Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
INOVASI TEKNOLOGI DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT TERNAK KERBAU SRI MUHARSINI, LILY NATALIA, SUHARDONO dan DARMINTO Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. RE Martadinata 30, Bogor 16114 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Kerusakan hati oleh Clostridium novyi (black disease) kerap kali ditemukan pada kerbau, dengan cacing hati sebagai pemicunya. Parasit lain selain cacing hati juga dapat merupakan pemicunya. Penyakit parasit Surra terjadi terutama pada kerbau import yang ditempatkan di daerah endemis Surra. Penyakit lain yang ditemukan pada kerbau adalah enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens. Enterotoksemia juga disebut sebagai usus merah oleh peternak setempat karena usus yang berwarna merah ditemukan pada kerbau yang mati. Wabah penyakit Septicaemia epizootica juga pernah ditemukan pada kerbau. Kejadian penyakitpenyakit diatas dapat dicegah atau dikendalikan dengan pemberian vaksin multivalent yang mengandung toksoid Cl. novyi- Cl. perfringens dan P. multocida mati. Sebanyak 4.975 dosis vaksin telah dibuat dan dikirimkan pada Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Setelah vaksinasi, tingkat kejadian penyakit jauh menurun. Tidak ditemukan adanya kejadian penyakit pada kerbau yang sudah divaksinasi. Sedangkan kejadian penyakit masih ditemukan pada kerbau yang tidak divaksinasi. Penyakit viral seperti MCF belum dapat dikembangkan vaksin yang bagus untuk melindunginya, namun perlu tatalaksana pemeliharaan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dengan menghindarkan ternak kerbau berdekatan dengan ternak domba, karena domba bersifat karier untuk MCF. Kata kunci: Penyakit kerbau, Septicaemia epizootica, black disesase, enterotoxaemia, surra
PENDAHULUAN Ternak kerbau pada umumnya dipelihara di daerah-daerah dimana lahan yang tidak dimanfaatkan untuk usaha pertanian masih luas, dan/ atau daerah yang memang sulit untuk ditanami tanaman sebagaimana umumnya petani bercocok tanam. Kemampuan mencerna pakan hijauan relatif lebih baik daripada sapi sehingga tidak terlalu memilih jenis rumput yang ada, namun demikian keragaan produksinya tidak sebaik pada sapi. Populasi kerbau di Indonesia jumlahnya tinggal sekitar 2,4 juta ekor, dan dari tahun ke tahun terus berkurang. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir penurunan populasi sekitar 2,3% per tahunnya. Banyak faktor penyebab penurunan populasi kerbau ini, beberapa diantaranya diduga ada kaitannya dengan tatalaksana usaha peternakan yang masih dilakukan secara tradisional dan belum memanfaatkan teknologi yang ada. Berubahnya pola pikir peternak kerbau di desa yang ingin mencari penghidupan lain di kota besar, sehingga jumlah peternak kerbau semakin
berkurang. Disamping itu pemerintah lebih kecil perhatiannya terhadap ternak ini dibandingkan terhadap ternak sapi. Sebagai akibatnya keragaan produksi ternak kerbau relatif di bawah harapan. Sebagai contoh, SIREGAR dan DIWYANTO (1996) melaporkan bahwa di Jawa Barat tingkat kelahiran kerbau sekitar 22-33% diikuti dengan tingkat kematian yang tinggi hingga umur sapih (1821%) setiap tahunnya sebagai akibat dari infeksi dan gizi yang buruk. Disamping itu kejadian wabah penyakit dengan mortalitas tinggi, misalnya penyakit Ngorok, merupakan salah satu contoh pengurasan populasi yang berlangsung sangat cepat dalam waktu pendek (SJAMSUDIN dan KALSID, 1975; ANON., 1983/1984; SUHIRJAN et al., 1989). Karena sifat biologinya, ternak kerbau memerlukan suatu lingkungan berair untuk berkubang, maka beberapa penyakit parasitik juga menjadi masalah. Tingginya kematian kerbau rawa di Kalimantan Selatan pada dekade 1990-an ternyata juga berkaitan dengan lingkungan ternak tersebut dipelihara (SUHARDONO, 2000).
41
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Pada kesempatan ini beberapa hasil-hasil surveilan di kawasan Indonesia Timur atau Indonesia pada umumnya dan penelitian berkaitan dengan masalah kesehatan ternak kerbau dan beberapa teknologi yang telah berhasil dikembangkan untuk penanggulangan akan diuraikan. BEBERAPA PENYAKIT PADA KERBAU 1.
