Lokakarya Nasional Kambing Potong
TANTANGAN DAN PELUANG PEMANFAATAN PAKAN LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN KAMBING DI INDONESIA SIMON P. GINTING Loka Penelitian Kambing Potong, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
ABSTRACT
Challenges and Opportunity in The Utilization of Local Feeds for Goat Production in Indonesia.-The development of feeding system which is based on the local resources is the milestone in supporting sustainable and competitive goat production systems in Indonesia. The residues, and by- products of many kinds of food crops, horticultures and plantataion crops are potential sources of locally available feeds for goat production. Generally, the ratio of residues or by-products to the main products is relatively high so that provides ample amount of biomass of various type of products. Many crop residues or crop-by products have been used as feed for goats with various level of utilization. Certain chemical compounds that limit their use as feed for goats have been identified to be contained in these products. These include lignin, cutin, silica, theobromine, tannin, caffeine and cyanide acid. There have been technologies that could be applied to depress the concentration of these anti-nutritional factors such as fermentation, base hydrolyses, oxidative agent, drying, soaking or combinations among these. The general characteristics of these local feeds (high fiber and low protein) require a relevant feeding system in order to efficiently use the feeds. The diversity of products with fluctuatif and imbalance chemical composition make feeding standard system inadequate to handle these feeds. Alternatively, a feed budget system which aims to maximize the utilization of the available feeds wether or not the nutrient standard of the goat is fullfilled probably more relevant to cope with such feeds. Goats with a relatively small size are faced physiologically with contra-productive situations when fed with high fiber and bulky feeds. However, these animlas have developed mechanisms to cope this situation like selective feeding habit and very efficient protein and water metabolisms. Attempts to enrich the feed inventory for goat production from crop residues or by-products need a series of evaluative steps before a new feeds could be considered as a potential alternative feeds. It is observed that information on the physical characteristics of local feeds are lacking. The information of these characters is important when attempt is made to produce complete feed in a pelleted form. These aspects should be one of the priority aspects for the future researches. Keywords: Local feeds, crop residues, crop-by products, goats, anti-nutrition factor, feeding system ABSTRAK Pengembangan sistim pakan berbasis sumberdaya lokal menjadi pilar yang mendukung perkembangan produksi kambing di Indonesia yang berkelanjutan, efisien dan kompetitif. Hasil sisa, hasil samping dan limbah berbagai jenis tanaman merupakan sumber bahan baku pakan alternatif yang potensial. Umumnya rasio hasil samping:produk utama pada tanaman ini relatif tinggi, sehingga menghasilkan biomasa yang sangat sangat besar dengan keragaman jenis produk yang tinggi. Berbagai jenis bahan asal tanaman dan industri pengolahannya telah digunakan baik sebagai suplemen tunggal, komponen konsentrat maupun sebagai pakan dasar bagi produksi kambing. Beberapa senyawa kimiawi telah diidentifikasi sebagai faktor anti nutrisi yang membatasi penggunaannya sebagai bahan pakan, seperti lignin, silika, kutin, theobromine, tannin, kafein dan asam sianida. Tersedia teknologi yang dapat menekan kandungan senyawa anti nutrisi tersebut seperti fermentasi, hidrolisis larutan basa, oksidatif, pengeringan, dekomposisi dan perendaman atau kombinasinya. Karakter umum bahan pakan lokal dengan kandungan serat tinggi dan/atau protein rendah berimplikasi kepada pengembangan sistim pakan yang relevan dengan karakter bahan tersebut. Keragaman jenis bahan pakan dengan tingkat komposisi kimiawi yang fluktuatif mengindikasikan bahwa sistim pakan yang lebih sesuai adalah pendekatan feed budget yang bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan bahan pakan, terlepas apakah kebutuhan standar nutrisi ternak terpenuhi atau tidak (feeding standarad). Ternak kambing dengan ukuran bobot tubuh yang relatif kecil menghadapi tekanan secara fisiologis pencernaan bila menggunakan limbah pertanian berserta dan keambaan tinggi. Namun, ternak ini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dengan mengembangkan pola makan yang selektif dan metabolisma protein dan air yang efisien. Upaya pengkayaan inventori pakan kambing asal tanaman dan industri pengolahannya memerlukan serangkaian langkah evaluatif sebelum teruji sebagai bahan pakan alternatif baru. Informasi beberapa aspek karakter fisik bahan pakan lokal masih sangat terbatas, sehingga penelitian kedepan perlu melengkapi informasi tersebut, terutama untuk mengantisipasi kecenderungan pengembangan pakan komplit (total mix ration) untuk usaha kambing yang intensif. Kata kunci: Pakan lokal,sisa tanaman, limbah tanaman, kambing, anti nutrisi, sistim pakan
61
Lokakarya Nasional Kambing Potong
PENDAHULUAN Sistim produksi kambing yang berdaya saing haruslah didasarkan kepada konsep keuntungan komparatif dalam memanfaatkan sumber daya lokal, termasuk pakan. Pemanfaatan sumber daya pakan lokal dengan tingkat kompetisi seminimal mungkin dengan pengguna lain menjadi sangat penting mengingat ruminansia, termasuk kambing memiliki efisiensi pemanfaatan energi dan protein yang rendah, berkisar antara 2-18%, tergantung pada status fisiologisnya (ENGELHARDT, 1981). Sistim produksi kambing dengan pola campuran (mix farming) telah berkembang di Indonesia, dan merupakan sistim produksi yang utama. Sistim ini pada prinsipnya telah memanfaatkan berbagai pakan lokal dengan intensitas yang beragam, dan terdapat keseimbangan yang kompromistis antara suplai pakan dengan tingkat produktifitas aktual. Salah satu keuntungan komparatif daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah peluang berlangsungnya proses fotosintesis oleh tanaman sepanjang tahun. Kondisi ini menawarkan produksi biomasa tanaman yang sangat besar yang dapat ditransformasikan menjadi bahan baku pakan ternak, khususnya ruminansia seperti kambing. Biomasa yang tersedia sebagai bahan pakan dapat berasal dari hijauan pakan ternak (HPT), hasil sisa dan hasil samping/ikutan tanaman maupun hasil samping/ikutan industri agro. Keragaman bahan baku pakan yang tinggi menawarkan fleksibilitas yang tinggi bagi peternak, namun juga menawarkan kompleksitas bagi nutrisionis agar dapat dimanfaatkan secara efisien. Dari segi kuantitas, maka pakan lokal berserat tinggi (materi lingoselulosa) merupakan yang terbesar. Pada dasarnya bahan tersebut mengandung energi kasar (gross) yang relatif sebanding dengan biji jagung, namun struktur kimiawinya membuat potensi energi menjadi tidak tersedia seluruhnya, apabila diberikan apa adanya (KERLEY et al., 1985). Karakter umum pakan lokal ber serat tinggi dan protein rendah merupakan beban yang lebih berat bagi ternak ruminansia dengan ukuran tubuh kecil, seperti kambing. Beberapa kendala dalam memanfaatkan hasil sisa tanaman antara lain adalah 1) palatabilitas rendah, 2) nilai nutrisi rendah, 3) penanganan relatif sulit (pengeringan, penggilingan, transportasi dan penyimpanan), 4) ketersediaan musiman, serta 5) adanya potensi penggunaan untuk keperluan lain. Dalam tulisan ini diuraikan potensi biomasa hasil sisa, sampingan atau limbah berbagai sumber potensial seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun industri pengolahannya sebagai bahan pakan dalam mendukung produksi
62
kambing. Status pemanfaatan pada kambing berbagai jenis pakan tersebut disajikan dari berbagai sumber literatur. Kandungan faktor anti nutrisi yang membatasi penggunaannya serta upaya teknologi dalam mengatasi kendala tersebut dipaparkan. Keunggulan komparatif kambing serta adaptasinya dalam menangani karakter pakan beserta tinggi dan berprotein rendah dibahas. Juga dikemukakan alternatif metoda serta proses yang dapat diterapkan dalam upaya mengembangkan suatu produk menjadi bahan pakan teruji, serta aspek-aspek penelitian yang diperlukan dimasa mendatang guna melengkapi informasi dan data tentang suatu bahan pakan yang potensial. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP PAKAN LOKAL Dalam bahasan ini yang dimaksud dengan pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumberdaya lokal Indonesia yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak kambing, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Pakan lokal yang termasuk kedalam kelompok bijibijian maupun hasil ikutan industri agro, atau yang berasal dari hewan yang banyak dimanfaatkan oleh industri unggas dan monogastrik lain, sehingga tidak kompetitif bila digunakan untuk kambing tidak tercakup dalam bahasan. Pembahasan difokuskan kepada bahan-bahan yang belum umum dimanfaatakan (inkonvensional). Dalam konteks ini bahan pakan dapat berupa 1) hasil sisa tanaman (crop residues), 2) hasil ikutan/samping/limbah tanaman (crop-by products), dan 3) hasil ikutan/samping/limbah industri agro (agroindustryby products) Hasil sisa tanaman adalah bagian tanaman yang tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan setelah produk utama dipanen. Hasil ikutan/samping tanaman adalah bagian tanaman yang tersedia dan dapat dimanfaatkan setiap saat selama umur tanaman. Hasil ikutan/samping industri agro adalah bahan atau produk samping yang dihasilkan industri pengolahan bahan baku asal pertanian menjadi produk olahan. POTENSI BIOMASA Sumber penting pakan lokal yang sifatnya inkonvensional bagi produksi kambing adalah tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan serta industri pengolahannya (Tabel 1). Dari ketiga sumber tersebut secara kuantitatif tanaman pangan merupakan yang terbesar, antara
