POTENSI PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI DAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU Afrizon dan Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
ABSTRAK Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan suatu sistem usahatani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Bengkulu karena didukung oleh luas pertanaman kelapa sawit rakyat sekitar 180.330 hektar dan kesesuaian adaptasi ternak sapi yang baik. Kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini belum swasembada dan sebagian masih diimpor dapat ditingkatkan populasi dan produktivitasnya melalui integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha pada perkebunan kelapa sawit. Sinergi positif yang dapat dicapai dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah dapat menjamin suplai pakan bagi ternak sapi, penghematan penggunaan pupuk anorganik bagi tanaman kelapa sawit dan penghematan tenaga kerja dalam pengangkutan TBS kelapa sawit dan tenaga pencari rumput untuk pakan sapi. Luas perkebunan sawit cenderung naik dari tahun ketahun. Pada tahun 2005 68.564 ha dan pada tahun 2010 menjadi 180.330 ha. Dengan adanya integrasi, permasalahan limbah ternak sapi dan limbah kegiatan agribisnis kelapa sawit bukan saja dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali, namun juga memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku usaha. Usahatani integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit ke depan juga dapat menyehatkan lahan-lahan pertanian melalui pengembangan penggunaan pupuk organik dan dapat meningkatkan nilai tambah produk CPO sebagai produk organik yang ramah lingkungan. Kata kunci: Integrasi, Sapi, Kelapa Sawit.
1. Pendahuluan Potensi pengembangan sistem integrasi sapi dengan tanaman kelapa sawit di Propinsi Bengkulu sangat terbuka. Hal ini didukung oleh kesesuaian dan ketersediaan lahan kering yang sangat luas bagi pengembangan tanaman perkebunan kususnya kelapa sawit. Secara umum dari Dinas Perkebunan Propinsi Bengkulu (2010) bahwa perkembangan luasan perkebunan kelapa sawit dalam kurun waktu 5 tahun terakir sangat signifikan. Pada tahun 2005 luas perkebunan sawit rakyat 68.564 ha dan pada tahun 2010 sudah mencapai 180.330 ha dengan laju pertumbuhan 15,94 %. Menurut Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2009) bahwa potensi sumberdaya lahan yang sangat besar tersebut disamping menghasilkan produk utama juga menghasilkan limbah yang dapat mencukupi biomassa pakan sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi sumber pencemar tanah dan lingkungan. 1
Menurut Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas. Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan sistem integrasi tanaman – ternak adalah: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya, (2) mengurangi resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia, (6) ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi, dan (8) pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman – ternak memadukan sistem usahatani tanaman dengan sistem usahatani ternak secara sinergis sehingga terbentuk suatu sistem yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Selanjutnya dikatakan Menurut Chaniago (2009), tujuan integrasi kelapa sawit dengan ternak sapi adalah untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman. Menurut Dirjen Peternakan (2009), secara garis besar integrasi terkait dengan sistem produksi ternak dibagi menjadi dua sistem yaitu sistem produksi berbasis ternak yaitu sekitar 90% bahan pakan dihasilkan dari on-farm-nya, sedangkan penghasilan kegiatan non peternakan kurang dari 10% dan Sistem campuran (mix farming system) yaitu ternak memanfaatkan pakan dari hasil sisa tanaman. Dengan integrasi tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya. Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal (High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS) (Dirjen Peternakan, 2009). 2. Keragaan Petani Potensial Pelaksana Usaha Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit Petani di pedesaan umumnya memiliki jenis usaha yang beragam di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari pengamatan lapangan terlihat bahwa kebanyakan petani yang eksis dalam berusahatani tidak menggantungkan kehidupan mereka pada satu komoditi saja. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka memiliki lahan (tanaman semusim dan atau tahunan), ternak (ruminansia, unggas, dan atau ikan), atau kedua-duanya (lahan dan ternak), walaupun jumlah kepemilikan lahan dan ternak tersebut relatif terbatas. Dalam waktu tertentu, seorang petani dapat mengolah lahan dan memelihara ternak. Status mereka dapat berubah-ubah dari buruh tani, petani penggaduh, petani penyewa, dan atau sekaligus sebagai petani pemilik dalam satu kurun waktu. 2
