Lokakarya Nasional Kambing Potong
TANTANGAN DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KAMBING MELALUI INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI I-KETUT SUTAMA Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, PO Box. 221 Bogor
PENDAHULUAN Perkembangan populasi ternak kambing di Indonesia selama kurun waktu 1997-2001 menunjukkan angka penurunan yang cukup memprihatinkan (Tabel 1). Penurunan populasi ini sebahagian disebabkan semakin terdesaknya lahan pendukung kehidupan ternak dalam penyediaan pakan akibat pertambahan penduduk yang semakin pesat. Penyebaran ternak kambing di Indonesia berhubungan dengan penyebaran penduduk. Di Pulau Jawa jumlah penduduk dan populasi ternak tinggi, sementara lahan yang tersedia semakin terbatas. Secara biologis ternak kambing dapat beradaptasi baik pada berbagai wilayah agroekosistem, sehingga pengembangan ternak kambing diluar pulau Jawa sangat memungkinkan Tabel 1. Populasi Ternak kambing di Indonesia Tahun 1997
Populasi (ekor) 14.162.547
Penurunan populasi (%) -
1998
13.560.449
-4.25
1999
12.701.373
-6.34
2000
12.565.569
-1.07
2001
12.456.402
-0.87
2002
13.044.938
+4.72
Sumber:DIREKTORAT JENDERAL BP PETERNAKAN (2002).
Pemeliharaan ternak kambing di Indonesia hampir seluruhnya dilakukan oleh petani kecil di pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pemilikan ternak kambing diberbagai daerah berkisar 3-10 ekor/petani (PAAT et al., 1992; SUTAMA et al., 2002b), sehingga sulit diharapkan dapat berperan sebagai sumber penghasilan pokok bagi petani. Karena sifatnya sebagai usaha sampingan, maka cara pemeliharaannya masih sederhana, umumnya kombinasi antara dikandangkan dan digembalakan tergantung dari ketersediaan lahan tempat penggembalaan. Pada daerah-daerah pertanian sistem intensif, ternak kambing selamanya berada didalam kandang, sehingga pemenuhan kebutuhan pakannya
dilakukan dengan sistem potong angkut (cut and carry systems). Dilihat dari aspek biologis, ekonomi dan sosialbudaya masyarakat, pengembangan ternak kambing di Indonesia mempunyai prospek yang cukup menggembirakan mengingat: a. Secara biologis ternak kambing cukup produktif dan adaptif dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga memudahkan pengembangannya. Pengembangan ini dapat lebih diarahkan keluar Jawa mengingat besarnya sumberdaya alam di daerah-daerah tersebut; b. Permintaan akan daging kambing dan domba dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dari pangsa pasar daging kambing/domba yang ada, baru sekitar 40% yang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Disamping itu permintaan akan kambing/domba hidup dari Arab Saudi (Timur Tengah), dan Malaysia belum dapat dipenuhi oleh Indonesia. Demikian pula halnya dengan permintaan akan susu kambing semakin berkembang di beberapa kota besar di Indonesia. Padahal produksi susu kambing di Indonesia masih terbatas. Susu kambing diyakini dapat membantu penyembuhan gangguan kesehatan seperti ashma, TBC, maag dan juga dapat sebagai susu pengganti bagi orang yang mempunyai gangguan pencernaan jika mengkonsumsi susu sapi (JENSEN, 1994); c. Ternak kambing dapat diterima oleh masyarakat lintas suku, agama dan budaya (adat istiadat) setempat. Mengingat besarnya peran ternak kambing bagi kehidupan masyarakat tani di pedesaan perlu dilakukan upaya peningkatan produktivitasnya usahatani petani jadi lebih produktif dan efisien. Berbagai pendekatan dapat ditempuh, dan masalah reproduksi, yang menjadi fokus bahasan pada makalah ini, menjadi bagian yang cukup penting yang perlu ditangani dalam menjawab permasalahan menurunnya populasi ternak dan relatif rendahnya produktivitas kambing di Indonesia.
51
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Bagi praktisi peternakan (peternak dan penyuluh) sering dihadapkan kepada masalahmasalah bilogis yang perlu segera di atasi. Pemahaman dasar-dasar ilmu peternakan sangat diperlukan, termasuk manajemen usaha peternakan agar diperoleh efisiensi produksi yang tinggi. Beberapa parameter reproduksi pada ternak kambing yang perlu diketahui tertera pada Tabel 2.
Tes Kebuntingan 1.
2. a. b.
REPRODUKSI KAMBING BETINA Deteksi Birahi
c.
1.
d.
2.
3.
4.
5. a. b. c. d.
Tingkah laku seksual agak tertekan (tidak terekspresikan penuh) bila tidak ada ternak jantan (pejantan); Pejantan adalah paling baik dalam mendeteksi tanda-tanda birahi. Bila seekor jantan diintroduksi dalam suatu kelompok betina yang sebelumnya terisolasi dengan pejantan, maka kambing betina tersebut akan menunjukkan tanda birahi 2–8 hari setelah introduksi; Masa pro-estrus 1 hari, dimana pada saat ini jantan akan mengikuti betina namun betina belum mau untuk dinaiki/dikawini; Alat kelamin kelihatan agak membengkak, memerah, lembab, ekor digoyang-goyangkan, sering terdiam tak bergerak dan mengembik. Pada pemeriksaan vagina dengan alat bantu speculum akan terlihat: Awal birahi mukosa vagina memerah, lembab dan sedikit ada mucus/cairan. Pertengahan masa birahi terdapat sejumlah mucus bening Akhir berahi, mucus putih. Bila dikawinkan secara IB/alam, lakukan perkawinan saat mucus putih nampak atau 12– 36 jam setelah onset birahi.
