Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK DI NUSA TENGGARA TIMUR DEBORA KANA HAU, JACOB NULIK dan AMIRUDIN POHAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur Jl. Tim-Tim Km 39 Kupang, Nusa Tenggara Timur
ABSTRAK Sistem integrasi ternak dalam usahatani merupakan salah satu upaya untuk mencapai optimasisi produksi pertanian. Upaya ini telah banyak dilakukan, yang secara signifikan mampu memberikan nilai tambah baik pada hasil tani maupun terhadap produktivitas ternak. Usaha ternak sapi terpadu dapat menekan biaya produksi, terutama terhadap penyediaan hijauan pakan, sebagai sumber tenaga kerja serta dapat memberikan kontribusi dalam penghematan pemakaian pupuk kimia. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah yang pada akhirnya memiliki dampak positif pada peningkatan hasil panen. Sistem integrasi tanaman-ternak berpeluang untuk terus dikembangkan baik di daerah dengan luasan lahan pertanian yang terbatas maupun didaerah dengan potensi lahan pertanian yang luas, dengan harapan akan mampu meningkatkan produksi, populasi, produktivitas dan daya saing produk peternakan. Kata Kunci: Prospek Pengembangan, Integrasi, Tanaman-Ternak
PENDAHULUAN Pengembangan peternakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan langkah strategis dalam penyediaan sumber protein hewani dan pendapatan asli daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun disadari bahwa penanganan pengembangan peternakan di NTT melibatkan berbagai kepentingan seperti konsumen dan produsen bibit, kepentingan profesi dan bisnis serta birokrasi dan publik. Untuk itu diperlukan dukungan dan komitmen bersama, agar mampu mengelola berbagai kepentingan tersebut dalam kerangka peningkatan efisiensi, dayasaing dan produktivitas. Salah satu harapan dalam pengembangan pertanian (termasuk sistem integrasi tanamanternak, produksi tanaman pangan dan daging) di Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan hidup petani dan mengurangi beban impor yang kian membengkak terutama sapi hidup dan daging. Sistem integrasi tanaman-ternak mengandung arti bahwa kedua usaha diharapkan berlangsung dalam satu sistem usaha agribisnis Crop-Livestock Systems (CLS) yang saling mengisi, yaitu dari tanaman tersedia input berupa pakan dan dari ternak termanfaatkan kotoran ternak menjadi pupuk organik (DJAYANEGARA dan ISMAIL, 2004). Keterpaduan usaha menuju kesinambungan dan peningkatan kesejahteraan petani melalui
146
tambahan pendapatan yang tidak dipengaruhi musim yang tak terelakan dan sangat menentukan tingkat produksi tanaman pangan. Konsep pertanian terpadu, yang melibatkan tanaman dan ternak telah diterapkan petani di Indonesia sejak lama sebagaimana terjadi di negara-negara Asia Tenggara (DIWYANTO et al., 2002). Namun sebagaimana pada umumnya petani kecil, sistem pertanian ini masih dikelola secara tradisional dan dimungkinkan untuk dapat diperbaiki menjadi lebih optimal dari apa yang telah diterapkan. Secara terperinci manfaat sistem tanaman dan ternak antara lain: (i) meningkatkan akses terhadap kotoran ternak; (ii) peningkatan nilai tambah dari tanaman atau hasil ikutannya; (iii) mempunyai potensi mempertahankan kesehatan dan fungsi ekosistem; (iv) mempunyai kemandirian yang tinggi dalam penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi saling mengalir anatara tanaman dan ternak. Provinsi NTT yang didominasi oleh laaahan kering merupakan daerah yang kurang produktif bagi usaha pertanian yang intensif. Akan tetapi lahan kering tersebut masih memungkinkan bagi usaha subsektor peternakan karena tersedianya lahan penggembalaan yang relatif luas bagi pemeliharaan ternak, khususnya ternak ruminansia dan herbivora.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
NTT umumnya dan Pulau Timor khususnya merupakan salah satu daerah yang kering di Indonesia, curah hujan rata-rata kurang dari 1500 mm/tahun yang terjadi dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Namun demikian kondisi ini berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, subsektor peternakan berperanan dalam struktur perekonomian daerah, peternakan menyumbang 12% terhadap PDRB Provinsi NTT yang sebagian besar diperoleh dari pengeluaran sapi potong sebesar 60.000-70.000 ekor per tahun. Sebesar 91% dari total pengeluaran sapi asal NTT, terdiri dari sapi Bali yang berasal dari Pulau Timor dan menyumbang sebesar 20-25% dari total pemotongan sapi di Jakarta (BAMUALIM, 1993). Pemeliharaan ternak sapi bagi petani di NTT umumnya masih secara tradisional yaitu mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di lahan penggembalaan dengan biaya produksi yang relatif murah dan penggunaan tenaga yang minim, produktivitas ternak sapi dengan sistem ini berfluktuasi mengikuti musim (WIRDAHAYATI et al., 1997). Pada musim hujan ketika produksi hijauan melimpah, ternak mengalami peningkatan bobot hidup sebaliknya dimusim kemarau ketika produksi dan kualitas hijauan menurun, ternak mengalami kehilangan bobot hidup dimana penurunannya dapat mencapai 20-25% dari bobot hidup pada musim hujan (BAMUALIM, 1994). Teknologi dan inovasi dalam budidaya ternak melalui