Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
EVALUASI MODEL PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DENGAN KELAPA SAWIT (Evaluating the Development Model of Integrating Cattle and Oil-Palm) GUNAWAN1, AZMI1, I.W. MATHIUS2, DARYANTO3, MAJESTIKA3, S. KHOLIK4 dan D.M. SITOMPUL4 1
BPTP Bengkulu; 2Balai Penelitian Ternak Bogor; 3Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bengkulu 4Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Bengkulu
ABSTRACT Integration of livestock and oil palm plantation took a great deal possitiv influences, especially in management improving of such those farm operation effectively. Systematic beef cattle integration in oil palm plantation (Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit or SISKA) in Agricinal Enterprise Bengkulu could be an alternative of cow-calf operation. If oil palm plantations in Indonesia are pointed as beef cattle breeding center, in certain time it could decrease import of beef and cattle. Previous researches show that SISKA is able to be optimal in beef cattle management and institution. According to these issue, evaluation of sort development on SISKA is needed in order it could be wide applied and national developed. Primary and secondary data were collected by purposive sampling with participative observation method. Employee, Agricinal Enterprise executive board and it’s staffs were interviewed for collecting data. Data were analysis as qualitative and quantitative by statistical test. The result shows that SISKA has been run well in ‘nucleus’ plantation. But in ‘plasma’ plantation, such this integration only in manure utilization for oil palm trees. Farmer in nucleus plantation fed their cattle by crop residues and factory refuse, while in plasma plantation fed by weed. Cattle birth rate in nucleus plantation is 42% with calving interval (CI) 482 days. In plasma plantation, cattle birth rate is 38% with CI 497 days. The floor of most stall in nucleus plantation were made permanent, while in plasma plantation without permanent floor. Both in nucleus and plasma plantation, the cattle were prevented by SE vaccine. In some cattle, there were found bloat and parasite in both of plantations. Farmer in nucleus plantation got more income than they are in plasma plantation. It is concluded that farmer in nucleus plantation has higher cattle production, oil palm production and income. According to these advantages, SISKA is able to be developed in all oil palm plantation in Indonesia. Key words: SISKA, cow-calf operation, calving interval, nucleus and plasma plantation ABSTRAK Keterpaduan usaha peternakan di kawasan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak positif yang sangat besar, terutama dalam perbaikan manajemen pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan pengelolaan sapi yang efektif bagi peningkatan produktivitas keduanya. Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA) yang dilakukan di PT Agricinal Bengkulu, dapat menjadi alternatif usaha cow-calf operation. Bila perkebunanperkebunan kelapa sawit di Indonesia diarahkan menjadi sentra bibit sapi potong, maka dalam kurun waktu tertentu hal ini dapat mengurangi ketergantungan negara pada sapi dan daging import. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa SISKA yang sudah dilakukan masih dapat dioptimalkan dalam penerapan budidaya ternak sapi dan kelembagaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu evaluasi model pengembangan SISKA. Sehingga dari sini model SISKA dapat lebih luas diaplikasikan dan dikembangkan secara nasional. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan purposive sampling dengan metode participative observation. Terhadap petani pemanen/karyawan di kebun inti, petani plasma, pengurus dan staf PT Agricinal dilakukan wawancara untuk mengambil data teknologi budidaya ternak sapi dan kelapa sawit, serta analisis kelayakan usaha, Analisa data dilakukan secara kualitatif kuantitatif dengan menggunakan uji statistik. Diketahui bahwa integrasi pemeliharaan ternak sapi dengan usaha perkebunan sudah dilaksanakan di kebun inti. Tetapi di kebun plasma integrasi ini baru berupa pemanfaatan kotoran ternak untuk tanaman kelapa sawit. Pemanfaatan pakan oleh petani inti sampai pada pemanfaatan limbah kebun dan pabrik, sedangkan petani plasma baru dalam pemanfaatan gulma. Di kebun inti tingkat kelahiran anak mencapai 42% dengan CI (calving interval) 482 hari, sementara di kebun plasma tingkat kelahiran 38% dengan CI 497 hari. Sebagian besar kandang sapi di kebun inti berlantai semen sedangkan di kebun plasna berlantai tanah. Baik di kebun inti maupun di kebun plasma telah dilakukan vaksinasi SE dan di kedua lokasi tersebut sapi masih sering kembung serta cacingan. Secara finansial, petani di kebun inti mendapatkan
401
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