Lokakarya Nasional Kambing Potong
lain disebabkan oleh luas areal tanam, disamping rasio limbah: produk utama relatif tinggi. Tanaman jagung (Zea mays) misalnya, memiliki rasio jerami: biji (bahan kering) sekitar 3,0 dengan potensi bahan kering jerami jagung sebesar 4,6 ton/ha/musim tanam (bahan kering 21,7%). Produksi jerami padi (Oryza sativa) dapat diprediksi dengan menggunakan indikator yang serupa yaitu rasio jerami: gabah (bahan kering) sebesar 1,0 dan bahan kering jerami 31,9%. Sorghum memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia, karena daerah adaptasinya yang luas (SIRAPPA, 2003). Jerami sorghum dapat dihasilkan sebanyak 2,62 ton BK/hektar (SOEBARINOTO dan HERMANTO, 1996). Luas areal tanam diperkirkan sebesar 18,000 ha (BETI et al., 1990), sehingga potensi jerami sorghum adalah 47,000 ton BK. Jerami kacang tanah (Arachis hypogeae) merupakan hasil sisa tanaman yang relatif berkualitaslebih baik, karena kandungan protein dan kecernaan yang relatif lebih tinggi dibandingkan jerami lain. Produksi jerami kacang tanah berkisar antara 3,5–5,5 ton BK/ha, dengan imbangan daun: batang sebesar 0,34 (LARBI et al., 1999). Pola ketersediaan bahan asal tanaman pangan umumnya musiman, sehingga diperlukan upaya pengolahan (processing) untuk preservasi agar dapat digunakan sepanjang tahun. Secara logistik, bahan terdistribusi secara meluas, sehingga koleksi bahan membutuhkan transportasi yangn intensif, terutama bila akan diolah menjadi pakan komersial. Namun, untuk pemeliharaan kambing skala kecilmenengah distribusi yang luas relatif sesuai dengan pola distribusi populasi kambing yang merupakan bagian dari usaha pertanian dengan pola mix farming. Tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan yang dapat menghasilkan fraksi daun sebagai pakan sumber protein untuk ruminansia dengan potensi produksi sebesar 1,2-1,9 t BK/ha dan kandungan protein sebesar 25-27% (GOMEZ and VALDIVIESO, 1984). Tanaman hortikutura yang penting sebagai sumber pakan kambing adalah tanaman sayuran dan buah. Tanaman sayuran atau industri pengolahan umumnya menghasilkan produk berupa hasil samping/ikutan/limbah. Produk limbah berupa sayur lobak (Raphanus sativa) afkir segar yang tidak memenuhi persyaratan pasar atau untuk proses pengolahan merupakan bahan pakan potensial sebagai sumber energi (GINTING et al.,
2004). Ampas nenas (Annanas communis L) berupa kulit dan sisa perasan daging merupakan limbah pengolahan buah nenas menjadi jus nenas (konsentrat) dengan rasio limbah: produk utama yang tinggi (6,5). Dari industri pengolahan buah markisa (Paciflora edulis) menjadi sari markisa, diperoleh limbah padat berupa kulit buah dan biji yang proporsinya besar (65-70%). Tanaman pisang (Musa spp.) merupakan sumber pakan yang penting, karena selain produktivitasnya tinggi juga menghasilkan produk limbah/sampingan yang beragam, sehingga relatif tersedia sepanjang tahun. Secara kumulatif, fraksi batang, daun atau anakan dapat menghasilkan bahan pakan (BK) sebesar 11,2 ton/ha, dengan pola ketersediaan sepanjang tahun. Luas areal tanam tanaman pisang diperkirakan mencapai 74.751 ha (DIREKTORAT JENDRAL BINA PRODUKSI TANAMAN HORTIKULTURA, 2003), sehingga potensi pakan asal tanaman pisang secara nasional mencapai sekitar 800.000 ton/tahun. Beberapa daerah penting penghasil pisang antara lain yang terbesar adalah Jawa Barat dan Jawa Timur (>10.000 ha), Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Banten (4.000–8.000 ha), serta Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Selatan (1.300–2.600 ha). Dari tanaman perkebunan, kelapa sawit (Elaeis guinensis) menawarkan keragaman produk paling tinggi. Pola ketersediaan bahan seperti solid, pelepah, daun dan serat perasan buah bersifat sepanjang tahun dengan interval yang pendek (harian). Dengan kecenderungan laju perluasan areal tanam yang tajam (12,6% per tahun) (LIWANG, 2003), maka potensi kelapa sawit dalam menyumbang pakan lokal akan semakin penting. Tanaman kopi dapat menyumbang bahan pakan berupa kulit biji (shell) sebanyak 6,0% dan pulp (daging buah) sebanyak 43,0% (BOUCQUE and FIEMS, 1988). Tingkat produktivitas mencapai 2.500 kg/ha, sehingga potensi produksi daging buah dan kulit biji masing-masing sebesar 0,94 ton dan 0,14 ton/ha. Produksi buah kakao (Theobroma cocoa) segar sekitar 1.750 kg/ha dengan komposisi kulit buah 74,0% dan biji 2,0%. Biji kakao menghasilkan hasil ikutan berupa kulit biji sebesar 2,0% dari berat biji. Produksi biji karet (Hevea brazilliensis) berkisar antara 1,0-2,0 ton/ha/tahun (POND et al., 1994). Industri pengolahan teh menghasilkan produk limbah berupa ampas teh yang memiliki potensi sebagai pakan alternatif.
63
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tabel 1. Potensi produksi biomasa hasil sisa dan sampingan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan serta industri pengolahannya sebagai bahan pakan lokal untuk kambing Sumber/jenis pakan lokal
Produksi (ton BK/ha)
Rasio limbah/produk ( as is)
Keterangan
6
1,0
Angka produksi per musim tanam ; BK 31,9%
4,6
3,0
Angka produksi per musim tanam; BK 21,7% Angka produksi per musim tanam
Tanaman pangan Jerami padi Jerami jagung Jerami sorgum
2,6
1,0
Jerami kacang tanah
3,5-5,5
-
Angka produksi per musim tanam; BK 29,1%
Daun ubi
0,4-0,7
-
Angka produksi per musim tanam; BK 22,4%
Kulit buah markisa
9,1
1,5
Biji markisa
2,1
0,3
BK 75%; rasio biji/buah 11%
Ampas nenas
9,4
6,5
BK15%; rasio ampas/buah 78%
Batang pisang
2,7
-
BK 6,8%; bobot segar 30 kg/batang; jumlah batang/ha 1300/ha/tahun
Anakan pisang
2,8
-
BK 9,8%; bobot segar 22 kg/anakan/tahun
Daun pisang
5,7
Tanaman hortikultura BK 67%; rasio kulit/buah 54%
BK 21,8%; bobot segar 20 kg/batang/tahun
Tanaman perkebunan Daun sawit
0,66
-
BK 46,2%; berat daun 0,5 kg/pelepah; 22 pelepah/pohon
Pelepah sawit
1,64
-
BK 26,1%; berat pelepah 2,2 kg
Serat perasan buah sawit (SPB)
2,7
-
BK 93,1; rasio SPB/TBK 18%
Solid Decanter
1,1
-
Kulit buah kakao
1,1
3,4
BK 85%; rasio kulit buah/buah segar 74%
0,1
BK 90%; rasio biji/buah 2%; rasio kulitbiji/biji 2%
Kulit biji kakao Daun kakao
0,5
-
BK 24,1%; rasio solid/TBS 2,9%
-
Biji karet
1-2
-
2-4 kg/pohon/thn; 500 pohon/ha
Daging buah kopi
0,94
0,84
BK 87%; rasio daging/buah 43%
Kulit biji kopi
0,14
0,12
?
?
Ampas Teh
BK 91%; Rasio biji/buah 6% ?
Sumber: Lihat teks.
STATUS PENGGUNAAN SEBAGAI PAKAN KAMBING Tanaman Pangan Status pemanfaatan hasil sisa atau ikutan/limbah tanaman dan industri pengolahannya disajikan pada Tabel 2. Jerami dapat digunakan sebagai pakan basal, maupun bagian dari pakan basal. Jerami padi telah digunakan sebagai campuran pakan basal dengan rumput pada kambing (SITORUS, 1987). Penggunaan jerami padi sebagai pakan dasar yang dihidrolisis dengan larutan NaOH dan diberi Leucaena leucocephala 64
sebagai suplemen dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 33,0 g pada kambing Kacang (VADIVELOO, 1986). Perlakuan NaOH yang meningkatkan ketersediaan energi jerami padi serta suplemen protein kemungkinan menyebabkan penggunaan jerami padi sebagai pakan dasar mampu memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan. Perlakuan NaOH juga dilaporkan dapat meningkatkan konsumsi jerami sorghum yang diberikan sebagai pakan dasar kambing (WRATHALL et al.,1989). Akan tetapi, perlakuan amoniasi jerami sorghum dengan urea tidak memberi pengaruh nyata terhadap penampilan kambing. Walaupun urea dapat meningkatkan
Lokakarya Nasional Kambing Potong
konsumsi protein kasar, namun sifat hidrolisis urea yang lebih lemah dibandingkan NaOH kemungkinan tidak mampu membebaskan energi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kambing untuk tumbuh. Penelitian HADJIPANAYIOTOU (1984) menunjukan bahwa pemberian jerami sorghum sebesar 20% (0,27 kg/ekor/h) dan konsentrat sebesar 80% (1,32 kg/ekor/h) pada kambing fase laktasi dapat mempertahankan produksi susu sebesar 1,7 kg/hari tanpa kehilangan bobot badan. Penelitian ini mengindikasikan bahwa jerami dapat digunakan sebagai sumber serat untuk kambing laktasi yang
diberi konsentrat dosis tinggi untuk mempertahankan tingkat produksi susu yang tinggi dan kondisi tubuh yang stabil. Jerami jagung dapat digunakan sebagai pakan dasar, dan pemberian suplemen lamtoro dapat meningkatkan konsumsi pakan sebesar 135% (BANDA dan AYSADE, 1985). Jerami kacang tanah memiliki palatabilitas yang baik pada kambing, dan dapat digunakan sebagai pakan dasar (100%) dengan tingkat konsumsi 93 g/kg BB0,75 (GAYLE et al., 1990). Kandungan protein yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jerami lain kemungkinan mempengaruhi tingkat konsumsi pada kambing.
