Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
POTENSI, PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN INTEGRASI SAPI-SAWIT DI PROVINSI RIAU DWI SISRIYENNI dan DECIYANTO SOETOPO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jl. Kaharudin Nasution Km 10 Padang Marpoyan, Pekanbaru, RIAU
ABSTRAK Provinsi Riau merupakan provinsi yang kebutuhan dan konsumsi dagingnya terus tumbuh dengan pesat, tetapi pemenuhannya (terutama daging sapi 60 persen dari kebutuhan) masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga dan bahkan dari luar negeri. Peluang provinsi Riau untuk lepas dari ketergantungan pasokan daging dari luar sangat besar, mengingat potensi sumber bahan pakan ternak tersedia sangat besar. Salah satu potensinya terdapat pada perkebunan kelapa sawit yang mencapai luas 1.5 juta ha, yang hijauan dan bahkan limbahnya bila dimanfaatkan mampu mendukung pengembangan ternak sampai ratusan juta ekor. Pengembangan ternak integrasi dengan perkebunan kelapa sawit tersebut (terutama ternak sapi potong) akan sangat mendukung program K2I yang dicanangkan Pemda Riau, karena peternak sapi potong memiliki peluang memperoleh pendapatan di atas pendapatan penduduk miskin yaitu sebesar 8 juta per tahun. Hanya saja untuk merealisasikan program pengembangan ternak diperlukan konsistensi dalam program pembibitan dan pengembangan ternak berintegrasi dengan kelapa sawit, dan sekaligus usaha keras untuk merubah cara beternak tradisional melepas ternak dengan cara dikandangkan. Kata Kunci: Sapi, Sawit, Riau
PENDAHULUAN Permintaan daging di Provinsi Riau yang terus berkembang, tidak diikuti peningkatan populasi ternak, sehingga pasokan daging dari luar provinsi besar. Kebutuhan daging Provinsi Riau per tahun mencapai sekitar 56 ribu ton, dan cenderung mengalami peningkatan. Produksi dan kebutuhan daging didominasi oleh unggas dan kemudian diikuti oleh sapi potong. Jumlah ternak sapi yang dipotong pada tahun 2003 mencapai 23.630 ekor, tetapi sekitar 60 persen kebutuhan daging sapi tersebut dipasok dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung dan bahkan dari luar negeri. Pasokan sapi potong dari provinsi tetangga tercatat sebanyak 12.793 ekor, dan dari luar negeri sebanyak 150 ton atau setara dengan sekitar 1000 ekor sapi yang dipasok oleh Australia dan New Zealand (melalui Batam) (DINAS PETERNAKAN TK I RIAU, 2004). Ketergantungan Provinsi Riau pada pasokan daging dari luar tidaklah mengkhawatirkan bila dikaitkan dengan tingginya pendapatan daerah. PAD Riau termasuk terbesar di Indonesia bersama Provinsi Kalimantan Timur dan DKI Jaya akan tetapi ditinjau data penduduk miskin provinsi ini mencapai 22.5 persen, yang lokasinya
sebagian besar di pedesaan dan dengan potensi yang ada, maka usaha pengembangan ternak ruminansia di provinsi sendiri akan lebih memberikan harapan yang menjanjikan bagi usaha-usaha pengentasan kemiskinan daripada impor daging. Potensi yang ada antara lain berkaitan dengan penyediaan pakan (luasnya perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau), ketersediaan lahan, ketersediaan hijauan pakan, teknik pemeliharaan, animo masyarakat dan permintaan pasar. Potensi, peluang dan tantangan dalam mengoptimalkan sumberdaya lokal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau, melalui integrasi perkebunan kelapa sawit dengan sapi diarahkan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. USAHA TERINTEGRASI PERKEBUNAN SAWIT DENGAN TERNAK Sistem usahatani integrasi antara tanaman dengan ternak (CLS) merupakan upaya memacu pengembangan peternakan dengan optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan suatu kawasan perkebunan. Penempatan ternak dalam usaha pertanian karena perannya sebagai sumber pendapatan, juga mata rantai dalam siklus unsur hara proses produksi pertanian.
