Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
TANTANGAN, PELUANG, DAN ARAHAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN DI PROVINSI PAPUA (Challenge, Opportunity, and Direction of Livestock Development in Papua Province) DWI PRIYANTO1 dan I. IRAWAN2 1
Balai penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian
ABSTRACT Papua province was given a status of special autonomy (OTSUS) by central government based on Decree No:22/2001. This province was directed as a “power” for development and empowering of indigenous community. The policy which included livestock development can be used as chance to realize people welfare. In regard to support the recommended policy made by the government, quick assessment on land resources and socio economic analysis was carried. Socio economic analysis was carried out using integrated approach strategy, which was included social cultural and institutional approach. The results show that the challenge of self sufficiency in livestock product in Papua Province was still far from the expectation. This indicated by the supply of livestock product to meet regional demand come from other provinces. Land resources are still available particularly in low land area which is potential for ruminant development. There are many approach need to be given attention in order to support the success of development program such as: i). The development in Papua must be focused on Papua ethnic group, by involving them in the institution of Majelis Rakyat Papua (MRP) and as ethnic leader (ondoafie). The involvement of Papua ethnic people is an important instrument for the development program base on local culture, ii). Recommended technology should be based on local technology which already being applied by local community and iii). Cross sector program approach should be based on dominant regional program, in addition to integrate livestock with food crop (sweet potato and rice) program. Key Words: Livestock Development, Land Resources, Institution ABSTRAK Provinsi Papua oleh pemerintah pusat ditetapkan sebagai status Otonomi Khusus (OTSUS) sesuai amanat UU 21/2001, yang diarahkan sebagai sebuah ”Energi” untuk pembangunan dan pemberdayaan bagi orang asli. Kebijakan tersebut perlu dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan untuk mewujudkan kesejahteraan, termasuk kebijakan pengembangan peternakan. Dalam mendukung rekomendasi kebijakan dilakukan penelitian evaluasi sumberdaya lahan (quick assessment), dan analisis sosial ekonomi menggunakan strategi pendekatan terintegrasi, termasuk pendekatan sosial-budaya dan kelembagaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tantangan swasembada produk peternakan di Papua masih jauh dari harapan, yang ditunjukkan masih tingginya permintaan produk ternak yang didatangkan dari daerah lain. Daya dukung lahan masih tersedia khususnya pada kawasan dataran rendah sebagai potensi pengembangan ternak ruminansia. Beberapa rekomendasi pengembangan adalah: 1). Arah pengembangan difokuskan pada kelompok etnis Papua, dengan melibatkan kelembagaan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan ketua suku (ondoafie) sebagai instrumen penting dalam program pengembangan berbasis kearifan lokal, 2). Pendekatan teknologi digunakan teknologi yang sudah dikuasai masyarakat, dan 3). Pendekatan program lintas sektoral mengacu pada program unggulan daerah, disamping peluang model pengembangan peternakan terintegrasi dengan tanaman pangan (ubi jalar dan padi). Kata kunci: Pengembangan Peternakan, Sumberdaya Lahan, Kelembagaan
862
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENDAHULUAN Provinsi Papua memiliki luas wilayah 42.198.100 km2 yang terdiri atas 29 wilayah administratif Kabupaten/Kota, dengan jumlah penduduk mencapai 2.729.853 jiwa (STATISTIK INDONESIA, 2006). Provinsi Papua oleh pemerintah pusat ditetapkan sebagai wilayah dengan status Otonomi Khusus (OTSUS) sesuai amanat UU 21/2001, yang diarahkan sebagai sebuah ”Energi” untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Papua, terutama bagi orang asli, tetapi saat ini masih belum optimal dalam implementasinya. Kabijakan tersebut perlu dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi orang-orang asli Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (MANIAGASI, 2007). Berdasarkan potensi unggulan sektoral dalam mendukung PDRB provinsi, sektor pertanian memiliki proporsi ke dua (18,31 persen) setelah sektor pertambangan yang mencapai 52,74 persen, yang disusul oleh sektor konstruksi (7,05 persen), dan jasa perhotelan (4,41 persen) (SURADISASTRA, 2003). