Lokakarya Nasional Kambing Potong
POLA PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KAMBING MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI DENGAN SUBSISTEM USAHATANI TANAMAN LUDY K. KRISTIANTO, SRI SUDARWATI, NUR RIZQI BARIROH, M. BASIR NAPPU dan RETNO WIDOWATI *) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur
ABSTRAK Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui prospek pengembangan usahaternak kambing terpadu dengan usahatani tanaman dapat meningkatkan pendapatan petani. Kegiatan dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2003 dengan lokasi di desa Bukit Raya, kecamatan Samboja, kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan daerah pinggiran perkotaan (peri urban) yaitu kotamadya Balikpapan yang memiliki potensi untuk pengembangan ternak kambing. Induk kambing lokal yang diamati sebanyak 20 ekor berumur ± 3 tahun dengan berat badan antara 20−25 kg (rataan 23,83±2,06 kg), sedangkan pejantan yang digunakan adalah Peranakan Etawah berumur ± 4 tahun dalam keadaan fertil. Untuk penyerentakan birahi digunakan hormon progesteron yang mengandung bahan aktif medroxy progesterone acetate (MAP) dalam pelarut air dan untuk menghindari terjadinya infeksi digunakan krem antiseptik oxytetracycline. Untuk penyakit cacingan digunakan Albendazole dan pengobatan parasit luar digunakan ivomec atau serbuk belerang ditambahkan oli bekas yang dihangatkan. Pakan yang digunakan adalah kombinasi rumput Paspalum atratum, rumput lapangan, dan leguminosa pohon (Gliricidae maculata, dan nangka) dengan perbandingan antara rumput dan leguminosa 3:1 bagian. Data dianalisis secara statistik menggunakan prosedur Uji-t-Student. Hasil analisis menunjukkan bahwa berat lahir anak kambing jantan tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan tipe kelahiran kembar (2,32 vs 1,80 kg). Demikian pula yang betina (1,95 vs 1,58 kg). Pada masing-masing tipe kelahiran, berat lahir anak kambing jantan berbeda dibanding anak kambing betina, baik pada tipe kelahiran tunggal maupun kembar yaitu, (2,32 vs 1,95 kg) dan (1,80 vs 1,58 kg). Laju mortalitas sebesar 22,4%. Tipe kelahiran tunggal perbandingan jantan : betina sebesar 43,7%:56,3%, sedangkan kembar, untuk jantan lebih banyak dilahirkan dibanding yang betina (68,8%:31,2%). Selang beranak sebesar 296 ± 72,28 hari. Jumlah anak sekelahiran rataan sebesar 1,41±0,50 ekor. Disimpulkan bahwa, tingkat produktivitas induk kambing lokal salah satu indikatornya adalah laju reproduksi induk (LRI) sebesar 1,37 ekor anak sapih/induk/tahun adalah cukup baik bila dibandingkan dengan induk kambing yang dipelihara petani di daerah lain dengan nilai LRI hanya sebesar 0,76 ekor anak sapih/induk/tahun, sedangkan tambahan pendapatan diperoleh petani dari usaha tanaman pangan. Kata kunci: Kambing, integrasi, usahatani tanaman, lahan kering berlereng, borneo
PENDAHULUAN Propinsi Kalimantan Timur memiliki potensi lahan kering mencapai 17.089.000 ha untuk pengembangan pertanian, seperti jagung, kedelai, dan ubi jalar. Potensi ini didukung oleh curah hujan dengan intensitas yang tinggi dan penyebarannya hampir merata sepanjang tahun, sehingga air cukup tersedia dan peluang masa tanam cukup lama (8-12 bulan). Akan tetapi, dengan curah hujan dengan intensitas yang tinggi dapat mengakibatkan erosi lahan dan pencucian sebagian besar unsur hara, yang dapat mengakibatkan kesuburan lahan menjadi rendah (PUSLITBANGTANAK, 2001). Topografi lahan kering di Kalimantan Timur terdiri dari datar-berombak (35%) berombak bergelombang (2,65%), berbukit (24%), bergunung (37%), dan lain-lain (1,35%) (PUSLITBANGTANAK, 2001). Melihat kondisi topografi lahan seperti di atas, sangat memungkinkan terjadinya tingkat erosi yang
