KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU RAWA DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN
ARFIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pengembangan Peternakan Kerbau Rawa di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Arfiani D151120211
RINGKASAN ARFIANI. Kajian Pengembangan Peternakan Kerbau Rawa di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Dibimbing oleh ASNATH MARIA FUAH, SALUNDIK dan BAGUS PRIYO PURWANTO. Perkembangan populasi kerbau di Indonesia tahun 2003-2011 berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2003 dan Pendataan Sapi Potong Sapi Perah dan Kerbau tahun 2011 menunjukkan adanya penurunan. Pada tahun 2003, populasi kerbau di Indonesia sebesar 2.45 juta ekor, sedangkan menurut data PSPK (Ditjennakeswan 2011) populasi kerbau menjadi 1.3 juta ekor. Penurunan rata-rata 0.58% per tahun atau setara dengan 7.8 ribu ekor per tahunnya dengan kenaikan jumlah pemotongan kerbau rata-rata 3.4% pertahun. Banten merupakan sentra kerbau terbesar ke 4 di Indonesia yang memberikan kontribusi populasi sebesar 9.4% (Ditjennakeswan 2011). Populasi dan pemotongan kerbau di Propinsi Banten mengalami penurunan selama 2008-2012 masing-masing sebesar 3.47% dan 2.3% pertahun. Apabila tidak didukung dengan peningkatan populasi yang seimbang secara bertahap akan menurunkan populasi kerbau di Provinsi Banten. Kabupaten Pandeglang merupakan wilayah pengembangan kerbau di Provinsi Banten, didasarkan atas kesesuaian lahan, klimatologi dan topografi (Bappeda Pandeglang 2011). Populasi kerbau sebesar 29 106 ekor pada tahun 2012 dengan penurunan populasi sebesar 1.2% per tahun. Responden adalah 93 peternak yang ditentukan secara purposive dari kelompok ternak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan kawasan kerbau rawa di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang. Wawancara menggunakan pertanyaan dan pengamatan ke lokasi peternak untuk melihat sistem budidaya yang diterapkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Parameter yang diamati berupa karakteristik kawasan dan faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan kawasan peternakan kerbau yaitu karakteristik wilayah, karakteristik produksi ternak, kapasitas daya dukung lahan, karakteristik peternak, serta teknik budidaya peternakan. Perumusan strategis pengembangan peternakan kerbau dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threath). Penilaian dalam analisis faktor internal dan faktor eksternal dilakukan dengan pengisian kuisioner oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik produksi kerbau rawa yang dimiliki kelompok peternak di Kabupaten Pandeglang cukup baik berdasarkan ketersediaan ternak betina yang cukup untuk reproduksi, petani peternak yang memiliki pengalaman dalam memelihara ternak yang tergabung dalam kelompok tani dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan kerbau. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain ketersediaan lahan dan pakan yang terbatas, pola pemeliharaan yang subsisten, penerapan teknologi pakan, reproduksi dan sistem pemasaran yang belum memadai. Alternatif strategi pengembangan meliputi perbaikan manajemen reproduksi melalui pengadaan bibit jantan unggul, teknologi pakan, peningkatan ketrampilan SDM melalui pelatihan didukung dengan penguatan kelembagaan peternak (koperasi). Kata kunci: kerbau, peternak, produksi, SWOT
5
SUMMARY ARFIANI. Study on Development of Swamp Buffalo Farming in Pandeglang Banten Province. Supervised by ASNATH MARIA FUAH, SALUNDIK and BAGUS PRIYO PURWANTO. Buffalo population growth in Indonesia during 2003-2011 based on data from the Central Statistics Agency (BPS) in 2003 and Data Collection of Beef Cattle Dairy Cattle and Buffaloes in (PSPK 2011) showed a decrease. The population of buffaloes in Indonesia are 2.45 million head in 2003, whereas according to the PSPK (Ditjennakeswan 2011) buffalo population recorded only 1.3 million head. The average rate of decline 0.58% per year or equivalent to 7.8 thousand heads per year due to an increase in the number of slaughtering buffalo on the average of 3.4% per year. Banten is one of the largest centers of buffalo which contributes 9.4% of the population (Ditjennakeswan 2011). The population of buffaloes in the Banten Province has also decreased over 2008-2012 on average of 3.47% per year. Although the level of buffalo slaughtering in Banten province decreased by 2.3% over 2008-2012 but if it is not supported by a balanced increase in population will gradually reduce the population of buffaloes in Banten Province. Pandeglang is a developing area of buffaloes in Banten province, based on the suitability of land, climatology and topography (Bappeda Pandeglang 2011). Buffalo population in Pandeglang are 29 106 head in 2012 with a declining rate at 1.2% per year. A study was conducted using 93 farmers as respondent who selected by purposive and those engaging in the activities of buffalo development in Cibarani village Cisata District of Pandeglang. Data were then collected by farmer’s interview and direct observation on their farming systems. The collected parameters were characteristics of the region and external factors those maybe influence the development of buffalo farming. The data were characteristic of the region, the characteristics of livestock production, the carrying capacity of land, farmer’s characteristics, as well as livestock farming techniques. The formulation of strategic development of buffalo development is done by using a SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity and threath) to clearly describe how external opportunities and threats facing the herd as well as strengths and weaknesses. Ratings or scores in the factor analysis of internal and external factors wass done by filling the questionnaire by respondents. The results showed that the characteristics of livestock production owned buffalo farmer group in Pandeglang pretty good by the availability of sufficient female buffalo for reproduction, livestock farmers who have experience in raising livestock belonging to farmer groups and government policies for the development of buffaloes. Some of the constraints faced by, among others, the availability of land and feed are limited, maintenance subsistence patterns, the application of food technology, reproduction and marketing systems are not adequate. Alternative strategies include the development of improved management of male reproduction through superior seedlings, food technology, increasing skills of human resources through training supported by institutional strengthening farmers. Keywords: buffalo, livestock farmers, production, SWOT.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7
KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU RAWA DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN
ARFIANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Afton Atabany, MSi
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sebagai tugas akhir dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam tak lupa disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita semua yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya. Amin ya rabbal a’lamin. Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai pengembangan peternakan kerbau rawa di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dengan sumber dana dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan atas beasiswa selama studi Pascasarjana di IPB. Penyusunan tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Ucapan terimakasih kepada mama, suami, anak-anak dan keluarga besar serta para sahabat atas doa, semangat dan dukungannya yang tiada henti. Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing (Dr Ir Asnath M. Fuah MS, Dr Ir Salundik MSi dan Dr Ir Bagus P. Priyanto MAgr) yang telah banyak mengarahkan penulis sejak penelitian dimulai hingga selesai. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada rekanrekan pasca sarjana angkatan 2012 jurusan ITP yang selalu berbagi dalam kebaikan. Kepada Departemen IPTP (Prof Dr Ir Muladno MSA, Dr Ir Rudy Priyanto MS, Dr Ir Niken Ulupi MSi, Ibu Ade dan Mba Okta) yang telah banyak membantu selama di pascasarjana Fapet IPB. Tidak lupa pula saya ucapkan terimakasih kepada Ir Fauzi Luthan dan Ir Wignyo Sadwoko MM atas dukungan dan inspirasi dalam semangat belajar. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Bogor, Juni 2016 Arfiani
11
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xiv xv xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
15 15 16 16 16
2 METODE Materi dan Data Penelitian Metode Parameter Pengukuran Analisa Data Perumusan Strategi
17 17 18 18 19 20
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Wilayah Potensi Ternak Kerbau Karakteristik Peternak Kelembagaan Peternak Kebijakan Pemerintah
21 21 26 33 36 36
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
43 43 43
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
44 46
DAFTAR TABEL 1. Matriks SWOT 2. Ukuran Ternak Kerbau 3. Struktur Kepemilikan Ternak Kerbau 4. Performans Ternak Kerbau di Desa Cibarani 5. Karakteristik Peternak Berdasarkan Kelompok 6. Tingkat Pengetahuan Motivasi dan Partisipasi Responden 7. Identifikasi Analisis Internal 8. Identifikasi Analisis Eksternal 9. Hasil Evaluasi Faktor Internal 10. Hasil Evaluasi Faktor Eksternal
21 20 27 29 33 35 37 38 39 41
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram Kerangka Pemikiran
17
DAFTAR GRAFIK 1. Hasil Pengukuran Morfometrik Kerbau
31
DAFTAR LAMPIRAN 1. Analisa SWOT 2. Pembobotan Faktor Internal 3. Pembobotan Faktor Eksternal 4. Penerapan Aspek Teknis Pemeliharaan Ternak Kerbau 5. Riwayat hidup penulis
49 51 53 54 55
13
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Jumlah penduduk yang semakin meningkat dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan protein hewani. Hal ini sejalan dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakatakan kecukupan protein hewani. Secara nasional kebutuhan daging sapi dan kerbau pada tahun 2012 untuk konsumsi dan industri sebesar 484 ribu ton sedangkan ketersediaannya sebanyak 399 ribu ton dicukupi dari sapi lokal sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton dan kekurangan ini dipenuhi dari impor (Ditjennakeswan 2012). Perkembangan populasi kerbau di Indonesia selama periode tahun 2003-2011 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003 dan Pendataan Sapi Potong Sapi Perah dan Kerbau tahun 2011 (PSPK 2011) menunjukkan adanya penurunan. Pada tahun 2003, populasi kerbau di Indonesia sebesar 2.45 juta ekor, sedangkan menurut data PSPK 2011 (Ditjennakeswan 2011) populasi kerbau menjadi 1.3 juta ekor. Tingkat penurunan rata-rata 0.58% per tahun atau setara dengan 7.8 ribu ekor per tahunnya dengan kenaikan jumlah pemotongan ternak kerbau rata-rata sebesar 3.4% pertahun. Kegiatan operasional pengembangan ternak kerbau seperti yang tercantum dalam Rancang Bangun Pengembangan Ternak Kerbau (Ditjennakeswan 2011) mencakup pengembangan populasi, peningkatan produksi dan daya saing, serta peningkatan pendapatan peternak. Sistem budidaya ternak kerbau di Indonesia masih didominasi oleh peternak kecil dengan cara pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Hal ini menjadi salah satu kunci permasalahan penurunan populasi ternak kerbau. Pembangunan peternakan dirancang dengan sistem terpadu sehingga menghasilkan output dengan menggunakan sumberdaya lokal. Pengembangan populasi ternak kerbau berhubungan erat dengan tingkat produksi dan produktivitas. Banten merupakan salah satu sentra kerbau terbesar ke 4 di Indonesia yang memberikan kontribusi populasi sebesar 9.4% (Ditjennakeswan 2011). Populasi ternak kerbau di Propinsi Banten mengalami penurunan selama lima tahun terakhir (2008-2012) sebesar rata-rata 3.47% pertahun. Walaupun tingkat pemotongan kerbau di Provinsi Banten mengalami penurunan sebesar 2.3% selama lima tahun terakhir (2008-2012) namun apabila tidak didukung dengan peningkatan populasi yang seimbang secara bertahap akan menurunkan populasi ternak kerbau di Provinsi Banten. Kabupaten Pandeglang merupakan wilayah pengembangan ternak kerbau di Provinsi Banten, didasarkan atas kesesuaian lahan, klimatologi dan topografi yang sangat memungkinkan bagi pengembangan ternak tersebut (Bappeda Pandeglang 2011). Populasi ternak kerbau sebesar 29 106 ekor pada tahun 2012 dengan penurunan populasi sebesar 1.2% per tahun. Kerbau tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Pandeglang dengan luas wilayah sebesar ± 274 689 Ha atau 2 746.89 Km2 yang secara administrasi terbagi dalam 35 kecamatan dan 335 desa/kelurahan. Menurut Kusnadi et al. (2005), fungsi dan peranan kerbau di Kabupaten Pandeglang antara lain sebagai sumber tenaga, sumber pendapatan, tabungan keluarga, sumber pupuk, status sosial dan sebagai kesenangan. Desa Cibarani Kecamatan Cisata dengan luas lahan sebesar 370.03 Ha merupakan salah satu lokasi pengembangan kawasan kerbau di Kabupaten Pandeglang. Ternak kerbau yang ada di masyarakat memiliki potensi
yang prospektif dalam menunjang ekonomi masyarakat. Ketersediaan komponen utama dan aspek pendukung seperti pelayanan kesehatan hewan, perbibitan, kelembagaan, pakan, sampai ke aspek hilir yakni unsur pemasaran akan mendukung percepatan peningkatan produktivitas ternak kerbau yang ada. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis aspek-aspek yang mempengaruhi dan strategi pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang.
Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Populasi ternak kerbau di Indonesia secara umum cenderung menurun. 2. Sistem pemeliharaan budidaya ternak kerbau masih bersifat tradisional sehingga produktivitas rendah 3. Informasi komprehensif tentang sistem produksi dalam upaya pengembangan ternak kerbau masih terbatas.
Tujuan Penelitian Tujuan dari pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi faktor-fakor yang berpengaruh pada pengembangan peternakan kerbau. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan peternakan kerbau. 3. Perumusan strategi pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Sebagai sumber informasi potensi wilayah dalam rangka pengembangan ternak kerbau; 2. Sebagai evaluasi kemajuan usaha pengembangan kawasan ternak kerbau; 3. Sebagai bahan masukan untuk kebijakan pengembangan kawasan ternak kerbau.
