Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
TERNAK KERBAU (BUBALUS BUBALIS), TERNAK POTENSIAL MASA DEPAN DI INDONESIA RIDHWAN A. B. TALIB1) dan CHALID TALIB2) 1)
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor
ABSTRAK Ternak Kerbau sudah sangat lama hidup di Indonesia, lebih tua dari ternak sapi, akan tetapi masih menjadi ternak yang paling kurang diperhatikan, dikembangkan dan didayagunakan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh sistem beternak yang sangat tergantung pada alam, lemahnya sistem agribisnis, adanya pandangan bahwa kerbau kurang produktif, adanya inbreeding serta kurangnya informasi yang lengkap mengenai kemampuan produksi ternak kerbau untuk peternak. Ternak kerbau lebih unggul dari sapi dalam beberapa hal, antara lain cholesterol susu lebih rendah 43% dari sapi, kalsium susu lebih tinggi 65% dari sapi, lemak jenuh dan cholesterol daging lebih rendah dari sapi, BSE free species, penghasil daging sehat (the red meat with a green attitude), rasa dagingnya tidak beda dari daging sapi jika dimasak, dan sangat jarang mengalami kesulitan beranak. Selain itu, konversi pakan bermutu rendah dengan sedikit protein suplemen menjadi daging dan susu yang baik. Disamping itu ternak kerbau merupakan ternak yang jinak, kuat, masa produktifnya sangat panjang (masih dapat beranak dan menyusui pada umur 20 tahun dengan kondisi sama dengan ternak muda). Oleh karena itu, sesungguhnya prospek masa depan ternak kerbau sangat baik dimana keunggulan ternak kerbau merupakan tuntutan masyarakat sadar gizi dan kesehatan. Masalah yang dihadapi peternak dapat ditangani melalui pelatihan, penyuluhan dan pendampingan secara terus-menerus. Sementara itu, sistem agribisnis diperbaiki melalui pendekatan teknis, ekonomi dan sosial terpadu dalam upaya menghindari terkurasnya ternak rakyat sehingga swasembada daging dan susu serta Indonesia sehat dapat tercapai. Kata kunci: Kerbau, inbreeding, produksi susu
PENDAHULUAN Ada pernyataan yang sangat menarik dari WEBSTER dan WILSON (1980): "The water buffalo is potentially a most important tropical bovine species, especially in very hot areas where rivers and swamps abound. It can compete very successfully with other bovine species and any attempt to 'phase out' the buffalo and replace it with expensive exotic importations should be treated with caution". Populasi kerbau (Bubalus bubalis) terbanyak di dunia terdapat di Asia dan dimanfaatkan sebagai penghasil daging, susu dan tenaga kerja yang hebat terutama di daerah dengan curah hujan tinggi. Di Indonesia populasi kerbau sebanyak 2,5 juta ekor yang mayoritasnya adalah kerbau lumpur, disamping kerbau sungai/Murrah, Nili-Ravi dan Javar Abadi dalam jumlah yang dapat dikatakan sedikit di Sumatera Utara. Bangsa - bangsa kerbau ini dimasukkan ke Indonesia pada abad 19 dari Punjab – India, dan dipelihara oleh masyarakat keturunan India sebagai penghasil
susu. Tetapi, populasinya tidak banyak meningkat karena faktor reproduksi dan intensitas inbreeding yang diduga tinggi. Sekitar 90% populasi ternak kerbau di Indonesia terkonsentrasi di 12 propinsi yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Sumatera Selatan. Di 12 propinsi ini juga hidup mayoritas sapi potong di Indonesia. Akan tetapi ternak kerbau merupakan ternak yang mungkin paling sedikit diteliti dan didayagunakan di Indonesia. Perkembangan produksi ternak kerbau di Indonesia sangat lambat yang disebabkan oleh banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah efisiensi reproduksi yang rendah jika dibandingkan dengan ternak sapi, seperti tingkat kebuntingan yang rendah, lama bunting (11 bulan) dan juga interval generasi yang lebih panjang. Upaya meningkatkan produktivitas ternak kerbau menjadi hal yang sangat penting, bukan saja karena nilai budayanya yang sangat tinggi dalam peradaban