Penyakit bakterial
Black Disease (Necrotic hepatitis), Bacillary haemoglobinuria Clostridium novyi (Cl. novyi) tipe A,B,C dan D merupakan bakteri yang mampu menghasilkan toksin, bersifat anaerob, yang dikenal menimbulkan penyakit pada hewan. Cl. novyi tipe B menyebabkan Black disease atau disebut juga necrotic hepatitis. Sedangkan Cl. novyi tipe D atau disebut juga Cl. hemolyticum menyebabkan penyakit yang disebut Bacillary hemoglobinuria. Kedua penyakit tersebut pada umumnya menampakkan kelainan yang mirip yaitu adanya nekrose pada hati, yang merupakan tempat berkembangnya Cl. novyi dan menimbulkan kematian mendadak pada hewan. Spora Clostridium merupakan sumber penularan dari penyakit. Spora dari Cl. novyi toksigenik dapat ditemukan dalam hati hewan yang sehat. Spora tersebut bersifat laten, tidak berkembang biak atau tumbuh dalam hati yang sehat. Namun laporan WORRALL et al. (1987) menunjukkan bahwa spora Cl. novyi tipe A dapat ditemukan dalam hati hewan ruminansia yang sehat di Jawa. Toksisitas toksinnya bervariasi dari 10 sampai 10.000 mouse MLD/ml (WORRALL et al, 1987). Kesulitan diagnosa di laboratorium dan kelainan patologik anatomik yang tidak menciri karena kematian hewan yang cepat merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan jarangnya laporan kasus Black disease di Indonesia sampai saat ini. Kasus black disease yang disebabkan oleh Cl. novyi di Kalimantan Selatan juga dipicu adanya kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica. Diagnosis secara cepat menggunakan Fluorescent antibody technique (FAT). Diagnosa dilakukan dengan mengisolasi dan
48
mengidentifikasi agen penyakit dan jenis toksin dari hewan yang mati. Deteksi toksin dapat dilakukan dengan mouse protection test atau ELISA (NATALIA, 1997). Enterotoxaemia, Necrotic Enteritis Kejadian enterotoxaemia pada kerbau di Indonesia telah sering dilaporkan (WORRALL et al.; 1987, NATALIA, et al.,1988; NATALIA, 1992). Penyakit ini dapat disebabkan oleh Cl. perfringens tipe A, B, C dan D, suatu bakteri anaerob yang berspora. Toksin utama yang dihasilkan bakteri ini adalah toksin alpha, beta dan epsilon. Tipe A Cl. perfringens menghasilkan toksin alpha, tipe B menghasilkan toksin alpha, beta dan epsilon. Cl. perfringens tipe C menghasilkan toksin alpha dan beta. Sedangkan tipe D menghasilkan toksin alpha dan epsilon. Bakteri ini menimbulkan penyakit dengan gejala klinis yang akut dan sering disebut sebagai mati mendadak. Secara normal Cl. perfringens dapat ditemukan pada hewan yang sehat. Tetapi dalam keadaan stres karena pergantian musim, kurang atau perubahan pakan dapat menyebabkan gangguan pada enzim protease dalam saluran pencernaan hewan dan menyebabkan intestinal stasis. Keadaan ini merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangbiakan Cl. perfringens dalam usus (WORRALL, et al., 1987). Hal ini akan menyebabkan terjadinya mati mendadak karena enterotoxaemia. Diagnosis: identifikasi Cl. perfringens dengan FAT. Deteksi toksin dapat dilakukan dengan mouse eprotection test atau dengan latex agglutination test (NATALIA dan PRIADI, 2005). Deteksi antibodi pasca vaksinasi dapat dimonitor dengan menggunakan ELISA (NATALIA, 1996). Penyakit Septicaemia epizootica (SE) Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) merupakan penyakit akut, bersifat fatal dan terutama menyerang hewan kerbau dan sapi. Dibanding hewan sapi, ternak kerbau jauh lebih peka terhadap penyakit SE (DE ALWIS, 1993). Penyakit ini di Indonesia disebabkan oleh Pasteurella multocida B:2. Dengan sistem pemeliharaan kerbau rawa yang
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
dilakukan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan), hewan terlihat mengalami stres akibat perubahan musim kemarau dan musim hujan (rawa yang pasang surut), karena tidak adanya sistem perkandangan (shelter) seperti pemeliharaan ternak pada umumnya. Akibatnya, hewan akan rentan terhadap penyakit pernafasan seperti SE
yang sering terjadi di musim hujan atau di waktu pergantian musim. Wabah SE pada kerbau rawa juga pernah terjadi dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada sekitar tahun 1980-an (KOM. PRIBADI, 2001). Kasus SE pada kerbau masih sering terjadi di daerah lain selain Kalimantan Selatan (Tabel 1).