15
Kondisi sekarang: Populasi ternak kerbau di Indonesia secara umum cenderung menurun dan sistem pemeliharaan budidaya ternak kerbau masih bersifat tradisional sehingga produktivitas rendah
Program dan Kegiatan Pengembangan Ternak Kerbau di Kabupaten Pandeglang
1) Identifikasi aspek-aspek pendukung a. Potensi wilayah b. Potensi ternak kerbau c. Karakteristik peternak d. Kelembagaan e. Kebijakan pemerintah 2) Analisis aspek-aspek pendukung a. Aspek karakteristik wilayah b. Aspek karakteristik produksi ternak c. Aspek kelembagaan d. Aspek kebijakan
Analisa SWOT
Strategi pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran
2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Secara keseluruhan waktu penelitian adalah mulai dari bulan Januari – Juli 2014. Lokasi ini dipilih secara purposive karena berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten nomor 903/56.a-Kpts/DPP/2013 yang telah ditetapkan Desa Cibarani menjadi lokasi penerima bantuan kegiatan tersebut untuk pengembangan ternak kerbau. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Januari-Juli 2014.
Materi dan Data Penelitian Responden yang dipilih adalah 93 peternak yang ditentukan secara purposive dari kelompok ternak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan kawasan ternak kerbau di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan disamping pengamatan ke lokasi peternak untuk melihat sistem budidaya yang diterapkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dariinstansi terkait seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Badan Perencanaan Daerah Provinsi dan Kabupaten, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten, BPS, kantor kecamatan dan desa setempat maupun penelitian-penelitian sebelumnya. Data primer hasil wawancara lapangan meliputi aspek manajemen budidaya, reproduksi dan produksi, pakan kesehatan ternak, paska panen, kelembagaan dan kendala yang dihadapi oleh peternak.
Metode Penelitian ini menggunakan metode survei ke lokasi target untuk melakukan pengamatan dan pengumpulan data yang terkait dengan ternak kerbau. Penelitian ini melibatkan responden masyarakat peternak kerbau yang ditentukan secara purposive menggunakan kriteria yang sudah ditentukan yakni keterlibatan peternak sebagai anggota aktif dikelompok maupun dalam pemeliharaan ternak kerbau.
Parameter yang Diukur Parameter yang diamati berupa karakteristik kawasan dan faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan kawasan peternakan kerbau di Desa Cibarani Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang, yaitu: a. Karakteristik wilayah meliputi; iklim, jenis tanah, topografi, sistem penggunaan lahan dan daya dukung lahan. b. Karakteristik produksi ternak yaitu struktur ternak dan bobot badan ternak. Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur dalam satuan cm adalah tinggi
17
pundak, tinggi pinggul, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, panjang badan dan lebar pinggul (Sitorus dan Anggraeni 2008). c. Kapasitas daya dukung lahan yang diperoleh dengan perhitungan konversi sumber hijauan dan populasi ternak yang dikalikan koofisien satuan ternak (Nell dan Rollinson 1974). d. Karakteristik peternak meliputi; umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, jumlah anggota keluarga dan rumah tangga petani ternak serta pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak. e. Teknik budidaya peternakan meliputi; pola manajemen, perkembangan kelompok, pola budidaya, penerapan teknologi reproduksi dan pakan, penanganan penyakit dan kesehatan ternak, dan sarana prasarana peternakan.
Analisa Data
a.
b.
c.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk melakukan simplifikasi dan deskripsi data yang dapat memberikan informasi yang lengkap dan komprehensif tentang sistem produksi ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang meliputi: Motivasi, pengetahuan dan partisipasi peternak terhadap pengembangan peternakan kerbau yang ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan dengan kuisioner. Kisaran nilai 1-5 dan total skor berkisar dari 10 sampai dengan 50 dengan kategori (1) rendah; untuk responden yang memiliki nilai skor kurang dari 25, (2) cukup; nilai skor 26 - 33, (3) tinggi; nilai skor 34 - 41 dan (4) sangat tinggi; nilai skor 42 - 50. Skor nilai partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dibandingkan melalui analisis statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney dengan bantuan software Minitab (Musa dan Nasoetion 2007). Kapasitas daya dukung lahan dengan menghitung potensi sumber hijauan makanan ternak yang dihitung dengan konversi sumber hijauan terhadap potensi padang rumput alami kemudian dilakukan penghitungan potensi hijauan berdasarkan Satuan Ternak (ST) (Nell dan Rollinson 1974). Produktivitas ternak yang dianalisis meliputi karakteristik produksi yaitu kondisi ternak yang diperoleh dari pengamatan. Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur menggunakan alat ukur. Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur dalam satuan cm adalah: 1. Tinggi pundak adalah jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah diukur dengan menggunakan tongkat ukur. 2. Tinggi pinggul adalah jarak tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, diukur dengan menggunakan tongkat ukur. 3. Lingkar dada diukur melingkar tepat dibelakang scapula menggunakan pita ukur. 4. Lebar dada adalah jarak antara penonjolan sendi bahu (Os scapula) kiri dan kanan, diukur dengan pita ukur. 5. Dalam dada merupakan jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada, diukur dengan menggunakan tongkat ukur. 6. Panjang badan adalah jarak garis lurus dari tepi tulang Processus spinocus sampai dengan benjolan tulang lapis (Os ischium), diukur dengan tongkat ukur.
7. Lebar pinggul diukur menggunakan tongkat ukur sebagai jarak lebar antara kedua sendi pinggul.
Gambar 2
Ukuran-ukuran tubuh kerbau (Sitorus dan Anggraeni 2008) dengan keterangan: Nomor 1-7 berurutan adalah tinggi pundak (1), tinggi pinggul (2), lingkar dada (3), lebar dada (4), dalam dada (5), panjang badan (6) dan lebar pinggul (7) Perumusan Strategi
Perumusan strategis pengembangan peternakan kerbau dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity dan threath) untuk menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi kelompok ternak serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Penilaian atau skor dalam analisis faktor internal dan faktor eksternal dilakukan dengan cara pengisian kuisioner oleh responden. Responden diambil menggunakan pendekatan melalui metode purposive sampling, yaitu berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti, yaitu responden yang dianggap mengetahui (expert) tentang penelitian (Sugiyono 2011). Responden yang dipilih meliputi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pandeglang, Aparatur Desa dan Petugas Penyuluh Lapang setempat. Penyusunan perencanaan jangka panjang merupakan strategi untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan misi usaha. Pengambilan keputusan
19
strategi berasal dari proses analitik SWOT, dengan mengidentifikasikan faktor secara sistematik. Analisis didasarkan pada pada logika yang memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti 1997). Strategi yang harus dibangun untuk mewujudkan tujuan tersebut diklasifikasikan menurut lingkungan eksternal dan internal. Matriks SWOT menurut David (2004) merupakan perangkat pencocokan yang penting dalam mengembangkan empat tipe strategi yaitu Strategi SO (Strenght-Oppurtunities), Strategi WO (Weakness-Oppurtunities), Strategi ST (Strength-Threaths) dan Strategi WT (Weakness-Threaths). Berdasarkan matriks SWOT akan dirumuskan berbagai solusi yang diperlukan untuk perbaikan program pengembangan ternak kerbau di wilayah tersebut. Selanjutnya dilakukan pemilihan alternatif strategi yang sesuai dengan kondisi yang ada adalah dengan membuat matriks SWOT. Matriks SWOT dibangun berdasarkan hasil analisis faktor–faktor strategis eksternal maupun internal yang disusun empat strategi utama yaitu: SO, WO, ST dan WT (Tabel 2.3) Tabel 1 Matriks SWOT FSI Strengths (S) Weaknesses (W) FSE Strategi SO Opportunities (O)
Treaths (T)
Menggunakan kekuatan dengan mamanfaatkan peluang Strategi ST
Strategi WO Meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi WT
Menggunakan kekuatan Meminimalkan untuk mengatasi ancaman kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (1997)
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Wilayah Kondisi Umum Lokasi Desa Cibarani merupakan salah satu wilayah administratif di Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dengan luas daerah sebesar 3.7 km² atau sebesar 11.69% dari luas Kecamatan Cisata. Wilayah Kabupaten Pandeglang sendiri berada pada bagian Barat Daya Propinsi Banten dan secara geografis terletak antara 06º21’- 7º10’ Lintang Selatan (LS) dan 104º8’- 106º11’ Bujur Timur (BT). Bentuk topografi wilyah Desa Cibarani merupakan dataran bukan pantai dengan ketinggian dibawah 500 m diatas permukaan laut. Jarak
antara Desa Cibarani dengan ibukota Kecamatan sebesar 7.2 km, sedangkan jarak dengan ibukota Kabupaten dan Provinsi masing-masing sebesar 37.3 dan 45.10 km. Desa Cibarani memiliki batas administrasi dengan Desa Rawasari pada bagian utara, Kecamatan Saketi pada bagian selatan dan timur serta Desa Cisereh pada bagian barat. Letak desa tersebut sebagaimana tercantum berikut. Peta Desa Cibarani, Kecamatan Cisata, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Peta Provinsi Banten
Desa Cibarani Desa CibaraniDesa Cibarani
Peta Provinsi Banten
Peta Provinsi Gambar Banten 3 Peta wilayah penelitian
Banyaknya curah hujan rata-rata perbulan sebanyak 356.33 mm dengan rata-rata hari hujan sebanyak 18.42 hari per bulan. Kelembaban relatif setiap bulannya tercatat sebesar 81% dengan suhu berkisar antara 27 º - 32º C. Lahan pertanian dan perkebunan merupakan lahan dominan di daerah ini dengan jalur transportasi mayoritas jalan tanah/berbatu dengan sedikit jalan aspal pada akses utama. Potensi sumber daya alam di Desa Cibarani berupa luas lahan sebesar 370.03 Ha yang terdiri lahan sawah sebesar 161.2 Ha dan lahan kering sebesar 208.83 Ha. Jenis tanah pada Kecamatan Cisata terdiri dari jenis latosol, alluvial dan padsolik. Banyaknya jumlah rumah tangga yang tercatat pada tahun 2012 Peta Provinsi Banten
21
sebanyak 1.038 rumah tangga dengan jumlah penduduk sebanyak 3.927 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 2.067 jiwa dan perempuan sebanyak 1.860 jiwa. Mayoritas pekerjaan masyarakat adalah petani dengan jumlah rumah tangga peternak sendiri tercatat sebanyak 221 rumah tangga. Populasi ternak di desa tersebut yang tercatat dalam BPS Kabupaten Pandeglang tahun 2012 terdiri dari komoditas kerbau sebanyak 203 ekor dan kambing/domba sebanyak 445 ekor. Keberadaan ternak lain seperti ayam kampung, bebek serta hewan lainnya juga terlihat di lokasi namun sifat pemeliharaannya belum menjadi tujuan produksi dan hanya bersifat kesenangan atau tabungan sampingan. Pendataan Sapi Potong Sapi Perah dan Kerbau yang dilaksanakan oleh BPS bekerja sama dengan Kementerian Pertanian pada tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah keluarga peternak di Desa Cibarani sebanyak 83 rumah tangga peternak dan jumlah kerbau sebanyak 401 ekor yang terdiri dari 317 ekor betina dan 84 ekor jantan. Sedangkan pada Statistik Pertanian yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2013 menunjukkan hasil pendataan jumlah keluarga peternak sebanyak 221 keluarga dengan sebaran jumlah ternak sebanyak 372 ekor yang terdiri dari 289 ekor ternak betina dan 83 ekor ternak jantan. Sehingga dapat dilihat bahwa penurunan jumlah ternak kerbau di Desa Cibarani dalam dua tahun terakhir dapat mencapai 7.2%. Banyaknya curah hujan rata-rata perbulan sebanyak 356.33 mm dengan rata-rata hari hujan sebanyak 18.42 hari per bulan. Kelembaban relatif setiap bulannya tercatat sebesar 81% dengan suhu berkisar antara 27 º - 32º C. Zona nyamanuntuk kerbau berkisar antara 15,50-210C dengan curah hujan 500-2000 mm/tahun. Laporan lain menyebutkan bahwa zona yang paling ideal bagi ternak kerbau untuk hidup dan berkembang biakyaitu pada kisaran temperatur 160-240C, dengan batas toleransi 27,60C (Markvichitr 2006). Kenyataan dilapangan kerbau mampu mentoleransi kondisi yang ada namun hal ini bisa berdampak pada penurunan produktivitas ternak kerbau. Lahan pertanian dan perkebunan merupakan lahan dominan di daerah ini dengan jalur transportasi mayoritas jalan tanah/berbatu dengan sedikit jalan aspal pada akses utama. Banyaknya jumlah rumah tangga yang tercatat pada tahun 2012 sebanyak 1.038 rumah tangga dengan jumlah rumah tangga peternak sebanyak 21.29%. Potensi Lahan Potensi wilayah Desa Cibarani secara fisik berupa lahan yang cukup luas yakni sebesar 370.03 ha yang terdiri lahan sawah sebesar 161.2 ha dan lahan kering sebesar 208.83 ha. Penggunaan lahan terutama pertanian berhubungan dengan ketersediaan pakan untuk ternak kerbau. Berdasarkan data yang diperoleh asumsi potensi produksi hijauan di Desa Cibarani sebanyak 1151.625 ton BK/ha/tahun dengan jumlah ternak ruminansia sebanyak 532.13 ST dan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia efektif diperoleh -30.5184 ST yang menunjukkan bahwa potensi hijauan di lokasi tersebut kurang memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan peternak aktif mencari pakan dari luar desa karena komoditas ternak kerbau menjadi aset yang diutamakan dalam kehidupan sehari-hari yang perlu disuplai dengan pakan yang cukup. Apabila saat perayaan hari raya Idul Adha, masyarakat memilih menggunakan ternak kerbau sebagai hewan kurban.