Umumnya kambing cukup prolifik dengan anak 2 adalah umum terjadi, kecuali pada kambing yang baru pertama kali beranak. Cara menentukan kebuntingan antara lain Tidak menunjukkan siklus birahi kembali setelah kawin Menggunakan alat ultrasonography minimal 30 hari setelah kawin. Test progesteron setelah hari ke-50 dari kebuntingan. Palpasi perut bagian bawah belakang
Manipulasi Siklus Birahi Bagi peternak yang sudah menerapkan prinsipprinsip agribisnis terutama bagi peternak kambing perah akan sangat merasa nyaman jika mereka dapat berproduksi sepanjang tahun. Oleh karenanya manipulasi siklus birahi sering dilakukan dan ini sering disebut dengan istilah sinkronisasi birahi. Beberapa hal yang perlu diketahui sebelum melakukan manipulasi siklus birahi: 1. Kambing lokal Indonesia siklus sepanjang tahun 2. Jangan mengawinkan ternak sebelum mencapai berat badan kira-kira 65% dari berat dewasa. Berat dewasa kambing Kacang 20 – 30 kg, kambing PE 35 – 45 kg. 3. Respon ternak terhadap obat untuk manipulasi siklus birahi sangat beragam tergantung jenis obat yang dipakai, berat badan, umur, fase siklus birahi, dan pada daerah yang mempunyai 4 musim (daerah temperate) musim juga berpengaruh dan respon yang terbaik diperoleh pada musim gugur (autum).
Tabel 2. Beberapa parameter reproduksi kambing yang perlu diketahui Parameter reproduksi Tipe siklus birahi Panjang siklus birahi Lama birahi Lonjakan sekresi LH (LH surge) Ovulasi Waktu kawin yang optimal Lama bunting Sumber hormon progesteron selama kebuntingan Tipe plasenta Umur pubertas
52
Rataan (kisaran) Polyestrus dan tidak terpengaruh musim 21 hari (18-24 hari) 36 jam 3-6 jam setelah onset birahi 12-24 jam setelah lonjakan LH atau 30-36 jam setelah onset birahi 24-36 jam setelah onset birahi 150 hari (147-155 hari) Corpus luteum Kotiledon 6-8 buah
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tabel 3. Pertumbuhan anak kambing Kacang, PE, Boer dan persilangannya ROMJALI et al. (2001)
SETIADI et al. (2000; 2001)
SUTAMA et al. (2003)
Parameter
Boer
Boer x Kc
PE x Kc
Boer x Kc
KcxKc
Boer x PE
PE x PE
Berat lahir (kg)
2.62
2.22
2.04
2.42
2.14
3.86
3.68
Berat sapih (kg)
10.50
7.69
5.20
13.02
7.67
12.43
10.78
PBBH pra sapih (g)
87.60
60.10
35.20
117.8
73.3
94.09
78
Berat umur 6-8 bl (kg)
-
-
-
18.7-21.4
-
19-23
17-21
Berat umur 12 bl (kg)
-
-
-
28.9
-
27-32
25-29
Teknik Manipulasi Siklus Reproduksi a.
b.
c.
Efek pejantan; harus diawali dengan pemisahan/isolasi total (fisik, bau, suara, pengelihatan) dalam waktu yang cukup lama (3–4 minggu). Birahi pertama yang terjadi biasanya banyak yang infertil; Treatment dengan progestin 12–14 hari sebelum introduksi pejantan akan mencegah infertilitas pada birahi pertama tersebut; Menggunakan perlakuan hormonal untuk sinkronisasi birahi seperti progestin, PGF2α, baik dengan atau tanpa PMSG. Penggunaan prostaglandin akan lebih efektif pada ternak yang siklus.
h.
Intersexuality–karena pengaruh gen tertentu. Penampilan ternak ini sangat beragam dari yang hampir seperti jantan normal sampai betina normal. Penampilan yang umum terlihat adalah betina muda tidak bertanduk tidak pernah birahi tetapi sering menggangu betina lainnya (pseudohermaprodit)
Keguguran (Abortus) a.
Pengaruh nutrisi: antara lain karena defisiensi vitamin A yang kronis, defisiensi mangan (Mn) dan jodium, infeksi cacing hati. b. Infeksi: Brucellosis, Leptospirosis, Listeriosis, Salmonellosis, Toxoplasmosis.
Infertilitas
Kelahiran
Secara umum ternak kambing jarang yang infertil. Kambing dilaporkan ternak yang paling tinggi tingkat reproduksinya di antara ternak ruminan (LE BLANC, 1993). a. Infertilitas sering terjadi karena kegagalan deteksi birahi. Pejantan adalah detektor birahi terbaik. Perhatikan tanda-tanda birahi yang muncul; b. Kondisi pakan yang sangat buruk dalam waktu yang lama; c. Pada ternak yang birahi musiman, infertilitas sering terjadi pada perkawinan diluar musim kawin; d. Pejantan yang infertil; e. Kegemukan juga dapat mengakibatkan infertil. Menurunkan berat badan dengan mengurangi konsumsi pakan dapat membantu memperbaiki fertilitas; f. Kebuntingan palsu–ternak kelihatannya seperti bunting tetapi tidak melahirkan anak; g. Melalui USG dapat diketahui adanya cairan pada uterus. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Ternak lebih baik di singkirkan (culling) saja;
a. Fase pertama berlangsung sekitar 12 jam, dan fase kedua berlangsung kurang dari 2 jam. Biasanya semua anak akan lahir dalam waktu 3 jam. b. Umumnya bila induk sudah merejan >30 menit dan tetap kelahiran belum terjadi, perlu dilakukan intervensi (dibantu). c. Kesulitan melahirkan (dystocia) umumnya terjadi bila lebih dari satu anak (fetus) berada pada saluran (canal) beranak. Dystocia walaupun jarang terjadi, dapat terjadi bila perbandingan fetus/induk kurang proporsional (terlalu besar) terutama pada betina dara dengan anak tunggal. d. Induksi kelahiran bila diperlukan dapat dilakukan dengan penyuntikan 15-20 mg PGF2α intra muskular. Hasil yang baik diperoleh pada umur kebuntingan 144–146 hari, dan umumnya kelahiran terjadi 30–33 jam setelah injeksi. e. Setelah partus, placenta biasanya akan keluar dalam waktu 0.5–2 jam, bila kelamaan ternak
53
Lokakarya Nasional Kambing Potong
bisa sakit. Dapat diberikan injeksi oxytocin dan antibiotik. REPRODUKSI KAMBING JANTAN Manjemen Kambing Jantan: a. b.