pengandangan ternak dengan pola kelompok disertai dengan aplikasi budidaya ternak termasuk strategi pemberian pakan memberikan peluang untuk menghasilkan bahan organik yang diperlukan lahan pertanian. Untuk menerapkan teknologi dalam upaya peningkatan produktivitas lahan diperlukan teknologi budidaya tanaman dikaitkan dengan pengelolaan tanaman dan ternak serta pemanfaatan dan pengolahan pupuk organik pada tanaman sayur. Tanaman sayuran merupakan komoditi yang mempunyai prospek bagus untuk diusahakan oleh petani di NTT karena permintaan pasar terhadap sayuran terus meningkat sejalan dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya sayuran untuk dikonsumsi karena sarat dengan nilai gizinya serta harganya yang relatif terjangkau. Namun kendala ditingkat petani dalam budidaya sayuran antara lain: (i) kurangnya minat petani untuk mengetahui peluang pasar; (ii) tanaman yang diusahakan masih tergolong skala kecil; (iii) pengelolaannya belum maksimal, karena masih menggunakan benih lokal yang tidak berkualitas. Untuk usahatani berkelanjutan khususnya lahan kering, alternatif yang tepat, murah dan mudah dilakukan adalah dengan pemakaian pupuk organik yang bersumber dari ternak dan sisa pakan. Keuntungan penggunaan pupuk organik adalah: (i) Harganya relatif murah; (ii) Mengurangi penggunaan pupuk buatan; (iii) Meningkatkan kadar unsur hara N, P dan K; (iv) Mengandung macam-macam organisme sehingga tanah menjadi gembur (MURBANDONO, 1998). Kondisi NTT yang mempunyai populasi ternak cukup besar merupakan potensi untuk menghasilkan pupuk organik yang berasal dari ternak, terutama ternak sapi yang dapat menghasilkan kotoran segar sebanyak ± 11 kg ekor-1 hari-1 dengan sistem pemeliharaan secara intensif/dikandangkan (ASNAH et al., 2000). Makalah ini membahas tentang prospek pengembangan sistem integrasi tanamanternak, yang bertujuan untuk (a) Mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai; (b) Mendukung upaya peningkatan produksi sayur-sayuran dengan memanfaatkan pupuk organik, sehingga dapat menciptakan pertanian yang ramah lingkungan karena tidak menggunakan pupuk buatan; (c) Mendukung peningkatan populasi ternak sapi; (d) Meningkatkan pendapatan petani. METODE Makalah ini merupakan review atau tinjauan dari hasil-hasil penelitian dan pengkajian sebelumnya tentang integrasi tanaman-ternak di NTT yang telah dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT dan dikaitkan dengan hasil penelitian ditempat lain diluar NTT.
147
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan integrasi ternak dengan tanaman non perkebunan di NTT Di kawasan pengembangan peternakan yang berintegrasi dengan subsektor lainnya, pengembangan ternak ruminansia baik ruminansia besar (sapi dan kerbau) maupun ruminansia kecil (kambing dan domba) dapat memanfaatkan limbah yang tersedia dari kegiatan di subsektor lainnya seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, maupun kehutanan dan perikanan sebagai pakan ternak. Biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah biaya pakan, dengan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan usahatani lainnya akan dihasilkan efisiensi biaya produksi yang tinggi. Selain itu ternak sapi menghasilkan kotoran dalam jumlah cukup banyak dan dengan pengolahan yang sederhana, kotoran tersebut dapat diubah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah. Pada lokasi pengkajian SUP sapi potong di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang 5 tahun (1997-2002) telah dilakukan upaya pemanfaatan kotoran sapi sebagai sumber pupuk yang dapat memberi nilai tambah untuk tanaman hortikultura (kacang panjang dan lombok), seperti yang ditunjukan pada Tabel 1. Disamping digunakan untuk kebutuhan sendiri, pupuk kandang dapat dijual dengan
harga satu trek Rp 100.000 yang lumayan, sehingga secara keseluruhan kombinasi kegiatan pemeliharaan ternak ruminansia dan bercocok tanam akan sangat menguntungkan petani dengan jalan pengurangan biaya produksi dan peningkatan penghasilan. Selanjutnya hasil penelitian MASNIAH et al. (2001) tentang pemanfaatan pupuk kandang pada tanaman kacang panjang dan tomat yang dilaksanakan oleh kelompok wanita tani di Desa Binoni, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang diperoleh bahwa pemberian bokashi berpengaruh nyata pada tingkat 0,05% terhadap jumlah dan berat buah tanaman kacang panjang, sedangkan pupuk kandang tidak berbeda nyata pada jumlah buah namun pada berta buah berbeda nyata pada taraf 0,10%. Return cost ratio (RCR) kedua usaha tersebut sebesar 2,65 dan 3,1 dimana setiap Rp.1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan pendapatan kotor Rp.2,65 dan Rp.3,1 atau pendapatan bersih Rp.1,65 dan Rp.2,1, dari konsekuensi tersebut meskipun produksi yang dihasilkan masih rendah dan merupakan kegiatan sampingan namun keuntungannya memadai. Hasil pengkajian tentang integrasi tanaman dan ternak pada pengelolaan sistem usahatani lahan kering bagi budidaya tanaman organik di Kebun Percobaan (KP) Lili diperoleh bahwa kontribusi ternak dapat berupa penerimaan dalam bentuk uang tunai maupun limbah ternak/kotoran sapi (Tabel 2).