tinggi pada saat musim hujan. Tanah tidak dapat lagi mendukung produktivitas tanaman pangan seperti yang diharapkan, sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga petani sehari-hari. Salah satu wilayah yang dijadikan lokasi pengkajian adalah desa Bukit Raya, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara yang memiliki topografi lahan bergelombang, didominasi oleh jenis tanah yang mempunyai kelarutan Al-dd yang tinggi. Selain itu, permasalahan lahan kering saat ini yang utama adalah rendahnya kandungan bahan organik dan kemampuan tanah menyimpan air, sehingga menyebabkan terjadinya erosi. Berdasarkan potensi lahan kering di wilayah tersebut, dan dari hasil temu koordinasi teknologi pertanian Kalimantan Timur dengan tim teknis dan tim komisi tahun 2002 dilaporkan bahwa, kebutuhan teknologi daerah harus mendapat
185
Lokakarya Nasional Kambing Potong
prioritas adalah: (1) peningkatan produksi pangan terutama palawija melalui peningkatan kesuburan lahan, (2) peningkatan produktivitas ternak melalui penyediaan hijauan pakan ternak unggul dan pemanfaatan limbah pertanian. Untuk itu, diperlukan sinergisme sistem usahatani untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, lingkungan dan sosial masyarakat. Salah satunya usahatani terpadu ternak kambing dengan tanaman pangan di lahan kering berlereng. Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki keunggulan mudah pemeliharaannya, cepat berkembangbiak, dan dapat menghasilkan produksi daging sebagai substitusi daging sapi. Keluarga petani memelihara ternak kambing dengan tujuan untuk memperoleh sumber pendapatan lain, jika tanaman pangan yang diusahakannya mengalami kegagalan panen, disamping juga sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat dijual jika ada keperluan keuangan yang mendesak. Perkembangan populasi ternak kambing dan ternak ruminansia lainnya di lahan kering berlereng (Tabel 1) menemui beberapa hambatan, di antaranya kualitas pakan relatif rendah pada musim hujan dan ketersediaan pakan berkurang pada musim kemarau. Tabel 1. Perkembangan populasi ternak ruminansia di Kalimantan Timur Jenis ternak
Populasi ternak (ekor) Tahun 2000
Tahun 2001
Kenaikan (%)
Sapi potong
52.070
53.511
2,76
Kerbau
14.088
14,937
6,03
Kambing
60.434
70.093
15,96
Domba
1.055
1.177
11,56
Sumber: STATISTIK PETERNAKAN KALTIM (2002)
DISNAK
PROPINSI
Pada Tabel 1 tampak bahwa kecuali ternak kambing, persentase peningkatan populasi ternak lainnya relatif masih lamban karena penguasaan manajemen pemeliharaan ternak oleh petani di pedesaan masih rendah, akibat kurangnya penyediaan pakan berkualitas sesuai kebutuhan dan preferensi bagi ternak. Data pada tabel di atas juga menunjukkan bahwa ternak kambing adalah salah satu jenis ternak yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim dan cepat berkembangbiak (1-2 ekor/induk anak yang dilahirkan dan lama bunting 5 bulan).
186
Makalah ini merupakan kajian yang bertujuan untuk mengetahui prospek pengembangan usaha ternak kambing dalam subsistem usahatani tanaman di lahan kering berlereng di Kalimantan Timur terhadap peningkatan pendapatan petani. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENGEMBANGAN KAMBING Berdasarkan hasil survey pemahaman pedesaan secara partisipatif (PRA) tahun 2001 dapat digambarkan profil wilayah pengembangan ternak kambing yang terintegrasi dengan subsistem usahatani tanaman sebagai berikut: Kegiatan Sehari-hari Kegiatan yang dilakukan petani sehari-hari yaitu kegiatan rutin rumah tangga (kegiatan yang ada di rumah yang terjadi setiap hari), usahatani tanaman pangan, usahatani peternakan (mencari rumput, membersihkan kandang, memberi pakan dan minum pada ternak dll) dan istirahat. Namun waktu yang paling banyak dicurahkan pada usahatani tanaman pangan karena petani biasanya mengerjakan uasahataninya dengan tenaga sendiri dan apabila tidak mampu baru menggunakan tanaga buruh. Usahatani tanaman pangan yang dilakukan di Desa Bukit Raya pada umumnya tanaman padi. Untuk mencari penghasilan tambahan selain usahatani padi petani juga melakukan usahatani ternak seperti memelihara ayam, mentok, itik, kambing dan sapi. Waktu yang dicurahkan untuk usahatani ternak cukup banyak karena biasanya petani memberikan pakan ternak kambing dan sapi harus mencari rumput dan tidak diberi pakan lainnya. Kelembagaan Hubungan kelembagaan dengan usahatani di Desa Bukit Raya dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Di Desa Bukit Raya Kecamatan Samboja ada beberapa kelembagaan yaitu kelompok tani, KUT, Bank, pedagang, tengkulak, pasar, PPL, Dinas, LKMD, dan Kelurahan. Kelompok tani dan PPL di Desa Bukit Raya kurang aktif sehingga hubungan lembaga tersebut dengan rumah tangga petani kurang erat mengakibatkan untuk membina petani mengalami kesulitan. Lembaga lainnya yang kurang erat hubungannya dengan rumah tangga petani yaitu Bank, pasar, LKMD dan Kelurahan