c.
d.
e.
f.
Kambing jantan sering kurang disukai karena baunya; Pejantan yang sangat aktif akan mudah dan mau ejakulasi di vagina buatan dan menaiki betina, bahkan ternak jantan; Volume ejakulat 0.5–2 ml, konsentrasi sperm 1–3 milyar/ml, skor motilitas >70%, abnormal sperm 8–15%; Anak kambing jantan yang pertumbuhannya baik akan mulai dapat kawin pada umur yang relatif muda 4-6 bulan. Infertilitas dapat juga terjadi pada jantan. Cek kualitas ejakulat calon pejantan sebelum dipergunakan untuk breeding. Perhatikan kejadian “kencing batu” yang sering terjadi pada ternak jantan. Ternak harus minum secukupnya. Untuk pencegahan tambahkan garam dapur 1-4% atau ammonium chlorida (2%) pada pakan konsentrat, dan hindari pakan dengan kandungan P dan Ca yang tinggi.
POTENSI PRODUKSI DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING Potensi Produksi Di Indonesia terdapat 2 breed kambing utama yaitu kambing Kacang yang termasuk kambing potong (daging) dan kambing Peranakan Etawah (PE) yang dikatagorikan sebagai kambing dwi-guna (penghasil daging dan susu). Kedua breed kambing ini sudah beradaptasi baik dengan kondisi tropis basah di Indonesia. Kambing Kacang mempunyai keistemewaan dalam hal prolifikasi dan interval beranak yang pendek dibanding kambing PE, namun ukuran tubuh ternak ini termasuk kecil sehingga kurang memenuhi standar ekspor. Rataan litter size kambing Kacang adalah 1.56 (SUBANDRIYO et al., 1986) dengan selang beranak 6-8 bulan yang berarti hampir 3 kali beranak dalam 2 tahun. Dilain pihak, kambing PE mempunyai kemampuan untuk menghasilkan susu walaupun keragamannya masih tinggi (OBST dan NAPITUPULU, 1984; SUTAMA et al., 1995, SUBHAGIANA 1998, ADRIANI et al., 2003). Pertumbuhan yang relatif lambat dan masih
54
tingginya kematian anak pra-sapih dari kedua breed kambing lokal Indonesia ini merupakan kekurangan/kelemahan yang dimilikinya, sehingga dalam pemeliharaan yang intensif akan menjadi kurang efisien. Seleksi dalam breed terhadap ternak-ternak yang mempunyai produktivitas tinggi merupakan salah satu cara perbaikan mutu genetik, namun respon yang diberikan relatif rendah (HORST dan MATHUR, 1991). SETIADI et al (2000) telah melakukan pengamatan yang intensif terhadap produktivitas kambing Kacang dan diikuti dengan seleksi. Hal yang sama juga dilakukan pada kambing PE dalam perbaikan produksi susu (SUTAMA, 1999). Perbaikan produktivitas yang lebih cepat telah ditunjukkan oleh SETIADI et al. (2000; 2001) melalui program kawin silang (persilangan) kambing Kacang dengan kambing Boer yang merupakan kambing tipe pedaging. Melalui persilangan ini terjadi peningkatan pada berat lahir anak (13%) dan berat sapih (50-70%) dibandingkan kontrol, sedang rataan berat badan pada umur 6 bulan adalah sebesar 18.7 kg yakni setara dengan berat kambing Kacang umur satu tahun. Hal yang sama juga terjadi pada persilangan kambing PE dengan Boer (Boereta) (SUTAMA et al., 2002d; 2003), walaupun hasilnya tidak sedramatis persilangan Boer x Kacang (Bka) (Tabel 2). Cara ini merupakan short-cut dalam memperbaiki produktivitas kambing lokal khususnya dalam meningkatkan pertumbuhan untuk produksi daging. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan program persilangan dapat memberikan peningkatan produktivitas, hendaknya program ini harus dilakukan secara hati-hati dan terkontrol agar jangan sampai memusnakan keberadaan sumber plasma nutfah ternak lokal yang ada. Peningkatan Produktivitas Ternak kambing Dalam usaha peternakan, tingkat penerimaan petani dari usaha ternaknya akan sangat dipengaruhi oleh produktivitas ternak peliharaannya. Pada dasarnya produktivitas seekor ternak menyangkut kinerja produksi dan reproduksi. Keberhasilan ternak melakukan aktivitas reproduksinya dikendalikan oleh mekanisme hormonal, dan hormon seperti estrogen, progesterone, FSH, LH dan testosteron merupakan hormon reproduksi penting yang terlibat dalam proses perkawinan, ovulasi, pembuahan dan kebuntingan. AMIR dan KNIPSCHEER (1989) menyatakan bahwa produktivitas seekor induk (PI) adalah perkalian antara indek reproduksi induk (IRI) dengan rataan berat sapih:
Lokakarya Nasional Kambing Potong