Tabel 2. Pemanfaatan hasil sisa serta hasil samping tanaman dan industri agro sebagai pakan pada kambing Sumber/jenis pakan lokal
Pakan dasar
Suplemen
PBBH (g/h)
Konsumsi
Keterangan
%
g/h
Jerami padi
Ad lib
-
-
33,0
-
Suplementasi dengan legum
Jerami jagung
Ad lib
-
-
-
∆ 135%
Suplementasi Lamtoro 30 g
Jerami sorgum
20%
270
-
-
270 g/h
Diberi konsentrat 80% (1320 g/h)
Jerami kacang tanah
100
-
-
-
93g/kg BB.0,75
Kulit Buah Markisa
-
-
10-40%
65-70
-
Sebagai komponen konsentrat
Biji Markisa
-
-
10-40%
65-75
-
Sebagai komponen konsentrat
Ampas Nenas
Ad lib
-
-
60-84
750 g
Tanaman Pangan
-
Tanaman Hortikultura
Sayur afkir (Lobak) Anakan pisang Daun pisang
-
-
10-40%
53-64
-
20%
-
-
-
-
Kambing digembalakan Sebagai komponen konsentrat Susbstitusi 50% rumput 0,75
-
-
Ad lib
-
216g/kg BB
Daun sawit
30-40
-
-
30-50
-
Waktu adaptasi panjang
Pelepah sawit
40-80
-
-
50-60
-
Substitusi rumput
Solid Decanter
-
-
1,0%
50-60
-
Persen bobot badan
Kulit buah kakao
-
-
15%
-
-
>15% menurunkan performans
Daun Kakao
-
-
20%
78
-
Diberi gamal 80%
-
Tanaman Perkebunan
Biji Karet
-
-
68-80%
70-82
-
Pada domba
Daging buah kopi
-
-
100%
95
-
Difermentasi
Pucuk Tebu
-
-
71 g/h
-
-
+15% dedak,13,7 tetes; 0,3% urea
Ampas teh
20%
-
5%
Difermentasi; sebagai suplemen atau pakan dasar
65
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tanaman Hortikultura Anakan tanaman pisang dapat digunakan sebagai pakan dasar sebanyak 20% total ransum pada kambing dewasa (MARQUEZ, 1982), dan dapat mensubstitusi rumput sampai 50% tanpa menurunkan performan domba (VISWANATHAM et al., 1989). Konsumsi anakan pisang meningkat bila diberikan bersama konsentrat dalam bentuk pakan komplit. Penelitian HARYANTO et al., (1982) menunjukan secara tegas bahwa tingkat kesenangan kambing terhadap daun pisang jauh lebih tinggi dibandingkan pada domba. Daun pisang dapat digunakan sebagai pakan dasar (100%), walaupun tingkat konsumsi relatif rendah yaitu 19 g/kg BB0,75 (NINO-DUPONTE dan CARPENTER, 1981). Penelitian OGWANG dan KARUA (1996) menunjukan bahwa pemberian kulit nenas dalam bentuk tepung ad libitum pada kambing menghasilkan pertambahan bobot badan yang baik (60,0 g/h) dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Penambahan suplemen protein sebanyak 80,0 g atau 160,0 g meningkatkan pertambahan bobot badan menjadi 81,0 g/h dan 84,0 g/h. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa konsumsi energi dari kulit nenas masih mampu mendukung pertambahan bobot badan yang lebih tinggi selama suplai protein mencukupi. Dengan kata lain, kulit nenas merupakan bahan pakan sumber energi yang potensial bagi ternak kambing. Tepung kulit buah markisa dan biji markisa dapat digunakan sebagai komponen suplemen pada taraf antara 10,0-40,0% pada kambing tumbuh dengan tingkat pertambahan bobot badan antara 6570 g/h (GINTING et al., 2003). Namun, bila diberikan sebagai suplemen tunggal konsumsi cukup rendah. Tepung lobak afkir secara nutrisi memiliki prospek yang baik, karena dapat menjadi sumber energi mudah larut. Penelitian GINTING et al. (2004) menunjukan bahwa tepung lobak dapat digunakan sebagai komponen konsentrat sampai 40% dan menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 53-64 g/h . Tanaman Perkebunan Lumpur minyak sawit (decanter) dapat digunakan sebagai suplemen tunggal pada taraf 1,0% bobot badan dan menghasilkan pertambahan bobot badan 50-60 g/h (HANDAYANI et al., 1987). Pelepah kelapa sawit berpotensi sebagai pakan dasar pengganti sebagian atau seluruh rumput. Pada domba, pelepah kelapa sawit dapat mensubstitusi rumput sampai 80% (PURBA dkk., 1997). Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan dasar pengganti rumput, walaupun palatabilitasnya
66
rendah, sehingga membutuhkan waktu adaptasi panjang (>1 bulan) sebelum kambing mampu mengkonsumsi dalam jumlah cukup. Untuk meningkatkan konsumsi daun kelapa sawit pemberiannya dapat digunakan sebagai sumber serat dalam pakan komplit. Penggunaan daun kakao sebagai suplemen tunggal (20%) dengan pakan dasar gamal (80%) menghasilkan pertuymbuhan yang sangat baik pada kambing (78 g/h). Namun hasil penelitian LATIEF dan YOHANNA (1994) menunjukan bahwa penggunaan daun kakao sebagai pakan dasar pengganti rumput menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang rendah (16 g/h), dan angka kematian tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi daun kakao adalah sebagai suplemen dan bukan pakan dasar. Kulit buah kakao (pod) merupakan limbah pengolahan buah kakao dengan ciri serat tinggi dan protein rendah. Penggunaan kulit buah kakao pada tingkat ≥30% total ransum (BK) berdampak kepada penurunan peformans, sehingga tidak ekonomis (SMITH, 1985). Penelitian PULUNGAN et al. (1989) pada domba menunjukan batas toleransi yang lebih rendah. Penggunaan kulit buah kakao diatas 15% (BK) dalam ransum yang setara dengan 0,15% theobromine dapat menurunkan performans, termasuk konsumsi pakan. Faktor serat kasar dan kemungkinan senyawa theobromine kemungkinan menjadi pembatas utama. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan bahan ekstrak tanpa nitrogen kulit buah kakao termasuk rendah sekitar 22%. Namun, kecernaan protein kasar termasuk moderat (51%), sedangkan kecernaan lemak kasar termasuk tinggi (78%) (SMITH and ADEGBOLA, 1985). Rendahnya kecernaan kulit buah ini dapat disebabkan kandungan mineral, tannin dan alkaloid yang tinggi (VAN SOEST, 1982). Penggunaan tepung limbah kopi disarankan tidak melebihi 20% total ransum. Penggunaan 40% dalam ransum menurunkan konsumsi sebesar 22% dan menekan pertumbuhan, sedang penggunaan 60% dalam ransum bahkan menggangu kesehatan kambing, walaupun kecernaan bahan organik ampas kopi cukup tinggi (ABATE and PFEFFER, 1986). Selanjutnya, disarankan untuk memberi suplemen konsentrat energi untuk meningkatkan kandungan energi pakan, bila menggunakan ransum berbasis limbah kopi. Dipihak lain, pemberian tepung kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 100-200 g/h (GUNTORO dkk., 2004) menghasilkan pertambahan bobot badan yang sangat baik (95 g/h). Proses fermentasi kemungkinan memiliki dampak terhadap unsur anti nutrisi dalam tepung limbah kopi, sehingga respon kambing menjadi lebih baik.