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor paling penting dalam pembangunan Provinsi Papua (HAFIZRIANDA, 2007), karena mampu menggerakkan 72 sampai 77 persen tenaga kerja, dibanding sektor pertambangan dengan PDRB tertinggi, tetapi hanya mampu menyerap tenaga kerja 0,42 sampai 0,68 persen (STATISTIK INDONESIA, 2006), dalam percepatan pembangunan Papua yang di canangkan sebagai kebijakan daerah. Hal tersebut ditunjang oleh potensi sumberdaya lahan yang berpeluang dikembangkan menjadi sumber-sumber pertumbuhan sektor pertanian termasuk peternakan, ketersediaan teknologi pendukung, kebijakan pemerintah yang berpihak, dan ketersediaan pasar dalam dan luar negeri. Saat ini perkembangan sektor pertanian di Provinsi Papua masih rendah yakni mencapai 19,04 persen dari sektor-sektor lainnya, sedangkan PDRB subsektor peternakan terhadap pertanian hanya mencapai 5,45 persen (DINAS PETERNAKAN PAPUA, 2005). Hal tertsebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam mendukung percepatan pembangunan dalam mencapai peningkatan pendapatan daerah, dan keberpihakan
pemerintah melalui kebijakan yang harus direkomendasikan. Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan arahan pengembangan peternakan di Propisnsi Papua, yang dianalisis berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan aspek sosial dan kelembagaan yang digali dalam mendukung rekomendasi pembangunan peternakan dan pertanian secara umum. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan yakni analisis data sekunder dan verifikasi lapangan. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber institusi terkait (peta, literatur, laporan), termasuk potensi sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia setempat sebagai dasar analisis. Verifikasi dan pengumpulan data di lapangan dalam rekomendasi arah kebijakan beradasarkan kondisi sosial masyarakat melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) (CHAMBERS, 1993), di lokasi potensial peternakan dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap tokoh masyarakat, petani, dan peternak. Arah pengembangan dikelompokkan pada 3 zona pengembangan yakni kawasan pantai, dataran rendah, dan kawasan pegunungan. Analisis secara umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu (a) analisis biofisik sumberdaya lahan dan teknologi pertanian, dan (b) analisis sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan. Masing-masing kelompok tersebut saling berinteraksi dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari kelompok lainnya. Analisis potensi sumberdaya lahan pertanian Analisis potensi sumberdaya lahan pertanian dalam makalah ini mengadopsi hasil kajian BADAN LITBANG PERTANIAN (2008), yakni evaluasi sumberdaya lahan berdasarkan analisis cepat (quick assessment) dan menitikberatkan pada analisis terrain dengan menggunakan data sekunder. Data primer dan sifat tanah dideskripsi secara terbatas. Kegiatan evaluasi potensi sumberdaya lahan pertanian difokuskan pada areal potensial yang belum pernah dipetakan, sedangkan wilayah yang sudah dipetakan dijadikan sebagai referensi
863
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
untuk kesesuaian lahan maupun arahan pengembangan komoditas. Evaluasi ini secara skematis (garis besar) dibagi ke dalam: (a). Penyusunan basis data sumberdaya lahan, yang terdiri atas data iklim, terrain dan tanah, dengan teknik sistem informasi geografis (SIG), dan (b). Menyusun peta kesesuaian lahan, dan peta arahan/rekomendasi penggunaan lahan, untuk pengembangan tanaman pertanian termasuk peternakan unggulan yang bernilai ekonomi tinggi dan tidak merusak lingkungan. Penilaian potensi dan kesesuaian lahan merupakan proses pemodelan yang hasilnya dapat digunakan untuk rencana tata ruang wilayah (RT/RW), sedangkan data spasial, faktor potensi, dan faktor pembatas dianalisis secara terbatas. Analisis sosial ekonomi dan kelembagaan Analisis sosial ekonomi menggunakan strategi pendekatan terintegrasi dengan pendekatan sosial-budaya dan kelembagaan. Pendekatan sosial-budaya dan kelembagaan menekankan pada pemanfaatan dan pengembangan peran dan fungsi kelembagaan lokal dan introduksi yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan input yang merangsang peningkatan output. Elemenelemen sosial-budaya dan kelembagaan antara lain berupa karakteristik sosial individu dan kelompok (pengetahuan, keterampilan, pengalaman bertani dan lain-lain), lembaga kepemimpinan, lembaga norma sosial, adatistiadat, tata-peraturan dan hukum lokal. Teknik analisisnya terdiri: (a). Analisis deskriptif untuk data dan informasi kuantitatif. Analisis ini diterapkan untuk melihat hubungan dan/atau pengaruh antar peubah, baik pengaruh satu arah, maupun hubungan dua arah, dan (b). Analisis induktif untuk informasi kualitatif dengan penekanan pada dampak sebab-akibat (causative effect) antara peubah-peubah yang diamati. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan potensi peternakan di Papua Populasi ternak di Provinsi Papua secara umum masih sangat rendah dibandingkan dengan rasio luas wilayah (tata ruang wilayah).