Pola penyediaan pakan ternak terbagi menjadi dua, pertama dengan penggembalaan dimana ternak kerbau dari kandang dilepas ke lahan perkebunan dan atau area lahan kosong di sekitar sungai atau kubangan air selama 7-10 jam/hari. Pola kedua dengan cut and carry dimana peternak memberikan tambahan hijauan pakan yang diperoleh dengan menyabit di lapangan, tegalan dan perkebunan. Namun pada saat panen padi, ternak kerbau kemudian digembalakan di lahan persawahan dengan ketersediaan pakan jerami padi melimpah. Pemberian tambahan pakan hijauan dilakukan pada saat ternak kerbau masuk ke kandang di waktu sore hari. Setiap ekor kerbau rata-rata mendapatkan pakan hijauan tersebut sebanyak 5 kg per hari. Jenis hijauan pakan lokal yang sering diberikan kepada ternak kerbau dianalisa kandungan pakannya dengan hasil seperti tabel 2. Tabel 2 Kandungan pakan hijauan lokal No
Nama Rumput
BK
Abu
PK
Kandungan LK Beta-N
SK
Ca
P
1 Jampang beureum (Oplimenus composites) 2 Eurih (Imperata cylindrical)
14.00
2.34
2.53
4.28
0.26
4.59
0.14
0.06
NaCl 0.05
29.33
2.38
3.12
10.24
0.34
13.25
0.27
0.09
0.03
3 Kalabeta
24.69
3.47
3.34
5.94
0.39
11.55
0.18
0.1
0.1
4 Jukut jajahean (Panicum repens L.) 5 Hanjaro
22.08
1.26
2.71
8
0.37
9.74
0.18
0.06
0.05
20.78
2.3
1.97
6.52
0.63
9.36
0.2
0.09
0.19
6 Carulang (Eleusine indica)
18.54
1.61
2.26
4.37
0.19
10.12
0.2
0.06
0.11
7 Wuwudulan (Hymenachne amplexicaulis)
13.71
1.53
2.31
4.35
0.15
5.37
0.13
0.03
0.16
Keterangan: BK (Bahan Kering), PK (Protein Kasar), SK (Serat Kasar), LK (Lemak Kasar), Beta-N (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen), Ca (Kalsium), P (Phospor) dan NaCl (Natrium Chlorida) Kerbau dikenal memiliki kemampuan lebih baik dalam memanfaatkan pakan serat berkualitas rendah dengan serat kasar tinggi seperti jerami padi, jagung dan kacang tanah untuk diubah menjadi daging ataupun susu. Dhanda (2004) menyatakan kerbau memiliki kemampuan cerna serat kasar 5% lebih tinggi dari pada sapi dan 4 - 5% lebih efisien dalam menggunakan energi metabolis untuk menghasilkan susu. Ini mempertegas bahwa ternak kerbau mampu memanfaatkan limbah selulosa dan produk agroindustri dengan baik. Sedangkan melalui pemberian pakan serat dan konsentrat berkualitas mampu memberikan laju PBBH sampai 1 kg/hari. Dengan demikian kerbau merupakan ternak potensial untuk bisa ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitas karkasnya melalui usaha penggemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Chantalakhana
23
(2001) menunjukkan bahwa dengan pola manajemen pakan dan pemeliharaan yang sama, biaya yang dikeluarkan untuk penggemukan kerbau lebih rendah dibandingkan dengan sapi potong dan sapi perah. Sehingga secara ekonomis dapat dikatakan bahwa ternak kerbau lebih efisien dalam konsumsi pakan. Protein kasar rumput alam pada umumnya berkisar antara 5 – 8 g per 100 g bahan kering (ACIAR 2008). Kandungan protein kasar yang terlalu rendah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan protein, baik kebutuhan mikroba yang ada di dalam rumen maupun kebutuhan asam-asam amino ternak itu sendiri. Akibat pertumbuhan mikroba yang tidak optimum di dalam rumen maka mikroba rumen juga tidak mampu secara optimum menjalankan fungsinya dalam proses penguraian komponen serat kasar hijauan dan menyediakan asam-asam amino bagi ternak. Padahal mikroba rumen merupakan sumber utama asam-asam amino yang tersedia untuk pencernaan dan penyerapan di usus halus untuk kemudian digunakan dalam memenuhi kebutuhan maintenans dan produksi ternak. Marsetyo et al (2006) dan ACIAR (2008) menyatakan bahwa rumput alam tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrien ternak, dan ternak yang sedang dalam periode pertumbuhan akan memperlihatkan tingkat pertambahan bobot badan yang rendah. Ketersediaan dan kualitas nutrien rumput alam juga akan makin menurun saat musim kering dan hal ini akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak. Dibandingkan dengan rumput unggul, rumput lapangan memberikan konstribusi yang paling kecil dalam mencukupi kebutuhan hijauan pakan ternak ruminansia (Sarwanto 2010). Kandungan protein kasar merupakan salah satu indikator kualitas hijauan. Kualitas nutrisi hijauan yang tumbuh pada suatu padang penggembalaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya komposisi rumput dan legum, tahap pertumbuhan hijauan, kondisi tanah, pemupukan, dan ketersediaan air. Tanaman legum mengandung nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput dan rendahnya proporsi legum yang ada dalam vegetasi yang tumbuh di padang penggembalaan atau perkebunan kelapa di lokasi penelitian menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas nutrisi hijauan yang ada. Faktor lain yang juga diduga menjadi penyebab rendahnya kandungan protein kasar hijauan di lokasi penelitian adalah kondisi undegrazing yang sedang terjadi sehingga vegetasi yang ada mengalami penuaan dengan kandungan serat kasar yang tinggi (Damry 2009). Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli, mengatakan bahwa rumput di daerah tropis mempunyai kualitas rendah yang ditandai dengan rendahnya kandungan protein kasar dan tingginya kandungan serat kasar. Cara perbaikan yang umum dilakukan adalah pemupukan, khususnya unsur-unsur makro seperti nitrogen (N) dan pospor (P) serta unsur lainnya sesuai kebutuhan minimum tanaman. (Rusdin et al 2009). Kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digembalakan, jenis rumput, intensitas cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen berpengaruh terhadap produktivitas ternak (Brandano et al., 2004).
Potensi Ternak Kerbau Pemeliharaan Ternak Kerbau Ternak kerbau di desa Cibarani dipelihara dalam kandang-kandang yang terletak diluar pemukiman masyarakat, jarak terdekat antara rumah dan kandang berkisar 100 m. Kandang kerbau umum ditemukan didekat persawahan warga, dimana kandang-kandang tersebut tersebar di beberapa lokasi persawahan dan pada setiap kandang ditempati paling sedikit 2 ekor kerbau. Lokasi kandang kerbau yang paling banyak ditemui berada di persawahan Cigelam dimana kandang-kandang kerbau tersebut lokasinya berdekatan dengan ukuran kandang bervariasi minimal 9 m2. Bentuk kandang persegi panjang dengan bangunan sederhana dari material dari kayu dan beratap jerami atau genteng serta beralaskan tanah. Contoh bentuk kandang seperti pada gambar berikut dibawah ini.
Gambar 4 Kandang ternak kerbau di lokasi penelitian Aktivitas rutinitas peternak dimulai pada pagi hari dimana peternak mulai melepas ternak kerbau ke ladang penggembalaan/lahan perkebunan. Pada musim tanam padi dimulai, ternak kerbau digembalakan di areal persawahan dan diluar musim tanam kerbau digembalakan di areal kosong di sekitar atau didalam lahan perkebunan. Rataan jumlah ternak kerbau yang dipelihara peternak responden adalah 3 ekor dengan jumlah ternak betina yang paling dominan. Dari struktur populasi ternak kerbau yang dipelihara responden di lokasi penelitian nampak bahwa proporsi ternak betina dewasa lebih dominan (72,25%) dan hal ini menunjukkan bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani merupakan usaha budidaya ternak kerbau dengan pendapatan diperoleh dari hasil pembesaran anak kerbau. Struktur populasi kepemilikan ternak kerbau oleh anggota kelompok seperti pada tabel 3. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden peternak didapatkan gambaran mengenai penjualan ternak kerbau yang dilakukan selama setahun terakhir. Sekitar 108 ekor ternak kerbau dijual keluar wilayah desa terdiri dari 62 ekor betina dan 46 ekor jantan sedangkan pembelian ternak kerbau hanya 6 ekor yang terdiri dari 4 ekor betina dan 2 ekor jantan. Catatan kelahiran dan kematian ternak belum terdokumentasi dengan baik dan dari hasil wawancara diperoleh data bahwa selama 3 tahun terakhir terjadi kematian sebanyak 53 ekor yang terdiri dari 39 ekor betina dan 14 ekor jantan. Waktu yang diperlukan kembali untuk bunting pada seekor ternak kerbau bisa mencapai 2 tahun dan pada saat penelitian
25
terdapat 107 ekor betina bunting. Apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus tanpa perbaikan maka keberadaan ternak ini akan terancam punah. Rata-rata harga jual satu ekor kerbau betina sekitar Rp. 5.6 juta dengan kisaran umur 1-15 tahun. Kebanyakan ternak kerbau dijual dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk keperluan lainnya. Bahkan ada kecenderungan peternak menjual kerbaunya yang sakit dengan pertimbangan bahwa jika ternak tersebut mati maka tidak ada keuntungan yang bisa dimanfaatkan. Secara umum tataniaga ternak kerbau masih didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha bermodal besar, sedangkan peternak sebagai produsen tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dan pengetahuan/akses pasar yang lemah. Arinto (2006) mengatakan bahwa peternak tradisional hanya dapat akrab dengan pasar tradisional pula, dimana konsumen di pasar tersebut juga sangat terbatas. Akibatnya penyerapan konsumsi menjadi terbatas, sehingga jika ada peternak yang mencoba meningkatkan skala usahanya akan mengalami kesulitan. Sama halnya dengan ternak sapi, pelaku ekonomi yang terlibat dalam kegiatan tataniaga ternak dan daging kerbau ini adalah peternak kerbau, pedagang perantara, pedagang pengumpul (penampung lokal), pedagang antar pulau, pedagang/penjagal kerbau, penjual pengecer serta konsumen. Penjualan ternak kerbau yang dilakukan oleh peternak biasanya melalui jasa pedagang perantara, karena peternak tidak memiliki akses secara langsung kepada konsumen. Pada umumnya proses jual beli ternak kerbau didasarkan atas perkiraan bobot hidup ternak dan performans ternak. Harga ternak juga akan ditentukan oleh jenis kelamin, umur, performans, konformasi tubuh (kaki dan teracak). Tabel 3 Struktur populasi kepemilikan ternak kerbau (ST) Kelompok/Umur Ternak Saluyu Jaya
Cirukap Makmur
Taruna Mandiri
Putra Makmur
Jenis Kelamin
Anak
Muda
Dewasa
Jumlah
♂
2.32
6.21
3.45
11.98
♀
2.03
2.07
50.6
54.7
4.35
8.28
54.05
66.68
♂
0.87
5.52
♀
0.58
4.83
36.8
42.21
1.45
10.35
36.8
48.6
6.39
♂
1.45
5.52
2.3
9.27
♀
2.03
11.73
48.3
62.06
3.48
17.25
50.6
71.33
♂
1.74
6.21
2.3
10.25
♀
2.03
20.7
82.8
105.53
3.77
26.91
85.1
115.78 302.39
Jumlah Total ST Kerbau
♂
6.38
23.46
8.05
37.89
♀
6.67
39.33
218.5
264.5
13.05
62.79
226.55
302.39
Pedagang perantara pada umumnya berperan sebagai penentu harga, karena informasi harga lebih dikuasai, disamping akses langsung kepada pembeli. Pedagang perantara ini juga tidak segan-segan melakukan sistem jemput bola dengan mendatangi peternak secara langsung untuk membeli ternak, bahkan sampai ke pelosok pelosok di desa. Selain berprofesi sebagai peternak yang tergabung dalam kelompok, ada dua orang penduduk Desa Cibarani yang merangkap sebagai pedagang perantara. Situasi ini dinilai lebih menguntungkan karena pendekatan yang dilakukan lebih bersifat personal dan pengawasan terhadap pengeluaran ternak desa juga bisa lebih terkoordinir. Hal ini bisa menjadi pertimbangan untuk pengendalian pengeluaran ternak kerbau. Analisa pendapatan usaha ternak kerbau yang dilakukan di lokasi penelitian ditemukan kesulitan untuk menentukan biaya produksi. Hal ini dikarenakan skala usaha yang dimiliki peternak relatif kecil dan manajemen pemeliharaan yang bersifat tradisional. Hoda (2002) menyatakan bahwa biaya produksi dalam usaha ternak adalah seluruh biaya yang dikeluarkan secata riil oleh peternak dalam menjalankan usahanya. Biaya produksi yang dapat dihitung adalah biaya tenaga kerja dan biaya penyusutan kandang. Pakan yang diberikan tidak dibeli karena ternak digembalakan pada siang hari dan diberikan rumput hasil pengaritan pada malam hari. Tenaga kerja yang digunakan juga sebagian besar dari anggota keluarga, namun konsumsi harian digantikan sebagai biaya tenaga kerja. Hasil analisa pendapatan menunjukkan bahwa dengan kepemilikan tiga ekor kerbau betina selama enam tahun masa pemeliharaan baru didapatkan B/C > 1. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemeliharaan awal tiga ekor kerbau selama enam tahun usaha ternak kerbau cukup menguntungkan. Minimnya keuntungan dalam memelihara kerbau menyebabkan petani kurang bergairah untuk mengembangkan usaha ternak kerbau (Kusnadi et al., 2005). Apabila ternak kerbau dikelola dalam satu manajemen pemeliharaan, tentu saja hal ini dapat memangkas biaya produksi sehingga keuntungan bisa lebih ditingkatkan dalam waktu yang lebih singkat. Priyanti et al. (2005) melaporkan bahwa di tingkat pemotong ternak kerbau, pendapatan yang diterima relatif lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 295.500,/ekor dibandingkan dengan penjualan ternak kerbau berdasarkan berat hidup di tingkat farm gate. Kondisi ini jika tidak segera dibenahi akan mengakibatkan usaha peternakan tidak lagi menarik bagi peternak dan akan sulit berkembang. Apalagi saat ini menghadapi perdagangan bebas, dimana usaha komoditas peternakan harus dilaksanakan secara efisien dan menghasilkan produk yang berkualitas dan berorientasi pada pasar lokal maupun global serta memiliki dayasaing yang tinggi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal dan menggunakan teknologi tepat guna (Nurtini 2005 dalam Arinto 2006). Produktivitas Ternak Kerbau Performans ternak kerbau di Desa Cibarani dapat dilihat pada Tabel 4. Ternak kerbau betina dewasa di Desa Cibarani membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk bunting kembali dengan umur beranak pertama pertama rata-rata pada usia 48 bulan. Arman (2006) menyatakan umur pubertas terlambat sekitar 28 sampai 29 bulan dengan umur beranak pertama 43 bulan. Menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi antara 300 sampai 334 hari (rata-rata 310 hari),
27
sekitar sepuluh bulan sepuluh hari. Faktor yang berpengaruh terhadap penurunan populasi adalah kurangnya pengetahuan peternak kerbau mengenai peranan reproduksi, sebagaimana dikemukakan oleh Toelihere (2001) bahwa ilmu dan teknologi reproduksi merupakan faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan, dipelajari dan diterapkan dalam usaha meningkatkan produksi dan produktivitas kerbau.