penghasilan lebih besar daripada petani di kebun plasma. Dapat disimpulkan bahwa produktivitas ternak, tanaman sawit dan pendapatan petani di kebun inti lebih tinggi dibandingkan dengan kebun plasma. Karena itu SISKA model Bengkulu dapat dikembangkan di perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Kata kunci: SISKA, cow-calf operation, calving interval, perkebunan inti dan plasma
PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi sebagaimana dikembangkan oleh PT Agricinal di Bengkulu merupakan alternatif usaha cow-calf operation yang sangat unik dan dapat dijadikan model yang secara teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan layak untuk dikembangkan (BADAN LITBANG DAN PT AGRICINAL, 2003). Pengembangan Sistem Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit (SISKA) untuk kawasan perkebunan lainnya dapat disesuaikan dengan kondisi agroekologi, sosial ekonomi masyarakat serta peluang pengembangan dan pemasaran sapi. Integrasi usaha peternakan dengan tanaman perkebunan kelapa sawit memberikan dampak yang besar, terutama dalam memperbaiki manajemen pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan pengelolaan sapi yang efektif bagi peningkatan produktivitasnya (ZAINUDIN dan ZAHARI, 1992; DAMANIK, 1994; DITJEN BP PETERNAKAN, 2002). Hingga saat ini diketahui bahwa SISKA yang dikembangkan oleh PT. Agricinal memberikan manfaat dan nilai tambah bagi pemanen maupun petani plasma yang dibinanya. Melalui SISKA, suplai tandan buah segar (TBS) untuk pabrik kelapa sawit dan pakan ternak sapi dapat berkelanjutan, pendapatan pemanen meningkat serta terjadi efisiensi biaya perusahaan (BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU, 2003). Disisi lain, dengan adanya SISKA terbuka peluang pengembangan agribisnis ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat menjadi sentra bibit sapi dan industri daging. Dalam jangka panjang hal ini akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap import daging dan sapi bakalan terutama dari Australia yang pada tahun 2003 mencapai sekitar 400 ribu ekor (PUSLITBANGNAK, 2003). Pengembangan SISKA juga akan memberikan peluang untuk terciptanya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta menjaga pelestarian lingkungan dengan cara pemanfaatan limbah pabrik secara optimal (SOENTORO dan AZMI, 2003).
402
Dari hasil pengamatan dan pengkajian yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu pada tahun 2003 diperoleh kesimpulan bahwa model pengembangan SISKA yang dilakukan oleh PT. Agricinal belum optimal dalam penerapan teknologi budidaya ternak sapi maupun pengembangan kelembagaannya. Penerapan teknologi budidaya ternak sapi potong yang meliputi aspek reproduksi, pakan, manajemen serta kontrol terhadap penyakit belum dilakukan secara baik, sehingga produktivitasnya rendah. Jumlah dan nilai gizi pakan yang diberikan pada sapi oleh peternak belum mencukupi kebutuhan gizi, sehingga penampilan sapi belum sesuai dengan potensi genetiknya (MATHIUS et al., 2003). Teknologi, sumberdaya alam, manusia dan kelembagaan merupakan faktor penggerak dalam aktivitas agribisnis. Keempat faktor tersebut saling menunjang. Satu atau lebih dari faktor tersebut tidak ada atau tidak sesuai, maka kegiatan yang dilakukan tidak dapat memberi hasil seperti yang diinginkan. Dengan demikian, penerapan teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, tetapi perlu dimbangi dengan pengelolaan sumberdaya alam, manusia dan kelembagaan (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2003). Didasari oleh keadaan tersebut maka perlu dilakukan evaluasi model pengembangan SISKA, sehingga model yang selama ini masih terbatas penggunaannya dapat diaplikasikan dan dikembangkan lebih meluas dengan menggunakan model pengembangan SISKA yang disempurnakan. MATERI DAN METODE Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei tahun 2004, di wilayah inti dan plasma perkebunan kelapa sawit PT. Agricinal secara purposive sampling. Observasi dilakukan secara partisipatif dan menggunakan teknik penerapan kaji tindak. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
primer dilakukan dengan teknik wawancara kepada pemanen, petani plasma, pengurus dan staf PT.Agicinal. Data sekunder diperoleh dari pencatatan (recording) yang telah dilakukan oleh PT. Agricinal maupun instansi terkait. Analisis data dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif dengan menggunakan uji statistik. Sebagai pembanding keberhasilan model pengembangnan SISKA, maka dilakukan pengamatan dan pengumpulan data terhadap produktivitas, nilai ekonomis dan pemanfaatan sumberdaya pada ternak sapi non integrasi untuk dibandingkan dengan model SISKA. Disamping itu dibandingkan juga produktivitas kelapa sawit, nilai ekonomis, kesuburan tanah dan efisiensi tenaga kerja antara model SISKA dengan di luar SISKA.