95
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Mengintegrasikan ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit merupakan usaha yang sangat layak untuk peningkatan produksi ternak tanpa harus membuka lahan baru yang ketersediaannya makin terbatas, selain perluasan kebun kelapa sawit tanpa pemanfaatan produk samping yang dihasilkan akan berpotensi menimbulkan masalah lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Diversifikasi usaha pertanian harus diarahkan menuju konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yaitu konsep perkebunan terpadu, berkesinambungan, menekan penggunaan input luar/eksternal dan maksimalisasi penggunaan input lokal/internal sehingga diperoleh usaha yang berkesinambungan dan berdaya saing tinggi. Konsep ini merupakan suatu pilihan yang layak mengingat sebagian besar petani belum mampu memanfaatkan input buatan terutama yang penggunaannya dalam jumlah besar, sehingga perhatian perlu dipusatkan pada teknologi yang bisa memanfaatkan sumberdaya lokal secara efisien (SUDARYANTO dan JAMAL, 2000). Potensi perkebunan kelapa sawit Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau pada tahun 2003 tercatat seluas 1.486.989 ha, yang proporsinya terdiri dari Perkebunan Negara 106.142 ha, Perkebunan Besar swasta 548.009 ha dan milik perorangan/rakyat 832.838 ha, yang pada tahun 2004 terjadi perluasan mencapai 1.510.835 ha (STATISTIK PERKEBUNAN, 2003) atau tambahan seluas 25.000 ha. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran menimbulkan kekhawatiran terjadinya pencemaran lingkungan akibat hasil samping dan limbah kelapa sawit. CORLEY (2003) berpendapat bahwa masalah ini dapat diatasi dengan memanfaatkan ternak sebagai mesin pengolah limbah atau pabrik penghasil bahan organik Di Provinsi Riau, pengembangan sapi di lahan perkebunan kelapa sawit sangat memungkinkan, mengingat luasnya perkebunan kelapa sawit sebagai sumber pakan.
96
Potensi hijauan di bawah kelapa sawit Hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit biasanya didominasi oleh tanaman pakis, rumput teki, kacang-kacangan, tanaman semak dan alang-alang (BATUBARA et al., 1999). Rata-rata produksi hijauan di bawah kelapa sawit umur 5–10 tahun adalah 10,479 ton ha-1 tahun-1 dan pohon kelapa sawit umur 10–20 tahun adalah 14,827 ton ha-1 tahun-1. Jika 1 ha lahan perkebunan kelapa sawit dengan sumber pakan hijauan mampu menampung 1 unit ternak saja, berarti pada tahun 2004 perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mampu menampung 1.510.835 sapi dewasa. Bila program pemanfaatan hijauan kebun sawit untuk ternak hanya terlaksana 50 persen dari perkiraan, banyaknya ternak sapi potong di provinsi ini pada perkebunan kelapa sawit akan mencapai 6-7 kali lipat dari populasi sekarang yang hanya 112 ribu ekor. Hal ini belum memperhitungkan pemanfaatan potensi pakan dari pabrik kelapa sawitnya. Produk samping perkebunan kelapa sawit dan pabrik minyak sawit Industri kelapa sawit menghasilkan banyak produk samping yang dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia. Beberapa hasil samping industri kelapa sawit yang potensial untuk dikembangkan sebagai pakan ternak antara lain: Daun kelapa sawit Daun sawit diperoleh dari pemangkasan tanaman kelapa sawit. Pada 1 ha lahan perkebunan kelapa sawit dengan jarak tanam 9 x 9 m diperkirakan terdapat 138 batang kelapa sawit. Jika setiap pelepah menghasilkan ± 0,5 kg pakan dan setiap pohon menghasilkan 22 pelepah daun per tahun, berarti 1 ha lahan perkebunan sawit dapat menghasilkan 1.518 kg daun/ha/tahun, yang berarti di Provinsi Riau terdapat 734.616.168 kg daun/tahun. Jika kebutuhan satu sapi 25 kg, berarti produksi kebun kelapa sawit di Provinsi Riau pada tahun 2003 sebagai sumber pakan sapi dewasa sebanyak 29 juta sapi.