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Pucuk tebu (Saccharum officinarum) dapat digunakan sebagai suplemen tunggal, dan konsumsi dapat ditingkatkan bila pucuk tebu dicacah menjadi potongan ukuran kecil 1-3 cm dibandingkan dengan potongan lebih panjang, misalnya 20 cm (VAN,et al., 2002). Ampas teh dapat digunakan baik sebagai pakan dasr pengganti rumput (20%) maupun sebagai suplemen, terutama sebagai sumber protein pada kambing (KONDO et al., 2004). Pemberian ampas teh meningkatkan konsumsi dan retensi nitrogen (N) dan meningkatkan NH3 rumen. Peningkatan NH3 rumen ini dapat berperan positif dalam mendorong fermentasi serat, bila ampas teh diberikan dengan bahan pakan lain yang kandungan seratnya tinggi (pakan dasar). Walaupun kandungan tannin pada ampas teh relatif tinggi, namun protein dalam ampas the masih dapat dicerna pasca rumen oleh ensim yang disekresikan kelenjar pancreas. FAKTOR PEMBATAS (ANTI NUTRISI) Tingkat kecernaan, konsumsi dan efisiensi penggunaan nutrisi bahan pakan asal limbah atau hasil sisa tanaman dipengaruhi oleh tingkat kandungan berbagai senyawa kimiawi yang bersifat penghambat (inhibitor). Pada bahan pakan asal tanaman pangan (Tabel 3)`faktor penghambat didominasi oleh kelompok senyawa fenolik polimer seprti lignin yang terdapat di dalam dinding sel. Dinding sel merupakan fraksi jaringan terbesar yaitu berkisar antara 69% pada jerami kacang tanah (TANGENJAYA dan GUNAWAN, 1988) dan 82% pada jerami sorghum (SIRAPPA, 2003). Pada jaringan dinding sel tanaman senyawa lignin membentuk ikatan dengan karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) menjadi senyawa komplek yang tidak mudah dicerna. Senyawa lain yang menjadi penghambat adalah kutin, karena mempersulit penetrasi dan kolonisasi oleh mikrobia rumen yang berakibat pada semakin lambatnya proses fermentasi (VAN SOEST, 1982). Pada fraksi daun ubu kayu, kandungan sianida dapat mencapai 175 ppm (DEVENDRA, 1992), namun sangat dipengaruhi oleh varietas. Kebanyakan senyawa sianida (90%) terdapat dalam bentuk terikat sebagai sianida glukosida (linamarin), sedangkan sisanya sebagai asam sianida bebas. Namun kadarasam sianida dapat diturunkan secara drastis (60-90%) dengan pengeringan sinar matahari, tergantung lama pengeringan (GOMEZ et al., 1984). Pada batang dan daun pisang kandungan lignin mencapai 12% (ROXAS et al., 1996; QUIROS et al., 1996). Rendahnya kecernaan bahan kering tanaman pisang
(42%) kemungkinan terkait dengan kadar lignin dan tannin. Ampas nenas mengandung komponen didnding sel yang relatif tinggi (58%). Walaupun kandungan dinding sel relatif lebih rendah dibandingkan jerami tanaman pangan, namun merupakan faktor pembatas penting bagi proses pencernaan. Faktor anti nutrisi utama pada bahan asal perkebunan kelapa sawit, terutama hasil samping tanaman (daun, pelepah dan serat perasan buah) adalah lignin dan kutin. Bungkil inti sawit, hasil samping industri pengolahan minyak sawit diketahui mengandung koper (Cu) yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 11 – 55 µg/g bahan kering bahan (ABDUL RAHMAN dkk., 1989; JALALUDIN dkk., 1991). Namun, sifat toksiknya baru muncul bila mengkonsunsi dalam jumlah yang secara normal tidak terjadi di lapangan (HAIR-BEJO dan ALIMON, 1995). Pada kakao senyawa theobromine (3,7dimethylxanthine) telah diketahui menjadi faktor anti nutrisi yang penting. Kandungan theobromine pada kulit buah kakao diperkirakan sebesar 1,0% ( MAHYUDDIN and BAKRIE, 1993). Pada limbah tepung buah kopi (pulp) tannin dan kafein merupakan senyawa anti nutrisi penting. Kandungan tannin dilaporkan mencapai 0,46% (DONKOH et al., 1988), disamping mengandung kafein (1,3,7-trimethylxanthine) yang bersifat diuretik (MOLINA et al., 1974). Pemberian 40 dan 60% tepung ampas kopi meningkatkan sekresi urin yang mendorong sekresi N dan berakibiat penurunan performans. Pada ampas teh kandungan kafein dan theobromin relatif lebih tinggi yaitu berturut-turut berkisar antara 2,5 - 5,5% dan 0,07 0,17% (BELITZ dan GROSCH, 1986), sedangkan kandungan tannin mencapai 1,35% (ISTIRAHAYU, 1993). Faktor anti nutrisi pada biji karet adalah senyawa asam sianida. Konsentrasi asam sianida didalam biji karet dapat mencapai 540 ppm (POND dkk., 1994), jauh melebihi kandungan pada daun ubi kayu. Perlakuan perendaman dalam air mendidih dapat menurunkan kandungan sianida secara nyata. IMPLIKASI NUTRISI DAN SISTEM PAKAN Kendala nutrisi pemanfaatan hasil sisa, samping dan ikutan tanaman terutama akan diwujudkan dalam bentuk penekanan terhadap suplai protein dan energi bagi ternak. Mekanisme penekanan kedua entitas nutrisi ini terkait erat satu sama lain. Penekanan suplai protein pertama diakibatkan terganggunya perkembangan populasi mikrobia rumen. angguan perkembangan populasi mikrobia ini disebabkan oleh:
67
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tabel 3. Unsur kimiawi sebagai faktor anti nutrisi dalam produk hasil sisa tanaman bila digunakan sebagai pakan kambing
Sumber/Jenis pakan lokal
LIG
DDS
Si
CUT
TAN
HCN
KAF
THBR
++
++
++
+
-
-
-
-
Tanaman Pangan Jerami padi Jerami jagung
+++
++
+
+
-
-
-
-
Jerami sorgum
+++
++
-
+
-
-
-
-
Jerami kacang tanah
++
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
+
-
++
-
-
Kulit Buah Markisa
?
+
-
-
?
-
-
-
Biji Markisa
-
-
-
+
-
-
-
-
Daun ubi Tanaman Hortikultura
Ampas Nenas
?
+
-
-
-
-
-
-
Batang pisang
+++
++
-
+
+
-
-
-
Anakan pisang
+++
++
-
+
+
-
-
-
Daun pisang
+++
++
-
+
-
-
-
Tanaman Perkebunan Daun sawit
++
+
-
+
-
-
-
-
Pelepah sawit
+++
++
-
-
-
-
-
-
Serat perasan buah
+++
++
-
-
-
-
-
Solid Decanter
-
-
-
-
Kulit buah kakao
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
++
Kulit biji kakao
-
-
-
-
-
-
+++
Daun Kakao
-
-
-
+
+
-
-
++
Biji Karet
-
-
-
+
-
++
-
-
Daging buah kopi
-
-
-
-
+
-
++
-
Kulit biji kopi
-
+
-
+
+
-
++
-
Pucuk tebu
++
++
-
+
-
-
-
-
Ampas teh
-
-
-
-
++
-
+++
+
LIG:lignin; DDS:dinding sel; Si: silika;CUT: Kutin; TAN:Tannin;HCN:asam sianida; KAF:kafein;THBR:theobromine Konsentrasi ammonia didalam rumen tidak optimal (<5 mg/100 ml) bagi perkembangan populasi mikrobia. Hal ini selanjutnya berdampak kepada terbatasnya suplai N kepada ternak, disamping tertekannya kecernaan dan konsumspi pakan, sehingga pada waktu bersamaan suplai energi ikut terhambat. Beberapa unsur yang berfungsi sebagai kofaktor untuk proses fermentasi (faktor pertumbuhan) seperti vitamin dan mineral tersedia terbatas dan tidak seimbang. Hilangnya atau kerusakan vitamin pada jerami, misalnya terjadi secara nyata akibat pengeringan sinar matahari. Laju pelepasan pakan lambat, turnover juga ikut lambat, sehingga tingkat lysis (degradasi)
68
mikobia rumen menjadi tinggi dengan akibat penurunan populasi mikroba dan supali N kepada ternak.Tekanan terhadap suplai energi merupakan akibat tidak langsung dari tekanan perkembangan populasi mikrobia yaitu: Prores fermentasi terhambat akibat proses kolonisasi fragmen pakan oleh mikrobia semakin lambat sejalan dengan penurununan populasi, terutama mikrobia dalam cairan rumen. Terbatasnya unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan bakteri pemecah selulosa seperti asam amino rantai cabang dan asam lemak rantai cabang. Rasio protein: kalori menjadi rendah akibat peningkatan produksi non-glukogenik asam lemak terbang (asetat dan butirat).