Tabel 1. Beberapa laporan kasus penyakit SE pada kerbau di beberapa daerah di Indonesia Waktu kasus penyakit Januari 2005
Tempat
Oktober 2005
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara Kabupaten Rokan Hulu, Kampar, Pelelawan, Indragiri Hulu, Riau Kabupaten Sarolangun, Jambi
Nopember 2005
Desember 2005 Desember 2005 – Februari 2006 Februari 2006
Kabupaten Bengkulu Selatan
Kabupaten Kaur, Kabupaten Muko-muko, Bengkulu Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur
Jumlah hewan yang terserang 500 ekor kerbau sakit, 30 ekor mati Sapi dan kerbau (ribuan ?) Ratusan kerbau
40 ekor kerbau mati kerbau
272 ekor sapi, 4 ekor kerbau mati.
Diagnosa klinis di lapangan biasanya didasarkan pada sejarah, gejala dan kelainan yang dijumpai saat pemeriksaan pasca mati. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan cara melakukan serotyping terhadap agen penyakit. Uji heamaglutinasi tidak langsung (Carter’s typing) dan uji agar gel presipitasi, ELISA dan Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik-teknik diagnosis yang sangat berguna. Teknik ELISA telah pula digunakan untuk mengevaluasi hasil vaksinasi. 2.
Penyakit parasitik
Penyakit Surra (Trypanosomiasis) Trypanosomiasis yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi telah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dan beberapa jenis hewan termasuk kerbau adalah hewan yang telah dilaporkan terserang. Wabah Surra yang terbesar terjadi pada tahun 1968-1969 di Jawa Tengah yang menimbukan banyak kematian
Sumber Kompas, 8 Januari 2005 Bainfokom Sumatera Utara, 13 Oktober 2005 Kompas, 23 Nopember 2005 Tempo interaktif 14 Desember 2005 Suara Pembaruan, 17 Februari 2006 Kompas, 9 Februari 2006
pada kerbau lokal (ADIWINATA dan DACHLAN, 1969). Kasus wabah yang terakhir terjadi pada bulan Mei 1988 di Pulau Madura yang diawali dengan kematian 6 ekor kuda dan disusul dengan 7 ekor lainnya dengan gejala yang sama yaitu adanya oedema pada bagian leher, dada, ventral perut sampai ke skrotum (SUKANTO, et al., 1988). Diduga sumber penularan adalah kerbau-kerbau di Desa Langkap, Kabupaten Bangkalan. Kasus kematian karena Surra semakin bertambah yaitu menjadi 52 ekor yang terdiri dari sapi, kerbau dan kuda (HARIAN SUARA KARYA, tanggal 1988). Kasus lain yang terjadi di Kalimantan Selatan yang juga menimbulkan banyak kematian terjadi pada tahun 1990 (BANJARMASIN POST). Dari hasil penelitian pendahuluan di Kalimantan Selatan ditemukan penyakit Surra 5,5% (kisaran 3,2 – 11,2%) (TARMUDJI et al., 1990). Beberapa kasus penyakit Surra terjadi dan menimbulkan kematian yang cukup tinggi pada kerbau-kerbau yang diimpor dari bagian utara Australia pada 1986 ke Aceh, Lampung,
55
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Yogyakarta (yang ditempatkan di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kulon Progo) dan Garut (PAYNE, 1989; LAPORAN TAHUNAN 1991/ 1992). Hal ini disebabkan karena sifat hewan impor yang peka kemudian bergabung dengan hewan lokal yang bersifat karier. Penularan dimungkinkan dengan adanya lalat penghisap darah seperti Tabanus sp, Haematopota sp. dll (NIELSCHULSTZ, 1926), yang populasinya meningkat pada waktu-waktu tertentu pada musim penghujan. Diagnosa Surra menggunakan ulas darah, MHCT (hematocrit centrifugation technique), CAT (card agglutination test), ELISA dan PCR. Penyakit cacing hati (Fasciolosis) Penyakit cacing hati pada kerbau di Indonesia disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica. Kejadiannya di Indonesia lebih banyak pada sapi dan kerbau, sedangkan pada kambing dan domba lebih sedikit (ANONIMOUS, 