864
Populasi ternak yang dianggap dominan adalah komoditas ternak babi, sapi dan ayam buras, sedangkan ternak lainnya tidak banyak dikembangkan di lokasi (Tabel 1). Ternak babi sangat dominan karena terkait langsung dengan komunitas penduduk Papua yang mayoritas bukan muslim. Perkembangan populasi belum menunjukkan perkembangan pesat, bahkan dapat dinyatakan sangat lambat. Komoditas ternak sapi potong, sapi perah, kambing dan ayam petelur terlihat mengalami laju penurunan populasi. Laju penurunan populasi sapi potong dan ayam petelur cukup tinggi masing-masing sebesar 4,09 dan 4,76 persen/tahun (periode 1999 – 2006) (DINAS PETERNAKAN PAPUA, 2005). Dari perkembangan populasi dekade 3 tahunan menunjukkan bahwa perkembangan populasi ternak tidak konsisten dari tahun ketahun, misalnya sapi potong pada tahun 2001 mengalami penurunan, tetapi sebaliknya meningkat pada tahun 2003 (dari 66.917 menjadi 71.089 ekor) dan menurun tajam pada tahun 2006 (51.118 ekor). Demikian halnya kasus populasi ayam peterlur, dan sapi perah konsisten mengalami penurunan. Kondisi demikian menggambarkan bahwa perkembangan usaha peternakan masih perlu dipacu karena dukungan potensi sumberdaya lahan yang merupakan peluang. Data pemotongan ternak menunjukkan bahwa pemotongan ternak cenderung mengalami peningkatan (Tahun 2004 – 2005), yang apabila dikaitkan dengan perkembangan populasi cenderung terjadi ketidak seimbangan. Pemotongan ayam padaging meningkat paling tinggi mencapai 54,03 persen, kemudian ayam petelur 45,50 persen, dan sapi potong 4,70 persen (Tabel 2). Tetapi dilihat dari perkembangan populasi masingmasing hanya meningkat 5,37 persen, ayam petelur bahkan menurun 4,76 persen, dan sapi potong menurun 4,09. Peningkatan pemotongan tertinggi terjadi pada ternak kerbau 7,30 persen, babi 3,14 persen, sapi 4,70 persen. Ada kecenderungan bahwa terjadi peningkatan pemotongan ternak dari tahun ketahun, yang hal tersebut tidak seimbang dengan laju perkembangan populasi. Kondisi tersebut merupakan tantangan yang harus dicermati dalam mempertahankan populasi ternak di lokasi.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tingkat pemotongan ternak terkait langsung dengan produksi daging. Terlihat bahwa produksi daging secara umum meningkat 17,17 persen, yakni dari ayam petelur mencapai 68.68 persen, ayam pedaging
56,46 persen, dan daging sapi 51,24 persen, sedangkan produksi telur meningkat 7,67 persen, terjadi pada ayam ras petelur (19,68 persen), itik/entog (3,35 persen, dan ayam buras 0,40 persen.
Tabel 1. Perkembangan populasi ternak dekade 3 tahun di Provinsi Papua (tahun 1999 – 2006) Tahun
Jenis ternak
Laju/tahun (persen)
1999
2001
2003
2006
Sapi potong
71.677
66.917
71.089
51.118
-4,09
Sapi perah
76
109
97
63
-0,03
920
678
1.111
1.290
5,74
Kuda
2.342
2.087
8.576
2.262
-0,49
Babi
437.166
419.568
474.380
522.124
2,77
Kerbau
959
1.072
1.124
973
0, 12
39.082
43.013
41.969
37.325
-0,64
Ayam buras
1.211.393
1.423.145
1.608.006
1.439.141
2,68
A.pedaging
712.936
380.277
1.231.948
981.161
5,37
A.petelur
193.182
111.516
136.278
128.745
-4,76
Itik/entog
108.853
153.248
230.800
212.117
13,55
Domba Kambing
Sumber: DINAS PETERNAKAN PAPUA (2005) (diolah) Tabel 2. Perkembangan pemotongan ternak dan produksi daging dan telur di Provinsi Papua (Tahun 2004 – 2005) Pemotongan (ekor)
Jenis ternak Sapi
Produksi daging (ton)
2004
2005
Pertumbuhan
2004
2005
Pertumbuhan
8.953
9.374
4,70
1.306,1
1.975,3
51,24
116
125
7,76
22,9
26,6
16,37
Kuda
-
-
-
-
-
-
Babi
152.729
157.526
3,14
4.636,7
5.004,4
7,93
293
303
3,41
3,7
3,8
3,40
Kerbau
Domba Kambing Ayam buras Ayam pedaging
5.014
5.117
2,05
58,9
64,4
9,37
1.246.731
1.254.614
0,63
946,1
947,4
0.14
524.814
808.346
54,03
373,5
584,4
56,46
Ayam petelur
41.274
60.055
45,50
33,9
57,1
68,68
Itik/entok
101.450
102.236
0,77
85,5
85,6
0,08
7.467,2
8.749,1
17,17
A.buras
799,2
802,4
0,40
A.ras
667,5
798,9
19,68
510,2
527,3
3,35
1.976,9
2.128,6
7,67
Total Telur
Itik/entog Total Sumber: DINAS PETERNAKAN PAPUA (2005) (diolah)
865