Tabel 4 Performans ternak kerbau di Desa Cibarani No 1
2 3 4 5 6 7
8
Karakteristik Populasi (ekor) - Jantan - Betina Penurunan populasi dalam 2 tahun (%) Rata-rata kebuntingan (kali/ekor betina) Umur kebuntingan pertama (tahun) Rata-rata waktu bunting kembali (bulan) Calf-crop (%) Jumlah kematian dalam 3 tahun (ekor) - Jantan - Betina Jumlah penjualan ternak dalam 2 tahun (ekor) - Jantan - Betina
Jumlah 118 441 7.2 2.8 2 23 0.54 14 39 46 62
Sumber: Analisis data primer (2014)
Penjualan ternak sebanyak 108 ekor pertahun dengan calf-crop hanya mencapai 0.54% menjadi salah satu penyebab penurunan populasi kerbau di Desa Cibarani. Kematian ternak yang tercatat dalam jangka waktu tiga tahun mencapai 53 ekor. Penyebab utama kematian ternak adalah penyakit dan proses penanganannya oleh petugas atau peternak yang lambat. Jumlah ini kemungkinan lebih banyak namun karena tidak ada pencatatan berkala terhadap ternak kerbau sehingga sulit diidentifikasi. Statistik Pertanian 2013 menunjukkan bahwa jumlah keluarga peternak 221 keluarga dengan sebaran jumlah ternak sebanyak 372 ekor yang terdiri dari 77.7% ternak betina dan 22.3% ternak jantan. Dapat dilihat bahwa penurunan jumlah ternak kerbau di Desa Cibarani dalam dua tahun terakhir dapat mencapai 7.2%. Laju pengeluaran ternak kerbau di Desa Cibarani sudah mencapai 16.2% dalam kurun waktu dua tahun terutama akibat penjualan ke RPH terdekat atau dijual ke desa atau lokasi lainnya. Pola konsumsi daging kerbau masih rutin dilakukan oleh masyarakat terutama pada saat hari besar keagamaan. Rata-rata konsumsi daging kerbau oleh keluarga peternak responden mencapai 2-3 kg per tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin et al. (2001) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan Kabupaten Pandeglang dalam mengkonsumsi daging kerbau sangat dipengaruhi oleh adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan turun menurun dan faktor pengeluaran harian untuk keperluan makan harian dan total pendapatan rumah tangga tidak
mempengaruhi selera masyarakat untuk tetap mengkonsumsi daging kerbau. Jumlah permintaan daging kerbau di Kabupaten Pandeglang ditentukan oleh tingkat pendapatan rumah tangga dan tidak dipengaruhi oleh harga daging kerbau maupun jumlah anggota rumah tangga. Umumnya manajemen perkawinan kerbau di pedesaan tidak terkontrol karena kelangkaan bibit pejantan unggul akibat penjualan ternak yang bagus sehingga tersisa ternak yang kurang cocok dijadikan pejantan. Hal ini lebih memperbesar kemungkinan terjadi inbreeding. Struktur populasi ternak kerbau yang dipelihara responden di lokasi penelitian nampak bahwa proporsi ternak betina dewasa lebih dominan (72.25%). Ini menunjukkan bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani merupakan usaha budidaya ternak kerbau dengan pendapatan diperoleh dari hasil pembesaran anak kerbau. Produktivitas ternak kerbau yang dilihat berdasarkan morfometrik tubuh disajikan dalam grafik 1. Pendugaan umur ternak berdasarkan informasi peternak yang dengan pola lingkaran tanduk. Hasil pengamatan kondisi ternak kerbau untuk mengukur produktivitas dilihat dari berbagai parameter tubuh seperti pada grafik 1. Ternak kerbau dibagi menjadi 5 kelompok yaitu I0 (<1.5 tahun) 19 ekor, I1 (1.5 – 2.5 tahun) 5 ekor, I3 (>3.5 – 5 tahun) 3 ekor dan I4 (>5 tahun) 17 ekor dengan mengabaikan perbedaan jenis kelamin. Hal ini disebabkan karena kesulitan pengambilan data dilapangan. Bobot hidup merupakan peubah yang paling sering dipakai untuk melihat pertumbuhan ternak baik dalam kondisi praktis di lapangan ataupun di stasiun percobaan. Hal ini dikarenakan bobot badan cukup baik untuk dijadikan indikator tingkat pertumbuhan dan komposisi jaringan tubuh ternak hidup. Meskipun demikian sejumlah ukuran morfometrik tubuh memberi informasi berguna pada konformasi tubuh yang mencerminkan perkembangan kerangka tubuh. Kerangka tubuh akan berhubungan dengan tingkat efisiensi ternak dalam mengkonversi pakan untuk diubah menjadi jaringan daging dan otot. Umur berpengaruh secara linier terhadap bobot dan ukuran tubuh, dengan kenaikan bobot maupun ukuran tubuh terus berlangsung sampai umur dewasa yang diamati. Lingkar dada merupakan peubah yang baik dalam menduga bobot badan (Anggraeni dan Triwulanningsih 2007). Pengamatan dilakukan dua kali dalam kurun waktu 6 minggu dan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap hasil pengukuran. Baik bobot badan maupun ukuran morfometrik tubuh umumnya meningkat secara linier mulai dari kelompok kerbau I0 sampai I4. Rata-rata peningkatan pada tinggi pundak sebesar 6.5%, tinggi pinggul 6%, lingkar dada 8.5%, lingkar pinggul 7%, lebar dada 11.5%, dalam dada 7%, panjang badan 1%, lebar pinggul 12% dan berat badan 28%. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad dan Kusumaningrum (2006) dilakukan pengamatan morfometrik kerbau lokal di Brebes memperoleh rataan tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan dari 28 ekor kerbau jantan berumur lebih dari dua tahun berurutan 113,2 ± 28,20, 162,11 ± 15,02 dan 106,00 ± 13,07 cm. Baik bobot badan maupun ukuran morfometrik tubuh meningkat secara linier mulai dari kelompok kerbau dalam umur dua tahun sampai kelompok umur dewasa (≥ 5 tahun). Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kerbau Sumbawa oleh Anggraeni dan Triwulanningsih (2007) diperoleh hasil perbandingan pada ternak umur dewasa dengan ternak umur 2, 3 dan 4 tahun
29
mempunyai bobot badan lebih rendah 0,26, 0,15 dan 0,11%; lingkar dada 0,11; 0,08 dan 0,04%; tinggi pundak 0,09; 0,06 dan 0,02%; serta tinggi panggul 0,10; 0,07 dan 0,03%.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i) Grafik 1 Hasil pengukuran morfometrik tubuh kerbau (a) tinggi pundak, (b) tinggi pinggul, (c) lingkar dada, (d) lingkar pinggul, (e) lebar dada, (f) dalam dada, (g) panjang badan, (h) lebar pinggul dan (i) bobot badan Hal ini mencerminkan dengan bertambahnya usia, maka pertumbuhan dan perkembangan kerangka serta komposisi tubuh ternak terus berlangsung sampai dicapai usia dewasa. Selain itu terdapat variasi bobot badan dan sejumlah ukuran morfometrik yang mencerminkan masih besarnya variasi fenotipe sifat pertumbuhan kerbau lokal. Umur berpengaruh secara linier terhadap bobot dan ukuran tubuh dengan kenaikan bobot maupun ukuran tubuh terus berlangsung sampai umur dewasa yang diamati (Anggraeni dan Triwulanningsih 2007). Manajemen Pemeliharaan dan Kesehatan Ternak Pola pemeliharaan masih bersifat tradisional, ternak kerbau dilepaskan dari kandang pada pagi hari kemudian dikandangkan kembali pada sore harinya. Nilai penerapan aspek teknis pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani oleh peternak dalam pemuliaan dan reproduksi sebesar 34.2% dengan lingkup penilaian yaitu perbandingan ternak jantan dan betina, sistem perkawinan, kelahiran per induk setiap tahun, jarak beranak, jumlah perkawinan ternak untuk menjadi bunting, pemilihan pejantan yang digunakan dan pemilihan betina yang digunakan. Nilai penerapan aspek teknis pemeliharaan ternak kerbau dalam aspek pakan sebesar 34.6% yang meliputi jumlah hijauan yang diberikan, jenis hijauan yang diberikan, pemberian konsentrat, pemberian mineral, pemberian air minum, peranan hijauan makanan ternak dan usaha penjualan makanan ternak. Sedangkan nilai penerapan aspek teknis pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani oleh peternak dalam tata laksana sebesar 52.5% dengan lingkup penilaian yaitu pencatatan, kebersihan ternak, pemanfaatan tenaga kerja, pemanfaatan kotoran ternak, pengetahuan tentang berahi, waktu mengawinkan dan kelahiran ternak serta pengetahuan tentang usaha peternakan (tujuan usaha peternakan). Kesehatan ternak menjadi salah satu penilaian penerapan aspek teknis pemeliharaan ternak kerbau dengan nilai 61% dan ruang lingkup meliputi vaksinasi, pengetahuan tentang penyakit, usaha dan tanggapan terhadap ternak kerbau yang sakit, kematian ternak, tindakan terhadap kematian ternak serta penggunaan obatobatan. Sedangkan nilai penerapan aspek teknis pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani oleh peternak dalam kandang dan peralatan sebesar 74.6% dengan lingkup penilaian yaitu kepemilikan kandang, lokasi kandang, konstruksi,,
31
kebersihan serta peralatan kandang. Secara keseluruhan penerapan aspek teknis pemeliharaan ternak kerbau masih terbilang kurang (43.3%) dari standar yang ditetapkan oleh Ditjennak (1983). Karakterisitik Peternak Karakteristik Responden Peternak responden merupakan anggota kelompok tani ternak Cirukap Makmur, Putra Makmur, Putra Mandiri dan Saluyu Jaya yang memiliki karakteristik sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa kisaran umur peternak dengan presentasi terbanyak adalah pada usia 26-35 tahun dan usia 46-55 tahun sebesar 30.10% disusul oleh kelompok umur 36-45 tahun (25.80%) dan yang paling sedikit adalah kelompok umur >65 tahun yakni sebesar 2.15%. Menurut BPS (2007), penduduk yang termasuk dalam usia kerja dan juga merupakan kelompok penduduk usia prima (25-54 tahun) merupakan penduduk yang sangat berpotensi untuk menghasilkan barang dan jasa dalam pasar tenaga kerja guna mengaktifkan roda perekonomian suatu negara. Kelompok penduduk ini merupakan bagian dari penduduk usia produktif yaitu umur 15-64 tahun. Sebanyak 97% peternak termasuk kedalam kelompok usia produktif, dimana kelompok ini dapat membantu kelancaran dalam pengembangan peternakan kerbau. Latar belakang pendidikan peternak masih didominasi tingkat pendidikan SD sebesar 87.09%, selebihnya sudah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi yakni setingkat SMP (8.6%) dan SMU (4.3%). Peternak yang berpendidikan rendah biasanya lebih sulit menerima inovasi teknologi baru yang berkaitan dengan usaha ternak dan cenderung menekuni apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyangnya secara turun temurun (Wirdahayati 2010). Tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar yang lebih baik, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengubah sikap dan perilaku untuk dapat bertindak rasional (Nasrudin et al. 2011). Oleh karena itu pendidikan informal sangat diperlukan bagi peternak untuk dapat meningkatkan ketrampilan dalam budidaya ternak kerbau. Rahmat (2000) menyatakan bahwa pendidikan berhubungan erat dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, dimana dengan memiliki pengetahuan formal yang lebih tinggi maka seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi danwawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian. Sehingga dengan pendidikan informal yang didapatkan oleh peternak diharapkan dapat membantu kegiatan pengembangan ternak kerbau. Sebagian besar responden (77.41%) sudah berpengalaman lebih dari 6 tahun dalam beternak kerbau dengan sistem semi ekstensif. Pengalaman beternak secara otodidak merupakan akumulasi dari proses belajar yang dialami peternak kecil. Maslidin (2005) menyatakan bahwa pengalaman yang lebih lama dalam pekerjaan akan lebih efektif dalam pengalokasian sumber daya yang dimiliki. Pengalaman dalam beternak akan menentukan keberhasilan usaha peternakannya dan peternak dengan pengalaman beternak yang lebih lama akan lebih mudah mengambil keputusanyang baik pada saat yang tepat.