1991). Di dalam daur hidupnya, cacing ini mutlak memerlukan induk semang antara berupa siput air tawar yaitu Limnea rubiginosa. Infeksi terjadi bila hewan makan tanaman yang pernah terendam air yang terkontaminasi oleh metaserkaria (BORRAY, 1963; HAROUN dan HYLLER, 1985). Metaserkaria dikeluarkan oleh L. rubiginosa, maka tidak mungkin terjadi penularan bila tidak ada siput ini. Kasus Fasciolosis pada kerbau rawa yang tinggi di Kalimantan Selatan memungkinkan terjadinya kasus Black disease. Adanya kerusakan hati akibat parasit hati yang bermigrasi (cacing Fasciola) dapat menyebabkan daerah nekrosis di hati dan membuat lingkungan yang cocok bagi Cl. novyi untuk berproliferasi dan menghasilkan toksin yang mematikan (BAGADI, 1974). Prevalensi Fasciolosis antara 13-78% dan cenderung meningkat pada bulan Juni-Agustus yaitu antara 44-78%. Diagnosa Fasciola dengan cara dentifikasi telur cacing, ELISA.
3.
Penyakit viral
Beberapa penyakit viral pada kerbau yang penting adalah Aptae epizootica (AE) atau Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Malignant Catarrhal Fever (MCF). Penyakit PMK telah bebas dari Indonesia, namun penyakit MCF masih menjadi masalah. Malignant Catharral Fever (MCF) Malignant catharral fever atau penyakit ingusan adalah penyakit yang bersifat fatal dan dapat menyerang sapi, kerbau dan ruminansia liar (rusa). Penyakit ini menyebabkan proliferasi and inflitrasi limfoid yang diikuti oleh nekrosis di berbagai jaringan (PLOWRIGHT, 1984). Ada dua macam MCF yaitu WA-MCF (wildebeest-associated MCF) dan SA-MCF (sheep-associated MCF), yang keduanya tidak dapat dibedakan baik secara klinik dan histopatologik (PLOWRIGHT, 1984). Di Indonesia, MCF pertamakali dilaporkan pada kerbau di Kediri tahun 1894, kemudian meyebar ke Madura, Lombok dan Jawa (MANSJOER, 1954). Juga telah dilaporkan terjadi di Maluku, Kalimantan Tengah, Barat dan Selatan (PARTADIREDJA, et al., 1988). Kasus alami MCF pada sembilan ekor kerbau di Ciawi yang sakit dan kemudian dibunuh atau mati mendadak 1991 – 1992, empat diantaranya positif didiagnosa menggunakan HP dan PCR (WIYONO, et al., 1994). Kasus kematian juga terjadi di Bbalitvet pada tiga ekor sapi Bali dan satu ekor kerbau yang dipelihara bersama dengan domba bunting. Domba merupakan hewan karier penyakit MCF ini, terutama domba yang beranak umur dua bulan atau lebih (SUDARISMAN, 1991) Diagnosa menggunakan histopatologi dan PCR. USAHA PENGENDALIAN PENYAKIT Penyakit Clostridial dan Septicaemia epizootica (SE) Berdasarkan pengamatan Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara sampai tahun 2005, sering terjadi penyakit dan kematian pada kerbau rawa dengan
48
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
kerugian ekonomi yang cukup besar. Dengan tingginya kejadian Fasciolosis pada kerbau kalang di lahan pasang surut dan adanya perubahan lingkungan karena pergantian musim, kemungkinan besar banyak kejadian Black disease, Enterotoxaemia (yang menyebabkan kematian mendadak) dan penyakit SE tidak terdeteksi dan tidak terisolasi penyebabnya. Karena kejadian Black disease, Enterotoxaemia dan SE ini selalu mendadak serta tidak ada pengobatan yang dapat dilakukan, maka usaha pencegahan satusatunya terhadap penyakit ini adalah dengan vaksinasi. Pada tahun 2000, vaksinasi terhadap Black disease (Clostridium novyi) telah dapat menekan angka penyakit dan kematian (PRIADI dan NATALIA, 2003). Pada tahun 2005, vaksinasi telah dilakukan dengan menggunakan vaksin multivalen Black disease – Enterotoxaemia yang berisi toksoid atau bakterin dari Cl. novyi tipe A, B, Cl. perfringens tipe A, C, D, dan P. multocida B:2. Untuk mencegah terulangnya wabah penyakit SE, maka ke dalam vaksin multivalen juga dimasukkan antigen P. multocida B:2. Dengan demikian, diharapkan vaksin multivalen ini dapat melindungi kerbau terhadap penyakit SE yang sering terjadi pada musim hujan. Usaha vaksinasi SE terhadap kerbau rawa pernah dilakukan tetapi sulit pada pelaksanaannya di lapangan. Vaksin SE beradjuvan minyak ditolak pemakaiannya oleh peternak kerbau rawa karena setelah vaksinasi kerbau tidak mau
