PELUANG INOVASI TEKNOLOGI PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING DI DESA SEPANG MELALUI PENDEKATAN PRA ( KALENDER MUSIM) I Made Londra dan Putu Sutami Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar , Bali e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Penggalian informasi untuk menentukan peluang inovasi teknologi ternak kambing di Dusun Dayang, Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng Bali, dilaksanakan pada bulan Juni 2011, melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan teknik kalender musim. Lokasi ini termasuk agroekosistem lahan kering dataran tinggi beriklim basah. PRA dilaksanakan di kelompok tani Mekar Sari, dengan melibatkan masyarakat tani, tokoh masyarakat, Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng serta instansi terkait dengan jumlah peserta keseluruhan sebanyak 95 orang. Hasil PRA menunjukkan, musim hujan berlangsung cukup panjang (tujuh bulan) yaitu antara bulan Oktober sampai April, dengan puncak hujan bulan Desember sampai Maret. Kepemilikan ternak kambing di lokasi ini sebanyak 5 ekor/KK, biasanya mengalami kesulitan pakan pada bulan Mei sampai Oktober dengan puncak kesulitan pakan terjadi bulan Juli dan Agustus. Pada bulan-bulan sulit pakan tersebut, hanya tersedia hijauan daun Nangka sedangkan hijauan lainya hampir tidak berproduksi. Untuk menangani permasalahan tersebut ada peluang untuk memanfaatkan limbah kopi yang melimpah melalui proses fermentasi yang terbukti mampu meningkatkan kandungan gizi dan baik untuk penggemukan kambing. Dengan terintroduksinya teknologi ini, dapat meningkatkan populasi kambing, meningkatkan ketersediaan pupuk organik untuk mendukung kegiatan pola integrasi. Kata kunci : Peluang inovasi teknologi, ternak kambing
Pendahuluan Selama ini program pembangunan masyarakat lebih banyak bercorak top-down approach, sehingga menempatkan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Pendekatan pembangunan yang demikian telah menempatkan masyarakat pada posisi marjinal, tidak berdaya dan pada akhirnya menjadi beban pemerintah sendiri ketika telah kehabisan sumberdayanya. Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumberdaya lokal berdasarkan kajian musyawarah. Partisipasi juga berarti memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat untuk menyatakan permasalahan yang dihadapi dan gagasan-gagasan sebagai masukan berharga. Hal ini penting sebagai upaya peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peran serta kelompok masyarakat dalam Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 517
proses pembangunan, dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun. Dalam konteks partisipatif, masyarakat secara bersama-sama akan menentukan ke arah mana mereka akan berkembang. Konsekuensi hal ini, jelas fasilitator partisipatif atau pihak yang akan mengajak pada perubahan harus mampu “berdekatan secara sehat” dengan masyarakat. Fasilitator adalah bagian lain dari masyarakat yang berupaya menjadi jembatan bagi peningkatan, pengembangan dan perubahan masyarakat menjadi lebih baik. Dasar proses partisipasi masyarakat ini sendiri adalah adanya penggabungan dari dua unsur yang ada dalam masyarakat, yakni pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya dan kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Walaupun program semacam ini didasarkan pada proses penjajagan kebutuhan (need assesment) masyarakat, namun hal ini dilaksanakan hanya berdasarkan suatu survey atau penelitian akademis yang tidak melibatkan masyarakat secara berarti (Anonimous, 1996). Berbagai metoda dapat digunakan dalam proses perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat. Salah satu diantaranya melalui Participatory Rural Appraisal (PRA) atau pemahaman partisipatif kondisi pedesaan. (PRA) adalah pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. Metode dan pendekatan ini semakin meluas dan diakui kegunaannya ketika paradigma pembangunan berkelanjutan mulai dipakai sebagai landasan pembangunan. Dalam paradigma