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Mengacu kepada karakter gizi bahan pakan lokal tersebut (keragaman komposisi kimiawi, rendah N, tinggi serat, rendah kecernaan dan konsumsi), maka relatif sulit untuk menyusun ransum yang mampu memenuhi kebutuhan kambing untuk beproduksi sesuai kapasitas genetiknya (bunting, laktasi dan tumbuh). Konsekuensinya, pendekatan feeding standard kemungkinan tidak relevan diterapkan mengingat pendekatan tersebut memiliki target produksi ternak yang maksimal menurut kapasitas genetik.Oleh karena itu, pendekatan feed budget dengan menetapkan target bukan pada sisi produksi ternak, namun pada maksimalisasi penggunaan pakan akan lebih sesuai bagi sistim produksi kambing yang bertumpu pada pakan lokal. Sistim ini akan mentolerir adanya kompromistis antara produksi altual yang sifatnya kondisional dengan produksi potensial ternak PERLAKUAN UNTUK MENINGKATKAN NILAI NUTRISI Perlakuan Terhadap Lignin Potensi nutrisi yang relatif terbatas pada sebagian besar pakan lokal asal tanaman perlu ditingkatkan agar manfaat potensi kuantitasnya dapat diwujudkan secara maksimal. Berbagai teknik telah diteliti dan dikembangkan untuk maksud tersebut (Tabel 4). Perlakuan kimiawi yang bersifat hidrolitik menghasilkan perubahan pada ikatan antar lignin, antara lignin-karbohidrat atau antara karbohidrat-karbohidrat. Perlakuan yang bersifat oksidatif menghasilkan perubahan pada komposisi fenolik yang menyusun rantai polimer lignin (CHESSON, 1993). Pengaruh mekanisme oksidatif terhadap kualitas nutrisi bahan lebih tinggi dibandingkan dengan cara hidrolitik, namun penggunaan dilapangan sangat terbatas akibat pertimbangan ekonomi Secara biologis dekomposisi lignin merupakan salah satu cara untuk memecah ikatan selulosalignin dalam jaringan hasil sisa tanaman, sehingga meningkatkan energi tersedia bagi ternak ketika digunakan sebagai pakan. Pada Tabel 5 disajikan beberapa jenis jamur yangtelah diketahui memiliki potensi dalam mendegradasi lignin pada berbagai jenis substrat. Mikroorganisme yang ideal untuk mendekomposisi lignin adalah yang memiliki kamampuan kuat untuk mendegradasi lignin, namun kurang dalam mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Selama proses dekomposisi lignin, jamur juga akan mendegradasi karbohidrat (selulosa), sehingga waktu panen merupakan faktor
kritis dalam mengoptimalkan manfaat dekomposisi lignin untuk meningkatkan kecernaan bahan. Kecernaan maksimal akan tercapai pada satu titik sebelum terjadinya degradasi karbohidrat oleh jamur secara ekstensif (FAHEY et al., 1993). White rot fungi misalnya, merupakan salah satu jenis mikroorganisme potensial dalam mendegradasi lignin. SOEYONO dkk. (1984) menggunakan jamur jenis Pleurotus sp. untuk meningkatkan kecernaan jerami padi. Aplikasi penggunaan jamur dalam meningkatkan ketersediaan energi sebagai pakan masih terkendala oleh biaya yang belum ekonomis (BERGER et al., 1994). Oleh karena itu, penelitian untuk mengindentifikasi atau menciptakan jamur yang lebih efektif serta mengetahui lingkungan optimal yang dibutuhkan perlu diteliti. Perlakuan Menurunkan Kandungan Tannin dan Kafein Kandungan faktor anti nurisi pada daging buah kopi (polifenol, tannin dan kafein) dapat diturunkan dengan kombinasi perlakuan alkalis (NaOH) dengan perlakuan fermentatif (silase) seperti disajikan pada Tabel 6. Namun, penelitian ROJAS et al. (2002) menunjukan bahwa perlakuan yang optimal ternyata cukup dengan menggunakan larutan alkalis 5,0% atau 10,0% NaOH. Disamping itu, perlakuan alakalis terhadap kulit buah kako menggunakan larutan basa abu bakaran kulit buah kakao dengan derajat kebasaan setara dengan 8,0% NAOH dapat meningkatkan degradabilitas bahan dari 45% tanpa perlakuan menjadi 60% (SMITH et al., 1988). Namun, pada derajat kebasaan tersebut konsumsi pakan juga menurun, sehingga disarankan untuk menggunakan bakaran kulit buah kakao dalam larutan tidak lebih dari 35g per 100 g larutan yaitu setara dengan 6% larutan NaOH. Fermentasi ampas teh menggunakan kapang Aspergillus niger dapat menurunkan kandungan tannin sebesar 33% (1,35% vs. 0,91%) (KRISNAN, 2002). Penurunan kandungan tannin yang drastis ini diperkirakan akan dapat meningkatkan konsumsi dan ketersediaan energi secara nyata. Senyawa kimiawi yang mengandung molekul oksigen dalam jumlah besar, sehingga mampu membentuk ikatan yang kuat dengan gugus fenolik dan hidroksil pada senyawa tannin terbukti dapat digunakan untuk menekan pengaruh negatif tannin terhadap nilai nutrisi pakan. Penggunaan polyvinyl pyrrolidon (PVP) yang larut atau tidak larut dalam air atau polyethylene glycol (PEG) yang larut dalam air misalnya, mampu menurunkan efek antinutrisi tannin dalam bahan pakan (SILANIKOV et al., 2001).
69
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tabel 4. Perlakuan kimiawi untuk meningkatkan mutu bahan pakan asal tanaman yang tersedia secara lokal. Perlakuan
Agen Perlakuan
Hidrolitik
Oksidatif
Target Perlakuan
NaOH
LIG-LIG; LIG-KHO
Urea
LIG-KHO
H2SO4
SEL-SEL
Alkali H2O2
Modifikasi fenolik LIG
SO2
Modifikasi fenolik LIG
O3
Modifikasi fenolik LIG
Substrat Perlakuan Jerami, pucuk tebu, limbah tanaman sawit, kulit buah kakao
Jerami, limbah tanaman sawit
LIG=Lignin; KHO=Karbohidrat; SEL=Selulosa Tabel 5. Beberapa jenis jamur yang dapat digunakan untuk mendekompisis lignin Jamur
Substrat
Kecernaan (unit %)
Sumber
Dichomitus squalens
Jerami gandum
24-30
AGOSIN et al., 1985a; AGOSIN et al., 1986
Cyathus stercoreus
Jerami gandum
24-30
AGOSIN et al., 1985a; AGOSIN et al., 1986
Pleurotus spp.
Jerami gandum
14
ZADRAZIL et al., 1990
Coprinus spp.
Jerami gandum
25
YADAV, 1987
Ganoderma applanatum
Kayu
30-60
ZADRAZIL et al., 1982
Armillariella spp.
Kayu
30-60
ZADRAZIL et al., 1982
Pleurotus sajorcaju
Bagasse
19
KEWALRAMANI et al., 1988
Bondarzewia berkeleyi
Bagasse
16-30
ROLZ et al., 1986
Pleurotus ostreatus
Sekam padi
14
BEG et al., 1986
Tabel 6. Beberapa perlakuan untuk menurunkan kadar tannin dan kafein Perlakuan
Agen Perlakuan
Target Perlakuan
Substrat Perlakuan
Hidrolitik
NaOH
Degradasi tannin
Ampas teh, kulit buah markisa dan kakao, limbah kopi
Oksidatif
PVP; PEG
Mengikat tannin
Ampas teh, kulit buah markisa dan kakao, limbah kopi
Aspergillus niger
Degradasi tannin; PK
Ampas teh, kulit buah markisa dan kakao, limbah kopi
Fermentasi
Silase
Molassess
↑PK, preservasi
Solid decanter
Degradasi tannin
Ampas teh, kulit buah markisa dan kakao, limbah kopi
PVP: Polyvinyl pyrrolidon; PEG: Polyethylene glycol
KEUNGGULAN KOMPARATIF KAMBING DALAM PENGGUNAAN PAKAN LOKAL BRODY (1945) dan KLEIBER (1961) membuktikan bahwa energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok secara alometris berbanding lurus dengan bobot badan pangkat 0,75 (BB)0,75. Sementara itu, DEMENT dan VAN SOEST (1983) menunjukan bahwa kapasitas organ pencernaan merupakan fungsi bobot badan pangkat 1,00-1,09 (BB)1,00-1,09. Kedua hubungan
70
alometris ini secara implisit menjelaskan bahwa rasio kapasitas organ pencernaan dengan kebutuhan energi akan lebih rendah pada ternak dengan ukuran bobot tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ternak besar. Dengan kata lain, efisiensi pencernaan pada ternak dengan ukuran tubuh kecil lebih inferior dibandingkan dengan yang lebih besar. Prinsip ini telah menjadi dasar anggapan bahwa ruminansia kecil termasuk kambing kurang mampu memanfaatkan bahan pakan dengan
Lokakarya Nasional Kambing Potong
karakter serat dan keambaan (bulkiness) tinggi, seperti jerami. Salah satu karakteristik proses pencernaan yang menentukan tingkat ekstraksi nutrisi dari bahan pakan adalah turn over time saluran pencernaan (rumen), yaitu frekuensi pergantian isi rumen dengan bahan pakan yang baru (dikonsumsi). Turn over time merupakan kebalikan waktu tahan pakan dalam saluran pencernaan. VAN SOEST (1982) mengemukakan bahwa turn over time rumen merupakan fungsi bobot badan pangkat 0,25 (BB)0,25. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu tahan pakan dalam rumen pada kambing dengan bobot tubuh lebih kecil akan lebih singkat. Dengan kata lain, kambing yang ukuran tubuhnya relatif lebih kecil kurang mampu menahan pakan lebih lama didalam saluran pencernaan. Akibatnya, pemanfaatan bahan-bahan pakan berserat tinggi yang proses fermentasinya relatif lambat menjadi kurang efisien. Hal ini mengindikasikan bahwa bobot tubuh yang lebih kecil memiliki beberapa konsekuensi nutrisi dan fisiologik pencernaan yang kontra produktif dengan ciri pakan lokal yang tersedia . Mekanisme adaptasi yang kompleks yang dimiliki oleh kambing dalam menangani pakan berserat tinggi mencakup fisiologik, nutrisi dan morfo-fisiologik serta strategi makan, dan mampu mengatasi konsekuensi kontra-produktif tersebut. Pola makan kambing yang selektif dan cenderung memilih konsentrat, misalnya merupakan salah satu pendekatan adaptif (HOFFMAN, 1988). Pola makan tersebut mampu meningkatkan konsentrasi nutrisi yang dikonsumsi tanpa keharusan meningkatkan jumlah konsumsi pakan secara signifikan yang dibatasi oleh kapasitas saluran pencernaan yang rendah. Berikut akan dipaparkan beberapa kemampuan adaptif kambing untuk menghadapi keterbatasan kapasitas fisik saluran pencernaan dalam menangani bahan pakan dengan karakter serat tinggi. Adaptasi Pakan Berserat Tinggi TOLKAMP and BROUWER (1993) melalukan analisis statistik terhadap data literatur menyangkut kecernaan pakan dan menyimpulkan bahwa kecernaan pakan pada kambing nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pada domba, walaupun perbedaan ini relatif kecil (0,8 unit). Perbedaan kecernaan semakin lebar terhadap pakan dengan kandungan protein yang rendah. Faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan yang lebih tinggi pada kambing antara lain adalah mastikasi, ruminasi dan waktu tahan pakan.