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Kajian aspek penawaran dan permintaan daging di Provinsi Papua dilihat dari perkembangan produksi dan konsumsi masih belum berimbang. Pada tahun 2004 produksi daging asal ternak tercatat 7.467,2 ton, sedangkan konsusmsi mencapai 10.517,3 ton dan tahun 2005 produksi 8.749,1 ton, konsumsi mencapai 10.517,3 ton. Produksi daging berasal dari unggas tahun 2004 produksi sebesar 1.976,9 ton sedangkan konsumsi sebesar 3.751,1 ton, tahun 2005 produksi 2.128,6 ton sedangkan konsumsi mencapai 3.961,1 ton. Kondisi demikian juga terjadi pada produk telur. Hal demikian menunjukkan adanya ketidak seimbangan antara penawaran dan permintaan daging di Provinsi Papua, walaupun dengan laju yang semakin menurun. Kasus masih tingginya permintaan daging dan telur dibanding dengan produksi tersebut menuntut adanya pemasukan produk daging dan telur ke wilayah Papua. Pemasukan daging sapi tahun 2004 mencapai 393,1 ton dan menurun tinggal 74,1 ton pada tahun 2005, karena ada perkembangan usahaternak sapi potong di Kabupaten Merauke yang cukup pesat. Sebaliknya pemasukan daging ayam meningkat 24,61 persen yakni dari 824,4 ton menjadi 1.027,3 ton (Tabel 3). Pemasukan produk telur cenderung mengalami penurunan, karena telah mulai tumbuh pengembangan ayam ras dan ayam buras. Dalam mendukung tantangan kecukupan pangan hewani asal ternak (swasembada produk peternakan) didukung dari produk daging, telur, dan susu,
dimana produk susu belum ada, sehingga perlu direkomendasikan strategi pengembangan peternakan sesuai dengan potensi sumberdaya lahan dan kondisi sosial masyarakat. Analisis sumberdaya lahan Potensi lahan pengembangan komoditas Di Provinsi Papua lahan potensial untuk pertanian seluas 6,19 juta ha telah dimanfaatkan untuk pertanian, kehutanan (HTI), dan usaha pertambangan seluas 549.150 ha. Dengan demikian lahan yang masih dapat diarahkan untuk pengembangan pertanian seluas 5,6 juta ha (Tabel 4) Lahan berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan di Papua dibagi dalam tiga kawasan, yakni: (a) kawasan pantai, (b) kawasan dataran rendah dan rawa, dan (c) kawasan pegunungan. Kemampuan ketiga kawasan tersebut cukup potensial dalam mendukung pengembangan komoditas unggulan. Ketersediaan lahan tertinggi terdapat di kawasan dataran rendah yang meliputi ekosistem dataran, sungai, danau, dan lahan bergelombang seluas 3.786.123 ha. Di sisi lain, ketersediaan lahan di kawasan pegunungan untuk pemanfaatan pertanian sangat rendah (271.900 ha). Kondisi ini erat kaitannya dengan topografi lahan yang berat di kawasan pegunungan sehingga tidak memadai atau terlalu mahal untuk diolah.
Tabel 3. Tingkat konsumsi daging dan telur, serta kasus pemasukan produk ternak di Provinsi Papua Jenis ternak Sapi, kerbau, kuda, babi
Konsumsi daging (ton)
Pemasukan (ton)
2004
2005
ptbh
2004
2005
ptbh
9.750,6
10.517,3
7,86
392,1
74,1
-81,10
domba,kambing
1.027,3
ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur, itik/entok
824,4
824,4
24,61
898,5
1.101,4
22,58
Ayam buras
2.265,5
1.622,5
-28,38
Ayam ras
2.251,9
1.607,6
-28,61
Itik/entok
13,5
14,8
0,96
4.530,9
3.244,9
-28.38
Total
9.750,6
10.517,3
7,86
Telur
3.751,1
3.964,4
5,69
Total
866
3.751,1
3.964,4
5,69
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 4. Lahan untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan di Provinsi Papua Kawasan/kabupaten/kota Kawasan pesisir dan pulau
Lahan potensial (ha)
Lahan dimanfaatkan (ha)
Lahan tersedia (ha)
(1)
(2)
( 3 = 1-2 )
261.831
57.927
203.904
Jayapura
215.489
37.073
178.416
Sarmi
414.759
4.634
410.125
2.317
tt
2.317
512.077
18.537
493.540
tt
tt
tt
298.905
tt
298.905
tt
tt
tt
1.705.378
118.171
1.587.207
tt
tt
tt
Keerom
Yapen Waropen Nabire Biak Numfor Waropen Supiori Jumlah-1 Kawasan pegunungan Pegunungan Bintang Yakuhimo
4.634
tt
4.634
Tolikara
23.171
tt
23.171
Jayawijaya
141.342
32.439
108.903
Paniae
48.649
tt
48.649
Puncak Jaya
85.733
tt
85.733
303.529
32.439
271.090
2.145.625
250.246
1.895.379
Jumlah-2 Kawasan dataran rendah: Merauke Boven Digoel
912.933
74.147
838.786
Mappi
755.371
53.293
702.078
Asmat
231.709
20.854
210.855
139.025
tt
139.025
Jumlah-3
Mimika
4.184.663
398.540
3.786.123
Total
6.193.570
549.150
5.644.420
tt = tidak teridentifikasi
Arahan pengembangan pertanian dan peternakan Arahan pengembangan komoditas direkomendasikan atas kesesuaian lahan budidaya meliputi tanaman perkebunan, pangan kombinasi dengan hortikultura, peternakan/ perikanan, sagu dan hortikultura, dan padi sawah/palawija. Dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas unggulan dan kesesuaian lahan dan status administratif untuk komoditas-komoditas tersebut, disusun arahan pengembangan komoditas pertanian unggulan
menurut kabupaten dan kota di Papua dirinci menurut ketersediaan lahan potensial pengembangan (Tabel 5). Wilayah yang diarahkan untuk pengembangan tanaman padi/palawija seluas 1.967.210 ha, sagu yang merupakan unggulan daerah kombinasi dengan hortikultura seluas 528.269 ha, tanaman palawija/ hortikultura seluas 1.573.304 ha. Arahan pengembangan untuk komoditas peternakan mencapai 148.293 ha, yang hal tersebut sebatas diarahkan pada pengembangan ternak ruminansia, kaitannya dengan potensi kesesuaian lahan prospektif pengembangan hijauan pakan ternak (HPT) di lokasi.