kebun plasma dimulai tahun 1989. Hingga tahun 2003 kebun plasma telah mencakup areal seluas lebih kurang 12 ribu hektar. Sejak tahun 1996 mulai dikembangkan ternak sapi di kebun inti, namun dikembangkan secara intensif baru pada tahun 1999 di wilayah inti dan plasma (Tabel 1). Penyaluran sapi kepada petani plasma dan inti dilaksanakan oleh Koperasi Karyawan dengan pola gaduhan seperti pola IFAD. Penerimaan seekor induk dikembalikan 2 ekor sapi bakalan berumur 18 bulan (1,5 tahun). Sedang di kebun inti memakai pola kredit dengan bunga 19,5% per tahun. Perusahaan dalam hal ini menyediakan sarana obat-obatan, tenaga ahli serta bertindak sebagai avalis dalam pengadaan ternak dari dana Kredit Ketahanan Pangan. Usaha ternak di kebun inti dan plasma diarahkan untuk usaha pembibitan dan pembesaran/penggemukan dengan pemasaran tetap di bawah kendali koperasi perusahaan. Hingga saat ini pemasaran ternak masih dilaksanakan untuk pengembangan terutama di wilayah plasma atau untuk kebun inti sendiri. Keterkaitan inti dan plasma dalam pengelolaan ternak sapi terlihat pada Gambar 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum kegiatan SISKA PT. Agricinal merupakan perusahaan inti dari perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR. Pengembangkan kebun inti dimulai pada tahun 1984 dengan HGU seluas 8.902 ha, sedangkan
Tabel 1. Jumlah petani, luas lahan, produksi tbs dan perkembangan ternak sapi di kebun inti dan plasma mulai 1999 hingga Mei 2004 Lokasi kebun
Komponen Jumlah peserta
Inti
Plasma
662 orang pemanen
7.165 petani
5.000 ha
12.409 ha pada 65 desa
1 orang pemanen bekerja dalam luas areal 15 ha
Pemilikan rata-rata 1,73 ha
20 ton/ha
5 ton/ha
Luas areal
Produksi sawit Perkembangan ternak sapi
1999
:
579 ekor
1999
:
438 ekor
2000
:
773 ekor
2000
:
433 ekor
2001
: 1.108 ekor
2001
:
523 ekor
2002
: 1.529 ekor
2002
:
726 ekor
2003
: 2.216 ekor
2003
:
861 ekor
2004
: 2.251 ekor
2004
:
897 ekor
Sumber: PT. Agricinal, 2004
403
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
PT. AGRICINAL PERUSAHAAN
KOPERASI KARYAWAN
Sarana obat-obatan Tenaga ahli AvalIs
Pengadaan ternak (kredit/gaduh)
INTI
PLASMA
Usaha pembibitan Usaha pembesaran
Usaha pembibitan Usaha pembesaran
PEMASARAN Gambar 1. Keterkaitan inti dan plasma dalam pengelolaan ternak sapi
404
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Pada akhir tahun 2003 di wilayah kebun plasma mulai dikembangkan pola terpadu yaitu paket kredit Rp50 juta untuk 4 ha lahan kelapa sawit dengan 4 ekor sapi bakalan. Masa pelunasan sapi adalah tahun ke-5 sedangkan kelapa sawit pada tahun ke-10, caranya diangsur setelah tanaman menghasilkan dengan bunga 16% per tahun. Seperti halnya pemasaran ternak, produksi tandan buah segar (TBS) dari kebun inti dan plasma ditampung oleh perusahaan dengan tersedianya pabrik pengolahan kelapa sawit. Keterkaitannya antara PT Agricinal dengan petani inti dan plasma dalam pengelolaan kelapa sawit, disajikan pada Gambar 2. Pengembangan tanaman kelapa sawit di wilayah plasma mulai tahun 1999 dilaksanakan dan dikelola sepenuhnya oleh Komite Pengembangan Kebun Plasma bekerjasama dengan Koperasi Perkebunan Plasma yang dibentuk oleh perusahaan. Pada tahun 1989 pengembangan dikelola melalui Proyek Pembangunan Penduduk Bengkulu Sawit (P3BS). Di kebun inti sejak awal pembangunan dikelola langsung oleh perusahaan. Teknologi budidaya ternak sapi dan kelapa sawit Di kebun inti telah dilaksanakan integrasi antara ternak sapi dengan kebun kelapa sawit, tetapi tidak demikian pada kebun plasma. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan di lokasi plasma terhadap 46 orang petani penggaduh, integrasi di kebun plasma belum dilakukan sepenuhnya. Integrasi di kebun plasma baru pada tahap pemanfaatan kotoran ternak untuk tanaman kelapa sawit. Sapi milik petani plasma dipelihara dalam kandang sistem kereman dan sama sekali tidak dimanfaatkan sebagai ternak kerja seperti di kebun inti. Penggembalaan sapi jarang dilakukan kecuali pada saat dimandikan dan pembersihan kandang. Pembersihan kandang dilakukan setiap pagi hari sambil memberi pakan. Sapi dimandikan 2-3 kali dalam seminggu. Teknologi budidaya ternak sapi di kebun inti dan plasma tertera pada Tabel 2.
