Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
RESPON BEBERAPA METODE SINKRONISASI ESTRUS DAN INSEMINASI BUATAN PADA KERBAU (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN KAMPAR (Response of Some Methods of Estrus Synchronization and Artificial Insemination on Buffalo (Bubalus bubalis) in Kampar District) ENDANG TRIWULANNINGSIH1, B. HARYANTO1 dan YENDRALIZA2 2
1 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau
ABSTRACT Population of swamp buffalo (Bubalus bubalis) in Indonesia has declined steadily every year, due to decrease of good quality bull in some group of buffalo population, because a lot of the higher grade of bulls have been slaughtered during various traditional ceremonies, so that in some population there was even no bull. This study was conducted with the objectives for increasing buffalo population through artificial (AI) insemination using frozen semen of buffalo from Baluran (East Java), and for reducing the existing inbreeding effect. Three methods of estrus synchronization were designed as treatments: twice injection of PGF2α with 11 days interval and artificial inseminated on day 13th (A), twice injection of PGF2α with 11 days interval and injection of hCG on day 12th afternoon and inseminated on day 13th (B), and injection of GnRH and followed by injection of PGF2α on day 8th, then inseminated on day 13th (C). Frozen semen was prepared in the Reproductive Physiology Laboratory of IRIAP (Indonesian Research Institute for Animal Production). Rectal palpations for pregnancy tests were carried out two months after insemination. Results of this study showed that percentage of pregnancy was 62.07; 83.33 and 44.44% for treatments A, B and C respectively. It can be concluded that twice injection of PGF2α with 11 days interval and injection of hCG on day 12th afternoon and insemination on day 13th (B) is more effective for synchronization of estrus followed by artificial inseminated on swamp buffalo in Kampar Regency. Key Words: Estrus Synchronization, PGF2a ABSTRAK Populasi kerbau lumpur di Indonesia semakin menurun dari tahun-ketahun, antara lain disebabkan kekurangan pejantan dalam suatu kelompok ternak kerbau; akibat adanya pengurasan ternak jantan yang bagus ke pasar terutama untuk acara ritual keagamaan, sehingga dalam satu populasi ternak betina tidak ada pejantan yang melayaninya. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan populasi kerbau melalui perkawinan dengan kerbau yang berasal dari Taman Marga Satwa Baluran (Jawa Timur) guna mengatasi kelangkaan pejantan dan menghindari inbreeding. Tiga metode sinkronisasi estrus sebagai perlakuan yaitu: induksi PGF2α dua kali dengan interval waktu 11 hari, lalu di inseminasi pada hari ke 13 (A), induksi PGF2α dua kali dengan interval waktu 11 hari, hari ke-12 diinjeksi hCG sebelum diinseminasi pada hari ke 13 (B) dan induksi GnRH dan hari ke 8 di induksi PGF2α, lima hari kemudian di inseminasi (C). Semen beku berasal dari kerbau lumpur (Bubalus bubalis) asal Taman Marga Satwa Baluran (Jawa Timur) yang telah dipersiapkan di Laboratorium Fisiologi Reproduksi Balai Penelitian Ternak. Dua bulan setelah inseminasi kemudian diperiksa kebuntingannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kebuntingan dari ketiga perlakuan tersebut adalah 62,07; 83,33 dan 44,44% masing-masing untuk perlakuan A, B dan C. Disimpulkan bahwa kombinasi induksi PGF2α dua kali dan hCG adalah paling efektif untuk sinkronisasi kerbau lumpur di Kabupaten Kampar. Kata Kunci: Sinkronisasi Estrus, PGF2α
PENDAHULUAN Peternakan kerbau di Indonesia umumnya diarahkan pada kebau lumpur (Bubalus
60
bubalis) sebagai penghasil daging, karena daging kerbau dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi. Selama ini kontribusi daging sapi dalam memasok kebutuhan daging nasional
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
sekitar 23% dan sekitar 2,5% diantaranya berasal dari daging kerbau. Namun populasi kerbau di Indonesia tidak mengalami peningkatan pada beberapa tahun terakhir ini. Data tersebut sangat mengkawatirkan karena seharusnya pertumbuhan dapat lebih progresif apabila managemen (tatalaksana) peternakan diterapkan dengan baik dan benar. Salah satu teknologi yang dapat mempercepat akselerasi peningkatan populasi dan perbaikan mutu genetik ternak kerbau adalah teknologi reproduksi. Perkembangan ternak kerbau relatif lambat dari pada sapi sebagai akibat tingkat reproduksi yang lebih rendah, karena kesulitan mendeteksi ternak betina yang sedang estrus, masa kebuntingan yang relatif lebih panjang (11 bulan) dibandingkan