867
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 5. Arahan pengembangan komoditas unggulan dalam tiga kawasan pengembangan di Provinsi Papua Arahan pengembangan pertanian (ha) Kawasan kabupaten/kota
Perkebunan
Pangan/ Peternakan/ Sagu/ Padi sawah/ Jumlah (ha) hortikultura perikanan hortikultura palawija
Kawasan pesisir/pulau Keerom
152.928
48.659
td
2.317
td
203.904
Jayapura
62.561
64.879
6.951
37.073
6.951
178.415
Sarmi
57.927
234.026
td
104.269
13.903
410.125
Waropen
90.367
69.513
td
139.025
td
298.905
Nabire
106.586
213.172
td
148.294
25.488
493.540
td
2.317
td
td
td
2.317
Biak Numfor
td
53.293
td
td
td
53.293
Supiori
td
td
td
td
td
td
470.369
685.859
6.951
430.978
46.342
1.640.499
td
4.634
td
td
td
4.634
Yapen Waropen
Jumlah-1 Kawasan pegunungan Pegunungan Bintang Yakuhimo
4.634
td
td
td
td
4.634
Tolikara
23.171
2.317
td
td
td
25.488
Jayawijaya
23.171
85.732
td
td
td
108.903
Puncak Jaya
16.220
46.342
td
td
23.171
85.733
td
9.268
td
20.854
18.537
48.659
67.196
148.293
td
20.854
41.708
278.051
Merauke
266.465
285.002
32.439
td
1.311,473
1.895.379
Boven Digoel
574.638
178.416
4.634
td
81.098
838.786
Mappi
97.318
101.952
76.464
td
426.345
702.079
Asmat
td
85.733
16.220
76.464
32.439
210.856
Paniae Jumlah-2 Kawasan dataran rendah
Mimika Jumlah-3 Jumlah 1+2+3
11.585
88.049
11.585
td
27.805
139.024
950.006
739.152
141.342
76.464
1.879.160
3.786.124
1.487.571
1.573.304
148.293
528.296
1.967.210
5.704.674
td = tidak diarahkan Sumber: BADAN LITBANG DEPTAN (2007 (diolah dengan masukan RT/RW Provinsi Papua, 2005 dan Dinas Pertanian Provinsi Papua, 2006)
Arahan pengembangan peternakan potensial (Gambar 1) diarahkan pada kawasan dataran rendah yang terdistribusi di semua kabupaten yang mencapai areal 141.342 ha. Lokasi yang memiliki rekomendasi pengembangan tertinggi adalah di Kabupaten Mappi (76.464 ha, dan Kabupaten Merauke (32.439 ha). Sedangkan di kawasan pesisir/pulau hanya Kabupaten
868
Jayapura yang potensial pengembangan peternakan dengan daya dukung 6.951 ha. Sesuai penelitian BADAN LITBANG PERTANIAN (2008) bahwa berdasarkan peta tata ruang wilayah Provinsi Papua, sub-sektor peternakan dan perikanan akan dikembangkan di daerah Pulau Mendol, Kabupaten Merauke. Namun demikian salah satu kendala formal yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Gambar 1. Peta arahan pengembangan komoditas pertanian unggulan di Papua
dihadapi adalah rencana pengembangan budidaya peternakan tersebut bersinggungan atau berada di dalam status lahan kehutanan (Tata Guna Hutan Kesepakatan/TGHK). Setelah dianalisis secara spasial hanya sekitar 44.025 ha saja lahan kering non-TGHK yang dapat dikembangkan untuk sub-sektor peternakan dan perikanan di Pulau Mendol tersebut.Di kawasan pegunungan cenderung tidak direkomendasikan untuk pengembangan peternakan karena topograsi yang cukup terjal disamping sarana infrastruktur yang sulit. Fakta di lapangan pada wilayah pegunungan banyak masyarakat mengembangkan usahaternak babi lokal, tetapi terbatas dipersiapkan sebagai sarana upacara adat. Dukungan lahan yang menonjol adalah untuk pengembangan komoditas pangan lokal (ubi jalar, padi-padian, dan palawija). Di Kabupaten Jayawijaya terdapat lahan potensial untuk komoditas ubi jalar seluas 104.269 ha. Ubi
jalar atau hipere (istilah lokal) merupakan komoditas eksklusif untuk Kabupaten Jayawijaya. Sebaliknya sumberdaya lahan Kabupaten Paniai dapat mendukung pengembangan pangan, seperti padi, palawija, jagung, padi gogo, dan sagu pada lahan seluas 48.659 ha, yang potensial juga sebagai pengembangan ternak model integrasi. Tantangan dan peluang pengembangan (aspek sosial ekonomi dan kelembagaan) Aspek tenaga kerja dan kependudukan Populasi penduduk Papua terdiri atas penduduk lokal mencapai 1.460.846 (65,41 persen), sedangkan penduduk pendatang 772.684 jiwa (34,59 persen) yang umumnya berdomisili di perkotaan, atau transmigran yang berasal dari Sulawesi, Jawa, Maluku, Sumatera, dan wilayah lainnya (DINAS
869
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
NAKERTRAN, 2006). Berdasarkan aktivitas lapangan usaha terlihat bahwa sebesar 71,38 persen (761.896 orang) penduduk usia kerja berusaha disektor pertanian yang berada di pedesaan, sedangkan sebesar 37,62 persen (305.389 orang) berusaha diluar usaha pertanian yakni dibidang industri pengolahan, dagang, dan jasa lainnya (Tabel 6). Dibedakan antar etnis menunjukkan bahwa usaha di sektor pertanian terlihat didominasi oleh etnis lokal Papua dibanding pendatang (81,81 vs 18,19 persen), dan sebaliknya usaha diluar pertanian banyak dikelola oleh etnis pendatang (69,59 vs 30,41 persen). Kondisi demikian menggambarkan bahwa dalam pengembangan usaha pertanian sebaiknya diarahkan pada penduduk etnis lokal Papua sebagai sasaran (subyek) walaupun kualitas SDM masih rendah. Usaha dibidang peternakan terlihat cukup seimbang antara etnis lokal dan pendatang (50,8 vs 49,2 persen), yang menggambarkan bahwa bidang usaha peternakan cukup diminati oleh etnis pendatang karena masih memberikan peluang yang cukup besar dalam prospek kedepan, walaupun angkatan kerja usaha peternakan masih rendah yakni mencapai 0,43 persen dari porsi usaha pertanian secara umum.