pulang ke kalang dan menghilang ke dalam hutan untuk waktu lebih dari 4 bulan. Peternak menyatakan kemungkinan vaksin tersebut menimbulkan rasa sakit pada hewan. Dalam pembuatan vaksin oleh Bbalitvet, komponen vaksin SE yang dibuat adalah berupa bakterin yang digabungkan dengan toksoid yang diberi adjuvan alum. Dalam pelaksanaan vaksinasi di lapangan, petugas peternakan setempat dapat melakukannya sendiri tanpa kesulitan yang berarti. Juga tidak ditemukan reaksi vaksinasi seperti yang terjadi pada saat vaksinasi dengan vaksin SE beradjuvan minyak (produksi PusVetMa). Vaksinasi dilakukan dengan penyuntikan vaksin secara sub kutan untuk hewan kerbau yang berumur 6 bulan ke atas. Vaksinasi booster akan dilakukan dengan selang waktu 1 bulan setelah vaksinasi pertama. dengan dosis vaksin yang sama (4 ml). Pada tahun 2005, Bbalitvet telah memproduksi sebanyak 21 liter (+5000 dosis) vaksin multivalen. Sebelum vaksin diaplikasikan pada kerbau rawa, vaksin telah diuji keamanan dan kemurniannya. Vaksin multivalen sebanyak 4975 dosis telah dikirim ke Dinas Peternakan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan pada akhir Mei dan awal Juli 2005 (dalam 2 kali pengiriman). Untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi, perlu dilakukan pemantauan respon kekebalan setelah vaksinasi. Hasil evaluasi vaksinasi penyakit Black disease pada kerbau rawa dapat dilihat pada Gambar 1.
5
ELISA (I.U)
4
3
2
1
0
Pre vaksinasi
3 bulan pasca vaksinasi
Gambar 1. Respon vaksin mutivalen (Black disease) pada kerbau rawa
57
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Hasil wawancara dengan Kapala Dinas Peternakan Hulu Sungai Utara, kepala desakepala desa di Kecamatan danau Panggang, peternak kerbau rawa, petugas kesehatan setempat diperoleh informasi bahwa kejadian kematian kerbau karena hati hangus, usus merah dan sebagainya yang mengarah pada Black disease, Enterotoxaemia dan SE tidak ditemukan lagi pada kerbau yang telah divaksinasi. Sedangkan kasus seperti yang disebut di atas masih ada atau ditemukan pada kerbau yang tidak divaksinasi. Pada umumnya peternak kerbau telah merasa aman terhadap penyakit mati mendadak setelah kerbaunya divaksinasi. Penyakit yang masih ditemukan pada kerbau rawa adalah penyakit Surra dengan gejala kerbau berputar, kelemahan, terutama setelah kerbau melahirkan dan kelemahan pada anak kerbau. Pada saat ini dirasakan kerbau mengalami kekurangan rumput sebagai pakan utamanya karena adanya serangan keong mas. Untuk penyediaan vaksin bakterial hewan besar, pada umumnya vaksin bakterial (khususnya Clostridium sp., Pasteurella sp.) dapat dibuat sesuai dengan kondisi hewan di lapangan. Untuk efisiensi pelaksanaan vaksinasi, vaksin multivalen dapat dibuat sesuai kebutuhan. Vaksin Enterotoksemia pada umumnya sangat dibutuhkan untuk hewan besar yang akan ditansportasikan. Demikian juga vaksin SE dan vaksin Pasteurellosis lainnya. Untuk kemudahan dan efektifitas vaksinasi, penggunaan vaksin hidup aerosol yang diberikan secara intranasal untuk pencegahan penyakit SE juga telah dapat diproduksi di Bbalitvet.