Studi pustaka yang dilakukan oleh LOUCA dkk. (1982) menginformasikan bahwa waktu yang digunakan untuk mastikasi lebih lama pada kambing dibandingkan dengan domba dan sapi. Waktu ruminasi per gram dinding sel yang dikonsumsi juga lebih lama pada kambing dibandingkan dengan domba dan sapi. Waktu ruminasi meningkat tajam sejalan dengan meningkatnya konsumsi pakan berserat (roughage). Disamping itu jumlah bolus yang diregurgitasi juga meningkat tajam. Waktu tahan pakan didalam saluran pencernaan, terutama didalam reticulo-rumen merupakan fungsi dari tingkat konsumsi pakan dan kapasitas saluran pencernaan. Peningkatan konsumsi pakan mengakibatkan laju pelepasan pakan didalam saluran pencernaan meningkat, atau dengan kata lain waktu tahan menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan kecernaan pakan menurun. Waktu tahan pakan pada kambing dilaporkan lebih lama dibandingkan dengan domba (DEVENDRA, 1981; LOUCA et al., 1982). Perbedaan waktu tahan terdapat juga antara bangsa kambing. Pada bangsa kambing yang hidup di daerah beriklim kering (arid) waktu tahan pakan lebih lama dibandingkqan dengan bangsa di daerah beriklim sedang (LOUCA et al. (1982). Adaptasi Pakan Berprotein Rendah Ternak ruminansia memiliki mekanisme konservasi N dengan menghambat N yang hilang akibat eksresi dan sekeresi N dari tubuh, dan memacu daur ulang (recycling) N kedalam reticulorumen. Daur ulang N kedalam reticulo-rumen dapat terjadi melalui insalivasi, namun yang utama sebenarnya adalah akibat difusi secara langsung dari darah melalui dinding rumen. Penelitian HOUPT and HOUPT (1968) menunjukan bahwa permeabilitas dinding rumen terhadap senyawa urea dan ammonia jauh lebih tinggi pada kambing dibandingkan domba. Daur ulang N yang lebih tinggi pada kambing dibandingkan dengan domba juga terjadi akibat tingkat sekresi saliva per kg bahan kering pakan dikonsumsi yang lebih tinggi pada kambing (SETH et al., 1976; NARJISSE et al., 1995). Perbedaan tingkat daur ulang N juga terjadi antar bangsa kambing, dan lebih tinggi pada bangsa kambing dengan habitat kering (SILANIKOVE et al., 1980). Namun, perbedaan ini tidak terdeteksi, apabila diberi pakan dengan kandungan protein tinggi (SILANIKOVE et al., 1980; CHOSHNIAK and ARNON, 1995). Pada penggunaan pakan berprotein rendah, peristiwa daur ulang N berperan sangat penting dalam menyumbang ketersediaan N bagi kebutuhan
71
Lokakarya Nasional Kambing Potong
mikrobia rumen untuk mencerna pakan secara fermentatif. Penelitian ENGELHARDT and HINDERER (1976) pada kambing menunjukan bawa penggantian pakan (kandungan N tinggi) dengan pakan (kandungan N rendah) mengakibatkan peningkatan 400% transfer urea kedalam reticulorumen dari darah. Pada saat yang sama, transfer urea ke usus besar menurum tajam dari 8% menjadi 1% dari total transfer urea kedalam sistim saluramn pencernaan. Informasi ini mempertegas pentingnya daur ulang N dalam mengatasi bahan pakan berprotein rendah. Metabolisma Air Konsumsi air yang tinggi akan memacu laju pelepasan pakan didalam saluran pencernaan, disamping akan mengakibatkan pula semakin rendahnya konsentrasi mikrobia per unit volume cairan rumen. Kedua hal ini dapat memacu penurunan tingkat kecernaan pakan. MOUALEM et al. (1990) mengamati adanya hubungan negatif antara konsumsi air dengan kecernaan pakan berserat tinggi, baik pada kambing dengan habitat kering (kambing Bedouin) maupun pada kambing dari daerah beriklim sedang (kambing Mamber). CUDEFORD dan DE WAARD (1981) dan GIHAD (1980) mengamati bahwa konsumsi air pada kambing lebih rendah dibandingkan dengan domba. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab lebih tingginya tingkat koefisien cerna pakan pakan pada kambing. Peranan penting reticulo-rumen sebagai organ penampung airmerupakan cara adaptasi oleh kambing didaerah beriklim kering (SHKOLNIK, 1992). Peran sebagai penampung air oleh reticulorumen akan memperlambat laju alur cairan rumen yang berakibat kepada 1) semakin banyak waktu tersedia bagi kontak antara mikrobia dengan digesta, dan 2) semakin lama waktu tahan partikel pakan didalam reticulo-rumen terutama partikel berukuran kecil yang biasanya melaju bersama cairan rumen. Kedua peristiwa tersebut akan memacu peningkatan kecernaan pakan. METODOLOGI EVALUASI DAN PENGEMBANGAN PAKAN LOKAL Pengembangan suatu bahan agar layak secara teknis dan ekonomis digunakan sebagai alternatif baru pakan membutuhkan serangkaian langkah analisis (Gambar 1). Langkah awal adalah observasi dan identifikasi secara kuantitas dan logistik (pola ketersediaan, distribusi dan sentra produksi). Analisis kimiawi diperlukan untuk
72
mengevaluasi profil kandungan zat gizi, dan mengindetifikasi klasifikasinya sebagai seumber nutrisi tertentu (protein, energi, mineral). Sifat fisik yang perlu dievaluasi antara lain adalah keambaan, kapasitas mengikat kation, karakter serat, ukuran partikel. Karakter fisik ini diperlukan terutama dalam pengembangan pakan komplit komersial yang membutuhkan karakter fisik tertentu untuk menghasilkan tekstur pelet yang baik. Untuk bahan pakan lokal, informasi karakter fisik masih sangat terbatas sementara kecenderungan menggunakan pakan komplit diperkirakan akan semakin kuat diwaktu yang akan datang. Evaluasi profil asam amino dan studi fisiologis pencernaan dan metabolisma diperlukan untuk melihat potensi nutrisi secara lebih mendasar dan secara in vivo. Rangkaian analisis tersebut akan bermuara kepada optimasi penggunaan bahan, baik sebagai pakan dasar maupun suplemen atau komponen konsentrat. Analisis optimasi akan menghasilkan informasi ada tidaknya faktor penolakan (rejection) oleh ternak. Informasi ini akan menuntun ke arah evaluasi kemungkinan adanya faktor anti nutrisi atau faktor fisik yang memerlukan penanganan tertentu atau perlunya suplementasi khusus agar nutrien yang tersedia secara kuantitatif cukup dan secara proporsional seimbang. Langkah berikutnya adalah evaluasi performans pada skala laboratorium, dan selanjutnya divalidasi di lapang dalam skala yang lebih besar. Validasi lapang sudah mencakup analisis ekonomis dengan formulasi ransum yang efisien dan kompetitif. Industri agro merupakan salah satu sumber bahan pakan alternatif yang potensial. Oleh karena itu dalam proses pengembangan suatu jenis pakan baru akan menjadi efektif apabila produsen bahan turut disertakan dalam rangkaian kegiatan analisis tersebut. Tergantung kepada minat dan interest mitra, maka keterlibatan produsen paling tidak sudah terlihat pada tahap analisis optimasi pada skala laboratorium. Pendekatan ini akan mempercepat proses pengembangan produk ke pasar setelah hasil penelitian menunjukan prospek yang baik. Dalam mengembangkan pakan alternatif sangat penting melihat kemungkinan penggunaan bahan selain untuk pakan. Banyak bahan hasil sisa, produk samping atau limbah tanaman dan industri agro dapat digunakan untuk keperluan lain yang mungkin saja lebih ekonomis dibandingkan sebagai pakan ternak. Beberapa kemungkinan penggunaan non pakan adalah 1) materi perbaikan kondisi tanah (kesuburan, aerasi, infiltrasi dan penyimpanan air), 2) materi proses konversi biologis (lingo-selulosa)
Lokakarya Nasional Kambing Potong
untuk menghasilkan ethanol dari bahan sisa tanaman dengan kandungan serat tinggi. Proses ini masih mengalami kendala dalam hal biaya tinggi terutama untuk menghasilkan ensim pemecah serat, disamping kandungan senyawa karbon-5 yang relative tinggi, sehingga sulit difermentasikan
menjadi ethanol (HAHN-HAGERDAL et al., 1988), dan 3) penggunaan sisa tanaman sebagai bahan bakar untuk pemanas seperti boiler dalam bebagai industri yang semakin meningkat (KUMAR et al., 2002).
Observasi dan Identifikasi : Kuantitas dan logistik
Koleksi Sampel
Analisis Kimiawi
Analisis Fisik
Analisis Proksimat
Sistim Deterjen
Evaluasi Sumber Protein
Profil Asam Amino
Profil Mineral
Keambaan
Studi Fisiologis Pencernaan; Mikrobiologi rumen; Metabolisma
Evaluasi Sumber Energi
Evaluasi Kecernaan
KPK
Evaluasi Konsumsi
Optimasi Level Penggunaan
Evaluasi Penolakan/Pembatas
Anti Nutrisi
Prosesing
Suplementasi
Uji Performan : Laboratorium
Uji Performan : Lapang
Tingkat Performan;Formulasi ransum; Evaluasi Nutisi; Evaluasi ekonomik
Status Bahan Pakan Alternatif Gambar 1. Skema pengembangan dan evaluasi pakan alternatif
73
Lokakarya Nasional Kambing Potong
PENELITIAN KEDEPAN
Agriculture Byproducts to Livestock in Africa. ILCA, Addis Ababa. Hal. 124-128.
Kecenderungan akan kebutuhan pakan komplit bagi ternak ruminansia, termasuk kambing dapat diterima dilihat dari aspek ekonomis dan teknis, terutama untuk skala usaha komersial yang sangat intensif. Namun, penggunaan pakan komplit secara patologis berpotensi menimbulkan kasus asidosis. Dalam konteks ini tingkat kapasitas penyangga (buffering capacity) bahan pakan penting dalam mencegah kasus tersebut diatas. Untuk mengetahui kapasitas penyangga suatu bahan pakan diperlukan informasi selain kimiawi (kandungan protein dan pati), juga fisik seperti kapasitas mengikat air dan tekanan osmotik internal bahan. Informasi fisik tersebut kelihatannya masih sangat terbatas untuk bahan pakan lokal. Pembuatan pakan komplit (pelet) komplit dalam bentuk pelet dengan bahan baku utama bahan lokal berupa limbah, hasil sisa atau sampingan tanaman dan industri agro menuntut adanya teknologi prosesing (pembuatan pelet) yang lebih spesifik untuk menghasilkan tekstur pakan yang optimal. Untuk itu dibutuhkan informasi mengenai karakter fisik bahan lokal yang masih sangat terbatas seperti ukuran partikel, karakter kehalusan atau kekasaran (coarseness) partikel, kekompakan bahan, karakter serat, keambaan, karakter uniformitas (komposisi partikel halus, sedang dan kasar).