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Pelepah sawit Pelepah sawit memiliki kandungan protein kasar 15% dan berfungsi sebagai pengganti sumber serat pakan sapi. Sebagai sumber pakan, pelepah sawit masih sedikit dimanfaatkan meskipun 1 pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 buah pelepah sawit dan 1 buah pelepah setelah dikupas untuk pakan ternak beratnya mencapai 7 kg. Pada luas perkebunan kelapa sawit 487.146 ha berarti terdapat (7 kg x 138 x 22 x 487.146) = 10.352.826.792 kg pelepah/tahun. Jika satu ternak membutuhkan pakan 25 kg ekor-1 hari-1 berarti pelepah kebun sawit di Provinsi Riau dapat menyediakan pakan ternak untuk 414 juta sapi/tahun. Hasil samping/limbah kelapa sawit Produk kelapa sawit lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak yaitu bungkil inti sawit (BIS), lumpur sawit dan serat perasan buah sawit. Menurut JALALUDIN et al. (1991), setiap 1000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit 250 kg serta hasil samping 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Serat perasan kelapa sawit memiliki kandungan serat kasar 48% dan protein kasar 6%. Tetapi kemampuan ternak mengkonsumsi serat perasan sangat rendah karena rendahnya kecernaan serat perasan tersebut, yakni hanya mencapai 24–30% (ABU HASAN et al., 1991). Lumpur sawit memiliki kandungan protein 12– 14% dan kendala penggunaan lumpur sawit sebagai pakan adalah tingginya kandungan air, rendahnya kandungan energi dan abu yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal dan harus disertai produk samping lain. Sampai saat ini peternakan rakyat di Provinsi Riau belum memanfaatkan lumpur sawit dan serat perasan sebagai bahan pakan ternak. Pemanfaatan lumpur sawit dan serat perasan telah dilakukan oleh perusahaan swasta yang mengintegrasikan ternak dengan perkebunan sawit seperti PT Tri Bakti Sarimas (SUHARTO, 2004), sedangkan penggunaan BIS telah mulai dilakukan oleh peternakan rakyat. Hasil penelitian penggemukan sapi PO di Kabupaten Kampar dengan penggunaan 40% bungkil inti sawit dan 60% dedak serta jerami fermentasi mampu meningkatkan pertambahan
bobot hidup harian sapi PO yang digemukkan 0,72 kg/hari (HARYANTO et al., 2003), tetapi saat ini petani masih terkendala pengadaan BIS karena di Provinsi Riau pabrik yang mengolah kelapa sawit menjadi minyak sawit dan menghasilkan BIS masih terbatas. Peluang pengembangan ternak sapi Peluang pengembangan sapi di Provinsi Riau berhubungan dengan kebutuhan daging, tingkat pendapatan peternak sapi potong, banyaknya penduduk miskin yang dapat diangkat status kesejahteraannya. Permintaan dan kebutuhan protein hewani asal ternak ruminansia terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi dan perbaikan tingkat pendidikan (DELGADO et al., 1991). Kondisi ini dialami Provinsi Riau dengan terus meningkatnya permintaan daging a.l. ditunjukkan laju kebutuhan per kapita yang meningkat 8,7% per tahun. Sebaliknya peningkatan populasi sapi tidak sebanding dengan kebutuhan, a.l laju populasi yang kurang jauh dari 1,0% per tahun. Akibatnya kebutuhan daging sangat bergantung pasokan dari luar provinsi yang merupakan peluang usaha pengembangan populasi ternak. Program integrasi ternak dan perkebunan sawit merupakan program yang tepat untuk mendukung usaha tersebut dikaitkan dengan program pengentasan K2I (kemiskinan, kebodohan dan infrastruktur) yang dicanangkan Pemda Riau. Peluang pengembangan ternak ditinjau dari peningkatan kesejahteraan dan pendapatan di Provinsi Riau umumnya satu keluarga (KK) peternak sapi memelihara 3 sapi. Apabila pemeliharaan ternak sapi secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit mampu meningkatkan pertambahan bobot hidup ternak 0,5 kg ekor-1 hari-1, maka pemeliharaan untuk tujuan penggemukan selama 6 bulan (dengan harga jual Rp 16.000 per kg bobot hidup) akan memperoleh tambahan sebesar 90 kg x 3 sapi x 16.000 = Rp. 4.185.000, di luar biaya tenaga kerja dan biaya pakan karena pakan berasal dari produk kelapa sawit. Berarti dalam satu tahun dengan dua kali proses penggemukan, satu keluarga petani akan mendapatkan tambahan pendapatan Rp. 8.370.000. Apabila