(infeksi cacing) maka tritmen hijauan dapat dilakukan (misal pengeringan, mengambil rumput di daerah bersih dsb). Pengomposan limbah kandang akan membunuh sebagian besar telur cacing. Pengendalian dengan cara biologik (menggunakan unggas air) pada kasus-kasus tertentu dapat menekan kontaminasi parasit pada rumput (SUHARDONO et al., 1998). Pengendalian penyakit Surra masih mengandalkan pengobatan. Namun terbukti bahwa beberapa obat Surra telah resisten, seperti Isometamidium dan Diminazen azeturat (SUKANTO et al., 1988). Hampir semua isolat T. evansi yang ada di Bbalitvet resisten terhadap Isometamidium dan sebagian isolat resisten terhadap Diminazen aseturat. Satu-satunya obat yang paling baik adalah Suramin. Pada Suramin tidak ada resistensi terhadap isolat dan mempunyai efek residual selama tiga bulan, sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan dan pencegahan. Namun obat ini sudah dihentikan produksinya sejak beberapa tahun yang lalu, sehingga penemuan obat pengganti sangat dinantikan. Saat ini Bbalitvet sedang melakukan penelitian obat Surra sebagai anternatif pengganti Suramin. Penyakit viral, misal MCF sejauh ini belum dapat dikembangkan vaksin yang bagus untuk melindunginya. Namun tatalaksana pemeliharaan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit. Misalnya menghindarkan ternak kerbau berdekatan dengan ternak domba, karena domba bersifat karier untuk MCF. KESIMPULAN DAN SARAN
Penyakit parasitik dan viral Pengendalian penyakit parasitik sifatnya strategik. Apabila kejadian penyakitnya tinggi perlu dilakukan pengobatan massal pada waktu yang tepat. Sedangkan bila kejadian penyakitnya rendah biasanya pengobatan dilakukan per kasus, biasanya hal ini dilakukan terutama pada setiap pergantian musim. Pada setiap pergantian musim biasanya ternak mengalami stress sehingga penyakit parasitik ini menimbulkan gejala klinis. Terhadap penyakit-penyakit parasitik yang penularan penyakitnya lewat hijauan
48
Untuk pengendalian penyakit bakterial (Clostridium sp., Pasteurella sp.) pada ruminansia besar terutama kerbau, maka vaksinasi adalah cara yang paling tepat. Pemberian vaksin multivalen dapat dilakukan untuk efisiensi pelaksanaan vaksinasi. Bbalitvet telah dapat memproduksi vaksin multivalen untuk bakterial ini sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pengendalian penyakit parasitik dan viral dilakukan secara strategik dan dengan memperhatikan tatalaksana pemeliharaan hewan.
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
DAFTAR PUSTAKA ADIWINATA, T and DACHLAN. A. 1969. A Brief Note on Surra in Indonesia. ELVEKA Folio Veterinaire. 3:11-15 ANONIMOUS. 1991. Data Ekonomi Akibat Penyakit Hewan 1990. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan. ANONYMOUS. 1983/1984. Wabah SE kembali Melanda Sumatera Barat. Bulletin Informasi Kesehatan Hewan BPPH - II Bukittinggi – (01): 2-4. BAGADI, H.O. 1974. Infectious Necrotic Hepatitis (Black Disease) of Sheep. Veterinary Bulletin. 44: 385-388. BAINFOKOM SUMUT. 2005. Penyakit Ngorok Menyerang Ratusan Ekor Kerbau di Tapanuli Selatan Sumatera Utara. 13 Okt. 2005.http://www.bainfokomsumut.go.id/ detail.php?id=168 (7 Mei 2006) BORAY, J.C. 1963. Experimental fascioliasis in Australia. Adv. Parasitol. 