BEG, S., S.I.JAFAR, and F.H. SHAH. 1986. Rice husk biodegradation by Pleurotus ostreatus to produce a ruminant feed. Agric. Wastes 17:15-21.
DAFTAR PUSTAKA
CUDDEFORD, D, and T. DE WAARD. 1981. Effect of urea supplementation on intake and utilization of a diet composed of whole barley and barley straw by immature goats and sheep. In: P.Morand Fehr, A. Bourbouze and M. de Simiane (Eds.) International Symposium on Nutrition and Systems of Goat Feeding. Vol. I. Tours, France. p160-167.
ABATE, A., and E. PFEFFER. 1986. Changes in nutrient intake and performance by goats fed coffee pulpbased diets followed by a commercial concentrate. Anim. Feed Sci and Technol. 14:1-10 ABDUL RAHMAN, M.Y., H.K. WONG, H. ZAINI, and H. SHARIF. 1989. Preliminary observation on the alleviation of copper in sheep fed with palm kernel meal based diet. Pro. 12th Conf. MSAP pp. 75-78 AGOSIN, E., J.J. DAUDIN, and E. ODIER. 1985. Screening of white rot fungi on (14C)lignin-labelled and (14C)whole-labelled wheat straw. Appl. Microbiol. Biotechnol.22:132-138 AGOSIN, E., G.L.R. GORDON, and J.P. HOGAN. 1986. Funggal pretreatment of wheat straw: Effects on the biodegradability of cell wall, structural polysaccharide, lignin and phenolic acids by rumen microorganism. BANDA, J.L.L., dan J.A. AYOADE. 1986. Leucaena leaf hay (leucaena leucocephala cv Peru) as protein supplement for Malawi goats fed chopped maize stover. Proc. towards Optmal feeding of
74
BELITZ, H.D., and W. GROSCH. 1986. Fooed Chemistry. Springer Verlag. Berlin. BERGER, L.L., G.C. FAHEY, JR., L.D. BOURQUIN, and E.C. TITGEMEYER. 1994. Modification of Forage Quality After Harvest. In: G.C. Fahey Jr. (Ed.) Forage Quality, Eval;uation, and Utilization. American Society of Agronomy, Inc., Crop Science of America, Inc., Soil Science Society of America, Inc. Madiso, Wisconsin, USA. P922-952. BETI, Y.A., A. ISPANDI, dan SUDARYONO. 1990. Sorghum. Monografi No. 5. Balai Penelitian Tanaman Pangan.Malang. BOUCQUE,CH.V., and L.O. FIEMS. 1988. Vegetable ByProducts of Agro-Industrial Origin. Livest. Prod. Sci. 19: 97-135. BRODY, S. 1945. Bioenergetics and Growth. Reinhold Publishing Co.New York CHESSON, A. 1993. Mechanistic model of forage cell wall degradation. In: H.G. Jung, D.R. Buxton, R.D. Hatfield, and J. Ralph (Eds.) Forage Cell Wall Structure and Digestibility. American Society of Agronomy. Hal 348-371 CHOSNIAK,I., H. ARNON. 1985. Nitrogen metabolism and kidney function in the Nubian Ibex (Capra Ibex nibiana) Comp. Biochem. Physiol. 82A:137-139.
DEMMENT, M.W., and. P.J. VAN SOEST. 1983. Body size, digestive capacity and feeding strategies of herbivores/ Winrock International Livestock Research and Training Centre. Petit Jean Mountain, Morrilton, AR USA. DEVENDRA, C. 1982.Tree leaves for feeding goats in the humid tropics. DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI TANAMAN HORTIKULTURA. 2003. Statistik Hortikultura. DONKOH, A., C.C. ATUAHENE, A.G. KESE, and B. MENSAH-ASANTE. 1988. The nutritional value of dried coffee pulp (DCP) in broiler chickens;diets. Anim. Feed Sci. Technol. 22:139-146. ENGELHARDT, V.W., and S. HINDERER. 1976. Transfer of blood urea into the goat colon. In Tracer Studies on Non-Protein Nitrogen for Ruminants. III.
Lokakarya Nasional Kambing Potong
International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria, pp. 57-58. ENGEHARDT, V.W. 1981. Some Physiologycal Aspects on the Digestion of Poor Quality, Fibrous Diets in Ruminants. Agricultural and Environment 6:145152. FAHEY, JR, G.C., L.D. BOURQUIN, E.C. TITGEMEYER, and D.G. ATWELL.1994. Postharvest Treatment of Fibrous Feedstuffs to Improve Their Nutritive Value. In:H.G. Jung, D.R. Buxton, R.D. Hatfield, and J. Ralph (Eds.) Forage Cell Wall Structure and Digestibility. American Society of Agronomy, Inc., Crop Science of America, Inc., Soil Science Society of America, Inc. Madiso, Wisconsin, USA. P715-766. GELAYE,S., E.A. AMOAH, dan P. GUTHRIE. 1990. Performances of yearling goats fed alfalfa and florigraze rhizome peanut hay. Small Rum. Res. 3:353-361 GIHAD, E.A. 1981. Utilization of poor forages by goats. In: P.Morand Fehr, A. Bourbouze and M. de Simiane (Eds.) International Symposium on Nutrition and Systems of Goat Feeding. Vol. I. Tours, France. p 263-271.
HAIR-BEJO, M., and A.R. ALIMON. 1995. The protective role of zinc in palm kernel cake (PKC) toxicity in sheep. Mal. J. Nutr.1: 75-82. HANDAYANI, S.W., S.P. GINTING,dan P.P. KETAREN. 1987. Effects of supplementation of palm mill effluent to sheep fed basal diets of native grass. In: R.I. Hutagalung, C.C. Peng, Wan M Embong, L.A. Theem dan S. Sivarajasingam (Eds.) Advances in Animal feeds and Feeding in the Tropics. Proc. 10th Annual Conc. Of the malysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. Hal. 245-249 HARYANTO,B., W.L.JOHNSON, and N. THOMAS. 1982. Intake preferences for cassava, sweet potato, banana and napier grass foliage by Indonesian sheep and goats. 3rd Int. Conf. on Goat Production and Disease. Tucson, Arizona, USA.Hal. 279. R.R. 1988a. Morphophysiological HOFMANN, evolutionary adaptations of the ruminant digestive system. In: A.Dobson and M.J. Dobson (Eds.) Aspects of Digestive Physiology in Ruminants. Proc. of a Sattelite Symposium of the 30th International Congress of the International Union of Physiological Sciences. Itacha, New York. July 21-23 1986. Comstock Publishing Associates. Hal.1-20
GINTING, S.P., ANDI TARIGAN, L.P. BATUBARA, R. KRISNAN dan JUNJUNGAN. 2004. Pemanfaatan limbah industri pengolahan sayur lobak (Raphanus sativa) sebagai pakan kambing. Paper dipresentasikan pada Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 4-5 Agustus 2004.
HOUPT,T.R., and K.A. HOUPT. 1968. Transfer of urea nitrogen across the rumen wall. American J. Physiol. 214:1296-1303.
GINTING, S.P., L.P. BATUBARA, ANDI TARIGAN dan JUNJUNGAN. 2003. Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Markisa (Kulit Buah dan Biji) sebagai Pakan kambing. Laporan Hasil Penelitian. Loka Penelitian Kambing Potong.
JALALUDIN, S., Z.A. ZELAN, N. ABDULLAH, and Y.W. HO. 1991. Recent developments in the oil palm byproduct based ruminant feeding system. In: Y.W.Ho, H.K. Wong, N.Abdullah, and Z.A.Tajuddin (Eds.) Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. MSAP pp.35-44.
GOMEZ, G., M. VALDIVISO, D.DE LA CUESTA, and T.S. SALCEDO. 1984. Effect of variety and plant age on the cyanide content of whole root cassava chips and its reduction by sun-drying. Anim. Feed Sci. Technol. 11:57-65. GUNTORO, S., M.R. YASA, RUBIYO dan NY. SUYASA. 2004. Optimalisasi integrasi usaha tani kambing dengan tanaman kopi. Paper dipresentasikan pada Seminar dan Ekspose Nasional Sistim Integrasi Tanaman-Ternak. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, BPTP Bali dan CASERN. Denpasar, 20-22 Juli 2004 HADJIPANAYIOTOU, M. 1984. The value of urea-treated straw in diets of lactating goats. Anim. Feed Sci. Technol. 11:67-74 HAHN-HAGERDAL, B., F. TJERNELD, and G. ZACCHI. 1988. Production of ethanol from lignocellulosic materials. Anim. Feed Sci. Technol. 21:175-182.
ISTIRAHAYU, D.N. 1993. Pengaruh penggunaan ampas the dalam ransum terhadap persentase karkas, giblet, limpa dan lemak abdominal broiler. Tesis. Fakultas PeternakanIPB Bogr.