dengan sapi (9 bulan) dan interval kelahiran yang lebih panjang; karena kebiasaan penyapihan anak yang relatif lebih lama dan proses involusi uterus yang lebih lama, sehingga kerbau mengalami siklus estrus normal kembali menjadi lebih panjang, yang pada akhirnya berakibat terhambatnya peningkatan populasi kerbau. Disamping hal tersebut kelangkaan pejantan dalam satu sub populasi, akibat pengurasan pejantan yang baik ke pasar untuk berbagai acara keagamaan, juga sangat berpengaruh terhadap rendahnya pertambahan populasi kerbau di Indonesia. Kerbau adalah ternak yang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat di pedesaan dan pada umumnya kerbau dalam satu sub populasi tidak bisa menerima pejantan lain diluar populasinya, sehingga apabila dimasukkan pejantan lain, biasanya akan terjadi perkelahian diantara pejantan dalam sub populasi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh apabila akan dilakukan program outbreeding kerbau dengan kawin alam, untuk mengatasi penurunan mutu genetik akibat inbreeding. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan cara inseminasi buatan dengan menggunakan pejantan dari luar daerah. Kualitas spermatozoa dan kemampuannya memfertilisasi berkolerasi erat dengan integritas DNA (SAID et al., 2005), selanjutnya dinyatakan bahwa oxidative stress terjadi akibat kekurangan antioxidant. Pada spermatozoa, produksi Reactive Oxydative Species (ROS) berkorelasi dengan umur spermatozoa (maturational stage), karena pada proses maturasi sperma berkaitan erat dengan
pembentukan (remodeling) komponen membran dan penurunan docosahexaenoic acid selama proses spermiogenesis; kegagalan dalam proses ini dapat menghasilkan immature spermatozoa. HALL et al. (2009) menyatakan bahwa Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) adalah hormon alami yang diproduksi oleh hypothalamus di otak yang dapat menyebabkan sapi memproduksi hormon lain yaitu Luteinizing Hormone (LH) yang bekerja sama dengan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dalam perkembangan folikel. Konsentrasi LH yang tinggi menyebabkan ovulasi, kemudian corpus luteum (CL) terbentuk di ovari yang memproduksi progesteron untuk mempersiapkan uterus menerima kebuntingan dan persiapan estrus kembali pada siklus berikutnya. Selama siklus normal ketiga hormon tersebut (GnRH, FSH dan LH) bertanggung jawab atas perkembangan folikel dan terbentuknya oosit yang siap diovulasikan. Selama CL memproduksi progesteron, sapi tidak memproduksi GnRH dan LH yang menyebabkan ovulasi. Bila CL mengalami regresi dan tidak memproduksi progesteron maka sapi tidak bunting; bila GnRH mulai diproduksi dan LH menjadi tinggi dan folikel dominan tumbuh diikuti dengan produksi estrogen maka memberi signal terjadinya estrus. LH surge adalah signal sapi ovulasi, pada saat tersebut bila diinseminasi maka terjadilah fertilisasi dan kebuntingan. Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB pada kerbau. Dengan teknologi ini sekelompok ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan memperlihatkan gejala-gejala estrus dalam waktu relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan. Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen peternakan secara keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak dalam jumlah banyak akan meningkatkan efisiensi pemeliharaan ternak. Hal ini karena dalam waktu bersamaan peternak akan memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur anak yang relatif seragam, sehingga memudahkan dalam
61
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
proses pemeliharaan. Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan ketersediaan pakan selama proses induk menyusui, sehingga diharapkan anak yang dilahirkan tidak kekurangan susu induk. Guna mendukung keberhasilan IB, maka kualitas semen kerbau juga harus baik, sehingga dapat memfertilisasi oosit. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas semen kerbau jauh lebih rendah dibandingkan dengan sapi, terutama setelah dilakukan proses preservasi atau pembekuan (TRIWULANNINGSIH et al., 2005). Untuk itu, perlu ditambahkan gluthatione sebagai anti oksidan serta penggunaan kuning telor bebek yang mengandung kholesterol lebih tinggi dibandingkan dengan kuning telor ayam, pada pengencer semen kerbau untuk meningkatkan kualitas semen beku kerbau (TRIWULANNINGSIH et al., 2010). Tujuan penelitian ini adalah membandingkan beberapa metode sinkronisasi estrus, yakni dengan hormon PGF2α, dan kombinasi PGF2α dengan hCG serta kombinasi penggunaan GnRH dan PGF2α terhadap efektivitas dan efisiensi reproduksi kerbau.