Lokakarya Nasional Kambing Potong
PPL Dinas
LKMD Kel. Tani
RUMAH TANGGA TANI
Kelurahan
Tengkulak
Bank
Pasar
KUT Pdg
Tabel 2. Kalender musim Bulan
Musim
April–Mei
Semai
Mei–Juni
Tanam
Juni–September
Pemeliharaan
September–Oktober
Panen
Oktober–Nopember
Semai
Nopember–Desember
Tanam
Desember–Maret Maret−April
Pemeliharaan Panen
Lembaga yang paling erat hubungannya dengan rumah tangga tani yaitu tengkulak, karena petani menjual hasil usahataninya tidak ke pasar tetapi pada tengkulak. Pada dasarnya petani tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran hasil usahataninya karena dilakukan di lokasi petani sehingga tidak perlu ongkos transportasi. Namun sebetulnya hal ini mengurangi penghasilan petani
karena tengkulak membeli dengan harga lebih murah. Hal ini disebabkan transportasi di Desa Bukit Raya sulit sehingga petani lebih baik menjual hasil usahataninya ke tengkulak dari pada menjual di luar tetapi ongkos transportasinya mahal. Di Desa Bukit Raya tanam padi dilakukan setahun 2 (dua) kali yaitu musim gaduh bulan Mei –Juni dan musim rendengan bulan Nopember– Desember, sedangkan panennya pada bulan September–Oktober dan Maret–April. Penanaman Tanaman Pakan Ternak Rumput Paspalum atratum ditanam pada lereng mengikuti garis kontur dengan jarak 40 cm x 40 cm secara zig-zag. Selain itu juga ditanam gliricidae dengan jarak 3 m. Pada lorong lahan ditanami jagung dengan jarak tanam 40 cm x 75 cm dan ubi jalar dengan jarak tanam 25 cm x 100 cm. Daun gliricidae dipanen umur 4 bulan dan rumput Paspalum atratum dipanen umur 50 hari setelah tanam (HST). Kedua jenis hijauan ini dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah jagung dan ubi jalar
187
Lokakarya Nasional Kambing Potong
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan sisanya untuk kompos. Kotoran ternak dan sisa pakan dikomposkan dan digunakan sebagai pupuk organik tanaman palawija dan hijauan pakan ternak. Konservasi Lahan Konservasi lahan dilaksanakan dengan membuat garis kontur pada sabuk lereng dengan menggunakan ondol-ondol. Pada garis kontur ditanami rumput Paspalum atratum dan setiap jarak 3 m ditanami gliricidae, sedangkan pada lorong teras di antara barisan gliricidae ditanami jagung dan ubi jalar. Pembuatan kontur yang memotong lereng dan ditanami tanaman penguat ini dimaksudkan untuk menahan erosi tanah. Rangkaian kegiatan yang dilakukan pada konservasi lahan, yakni : Observasi Lahan Kegiatan konservasi diawali dengan observasi, identifikasi dan pengumpulan data-data sumberdaya lahan di lokasi penelitian, mempersiapkan keperluan alat dan bahan di lapangan. Observasi dan identifikasi dilakukan untuk mengukur panjang lereng, kelerengan, sumberdaya tanah, dan jenis pengelolaan tanaman dan lahan. Sedangkan, data yang dikumpulkan untuk mengukur pendugaan besarnya tingkat erosi tanah meliputi : iklim (rata-rata curah hujan bulanan, curah hujan maksimum dalam 24 jam, dan jumlah hari hujan), sumberdaya tanah (% pasir, % debu, % liat, C organik, struktur tanah, permeabilitas tanah, dan ke dalam efektif tanah), faktor topografi (panjang lereng dan kemiringan). Analisis Pendugaan Besarnya Erosi Tanah Pendugaan besarnya erosi tanah didasarkan pada model USLE (Universal Soil Loss Equation) dari WISCHEMEIER dan SMITH (1978). Penanaman Tanaman Pangan Tanaman jagung dan ubi jalar ditanam pada lorong di antara strip rumput. Luas pertanaman jagung sekitar 4 ha dan ubi jalar sekitar 3 ha. Tanaman jagung varietas Semar-3 ditanam dengan jarak 40 cm x 70 cm, sedangkan ubi jalar varietas MIS 104-1 ditanam dengan jarak 25 cm x 100 cm.