PI = IRI x rataan BS dimana: IRI = LS (1-M)/SB LS = litter size (jumlah anak sekelahiran) M = Mortalitas (%) SB = Selang Beranak (dalam tahun). Dari persamaan tersebut diatas maka upaya peningkatan produktivitas ternak harus dilakukan melalui peningkatan litter size dan berat sapih seoptimal mungkin, dan menurunkan mortalitas anak serta memperpendek selang beranak. Peningkatan LS dan berat sapih. Dua parameter ini umumnya saling berlawanan. Peningkatan LS terkait dengan penurunan berat lahir yang pada akhirnya akan menghasilkan berat sapih yang lebih rendah pula. Demikian pula LS yang lebih tinggi akan diikuti dengan peningkatan mortalitas (SUTAMA et al., 1993). Upaya peningkatan LS dilakukan dengan peningkatan jumlah sel telur yang diovulasikan dalam satu siklus birahi, dengan harapan lebih banyak pula sel telur yang dibuahi dan tumbuh berkembang menjadi anak. Peningkatan jumlah ovulasi melebihi kondisi normal disebut superovulasi. Pada kambing, penyuntikan PMSG sebanyak 500-700 iu/ekor pada akhir perlakuan progesteron dalam program sikronisasi cukup efektif dalam meningkatkan jumlah ovulasi dan anak yang lahir (litter size) (ARTININGSIH et al., 1996; ADRIANI et al., 2003). Disamping itu teknologi superovulasi tersebut juga dapat meningkatkan produksi susu sebesar 34% (Grafik 1) (ADRIANI et al., 2003). Hal ini terkait dengan lebih tingginya kadar hormon progesteron maupun estrogen pada ternak yang disuperovulasi, dan ini merangsang sekresi susu uterus dan pertumbuhan kelenjar ambing. Akan tetapi peningkatan laju ovulasi akibat superovulasi diikuti dengan lebih tingginya ova-wastage (Tabel 3). Pemberian pakan kualitas baik dalam waktu singkat sebelum kawin (“flushing”) juga dapat meningkatkan ovulasi dan jumlah anak lahir. Hasil penelitian yang cukup menarik dilaporkan oleh ADRIANI et al., (2003) bahwa anak yang lahir dari superovulasi mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan anak dari perkawinan non-superovulasi walaupun konsumsi susu dan pakan selama pra-sapih dan pasca sapih adalah sama (Gambar 2), dan mekanisme yang mengatur dan mempengaruhinya perlu penelitian mendalam.
Menurunkan tingkat kematian anak Kematian anak, khususnya anak pra-sapih yang dapat mencapai 10–50% (SUTAMA et al., 1993; ADRIANI et al., 2003) merupakan kerugian yang sangat besar bagi usaha peternakan kambing. Kematian anak pada kelahiran kembar 3 atau 4 (2643%) lebih tinggi dari pada kelahiran tunggal atau kembar dua (17-18%) (SUTAMA et al., 1993). Rendahnya berat lahir, sifat keindukan yang kurang baik dan kekurangan produksi susu induk merupakan penyebab utama kematian anak prasapih. Umur 0-3 hari merupakan masa kritis bagi anak kambing dimana kematian sering terjadi. Pada periode tersebut pastikan anak kambing mendapat susu kolostrum secukupnya karena akan mempengaruhi daya tahan dan pertumbuhan ternak selanjutnya. Perlakuan superovulasi dan/atau perbaikan kondisi pakan induk selama bunting dapat meningkatkan berat lahir dan akhirnya kematian anak pra-sapih yang lebih rendah (ADRIANI et al., 2003). Penerapan teknologi “creep feeding” dapat menekan tingkat kematian anak dan meningkatkan pertumbuhannya (MARTAWIDJAJA et al., 1995). Tabel 4. Jumlah CL, progesteron, estrogen, ova-wastage dan LS pada kambing PE yang disuper-ovulasi dan nirsuperovulasi Parameter
Nirsuperovulasi
Superovulasi
Jumlah CL
1.32
2.80
Kadar estradiol (pg/ml)
54.80
91.21
Kadar progesteron (ng/ml)
9.49
13.47
LS
1.32
1.67
0
46.67
Ova wastage (%) Sumber: ADRIANI et al. (2003)
Tabel 5. Total produksi susu dan total berat badan anak pada kambing PE yang disuperovu-lasi dan nirsuperovulasi Parameter Total produksi susu 5 bulan laktasi (kg) Berat lahir anak (kg) Berat sapih umur 3 bulan (kg) Mortalitas (%) Total berat anak umur 5 bulan (kg/induk) Sumber: ADRIANI et al. (2003)
Nirsuper -ovulasi
Super;ovulasi
90.13
125.6
3.65
4.43
9.42
12.95
17.6
3.7
16.43
24.63
55
Lokakarya Nasional Kambing Potong
1400
kawin IB (Tabel 6). Kadang-kadang ternak kambing kurang menunjukkan tanda birahi, walaupun secara fisiologis ternak itu dalam keadaan birahi (Silent heat). Penempatan pejantan dan betina dalam satu kelompok membantu mendeteksi ternak-ternak birahi sehingga kegagalan kebuntingan karena tidak kawin dapat dihindari. Lama kebuntingan pada kambing adalah 150 hari (5 bulan) dengan kisaran 147–155 hari.