Tabel 1. Pengaruh penggunaan pupuk bokashi dan pupuk kandang terhadap tinggi tanaman kacang panjang (cm) Perlakuan Bokashi Pupuk kandang Kontrol
Tinggi tanaman (cm) 28 hst 42 hst 115a 262a 92b 251b 50b 179b
14 hst 25a 20b 14c
56 hst 295a 290b 231b
Huruf sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata (P = 0,05) SUMBER: ASNAH et al. (2000) Tabel 2. Kontribusi ternak sapi pada budidaya tanaman sayur organik Jenis kontribusi
Volume
Harga satuan (Rp)
Total penerimaan (Rp)
Hasil penjualan ternak (ekor) Hasil limbah ternak (kg)* Jumlah
5 24.090
2.350.000 100
11.750.000 2.409.000 14.159.000
* = Angka yang diperhitungkan dari penelitian sebelumnya Sumber: KOTE et al. (2004)
148
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Peternakan merupakan salah satu subsistem usahatani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem pertanian organik, ternyata dapat menghasilkan limbah yang cukup potensial serta dapat memberikan nilai tambah. DIWYANTO dan HARYANTO (2003) mengemukakan bahwa penelitian lain di berbagai tempat dan agroekologi menunjukkan bahwa pada umumnya integrasi ternak dan tanaman, baik itu tanaman pangan, perkebunan maupun hortikultura memberikan nilai tambah yang cukup tinggi. Kontribusi ternak didalam sistem tanaman-ternak bervariasi dari 5-75% tergantung pola integrasi yang diterapkan. Hasil penelitian tentang kontribusi biomasa tanaman lorong lamtoro sebagai pakan ternak dan sumber pupuk hijau pada sayur organik yang dilaksanakan di KP Lili diperoleh kontribusi biomasa lamtoro sebagai pakan ternak adalah rata-rata sebesar 3000; 8004 dan 9876 kg/ha masing-masing untuk waktu pemangkasan: puncak musim kemarau; musim hujan dan akhir musim hujan (awal musim kemarau). Sebagai sumber pupuk hijau untuk sayur organik, lamtoro mampu menyediakan pupuk Nitrogen, Fosfor dan Kalium sebesar 6390; 390 dan 810 kg/ha pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan sebesar 17048,5 kg/ha Nitrogen; 1040,5 kg/ha Phospor dan 2161,1 kg/ha Kalium (RATNAWATY et al., 2004). Dari hasil pangkasan lamtoro sebanyak 20 baris dimanfaatkan pada ternak sapi dengan jumlah pemberian 5 kg/ekor. Kontribusi tanaman lorong lamtoro sebagai pakan ternak dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil analisa proksimat oleh Balitnak Ciawi, Bogor diperoleh kandungan protein lamtoro sebesar 27,2%; serat kasar 18% dan energi 19,4 Mj/kg (ASNAH et al., 1993) hal ini mengindikasikan bahwa tanaman lamtoro merupakan tanaman potensial sebagai bank protein bagi ternak, disamping itu penanaman tanaman legum akan dapat menyuburkan tanah karena setiap 100 kg daun pohon legum yang ditambahkan pada tanah berarti juga menyumbang 3 kg Nitrogen pada tanah (FIELD, 1988). Pada Tabel 4 disajikan seberapa besar kontribusi tanaman lorong lamtoro sebagai pupuk hijau pada tanaman sayur sawi. Rata-rata pertumbuhan tanaman sawi pada pertanaman lorong lamtoro baik pada penanaman I dan II memperlihatkan pertumbuhan yang tidak berbeda yakni sebesar 36,0 ± 5,2 dan 39,8 ± 2,4 cm, namun rata-rata berat per tanaman cukup berbeda pada pertanaman I dan II yakni sebesar 0,168 ± 0,02 dan 0,409 ± 0,05 kg. Hal ini dapat terjadi disebabkan pada pertanaman II semakin banyak kandungan organik yang dimanfaatkan sayur sawi sehingga memberikan berat pertanaman yang lebih besar karena sayur sawi menghendaki tanah yang subur dengan banyak kandungan bahan organik. Hal lain kemungkinan bahwa efek dari penggunaan pupuk kandang memerlukan waktu. Demngan pemberian pupuk kandang akan terjadi perbaikan terhadap kualitas tanah (struktur dan kesuburannya yang belum dapat segera dilihat seketika tetapi dapat dilihat pertanaman berikutnya.