Pemberian pakan terhadap sapi di kebun plasma masih mengandalkan rumput alami dan gulma yang diambil di kebun atau ladang di sekitar desa. Pada waktu musim kemarau terkadang harus menyabit ke lokasi yang cukup jauh. Pakan diberikan rata-rata sebanyak 2 karung pupuk atau seberat + 20 kg untuk ratarata pemilikan hingga 2 Satuan Ternak Dewasa. Rumput yang diperoleh pada sore hari dibawa pulang untuk diberikan besok pagi harinya. Pemberian minum dilakukan pada siang hari rata-rata 10 liter untuk 1 ekor ternak dewasa. Menurut PURBA et al. (1997), jumlah gulma pada kebun sawit saat tanaman berumur lebih kurang 10 tahun mencapai 5 ton/ha/tahun atau 13,89 kg/ha/hari. Dari pemilikan areal 1 ha, daya tampung lahan hanya untuk 1 Unit Satuan Ternak. Guna mencukupi jumlah dan mutu pakan, maka perlu diupayakan pakan tambahan seperti dedak atau dengan penanaman rumput unggul pada lahan pekarangan di sekitar pemukiman. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, diperoleh hasil bahwa integrasi pakan sapi dengan tanaman kelapa sawit pada lokasi plasma tidak mungkin dilakukan seperti di kebun inti. Dengan luas pemilikan rata-rata hanya 1,73 ha memberikan indikasi bahwa limbah yang dijadikan pakan dari kebun sangat terbatas, meskipun umur tanaman telah 13 tahun. Selain itu mutu pelepah yang dihasilkan dari tanaman sawit tidak memenuhi persyaratan seperti di kebun inti. Pelepah lebih keras dan kecil, diameter pelepah yang dapat dimanfaatkan untuk pakan sapi hanya sekitar 50 %. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemeliharaan/perawatan serta pemupukan terutama pemberian urea. Aplikasi pemupukan pada kebun kelapa sawit, terlihat pada Tabel 3. Pemanfaatan pakan dari limbah sawit belum dikenal luas oleh petani plasma. Meskipun para petani sudah mendengar bahwa pelepah sawit dapat dijadikan pakan ternak, tetapi belum mengetahui cara mengolahnya. Perbedaan ini sebagai konsekuensi dari perbedaan karakteristik peternak, yaitu antara lain luas penguasaan kebun sawit sebagai sumber pakan, lingkungan sumber pakan dan pemenuhan uang tunai bagi keluarga.
405
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
PT. AGRICINAL KOMITE PENGEMB. KEBUN (KOPERASI)
PERUSAHAAN
Perencanaan & pelaksanaan pengembangan Pembinaan
Tenaga ahli Pabrik pengolahan Sarana produksi
INTI
PLASMA
Produksi TBS
Produksi TBS Agunan kredit
PEMASARAN
Gambar 2. Keterkaitan inti dan plasma dalam pengelolaan kelapa sawit
406
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 2. Teknologi budidaya ternak sapi di kebun inti dan plasma Lokasi kebun
Komponen Pemeliharaan
Inti
Plasma
Waktu pagi sapi dibawa ke kebun, sore dan malam hari dikandangkan
Sapi dipelihara kereman
Sapi jarang dimandikan
Sapi dimandikan 2-3 kali/minggu
Sapi jantan dan betina dipakai untuk menarik gerobak
Sapi tidak dipekerjakan
Kotoran sapi dimanfatakan untuk pupuk kelapa sawit dan dibeli oleh perusahaan Pakan
Reproduksi
Kandang
dengan
sistem
Kotoran sapi dimanfaatkan untuk pupuk kelapa sawit
Pakan siang hari berupa rumput/gulma dan daun sawit
Pakan sapi berupa lapangan/gulma
Waktu sore, malam dan pagi, sapi makan pelepah dicampur bungkil inti sawit dan solid.
Pemberian pakan 20 kg untuk 2 Satuan Ternak
Sapi jarang diberi minum
Pemberian air minum pada siang hari 10 liter/ekor
Perkawinan sapi di kebun
Perkawinan di kandang
Kelahiran 42%, C/I = 482 hari
Kelahiran 38%, C/I=497 hari
Sering terjadi keguguran
Keguguran jarang terjadi
Berbentuk terbuka, beratap seng, lantai semen dan papan.