95
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
sebagian masyarakat Indonesia (suku Toraja, Sumba, Flores dan Batak) yang menyebabkan harga ternak kerbau lebih mahal dibanding sapi potong. Disamping itu, pernyataan WEBSTER dan WILSON (1980) di atas perlu pula dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya sebagai bagian penting dari prospek masa depan ternak kerbau di Indonesia. MASALAH PETERNAKAN KERBAU DI INDONESIA Masalah utama peternakan ruminansia (bukan hanya ternak kerbau) di Indonesia yang paling konservatif/tradisional hingga kini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap potensi ternak itu sendiri dan alam (sedikit sekali campur tangan manusia). Diduga telah terjadi intensitas inbreeding yang tinggi pada kerbau Sungai (SITUMORANG et al., 1990) dan mungkin juga pada kerbau Lumpur. Pertimbangan ekonomi masih jauh dari pertimbangan peternak kerbau yang ada hanya: pelihara - menjadi besar - butuh uang - jual, selesai. Penerapan teknologi dalam pemeliharaan kerbau terbatas sekali karena masih rendahnya orientasi ekonomi peternak. Sementara itu, ternak kerbau kebanyakan hanya digunakan sebagai ternak kerja di wilayah persawahan, sebab itu jarak beranak menjadi cukup panjang, akibatnya kontribusinya sebagai penghasil daging rendah. Sebagai informasi tambahan, di Vietnam, ternak kerbau menyumbang 35% dari total produksi daging nasional (DAO, 2000). Ternak kerbau dipelihara dengan cara yang lebih tradisional daripada ternak sapi, sehingga produktivitasnya menjadi lebih rendah. Padahal secara potensial ternak kerbau memiliki potensi sebagai penghasil susu, daging dan kerja yang tidak kalah daripada ternak sapi. Semua potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, karena masih adanya pendapat bahwa produktivitas ternak kerbau lebih rendah dari ternak sapi. Oleh karena itu, ke depan sudah waktunya memperlakukan ternak kerbau setara dengan perlakuan yang diberikan terhadap ternak sapi. Masalah lain yang tidak dapat dihindari adalah globalisasi dan pasar bebas yang harus dihadapi dengan program yang baik dan tertata
96
dalam kerangka besar agribisnis nasional yang tangguh. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TERNAK KERBAU Ada dua spesies kerbau di dunia yaitu Kerbau Afrika (Syncerus) yang hidup secara liar dan Kerbau Asia (Bubalus) yang merupakan kerbau yang paling banyak didomestikasi (Bubalus bubalis = Kerbau Sungai = Water buffalo). Kerbau Sungai (Bubalus bubalis) didomestikasi dari Bubalus arnee liar asal India, Asia Tenggara dan mungkin dari area basah di Asia Barat (BROCK, 1989). Kerbau yang telah jinak ini hanya mengalami sedikit campur tangan manusia seperti artificial breeding sebab ternak ini telah beradaptasi dengan sangat baik pada lingkungan yang sangat sulit (harsh environment) pada wilayah berrawa-rawa penghasil padi di Asia. Sebagai contoh hewan lain yang juga telah beradaptasi dengan sangat baik yaitu Unta di Sahara, Rusa Kutub (Reindeer) di Arctic dan Yak di wilayah Himalaya. Saat ini ditaksir jumlah Kerbau Sungai di dunia sekitar 150.000.000 ekor yang tersebar di 50 negara. Mayoritas ternak kerbau di dunia (90%) adalah kerbau Sungai (Bubalus bubalis). Ternak kerbau