188
Pemeliharaan Ternak Kambing Deskripsi ternak kambing yang dipelihara adalah 20 ekor induk kambing lokal berumur ±3 tahun dengan berat badan antara 20-25 kg (rataan 23,83±2,06 kg) dan induk yang melahirkan dari persilangan dengan menggunakan pejantan PE berumur ±4 tahun pada kondisi fertil. Hormon progesterone yang mengandung bahan aktif medroxy progesterone acetate (MAP), digunakan untuk menyerentakan birahi induk kambing lokal, dan untuk menghindari terjadinya infeksi digunakan krem antiseptik Oxytetracycline. Untuk mengobati penyakit cacingan digunakan obat cacing Albendazole (BAYER, KOREA Ltd) dan untuk pengobatan parasit luar digunakan ivomec (BAYER, KOREA Ltd) dan serbuk belerang ditambahkan oli bekas yang dihangatkan, dimana penggunaannya sesuai dengan dosis anjuran. Pakan yang digunakan oleh petani yaitu kombinasi antara rumput Paspalum atratum, rumput lapangan, dan leguminosa pohon (Gliricidae maculata, dan nangka) dengan perbandingan antara rumput dan leguminosa 3:1 bagian. Induk kambing lokal dipelihara di rumah masing-masing petani dengan bentuk kandang semi panggung, beratapkan daun rumbia/alang-alang dan berdinding kayu yang berjarak, sehingga memungkinkan sirkulasi udara lebih baik. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan rumput, sedangkan air minum ditempatkan dalam ember plastik dengan kapasitas 5 liter dan di setiap kandang juga dilengkapi bambu gantung untuk menyediakan sumber mineral yaitu garam dapur. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) implan intra-vagina yang terbuat dari spon super dan pemasangannya dilakukan dengan menggunakan aplikator buatan sendiri (Gambar 1); (2) timbangan gantung kapasitas 100 kg dengan skala 0,5 kg yang dilengkapi dengan karung/terpal untuk menggantung kambing, dan timbangan duduk merek Huachao kapasitas 8 kg dengan skala 0,02 kg. Perkawinan dilakukan secara alam (natural services) pada setiap kelompok induk yang terdiri dari 10-15 ekor induk yang dikumpulkan di kandang kelompok. Bahan penyerentakan birahi dengan menggunakan spon super berbentuk silinder dengan diameter 2 cm dan panjang 4 cm, dan dilengkapi tali nilon. Masing-masing spon diinjeksi depoprogestin@ sebanyak 1 ml yang mengandung 50 mg MAP/ml. Selanjutnya spon yang sudah
Lokakarya Nasional Kambing Potong @
diinjeksi depoprogestin tersebut dijemur dibawah terik matahari hingga kering. Aplikator dibuat dari pipa PVC plastik dengan diameter 1,5 cm dan panjang 15 cm yang di dalamnya diberi kayu tumpul. Penyerentakan birahi dilakukan secara intra-vagina selama 14 hari, kemudian dicabut dan setelah ada gejala birahi selanjutnya dikawinkan secara alami dengan menggunakan pejantan PE yang telah dipersiapkan. Pengamatan dilakukan terhadap selang beranak, jumlah anak perkelahiran, berat lahir, laju
kematian/mortalitas pra sapih dan perbandingan jenis kelamin anak. Laju reproduksi induk (LRI) dihitung menurut rumus: Rataan jmlh ank/kelahiran x (1 – Laju Mortalitas) LRI= ---------------------------------------------------------- Ekor ank sapih/induk/thn Selang beranak (tahun)
Semua data yang dikumpulkan selama penelitian dianalisa secara statistik dengan menggunakan Uji-t-Student menurut prosedur ASTUTI. (1980).
A
B
C D
Keterangan : A = pipa PVC tipis, diameter 5 cm,
panjang 25 cm
B = kayu pendorong spon super, diameter 4 cm, panjang 40 cm, C = spon super, diameter 5 cm, panjang 7,5 cm, dan benang nilon
Gambar 1. Spon implan intra-vagina dan aplikatornya
B
C
A
D
A = rektum; B = spon super; C = serviks; D = benang nilon Gambar 2. Teknik pemasangan spon secara intra-vagina
189
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Induk kambing lokal yang sudah siap kawin dan kambing Peranakan Etawah jantan dewasa diberikan pakan berupa rumput Paspalum atratum dan daun gliricidae. Pakan diberikan secara ad libitum (tak terbatas). Pada saat panen, limbah jagung dan daun ubi jalar diberikan sebagai pakan dengan perbandingan 3:1. Perkawinan ternak dilakukan secara alami, dimana sebelumnya telah dilakukan penyerentakan birahi pada induk kambing dengan menggunakan hormon progesteron (depoprogestin, produksi PT. Harsen, Jakarta) dengan dosis pemberian 1 ml/ekor yang selanjutnya dikemas dalam bentuk spons dilakukan secara intravagina selama 14 hari.