7:95-210. DE ALWIS, M.C.L. 1993. Pasteurellosis in Production Animals: a Review. ACIAR Proceedings no 43. Pasteurellosis in Production animals. Eds: PATTEN, B.E., T.L. SPENCER, R.B. JOHNSON, D. HOFFMAN, and L. LEHANE. Pp. 11-22. HAROUN, ETM and G.F HYLLER. 1985. Resistence to Fascioliasis. Vet. Parasitol. 20:63-93. KOMPAS. 2005. Awas, Sapipun Bias Mati Ngorok. Kompas Cybermedia 8 Januari 2005. KOMPAS. 2005. Riau Blokir Daging Sapi dari Luar Daerah. Kompas, 23 Nopember 2005. KOMPAS. 2006. Ratusan Ekor Sapi Mati Akibat Ngorok. Kompas 9 Februari 2006. NATALIA, L. 1992. Teknik Immunoadsorben untuk Pemurnian Antitoksin Clostridium perfringens. Penyakit Hewan 24(43):36-39. NATALIA, L. 1997. Pengembangan Teknik ELISA untuk Mendeteksi Toksin Alfa Clostridium novyi. JITV 2(3): 188-193. NATALIA, L. dan A. PRIADI. 2005. Penggunaan Probiotik untuk Pengendalian Clostridial necrotic enteritis pada Ayam Pedaging. JITV 10(1):71-78. NATALIA, L., E.E. WORRALL and M. SYAFARUDIN. 1988. Antibodies to Clostridium novyi Alpha Toxin in Imported Cattle and Buffalo in Java. Proceedings of the 6th Congress of
FAVA. Oct 16-19, 1988, Denpasar, Bali. Indonesia . pp: 429-434. NIELSCHULSTZ, O. 1926. Zoologchie Bijdragen tot het Surra Problem. XI. Enkele Proven Met Haematopota truncata Schruurm Steckh, Haematopota irrorata Macq. En Tabanus brunipes Schruurm Steckh. Ned. Ind. Blad. Diergeneskd 39:226-238. PAYNE, R.C. 1989. Studies on the Epidemiology of Trypanosoma evansi in the Republic of Indonesia. M.Phil. Thesis. 210pp. PRIADI, A dan L. NATALIA. 2003. Evaluasi Vaksin Black Disease pada Kerbau Rawa dan Sapi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 29-30 September 2003, hlm 172-178. SIREGAR, A.R dan K. DIWYANTO. 1996. Ternak Kerbau Sumberdaya Ternak Lokal sebagai Penghasil Daging. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan 1996. Hal. 371-384. SJAMSUDIN A. dan E. KALSID. 1975. Kasus Penyakit Ngorok (Septicaemia epizootica) di Banten. Bulletin LPPH. 4(8-9): 1-10. SUARA PEMBARUAN. 2006. Kerbau dan Sapi Mati di Tiga Daerah Tingkat II Propinsi Bengkulu terjangkit Penyakit Ngorok. Suara Pembaruan 17 Februari 2006. SUHARDONO, SRI WIDJAJANTI dan S. PARTOUTOMO. 1998. Strategi Penanggulangan Fasciolosis oleh Fasciola gigantica secara Terpadu pada Ternak yang Dipelihara di Lahan Pertanian dengan Sistem Irigasi Intensif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Nopember 1997. Balai Penelitian Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jilid 1; hlm.122-135. SUHARDONO. 2000. Beberapa Masalah Kesehatan Ternak Kerbau yang Dipelihara di Lahan Rawa Kalimantan Selatan. Wartazoa. 10(2): 64-71. SUHIRJAN, M.A GANI dan M. GUNAWAN. 1989. Aspek Epidemiologi Penyakit Ngorok/SE di D.I Aceh tahun 1988. Bulletin Veteriner BPPH I Medan –(4): 1-8. SUKANTO, I.P., R.C. PAYNE dan R. GRAYDON. 1988. Trypanosomiasis di Madura: Survei Parasitologik dan Serologik. Penyakit Hewan 20 (36):85-87. TARMUDJI, K. KETAREN, D.D SISWANSYAH, dan ACHMAD. 1990. Studi Pendahuluan
59
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Peternakan Kerbau Rawa dan Identifikasi Parasit Darahnya di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan, 22(40): 106-111. TEMPO INTERAKTIF. 2005. Kerbau Mati Akibat Penyakit Ngorok. Tempo interaktif, 14 Desember 2005.
48
WORRALL, E.E., G. MOEKTI and D.A. LUBIS. 1987. Clostridium novyi Isolated from the Livers of Healthy Sheep and Goats in Java. Penyakit Hewan 19 (13):14-16.