Motivasi dan Partisipasi Peternak Keikutsertaan peternak dalam kegiatan pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi. Motivasi yang dimiliki para peternak di Desa Cibarani dalam memelihara ternak kerbau termasuk tinggi terkait dengan dijadikannya ternak kerbau sebagai sumber pendapatan mereka. Perbaikan perlu dilakukan pada pengaturan penjualan dan pembelian ternak sehingga ternak yang masih produktif dipertahankan dan diperlukan satu manajemen satu pintu untuk keluar masuk ternak. Hal ini bisa dilakukan untuk mengamankan populasi ternak kerbau dengan diiringi oleh perbaikan manajemen pemeliharaan untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau. Penilaian motivasi peternak mencakup tentang pengalaman dan tujuan beternak, keikut sertaan ke kelompok ternak dan manfaat yang dapat diperolehnya serta cara mendapatkan informasi terkait dengan kegiatan pengembangan ternak kerbau. Rahmat (2006) menyatakan bahwa dengan adanya motivasi untuk melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan ataukah tidak. Hasil analisis mengenai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 5 Karakteristik peternak berdasarkan kelompok Karakteristik /Kelompok Jumlah responden
Cirukap Makmur 10
Saluyu Jaya 16
Putra Makmur 46
Taruna Mandiri 21
a. Kisaran
30-60
27-80
15-70
26-55
b. Rata-rata Pendidikan (%) a. SD
43.20
46.56
43.91
39.86
8.60
15.05
40.86
22.58
b. SMP
2.15
2.15
4.30
8.60
c. SMU
-
4.30
4.30
Jumlah 93
Umur (tahun)
87.09
Pekerjaan (%) a. Tani ternak
10.75
17.20
b. Pedagang Lama memelihara (%) a. < 1 tahun b. 1-3 tahun
48,38
22.58
1.07
2.15
2.15
c. 3-6 tahun d. > 6 tahun 8.60 Sumber: Analisis data primer (2014)
15.05
98.92 1.07
2.15 5.37
2.15 4.30
4.30 13.97
2.15
2.15
4.3
39.78
13.97
77.41
Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para peternak ada kaitannya dengan tradisi pemeliharaan ternak kerbau di Desa Cibarani yang dilakukan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Pengetahuan peternak dari keempat kelompok termasuk cukup dengan skor 30.33 sampai 31.50 dimana skor terendah dimiliki oleh kelompok Putra Makmur dan tertinggi pada kelompok Saluyu Jaya. Peternak cukup dapat mengenali gejala ternak yang sakit, tanda-
33
tanda berahi serta mengetahui bagaimana meningkatkan produktifitas meski melalui pola pemikiran yang masih sederhana dan tradisional. Pengetahuan mengenai pencatatan ternak, penggunaan teknologi pakan dan reproduksi serta pengelolaan limbah masih perlu disosialisasikan lebih intensif kepada peternak. Selain itu juga pendampingan petugas yang kompeten dibidangnya perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan pengetahuan peternak untuk mengembangkan ternak kerbau. Rakhmat (2000) menyatakan bahwa dengan adanya pengetahuan tentang manfaat melakukan suatu kegiatan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap hal tersebut dan selanjutnya dapat memotivasinya untuk ikut dalam kegiatan itu. Partisipasi para peternak dalam mendukung kegiatan pengembangan ternak kerbau termasuk cukup dengan skor 31.48 sampai 33.30. Nilai partisipasi berkaitan dengan motivasi yang kuat serta keaktifan personal anggota dalam mengurus langsung ternak kerbaunya. Hal ini yang kemudian memotivasi para peternak untuk ikut serta dalam kegiatan atau program yang dilaksanakan dalam rangka mendukung pengembangan ternak kerbau. Philipson dan Rege (2002) mengungkapkan bahwa partisipasi petani memegang peranan penting dalam pengembangan program pemuliaan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan program pengembangan ternak yang mempunyai salah satu kunci penting di bidang pemuliaan dan pengembangbiakan ternak. Tabel 6 Tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi responden No
Uraian
Kelompok Saluyu Jaya
Cirukap Makmur
Taruna Mandiri
Putra Makmur
16
10
21
46
2
Jumlah responden Pengetahuan
31.50 ±2.03
31.10
±1.29
31.33
±1.59
30.33
±1.91
3
Motivasi
36.69 ±1.85
35.90 ±1.45
35.43
±2.01
35.48
±2.01
4
Partisipasi
33.00 ±2.13
33.30 ±2.54
31.48
±2.09
31.65
±2.63
1
Partisipasi aktif dan bersifat interaktif akan lebih memperkuat eksistensi, posisi, dan peran kelembagaan dalam proses pembangunan sektor. Keikutsertaan peternak dalam wadah kelompok ternak menjadi suatu tolak ukur partisipasi peternak dalam pengembangan ternak itu sendiri. Suradisastra et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat partisipasi petani dalam proses pembangunan pertanian, melalui kelembagaan tempat mereka bergabung, merupakan tolak ukur kuantitatif akan kinerja kelembagaan dalam menyalurkan aspirasi petani dan mencapai tujuan pembangunan sektor peternakan. Partisipasi peternak dilihat dari keaktifan dalam kelompok, kehadiran dalam pertemuan-pertemuan kelompok, pelaporan kemajuan usaha ternak, evaluasi kegiatan kelompok, kontribusi pembiayaan serta penyampaian informasi kepada anggota kelompok lainnya. Partisipasi interaktif juga mendorong berkembangnya manajemen aspiratif yang bersifat horisontal. Meningkatnya partisipasi anggota kelompok akan meningkatkan kedinamisan kelompok. Kedinamisan tersebut akan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada anggota untuk bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok sehingga tujuan bersama dapat dicapai (Hermanto dan Swastika 2011).
Kelembagaan Peternak Arah kebijakan Kementerian Pertanian mencakup salah satunya adalah penguatan kelembagaan serta pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan dan pendampingan dengan strategi yang ditempuh mengacu pada Gema Revitalisasi yakni Revitalisasi Sumber Daya Manusia dan Revitalisasi Kelembagaan Petani. Misi pembangunan Kabupaten Pandeglang tahun 2005-2025 yang telah ditetapkan salah satunya adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat secara fisik, intelektual, emosional dan spiritual. Pencapaian misi tersebut adalah dengan membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, membentuk karakter dan jati diri masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama dan budidaya serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perilaku produktif menghadapi tantangan global (Bappeda Pandeglang 2011). Sebagai suatu kegiatan produksi yang berorientasi ekonomi, kinerja usaha peternakan sangat ditentukan oleh peran peternak sebagai pelaku utamanya baik secara individu maupun secara kelompok. Dengan demikian tingkat perkembangan usaha peternakan di suatu kawasan tertentu ditentukan oleh berbagai variabel yang melekat dalam proses produksi yang dilakukan oleh peternak (Ditjennak 2003). Desa Cibarani Kecamatan Cisata merupakan salah satu lokasi kelompok kegiatan pengembangan kawasan kerbau di Kabupaten Pandeglang sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten nomor 903/56.a-Kpts/DPP/2013. Pendirian kelompok-kelompok ini dilegalisasi dengan Surat Kepala Desa Cibarani dan karakter peternak seperti yang tertera pada Tabel 5. Kelompok Taruna Makmur, Cirukap Makmur dan Putra Mandiri berdiri pada tahun 2008 sedangkan Kelompok Saluyu Jaya berdiri pada tahun 2007. Pada masing-masing kelompok tersebut terbentuk struktur organisasi yang tersusun dari pembina, ketua, sekretaris, bendahara serta seksi-seksi Produksi, Humas, Peralatan dan Pemasaran. Pengaturan tugas masing-masing pengurus belum dituangkan dalam bentuk dokumen Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Kelompok namun dasar semangat gotong royong yang masih melekat pada keseluruhan anggota sehingga pengaturan masing-masing tugas dikerjakan secara bersama-sama kecuali pada tugas bendahara dan ketua yang mengkoordinir dan bertanggung jawab terhadap keuangan kelompok. Pertemuan kelompok rutin dilaksanakan minimal sebulan sekali untuk membahas segala permasalahan dan atau sosialisasi informasi kepada anggota kelompok. Pertemuan biasanya dilaksanakan pada malam hari mengingat sebagian besar anggota bekerja pada siang hari. Pertemuan tersebut dimanfaatkan oleh petugas penyuluh untuk melakukan sosialisasi kegiatan atau penyuluhan selain juga untuk mendapatkan data dan informasi terbaru dari kelompok. Adanya pembentukan kelompok dinilai sangat efektif untuk menggerakkan dinamika pengembangan peternakan kerbau rawa dimana peran masing-masing anggota yang memiliki ternak dapat bergabung menjadi satu arahan manajemen. Kelembagaan peternak yang berperan penting dalam manajemen kawasan menjadi faktor penting dalam keberhasilan pengembangan peternakan kerbau. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian disebutkan bahwa komponen kawasan peruntukan peternakan terdiri atas lahan, peternak, ternak,
35
teknologi serta sarana dan prasarana pendukung. Arah kebijakan Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, terkait aspek peningkatan peran dan fungsi kelembagaan diarahkan untuk meningkatkan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 disebutkan bahwa salah satu aspek kekuatan dalam kinerja Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah adanya aspek kelembagaan di berbagai aspek produksi dan kesehatan hewan serta regulasi yang cukup lengkap. Sebagai bagian dari program – program yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengemban satu program nasional yaitu Pencapaian Swasembada Daging Sapi/Kerbau dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal. Arah kebijakan dalam aspek populasi dan produktifitas ternak diarahkan untuk meningkatkan populasi dan optimalisasi produksi ternak ruminansia. Pencapaian program tersebut dilaksanakan dalam bentuk kegiatan peningkatan produksi ternak dengan pendayagunaan sumber daya lokal dengan indikator keberhasilan pertumbuhan populasi dan produksi ternak ruminansia. Kebijakan terkait bidang peternakan di Kabupaten Pandeglang tidak dapat berdiri sendiri namun harus memiliki keterikatan yang kuat dengan kebijakan Provinsi Banten dan nasional secara keseluruhan dengan tetap memperhatikan kearifan lokal. Sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar di dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya yang tersedia di wilayahnya dengan tetap memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bappeda Pandeglang (2011) menyatakan bahwa sesuai dengan analisis kesesuaian lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandeglang Tahun 20112031, Kecamatan Cisata merupakan salah satu kawasan budidaya dengan spesifikasi kawasan peternakan kerbau. Hal ini selain didukung oleh ketersediaan lahan juga tingkat preferensi penduduk untuk mengkonsumsi dagingnya relatif tinggi. Pola pengembangan usaha peternakan yang difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Pandeglang adalah melalui pola kemitraan antara peternak dan pemerintah, maupun antara peternak dengan pihak swasta berdasarkan bagi hasil usaha. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong, Kerbau, Kambing, Sapi Perah, Domba dan Babi Nasional menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan kawasan peternakan mencakup penyediaan prasarana, sarana penunjang, teknologi, pembiayaan, pengolahan, pemasaran serta kelembagaan dan sumber daya pengelolanya. Selain itu pula Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup pertanian yang membidangi pengembangan komoditas pertanian wajib menyusun master plan kawasan peternakan di wilayah kerjanya. Action plan kawasan disusun oleh SKPD kabupaten/kota, sementara pembiayaan yang terkait pengembangan kawasan didukung dan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), koperasi, masyarakat dan atau integrasi diantaranya. Kabupaten Pandeglang menjadi salah satu lokasi kawasan peternakan kerbau dalam Permentan tersebut. Saat ini melalui APBN maupun APBD, kegiatan pengembangan peternakan kerbau terus didukung untuk berupaya meningkatkan populasi dan produksi ternak kerbau di daerah Kabupaten Pandeglang. Perumusan Strategi Pengembangan Ternak Kerbau Perumusan strategi dilakukan dengan mengkombinasikan hasil evaluasi aspek teknis dengan identifikasi lingkungan internal dan eksternal. Penentuan lingkungan internal dan eksternal dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan tahapan tersebut meliputi tahap pengumpulan data, pemberian bobot dan rating, serta tahap analisis matriks internal-eksternal. Strategi pada umumnya diartikan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan (Saaty 1999). Hasil analisis digunakan untuk menjawab tujuan dengan menghasilkan variabel yang dirangkum untuk mendapatkan alternatif strategi usaha melalui matriks internal–eksternal dan mengetahui posisi pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Penyusunan strategi pengembangan peternakan kerbau dilakukan secara efektif pada level strategis dan taktis. Effendi (2011) menyebutkan bahwa penelahaan pada level strategis dilakukan dengan menggunakan teknis analisis SWOT. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan berikutnya. Keberhasilan program pengembangan peternakan kerbau ditentukan oleh peran serta pelaku yang terlibat dalam kegiatan tersebut serta pemegang kebijakan. Mengacu pada hasil identifikasi faktor internal dan eksternal pada pengembangan ternak kerbau maka dilakukan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dengan 33 faktor yang berpengaruh di Desa Cibarani. Faktor-faktor internal dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu SDM dan sosial budaya, ternak kerbau dan lingkungan. Sedangkan faktor-faktor eksternal dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu ekonomi, kelembagaan dan pemerintahan serta ekonomi. Hasil identifikasi terhadap pengembangan ternak kerbau seperti tertera dalam Tabel 7 dan 8. Identifikasi Faktor Internal-Eksternal Kekuatan (Strength) Kekuatan faktor strategi internal dari pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan dari pengembangan peternakan kerbau. Identifikasi kekuatan dalam pengembangan ternak kerbau melibatkan beberapa aspek penting yang meliputi pengalaman beternak, ketersediaan tenaga kerja, motivasi dan partisipasi peternak, budidaya, populasi kerbau, kebutuhan daging, sifat adaptasi ternak, potensi lahan serta ketersediaan limbah pertanian. Di antara faktor tersebut pengalaman beternak, ketersediaan tenaga kerja produktif dan potensi lahan serta ketersediaan limbah pertanian menjadi faktor yang kuat dalam pengembangan peternakan kerbau.