Budaya usaha pertanian dan peternakan Secara umum budaya bertani di Papua mencakup budaya meramu (huning and gathering), ladang berpindah (slash-and-burn agriculture), usahatani transisi, dan usahatani maju (semi-komersial dan komersial). Meramu dan ladang berpindah merupakan budaya yang dianut masyarakat lokal. Sebagian telah berevolusi ke arah usahatani sedenter, terutama bagi etnis lokal yang tergabung dalam program transmigrasi nasional. Kegiatan ladang berpindah yang masih berlanjut dan berorientasi subsisten (land-to-mouth agriculture), motivasi ekonomi rendah, bersifat komunal dan dikontrol oleh norma dan tata adat setempat, serta keterkaitan individu petani dengan lahan dan kelembagaan adat masih kuat. Etnis Papua lokal umumnya menganut budaya lumbung hidup, yaitu penanaman tanaman pangan (ubi jalar, talas) secara bertahap (relay planting) sehingga panen dapat dilaksanakan sewaktu-waktu ketika petani membutuhkannya. Sesuai pengamatan KEPAS (1990), bahwa teknik ini mampu menjaga kelangsungan konsumsi selama berabad-abad karena tata pengaturan dan pelaksanaannya dikontrol oleh lembaga norma dan adat setempat.
Tabel 6. Penduduk usia kerja yang bekerja berdasarkan lapangan usaha di Provinsi Papua Lapangan usaha/sektor pekerjaan
Suku Papua Orang
Suku pendatang
Total
Persen
Orang
Persen
Orang
Pertanian tanaman pangan
505.170
84,9
89.590
15,1
594.760
Perkebunan
14.269
64,9
7.712
35,1
21.981
Perikanan
20.719
64,3
11.526
35,7
32.245
Peternakan
1.696
50,8
1.645
49,2
3.341
Pertanian lainnya
81.514
74,4
28.055
25,6
109.569
Subtotal
633.368
81,81
138.528
18,19
761.896 (71,38%)
Industri pengolahan
6.469
29,5
15.451
70,5
21.920
Perdagangan
6.275
12,3
44.621
87,7
50.896
Jasa
48.626
34,0
94.283
66,0
142.909
Angkutan
3.249
23,9
10.410
76,1
13.659
Lainnya
31.305
53,0
44.700
47,0
76.005
Subtotal
95.924
30,41
209.465
69,59
305.390 (37,62%)
Total
719.292
67,4
347.993
32,6
1.067.285 (100%)
Sumber: DINAS NAKERTRANS (2006) (diolah)
870
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Etnis Papua yang menghuni wilayah pegunungan tengah (Suku Dani, Moni, Amungme, dan lain-lain) merupakan kelompok petani transisi yang telah menerapkan sistem usahatani relatif intensif dibandingkan etnis Papua lainnya dan ubi jalar (hipere) merupakan komoditas pangan utama. Budaya bertani yang dianut adalah: (a) budaya yabu, yaitu usahatani hipere di lahan datar sekitar pemukiman, (b) wen-wanggawi, yaitu kegiatan usahatani ubi jalar di lereng dengan kemiringan lebih dari 45%, dan (c) wen-hipere, yaitu usahatani
hipere di lembah atau lahan rendah dengan menerapkan nutrient recycling sistem. Lahan yabu umumnya dimanfaatkan terus menerus oleh petani dan sebagian petani telah menerapkan sistem tanam gilir antara hipere dengan sayuran. Lahan wen-wanggawi merupakan lahan ladang berpindah yang diusahakan selama 1 – 2 tahun dengan masa istirahat sekitar 5 – 7 tahun dan wen-hipere diusahakan dalam kisaran waktu 3 – 4 tahun dengan masa istirahat 4 – 5 tahun (DIMYATI et al., 1991).