Diversifikasi usahatani telah tumbuh dan berkembang di perdesaan, salah satunya bertujuan untuk mengantisipasi resiko usaha dari kegagalan usahatani sejenis. Namun pola integrasi (mix farming) belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil, karena umumnya pola usaha yang dilakukan adalah subsisten. Padahal kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah penguasaan dan pemanfaatan teknologi pertanian. Pada Tabel 2 ditampilkan karakteristik sistem usahatani dengan pemanfaatan teknologi pertanian menurut Handaka et al (2009). Tabel 1.Karakteristik Hubungan Sistem Usahatani dengan Pemanfaatan Teknologi Pertanian. Variabel
Subsisten
Input
Semuanya diusahakan sendiri
Tenaga kerja
Semua tenaga kerja sendiri
Penggunaan output
Untuk sendiri
Diversifikasi Kelembagaan
Tidak/belum ada Tidak/belum dikenal atau tidak terlibat
Mekanisasi
Semuanya manual/hewan
Integrasi
Semi Komersial
Komersial
Campuran antara diusahakan sendiri dan dibeli dari tetangga Campuran antara dalam keluarga dan luar keluarga Kebanyakan untuk sendiri, surplus dijual
Dibeli di pasar atau kios, sudah memiliki standar/sertifikat
Dibeli di pasar dengan standar dan kualitas
Sebagian besar tenaga kerja luar (sewa/upah) Sebagian dipakai sendiri, surplus dijual Ada Ada, perlu bantuan kredit dari lembaga keuangan Sebagian mekanisasi
Luar dan mekanisasi
Ada namun terbatas Masih antar anggota/gotong royong kuat Manual/tenaga ternak/mekanisasi
Dijual komersial
Spesialisasi Mutlak diperlukan
Sebagian besar atau seluruhnya mekanisasi
Tabel 1 menunjukkan bahwa sistem usahatani integrasi (mix farming), merupakan pengembangan dari sistem usahatani subsisten. Pada sistem integrasi ini, ada upaya petani untuk menggunakan modal dalam pembelian input, penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam pengelolaan usaha, menjual kelebihan hasil usahatani, menerapkan perpaduan pemanfaatan tanaman dengan ternak, melibatkan kelompok tani/kelompok masyarakat dalam usaha, serta telah mengenal mekanisasi dalam skala kecil. Dalam skala luas, integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat saja melibatkan peranan perusahaan perkebunan swasta karena didukung oleh luas kepemilikan lahan yang besar. Sebagai contoh, pada tahun 2008 luas tanaman sawit di Indonesia sekitar 7 juta hektar yang tersebar di 18 propinsi, Perkebunan Besar Swasta (PBS) memiliki 3,5 juta ha (50%), Perkebunan Besar Negara (PBN) 650 ribu hektar (9,3%), dan Tanaman Sawit Rakyat (TSR) 2,85 juta ha (40,7%) (Chaniago, 2009). Luas kepemilikan kebun sawit oleh swasta yang sedemikian besar menjagi peluang yang juga sangat besar dalam pengembangan integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat saja melibatkan petani pada kebun inti atau pada kebun plasmanya.
3
3. Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit Jika dianalisis secara umum, dapat diketahui bahwa integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat dilakukan petani umumnya mengisi relung sistem pertanian integrasi atau semi komersial. Hal ini karena usahatani integrasi hanya dapat dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kelapa sawit dan ternak sapi. Dari segi penguasaan modal produksi, petani pelaksana integrasi sapi dan kelapa sawit relatif memiliki taraf kehidupan yang lebih baik daripada petani subsisten. Dukungan perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah melalui sistem inti-plasma dapat ikut mendukung usaha integrasi sapi dan tanaman perkebunan jika hal ini menjadi salah satu perhatian perusahaan. Petani yang memiliki/merawat kebun dapat saja mengintegrasikan kebunnya sebagai sumber pendapatan utama dengan ternak sapi yang dibantu melalui kredit lunak oleh perusahaan perkebunan (bagi petani plasma) maupun melalui program pemerintah (petani rakyat). Limbah tanaman perkebunan yang melimpah dapat dijadikan pakan ternak sapi, sebaliknya ternak sapi dapat menjadi tenaga kerja dan sumber pupuk organik bagi tanaman. Pola integrasi ternak sapi dan kelapa sawit secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
- Kotoran sapi sebagai pupuk tanaman - Sapi sebagai tenaga kerja pengangkut hasil
Budidaya Ternak Sapi
Perkebunan Kelapa Sawit Limbah kebun atau hasil pengolahan pabrik sebagai pakan sapi
Gambar 1.