Produksi susu (g/hari)
1200 1000
SO 800 NSO 600 400
Kawin Secara Alami
200 0 1
11
21
31
41
51
61
71
81
91
101
111
121
131
141
Waktu laktasi (hari)
Gambar 1.Produksi susu kambing PE yang disuperovulasi (SO) dan tidak superovulasi (NSO)
Berat badan (kg) 18 16 14 SO
12 10 8
NSO
6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Umur (minggu)
Gambar 2. Perubahan berat badan anak kambing dari induk kambing PE yang disuperovulasi (SO) dan tidak superovulasi (NSO).
Memperpendek Selang Beranak: Pada kambing lokal, selang beranak umumnya bervariasi 7-8 bulan. Selang beranak yang panjang umumnya terjadi karena kegagalan dalam pendeteksian birahi terutama pada kambing yang dipelihara dengan sistem dikandangkan secara terus menerus. Cara mudah mengatasi masalah ini adalah dengan menempatkan pejantan pada kelompok betina sekitar 2-3 bulan setelah beranak. Kambing betina hanya mau kawin bila dalam keadaan birahi. Perkawinan sebaiknya dilakukan pada setengah bagian akhir masa birahi. Secara umum dapat disarankan mengawinkan ternak sebaiknya dilakukan pada hari kedua setelah onset birahi dan diulang 12 jam kemudian. Sistem perkawinan pada kambing ada dua yaitu kawin alam dan kawin suntik (IB). Kawin alam menghasilkan angka kebuntingan lebih tinggi dari
56
Cara mudah untuk mendapatkan angka kebuntingan yang tinggi adalah dengan sistem kawin alam baik dengan cara ‘hand mating” maupun perkawinan bebas dalam sekelompok ternak. Rasio jantan: betina dalam perkawian alam ini dapat 1: 10–50 ekor, bahkan dapat lebih besar lagi dengan suatu manajemen yang baik. Di daerah tropis seperti Indonesia, siklus birahi ternak kambing terjadi sepanjang tahun, dan ini berarti ternak ini akan dapat kawin dan beranak sesuai dengan rithme reproduksinya sepanjang kondisi tubuh ternak cukup baik untuk melakukan proses reproduksi tersebut. Pada kondisi alami ini kelahiran ternak akan dapat terjadi sepanjang tahun. Periode sekitar kelahiran merupakan masa-masa yang sangat kritis bagi induk dan anaknya, sehingga diperlukan perhatian yang lebih intensif. Kematian anak umumnya terjadi dalam periode waktu beberapa hari pertama setelah lahir. Kelahiran sepanjang tahun ini justru akan mengakibatkan tingginya alokasi waktu petani untuk mengurus ternak yang akan beranak dan anak yang baru lahir Dalam pemeliharaan ternak jumlah kecil (3-10 ekor) kondisi ini mungkin belum merupakan beban yang berarti, seperti halnya dalam pemeliharaan ternak yang cukup banyak. Untuk mengatasi hal ini, penerapan teknologi sinkronisasi birahi dan ovulasi ini akan memudahkan dalam manajemen ternak secara umum dan produk yang dihasilkan akan dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pasar atau kondisi iklim setempat dalam kaitannya dengan ketersediaan pakan. PGF2α (prostaglandin analog) dan progesterone sinthetis merupakan bahan yang paling umum dipakai dalam proses sinkronisasi birahi ini pada ternak. Penggunaan progesteron secara intravaginal selama 14 hari pada kambing PE dapat menghasilkan birahi yang tersinkronisasi hingga 90-100%. Beberapa hasil penelitian sinkronisasi birahi pada kambing (Tabel 5).
Lokakarya Nasional Kambing Potong
0 jam
48 jam
<------------ 30 jam --------------------> 0 --- Birahi awal --24 jam---------- Birahi penuh ------36 jam ------ Birahi ahkir ----------- 48 jam ----terlalu awal --------- ---- baik -------- ----- paling baik ---- -- baik --
Hal penting yang perlu dikaji dalam penerapan teknologi sinkronisasi ini adalah biaya yang diperlukan mengingat bahan (obat) yang dipergunakan harganya relatif mahal. Disamping sinkronisasi secara hormonal, ada teknologi sinkronisasi birahi yang relatif murah dan mudah yaitu sinkronisasi birahi secara biologis. Pada teknik ini ternak betina yang sebelumnya diisolasi dari ternak jantan dalam waktu tertentu (4-6 minggu) baik terhadap bau, suara dan penglihatan, kemudian secara tiba-tiba diintroduksi pada ternak jantan atau sebaliknya. Dalam waktu 2-8 hari ternak betina akan menunjukkan tanda-tanda birahi, namun persentase ternak yang birahi lebih rendah dari perlakukan secara hormonal dan sebaran munculnya birahi dari ternak populasi lebih lebar (ADIATI et al., 1997; SIANTURI et al., 1997(2). Inseminasi Buatan (IB) dan Embrio Transfer (ET) Inseminasi Buatan (IB) dan Embrio Transfer (ET) Berbeda halnya pada sapi khususnya sapi perah, IB pada kambing belum banyak dilakukan dengan berbagai alasan, terlebih lagi embrio transfer (ET). Mahalnya teknologi ET ini dan diperlukan penanganan yang sangat khusus pula, untuk sementara waktu teknologi ET pada kambing di Indonesia belum begitu mendesak untuk dilakukan. Memang melalui teknologi ET ini akan dapat mempercepat peningkatan mutu genetik ternak dan produktivitasnya. Teknologi IB terkait dengan sinkronisasi birahi dan penyimpanan semen. Secara teknis, semen kambing telah dapat disimpan dalam bentuk semen beku, dan dari beberapa penelitian diketahui bahwa pengencer tris-sitrat cukup efektif dalam mempertahankan kualitas spermatozoa yang disimpan dalam bentuk beku (DEKA dan RAO, 1987; AZAWI et al., 1993; IRITANI, 1980; SITUMORANG, 1990; TAMBING et al., 2000; 2001; 2003; 2004; BUDIARSANA et al., 2001; SUTAMA et al., 2002 c). Kesulitan dalam melakukan deposisi semen intra-uterine merupakan salah satu kendala