Gambar 2. Budidaya ubi jalar (hipere kandang) dengan sistem lumbung hidup
Gambar 3. Usahaternak babi dengan menyatu dengan dapur
871
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Demikian halnya sistem usahaternak, secara umum adalah merupakan usaha sambilan yang sangat tradisional dengan sistem diliarkan dilahan kosong tanpa adanya perlakukan apapun, termasuk kandang. Usahaternak sapi potong yang sudah maju diusahakan oleh suku pendatang (transmigran) misalnya di Kabupaten Merauke seperti sistem di Pulau Jawa dengan kandang yang mencapai populasi 14.836 ekor (MERAUKE DALAM ANGKA, 2005), sudah diberikan pakan tambahan dedak padi dan jerami padi secara terintegrasi. Ternak babi umumnya diusahakan oleh etnis lokal yang diliarkan ataupun disatukan dengan dapur (Honey). Pemeliharaan ternak babi hanya dipersiapkan sebagai upacara adat yang sangat disayangi penduduk sehingga harga jual juga tinggi (babi lokal dewasa mencapai Rp.15 juta) dengan pakan ubi jalar. Kondisi kelembagaan Di Provinsi Papua terdapat 2 sistem kelembagaan utama yang patut diperhatikan dalam pengembangan pertanian dan peternakan yakni kelembagaan format Majelis Rakyat Papua (MRP), dan kelembagaan non formal yakni kepala suku (ondoafie). Introduksi kelembagaan pendukung pembangunan pertanian yang berazaskan peningkatan efisiensi dan produksi telah menggeser peran dan eksistensi lembaga lokal masyarakat Papua. Sebagian besar kelembagaan dewan adat dan peran kepala suku yang umumnya berwawasan sosial-budaya telah terdegradasi dan digantikan oleh lembaga-lembaga introduksi yang lebih berwawasan ekonomi, teknis, dan efisiensi. Kondisi seperti di atas menimbulkan kekuatiran di kalangan pemuka-pemuka adat dan tokoh masyarakat Papua. Sebagai respons atas degradasi kelembagaan lokal dibentuklah Majelis Rakyat Papua (MRP) yang bernuansa sosial-budaya dan politis. MRP adalah kelembagaan baru yang tumbuh karena desakan masyarakat adat Papua. Lembaga ini diharapkan merupakan lembaga representasi yang mampu mengembangkan aspirasi masyarakat etnis lokal di seluruh Papua. MRP dibentuk karena kekosongan undang-undang terkait hak-hak penduduk asli Papua. Sebelum
872
diundangkan dan dilembagakan, cikal-bakal MRP sudah terbentuk, akan tetapi peran MRP sebagai lembaga budaya tidak berjalan mulus karena tidak memiliki lembaga operasionalnya. MRP resmi dibentuk pada tanggal 31 Oktober 2005 dengan misi memberikan perlindungan, pemihakan, dan pemberdayaan untuk rakyat Papua (protection, affirmative, dan empowerment) melalui tiga pilar kelompok kerja: pokja agama, perempuan, dan adat. Lembaga kepala suku (ondoafie) merupakan kelembagaan kepemimpinan (leadership institution) yang masih berfungsi secara adat. Ondoafie merupakan tokoh penentu penggunaan lahan ulayat di wilayahnya dan merupakan tokoh sentral dalam membimbing anggota sukunya dalam hidup bermasyarakat. Kepemilikan lahan ulayat tidak dibagikan dalam sistem waris, namun anak-anak ondoafie memiliki hak yang sama dengan warga lainnya, yaitu hak mengusahakan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dalam sistem kesukuan, posisi ondoafie diteruskan oleh generasi berikutnya (anak laki-laki tertua). Kondisi di atas sejalan dengan temuan SURADISASTRA (1991), dimana kepala keret (kepala marga) pada suku Arfak, Testeiga, dan Meakh di wilayah kepala burung menganut pola kepemimpinan dan strategi pemanfaatan lahan adat seperti yang berlaku di pesisir utara Papua. Status dan operasionalisasi hukum adat terkait penggunaan lahan tidak bisa mengakomodasi kebutuhan pihak luar dalam upaya memanfaatkan lahan dalam areal luas bagi kepentingan produksi yang bertujuan ekonomi. Hal ini merupakan kendala utama bagi pihak investor yang membutuhkan lahan luas karena perbedaan pengertian dan makna penguasaan lahan dalam hukum formal dan hukum ulayat. Kebijakan pengembangan peternakan Kebijakan pengembangan peternakan disamping telah digariskan dengan kesesuaian lahan (peta kesesuaian komoditas), juga dilakukan secara integral dengan program daerah (ditingkat Provinsi) dalam mendukung kebijakan daerah. Diantaranya adalah (1). Program RESPEK (Rencana Strategis Pemberdayaan Kampung) yakni program
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