Berbentuk terbuka, beratap seng, lantai tanah.
Dilengkapi tempat pakan dan lubang tempat pengumpulan kotoran
Dilengkapi tempat pakan dan lubang tempat pengumpulan kotoran
Lantai masih becek
rumput
Lantai masih becek Penyakit
Telah diberikan obat cacing, vaksin SE
Telah diberikan obat cacing, vaksin SE Sering terserang kembung, cacingan
Sering terserang kembung, cacingan Tabel 3. Teknologi budidaya tanaman kelapa sawit di kebun inti dan plasma Lokasi Kebun
Komponen
Inti
Bibit
Pemupukan
Pemeliharaan tanaman
Plasma
Tenera
Tenera
130 pohon / ha
130 pohon / ha
Urea
: 1,5 kg/btg/thn
Urea
: 0,5 kg/btg/thn
SP-36
: 2,0 kg/btg/thn
SP-36
: 0,5 kg/btg/thn
KCl
: 1,5 kg/btg/thn
KCl
: 0,25 kg/btg/thn
Dolomit : 2,0 kg/btg/thn
Dolomit : 0,25 kg/btg/thn
Pukan : 0,5 kg/btg/thn
Pukan
: 1,0 kg/btg/thn
NPK
: 2,0 kg/btg/thn
Dilaksanakan sesuai rekomendasi PPKS
Belum sesuai rekomendasi Pada saat tanaman umur 2-3 tahun tidak ada perawatan
407
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, kompos yang terkumpul di setiap kandang petani plasma tidak dijual. Petani memanfaatkan kompos tersebut untuk memupuk lahan kelapa sawitnya. Menurut ELLA et al. (1999) dari seekor ternak sapi dapat dihasilkan 4–5 ton kotoran segar setiap tahunnya yang dapat dijadikan kompos sebanyak 2 ton dan cukup untuk pemupukan lahan seluas 1 hektar. SETIAWAN (2002) menyatakan bahwa tanaman memerlukan pupuk kandang dan pupuk buatan. Walaupun kadar hara pupuk kandang tidak sebesar pupuk buatan tetapi mempunyai kelebihan yaitu dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Pupuk kandang membuat tanah lebih subur, gembur dan lebih mudah diolah. BPTP KALTIM (2002) menyatakan bahwa dengan pemakaian pupuk kandang dapat memperbaiki struktur dan tekstur lahan kering Podsolik Merah Kuning (PMK), terutama kemampuan dalam menyimpan air. Kegunaan ini tidak dapat digantikan oleh pupuk buatan. Dengan harga kompos Rp. 400,- per kg, petani akan mendapat tambahan penghasilan sebesar Rp. 800.000,- per ekor sapi per tahun. MANTI et al. (2003) mengatakan bahwa pemakaian pupuk kandang akan menghemat pemakaian pupuk buatan sebesar 50%. Dengan demikian telah terjadi pengurangan pembelian pupuk buatan (efisiensi pembiayaan). Biaya pemupukan Urea, TSP dan KCl yang seharusnya untuk tanaman berusia 10 tahun adalah sebesar Rp 17.940.000,- maka dapat digantikan dengan pemberian kompos 20 ton atau senilai Rp 8.000.000,- bila membeli. Berdasarkan evaluasi perkembangan ternak sapi di desa plasma dari jumlah induk yang diterima pada bulan Mei tahun 1999 sebanyak 45 ekor, diperoleh sapi lahir sebanyak 75 ekor (31 jantan, 44 betina) pada bulan Mei 2004. Tingkat kelahiran selama 5 tahun sebesar 35%. Tingkat kelahiran ini lebih kecil dibandingkan tingkat kelahiran sapi di wilayah inti yaitu sebesar 42% dan tingkat kelahiran rata-rata di seluruh wilayah plasma sebesar 38%. Rendahya tingkat kelahiran anak diwilayah ini disebabkan beberapa hal yaitu (1) Calving Interval (CI) rata-rata 622 hari, (2) ternak sapi yang diterima pada awal pemeliharaan berumur 1-1,5 tahun, (3) jumlah perkawinan yang dilakukan sehingga terjadinya kebuntingan (S/C) sekitar 2–3 kali, (4)
408
ketersediaan pejantan 4 ekor berbanding 42 ekor induk sebenarnya mencukupi, namun jarak antara lokasi betina birahi dengan lokasi pejantan terkadang cukup jauh, sehingga kondisi ini kurang mendukung, (5) Jumlah dan mutu pakan yang diberikan di bawah standar kebutuhan, dan (6) curahan waktu petani plasma dengan ketersediaan tenaga kerja keluarga yang terbatas banyak dipakai untuk ke kebun, sehingga seringkali terjadi keterlambatan dalam mengawinkan sapi. Dari keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa laju pertumbuhan sapi lambat, untuk meningkatkannya diperlukan upaya pendekatan dalam pengembangan ternak sapi, baik di lokasi kebun plasma maupun di kebun inti. Upaya yang