mencapai 40%. Hasil penelitian RAHAYUNINGSIH dan HARTOJO (1999) menunjukkan bahwa, penggunaan varietas MIS 104-1 dapat memberikan hasil 28.78 t/ha. Limbah tanaman jagung dan ubi jalar selain dimanfaatkan untuk pakan ternak juga digunakan sebagai pupuk organik. Keragaan pertumbuhan dan hasil tanaman dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pertumbuhan dan hasil jagung dan ubi jalar di antara lorong teras Hasil Tanaman
Pembuatan Pupuk Organik Kotoran ternak, sisa pakan dan tanaman pangan dibuat pupuk organik dengan menggunakan ragi kompos (trichoderma). Pemberian pupuk organik bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanah melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. KERAGAAN HASIL DAN PEMBAHASAN Integrasi Kambing Dan Tanaman Lokasi pengkajian di Desa Bukit Raya, Kecamatan Samboja, memiliki nilai indeks erosivitas sebesar 1.533,34, indeks erodibilitas 0,61, dan faktor topografi yang berkisar 1,20–9,58. Hasil pendugaan besarnya erosi tanah menunjukkan bahwa pada areal yang tanpa pengelolaan dengan kelerengan 13–45% memiliki kisaran erosi tanah 572,43–4.569,87 t/ha/tahun dan setelah dilakukan pengelolaan dengan penanaman jagung dan ubi jalar di antara strip rumput kisaran erosi menjadi 387,23–3.091,38 t/ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa, penanaman jagung dan ubi jalar di antara strip rumput yang serarah kontur dapat menekan laju erosi tanah 32,35% dari besarnya erosi tanah sebelum dilakukan pengelolaan. Tanaman Pangan Penanaman jagung pada lorong teras dapat menghasilkan 26.243 tongkol jagung muda/ha atau setara 4.209 kg/ha pipilan kering, sedangkan ubi jalar yang dihasilkan sebesar 9.230 kg/ha. Produksi rata-rata ubi jalar termasuk rendah, hal ini disebabkan pada saat pertumbuhan terjadi kemarau panjang, sehingga tingkat kematian tanaman 190
Tinggi/ panjang tanaman 45 HST(cm)
Jagung Jagung muda kering (tongkol/ (kg/ha) ha)
Ubi jalar (kg/ ha)
Jagung
166,41
26.243
4.209
-
Ubi jalar
151,8
-
-
9.230
Sumber: Data diolah (2002)
Tanaman Pakan Ternak Tanaman pakan ternak yang ditanam adalah rumput Paspalum atratum dan leguminosa pohon gliricidae. Rumput yang ditanam sebanyak 50.000 stek dengan rotasi panen 50 hari mampu menghasilkan 0,5 kg/rumpun (panen awal) atau setara 50 kg/ha/hari, kemudian panen berikutnya menghasilkan 125 kg/ha/hari. Sementara itu, leguminosa pohon (gliricidae) yang ditanam sebanyak 17.000 pohon, terdiri dari 7.000 pohon pada strip kontur dan 10.000 pohon pada pagar lahan dengan rotasi panen setiap 90 hari dapat menghasilkan daun gliricidae 0,7 kg/pohon atau setara 13 kg/ha/hari. Dengan demikian, rumput Paspalum atratum dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak kambing sebanyak 12-30 ekor dan daun gliricidae dapat mencukupi keperluan 13 ekor ternak kambing. Keistimewaan dari penanaman campuran antara rumput Paspalum atratum dan leguminosa pohon gliricidae adalah kemampuannya untuk tumbuh pada tanah yang berkondisi buruk, bahkan pada tahap lebih lanjut mampu memperbaiki struktur tanah dengan kemampuan membentuk humus dan akarnya dapat mengeluarkan eksudat yang berguna membentuk granula-granula tanah. Perbaikan struktur tanah melalui penanaman rumput Paspalum atratum akan menguntungkan, sebab leguminosa pohon akan tumbuh lebih baik. Di samping itu, leguminosa pohon mempunyai kemampuan mengikat unsur nitrogen pada akarnya, sehingga dengan kemampuan kedua jenis tanaman tersebut
Lokakarya Nasional Kambing Potong
diharapkan lahan yang semula kritis sedikit demi sedikit akan kembali menjadi lahan yang produktif. Produktivitas Ternak Kambing Induk kambing lokal dipelihara oleh petani kooperator sebanyak 15 orang dengan rataan kepemilikan 2-3 ekor induk kambing lokal yang pemeliharaannya hanya sebagai usaha sambilan bukan sebagai usaha pokok. Sedangkan sistem perkawinannya dilakukan secara kawin alam yang dilakukan di kandang kelompok dengan menggunakan pejantan Peranakan Etawah, dimana sebelumnya telah dilakukan penyerentakan birahi dengan menggunakan hormon progesteron secara intra-vagina selama 14 hari. Ternak-ternak tersebut dipelihara di kandang model semi panggung milik petani kooperator, dengan sistem pemeliharaannya ternak di dalam kandang terus menerus. Pemberian pakan dilakukan secara cut and carry berupa hijauan Paspalum atratum, rumput lapangan, dan leguminosa pohon (Gliricidae maculata) dengan perbandingan pemberian rumput dengan leguminosa pohon adalah 3:1. Hasil analisis menunjukkan bahwa berat lahir anak kambing jantan tipe kelahiran tunggal berbeda nyata (P<0,05) dengan tipe kelahiran kembar (2,32 vs 1,80 kg). Demikian pula yang betina (1,95 vs 1,58 kg). Pada masing-masing tipe kelahiran, berat lahir anak kambing jantan berbeda dibanding anak kambing betina, baik pada tipe kelahiran tunggal maupun kembar yaitu, (2,32 vs 1,95 kg) dan (1,80 vs 1,58 kg). Hasil sesuai dengan yang dilaporkan oleh NGADIYONO et al. (1984) dan HANDIWIRAWAN et al. (1996).