Pola Sederhana Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.
Melalui pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi. Pengembangan peternakan sapi terkendala oleh penyediaan pakan yang berkualitas karena semakin terbatasnya lahan untuk penggembalaan dan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Program P2SDS mendorong agar usaha peternakan rakyat dapat diintegrasikan dengan usaha perkebunan atau pertanian pangan/hortikultura. Strategi ini penting karena usaha pertanian non peternakan menghasilkan limbah atau biomassa yang berpotensi sebagai 4
sumber pakan bagi ternak, salah satunya berasal dari perkebunan kelapa sawit (Siahaan et al, 2009). Selanjutnya Siahaan et al (2009) menambahkan bahwa tanaman kelapa sawit yang diintroduksi sejak tahun 1848 ke Indonesia, merupakan komoditas penting bagi Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Bila daging sapi merupakan sumber protein hewani, kelapa sawit merupakan sumber utama minyak dan lemak nabati untuk pangan bagi penduduk Indonesia. Chaniago (2009) melaporkan bahwa keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan. Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit. Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Gambar 2 menampilkan komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004). Tandan Buah Segar (TBS)
Tandan kosong sawit (TKS) (23%)
Gambar 2.
PPF (13%)
Minyak sawit (20-22%)
Inti sawit (5%)
Cangkang (7%)
POS (2%, BK)
PS (2%, BK)
OPF (45-46%)
Produk dan Hasil Samping dari Pabrik Kelapa Sawit (tulisan yang dimiringkan dalam kotak adalah bahan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak). 5
Tanaman kelapa sawit disamping menghasilkan produk utama menghasilkan bahan ikutan yang sangat potensial untuk bahan pakan ternak dengan komposisi seperti tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Komposisi Nutrisi Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Kelapa Sawit. Bahan/Produk Samping
Bahan Kering (%) Pelepah 26,07 Bungkil inti sawit 91,83 Serat perasan 93,11 Tandan kosong 92,10 Sumber: Mathius et al (2005).
Abu
Protein Kasar
Serat Kasar
Lemak (% BK)
BETN
Ca
P
GE (Kal/g)
5,10 4,14 5,90 7,89
3,07 16,33 6,20 3,70
50,96 36,68 48,10 47,93
1,07 6,49 3,22 4,70
39,82 28,19 -
0,96 0,56 -
0,08 0,84 -
4,841 5,178 4,684 -
4. Keragaan hasil Integrasi sapi - kelapa sawit di Bengkulu Menurut Ruswendi et al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%. Sudaryono et al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%. Diwyanto et al (2004) mengamati bahwa penggunaan Sapi Bali sebagai tenaga penarik gerobak ataupun untuk mengangkut TBS di PT. Agricinal – Bengkulu telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pemanen, penurunan biaya tenaga kerja, serta menghasilkan kompos yang sangat diperlukan untuk mengurangi biaya pemupukan. Secara sosial ekonomi keuntungan pada perusahaan perkebunan sawit diantaranya adalah efisiensi tenaga kerja pemanen yang dapat ditingkatkan sebesar 50% dengan introduksi sapi sebagai pengangkut TBS (Manti et al, 2004). Diatas telah diuraikan beberapa hasil penelitian integrasi sapi dengan kelapa sawit yang secara garis besar menguntungkan petani/peternak maupun pemilik perkebunan kelapa sawit. Mengapa integrasi ini perlu dan mendesak untuk dilakukan di perkebunan kelapa sawit, Chaniago (2009) menguraikan beberapa alasan tentang hal tersebut sebagai berikut: a. Hambatan utama pengembangan populasi sapi adalah pakan yang cukup dan berkualitas, sedangkan agribisnis kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi berkualitas lebih dari cukup. Integrasi sapi dalam kawasan kebun sawit akan dapat mendorong pencapaian swasembada daging dalam waktu yang relatif singkat. 6