harus dilakukan meliputi pendekatan kualitatif (peningkatan populasi) dan kuantitatif (produktivitas per unit ternak). Secara nasional angka kelahiran (calving rate) sapi potong dalam negeri masih rendah, yakni mencapai 18,4% dengan tingkat kematian 2%. Meskipun angka kelahiran sapi di perkebunan PT Agricinal lebih tinggi dari angka kelahiran nasional, tetapi masih jauh dari angka kelahiran di negara maju. Angka kelahiran sapi potong di negara maju adalah sekitar 50–80%. Dengan demikian, maka kemampuan reproduksi ternak sapi potong di PT Agricinal belum dimanfaatkan secara optimal. Kurangnya pengelolaan reproduksi ternak merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya produksi. Berdasarkan angka calving interval tersebut di atas, terlihat masih sangat besar peluang untuk dapat meningkatkan produksi melalui pendekatan reproduksi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan teknik kawin suntik atau lebih dikenal dengan inseminasi buatan (IB), yang sekaligus dapat memperbaiki mutu genetik ternak. Namun untuk mencapai hasil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi yang tinggi, maka perbaikan mutu genetik sapi harus diimbangi dengan perbaikan pola pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan ternak (JALALUDIN, 1994). PANJAITAN et al. (2003) melakukan pengamatan terhadap penampilan sapi bali di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) selama tiga tahun dan mendapatkan hasil bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali muda/pasca sapih yang diangon sebesar 0,23 +
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
0,11 kg/hari, sedangkan pada sapi yang dikandangkan berkisar antara 0,09 hingga0,21 kg/ek/hari (SUDANA, 1992). Pada umumnya fertilitas sapi-sapi di daerah tropis lebih rendah daripada sapi-sapi di daerah sedang. Hal ini disebabkan karena pengaruh iklim yang berbeda, di mana iklim yang terlalu panas akan menurunkan fertilitas. Tetapi dengan tatalaksana yang baik fertilitas sapi di daerah tropis dapat ditingkatkan yakni dengan memilih tempat beternak yang cocok disertai dengan perbaikan makanan. Pendapat ini diperkuat oleh TOELIHERE (1981) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti cekaman panas dapat berpengaruh negatif terhadap proses fisiologis produksi dan reproduksi ternak, namun faktor makanan, kesehatan serta genetik juga dapat berpengaruh. ZARATE (1996) melaporkan bahwa program pemuliaan ternak sangat tergantung pada aspek tatalaksana dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan. Keberhasilan perbaikan kinerja sapi membutuhkan kondisi yang stabil yaitu tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun serta kesehatan lingkungan. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (CHEN et al., 1990). Dengan
perkataan lain masalah utama peningkatan produksi ternak sapi adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan dalam jumlah yang cukup maupun kualitas yang baik. Analisis kelayakan usaha dan model pengembangan Berdasarkan kenyataan seperti yang telah dipaparkan di atas, maka dalam analisis finansial usaha ternak sapi petani plasma, komponen tenaga kerja tidak dibebankan menjadi biaya. Komponen yang dibebankan menjadi biaya adalah pembuatan kandang dan pengembalian sapi, karena komponen tersebut memang benar-benar dikeluarkan oleh petani sebagai biaya. Penerimaan dalam usaha ternak sapi didapatkan dari dua sumber, yaitu penerimaan dari hasil pertambahan berat badan sapi dan anaknya serta .penerimaan dari pupuk kotoran sapi yang dihasilkannya. Analisis finansial pemeliharaan sapi di plasma dan inti menggunakan dasar analisis yang agak berbeda. Pada wilayah plasma pola pengembalian adalah sistem gaduh dengan awal pemeliharaan 1 ekor selama periode 5 tahun, sedangkan untuk inti adalah pola kredit dengan skala usaha 3 ekor selama periode 7 tahun.