37
Ketersediaan tenaga kerja di usia produktif menjadi salah satu modal kekuatan untuk meningkatkan usaha peternakan kerbau ditambah dengan pengalaman beternak yang cukup. Pengembangan peternakan kerbau membutuhkan pelaku usaha yang mampu menjalankan kegiatan dengan aktif dan professional. Selain itu pula adanya lahan serta pakan ternak yang cukup menjadi salah satu kekuatan penting untuk keberlanjutan usaha pengembangan kerbau. Peternakan ruminansia sangat tergantung dari kondisi biofisik lahan, keadaan penggunaan lahan yang ada (existing land use) serta keberadaan tanaman budidaya yang cocok dan diusahakan pada suatu wilayah. Dalam wilayah pengembangan tanaman pangan, limbah pertanian merupakan penyedia hijauan pakan (Dinas PKH Kalbar dan Fapet IPB 2014). Terkait dengan potensi lahan serta ketersediaan limbah pertanian yang masih belum dimanfaatkan dapat digunakan sebagai kekuatan yang harus dikembangkan. Kelemahan (Weakness) Kajian mengenai unsur kelemahan dalam pengembangan peternakan kerbau pada lokasi penelitian meliputi aspek pendidikan, pengetahuan, kepemilikan ternak, sistem pemeliharaan tradisional, penurunan jumlah ternak, pencatatan, penggantian (replacement) pejantan, sistem perkawinan ternak, pengaturan lahan HMT, teknologi pakan, pemanfaatan sisa hasil pertanian dan akses transportasi dan sarana infrastruktur. Guna menunjang keberhasilan kegiatan pengembangan peternakan kerbau diperlukan upaya peningkatan dan perbaikan dalam faktor-faktor yang teridentifikasi. Borghese dan Mazzi (2005) meyatakan bahwa kelemahan dalam usaha peternakan kerbau rakyat di Indonesia mencakup pada kurangnya manajemen pemeliharaan ternak yang kurang didukung oleh sumber daya manusia. Sehingga posisi penting peternak sebagai pelaku utama pengembangan peternakan kerbau harus ditingkatkan kapasitas sumber daya manusianya baik melalui pelatihan dan atau pendampingan. Tabel 7 Identifikasi analisis internal Faktor Internal SDM dan Sosial Budaya
Ternak Kerbau
Lingkungan
Kekuatan (Strenght) 1. Pengalaman beternak cukup baik; 2. Ketersediaan tenaga kerja produktif; 3. Motivasi dan partisipasi peternak tinggi; 4. Budidaya turun menurun. 5. Populasi kerbau dominan; 6. Kebutuhan daging sebagai sumber protein; 7. Mudah beradaptasi dengan lingkungan. 8. Potensi lahan yang luas; 9. Ketersediaan limbah pertanian.
Sumber: Analisis data primer (2014)
Kelemahan (Weakness) 1. Pendidikan peternakan relatif rendah; 2. Pengetahuan peternak masih rendah; 3. Kepemilikan ternak rendah; 4. Sistem pemeliharaan tradisional; 5. Penurunan jumlah kerbau; 6. Proses pencatatan kurang teratur; 7. Replacement pejantan tidak dilakukan; 8. Sistem perkawinan alam; 9. Kurangnya pengaturan lahan untuk HMT; 10. Teknologi pakan belum diterapkan; 11. Sisa hasil pertanian berlum diolah menjadi pakan ternak; 12. Akses transportasi dan sarana infrastruktur belum memadai.
Peluang (Oppurtunity) Kajian mengenai unsur peluang dalam upaya pengembangan peternakan kerbau meliputi aspek kebutuhan daging, pemasaran, kebijakan pemerintah, target swasembada, kemitraan dengan kelembagaan keuangan, program Inseminasi Buatan serta aplikasi inovasi teknologi. Aspek-aspek tersebut berpeluang besar dalam meningkatkan pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang. Yusnizar et al. (2015) menyatakan bahwa program IB merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan populasi kerbau. Keberhasilan IB pada kerbau di Indonesia yang pernah dilakukan cukup bervariasi antara 30-50 %. Rata-rata keberhasilan IB menggunakan semen beku dari epidymis kerbau belang adalah sebesar 40 % (Yulnawati et al. 2013). Berdasarkan pengalaman penulis dalam kebijakan IB pada kerbau didapati bahwa pelaksanaan teknik IB pada kerbau masih kurang populer di masyarakat. Hal ini karena belum banyaknya bukti nyata keberhasilan IB yang diterapkan pada peternakan rakyat. Sehingga hal ini menjadi suatu peluang yang baik untuk mengedukasi peternak dan mengaplikasikan IB pada kerbau milik masyarakat. Ancaman (Threat) Kajian mengenai unsur ancaman dalam pengembangan peternakan kerbau meliputi pengaturan jula beli ternak, peran blantik/jagal, kemungkinan alih fungsi lahan, manajemen kelembagaan peternak serta kompentensi petugas di lapangan. Sofyan (2006) menyatakan bahwa padang penggembalaan umum (common grazingland) sebagai sumber pakan ternak dan tempat perkawinan alam bersama yang dahulu berkembang di pedesaan, hampir 78% telah beralih fungsi. Pada lokasi penelitian perubahan fungsi lahan menjadi area pemukiman dan perkebunan sawit. Namun pengaturan lahan HMT masih belum menjadi perhatian khusus sehingga pola penyediaan pakan ternak hanya tergantung pada penggembalaan di sekitar perkebunan serta sistem cut and carry. Hal tersebut menjadikan ketersediaan pakan terancam dalam pengembangan peternakan kerbau. Padang penggembalaan yang dikembangkan bagi peternakan rakyat dapat mengurangi biaya produksi (zero cost). Namun dengan keterbatasan penggunaan lahan, pengembangan lahan HMT menjadi suatu kebutuhan penting untuk dikembangkan. Banyaknya peralihan fungsi lahan menjadikan pengembangan lahan HMT menjadi terancam. Manajemen kelembagaan peternak menjadi salah satu kunci penting dalam pengembangan peternakan kerbau. Fokus pemberdayaan kelompok diarahkan dalam rangka pengembangan kelembagaan (Basyid 2006). Kelembagaan peternak merupakan wadah organisasi bagi peternak untuk melakukan aktifitas usaha agribisnis peternakan mulai dari hulu sampai hilir serta membangun koordinasi dengan stakeholder terkait. Peranan kelembagaan peternak sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan hubungan kerjasama antara peternak dengan stakeholder lainnya untuk membangun dan memperkuat kelembagaannya guna mendorong tumbuhnya usaha agribisnis peternakan yang lebih efisien, efektif dan berkelanjutan. Penguatan kelembagaan peternak merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan peternak melalui perbaikan manjerial usaha, pengembangan dan diversifikasi usaha yang dibangun dalam satu kelembagaan usaha (Ditjennakeswan 2015). Sehingga dengan kondisi masih lemahnya kelembangaan peternak menjadi ancaman untuk pengembangan kerbau.
39
Tabel 8 Identifikasi analisis eksternal Faktor Eksternal Ekonomi
Peluang (Oppurtunity) 1. Kebutuhan daging cenderung meningkat; 2. Pemasaran ternak tersedia.
Kelembagaan dan Pemerintahan
3. Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan ternak kerbau; 4. Target swasembada daging nasional; 5. Terbangunnya kemitraan dengan lembaga keuangan. Teknologi 6. Program IB pada kerbau bisa dilaksanakan; 7. Banyaknya inovasi yang dapat diterapkan dilapangan. Sumber: Analisis data primer (2014)
Ancaman (Threat) 1. Pengaturan jual beli ternak belum terstruktur; 2. Peran blantik/jagal dominan dalam penentuan harga. 3. Kemungkinan alih fungsi lahan; 4. Lemahnya manajemen kelembagaan peternak.
5. Petugas yang membidangi reproduksi dan pakan ternak kurang kompenten.
Analisis Faktor Internal-Eksternal Berdasarkan hasil survei ke lokasi dan pendapat beberapa responden yang terlibat usaha pengembangan kerbau didapatkan identifikasi beberapa variabel internal yang memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Analisis faktor internal pada penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kerbau di Kabupaten Pandeglang. Faktor lingkungan internal adalah faktor-faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan serta faktor-faktor kelemahan yang harus diantisipasi dalam pengembangan peternakan kerbau. Hasil evaluasi faktor internal ditunjukkan pada tabel 9. Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuisioner oleh responden diperoleh beberapa faktor internal yang mempengaruhi pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang. Secara keseluruhan total skor tertimbang untuk faktor lingkungan internal mencapai 3.22. Menurut David (2009) total nilai tersebut berada di atas nilai rata-rata tertimbang yaitu 2.5. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara internal faktor-faktor yang berada dalam pengembangan peternakan kerbau potensial alam memanfaatkan kekuatan yang ada dengan faktor kelemahan (kendala) yang mungkin masih bisa diatasi. Hasil pembobotan menunjukkan bahwa komponen yang menjadi kekuatan utama dalam pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang yaitu pengalaman beternak, ketersediaan tenaga kerja produktif, potensi lahan yang luas dan ketersediaan limbah pertanian untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Kekuatan komponen-komponen tersebut perlu diolah dan ditangani dengan lebih serius untuk peningkatan pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang. Sedangkan faktor lingkungan eksternal adalah faktor-faktor peluang yang dapat dimanfaatkan serta faktor-faktor ancaman yang harus diantisipasi dalam pengembangan kerbau. Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan total skor tertimbang faktor lingkungan eksternal sebesar 3.22 dimana menurut David (2006) total nilai tersebut berada di atas nilai rata-rata tertimbang yaitu 2.5. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara eksternal pengembangan kerbau sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal dengan memanfatkan peluang yang cukup baik dan ancaman yang harus diantisipasi juga cukup tinggi.