---- telat ----
IB pada kambing. Umumnya deposisi semen hanya dapat dilakukan dimulut servik atau dalam vagina sehingga tingkat kebuntingan yang diperoleh masih rendah, 30-56% (BUDIARSANA et al; 2001, SUTAMA et al., 2002c; NGANGI, 2002). Waktu IB mempengaruhi tingkat kebuntingan yang diperoleh (Tabel 6). Dua faktor penting yang terkait dengan ini adalah waktu terjadinya ovulasi yang selalu terkait dengan periode birahi dan waktu yang diperlukan spermatozoa untuk kapasitasi dalam saluran reproduksi betina agar mampu membuahi sel telur. Ovulasi pada kambing terjadi pada 24 – 36 jam sesudah onset birahi (JAINUDEEN et al., 2000). Sedangkan waktu kapasitasi pada spermatozoa kambing belum diketahui secara pasti tapi diperkirakan sama dengan waktu kapasitasi spermatozoa sapi yaitu 5–6 jam (BEARDEN dan FUQUAY, 1997). Hasil penelitian IB pada kambing menunjukkan hasil yang sangat beragam. IB yang dilakukan sekitar 20-25 jam setelah onset birahi cenderung memberikan tingkat kebuntingan (37.5%) lebih rendah dari IB yang dilakukan 35-40 jam (37-5%) setelah onset birahi (BUDIARSANA et al., 2001), berbeda dengan hasil yang diperoleh NGANGI (2002) dimana IB sebelum 23 jam onset birahi menghasilkan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dari IB yang dilakukan diatas 27 jam setelah onset birahi. Hasil ini masih lebih rendah dari hasil 6775% pada IB yang dilakukan 12 jam setelah onset birahi (LEBOEOUF et al., 2000). Namun masih sebanding dengan hasil 33-73% yang telah dilaporkan BARIL et al. (1993) dan ROCA et al. (1997). Untuk meningkatkan angka kebuntingan dalam program IB, dapat dilakukan 2 kali inseminasi dalam selang waktu 12 jam (SUTAMA(RITAR et al., 1990). Sementara itu, IB intra-uterine (dalam uterus) walaupun dapat menghasilkan tingkat kebuntingan hingga 46.7% (Ritar dan SALAMON, 1983), namun teknologi ini kurang praktis di tingkat lapang. Jumlah spermatozoa yang diperlukan untuk IB sangat tergantung dari metode inseminasi yang digunakan yaitu tempat deposisi semen (vagina, servix atau intra-uterine). IB intra-uterine akan memerlukan
57
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tabel 6. Pengaruh sinkronisasi birahi terhadap kinerja produksi pada kambing PE (*) Sinkronisasi biologis
Parameter
Sinkronisasi Kimiawi (Progesteron) Progestagen
Progestagen + PMSG
Komposit (Test + Prog + Oest + PMSG )
-
12 -14
12 - 14
-
100
95.8
90 – 100
60.6
Persentase ternak bunting (%)
30
17 – 83
14 - 80
27.3
Laju Ovulasi
0.9
1.29
2.60
1.14
Lama perlakuan (hari) Persentase ternak birahi (%)
LS
1.3
1.29
1.80
1.0
Berat lahir (kg)
3.9
3.67
4.54
3.87
Berat sapih (kg)
-
9.96
13.11
-
Mortalitas (%)
-
22.20
11.10
-
(*) Dari berbagai sumber Tabel 7. Tingkat keberhasilan IB dengan semen beku pada kambing PE Perlakuan
Kebuntingan (%)
Reference
Waktu IB 20-24 vs 35-40 jam setelah onset birahi
37,5 vs 40,9
Waktu IB 14-23 vs 27-34 jam setelah onset birahi
46,7 vs 27,7
Ngangi (2002)
Jumlah inseminasi 1 vs 2 kali (24 jam vs 24 dan 36 jam setelah onset birahi)
38,9 vs 55,6
Sutama et al (2000c)
Teknik kawin alam vs IB
84,2 vs 40,9
Budiarsana et al (20-01)
Deposisi semen serviks vs uterus
34,2 vs 44,9
Ritar et al. (1990)
jumlah spermatozoa yang lebih sedikit mengingat lokasi deposisi spemen ini tidak terlalu jauh dari tempat terjadinya pembuahaan. Umumnya jumlah spermatozoa per dosis yang umum dipakai adalah 100–200 juta (RITAR et al., 1990; NGANGI, 2002; TAMBING, 2004). Rendahnya tingkat kebuntingan yang diperoleh pada IB kambing dan alasan teknis lainnya mungkin sebagai salah satu faktor yang menyebabkan penerapan IB pada kambing kurang berkembang di masyarakat. Namun teknologi ini mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas ternak terutama dalam memanfaatkan pejantan unggul (superior). Manajemen perkawinan/IB yang tepat sangat diperlukan agar tidak merugikan petani akibat rendahnya tingkat kebuntingan yang diperoleh. Bagi ternak yang tidak bunting, pilihan kawin alam atau IB kembali pada siklus berikutnya perlu dipertimbangkan dengan baik. KESIMPULAN Secara umum kambing lokal Indonesia sudah cukup prolifik, namun kegagalan reproduksi masih
58
Budiarsana et al (2001)
sering terjadi sebagai akibat berbagai faktor. Berbagai jenis teknologi reproduksi telah tersedia untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing, namun aplikasinya perlu penyesuaian dengan kondisi setempat. Pemeliharan kambing di Indonesia masih bersifat sambilan dengan jumlah pemilikan ternak yang rendah sehingga perhatian petani terhadap ternaknya cenderung seadanya, dan ini merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pengembangan dan peningkatan produktivitas ternak kambing. Upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong agar usaha pemeliharaan kambing ini menjadi minimal sebagai cabang usaha dan bahkan sebagai usaha pokok, sehingga introduksi teknologi akan lebih mudah dapat dilakukan. Secara biologis masih banyak ruang untuk melakukan perbaikan produktivitas kambing lokal di Indonesia. Walaupun kambing lokal (kacang dan PE) Indonesia cukup prolifik (rataan ovulasi 1,4–1.7), masih tingginya ovawatage akan menurunkan jumlah anak sekelahian (litter size). Teknologi superovulasi telah mampu meningkatkan LS, berat lahir, dan pertumbuhan anak pra-sapih sebagai repleksi dari meningkatnya produksi susu induk. Kematian anak pra-sapih yang masih tinggi (10–50%) adalah faktor lain yang