Tabel 3. Rata-rata pertambahan bobot hidup ternak sapi yang mengkonsumsi tanaman lorong lamtoro No. Ternak
Bobot hidup awal (kg)
Bobot hidup akhir (kg)
Pertambahan bobot hidup (kg)
1.
192
201
0,15
2.
227
232
0,08
3.
192
195
0,05
4.
169,5
170,5
0,02
5.
235
244
0,15
Rata-rata
203,1 ± 27,2
208,5 ± 29,6
0,45 ± 0,06
Sumber: RATNAWATY et al. (2004)
149
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 4. Pertumbuhan sayur sawi pada pertanaman lorong lamtoro di KP Lili Tanaman sampel
Penanaman II
Penanaman I Tinggi tanaman (cm)
Berat pertanaman (kg)
Tinggi tanaman (cm)
Berat pertanaman (kg)
1
30
0,19
42
0,32
2
32
0,15
35
0,44
3
34
0,17
39
0,42
4
32
0,15
40
0,43
5
35
0,17
37
0,42
6
37
0,18
41
0,35
7
42
0,18
42
0,35
8
38
0,15
41
0,42
9
33
0,18
42
0,44
10
47
0,16
39
0,50
Jumlah Rata-rata
360
1,68
398
4,09
36,0 ± 5,2
0,168 ± 0,02
39,8 ± 2,4
0,409 ± 0,05
Sumber: RATNAWATY et al. (2004)
Hasil Pengkajian tentang kelayakan usahatani padi dan integrasi itik Mojosari pada lahan sawah irigasi di KAPET Mbay, Kabupaten Ngada, ternyata mampu menekan populasi keong emas yang merupakan hama padi, peningkatan produksi padi sebesar 5.050 kg/ha dengan teknologi legowo serta dapat menambah pendapatan petani dari hasil penjualan telur sehingga bermuara pada tingkat kesejahteraan petani (BUDIANTO et al., 2002). Penggembalaan itik di sawah juga dapat menyuburkan sawah karena mengeluarkan kotoran selama digembala. Di Mbay, petani mampu memberikan keong emas pada itiknya sebanyak 8 kg/hari (RATNAWATY et al., 2003). Pemeliharaan itik di sawah mempunyai banyak manfaat baik bagi pemiliknya maupun pada lahan sawah. Itik memberikan telur yang berguna untuk menambah gizi keluarga tani dan mendapatkan nilai tambah bagi pendapatan petani. Selain itu, itik yang digembala di sawah dapat memakan keong emas dan hama lainnya (SETIOKO et al., 1999). Bahkan di Pemalang dan Subang menunjukkan bahwa itik yang digembalakan mengkonsumsi siput sebanyak 17% dari total pakan yang ada pada temboloknya (MURTISARI dan EVANS, 1982). DIWYANTO dalam DICKY PAMUNGKAS dan HARTATI (2004) mengemukakan bahwa integrasi antara padi-ikan dan bebek secara ekonomi memberikan keuntungan bersih antara
150
Rp. 889.000-1.160.000,- dalam satu musim tanam, dimana 12,4-14,7% diantaranya berasal dari bebek. Sementara hasil penelitian minapadi menunjukkan bahwa sistem mina-padi ini (2 kali setahun), dilanjutkan dengan ikan saja) memberikan hasil Rp. 2,4 juta setahun disbanding dengan sistem mina-padi-bera (Rp. 1,78 juta) dan sistem mina-padi-ikan (Rp. 2,19 juta) pada lahan seluas 0,87 ha. Integrasi ternak pada lahan pekarangan petani Empat jenis ternak yang umumnya dimiliki oleh keluarga petani pekarangan yaitu ternak ayam buras, kambing, sapi dan babi. Ternak yang dintegrasikan dalam usaha tani pekarangan adalah ternak kecil yaitu ayam buras, babi dan kambing. Hasil pengkajian yang dilakukan oleh BPTP NTT tahun 20002001 pada kegiatan integrasi ternak kambing dan ayam buras di lahan pekarangan di desa Naibonat kabupaten Kupang dengan pola ternak+ sayur-sayuran + tanaman pangan + tanaman tahunan mendapatkan bersih sebesar Rp. 892.105/ satu periode (Juni–Desember). Selain itu hasil integrasi ternak kambing di lahan pekarangan dapat memberikan keuntungan dari kotoran ternak kambing yang pelihara dilahan pekarangan untuk dijadikan pupuk bagi tanaman yang diusahakan.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Pemanfaatan limbah pternakan dalam sistem usahatani pekarangan berdampak positif terhadap tanah dan tanaman yang diusahakan. Budidaya sayur-sayuran yang mengandalkan sumber hara organik yang berasal dari limbah peternakan akan menghasilkan sayur-sayuran yang bebas dari residu yang beracun. Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai smber hara dapat memberikan peluang terciptanya suatu sistem yang memungkinkan untuk perdauran ulang unsur hara didalam tanah dan selain itu menjadi alternatif utama bagi masyarakat pedesaan yang berpenghasilan rendah dan terkadang tidak tersedia sarana produksi. Kontribusi ternak dalam sistem usahatani di Desa Raknamo, nonbes, Fatukanutu dan Pukdale Interaksi ternak dan perannya dalam sistem usahatani keluarga telah dilakukan survey dan monitoring pada empat desa yang telah diklasifikasi menjadi empat pola berdasarkan sistem pemeliharaan ternak sapi yaitu: i) Pola A (ekstensif-gembala bebas-lahan kering didesa Raknamo; ii) Pola B (Semi intensif-ikat pindahlahan kering di desa Fatukanutu; iii) Pola C (intensif dikandangkan) di desa Nonbes dan Pola D (semin intensif-ikat pindah-lahan sawah) di Desa Pukdale. Pada setiap pola di intruduksi beberapa ternak kecil sebagai penyokong kebutuhan keluarga sehari-hari. Adapun jenis ternak kecil yang diintroduksi pada masing-masing pola sebagai berikut: 1. Pola A setipa petani kooperator dintroduksi ternak ayam sebayak 8 ekor betina; 2 ekor
jantan dan kambing sebayak 3 betina; 1 ekor jantan. 2. Pola B setipa petani kooperator dintroduksi ternak ayam sebayak 8 ekor betina; 2 ekor jantan dan kambing sebayak 3 betina; 1 ekor jantan. 3. Pola C setipa petani kooperator dintroduksi ternak ayam sebayak 16 ekor betina; 4 ekor jantan dan kambing sebayak 3 betina; 1 ekor jantan. 4. Pola D setipa petani kooperator dintroduksi ternak ayam sebayak 10 ekor betina; 1 ekor jantan dan babi sebayak 1 betina; 1 ekor jantan. Tingkat produktivitas dan perannya terhadap pendapatan keluarga dapat disajikan berupa kinerja ternak setelah perbaikan paket teknologi serta kaitannya dalam usaha tani berikut ini. Penampilan produksi ayam buras Usaha perbaikan produktivitas ayam buras dilakukan dengan pemberian ayam gaduhan pada peternak kooperator masing-masing sebayak 10 ekor (8 betina dan 2 jantan) di pola A, B dan D serta 20 ekor (16 betina dan 4 jantan) di pola C. Adapun program paket teknologi yang diberikan dalam pemeliharaan ternak ayam buras adalah perbaikan kandang, perbaikan mutu pakan, cara pemberian pakan, vaksinasi, pemisahan anak dalam box pemisah, sanitasi kandang dan pemberian pakan khusus pada anak ayam. Jumlah pemilikan setelah 5 bulan pemberian ternak ayam dapat disajikan pada Tabel 4.
Tabel 5. Rata-rata jumlah pemilikan ayam pada bulan September 1992 (a) dan Februari 1993 (b) Pola
Ayam muda
Ayam dewasa
Rata-rata pemilikan
PBH
Betina
Jantan
Betina
8,6
36,2
0,2
3,2
10,1
41,7
5,3
5,9
2,9
7,1
32,3
3,1
5,7
3,1
7,2
37,3
1,9
6,45
12
2,3
13,2
54,3
3,6
5,3
11,3
5,2
13,6
56,4
5,7
A
Jumlah anak ayam
Jantan
Betina
Jantan
B (a)
17,6
3,5
4,0
2,5
(b)
20,1
3,1
5,2
C (a)
12,8
3,6
(b)
17,1
4,2
D (a)
20,4
(b)
21,0
151
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Terlihat bahwa komposisi pemilikan pada petani kooperator di setiap pola hampir seragam. Jumlah anak ayam terbanyak, kemudian disusun jumlah ayam betina dewasa, ,betina muda dan ayam jantan muda atau dewasa. Demikian pula rataan pemilikan masing-masing kategori ayam tersebut tidak berfluktuasi banyak. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pemilikan ayam sekarang adalah jumlah yang mendekati optimal, baik ditinjau dari ketersediaan tenaga yang ada maupun pakan, kebutuhan hidup keluarga dan permintaan pasar. Usaha peningkatan jumlah ayam harus disertai dengan penambahan sumber daya yang ada. Memperhatikan kenyataan tersebut usaha beternak unggas tidak mengganggu usahatani yang ada. Keterlibatan tenaga kerja ibu rumah tangga dalam memelihara ayam buras merupakan kunci keberhasilan usaha ini. Demikian pula peranan ternak ayam buras sebagai sumber penghasilan mingguan (rataan Rp 17.500,-) merupakan bukti bahwa ternak ini telah berhasil meningkatkan pendapatan tunai peternak. Kenyataan ini telah merangsang petani kearah usaha beternak dengan motivasi ekonomis.