Tabel 4. Analisis penerimaan, biaya, pendapatan dan r/c dari pemeliharaan sapi di plasma dan inti PT Agricinal Uraian Penerimaan : Pertambahan berat hidup dan anakan Biaya : Kandang Sisa hutang pengembalian sapi Hutang pokok Bunga (19,5%) Total Skenario I Pendapatan R/C Skenario II Pendapatan R/C
Plasma
Inti
4.246.101,-
33.150.000,-
500.000,2.500.000,3.000.000,-
500.000,9.750.000,4.933.500,15.184.000,-
1.246.101,1,42
17.966.000,2,18
5.249.025,2,75
21.416.000,2,41
Skenario I, penerimaan tidak memperhitungkan pupuk kandang yang dihasilkan; Skenario II, penerimaan memperhitungkan pupuk kandang yang dihasilkan (untuk plasma Rp. 4.002.924,- dan untuk inti Rp. 3.450.000,-)
409
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Hasil analisis mengindikasikan bahwa pemeliharaan sapi di wilayah plasma dengan pola gaduhan dan basis awal pemeliharaan 1 ekor sapi dewasa dalam periode 5 tahun menghasilkan pendapatan sebesar Rp.1.246.101,- dengan tingkat rasio R/C sebesar 1,42 (skenario I). Analisis di wilayah inti mengindikasikan bahwa pola pengembalian kredit dengan basis skala usaha 3 ekor sapi selama periode 7 tahun menghasilkan pendapatan sebesar Rp.17.966.000,- dengan tingkat rasio R/C 2,18 (skenario I). Berdasarkan gambaran dari analisis yang telah dilakukan tersebut, menunjukkan suatu indikasi yang sangat kuat bahwa skala usaha yang diterapkan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan. Pengembangan selanjutnya mempertimbangkan pola dan skala usaha serta memperhatikan daya dukung sumberdaya. Pohon kelapa sawit plasma PT Agricinal sampai dengan saat ini paling tua berumur sekitar 13 tahun. Intensitas pemeliharaan yang dilakukan petani plasma juga beraneka ragam. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dan data yang telah dikumpulkan dapat diketahui bahwa rata-rata pohon kelapa sawit plasma mulai berproduksi pada tahun ke 4. Karena data yang tersedia hanya sampai pada tahun ke 13 padahal kelapa sawit masih dapat berproduksi hingga sekitar umur 25 tahun, maka analisis yang dapat dilakukan adalah analisis tingkat pendapatan dan rasio R/C yang dihasilkan tanaman hingga umur 13 tahun. Tabel 5. Penerimaan, biaya dan pendapatan serta r/c usahatani kelapa sawit plasma PT Agricinal hingga umur 13 tahun
410
Uraian
Nilai
Penerimaan
42.118.552,-
Biaya
13.370.686,-
Pendapatan
28.747.836,-
R/C
3,15
Analisis yang tertuang dalam Tabel 5 merupakan present value dengan tingkat diskon faktor sebesar 10%. Hasil analisis menggambarkan bahwa usahatani kelapa sawit plasma PT Agricinal dalam luasan 1 ha kumulatif selama 13 tahun sudah mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp.28.747.836,- dengan tingkat R/C 3,15. Hasil analisis tersebut belum menggambarkan kemampuan sesungguhnya dari usahatani kelapa sawit plasma. Hal ini karena untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan sesungguhnya harus dihitung dalam satu periode siklus yaitu dari sejak tanam hingga tanaman tidak layak ekonomis. Walaupun belum lengkap, tetapi perhitungan tersebut sudah dapat memberikan informasi dan gambaran usahatani sawit plasma sampai dengan umur 13 tahun. Model pengembangan SISKA pada petani di kebun inti adalah 10 ekor sapi betina dan 2 ekor sapi jantan pada 15 ha lahan kebun kelapa sawit. Pada petani di lahan kebun plasma model pengembangannya adalah 2 ekor sapi pada 1 ha lahan kebun kelapa sawit. Penentuan model ini berdasarkan potensi pakan yang dihasilkan di lahan kebun sawit, efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pupuk serta jumlah pupuk yang mampu dihasilkan oleh ternak sapi. KESIMPULAN 1. 2. 3. 4.
Produktivitas ternak sapi di kebun inti lebih tinggi dibandingkan di kebun plasma Produktivitas tanaman kelapa sawit di kebun inti lebih tinggi dibandingkan di kebun plasma Pendapatan petani SISKA di kebun inti lebih besar dibandingkan di kebun plasma Model pengembangan Integrasi Sapi – Sawit Model PT. Agricinal Bengkulu dapat dikembangkan pada perkebunan kelapa sawit lainnya.