terbagi atas dua tipe yaitu kerbau lumpur. (Swamp Buffalo) dan kerbau Sungai (Riverine Buffalo) yang 90% hidup di wilayah Asia. Kerbau Lumpur lebih ringan daripada Kerbau Sungai, berat jantan sekitar 700 kg dan betina dewasa 500 kg. Kapasitas produksi susu rendah antara 430-620 kg per laktasi (WEBSTER dan WILSON, 1980). Kerbau Lumpur terutama digunakan sebagai tenaga kerja di wilayah penghasil padi Asia Tenggara. Kerbau Lumpur adalah semi-aquatic animal, dimana pada bagian hari yang panas (antara jam 10.00 sampai dengan 16.00) selalu berendam dalam rawa alami atau kubangan (MACGREGOR, 1941). Sebaliknya, Kerbau Sungai lebih besar dari Kerbau Lumpur, berat jantan dapat mencapai 1.100 kg dan betina dewasa sekitar 550 kg. Kapasitas produksi susunya jauh lebih tinggi antara 1.000–2.000 kg per laktasi dan bervariasi antar negara (lingkungan) dan strain.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Pada area dimana pakan sangat sulit nampak tubuh kerbau cenderung lebih kecil daripada yang mendapat pakan cukup. Namun demikian kerbau dapat bertahan hidup pada kondisi pakan yang sangat terbatas, kerbau selalu makan sangat sedikit. Berat betina dewasa berkisar antara 350 kg di Himalaya yang tinggi hingga 800 kg di Bulgaria dan Italia. Kerbau menduduki posisi yang penting di daerah tropis dan subtropis karena adaptasinya dengan kondisi panas. Secara khusus, genus Bubalis mengungguli genus Bos dalam kemampuan beradaptasi terhadap panas dan area lembab di wilayah berlumpur dan berawarawa. Jadi ternak kerbau memiliki tempat khusus pada daerah berawa di Asia Tenggara, Iraq Selatan, dan daerah genangan sungai di India, serta sungai Nil di Mesir. Hal ini disebabkan oleh sifat morphologi dan anatomi kerbau yang sangat baik untuk kondisi panas, lembab dan berlumpur. Kulit kerbau ditutupi oleh epidermis yang tebal, sel-sel dasarnya mengandung banyak partikel melanin yang dapat memberikan permukaan kulit berwarna hitam (SHAFIE, 1985). Melanin merupakan pelindung dari sinar ultraviolet dan melindungi penetrasi sinar ini melewati dermis masuk ke dalam jaringan dibawahnya. Sinar ini merupakan bagian dari radiasi surya pada daerah tropis dan subtropis dan dapat menyebabkan kerusakan kulit hingga dapat menghasilkan kanker kulit. Kulit kerbau hampir tidak memiliki bulu, khususnya ternak tua, sebab itu ternak ini perlu berendam dalam air atau lumpur. Sifat ini mendorong berkembangnya kelenjar subkutan yang aktivitas sekresinya lebih besar dari ternak sapi (SHAFIE dan ABOU EL-KHAIR, 1970). Kelenjar ini mengeluarkan subtansi lemak yang disebut sebum, yang dilepas ke permukaan kulit dan menutupnya dengan suatu lubricant yang dapat membuat kulit licin untuk air dan lumpur. Sebum melindungi kulit dari penetrasi/absorsi air dan bahan lain ke dalam kulit. Melalui jalan ini, kerbau terlindung dari efek bahan-bahan kimia berbahaya yang ada dalam air. Sebum akan mencair selama musim panas sehingga dapat memantulkan banyak sinar panas sehingga dapat melindungi ternak dari muatan panas berlebihan dari luar. Dengan adanya adaptasi fisik terhadap kondisi panas dan lembab daerah tropis dan subtropis,