Rataan pertambahan bobot hidup babi yang dipelihara diperlihatkan pada Tabel 6. Ternyata rata-rata PBH babi, baik pada usaha penggemukkan maupun usaha perkembangbiakan masih rendah dengan kisaran 56,25–125 g ekor-1 hari-1. Hal ini dapat dipahami karena babi yang dipelihara adalah babi lokal dengan pemeliharaan yang masih sederhana.
Penampilan produksi ternak babi
Penampilan produksi ternak kambing
Ternak babi hanya diberikan di pola D di Desa Pukdale, dengan asumsi bahwa usaha tani sawah yang terdapat di pola ini potensial dalam memasok dedak sebagai pakan utama ternak babi di daerah ini. Ada dua tujuan usaha yang diperkenalkan yaitu usaha penggemukkan babi jantan dan usaha perkembang biakan. Usaha penggemukkan diikuti oleh enem orang petani yang masing-masing menerima dua ekor babi jantan, sementara usaha perkembang biakan juga diikuti oleh enam orang petani yang menerima masing-masing menerima seekor jantan dan seekor betina.
Ternak kambing lokal sebanyak 60 ekor digaduhkan masing-masing kepada 10 orang petani kooperator di pola A dan di pola B, sehingga setiap petani menerima seekor kambing jantan dan 2 ekor betina. Monitoring lanjutan untuk membandingkan rataan bobot hidup awal (ditimbang tanggal 1 juli 1992) dan akhir (18 oktober 1992) serta PBH per ekor per hari dari kambing yang dipelihara petani kooperator di pola B telah dilakukan. Contoh dari beberapa hasil penimbangan kambing anak, muda dan dewasa pada kelamin jantan dan betina diperlihatkan pada Tabel 7.
Penampilan produksi ternak sapi Rata-rata PBH ternak sapi jantan dan betina pada keempat pola berdasarkan hasil monitoring adalah 127,1 + 155,7 g ekor-1 hari-1 untuk sapi jantan dan sapi betina sebesar 91,1 + 111,8 g ekor-1 hari-1 sedangkan rata-rata perubahan bobot hidup sapi anak jantan sebesar 228,4 + 117,7 g ekor-1 hari-1dan anak sapi betina sebesar 194,3 + 89,9 g ekor-1 hari-1. PBH tertinggi diperoleh pada pola B yaitu 888,5 g ekor-1 hari-1 untuk anak sapi jantan dan 266,3 g ekor-1 hari-1 untuk anak sapi betina. PBH terendah diperoleh pada pola A untuk anak sapi jantan dengan rata-rata 172,7 g ekor-1 hari-1dan PBH terendah untuk anak sapi betina pada pola D yaitu 164,6 g ekor-1 hari-1.
Tabel 6. Rata-rata bobot hidup babi (kg) dan PBH (g/hr) petani di Pukdale (Pola D) dari 5 Agustus s/d 13 Oktober 1991 Jenis usaha Perkembangbiakan
Penggemukan
152
Sex
Bobot hidup Agustus Bobot hidup Oktober
Rataan PBH (g ekor-1 hari-1)
Jantan
13,4
17,2
95
Betina
16,5
18,75
56,25
Jantan
28
33
125
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 7. Rata-rata bobot hidup (kg/ekor) ternak kambing yang diperoleh petani kooperator penelitian SUTT Bobot hidup (kg)
PBH (g ekor-1 hari-1)
Betina dewasa
19,3
20,5
Jantan muda
19,6
23
Betina Muda
16,5
15,9
Jantan anak
7,5
28
Betina anak
9,5
45,5
Jenis kelamin Jantan dewasa
Terlihat PBH per ekor per hari anak kambing betina sangat baik, demikian pula pertumbuhan kambing muda dan kambing dewasa. Penurunan berat umumnya terjadi pada kambing induk yang melahirkan anak, dan ini merupakan hal yang wajar ditinjau dari kebiasaan reproduksi biologis ternak. Pola perbaikan produksi hijauan pakan Untuk memanfaatkan pupuk kandang yang tersedia dan menyediakan pakan leguminosa sebagai sumber protein maka dibentuk kebun hijauan makanan ternak (HMT) sebagai kebun percontohan. Jenis tanaman yang diintroduksi adalah turi, gamal dan lamtoro dengan jarak tanam 1 x 1 meter dan sistem baris. Bibit tanaman berupa kokeran dalam plastik. Persentase tumbuh dan produksi hijauan dapat disajikan pada Tabel 9. Pertumbuhan ketiga jenis tanaman dipersemaian cukup baik yaitu 80% pada lamtoro dan 100% pada gamal dan turi. Sedangkan dilapangan setelah dipindahkan dari persemaian ternyata turi mempunyai daya tumbuh yang lebih baik (100%). Hal ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kesenangan