Laju mortalitas anak kambing pra sapih sebesar 22,4%, mortalitas pra-sapih umumnya sering terjadi pada anak kambing yang lahir kembar daripada anak kambing yang lahir tunggal. Hal ini kemungkinan disebabkan anak kambing yang lahir tunggal lebih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan air susu dari induknya dibandingkan dengan anak kambing yang lahir kembar. Sedangkan PRABOWO et al. (1995) HANDIWIRAWAN et al. (1996), melaporkan bahwa kematian anak kambing banyak ditemui pada induk kambing yang diberi pakan dengan tingkat protein rendah (10%) dan tanpa suplementasi mineral mikro. Laju mortalitas anak kambing pra sapih sebesar 22,4% ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh SETIADI et al. (1984) yakni sebesar 34,23% dan HANDIWIRAWAN et al. (1996) yang sebesar 45%. Anak kambing betina relatif lebih banyak dilahirkan daripada yang jantan untuk tipe kelahiran tunggal, dengan perbandingan jantan : betina sebesar 43,7% : 56,3%. Sedangkan untuk tipe kelahiran kembar, anak kambing jantan lebih banyak dilahirkan dibanding yang betina, yakni dengan perbandingan jantan: betina sebesar 68,8% : 31,2%. Perbandingan jenis kelamin (jantan dan betina) sampai saat ini belum bisa dibuktikan faktor apa yang mempengaruhinya, ada anggapan perbandingan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh pH vagina, ternyata anggapan ini salah. Tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa perbandingan jenis kelamin dipengaruhi oleh lama penyimpanan semen, perkawinan pada musim tertentu, dan pemakaian pejantan muda atau tua (TOELIHERE, 1985).
Tabel4. Keragaan Produktivitas Kambing Yang Dipelihara Petani Kooperator Tipe kelahiran
Parameter Tunggal
Kembar-2
Jantan
2,32 ± 0,23aA
1,80 ± 0,09bB
Betina
1,95 ± 0,12bB
1,58 ± 0,12aA
Rataan
Berat lahir (kg)
Laju mortalitas pra sapih (%) Perbandingan jenis kelamin (%)
22,4 43,7 : 56,3
68,8 : 31,2
Selang beranak (hari)
296 ± 72,28
Jumlah anak/kelahiran (ekor)
1,41 ± 0,50
Laju reproduksi induk (LRI)
1,37
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05) Huruf besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05)
191
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Selang beranak pada induk kambing lokal setelah dilakukan penyerentakan birahi secara intravagina dengan menggunakan bahan aktif medroxy progesterone acetate (MPA) yang mengandung 150 mg MPA, yakni rataan sebesar 296±72,28 hari. Selang beranak yang diperoleh masih relative lebih panjang, semestinya masih bisa diperpendek menjadi sekitar 240 hari (8 bulan). Selang beranak induk kambing yang diperoleh ini lebih panjang daripada yang dilaporkan oleh SITORUS et al. (1985) yaitu sebesar 266 hari, akan tetapi masih lebih baik dari yang diperoleh ASTUTI et al. (1984) yakni selama 513 hari. Pada induk kambing lokal selang beranak yang diperoleh lebih panjang daripada yang dilaporkan oleh SETIADI dan SITORUS. (1984) serta BASUKI et al. (1982) yakni berturut-turut selama 269,5 hari dan 237,8 hari. Selang beranak yang panjang ini terutama berkaitan dengan tatalaksana perkawinan. Pengetahuan teknis mengenai perkembangbiakan ternak kambing kurang dimiliki oleh petani kooperator, sehingga saat perkawinan yang tepat sering terlewatkan. Jumlah anak sekelahiran induk kambing lokal rataan adalah 1,41±0,50 ekor, lebih tinggi dari yang didapatkan oleh HANDIWIRAWAN et al. (1996), yaitu sebesar 1,29 ekor, dan lebih rendah dari hasil penelitian NGADIYONO et al. (1984) yakni sebesar 1,56 ekor serta ASTUTI (1984) yakni sebesar 1,70 ekor. Jumlah anak sekelahiran (litter size) merupakan penampilan reproduksi induk kambing lokal yang dapat