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
15 ha Kebun kelapa sawit
INTI
Pelepah Daun = Gulma =
Æ Efisiensi tenaga kerja 10 ha/org→15 ha/org Æ Efisiensi pupuk→50 ha/th Æ Pakan & TBS berkelanjutan Æ Peningkatan pendapatan Rp.750.000→ Rp. 1,3 Juta
= 19,10 UTD 2,51 UTD 1,39 UTD
KOMPOS = 2 ton/th Tenaga Kerja = 1 ekor jantan untu 300 kg TBS
SAPI sejumlah 10 betina dan 2 jantan − Penghasil bakalan − Betina dan jantan afkir RPH
PLASMA
DERMAGA
1 ha kebun kelapa sawit
GULMA : 2 UTD
→Efisiensi Pemupukan 50%/th KOMPOS 2 ton/ha TERNAK SAPI : 2 ekor − Penggemukan − Pembesaran
Gambar 3. Model SISKA PT Agricinal Bengkulu 411
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
DAFTAR PUSTAKA BADAN LITBANG PERTANIAN dan P.T. AGRICINAL. 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Makalah Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Bengkulu September 2003.
Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Bengkulu September 2003. MATHIUS, I.W., AZMI, A.R. SETIOKO, B.P. MANURUNG, D.M. SITOMPUL dan ROKHMAN. 2003. Pemanfaatan Produk Samping Tanaman Kelapa Sawit (Pelepah) sebagai Bahan Dasar Pakan Sapi. Laporan Akhir Penelitian. Proyek PAATP dan Bagian Proyek Penelitian Peternakan Ciawi-Bogor. Badan Litbang Pertanian.
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU. 2003. Pengkajian Model Pengembangan Agribisnis Sapi melalui Sistem Integrasi dengan Perkebuan Kelapa Sawit. Laporan Akhir Proyek PAATP. Tidak dipublikasikan.
PANJAITAN, T.G., FARDYCE and D. POPPI. 2003. Bali Cattle Performance in Dry Tropics of Sumbawa. JITV. 8(3) : 183–188.
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TIMUR. 2002. Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Berlereng Melalui Penerapan Pola Integrasi Usahatani. Brosur.
PURBA, A., P. GIRSANG, Z. POELOENGAN dan A.U. LUBIS. 1997. Pemanfaatan Lahan Perkebuna Kelapa Sawit untuk Ternak Domba dan Kambing. Warta PPKS 1995. Vol. 3.
CHEN, C.P. 1990. Management of Forage For Animal Production Under The Tropics. In Proc. Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System SR. CRSP. Univ. Colivornia Davis. USA. Pp. 10-23.
PUSLITBANGNAK. 2003. Puslitbang Peternakan.
DAMANIK.K.1994. Integrasi Ternak Domba dengan Perkebunan Kelapa Sawit Prospek dan Tantangannya. Prosiding Ruminansia Kecil. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sei Putih. Sub Balitnak Sei Putih. DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2002. Integrasi Ternak dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Departemen Pertanian. DEPARTEMEN PERTANIAN. 1993. Agribisnis. Buku Panduan. DEPARTEMEN PERTANIAN. 2003. Pengembangan Kelembagaan Kelompok Usaha Agribisnis Peternakan Terpadu. Panduan Teknis. ELLA, A., ABIDIN, Z., BUDIMAN M., LOMPENGANG, A.B.,DAN M. DARWIS. 1999. Upaya Peningkatan Populasi Sapi Potong Melalui Gerakan Pengembangan Sentra Baru Pembibitan Pedesaan di Sulawesi Tenggara. Pros.Lokakarya Program Kajian Teknologi Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Sultra. BPTP Kendari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. JALALUDIN, S. 1994. Feeding System Based on Oil Palm by Products. Proceeding of a Symposium Science Congres Bali, Indonesia Juli 11–16 Jakarta. MANTI, I., AZMI, SOENTORO, EKO PRIYOTOMO. Pengkajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Makalah Lokakarya
412
Laporan
Tahunan
SETIAWAN, A.I., 2002. Kotoran Ternak Penyubur Tanah. Penebar Swadaya Jakarta. 2002. SOENTORO dan AZMI. 2003. Pengkajian Model Pengembangan Agribisnis Sapi melalui Sistem Integrasi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Laporan Kegiatan. Tidak dipublikasikan. SUDJANA, T.D. 1993. Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Dalam Balai Penelitian Ternak Bogor 2004. Proposal Kerajasama Penelitian. Tidak dipublikasikan. SUDANA TD. 1992. Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Penebar Swadaya– Bandung. TOELIHERE, M. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. ZAINUDIN, A.T. AND M.W.ZAHARI. 1992. Research on Nutrition and Feed Resources to Enhance Livestock Production in Malaysia, Proc. Utilization of Feed Resources in Relation Nutrition and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop.Agric.Res Series. ZARATE, A.V. 1996. Breeding Strategis For Marginal Regions in The Tropics and Sub Tropics. Anim. Res. Dev. 43/44-49-118. dalam Mathius W. Pengembangan Sapi Potong di Areal Perkebunan Kelapa Sawit.