petani untuk menanam tanaman ini karena sudah lama dikenal. Sedang tanaman gamal dan lamtoro kurang disenangi sehingga tidak mendapat perhatian yang serius dari petani.Produksi hijauan lamtoro tertinggi sebanyak 2,8 kg per pohon per satu kali pangkas kemudian diikuti oleh gamal dan lamtoro yaitu 1,8 dan 1 kg. Dengan produksi hijauan seperti ini maka dari kebun seluas 5000 m2 diperoleh 756 kg hijauan. Bila seekor sapi dewasa mengkonsumsi 40 kg hijauan maka kebun contoh ini dalam satu kali pangkas dapat mencukupi kebutuhan sebanyak 19 ekor sapi dewasa atau 1 ekor sapi dewasa untuk selama 19 hari. Penerimaan dan biaya usahatani Besarnya tingkat penerimaan dan biaya berbagai cabang usahatani tanaman dan ternak selama satu tahuan diperlihatkan pada Tabel 10 dan 11. Pada Tabel 10 terlihat bahwa tanaman yang banyak diusahakanpetani adalah padi, jagung, kacang tanah. Sementara tanaman kacang kedelai dan kacang hijau hanya diusahakan oleh petani di pola D (pukdale). Hal ini dapat dimengerti karena lahan di Pukdale adalah lahan sawah, sementara di dua lokasi lainnya lahan kering. Padi yang merupakan tanaman andalan di pola C dan D oleh petani selain untuk konsumsi sendiri juga dapat dijual sebagai tambahan penghasilan keluarga. Namun jika dibandingkan dengan pola B tanaman padi hanya dipergunakan untuk konsumsi saja. Rataan penerimaan dan biaya usaha ternak pertahun dari masing-masing pola diperlihatkan pada Tabel 11.
Tabel 9. Presentase tumbuh dan produksi hijauan turi, gamal dan lamtoro Jenis tanaman
Persentase tumbuh (%)
Rataan produksi hijauan (kg/pohon/1 kali pangkas)
Persemaian
Lapangan
Turi
100
100
2,8
Gamal
100
80
1,8
Lamtoro
80
30
1
153
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 10. Rata-rata penerimaan dan biaya usahatani tanaman Usahatani Padi
Kegiatan
Nilai usaha tani (Rp /tahun) B
C
D
26.500
47.800
1.229.900
Penjualan
0
160.000
1.870.300
Konsumsi
57.700
115.500
829.350
17.900
26.280
63.450
Penjualan
120.000
51.910
58.500
Konsumsi
86.100
41.700
121.400
57.650
16.500
106.900
Penjualan
126.900
225.000
126.900
Konsumsi
105.000
27.000
375.000
Pengeluaran Penerimaan:
Jagung
Pengeluaran Penerimaan:
Kacang tanah
Pengeluaran Penerimaan:
Kacang turis
Pengeluaran
1.000
Penerimaan: Penjualan Kacang hijau
36.000 145.000
Pengeluaran Penerimaan:
580.000
Penjualan Kacang kedelai
155.500
Pengeluaran Penerimaan:
1.120.000
Penjualan Tabel 11. Rataan penerimaan dan biaya usahatani ternak Usahatani/ternak
Kegiatan
Babi
Pengeluaran Penerimaan: Penjualan Konsumsi Pengeluaran Penerimaan: Penjualan Konsumsi Pengeluaran Penerimaan: Penjualan Konsumsi Pengeluaran Penerimaan: Penjualan Konsumsi
Sapi
Ayam
Kambing
154
Nilai usahatani (Rp./tahun 87.900
37.200
125.950
14.500
93.500 1.874.750
162.500 90.000 469.000
816.600 80.000 62.500
1.705.000 350.000 136.250
659.300 114.625
58.967 43.500 131.250
84.350 39.700 -
198.850 241.000 -
35.000 27.500
-
-
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Sumber pendapatan dari ternak disemua pola tertinggi adalah sapi kemudian ayam, sedangkan pendapatan dari ternak babi hanya pada petani di pola C dan D. Cash flow ternak tertinggi diperlihatkan ternak sapi pada pola C. Hal ini disebabkan karena pada pola C petani mengusahakan sapi sistem penggemukan. Pada Tabel 11 diatas juga memperlihatkan bahwa ternak memberikan kontribusi yang tinggi terhadap total pendapatan petani. Hal ini menunjukkan bahwa usahan ternak mempunyai peranan yang penting dalam sistem usahatani yang ada. KESIMPULAN Sistem integrasi tanaman-ternak di NTT dapat terus dikembangkan sesuai kondisi setempat, dengan berbagai komponen teknologi yang dapat diintroduksikan serta dengan mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya alam, ramah lingkungan, secara sosial dapat diterima masyarakat dan secara ekonomi layak. DAFTAR PUSTAKA ANDI DJAYANEGARA dan INU GANDA ISMAIL. 