dijadikan indikator kualitas atau mutu induk kambing, hal ini akan membantu program seleksi dalam usaha untuk mempercepat perbaikan performans. Sifat dewasa dini dan fekunditas (jumlah anak/bunting) dan fertilitas tinggi memberi gambaran kemampuan meningkatkan populasi. Induk kambing dapat beranak lebih dari satu ekor dan lamanya bunting lebih pendek dari ruminansia besar. Jumlah anak tiap kelahiran tergantung dari kemampuan betina, yakni banyaknya ovum yang masak dan jumlah telur yang dibuahi. Kemampuan ini dipengaruhi oleh sifat-sifat pembawaan (bakat), pengaruh luar (lingkungan), dan interaksinya (HARDJOSUBROTO. 1994). Laju reproduksi induk (LRI) kambing lokal merupakan gambaran kemampuan induk dalam merawat anaknya sampai disapih. LRI kambing lokal di lokasi binaan BPTP Kaltim sebesar 1,37 ekor anak sapih/induk/tahun. Beberapa upaya untuk meningkatkan LRI dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah anak sekelahiran, menurunkan laju mortalitas prasapih dan memperpendek selang beranak. 192
Untuk meningkatkan jumlah anak sekelahiran dapat dilakukan dengan jalan memelihara induk kambing lokal yang sering beranak kembar. Memelihara induk kambing lokal dengan jumlah anak kembar, harus diiringi dengan manajemen pemeliharaan yang lebih intensif, jika tidak maka laju mortalitas anak kambing prasapih akan meningkat. Untuk kondisi pedesaan saat ini, memelihara induk kambing dengan jumlah anak lahir kembar adalah sangat memungkinkan. Selang beranak dapat diperpendek dengan memperbaiki tatalaksana perkawinan. Usaha ini dapat dilakukan antara lain dengan sesegera mungkin mengawinkan induk kambing beranak setelah masa involutio uteri selesai, yaitu 2−3 bulan setelah induk kambing beranak, apabila induk menunjukkan tanda-tanda birahi. Untuk meningkatkan produktivitas induk kambing antara lain dapat dilakukan melalui seleksi induk dan pejantan yang akan menjadi “pemacek” diiringi dengan perbaikan tatalaksana perkawinan. Disamping itu juga harus dilakukan perbaikan tatalaksana pemberian pakan dan pengendalian penyakit terutama parasit. Pupuk Organik dari Hasil Sisa Pertanian Sisa panen tanaman pangan berupa jerami jagung, ubi jalar dan kotoran ternak bisa dimanfaatkan untuk pupuk organik. Jumlah jerami yang diperoleh sebanyak 9.511 kg/ha (Tabel5) dan dapat menghasilkan pupuk organik sebanyak 5 ton (perbandingan jerami dan pupuk organik adalah 2:1). Perbandingan ini dapat mencukupi kebutuhan pupuk organik untuk lahan seluas 1 ha/musim tanam. Tabel 5. Jumlah limbah jerami tanaman jagung, ubi jalar dan kotoran ternak untuk kompos Jenis limbah
Jumlah (kg/ha)
Jerami tanaman jagung
4.330
Jerami tanaman ubi jalar
2.769
Kotoran ternak kambing
2.412
Jumlah
9.511
Sumber: Data diolah (2002)
Analisa Usahatani Besarnya jumlah pengeluaran yang digunakan dalam usahatani tanaman jagung dan ubi jalar pada lahan kering berlereng adalah sebesar Rp.
Lokakarya Nasional Kambing Potong
10.349.000,- dan Rp. 4.165.500,-/ha/tahun dengan jumlah penerimaan kedua jenis tanaman masingmasing Rp.15.745.800,- dan Rp.7.384.560,Selanjutnya, tingkat pendapatan dari usaha ternak kambing selama setahun masa pemeliharaan sebesar Rp. 12.524.000,-. Sementara itu, kompos dari limbah yang dihasilkan usahatani terpadu dengan ternak kambing selama setahun/ha memberikan pendapatan sebesar Rp. 1.720.000,-. Pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa urutan usahatani yang dapat usaha ternak kambing dapat memberikan sumbangan pendapatan tertinggi berturut-turut adalah 42,44%, Analisis data usahatani terpadu dengan ternak kambing pada lahan kering berlereng, disajikan pada Lampiran 1.