b. Integrasi menggunakan lahan usahatani yang semakin terbatas secara lebih efisien. Satu lokasi lahan dapat digunakan untuk beberapa komoditi pertanian. c. Lahan pertanian sudah sangat lelah (fatique soil), miskin akan bahan organik, sehingga sulit untuk mempertahankan produktivitasnya. Dengan adanya sapi di kawasan kebun sawit, maka faeces sapi bersama dengan tandan kosong sawit, limbah organik lainnya, dan limbah cair pabrik kelapa sawit bisa diolah menjadi pupuk organik untuk memupuk kelapa sawit sehingga kesuburan lahan dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk meningkatkan produksi TBS. d. Untuk meningkatkan kelenturan dan efisiensi usaha bila terjadi kegoncangan harga TBS seperti yang terjadi beberapa kali, terakhir terjadi pada akhir tahun 2008 dan awal 2009. Hasil usaha ternak sapi yang harganya selalu meningkat bisa meningkatkan neraca usaha. Saat ini dalam persaingan yang semakin ketat dalam usaha agribisnis kelapa sawit, usaha integrasi dapat membantu keberlangsungan agribisnis kelapa sawit. e. Telah terlihat trend yang sangat kuat peningkatan permintaan akan bahan pangan organik, maka permintaan dan penggunaan pupuk organik akan semakin meningkat. Pupuk organik yang dihasilkan dapat digunakan sendiri dan kelebihannya dapat dijual untuk memenuhi permintaan pasar yang memberikan tambahan pendapatan. Dengan penggunaan pupuk organik sepenuhnya maka produksi CPO menjadi bahan pangan organik yang diminati oleh konsumen. f. Harga pupuk anorganik terus meningkat, ketersediaannya semakin terbatas dan banyak terjadi pemalsuan pupuk, sehingga dengan pupuk organik ketersediaan pupuk akan terjamin baik kualitas maupun suplainya yang harganya relatif lebih murah dibanding pupuk anorganik. 5. Kesimpulan
1. Potensi pengembangan integrasi sapi dengan kelapa sawit masih sangat besar ditinjau dari luas perkebun kelapa sawit di Propinsi Bengkulu. 2. Integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas sapi dan efisiensi usaha perkebunan sawit. 3. Secara ekonomi, peningkatan populasi ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global. 4. Sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit memberikan tambahan pendapatan bagi petani peternak maupun pekebun dari hasil samping yang diperoleh (pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik). 5. Usahatani integrasi sapi dengan kelapa sawit ramah lingkungan dan berkelanjutan.
7
Daftar Pustaka Awaludin, R. dan S.H. Masurni (2004). Systematic Beef Cattle Integration in Oil Palm Plantation with Emphasis The Utilization of Undergrowth. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 23-35. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan Pertanian dan Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Chaniago, T. 2009. Perspektif Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Perkebunan Sawit. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Dinas Perkebunan Propinsi Bengkulu. 2010. Statistik Perkebunan. Pemerintah Propinsi Bengkulu Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 11-22. Elisabeth, J. dan S.P. Ginting, 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 110-119. Handaka, A. Hendriadi, dan T. Alamsyah. 2009. Perspektif Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak – Tanaman Berbasis Sawit, Padi, dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Manti, I., Azmi, E. Priyotomo, dan D. Sitompul. 2004. Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit (SISKA). Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 245-260.
8
Mathius, I.W., A.P. Sinurat, B.P. Manurung, D.M. Sitompul, dan Azmi. 2005. Pemanfaatan Produk Fermentasi Lumpur-Bungkil Kelapa Sawit sebagai bahan Pakan Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Pp. 1726. Ruswendi, W.A. Wulandari, dan Gunawan. 2006. Pengaruh Penggunaan Pakan Solid dan pelepah Kelapa Sawit terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Hasil Pengkajian Teknologi Pertanian. BBP2TP – Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 105-108. Siahaan, D., Frisda R. Panjaitan, dan A. Purba. 2009. Dukungan Penelitian terhadap Pengembangan Integrasi Kelapa Sawit dengan Ternak Sapi. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sudaryono, T., Ruswendi, dan U.P. Astuti. 2009. Keragaan Sistem Integrasi Sapi dengan Tanaman Sawit di Bengkulu. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63. Wijono, D.B., L. Affandhy dan A. Rasyid. 2004. Integrasi Ternak dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 147-155.`
9