97
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
asumsi penduduk miskin berpendapatan US $ 400 per tahun (setara Rp 4.000.000), berarti usaha pemeliharaan dan penggemukan tiga ekor ternak sapi secara terintegrasi dengan kelapa sawit mampu memenuhi standar kesejahteraan keluarga peternak. Peluang pengembangan ternak sapi juga dapat dikaitkan dengan banyaknya keluarga peternak yang dapat dilibatkan dalam usaha ini. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau tahun 2003 yang tercatat 1.486.989 ha, bila satu ha dapat menampung satu ekor sapi di luar potensinya dalam menyediakan pakan alternatif, maka perkebunan sawit memiliki peluang menampung 1.5 juta ekor ternak sapi dewasa. Jika diasumsikan tiap keluarga petani memiliki 3 ekor ternak sapi berarti seharusnya pada tahun 2003 terdapat 0.5 juta kk yang dapat memperoleh penghasilan di atas US $ 400,-. Hal ini akan sangat mendukung program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan, sekaligus meningkatkan kemampuan Provinsi Riau dalam produksi daging untuk memenuhi sendiri kebutuhan akan daging. USAHA PENERAPAN SISTEM INTEGRASI TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Untuk mendukung penerapan integrasi ternak sapi dan perkebunan sawit, telah diintroduksikan paket teknologi penggemukan ternak sapi di lokasi transmigrasi perkebunan kelapa sawit, Desa Karya Bakti Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 1999. Paket teknologi yang diterapkan masih mengandalkan potensi hijauan di sekitar lahan dan pakan tambahan, dengan perlakuan meliputi: 1. Pemeliharaan ternak sapi di lahan perkebunan kelapa sawit pada siang hari
dan pada malam hari dikandangkan. 2. Menggunakan ternak sapi Bali umur 1–2.5 tahun. 3. Pakan tambahan yang diberikan berupa dedak padi 1% dari bobot hidup. 4. Pemberian probiotik: • Bioplus diberikan 1 kali selama masa penggemukan • Starbio diberikan setiap hari sebanyak 5 g/kg dedak. 5. Pemberian mineral blok 6. Pemberian racun cacing 1 kali 3 bulan. 7. Pemberian vitamin B komplek pada masa awal penggemukan. Dari kegiatan tersebut diperoleh pertambahan bobot hidup sapi Bali 0,51–0,69 kg ekor-1 hari-1. Rataan pertambahan bobot hidup harian ternak sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Jika ditinjau dari segi ekonomi ternyata cabang usaha integrasi ternak sapi potong di perkebunan kelapa sawit cukup layak untuk menambah tingkat pendapatan petani kelapa sawit. Hasil perhitungan menunjukkan tingkat keuntungan rata-rata per ekor paling tinggi adalah paket teknologi introduksi yang menggunakan starbio sebanyak Rp. 660.333/ekor/109 hari dan dengan menggunakan Bioplus Rp. 616.776 /ekor/109 hari, lebih tinggi jika dibandingkan dengan paket teknologi perbaikan Rp. 597.050.00 /ekor/109 hari. Analisis B/C ratio paling tinggi adalah paket teknologi introduksi dengan menggunakan starbio mencapai 1,31, kemudian paket teknologi perbaikan 1,27 dan teknologi introduksi menggunakan bioplus pada sapi Bali 1.20 serta paling rendah adalah teknologi petani 1.15. Analisis tentang rataan tingkat penerimaan dan pengeluaran usahatani penggemukan sapi potong berdasarkan kelompok paket teknologi yang dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Rataan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) ternak sapi selama 109 hari Jenis sapi
Probiotik
Pakan tambahan
Bali Bali Bali cross Bali Bali
Bioplus Starbio Bioplus Bioplus -
Dedak halus Dedak halus Dedak halus
Rataan bobot hidup Awal akhir 117.0 244.01 163.0 234.75 252.5 327.65 176.4 231.74 173.9 207.88
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05) Sumber: BATUBARA et al. (1999)
98
PBHH (kg ekor-1 hari-1) 0.61c 0.65c 0.69c 0.51b 0.31a
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 2. Analisis ekonomi rataan tingkat penerimaan dan pengeluaran usahatani penggemukan sapi potong di kebun kelapa sawit berdasarkan paket teknologi yang dilaksanakan Model paket teknologi Introduksi