pembangunan berkelanjutan, manusia ditempatkan sebagai inti dalam proses pembangunan. Manusia dalam proses pembangunan tidak hanya sebagai penonton tetapi mereka harus secara aktif ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan menikmati hasil pembangunan. Usaha pembangunan pedesaan melalui pendekatan partisipasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menggali potensi yang ada oleh masyarakat setempat, pembinaan teknologi tepat guna yang meliputi penciptaan, pengembangan, penyebaran sampai digunakannya teknologi tersebut oleh masyarakat, pembinaan organisasi usaha atau unit pelaksana yang melaksanakan penerapan berbagai teknologi tepat guna, pembinaan organisasi pembina/pendukung, yang menyambungkan usaha yang dilakukan oleh individuindividu warga masyarakat pedesaan dengan lembaga lain atau dengan tingkat yang lebih tinggi (kota, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional), dan pembinaan kebijakan pendukung, yaitu yang mencakup input, biaya pemasaran, dan lain-lain yang memberi iklim yang kondusif terhadap pembangunan. Dalam pendekatan yang partisipatif masyarakat dianggap sebagai mitra dalam penyusunan rencana dan turut berperan secara aktif dalam implementasi rencana, karena masyarakat merupakan stakeholder terbesar dalam penyusunan rencana dan kebijakan. Oleh karena itu pendekatan partisipatif harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need), dijadikan stimulasi terhadap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response), dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior). Bilamana proses perencanaan partisipatif itu dapat berlangsung maka diharapkan peran serta masyarakat meningkat sehingga dapat memberdayakan masyarakat dalam pembangunan desanya. Tujuan pelaksanaan PRA yaitu mengidentifikasi jenis-jenis inovasi teknis dan kelembagaan yang perlu dikembangkan dan dibutuhkan dalam rangka pengembangan agribisnis kopi dan ternak kambing di Desa Sepang, mengidentifikasi masalah dan kendala dalam pengembangan agribisnis khususnya ternak kambing .
I Made Londra dan Putu Sutami : Peluang inovasi tek. pengembangan ternak kambing | 518
Metodologi PRA dilaksanakan di Balai Kelompok tani ternak Mekar Sari di Dusun Dayang, Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, pada bulan Juni 2011. PRA melibatkan Distanak Buleleng, Dishutbun Buleleng, Disperindag Buleleng, BPP Busungbiu, PPL Kec. Busungbiu, Camat Busungbiu, Pedagang Kambing, Kades Sepang, dan Kepala Dusun Dayang Kegiatan ini dilakukan oleh BPTP Bali dan LEMLIT Universitas Brawijaya bertindak selaku fasilitator. Jumlah peserta PRA keseluruhan sebanyak 95 orang. Untuk menggali informasi dalam bidang peternakan, diterapkan metode kalender musim. Kalender musiman adalah bagan/diagram yang memperlihatkan kegiatan-kegiatan dan keadaan usaha pertanian (perkebunan, peternakan atau lainnya) yang terjadi secara berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu (musiman/tahunan) di desa dalam suatu wilayah /kawasan. Tujuan membuat kalender musiman adalah untuk mengetahui kondisi, kegiatan dan peristiwa usahatani masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tertentu (Anonimous, 2003). Manfaat dan kegunaan membuat kalender musiman adalah untuk menganalisis tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha masyarakat, waktu-waktu kritis dalam usahatani, misalnya serangan penyakit, paceklik, panen dan lainnya. Hasil analisis keadaan ini akan sangat berguna sebagai bahan masukan dalam menyusun rencana pengembangan usaha agribisnis petani, rencana pengadaan dan penyediaan sarana produksi, rencana pemasaran pada khususnya dan rencana pengembangan pada umumnya (Anonimous, 2003). Mengetahui pola aktivitas petani dan pola musim sangat penting untuk perencanaan suatu kegiatan/program (kapan melakukan apa), sehingga program yang akan dilaksanakan dapat dirancang sesuai dengan keadaan di lapangan. Selain itu dengan melihat peran gender akan dapat ditentukan peran petani pria dan wanita di dalam mengelola usahatani.