Kerbau juga memiliki pola reproduksi dan produksi sejalan dengan perubahan musim dan vegetasi yang hidup disana. Setelah beberapa abad, kerbau telah dapat hidup dengan nyaman sesuai dengan siklus iklim tahunan dari temperatur, kelembaban, sinar matahari, radiasi surya, dll., yang ikut mempengaruhi siklus vegetasi tahunan baik alamiah maupun kultivasi/artifisial. Pola vegetasi inilah yang nampaknya mempengaruhi pola reproduksi dan produksi kerbau secara alami. Kenyamanan hidup alami kerbau telah dilaporkan dari berbagai bagian dunia termasuk Cina, Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia, India, Pakistan, Iraq dan Mesir. MISRA dan SENGUPTA (1965) menyatakan bahwa di India, kemampuan seksual kerbau menurun selama musim kemarau dan meningkat dengan perubahan kondisi semakin dingin (musim dingin). Di Mesir, tingkah laku seksual, khususnya estrus, melemah selama musim panas. Sekelompok kerbau mengalami kejadian yang sama selama musim panas (Mei - Oktober) dan dingin (November - April). Observasi terhadap estrus menunjukkan bahwa lebih banyak frekuensi seksual selama musim dingin sehubungan dengan perubahan pola hormon seksual (SHAFIE et al., 1982; BARKAWI et al., 1989). Jumlah dan amplitudo pelepasan Luteinizing Hormon (LH) besar selama musim dingin (ABOUL-ELA dan BARKAWI, 1988). Akan tetapi sangat sulit mendeteksi berahi ternak kerbau, sebab itu sangat sedikit perlakuan IB dapat dilakukan. Di UK angka kebuntingan mencapai >90% pada musim dingin (khususnya Februari – Maret) dan sangat rendah pada musim panas (<10%). Kerbau dapat kawin sepanjang tahun dan beranak setiap tahun dan umumnya menyapih setelah anak berumur 10 bulan, serta jarang sekali kelahiran kembar yang dapat mengakibatkan kesulitan beranak. Kerbau umumnya mudah ditangani, jarang menunjukkan agresivitas terhadap manusia tapi dapat sangat agresif terhadap kerbau lain. Kerbau sangat kuat dan toleran terhadap kondisi iklim. Dehorning tidak direkomendasikan bagi ternak kerbau karena tanduk merupakan bagian dari mekanisme pembuangan panas tubuhnya. Ketahanan kerbau terhadap penyakit dapat dinyatakan sangat ekstrim. Anak kerbau sangat
97
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
jarang terjangkiti pneumonia atau penyakit non nutrisi, namun sangat mudah terserang penyakit diarrhea. Mastitis dan kepincangan sangat jarang terjadi pada ternak dewasa. Longevity adalah sifat kerbau yang sangat penting dimana dalam kelompok besar (>300 ekor) ditemukan induk berumur >20 tahun masih menyusui anaknya sebaik ternak betina muda. Secara umum stocking rate untuk kerbau lebih tinggi 10–20% daripada sapi. Kerbau membutuhkan area gembala lebih sempit dari sapi. Kerbau secara tradisional memakan hijauan berkualitas rendah dan memiliki kemampuan untuk mengubahnya menjadi daging dan susu. Fakta ini harus diperhatikan ketika menyusun ransum. Pemberian atau peningkatan mutu pakan yang diberikan tidak
selalu diperlukan/menguntungkan. Sebagai acuan seekor kerbau dapat mengkonsumsi 2,5% bahan kering hijauan dari berat hidup per hari. Masukan nitrogen dari setiap peternakan akan menurun secara signifikan bila peternak berpindah dari memelihara sapi ke memelihara kerbau. Pada Tabel 1 dapat dilihat produksi susu dari ternak kerbau Sungai dan Lumpur dari berbagai bagian dunia sebagaimana dilaporkan oleh SHAFI (1985). Sedangkan produksi susu kebau Murrah di Indonesia sekitar 5 l/hari. Taksiran hubungan alamiah antara kondisi lahan terendam dan penanaman kembali setelah terendam dengan pola reproduksi kerbau sepanjang sungai Nil di Mesir menunjukkan bahwa kebanyakan kerbau
Tabel 1. Produksi susu (kg) kerbau dari berbagai belahan dunia Bangsa
Negara
Produksi (kg)
Kerbau sungai (Riverine buffaloes): Caucasian
Former USSR
1.110 – 1.724
Russian
Former USSR
595 – 872
Bulgaria
1.290 – 1.737
Italy
1.000 – 2.025
Bulgarian Italian Brazilian
Brazil
945 – 1.113
Egyptian
Egypt
1.110 – 2.035
