sehingga generasi muda Banten lebih mengenal, mengetahui, dan merasa memiliki kebudayaan lokal Banten. Melalui pendidikan, generasi muda Banten bisa diperkenalkan dan diajarkan dengan beragam jenis kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Banten dan makna budaya yang terdapat di dalamnya sehingga tumbuh kesadaran dari para peserta didik untuk bersamasama menjaga, mengembangkan dan memanfaatkan budaya lokal. Dengan demikian diharapkan akan menumbuhkan dan menguatkan identitas ke-Banten-an dalam jiwa mereka. Jika identitas ke-Banten-an, rasa memiliki dan rasa bangga akan kebudayaan lokalnya telah tumbuh, maka dengan sendirinya mereka tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing dan budaya populer yang disuguhkan oleh beragam media dengan beragam produk dan program mereka. Ajaran moral
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
201
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
yang terkandung dalam setiap wujud kebudayaan lokal bisa dijadikan filter alami yang bisa membendung dampak negatif dari pesatnya perkembangan budaya populer dan budaya Barat. Dari sisi sosial budaya, beragam wujud kebudayaan bisa bermanfaat bagi penguatan identitas diri, solidaritas sosial, dan pembentukan karakter Bangsa melalui penanaman nilai-nilai luhur dan karakter-karkater lokal yang bisa dijadikan acuan bagi perilaku dan pandangan dunia bagi komunitas pemiliknya sehingga konflik sosial dan konflik atas nama etnis, ras, dan agama tidak mudah tersulut. Dari sisi politik, beragam nilai dan ajaran moral yang terkandung dalam beragam bentuk kebudayaan dapat mendorong terbangunnya ketahanan lokal, sehingga masyarakat Banten tidak mudah diombang-ambingkan dan diintervensi oleh kepentingan partai politik tertentu. Dari sisi ekonomi, keberadaan budaya daerah Banten, dengan beragam bentuk adat dan tradisi, kesenian, dan lain sebagainya, yang memiliki karakteristik yang khas dan memiliki nilai jual, dapat menjadi magnet bagi para wisatawan (lokal dan mancanegara) untuk datang dan berkunjung ke Banten. Kondisi ini tentu saja dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomi, baik bagi Pemerintah Provinsi Banten maupun bagi masyarakat Banten secara umum. Upaya pengembangan kebudayaan dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten dengan dukungan penuh dari seluruh elemen masyarakat Banten, melalui beberapa strategi pemanfaatan sebagai berikut: 1. Melakukan kajian untuk mengidentifikasi berbagai wujud budaya yang masih mungkin untuk dikembangkan menjadi produk budaya yang dapat dikomersilkan untuk kepentingan masyarakat Banten 2. Melakukan inventarisasi, rekonstruksi, dan revitalisasi berbagai wujud kebudayaan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas baik manfaat ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, agama, dan sebagainya 3. Melakukan dokumentasi berbagai tempat dan warisan budaya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat luas sekaligus untuk melakukan promosi wisata dengan menampilkan berbagai gambar berbagai tempat dan warisan budaya yang khas dan memiliki nilai budaya Banten 4. Melakukan pengemasan terhadap buku bahan ajar tentang kebudayaan Banten agar peserta didik tertarik untuk mengenal, mengetahui, memahami, memperdalam, dan juga mencintai kebudayaan Banten 5. Memasukan budaya Banten ke dalam kurikulum lokal pendidikan di Banten dari level Sekolah Dasar hingga SLTA. 6. Meningkatkan diplomasi budaya 7. Melakukan komodifikasi budaya yang memiliki nilai jual 8. Membangun networking di tingkat lokal, nasional, dan internasional
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
202
Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah [RIPDA] Provinsi Banten 2013-2027
9. 10. 11.
Menjadikan budaya sebagai media diseminasi dan internalisasi nilai-nilai yang bersumber dari kearifan lokal budaya daerah Memanfaatkan karya-karya seniman Banten untuk kepentingan pengembangan kebudayaan Mendorong pemanfaatan bahan-bahan alam menjadi karya seni kepada para seniman
Arah Kebijakan Dan Strategi Kebudayaan Provinsi Banten
203