Hasil dan Pembahasan Pola Musim, Komoditas Peternakan dan Pertanian Pola musim akan berpengaruh terhadap pola aktivitas petani di dalam mengelola usahataninya. Perubahan musim juga berpengaruh terhadap vegetasi/pertanaman dan ternak sehingga adanya pola musim (hujan dan kemarau) akan memberikan pola-pola tertentu terhadap tanaman, ternak serta aktivitas petaninya. Pola musim di Desa Sepang menunjukkan hujan mulai turun bulan Oktober dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember, Januari, Pebruari dan Maret kemudian menurun sampai bulan April. Hujan sudah sangat jarang dijumpai pada bulan-bulan Mei sampai dengan September disajikan pada Tabel 1. Desa Sepang memiliki beragam komoditas tanaman seperti kopi, kakao, cengkeh, salak, manggis, duku, wani, durian dan lain-lain, sedangkan ternak yang dipelihara petani yaitu kambing, sapi, ayam, dan babi. Komoditas tanaman dan ternak yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar menurut petani yaitu kopi, Kakao, cengkeh dan ternak kambing. Kalender musim komoditas tersebut seperti disajikan berikut ini.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 519
Tabel 1. Kalender Musim Usahatani Ternak Kambing di Sepang Busungbiu, Buleleng, Bali No Uraian Mei 1. 2. 3. 4.
Juni
Juli
Agustus
September
Musim hujan Pakan melimpah Pakan paceklik x x xx xx x Jenis pakan x Kaliandra Gamal Gulma x x Rumput gajah x x Daun nangka x x x x x Limbah Kopi 5 Pengadaan ternak x x x x x 6 Penjualan ternak xx 7 Kawin x x x x x 8 Melahirkan x x x x x 9 Musim terjangkit penyakit Scabies x x x x x Kembung x x x x x Landaan x x x x x Mata x x x x x Disebabkan oleh x x x x x lalat (kambing) Keterangan : Jumlah x menentukan kwantitas / kualitas .
Oktober x
Bulan Nopember x x
Desember xx x
Januari xx x
Pebruari xx xx
Maret xx xx
April x x
x x x x x
x x
x x x x
x
x
x
x x
x x
x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x
x
x x
x x
x xx x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x
I Made Londra dan Putu Sutami : Peluang inovasi tek. pengembangan ternak kambing | 520
Kepemilikan Ternak Kambing Kambing merupakan ternak utama yang diusahakan di Desa Sepang, dengan rata-rata pemeliharaan 5 ekor/KK. Sedikit dibandingkan luas lahan yang digarap (rata-rata 50 are). Menurut Guntoro et al. (2004) dengan hitungan kasar serta penggunaan limbah kopi untuk pakan, 1 Ha lahan perkebunan kopi mampu menampung 22 ekor kambing (± 1 ekor untuk 5 are). Hal ini menunjukkan bahwa populasi kambing ini masih dapat ditingkatkan. Pada kalender musim pola yang bisa dilihat terkait dengan usahatani kambing yaitu ketersediaan pakan/hijauan dan bulan menjual ternak, sedangkan pola lainnya seperti musim sakit dan siklus reproduksi tidak dipengaruhi oleh musim. Jenis dan Ketersediaan Pakan Jenis pakan ternak kambing yang ada di Desa Sepang seperti gamal (Glirisidia), kaliandra, dadap, lamtoro, daun nagka dan rumput. Tanaman gamal, dadap dan lamtoro digunakan sebagai tanaman penaung tanaman kopi. Pola ketersediaan pakan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, dimana pada bulan-bulan basah produksinya berlimpah sehingga petani dapat memilih jenis pakan yang dikehendaki. Seperti Tabel 1, terlihat semua jenis pakan ternak produksinya meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan dan menurun apabila curah hujan menurun, bahkan pada bulan-bulan kering beberapa jenis pakan ternak tidak berproduksi seperti gamal dan rumput. Jenis pakan yang ketersediaannya terus-menerus ada yaitu daun Lamtoro dan daun nangka. Petani setempat lebih suka memberikan Lamtoro dibandingkan daun nangka dengan alasan getah daun nangka lengket pada mulut kambing sehingga sangat tidak enak dilihat. Hasil PRA ini menunjukkan tanaman lamtoro lebih tahan kekeringan dibandingkan tanaman gamal. Oleh karena itu, populasi tanaman lamtoro perlu ditingkatkan terutama tanaman lamtoro yang mampu berproduksi tinggi, tahan kering dan tahan kutu loncat untuk dikembangkan Menurut