Hasil evaluasi faktor eksternal menunjukkan faktor peluang berpengaruh besar dalam pengembangan kerbau adalah kebutuhan daging yang cenderung meningkat, terbangunnya kemitraan dengan lembaga keuangan, program IB yang dapat dilaksanakan dan banyaknya inovasi yang diterapkan di lapangan. Alternatif Strategi Pengembangan Peternakan Kerbau Perumusan alternatif strategi pengembangan dipertimbangkan berdasarkan identifikasi faktor internal dan eksternal. Kombinasi faktor tersebut dapat diterapkan dalam pengembangan kerbau yaitu strategi kekuatan-peluang yaitu menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang eksternal, strategi kelemahan-peluang yang merupakan strategi meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang eksternal, strategi kekuatan-ancaman merupakan strategi untuk dapat mengoptimalkan kekuatan internal yang dimiliki dalam menghindari ancaman. Matriks alternatif strategi tersebut dapat dirumuskan pada Tabel 11. Tabel 9 Hasil evaluasi faktor internal Faktor internal Kekuatan 1 Pengalaman beternak 2 Ketersediaan tenaga kerja produktif 3 Motivasi dan partisipasi peternak 4 Budidaya turun menurun 5 Populasi kerbau dominan 6 Kebutuhan daging sebagai sumber protein 7 Mudah beradaptasi dengan lingkungan 8 Potensi lahan yang luas 9 Ketersediaan limbah pertanian Total Kelemahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pendidikan peternakan relatif rendah Pengetahuan peternak masih rendah Kepemilikan ternak rendah Sistem pemeliharaan tradisional Penurunan jumlah kerbau Proses pencatatan kurang teratur Replacement pejantan tidak dilakukan Sistem perkawinan alam Kurangnya pengaturan lahan untuk HMT Teknologi pakan belum diterapkan Sisa hasil pertanian berlum diolah menjadi pakan ternak 12 Akses transportasi dan sarana infrastruktur belum memadai Total Total skor internal
Bobot
Peringkat
Skor
0.09 0.11 0.11 0.11 0.10 0.12 0.12 0.12 0.12 0.501
4 4 3 3 3 3 3 4 4
0.18 0.216 0.18 0.165 0.156 0.183 0.174 0.232 0.232 1.718
0.09 0.09 0.09 0.06 0.09 0.09 0.09 0.06 0.08 0.08
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
0.27 0.27 0.27 0.18 0.27 0.27 0.27 0.18 0.24 0.24
0.09
3
0.27
0.09
3
0.27
0.499 1.00
1.497 3.22
41
Strategi SO (Strenghts – Oppurtunities) Strategi strenghts–oppurtunities didasarkan pada pengelolaan kekuatan yang dimiliki oleh lokasi pengembangan kerbau di Kabupaten Pandeglang dengan memanfaatkan peluang yang ada untuk produktifitas kerbau. Strategi SO menghasilkan “Optimalisasi sumberdaya peternak, lahan dan produktifitas ternak dengan dukungan pemerintah melalui fasilitasi kebijakan dan sarana/prasarana dalam meningkatkan pemasaran dan keberlanjutan pengembangan kerbau”. Tabel 10 Hasil evaluasi faktor eksternal Faktor eksternal
Bobot
Peringkat
Skor
Kebutuhan daging cenderung meningkat Pemasaran ternak tersedia Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan 3 ternak kerbau 4 Target swasembada daging nasional 5 Terbangunnya kemitraan dengan lembaga keuangan 6 Program IB pada kerbau bisa dilaksanakan 7 Banyaknya inovasi yang dapat diterapkan dilapangan Total Ancaman
0.16 0.12
3 2
0.246 0.122
0.14
3
0.201
0.13 0.15 0.15 0.15 0.5
3 3 3 3
0.198 0.228 0.222 0.222 1.439
1 2 3 4
0.26 0.19 0.17 0.19
3 4 3 4
0.402 0.372 0.261 0.372
0.19
4
0.372
Peluang 1 2
Pengaturan jual beli ternak belum terstruktur Peran blantik/jagal dominan dalam penentuan harga Kemungkinan alih fungsi lahan Lemahnya manajemen kelembagaan peternak Petugas yang membidangi reproduksi dan pakan 5 ternak kurang kompenten Total Total skor eksternal
0.50 1.00
1.779 3.22
Pengembangan peternakan kerbau di Kabupaten Pandeglang dilaksanakan bertahap dan berkesinambungan dan melibatkan semua sektor baik secara langsung maupun tidak langsung. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan memperkenalkan rancang bangun pengembangan kerbau dari hulu sampai hilir. Diharapkan melalui sosialisasi dan pendampingan dari pusat, terutama daerah akan menunjang pengembangan usaha peternakan kerbau sehingga dapat memberikan kontribusi yang layak kepada peternak. Ditjen PKH memperkenalkan rancang-bangun pengembangan ternak kerbau mulai dari pembibitan sampai pada optimasi produksi, pascapanen dan pemasaran produk yang didasarkan pada empat strategi utama yaitu pengembangan berbasis potensi wilayah, pola usaha, optimasi produksi dan pemberdayaan peternak dan kelembagaan. Strategi tersebut membutuhkan partisipasi dan kontribusi nyata dari pemerintah pusat dan daerah sebagai fasilitator, koordinator dan pengawasan, swasta sebagai sumber utama finansial dan peternak sebagai pelaku utama. Sinergitas semua elemen diharapkan dapat berjalan optimal untuk tercapainya peningkatan penghasilan peternak melalui optimasi produksi dan peningkatan harga jual produk.
Strategi WO (Weaknesses – Oppurtunities) Strategi weaknesses–oppurtunities didasarkan pada penanggulangan kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada untuk pengembangan kerbau di Kabupaten Pandeglang. Strategi WO menghasilkan “Optimalisasi kelembagaan peternak dan instansi pemerintah dengan penerapan teknologi inovatif guna meningkatkan produktivitas dan daya saing komoditas kerbau”. Kebijakan pemberdayaan peternak sebagaimana tercantum dalam Ditjennnakeswan (2014) meliputi peningkatan kapasitas dan peningkatan kelembagaan peternak serta peningkatan usahatani yang berdaya saing dan berkelanjutan. Strategi yang diterapkan meliputi strategi dasar dan strategi operasional. Strategi dasar dilaksanakan salah satunya dengan mengubah perilaku peternak agar mengembangkan usaha produktif yang dikelola secara bersama dalam satuan skala usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar yang menguntungkan dan efisien. Sedangkan strategi operasional dengan peningkatan jaringan kemitraan agribisnis antar kelembagaan peternak dengan pelaku usaha lainnya serta fasilitasi pembentukan kelembagaan ekonomi petani peternak dengan basis kelompok atau gabungan kelompok yang berbadan hukum dalam bentuk koperasi. Penerapan teknologi reproduksi untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau dapat diterapkan, yaitu melalui IB. Saat ini masih belum tersedia bank semen beku dan pejantan kerbau rawa berkualitas unggul. Ini terjadi akibat tidak adanya proses seleksi untuk menentukan bibit pejantan dan betina berkualitas sehingga apabila dibiarkan akan terus meningkatkan inbreeding kerbau di lokasi penelitian dan sekitarnya. Namun hal ini dapat diatasi dengan proses persilangan ternak kerbau rawa dengan ternak kerbau perah. Hasil persilangan kerbau rawa dan kerbau perah menunjukkan performa produksi (pertambahan bobot badan, berat badan, kuantitas, dan kualitas susu), reproduksi dan kualitas karkas/daging yang lebih baik dibandingkan kerbau rawa (Yusnizar et al. 2015) Strategi ST (Strenght – Threats) Perumusan strategi ST (Strenghts – Threats) didasarkan pada pengelolaan kekuatan yang dimiliki oleh wilayah pengembangan kerbau di Kabupaten Pandeglang untuk mengatasi ancaman yang ada dalam pengembangan kerbau. Perumusan ST menghasilkan strategi yaitu “Peningkatan sumberdaya peternak dan pelaku usaha pengembangan ternak kerbau lainnya dalam rangka membangun sinergitas kebersamaan untuk mendukung kebijakan pengembangan kerbau”. Peningkatan SDM peternak dilakukan dengan mengintensifkan penyuluhan, pembinaan serta pendampingan yang berkelanjutan. Selain itu pelaku usaha juga perlu diberikan pembinaan dan pendampingan untuk meningkatkan kualitas perannya dalam usaha pengembangan peternakan kerbau. Adanya partisipasi yang lebih aktif dan saling melengkapi dalam berkontribusi dari aspek hulu sampai hilir akan turut mendukung kebijakan pengembangan ternak kerbau. Strategi WT (Weaknesses – Threats) Strategi weaknesses–threats didasarkan untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki wilayah pengembangan peternakan kerbau, mengantisipasi ancaman yang ada dalam kerangka pengembangan usaha peternakan ke tahapan agribisnis yang mandiri. Strategi WT menghasilkan “Peningkatan kemampuan manajerial kelompok ternak kearah kelembagaan usaha dengan konsep agribisnis didukung dengan optimalisasi SDM guna meningkatkan pengembangan ternak kerbau”.
43
Untuk mendorong usaha peternakan rakyat menjadi usaha menengah dan atau usaha besar (industri peternakan), maka sangat diperlukan iklim usaha yang kondusif, pembinaan yang terintegrasi serta fasilitasi untuk pengembangan usaha. Salah satu upaya untuk memberi perhatian dan dorongan yang lebih besar kepada terwujudnya kemitraan usaha di bidang peternakan antara usaha besar dan usaha menengah dengan para peternak (usaha kecil), maka prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, saling menguntungkan dan berkeadilan harus dapat diberlakukan. Oleh karena itu peningkatan kapasitas peternak harus ditingkatkan agar peran aktif peternak dapat lebih optimal dan berkontribusi positif dalam pengembangan usaha pengembangan peternakan kerbau.
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik produksi ternak kerbau rawa yang dimiliki kelompok peternak di Kabupaten Pandeglang cukup baik berdasarkan ketersediaan ternak betina yang cukup untuk reproduksi, petani peternak yang memiliki pengalaman dalam memelihara ternak yang tergabung dalam kelompok tani dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan ternak kerbau. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain ketersediaan lahan dan pakan yang terbatas, pola pemeliharaan yang subsisten, penerapan teknologi pakan, reproduksi dan sistem pemasaran yang belum memadai. Alternatif strategi pengembangan meliputi perbaikan manajemen reproduksi melalui pengadaan bibit jantan unggul, teknologi pakan, peningkatan ketrampilan SDM melalui pelatihan didukung dengan penguatan kelembagaan peternak (koperasi). Kebijakan pemerintah diperlukan untuk memfasilitasi dan mendukung pengembangan ternak kerbau melalui program kemitraan dalam budidaya dan pengaturan pemasaran ternak kerbau. Saran Pengembangan peternakan kerbau rawa di Kabupaten Pandeglang perlu mendapatkan perhatian khusus dan serius dari berbagai pihak khususnya pemegang kebijakan, pelaku usaha dan peternak. Hal ini dikarenakan ternak kerbau sebagai salah sumber daya genetik Indonesia dapat berperan dalam mendukung pemenuhan protein hewani masyarakat. Berdasarkan identifikasi dan analisa yang telah dilakukan dalam kajian pengembangan peternakan kerbau ini maka dapat dirumuskan kebijakan selanjutnya untuk meningkatkan populasi dan produktifitas ternak kerbau sehingga peternak dan para stake holder terkait dapat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dalam rangka mendukung pengembangan ternak kerbau di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni A, Triwulanningsih E. 2007. Keragaan bobot badan dan morfometrik tubuh kerbau Sumbawa terpilih untuk penggemukan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Tahun 2007. Arman C. 2006. Penyigian karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa. Prosiding lokakarya nasional: usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Basyid A. 2006. Pemberdayaan masyarakat pertanian melalui penguatan modal usaha kelompok tani. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI. hlmn 49-63. Borghese A, Marco M. 2005. Buffalo production and research. Food and Agriculture Organization Regional Office for Europe Inter-Regional Cooperative Research Network on Buffalo (ESCORNA). Rome (IT): FAOROE. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Analisis Perkembangan Statistik Ketenagakerjaan (Laporan Sosial Indonesia 2007). Subdirektorat Indikator Statistik. Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [Bappeda Pandeglang] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Pandeglang. 2011. Rencana tata ruang wilayah kabupaten Pandeglang tahun 2011-2031. Serang (ID): Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Chantalakhana C. 2001. Urgent need in Buffalo development for food security and self-sufficiency. Proceedings Buffalo Workshop December 2001 [Internet]. Tersedia pada: http://www.mekarn.org/procbuf/chan.htm [19 Februari 2013] [Ditjennak]. Direkotrat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Pedoman Analisis Potensi Peternak. Departemen Pertanian RI. [Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Pedoman pelaksanaan penguatan kelembagaan peternak. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI. [Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012a. Press release konferensi press Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang supply demand daging sapi/kerbau sampai dengan desember 2012. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI. [Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012b. Pedoman pelaksanaan pengembangan kawasan sapi dan kerbau. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI. [Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Rancang bangun ternak kerbau. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI. [Ditjennak] Direkotrat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Pedoman analisis potensi peternak. Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 1992. Pedoman identifikasi faktor penentu teknis peternakan. Proyek Peningkatan Produksi Peternakan. Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI
45
David FR. 2009. Manajemen strategis konsep. Sunardi D, penerjemah; Wuriarti P, editor. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategic Management. Ed ke-12. [Dinas PKH Kalbar dan Fapet IPB] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat dan Fakultas Peternakan IPB. 2014. Laporan akhir penyusunan masterplan pengembangan kawasan peternakan Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak (ID): Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Hermanto, KS, Swastika D. 2011. Penguatan kelompok tani : langkah awal peningkatan kesejahtraan petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 9 : 371-390. Keman S. 2006. Reproduksi ternak kerbau menyongsong rencana kecukupan daging tahun 2010. Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas 2006. Fakultas Peternakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kusnadi U, Kusumaningrum DA, Sianturi RG, Triwulanningsih E. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usaha tani di Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 12-13 September 2005. Hal 316-322. Maslidin. 2005. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani cengkeh (Eugenia aromatika) di Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue. Banda Aceh (ID): Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam. Maureen CH,Kardiyanto E. 2010. Potensi pengembangan kerbau di Provinsi Banten mendukung swasembada daging. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010. Musa S, AH Nasoetion AH. 2007. Landasan statistika kontemporer. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Nell AJ, Rollinson DHL. 1974. The requirement and availability of livestock feed in Indonesia. Jakarta (ID): UNDP Project INS/72/009. Nasrudin, Sulastri E, Budisatria IGS. 2011. Hubungan etos kerja, motivasi dan sikap inovatif dengan pendapatan peternak kerbau di Kabupaten Manggarai Barat. Buletin Peternakan Vol. 35(1): 64-70 Philipsson J, Rege JEO. 2002. Sustainable breeding programesfor tropical farming systems. Animal Genetics Training Resources. ILRI-SLU. Rahmat D. 2006. Analisisdanpengembanganpolapemuliaan (breeding scheme) dombaPriangan yang berkelanjutan.Bogor (ID): Disertasi. Program Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor. Rakhmat J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suradisastra. K, Basuno, &Tarigan. 2007. Prosiding kinerja dan prospek pembangunan pertanian Indonesia. Status dan Arah Pengembangan Kelembagaan Petani. Vol 6 : 106. Sofyan A. 2006. Dukungan kebijakan perluasan areal untuk pengembangan kawasan ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI. hlmn 13-20. Sitorus AJ, A. Anggraeni. 2008. Karakterisasi morfologi dan estimasi jarak genetik kerbau rawa, sungai (Murrah) dan silangannya di Sumatera Utara. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Torrel R, Bruce B, Kvaniska B. 2003. Methods of determining age of cattle. [Internet]. Tersedia pada: http//www.avc-beef.org/Aging CattleGriffin/AgingCattle-CL712.pdf [19 Februari 2013]. Wirdahayati RB. 2010. Kajian kelayakan dan adopsi inovasi teknologi sapi potong mendukung program PSDS: Kasus Jawa Timur dan Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional dan Veteriner. Bogor 3-4 Agustus 2010. Yusnizar Y, Muhammad I, Muhammad R, Cece S. 2015. Kerbau ternak potensial yang terlupakan. Jakarta (ID): Edu Pustaka. Yulnawati Y, Maheswari H, Rizal M, Boediono A. 2013. The success rate of artificial insemination using post-thawed epidymal sperm from spotted bulls (Bubalus bubalis carabanensis). Media Peternakan. 36(2):101-105.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisa SWOT
Faktor Internal
Faktor Eksternal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5.