KERLEY, M.S., G.C. FAHEY JR., L.L. BERGER, N.R. MEWRCHEN, and J.M. GOULD. 1985.Effecyts of alkaline hydrogen peroxide treatment unlock energy in agricultural by-products. Science, 230:820 KEWALRAMANI, N., D.N. KAMRA, D. LALL, and N.N. PATHAK. 1988. Bioconversion of sugarcane bagasse with white –rot fungi. Biotechnol. Lett. 10: 369-372. KLEIBER, M. 1961. The Fire of Life. Wiley, New York. KONDO, M., K. KITA, and H. YOKOTA. 2004. Feeding value to goats of whole-crop oat ensiled with green tea waste. Anim. Feed Sci. Technol. 113: 71-81 KRISNAN, R. 2002. Pengaruh pemberian ransum mengandung ampas the (Camellia sinensis) produk fermentasi Aspergillus niger terhadap pertambahan bobot badan dan efisiensi protein pada ayam
75
Lokakarya Nasional Kambing Potong
broiler. Skripsi.Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran, Sumedang. KUMAR, A., P. PUROHIT, S. RANA, and T.C. KANDPAL. 2002. An approach to the estimation of the value of agricultural residues used as biofuels. Biomass and Bioenergy 22:195-203. LARBI, A., D.D. DUNG, P.E. OLORUNJU, J.W. SMITH, R.J. TANKO, I.R. MUHAMMAD, and I.O. ADEKUNLE. 1999. Grounnut (Arachis hypogaea) for food and foder in crop-livestock systems: forage and seed yield, chemical composition and rumen degradation of leaf and stem fraction of 38 cultivars. Anim. Feed Sci, Technol. 77:33-47. LATIF, A.T., and C.L. JOHANA. 1994. Feeding cocoa leaf to Kacang Goat. In: Sustainable Animal Production and the Environment. Proc. 7th AAP Animal Science Congress, Bali July11-16. P.195-196 LIWANG, T. 2003. Palm oil mill effluent management. Burotrop 19:38. LOUCA, A, T. ANTONIOU, M. HATZIPANAYIOTOU. 1982. Comparative Digestibility of Feedstuffs By Various Ruminants, Specifically Goats. Proc. 3rd International Conference on Goat Production and Disease. Tucson, Arizona USA College of Agriculture, The University of Arizona. p.122132. MARQUEZ, G.H., 1982. Nutritive value of goat diets under semi-tropical conditions in Southern Mexico.Proc. 3rd Int. Conf. on Goat Production and Disease. Tucson, Arizona, USA.Hal. 281. MOLINA, M.R., G. DE LA FUETA, M.A. BATTEN, and R. BRESSANI. 1974. Decaffeinatyion: a process to detoxify coffee pulp. J. Agric. Food Chem. 22:1055-1059. MOUALEM, R., I. CHOSNIAK and A. SHKOLNIK. 1990. Environmental heat load, bioenergetics and water economy of two breeds of goats: The Mamber goat versus the desert Bedouin goat. Wld. Rev. Anim. Prod. 25:91-95. NARJISSE, H., M.A. EL HONSALI, J.D. OLSEN. 1995. Effect of oak (Quercus ilex) tannins on digestion and nitrogen balance in sheep and goats. Small Rumin. Res. 18:201-206. NIINO-DUPONTE, R.Y. dan J.R. CARPENTER. 1981. In vivo and in vitro digestibility studies of several tropical browse and forage plants by goats. (Capra hircus). Proc. West. Sect. Am.Soc.Anim.Sci. 32: 192-195. OGUANG, B.H., dan S.K. KARUA. 1996. The effect of supplement of crop residues and agro-industrial byproducts on the growth performances of Swazi goats. In: S.H.B. Lebbie and E. Kagiuni (Eds.) Small Ruminant Research and Developmentr in Africa. Proc. 3th Biennial Conference of the African Small Ruminant Research Network. ILRI, Nairobi. Kenya.
76
QUIROZ, R.A., D.A. PEZO, D.H.REARTE, and F. SAN MARTIN. 1997. Dynamics of Feed Resources in Mixed Farming Systems of Latin America. In: C. Renard (Ed.) Crop Residues in Sustainable Mixed Crop/Livestock Farming Systems. CAB International. P 149-180. POND, K.R., M.D. SANCHEZ, P/M. HORNE, R.C. MERKEL, L.P. BATUBARA, T. IBRAHIM, S.P. GINTINGF, J.C. BURN, and D.S. FISHER. 1994. Improving feeding Strategies for Small Ruminants in the Asian Region. In: Subandryio ansd R.M. Gatenby (Eds.) Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and the Pacific. SR-CRSP and Indonesian Society of Animal Production,Bali. P 77-94 POYYAMOZHI, V.S., and R. KADIRVEL. 1986. The value of banan stalk as a feed for goats. Anim. Feed Sci. Technol. 15:95-100. PULUNGAN, H., M. RANGKUTI, T.HG. ERLINAWATI, dan T. RUSTANDI. 1989. Pengaruh berbagai tingkat pemberian kulit buah cokelat dalam ransum ternak domba. Ilmu dan Peternakan. Balai Penelitian Ternak bogor. 3:161-164. PURBA, A., S.P. GINTING, Z. POELOENGAN, K. SIMANIHURUK dan JUNJUNGAN. 1997. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. J. Penel. Kelapa sawit. 5 (3): 161-177. ROJAS, J.B.U., J.A.J.VERRETH, J.H. VAN WEERD, and E.A. HUISMAN. 2002. Effect of different chemical treatments on nutritional and antinutritional properties of coffee pulp. Anim. Feed Sci. Technol. 99: 195-204. ROLZ, C.,R. DE LEON, M.C. DE ARRIOLA, and DE CABRERA. 1986. Biodelignification of the lemon grass and citronella bagasse by white-rot fungsi. Appl. Environ. Microbiol. 52:607-611 ROXAS, D.B., M. WANAPAT, and MD. WINUGROHO. 1997. Dynamics of Feed Resources in Mixed Farming Systems in Southeast Asia. In: C. Renard (Ed.) Crop Residues in Sustainable Mixed Crop/Livestock Farming Systems. CAB International. P 101-130 SETH, O.N., G.S. RAI, P.C.YADAR, and M.D. PANDEY. 1976. A note on the rate of secretion and chemical composistion of parotid saliva in sheep and goats. Indian. J. Anim. Sci. 46:660-663. SILANIKOVE,N., H. TAGARI, and A. SCHKOLNIK. 1980. Gross energy digestion and urea recycling in the desert black Beduin goat. Comp.Biochem. Pysiol. 67A:215-218. SILANIKOV, N., A. PEREVOLOTSKY, and F.D. PROVENZA. 2001. Use of tannin-binding chemicals to assay for tannin and their negative postingestive effects in ruminants. Anim. Feed Sci. Technol. 91:69-81. SIRAPPA, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorghum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk
Lokakarya Nasional Kambing Potong
pangan, pakan dan industri. J. Penel. Pengemb. Pert.4:133-140. SMITH, O.B. 1985. The economics and the feasibility of feeding cocoa-pod to ruminants. World Rev. Anim. Prod. 20:61-66. SMITH, O.B., and A.A. ADEGBOLA. 1985. Studies on the feeding value of agro-industrial by-products. III. Digestibility of cocoa-pod andcocoa-pod-based diets by ruminants. Anim. Feed Sci. Technol. 13:249-254. SHKOLNIK, A. 1992. Digestive efficiency: Significance of body size and of adaptation to a stressful environment. In: R.M. Acharya (Ed.) PreConference Proceedings Invited Papers Vol. II, Part I. V International Conference on Goats. Indian Council of Agricultural Research, New Delhi, India. pp.255-260. SOEYONO,M., M.D. AREUBI, SOEDOMO, dan H. HARTADI. 1984. Penggunaan Pleurotus Sp. Untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi sebagai pakan domba. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Domba dan Kambing diIndonesia. Puslitbangnak, Bogor. hlm. 28-31 SUBARINOTO dan HERMANTO. 1996. Potensi jerami sorghum sebagai pakan ternak ruminansia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorghum untukPengembangan Agroindustri. 17-18 Januari 1985. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996. 217-221 TANGENJAYA, B, dan GUNAWAN. 1996. Jagung dan limbahnya untuk makanan ternak. Dalam Jagung. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan , Bogor. Hal. 349-378.
TOLKAMP, B.J., and B.O. BROUWER. 1993. Statistical review of digestion in goats compared with other ruminants. Small Rumin. Res. 11:107-123. VALVELOO, J. 1986. The effect of alkali treatment of straw and dried palm-oil sludge on the intake and performance of goats of varying genotype. Agric. Wastes 18: 233-245. VAN, D.T.T., I.LEDIN, ans NG. T. MUI. 2002. Feed intake and behaviour of kids and lambs fed sugar caneas the soleroughage with or without concentrate. Anim. Feed Sci. Technol. 100: 79-91 VAN SOEST, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. O and B Books, Corvallis, Oregon. VISWANATHAN, K., R. KADIRVEL, and D. CHANDRASEKARAN. 1989. Nutritive value of banana Stalk (Musa cavendishi) as a feed for sheep. Anim. Feed Sci. Technol. 22:327-332. WRATHALL, J.H.M., E.OWENS, and D.J. PIKE. 1989. Upgrading barley straw for goats: The effectiveness of a sodium hydroxide and urea dip method. Anim. Feed. Sci. Technol. 24:57-67. YADAV, J.S. 1987. Influence of nutritional supplementation onsolid-substrate fermentation of wheat straw with an alkaliphilic white rot-fungus (Coprinus sp.). Appl.Microbiol. Biotechnol. 26:474-478. ZADRAZIL, F., M. DIEDRICHS, H. JANSSEN, F. SCUCHARDT, and J.S. PARK. 1990. Large scale solid-state fermentation of cereal straw with Pleurotus spp. In: M.P Coughlan and M.T.A Collaco (Eds.) Advances in Biological Treatment of Lignocellulosic Materials. Appl. Sci. Publ., London. P 43-58. ZADRAZIL, F., J. GRINBERGS, and A. GONZALES. 1982. :Palo podrido”-decomposed wood which was used as feed. Eur. J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 15:167-171
77