otonomi ditingkat lebih rendah (pembangunan kawasan Kampung), (2). Program pengembangan Batatas (INPRES No: 5 Pemprov Papua) yang merupakan program pengembangan ubi jalar dalam mendukung kebutuhan pangan lokal, lengkap dengan 3 buah pabrik pengolahan di Keeron/Jayapura (kawasan utara), Wamena (tengah), dan Merauke (selatan), dan (3). Program MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) yakni merupakan program pengembangan padi yang terintegrasi dengan ternak sapi. Potensi pengembangan sub-sektor peternakan lainnya dapat diintegrasikan dengan budidaya tanaman pangan pangan (padi dan palawija) dan hortikultura pada lahan kering baik di wilayah dataran rendah sampai pegunungnan. Pengembangan peternakan diharuskan melibatkan kelembagaan yang ada di lokasi yakni MRP dan Ondoafie, karena sebagai penentu utama adalah keberadaan adat lokal yang terkait langsung dalam segala program. Disamping itu dalam aspek teknologi upaya percepatan pembangunan pertanian bagi rakyat Papua hendaknya dimulai dengan apa yang mereka miliki dan hendaknya dihindari introduksi program atau teknologi yang belum dikuasai rakyat Papua. Hal tersebut karena permasalahan sering terjadi perubahan, pada saat rakyat Papua belum siap menerima perubahan tersebut. Hal seperti ini menimbulkan kebingungan karena sering terjadi introduksi teknologi yang jauh dari nalar rakyat Papua. Upaya meningkatkan produksi dan keragaman pangan lokal akan lebih membantu rakyat Papua. Arah pengembangan kelembagaan produktif pada kelompok tertinggal ini lebih diarahkan pada pemberdayaan nilai dan norma lokal dari bentuk sosial ke bentuk pemberdayaan produktif, baik secara teknis maupun secara ekonomi. Peran kepala suku sebagai tokoh sentral dapat dimanfaatkan secara positif, terutama perannya sebagai mobilisator massa di lingkungan sukunya. Mobilisasi massa dapat dimanfaatkan sebagai arena pembinaan dan penyuluhan, perbaikan kesehatan, dan berbagai kampanye sosial lainnya. KESIMPULAN Hasil penelitian tentang tantangan, peluang, dan arah kebijakan pengembangan peternakan
di Provinsi Papua dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan status swasembada pangan sub-ektor peternakan, permintaan produk ternak yang tinggi masih merupakan tantangan besar. Hal tersebut ditunjukkan masih tingginya ketergantungan masuknya produk ternak dari daerah lain, yang sekaligus peluang dalam pengembangan kedepan. 2. Daya dukung lahan masih cukup luas (lahan potensial tersedia) untuk pengembangan peternakan. Potensi lahan kawasan dataran rendah memiliki prospek paling besar dalam pengembangan ternak ruminansia. Secara umum arah pengembangan pertanian sebaiknya diarahkan pada kelompok etnis Papua yang banyak menggeluti usaha pertanian. 3. Aspek kelembagaan MRP dan Ketua Suku (Ondoafie) merupakan instrumen kunci yang harus dilibatkan dalam pengembangan peternakan berbasis kearifan lokal, karena tokoh adat merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan status lahan, yang didukung dengan pendekatan teknologi yang sudah dikuasai masyarakat. 4. Peluang pengembangan peternakan dapat dimanfaatkan sesuai dengan program unggulan daerah (Provinsi) secara terintegrasi lintas sektoral. Peluang lainnya adalah melakukan model integrasi dengan tanaman pangan lokal (hipere) untuk ternak babi di kawasan pegunungan. Pada daerah relatif maju pemanfaatan peluang tersebut dapat dilakukan melalui integrasi dengan tanaman padi terpadu seperti kasus Kabupaten Merauke (sebagai model percontohan). DAFTAR PUSTAKA BADAN LITBANG PERTANIAN. 2008. Laporan
Penelitian Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Sumberdaya Provinsi Papua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. CHAMBERS, R. 1993. Rapid Appraisal: Rapid,
Relaxed and Participatory. IDS Discussion Paper 311. IDS, Brighton.
873
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
DIMYATI, A., K. SURADISASTRA, A. TAHER, WINUGROHO, D.D. TARIGAN dan A. SUDRADJAT. 1991. Sumbangan Pemikiran
OTSUS Papua. Cenderawasih Pos, Kamis 8 November 2007.
Bagi Pembangunan Pertanian di Irian Jaya. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
MERAUKE DALAM ANGKA. 2006. Badan Pusat
NAKERTRANS. 2006.. Data base kependudukan dan tenaga kerja. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Papua. Jayapura-Papua
STATISTIK
DINAS
DINAS PETERNAKAN PAPUA. 2005. Data base
peternakan Papua. Dinas peternakan Propinsi Papua. Pemerintah Provinsi Papua. Jayapura-Papua. HAFIZRIANDA, Y. 2007. Dampak Pembangunan
Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan dan Perekonomian Regional Provinsi Papua: Suatu Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Inatitut Pertanian Bogor. KEPAS. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk
Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya. Badan Litbang Pertanian, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Cenderawasih dan the Ford Foundation.
874
MANIAGASI, F. 2007. Menimbang kembali arah
Statistik Kabupaten Merauke. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Merauke dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke. INDONESIA. 2006. Statistik. Jakarta.
Badan
Pusat
K. 1991. Comparison and Conflict between Agriculturalists and Semi-Nomadic Society in Prafi-IV Resettlement Unit, Manokwari - Irian Jaya. The Research Group of Agroecosystem. The Ford Foundation.
SURADISASTRA,
SURADISASTRA, K. 2003. Roadmap to Investment
in Eastern ndonesia. Ministry for Acceleration of Eastern Indonesia Development, Jakarta.