Opportunities (O) Kebutuhan daging cenderung meningkat Pemasaran ternak tersedia Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan ternak kerbau Target swasembada daging nasional Terbangunnya kemitraan dengan lembaga keuangan Program IB pada kerbau bisa dilaksanakan Banyaknya inovasi yang dapat diterapkan dilapangan Treaths (T) Pengaturan jual beli ternak belum terstruktur Peran blantik/jagal dominan dalam penentuan harga Kemungkinan alih fungsi lahan Lemahnya manajemen kelembagaan peternak Petugas yang membidangi reproduksi dan pakan ternak kurang kompeten
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Strengths (S) Pengalaman beternak cukup baik Ketersediaan tenaga kerja produktif Motivasi dan partisipasi peternak tinggi Budidaya turun temurun Populasi kerbau dominan Kebutuhan daging sebagai sumber protein Mudah beradaptasi dengan lingkungan Potensi lahan yang luas Ketersediaan limbah pertanian
Strategi SO - Optimalisasi sumberdaya peternak, lahan dan produktifitas ternak dengan dukungan pemerintah melalui fasilitasi kebijakan dan sarana prasarana dalam rangka meningkatkan pemasaran dan keberlanjutan pengembangan ternak kerbau (S1, S7, S8, S9, O2, O3, O6)
-
Strategi ST Peningkatan sumberdaya peternak dan pelaku usaha pengembangan ternak kerbau lainnya dalam rangka membangun sinergitas kebersamaan untuk mendukung kebijakan pengembangan ternak kerbau (S1, S2, S3, T2, T4)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
-
-
Weaknesses (W) Pendidikan peternak relatif rendah Pengetahuan peternak masih rendah Kepemilikan ternak rendah Sistem pemeliharaan tradisional Penurunan jumlah kerbau Proses pencatatan kurang teratur Replacement pejantan tidak dilakukan Sistem perkawinan alam Kurangnya pengaturan lahan untuk HMT Teknologi pakan belum diterapkan Sisa hasil pertanian belum diolah menjadi pakan ternak Akses transportasi dan sarana infrastruktur belum diolah memadai Strategi WO Optimalisasi kelembagaan peternak dan instansi pemerintah dengan penerapan teknologi inovatif guna meningkatkan produktifitas dan daya saing komoditas ternak kerbau (W4, W6, O3, O5, O6)
Strategi WT Peningkatan kemampuan manajerial kelompok ternak kearah kelembagaan usaha dengan konsep agribisnis didukung dengan optimalisasi sumberdaya manusia guna meningkatkan pengembangan ternak kerbau (W1, W2, W4, T1, T3, T5)
Lampiran 2. Pembobotan Faktor Internal
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Faktor Kekuatan Pengalaman beternak cukup baik Ketersediaan tenaga kerja produktif Motivasi dan partisipasi peternak tinggi Budidaya turun menurun Populasi kerbau dominan Kebutuhan daging sebagai sumber protein Mudah beradaptasi dengan lingkungan Potensi lahan yang luas Ketersediaan limbah pertanian TOTAL Faktor Kelemahan Pendidikan peternakan relatif rendah Pengetahuan peternak masih rendah Kepemilikan ternak rendah Sistem pemeliharaan tradisional Penurunan jumlah kerbau Proses pencatatan kurang teratur Replacement pejantan tidak dilakukan Sistem perkawinan alam Kurangnya pengaturan lahan untuk HMT Teknologi pakan belum diterapkan Sisa hasil pertanian berlum diolah menjadi pakan ternak Akses transportasi dan sarana infrastruktur belum memadai TOTAL
Bobot P
B3
0.09
0.08
0.10
0.09
0.09 0.08
0.10
0.63
0.09
0.11
0.12
0.09
0.11
0.11 0.12
0.10
0.76
0.11
0.13 0.10 0.11
0.10 0.11 0.11
0.11 0.13 0.09
0.13 0.10 0.11
0.13 0.10 0.10 0.11 0.11 0.11
0.10 0.13 0.09
0.80 0.78 0.73
0.11 0.11 0.10
0.13
0.12
0.12
0.13
0.13 0.12
0.12
0.87
0.12
0.11 0.11 0.11 1
0.12 0.12 0.12 1
0.12 0.12 0.12 1
0.11 0.11 0.11 1
0.11 0.12 0.11 0.12 0.11 0.12 1 1
0.12 0.12 0.12 1
0.81 0.81 0.81 7
0.12 0.12 0.12 1
B1
B2
B3
D
K1
K1
K2
Ratarata
B2
Bobot P
D
Jumlah
B1
K2
Jumlah
Ratarata
0.08 0.10
0.09
0.08
0.10
0.10 0.09
0.64
0.09
0.09 0.10 0.11 0.10
0.09 0.04
0.09 0.11
0.10 0.10
0.10 0.08 0.10 0.04
0.65 0.60
0.09 0.09
0.08 0.03 0.09 0.10
0.08 0.08
0.09 0.08
0.03 0.10
0.03 0.07 0.10 0.09
0.41 0.64
0.06 0.09
0.08 0.09
0.08
0.08
0.09
0.09 0.09
0.60
0.09
0.08 0.09 0.09 0.03
0.09 0.09
0.08 0.09
0.09 0.03
0.09 0.09 0.03 0.09
0.61 0.45
0.09 0.06
0.07 0.09
0.09
0.07
0.09
0.09 0.09
0.59
0.08
0.07 0.09
0.09
0.07
0.09
0.09 0.09
0.59
0.08
0.08 0.09
0.09
0.08
0.09
0.09 0.09
0.61
0.09
0.08 0.09 1 1
0.09 1
0.08 1
0.09 1
0.09 0.09 1 1
0.61 7
0.09 1
Lampiran 3. Pembobotan Faktor Eksternal No
Faktor Peluang
Kebutuhan daging cenderung 1 meningkat 2 Pemasaran ternak tersedia Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan 3 ternak kerbau Target swasembada daging 4 nasional Terbangunnya kemitraan 5 dengan lembaga keuangan Program IB pada kerbau bisa 6 dilaksanakan Banyaknya inovasi yang dapat 7 diterapkan dilapangan TOTAL No
Faktor Ancaman
Pengaturan jual beli ternak 1 belum terstruktur Peran blantik/jagal dominan 2 dalam penentuan harga 3 Kemungkinan alih fungsi lahan Lemahnya manajemen 4 kelembagaan peternak Petugas yang membidangi reproduksi dan pakan ternak 5 kurang kompenten TOTAL
B1
B2
B3
Bobot P
D
K1
K2
Jumlah
Ratarata
0.14 0.15 0.14 0.15
0.19 0.09
0.14 0.14
0.19 0.09
0.15 0.19 0.15 0.09
1.15 0.85
0.16 0.12
0.19 0.14
0.09
0.20
0.09
0.14 0.09
0.94
0.13
0.17 0.14
0.09
0.20
0.09
0.14 0.09
0.92
0.13
0.14 0.14
0.18
0.10
0.18
0.14 0.18
1.06
0.15
0.11 0.14
0.18
0.11
0.18
0.14 0.18
1.04
0.15
0.11 0.14 1 1
0.18 1
0.11 1
0.18 1
0.14 0.18 1 1
1.04 7
0.15 1.00
B1
B2
B3
Bobot P
D
K1
K2
Jumlah
Ratarata
0.20 0.44
0.20
0.20
0.20
0.44 0.20
1.88
0.27
0.20 0.15 0.20 0.11
0.20 0.20
0.20 0.20
0.20 0.20
0.15 0.20 0.11 0.20
1.30 1.22
0.19 0.17
0.20 0.15
0.20
0.20
0.20
0.15 0.20
1.30
0.19
0.20 0.15 1 1
0.20 1
0.20 1
0.20 1
0.15 0.20 1 1
1.30 7
0.19 1.00
Lampiran 4. Penerapan Aspek Teknis Pemeliharaan Ternak Kerbau NO FAKTOR PENENTU I PEMULIAAN DAN REPRODUKSI 1 Perbandingan pejantan dengan betina 2
3
4
5
6
7
II 1
< 10 ekor > 10 ekor Sistem perkawinan IB Kawin alam yang teratur Kawin alam yang tidak teratur Kelahiran perinduk setiap tahun < 1.5 kali setahun 1.5 tahun sekali > 1.5 tahun sekali Jarak beranak 12 -14 bulan 15 -17 bulan > 17 bulan Jumlah perkawinan untuk menjadi bunting 1 kali 2-3 kali > 3 kali Pemilihan pejantan yang digunakan Berdasarkan keturunan (silsilah) Berdasarkan berat badan Sembarang pejantan Pemilihan induk yang digunakan Berdasarkan keturunan (silsilah) Berdasarkan berat badan Sembarang betina MAKANAN Jumlah hijauan yang diberikan Lebih dari cukup Cukup Kurang
2 Jenis hijauan yang diberikan
3 Pemberian konsentrat
4 Pemberian mineral
5 Pemberian air minum
6 Peranan hijauan makanan ternak
7 Usaha pengawetan makanan ternak
III
TATA LAKSANA 1 Pencatatan
2 Kebersihan ternak
3 Pemanfaatan tenaga kerja
4 Pemanfaatan kotoran ternak (pupuk,biogas,dll)
5 Pengetahuan berahi dan waktu mengawinkan dan waktu melahirkan
6 Pengetahuan tentang usaha peternakan (tujuan usaha peternakan)
IV
KESEHATAN 1 Vaksinasi
2
3
4
5
6
V 1
2
3
4
5
ALTERNATIF JAWABAN
Rumput unggul tambah leguminosa Rumput + limbah pertanian Rumput unggul Rumput lapangan Setiap hari Kadang-kadang Tidak ada Campuran mineral pabrik Garam dapur+kapur+tepung tulang Garam dapur Tidak memberikan Selalu (dikandang) Kadang-kadang Tidak ada Cukup untuk memenuhi kebutuhan Sebagai tambahan Tidak ada Selalu/ada Kadang-kadang Tidak pernah Lengkap Kurang lengkap Tidak ada Baik Cukup Kurang Diperkerjakan Tidak diperkerjakan Diperkerjakan dalam keadaan bunting Seluruhnya
350 60 20 40 30 10 60 40 20 60 40 20 50 30 20 40 30 10 40 30 10 300 50 30 10 50 40 30 10 50 30 1 50 40 20 1 50 30 1 50 30 1 50 30 1 200 40 20 1 30 20 10 30 20 10 30
Sebagian Tidak ada Baik
20 1 35
Sedang Kurang Baik
25 15 35
Sedang Kurang
25 15 150 25 15 1 25 15 5 25 15 1 25 15 5 25 15 1 15 10 1 75 25 15 1 15 10 1 20 10 5 10 5 3 5 3 1
Selalu Kadang-kadang Tidak ada Pengetahuan tentang penyakit Baik Sedang Kurang Usaha dan tanggapan terhadap kerbau yang Melaporkan sakit terhadap petugas Berusaha mengatasi secara tradisional Dibiarkan Kematian ternak Tidak ada Seekor Dua ekor atau lebih Tindakan terhadap kematian Melaporkan pada petugas Dibiarkan Dimakan Penggunaan obat-obatan Selalu Kadang-kadang Tidak pernah KANDANG DAN PERALATAN Pemilikan kandang Ada Alakadarnya Tidak ada Lokasi kandang Terpisah dari rumah jarak 5-10 m Terpisah dari rumah jarak 1-4 m Bersatu dengan rumah Konstruksi kandang Baik Sedang Kurang Kebersihan kandang Baik Sedang Kurang Peralatan dan kandang Lengkap Kurang Tidak ada
NILAI 120 20
10
20
20 30
10
10 104 30
40
1
1
1 30
1 92
1 20 30
1
25
15 61
1
5 15
5 25
10 56 25
15
10
5
1
3
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1980 sebagai putri keenam dari enam bersaudara anak pasangan Drs. H. Idris Zaini (alm) dan Hj. Suhani Ramdhani. Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 54 Jakarta Timur dan melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2003. Penulis melanjutkan Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) di FKH-IPB pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2005 dengan meraih gelar Dokter Hewan (Drh). Penulis mengikuti proyek kerjasama IPB dan Kementerian Pertanian dalam penanggulangan penyakit Avian Influenza (AI) di Kalimantan Tengah pada akhir tahun 2005 dan sempat mengikuti magang honorer pada Laboratorium Kesmavet Dinas Peternakan Provinsi DKI Jakarta. Penulis mengikuti program Tenaga Harian Lepas Dokter Hewan Kementerian Pertanian dan ditempatkan di Unit Pengendalian Penyakit AI Pusat pada tahun 2006-2008. Pada tahun 2008 penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dan selanjutnya ditempatkan di Direktorat Budidaya Ternak. Penulis mengikuti pendidikan magister pada tahun 2012 di Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dengan beasiswa dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Mulai tahun 2015 sampai dengan saat ini penulis bertugas di Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.