Uraian Bali-bioplus PBH (kg)
Balicross-bioplus
Bali starbio
Perbaikan
Petani/kontrol
67.01
75.15
71.5
55.34
33.98
Pengeluaran(Rp)
2.569.648
3.561.099
2.410.341
2.435.950
2.401.700
Penerimaan (Rp)
3.050.175
4.059625
2.934.425
2.896.750
2.598.500
Dengan tenaga kerja
480.526
534.525
524.083
460.083
196.800
Tanpa tenaga kerja
616.776
670.775
660.333
597.050
330.050
Dengan tenaga kerja
1.19
1.16
1.21
1.20
1.08
Tanpa tenaga kerja
1.26
1.20
1.31
1.27
1.15
Keuntungan(Rp)
B/C Ratio:
TANTANGAN Untuk meningkatkan produksi daging dan pendapatan petani, Pemerintahan Provinsi Riau mulai tahun 2001 telah meluncurkan program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK), berupa pinjaman kredit ternak ruminansia (Sapi dan kambing) kepada petani yang berminat memelihara ternak. Setiap petani diberi lima sapi yang terdiri dari dua sapi jantan dan tiga betina dewasa, atau satu sapi jantan dan empat betina dewasa. Pilihan pertama diarahkan pada program penggemukan dan pembibitan, sedangkan pilihan kedua diarahkan untuk pembibitan. Ternyata petani lebih menyukai pilihan pertama karena setelah dipelihara beberapa waktu satu ternak jantan dapat dijadikan pejantan dan yang satunya lagi dapat dijual untuk membantu biaya pemeliharaan keempat ternak yang lainnya. Anggaran pemerintah provinsi Riau yang dialokasikan untuk program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dari tahun 2001–2002 di sektor Peternakan khususnya ternak ruminansia besar (sapi) mencapai sekitar 20 milyar rupiah dengan jumlah total ternak yang dipinjamkan 7.340 ekor ternak sapi dewasa (DINAS PETERNAKAN TK I RIAU, 2004). Hanya saja program ini belum sepenuhnya diarahkan kepada usaha pengembangan melalui integrasi ternak dan tanaman, terutama dengan
perkebunan sawit. Data menunjukkan bahwa laju perkembangan populasi ternak sapi potong di Provinsi Riau belum tampak nyata selama kurun waktu sampai 2003 (DINAS PETERNAKAN TK I RIAU, 2004). Berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam sistem pengembangan ternak integrasi dengan perkebunan sawit antara lain adalah belum tersedianya bibit ternak yang memadai, sulitnya merubah cara tradisional pemeliharaan ternak yaitu dari yang tidak dikandangkan ke cara dikandangkan, dan kebijakan pengembangan ternak yang kurang konsisten. DAFTAR PUSTAKA ABU HASSAN, O. S. ISMAEL, A.R. MOHD JAAFAR, D.NAKANISHI, N. DAHLAN and S.H. ONG. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. on Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, MSAP. Kuala Lumpur, Malaysia, pp. 231-245. BATUBARA, A., I. KASUP, A.A. KESMA. A. IRFAN, H. SIMANJUNTAK dan HARAHAP. 1999. Kajian integrasi penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit. Laporan Hasil Kegiatan BPTP Riau. 2000 CORLEY, R.H.U. 2003. Oil Palm: A Major Tropical Crop. Biotrop 19: 5–7.
99
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
DELGADO, C., ROSEGRANT, H. STEIFIELD, S. EHUI and C. COURBIES. 1999. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. IFPRI, FAO, and ILRI. DINAS PETERNAKAN TINGKAT I RIAU. 2004. Statistik Peternakan 2004. Provinsi Riau. Pekanbaru. HARYANTO, B., D. SOETOPO, BESTINA dan D. SISRIYENNI. 2003. Pengembangan Peternakan di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, Laporan Kegiatan, Pekanbaru. JALALUDIN, S., Z.A JELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991. Recent Development in the Oil Palm By Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malysia. pp. 35-44.
100
SUDARYANTO, T. dan E. JAMAL. 2002. Pengembangan Agribisnis Peternakan Melalui Pendekatan Corporate Farming Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional . Dalam Monograf Series No. 22. SUDARYANTO, T., I.W.RUSASTRA, A. SYAM dan M. ARIANI (Eds.) 2002. Analisis Kebijaksanaan Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian. SUHARTO. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi–Kelapa Sawit di Riau. 2004. Bengkulu.