Lokakarya Nasional Kambing Potong
perlu mendapat perhatian, dan ini lebih sering disebabkan karena kesalahan manajemen. DAFTAR PUSTAKA ADIATI, U. , HASTONO, RSG. SIANTURI, T.D. CHANIAGO dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronisasi secara biologis dan hormonal pada kambing Perankan Etawah. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. ADRIANI, A. SUDONO, T. SUTARDI, W. MANALU dan I.K. SUTAMA. 2003. Optimasi produksi anak dan susu kambing Peranakan Etawah dengan superovulasi dan suplementasi seng. Forum Pascasarjana. Sekolah Pascasarjana, Institute Pertanian Bogor 26 (4): 335-352. AMIR, P. and H.C. KNIPSCHEER. 1989. Conducting OnFarm Animaal Research: Procedures and Economic Analysis. Winrock Int. Inst. Agric. Dev. And Itn. Dev. Res. Centre. Singapore National Printers Ltd., Singapore. ARTININGSIH. N.M., B. PURWANTARA, dan R.K. ACHJADI. 1996. Pengaruh penyuntikan pregnant mere serum gonadotrophin terhadap kelahiran kembar pada kambing Peranakan Etawah. JITV. 2(1): 11-16. AZAWI, O.I., S.Y.A. AL-DAHASH dan F.T. JUMA. 1993. Effect of different diluents on Shami goat semen. Small Rum. Res. 9: 347-352. BARIL, G. B. LEBOEUF, and J. SAUMADE. 1993. Synchronization of estrus in goat: The relationship between time of occurrence of estrus and fertility following artificial insemination. Theriogenology 40: 621-628. BEARDEN, H.J. dan J.W. FUQUAY, 1997. Applied Animal Reproduction. 4th Ed. New Jersey, Prentice Hall, Upper Saddle River. BUDIARSANA, I.G.M., I-K. SUTAMA, R. DHARSANA, U. ADIATI, HASTONO, M.S. HIDAYAT, MULYAWAN, BACHTIAR dan R. SUKMANA. 2001. Siklus birahi dan fertilitas kambing Peranakan Etawah pada perkawinan alami dan inseminasi buatan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, hlm:98-110. DEKA, B.C. and A. R. RAO. 1987. Effect of extenders and thawing methods on post thawing preservation ofgoat semen. Indian Vet J. 64: 591-594. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2002. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. HARYANTO, B., A. THALIB dan ISBANDI. 1999. Pemanfaatan probiotik dalam upaya peningkatan efisiensi fermentasi pakan di dalam rumen. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak 1999. HORST, P. and P.K. MATHUR. 1991. “Breeding Objective and strategies. In Goat Hussbandry and Breeding in
The Topic”s. Eds. J.M. Panandam, S. Sivaraj, T.K. Mukherjee and P. Horst., Food and Agric. Dev. Centre, Feldafing, Germany. pp.70-99. IRITANI, A. 1980. Problems of freezing spermatozoa of different species. Di dalam: Proc 9th Int. Congg. Anim. Reprod. & AI. Vol. I, pp: 115-132. JAINUDEEN, M.R., H. WAHID dan E.S.E. HAFEZ., 2000. Sheep and Goat: Di Dalam: Reproduction in Farm Animalss. Hafez, ESE and Hafez, B. (Eds). 7th Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins pp: 172-181. JENSEN B. 1994. Goat Milk Magic. Bernard Jensen Publihser 24360 Old Wagon Road Escondido, CA 92027, USA. LEBOEUF, B., B. RESTALL AND S. SALOMON. 2000. Production and storage of goat semen for artificial insemination. Anim. Reprod. Sci. 62: 113-141. MARTAWIDJAYA, M., S.S. SITORUS, B. SETIADI dan A. SUPARYANTO. 1995. Penelitian anak kambing pra-sapih. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak 1995. NGANGI, L.R. 2002. Efektivitas lama pemberian implan progesteron intravaginal dan waktu inseminasi terhadap penampilan reproduksi kambing Peranakan Etawah. Thesis Pascasarjana IPB-Bogor. OBST, J.M. and Z. NAPITUPULU. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15: 501-504. PAAT, P.C., B. SETIADI, B. SUDARYANTO dan M. SARIUBANG. 1992. Peranan usaha ternak kambing Peranakan Etawah dalam sistem usahatani di Banggae Majene. Pros. Sarasehan Usaha Ternak Kambing dan Domba Menyongsong Era PJPT II, pp.: 162-165. RITAR, A.J. and S. SALAMON. 1983. Fertility of fresh semen and frozen-thawed semen of the Angora goat. Aust. J. Biol. Sci. 36: 49-59. RITAR, A.J., P.B. BALL and P.J. O’MAY 1990. Aetificiaaaal insemination of Chasmere goats effects on fertilityand fecundity of ntravaginal treatment, method and time insemination, semen freezing process, number of motile spermatozoa and age of females. Reprod. Fert. & Dev. 2: 377- 384. ROCA, J. J.A. CARRIZOA, I. COMPOS, A. LAFUENTE, J.M. VASQUEZ and E. MARTINEZ. 1997. Viability and fertility of unwashed Murciano-Granadina goat spermatozoa diluted in tris-egg yolk extender and stored at 5ºC. Small Ruminant Res. 25: 147-153. ROMJALI, E., L.P. BATUBARA, K. SIMANIHURUK dan S. ELIESER. 2002. Keragaan anak hasil persilangan kambing Kacang dengan Boer dan Peranakan Etawah. Pros. Seminar Nas. Teknologi Peternakan dan Vet. Pusat Penelitian dan Pengembangan. SETIADI, B., I. INOUNU, SUBANDRIYO, K. DIWYANTO, I.K. SUTAMA, M. MARTAWIDJAYA, A. ANGGRAENI, A.