Nagpuri
India
1.200
Surti
India
2.095
Bhadawari
India
1.111
Marathwada
India
960
Nili Ravi
India
1.586 – 1.855
Murrah
India
1 .031 – 2.565
Pakistan
1.555 – 1.971
Nili Ravi
Kerbau lumpur (Swamp buffaloes): Malaysian
Malaysia
226
Carabaos
Philippines
435 - 620
Sumber: SHAFI (l985)
98
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 2. Keragaan dan kandungan susu kerbau dan susu sapi Rataan Kandungan
Susu kerbau
Susu sapi
Butterfat (%)
8,0
3,9
Protein (%)
4,5
3,3
Cholesterol (mg)
8,5
14
Putih
Krem
Tekstur
Halus
Kurang halus
Rasa
Manis
Agak asin
Sangat rendah
Tinggi
1.850
5.500
Warna
Kandungan sel TPC) Produksi (kg) Sumber: BUFFALO MILK.co.uk (2007)
beranak sepanjang musim dingin, yang ditandai oleh tercapainya temperatur optimal dan tercukupinya nilai gizi untuk induk menyusui dan anaknya. Hasil penelitian MOSTAGEER et al. (1981) menggunakan 200 ekor betina pada lokasi yang sama selama musim panas dan dingin menunjukkan bahwa produksi susu lebih tinggi (1.309 vs 1.147 kg) dan periode laktasi lebih panjang (233 vs 200 hari) pada induk yang beranak di musim dingin dibandingkan dengan musim panas. Tekstur krem dalam susu kerbau yang halus menjadikannya sangat ideal untuk berbagai produk hasil susu. Tingkat bahan penyusun susu yang tinggi menyebabkan lebih efektif dalam penggunaan biaya dibandingkan dengan susu sapi. Permintaan susu kerbau dengan kalsium dan protein tinggi serta kolesterol rendah di Inggris sangat baik untuk pembuatan mozzarella, cheese, yoghurt, ice cream, khoa dan susu untuk minum. Kebutuhan susu kerbau untuk pasar di Inggris adalah sebesar 25 juta liter per tahun (BUFFALOMILK.co.uk, 2007). Kandungan cholesterol daging kerbau lebih rendah dan kandungan mineral lebih tinggi daripada sapi. Persentase lean daging kerbau lebih rendah setengah (44%) dari total kandungan lemak lean sapi, dan proporsi lemak jenuh (saturated fat) juga lebih rendah. Perlu pula diketahui bahwa tidak ada satu ekorpun kerbau di seluruh dunia pernah mengalami/terinfeksi BSE atau BSE free species (BUFFALOMILK.co.uk, 2007). Bobot potong optimal untuk kerbau jantan muda adalah sekitar 420–520 kg pada umur 24–30 bulan. Oleh karena kepala yang besar,
kulit yang tebal, serta kaki yang besar maka persentase karkas kerbau lebih rendah dari sapi yaitu sekitar 47%-48%. Akan tetapi ini dengan mudah tertutupi oleh nilai daging kerbau sebagai daging sehat karena ternak muda tidak kelebihan lemak. Hal ini terjadi karena jika pakan kerbau mengandung enersi tinggi maka kelebihan enersi ini tidak akan dimanivestasikan ke dalam lemak marbling, karena tidak diinginkan dan kerbau akan mengatur waktu konsumsinya untuk menghilangkannya dari karkas. Ini merupakan salah satu kelebihan utama ternak kerbau oleh karena itu kerbau dapat menjadi pilihan penting untuk dikembangkan (BUFFALO MILK.co.uk, 2007). KESIMPULAN Susu kerbau (Lumpur dan Sungai) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan susu sapi seperti kandungan sel tubuh dalam air susu rendah, cholesterol susu rendah (43% lebih rendah dari sapi), kadar kalsiumnya tinggi (65% lebih tinggi dari sapi). Disamping itu konversi hijauannya menjadi daging sangat baik, sangat jinak, sangat kuat dan panjang umur produktifnya (extremely longevity). Daging kerbau juga memiliki kelebihan yakni lemak jenuh dan cholesterol rendah, BSE free species, sangat jarang mengalami masalah dalam melahirkan. Selanjutnya ternak kerbau adalah penghasil the red meat with a green attitude (daging sehat), dengan rasa yang tidak berbeda dari daging sapi.