Wargadipura dan Johan (1997) lamtoro mengandung protein kasar sekitar 25,9 % sedangkan Heliati (1999) melaporkan antara 14,44 % pada tanah di Grati dengan pH 8,4; 17,50 % pada tanah di Kupang pada tanah dengan pH 7,8 dan 26,75 % pada tanah di Ciawi dengan pH 5,0. Menurut Pratomo, et al. (2004) pertumbuhan awal tanaman lamtoro relatif lebih baik dibandingkan tanaman legum lainnya seperti Flemingia, Kaliandra dan Glisidia (gamal). Lamtoro selain baik untuk pakan ternak karena mengandung protein yang cukup tinggi, juga cocok dikembangkan untuk perbaikan dan konservasi tanah. Lamtoro dapat digunakan sebagai sumber pupuk hijau karena adanya bakteri pengikat nitrogen pada akarnya yang mampu mengikat nitrogen dari udara. Memperhatikan pola hujan yang di mulai pada bulan September, maka penanaman tanaman Lamtoro, sebaiknya dilaksanakan pada bulan tersebut. Ketersediaan Limbah Kopi dan Kakao Limbah kopi dan limbah kakao tersedia melimpah pada bulan Mei sampai Agustus (Tabel 1). Selama ini limbah kakao (cangkang kakao) dan limbah kopi hanya dimanfaatkan untuk pupuk, padahal kedua jenis limbah ini bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, minimal untuk mengatasi kesulitan pakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober. Memperhatikan pola ketersediaan limbah tersebut, kegiatan pengolahan limbah kopi dilaksanakan pada bulan September sampai Nopember dan pengolahan kakao pada bulan Juni sampai Agustus. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 521
Menurut Guntoro dan Yasa (2003) dan Guntoro, et al. (2004), buah kopi basah terdiri dari daging buah 42,20 % dan kulit biji 5,90 % atau dengan produksi limbah 48,10 %. Limbah kopi dapat digunakan sebagai pakan penguat ternak kambing. Limbah kopi tersebut sebelumnya difermentasi dengan Aspergilus niger untuk meningkatkan kadar protein kasarnya (dari rata-rata 7,30 % menjadi 12,4 % dan menurunkan serat kasarnya dari 19,21 menjadi 11,65 %. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa dedak dari limbah kopi tersebut setelah diberikan pada induk kambing yang sedang menyusui, pertambahan bobot anaknya lebih tinggi dibandingkan kontrol (induk yang hanya diberikan HMT saja) yakni 65 gram untuk kontrol dan 98 gram untuk perlakuan (200 gram/ekor induk). Hasil ini sesuai dengan laporan Guntoro dan Yasa, (2003) pemberian tepung limbah kopi 200 gram / ekor induk yang sedang menyusui, memberikan pertambahan bobot anak yang lebih tinggi dibandingkan kontrol (pemberian MT saja) serta secara ekonomi menguntungkan. Pemberian kulit kopi terfermentasi sebanyak 30 % dan pemberian 70% leguminosa berupa gamal dan kaliandra memberikan pertumbuhan 100 gram/ekor/hari pada kambing peranakan etawah jantan (londra, et all, 2012). Secara fisik buah kakao terdiri dari cangkang (rata-rata 72,88% dari berat total buah kakao basah), bagian biji dan placenta rata-rata: 27,12%. Proses fermentasi limbah kakao menyebabkan meningkatnya kandungan protein, hal ini dibuktikan dengan hasil “proximate analysis”, yang menunjukkan perubahan kandungan protein kasar (CP) dari 7,81% pada kakao mentah (sebelum difermentasi) menjadi 17,12% setelah mengalami fermentasi dengan Aspergillus niger. Sedangkan kandungan serat kasar (CF) menurun akibat fermentasi, yakni dari 19,10% menjadi 8,15% (Guntoro dan Yasa, 2005). Selanjutnya tepung limbah kakao tersebut diberikan kepada induk kambing yang sedang menyusui, ternyata dapat meningkatkan produktivitas susu kambing PE dari rata-rata 181 ml untuk kontrol (induk yang hanya diberikan HMT saja) menjadi 835 ml untuk perlakuan (Guntoro dan Yasa, 2005). Pola Reproduksi Kambing Hasil PRA (Tabel 1) menunjukkan ternak kambing di Desa Sepang kawin dan melahirkan sepanjang tahun (tidak bermusim). Hal ini kemungkinan terkait dengan pakan yang tersedia sepanjang tahun, mencukupi kebutuhan induk kambing. Kekurangan pakan atau kelaparan menyebabkan keterlambatan dewasa kelamin pada ternak dara dan menghambat siklus berahi pad