59
Lokakarya Nasional Kambing Potong
WILSON dan NUGROHO. 2000. Peningkatan produktivitas kambing melalui metode persilangan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, hlm: 147-165. SETIADI, B., I. SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAYA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, T.SARTIKA, B. TIESNAMURTI, K. DIWYANTO, dan L. PRAHARANI. 2001. Evaluasi peningkatan produktivitas kambing persilangan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, hlm: 157-178. SIANTURI, R.S.G., U. ADIATI, HASTONO, I.G.M. BUDIARSANA dan I.K. SUTAMA. 1997. Sikronisasi birahi secara hormonal pada kambing Peranakan Etawah. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Vet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. SITUMORANG, P. 1990. The effect of diluent on viability of washed and unwashed goat spermatozoa. Ilmu dan Peternakan 4(2): 270-273. SUBANDRIYO, B. SETIADI and P. SITORUS. 1986. Ovulation rate and litter size of Indonesian goats. Proc. 5th Int. Conf. Livestock Production and Deseases in The Tropic. Kuala Lumpur, Malaysia pp.: 53-54. SUBHAGIANA. I.W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi susu yang berbeda. Thesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. SUTAMA, I.K., I.G. PUTU dan M. WODZISCATOMASZEWSKA. 1993. Peningkatan produktivitas ternak ruminansia kecil melalui sifat reproduksi yang lebih efisien. Di dalam M. WodziscaTomaszewska, IM. Mastka, A. Djajanegara, S. Garner dan T. Wiradarya. Reproduksi kambing dan domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
progesteron (TOP) pada kambing Etawah. JITV. 7(2): 110-115.
Peranakan
SUTAMA,I-K, IGM. BUDIARSANA, SYAFNIMAR, ELISABETH dan DJAMALLUDDIN. 2002 B. Model Pengembangan Kambing Perah di Indonesia. Direktorat Budidaya Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan; Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, P. SITUMORANG, U. ADIATI, IGM. BUDIARSANA, T. KOSTAMAN, MAULANA, MULYAWAN dan R. SUKMANA. 2002 C. Uji kualitas semen beku kambing Peranakan Etawah dan kambing Boer. Pros. Hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan/ARMP-II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternbakan, hlm: 88-111. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, IGM.BUDIARSANA, T. KOSTAMAN A. WAHYUARMAN, M.S. HIDAYAT, MULYAWAN, R. SUKMANA dan BACHTIAR. 2002D. Pembentukan kambing persilangan Boereta untuk meningkatkan produksi daging. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, IGM.BUDIARSANA, T. KOSTAMAN A. WAHYUARMAN, M.S. HIDAYAT, MULYAWAN, R. SUKMANA dan BACHTIARL. 2003. Pembentukan kambing persilangan Boereta untuk meningkatkan produksi daging dan susu. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak. TAMBING, S.N., M.R. TOELIHERE, T.L. YUSUF dan I-K. SUTAMA. 2000. Pengaruh gliserol dalam pengencer tris terhadap kualitas semen beku kambing Peranakan Etawah. JITV. 5 (2): 84-91. TAMBING, S.N., M.R. TOELIHERE, T.L. YUSUF dan I-K. SUTAMA. 2001. Kualitas semen beku kambing Peranakan Etawah setelah equilibrasi. Hayati 8(3): 70-75.
SUTAMA, I-K., IGM. BUDIARSANA, H. SETIANTO and A. PRIYANTI. 1995. Productive and reproductive performances of young Peranakan Etawah does. JITV. 1 (2): 81-85.
TAMBING, S.N., I-K. SUTAMA dan R.I. ARIFIANTINI. 2003. Efektivitas berbagai konsentrasi laktosa dalam pengencer tris terhadap viabilitas semen cair kambing Saanen. JITV. 8(2): 84-90.
SUTAMA, I-K. 1999. Peningkatan produktivitas kambing Peranakan Etawah sebagai penghasil daging dan susu melalui teknologi pemuliaan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, hlm: 197-203.
TAMBING, S.N. 2004. Optimalisasi pengembangan pengencer semen beku dan teknik inseminasi dalam upaya produksi kambing persilangan Saanenperanakan Etawah (Sapera). Thesis, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
SUTAMA, I.K., R. DHARSANA, I.G.M. BUDIARSANA, dan T. KOSTAMAN. 2002 a. Sinkronisasi birahi dengan larutan komposit testosteron, oestradiol dan
60