99
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Masalah sistem beternak serta keterampilan dan pengetahuan peternak yang kurang, sebenarnya dapat diperbaiki melalui pelatihan, penyuluhan maupun pendampingan. Kejadian inbreeding dapat ditangani dengan memasukkan darah baru bermutu tinggi berupa ternak bibit dan atau semen beku tanpa merusak plasma nutfah yang sudah ada. Secara bertahap masyarakat peternak disadarkan mengenai kemampuan produksi ternak kerbau yang tidak kalah daripada ternak sapi, serta mutu susu dan dagingnya yang relatif lebih sehat. Prospek peningkatan produktivitas dan populasi ternak kerbau melalui substitusi dan diversifikasi produk, pembinaan dan pengembangan kelembagaan, serta penataan peraturan perundangan sangat diperlukan dimasa depan. Hal ini perlu diperhatikan karena semakin meningkatnya pengetahuan gizi dan tuntutan hidup sehat yang diminati masyarakat kota dan desa, disamping adanya pengaruh globalisasi dan pasar bebas. Sudah saatnya ternak kerbau diperhatikan secara lebih serius oleh pemerintah, masyarakat, ilmuan, serta stakeholder lainnya melalui pendekatan yang integratif dalam aspek teknis, ekonomi dan sosial, yang dapat dipadukan dalam suatu paket program. Khususnya dalam konteks upaya menghindari terkurasnya ternak-ternak rakyat guna tercapainya swasembada daging dan susu. DAFTAR PUSTAKA ABOUL-ELA, M. B. and A. H. BARKAWI. 1988. Pulsatile secretion of LH in cycling buffalo heifers as affected by season and stage of the oestrous cycle. Paper presented at the 11th International Congress on Animal Reproduction and Artificial Insemination in Dublin, Ireland, June 1988. BARKAWI, A.H., E.M. MOKHLESS and L.H. BEDEIR. 1989. Environmental factors affecting age at puberty in Egyptian buffaloes. Buffalo J. 1: 71-78.
100
BUFFALOMILK.CO.UK. 2007. A Brief Guide to Buffalo Farming. BROCK, J.C. 1989. A natural history of domesticated mammals, Cambridge, UK., Cambridge University Press (British Museum). p. 140142. DAO LAN NHI, MAI VAN SANH and LE VIET LY, 2000. Effect of season and roughage: Concentrate ratio on weight gain of young buffalo. Workshop-seminar “Making better use of local feed resources” SAREC-UAF, ELSHEIKH, A.S. 1987. January, 2000. The reproductive performance of the buffalo in Egypt. Indian J. Dairy Sci. 20: 8995. MACGREGOR, R.1941. The domestic buffalo. Vet. Rec. 53: 443-450. MISRA, M.S. and B.P SENGUPTA. 1965. Climatic environment and reproductive behaviour of buffaloes. III. Observations on semen quality of buffalo maintained under two different housing conditions. Indian J. Dairy Sci. 18: 130-133. MOSTAGEER, A., M.A. MORSY and R.R. SADEK. 1981. The production characteristics of a herd of Egyptian buffaloes. Z. Tierzüchtung & Züchtungsbiol. 98: 220236. SHAFIE, M.M. 1985. Physiological responses and adaptation of water buffalo. In: M.K. Yousef, ed. Stress physiology in livestock, vol. 2: Ungulates. Florida, USA, CRC. SHAFIE, M.M. and M.M. ABOU EL-KHAIR. 1970. Activity of the sebaceous glands of bovines in hot climate (Egypt). J. Anim. Prod. U A R 10: 81 - 98. SHAFIE, M.M., H. MOURAD, A.H. BARKAWI, M.B. ABOUL-ELA and Y. MEKAWY. 1982. Serum progesterone and oestradiol concentration in the cyclic buffalo. Anim. Prod., 7: 283-289. SITUMORANG, P., P. SITEPU dan S. PURBA. 1990. Observation on the performance at Riverine Buffaloes in North Sumatera. Ilmu dan Makanan Ternak 4 (1): 226 – 228. WEBSTER, C.C. and P.N. WILSON. 1980. Agriculture in the tropics,. London, UK, Longman. (ELBS, 2nd ed.). p. 390-400