hewan dewasa (Moustgaar, 1969 dalam Hedah, 2000). Apabila konsumsi energi pada hewan muda rendah, maka folikel tidak akan berkembang dan menjadi atropi bersamaan dengan itu muncul gejala penurunan libido dan an estrus. Menurut Huszenicza, et al. (1988) dalam Ferguson (1991), ternak yang mengalami defisiensi pakan akan mengalami periode birahi yang tidak teratur serta diperpanjangnya waktu ovulasi dan perkawinannya yang pertama. Menurut Butler dan Smith (1989) menyusui dan pemberian pakan yang terbatas menyebabkan penurunan sekresi LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Folicle Stimulating Hormone) dari hipofisa anterior sehingga mempengaruhi perkembangan folikel dari ovarium.. Selain itu terbatasnya pakan yang diberikan juga menurunkan sekresi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) dari hipotalamus berfungsi yang berfungsi merangsang sekeresi FSH dan LH dari hipofisa anterior (Swanson, 1989). FSH berperan dalam merangsang pertumbuhan folikel dan sekresi hormon estrogen sedangkan LH berperan merangsang ovulasi, memelihara corpus luteum, menstimulir sekresi hormon progesteron (Reeves, 1987), dengan terjadinya ketidakseimbangan hormonal ini mengakibatkan siklus reproduksi untuk sementara tida terjadi secara normal atau terjadi anestrus. I Made Londra dan Putu Sutami : Peluang inovasi tek. pengembangan ternak kambing | 522
Petani ternak di Desa Sepang, menjual kambingnya sepanjang tahun tergantung kebutuhan mereka ; namun antara bulan Januari sampai Februari, terjadi peningkatan volume penjualan kambing karena berdekatan dengan Hari Raya Idul Adha. Musim Sakit Ternak Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh banyak faktor dan ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Dari sekian faktor tersebut, secara umum paling tidak ada tiga faktor yang saling kait mengkait untuk terjadinya suatu penyakit yaitu : faktor agen penyakit, faktor hospes (ternak itu sendiri) dan faktor lingkungan (Dharma dan Putra, 1997). Kambing-kambing di Desa Sepang mengalami masalah penyakit yang terpola mengikuti musim dan penyakit yang tidak terpola (ada sepanjang tahun). Penyakit yang dilaporkan terpola antara lain : Mencret (Diare) yang biasanya teradi pada bulan-bulan basah, yaitu antara bulan Nopember sampai Februari, sedangkan penyakit lain yang paling dirasakan petani mengganggu ternaknya adalah Skabies, Kembung dan penyakit Mata. Skabies adalah penyakit kulit menular yang bersifat kronis dan zoonotik (penyakit ini dapat menyerang manusia dan hewan) yang dapat disebabkan oleh satu atau beberapa tungau, yakni Demodex spp, Sarcoptes spp, Psoroptes spp, dan Chorioptes spp (Lapage, 1956). Skabies juga sering disebut penyakit gudigan dan kudis menular (Dharma dan Putra, 1997). Gejala klinis yang selalu ditemukan pada penderita adalah kegatalan. Praedileksi serangan skabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda, pada kerbau dipunggung, paha, leher, muka, dan daun telinga ; pada kelinci di sekitar mata, hidung, jari kaki, kemudian meluas ke seluruh tubuh (Iskandar, 2000), pada kambing di daerah muka, daun telinga, leher kemudian menyebar ke seluruh tubuh (Manurung, 1991). Penularan penyakit ini terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau secara tidak langsung dengan kandang atau peralatan lainnya yang tercemar. Pada saat kontak tersebut akan terjadi perpindahan tungau dewasa, nimfe atau larva (Hourigan, 1979 ; Mock, 2001).
Kesimpulan dan Saran 1.
Musim hujan di daerah Sepang Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng Bali berlangsung cukup panjang (tujuh bulan) yaitu dari bulan Oktober sampai bulan April tahun berikutnya. Saat ketersediaan air mencukupi perlu dikembangkan lagi penanaman tanaman pakan untuk memenuhi ketersediaan pakan ternak terutama pada bulan kering.
2.
Pada saat pakan hijauan sulit, ada potensi limbah yang sangat melimpah yakni limbah kopi dan kakao yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak.