Sisa panen tanaman pangan dan kotoran ternak sebesar 9.511 kg/ha/musim, dapat digunakan untuk memupuk lahan seluas 1 ha. Introduksi rumput Paspalum atratum dan leguminosa pohon (gliricidae) sebagai penguat teras memberikan efek positif terhadap upaya peningkatan jumlah pemeliharaan ternak kambing. Perlu dilakukan pembuatan silase guna mengatasi kekurangan pakan pada musim kemarau. Silase dibuat dari rumput Paspalum atratum dan leguminosa pohon gliricidae dengan perbandingan 3 : 1 yang dihasilkan pada musim hujan dicampurkan dengan dedak padi sebanyak 3% dari bobot badan ternak. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN DAN SARAN Penanaman rumput Paspalum atratum dan gliricidae pada bibir dan tampingan teras, dan tanaman jagung dan ubi jalar pada lorong teras dapat menekan laju erosi sebesar 32,35% dari besarnya erosi tanah yang terjadi pada lahan yang tidak ditanami rumput penguat teras dan tanaman pangan. Hijauan pakan ternak yang ditanam dengan pola konservasi menghasilkan rumput Paspalum atratum sebanyak 50−125 kg/ha/hari dapat mencukupi kebutuhan pakan 12−30 ekor/hari. Sedangkan, hijauan daun gliricidae sebanyak 13 kg/ha/hari dengan interval panen 90 hari mencukupi kebutuhan pakan kambing sebanyak 13 ekor/hari. Rata-rata produksi jagung yang ditanam pada lorong teras mencapai 26.243 tongkol muda/ha atau setara 4.209 kg/ha pipilan kering, sedangkan ratarata produksi ubi jalar adalah 9.230 kg/ha dengan tingkat pendapatan masing-masing sebesar Rp. 5.296.800 dan Rp. 3.219.060/ha/musim tanam. Selanjutnya, tingkat penerimaan dari usaha ternak kambing dengan pemberian pakan rumput Paspalum atratum dan Gliricidae selama 1 tahun masa pemeliharaan (petani belum mendapatkan keuntungan). Smentara itu, limbah kompos yang dihasilkan memberikan pendapatan sebesar Rp.870.000. Induk kambing lokal yang dipelihara dengan tatalaksana perkawinan yang tepat dengan pejantan (PE), yang dikombinasikan dengan pemberian pakan yang lebih intensif dapat meningkatkan produktivitasnya, dengan laju reproduksi induk (LRI) sebesar 1,37 ekor anak sapih/induk/tahun, lebih baik dari pada sistem petani (kontrol) dengan LRI yang hanya sebesar 0,76 ekor anak sapih/induk/tahun.
ADIATI, U., DWI YULISTIANI, R.S.G. SIANTURI, HASTONO, I-G.M. BUDIARSANA. 1999. Pengaruh perbaikan pakan terhadap respon reproduksi induk kambing Peranakan Etawah. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 1-2 Desember 1998. Puslitbangnak, Bogor ASTUTI, J.M. 1980. Rancangan percobaan dan analisa statistik. Bagian Pemuliaan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. BASUKI, P., W. HARDJOSUBROTO, KUSTONO dan N. NGADIYONO. 1982. Performan produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE) dan Bligon. Pros. Seminar Hasil Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALTIM. 2002. Statistik Peternakan 2001. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. HARDJOSUBROTO W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana Indonesia. HANDIWIRAWAN, E., B. SETIADI dan D. ANGGRAENI. 1996. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Produktivitas induk ternak ruminansia kecil pada kondisi peternakan rakyat di kabupaten Lebak. Prosiding. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor. NGADIYONO, N., P. BASUKI dan G. MURDJITO. 1984. Beberapa data performan ternak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan sejak lahir sampai dengan umur disapih. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil Domba dan Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.hlm 122-125. RAHAYUNINGSIH, STA dan K. HARTOJO, 1999. Keragaan klon harapan ubi jalar di lahan irigasi terbatas di Blitar. Perbaikan Komponen Teknologi Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman dan Umbi-
193
Lokakarya Nasional Kambing Potong
umbian. Edisi Khusus No. 13. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Balitkabi, Malang.
TOELIHERE, MOZES R. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 61.
SETIADI, B dan P. SITORUS. 1984. Penampilan reproduksi dan produksi kambing Peranakan Etawah. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil Domba dan Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. hlm. 118121.
PUSLITBANGTANAK, 2001. Teknologi pengelolaan sumberdaya lahan di Kalimantan Timur. Ekspose hasil-hasil Penelitian Puslibangtanak di Kalimantan. BPTP Kalimantan Timur, 15 hlm.
194
WISCHMEIER, W.H and D. D. SMITH, 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses, A Guide to Conservation Planning Agriculture. Handbook No. 537, USDA, Washington DC.