2004. Manajemen Sarana Usaha Tani Dan Pakan Dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Workshop Kelembagaan Usaha TanamanTernak Terpadu Dalam Sistem dan Usaha Agribisnis, Denpasar tanggal 30 November-2 Desember 2004. ASNAH, SOPHIA R, D. KANA HAU dan R.B. WIRDAHAYATI. 2000. Pemanfaatan Bokashi Untuk Tanaman Kacang Panjang Dan Lombok. Laporan Hasil Penelitian BPTP Naibonat 1999. ASNAH, P.TH. FERNANDEZ, C. LIEM dan J. NULIK. 1997. Produksi Benih Pakan Ternak. Dalam: Hasil-Hasil Penelitian NTAADP Tahun 1996/1997, BPTP Naibonat. BAMUALIM, A. 1994. Usaha Peternakan Sapi di Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan dan APTEK Pertanian. Sub Balai Penelitian Ternak Lili/Balai Informasi Pertanian Noelbaki, Kupang, 1-3 Pebruari 1994. BUDIANTO DA., S. RATNAWATY dan A. ILLA. 2002. Kelayakan Usahatani Padi di Kapet Mbay,
Kabupaten Ngada Tahun 2002. Jurnal Informasi Pertanian lahan Kering 14: 40. DIWYANTO, K., B.R. PRAWIRADIPUTRA dan D. LUBIS. 2002. Integrasi Tanaman Ternak Dalam Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing, Berkelanjutan dan Berkerakyatan; Wartazoa 12(1): 1-8. DIWYANTO, K. dan B. HARYANTO. 2003. Pakan Alternatif Untuk Pengembangan Peternakan Rakyat. Rakor Pengembangan Model Kawasan Agribisnis Jagung TA. 2002. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta 29 April 2002. DICKY PAMUNGKAS dan HARTATI. 2004. Peranan Ternak Dalam Kesinambungan Sistem Usaha Pertanian. Pros. Seminar Nasional, Sistem Integrasi Tanaman-Ternak, Denpasar 20-22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan Crop Animal Systems Research Network (CASREN). FIELD, S. 1988. Alley cropping an alternative farming system for NTT NTAADP. Consultant for Dinas Pertanian Tanaman Pangan, NTT. (ACIL). KOTE M., P. TH. FERNANDES, A. RUBIATI, S. RATNAWATY dan Y. LEKI SERAN. 2004. Integrasi Tanaman dan Ternak Pada Pengelolaan Sistem Usahatani Lahan Kering Bagi Budidaya Tanaman Organik di Kebun Percobaan Lili-Kupang. Laporan Hasil Pengkajian BPTP NTT Tahun 2004. MASNIAH, WIRDAHAYATI, D. KANA HAU dan S. RATNAWATY. 2000. Pemanfaatan Pupuk Kandang Pada Tanaman Sayuran Kacang Panjang dan Tomat di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Laporan Hasil Penelitian dan Pengkajian BPTP Naibonat tahun 2001. MURBANDONO H.S. 1998. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. MURTISARI T. dan EVANS A.J. 1982. The importance of aquatic snail in the diet fully herded ducks research report 1092. Balitnak Ciawi. RATNAWATY S., YL. SERAN, M. KOTE dan P.Th. FERNANDEZ. 2004. Kontribusi Biomas Tanaman Lorong Lamtoro sebagai Pakan Ternak dan Sumber Pupuk Hijau pada Sayur Organik. Seminar Nasional Komunikasi HasilHasil Penelitian Sistem Usahatani Berbasis Hortikultura, Maumere 14-15 Juni 2005. Kerjasama Pemda Sikka dan BPTP NTT, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian-Badan Litbang Pertanian.
155
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
RATNAWATY S., K. MEDO dan A.B. DIDIEK. 2003. Integrasi Itik Mojosari dan Padi di Lahan Sawah Irigasi Mbay, Ngada. Seminar Nasional Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Usahatani Lahan Kering Berbasis Peternakan, Waingapu 23–24 Agustus 2004. Kerjasama Pemda Sumba Timur dan BPTP NTT, PSE Bogor-Badan Litbang Pertanian. SETIOKO A.R., S. ISKANDAR, Y.C. RAHARJO, T.D. SOEDJANA, T. MURTISARI, M. PURBA, SE. ESTUNINGSIH, N. SUNANDAR dan D. PRAMONO. 1999. Model Usahatani Ternak Itik dalam Sistem Pertanian Dengan Index Pertanaman Padi Tiga Kali Pertahun (IP300). JITV. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian, hal 38.
156
WIRDAHAYATI R.B., C. LIEM, A. POHAN, J. NULIK, P.TH. FERNANDEZ, ASNAH dan A. BAMUALIM. 1997. Pengkajian Teknologi Usaha Pertanian Berbasis Sapi Potong di NTT. Dalam Pertemuan Pra-Raker Badan Litbang Pertanian II. Manado tanggal 3-4 Maret 1997.