3.
Pemasaran kambing dilakukan sepanjang tahun, namun pada bulan Juni dan Desember jumlah kambing yang dipasarkan lebih banyak dari bulan-bulan lainnya.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 523
Daftar Pustaka Anonimous. 2003. Modul Pengembangan Kawasan Agropolitan. Pusat Pengembangan Kewirausahaan Agribisnis, 2005. Jakarta. Anonimous, 1996. Bandung.
Berbuat Bersama Berperan Setara. Penerbit : Studio Driya Media,
Butler, W.R and R.D. Smith. 1989. Interrelationship Between Energy Balance and Postpartum Reproductive Fungction in Dairy Cattle. J. Dairy Sci 72 :767-783. Dharma, D.M.N dan A.A.G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali Media Adhikarsa. Denpasar. Ferguson, J.D. 1991. Nutrition and Reproduction in Dairy Cows. In : The Veterinary Clinics of North America : Food Animal Practice, edited by Charles J. Sniffen and Thomas H. Herdt. Vol. 7.No.2.July.1991. W.B. Saunders Company. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney. Pp:483-507. Guntoro, S., I M R. Yasa., Rubiyo dan I. N. Suyasa. 2004. Optimalisasi Integrasi Usahatani Kambing dengan Tanaman Kopi. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal : 389395. Guntoro, S., dan I M R, Yasa. 2003. Pemanfaatan Limbah Kopi Terfermentasi untuk Penggemukan Kambing Peranakan Etawah (PE). Prosiding Seminar Nasional Revitaliasasi Teknologi Kreatif dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Hal : 379-382. Guntoro, S., dan I M R, Yasa. 2005. Pengaruh Penggunaan Limbah Kopi Terhadap Produktivitas Susu Kambing. Makalah disampaikan Nasional “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi dalam Upaya Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal pada tanggal 2005 di Mataram.
Terfermentasi pada Seminar Mempercepat 30-31 Agustus
Hedah, H.D. 2000. Gangguan Reproduksi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Inseminator Sapi / Kerbau Tingkat Nasional Angkatan Ke I, 22 Agustus- 11 September 2000. Heliati, I. 1999. Kandungan Protein dan Fosfor pada Spesies Leguminosa (Kacangkacangan) yang Ditanam pada Tanah Ciawi, Kupang dan Grati. Prosiding Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal : 62-65. Iskandar, T. 2000. Masalah Skabies pada Hewan dan Manusia serta Penanggulangannya. Wartazoa. Vol.10 (1) : 28-34. Lapage, G. 1956. Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. 4 th Edition. Baltimore. London. pp.438-457. Londra I Made, Puguh Surjowardojo, Siti Chuzaemi and Kuntoro B.A, 2012. Potential of Fermented Coffee Peel as Legume Substitution for Male Etawah Crossbred Goat Fodder. International Journal of Agricultural Research . Academic Journals Inc., USA, Volume 7, Number 5, 276-283. I Made Londra dan Putu Sutami : Peluang inovasi tek. pengembangan ternak kambing | 524
Manurung, J. 1991. Pengobatan Kudis (Sarcoptes scabiei) pad kambing dengan oli dan belerang serta campurannya. Penyakit Hewan Vol. XXII (41) : 45-49. Mock, D.E. 2001. Sarcoptic Mange or Scabies mite. Short article. Medical and Vet. Entomology. Kansas State University. Pratomo, Al. G., M.A. Yusron., G. Kartono., M. Sugiyarto., R. Hardianto dan Martono. 2004. Pengkajian Pemanfaatan Lahan Berteras untuk Penataan Hijauan Mendukung Konservasi Tanah dan Ketersediaan Pakan. Bulletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Vol.7, hal : 34-39. Reeves, J.J. 1987. Endocrinology of Reproduction. In : Reproduction in Farm Animal, edited by Hafez, E.S.E. 5th Edition. Lea and Febiger, Philadelphia. pp:85-106. Swanson, L.V. 1989. Interactions of Nutrition and Reproduction. J. Dairy Science.72:805814. Wargadipura, S.R. dan E. Johan. 1997. Pemberdayaan Lamtoro Tahan Kutu (Hantu) utuk Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal ; 975-979.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 525