kegiatan ini. Semen tersebut diproses menurut teknologi yang telah didapat dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Kualitas semen segar dan beku kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tertera pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi larutan pengencer sperma Bahan
Laktosa Larutan A Larutan B
Larutan laktosa (ml)
80
80
Glukosa (gram)
0,5
0,5
Kuning telor % (v/v)
20
20
Gliserol % (v/v)
2,4
11,6
Streptomycine (µgram)
75.000
75.000
Peniciline (IU)
75.000
75.000
GSH (mM)
Penelitian sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) telah dilakukan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan pembuatan semen beku kerbau lumpur dengan materi semen kerbau lumpur yang berasal dari Taman Suaka Marga Satwa Nasional Baluran di Jawa Timur telah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Reproduksi Balai Penelitian Ternak, Bogor. Komposisi larutan pengencer tertera pada Tabel 1. Pada penelitian ini telah digunakan antioksidan glutathione sebanyak 1 mM dalam pengencer, untuk mencegah adanya radikal bebas selama proses pembekuan spermatozoa kerbau dan digunakan kuning telor bebek yang lebih kaya akan cholesterol dibandingkan dengan kuning telor ayam. Semen ditampung seminggu sekali menggunakan vagina buatan, dan hanya semen yang berkualitas baik yang digunakan dalam
62
1,0
*) 11 g laktosa dilarutkan dalam 100 ml H2O **) pH disetarakan 6,8 – 7,3 Tabel 2. Rataan kualitas semen segar dan beku kerbau lumpur (Bubalus bubalis) asal Baluran Parameter
Penilaian
Makroskopis Volume (ml)
MATERI DAN METODE
1,0
Warna
2,1 ± 0,72 Krem
Bau
Normal
Konsistensi
Kental
Mikroskopis Konsentrasi (106 per ml) Gerakan massa
1601,84 ± 469,31 +++
Persentase sperma hidup (%)
86,78 ± 3,35
Persentase motil setelah pengenceran (%)
71,67 ± 8,29
Persentase motil pada suhu 5°C
57,78 ± 7,95
Setelah thawing Persentase motil (%)
45,00 ± 8,37
Persentase hidup (%)
59,83 ± 19,98
Persentase membran plasma utuh (%)
71,67 ± 11,40
Persentase tudung akrosom utuh (%)
67,33 ± 8,07
+++ menggambarkan gerakan massa yang sangat baik
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
Sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan dilakukan dengan 3 metode, yaitu: (a) Injeksi 5 ml Lutalyse yang berisi dinoprost. tromethamin dua kali dengan interval 11 hari, kemudian 48 jam setelah injeksi Lutalyse yang terakhir, di injeksi dengan hCG (500 IU) pada sore hari dengan harapan membantu LH surge dan ovulasi, inseminasi dilakukan pagi hari (12 jam setelah injeksi hCG); (b). Sinkronisasi estrus tersebut dibandingkan dengan metode sinkronisasi tanpa injeksi hCG (kontrol), untuk
melihat efektifitas penggunaan hCG terhadap terjadinya fertilisasi; (c). Metode select synchronized (WHITTER dan GEARY, 2000), yaitu sinkronisasi estrus dengan menggunakan 2,5 ml Fertagyl yang berisi 250 µgram GnRH dan 8 hari kemudian diinjeksi dengan Lutalyse 5 ml. Semua diinseminasi dengan semen beku kerbau setelah terlihat tanda estrus dengan dua dosis (dua straw @ 0,25 ml). Metode tersebut dapat digambarkan dalam skema 1 – 3.
PGF2 PGF2 α aa PGF2
PGF2 a PGF2α Gn
IB IB
11-12 hari 72- jam 72 – 90
D 11
D0
Pengamatan gejala gejala estrus Gambar 1. Skema protokol sinkronisasi estrus klasik (PGF2a- PGF2a-IB) (Metode A)
P GF2
PGF2 α
PGF2
hCG
IB
11 – 12 hari 48
D 0
12 jam
D 11 Pengamatan gejala estrus Gambar 2. Skema protokol sinkronisasi estrus dengan PGF2α dan PGF2α kemudian diinjeksi hCG (Metode B)
63
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
GnRH
PGF2
D0
D8
IB
D 12DD
D9
910 10
Gejala estrus Gambar 3. Skema protokol sinkronisasi estrus dengan GnRH dan PGF2α (Metode C)
Pemeriksaan kebuntingan Hasil kebuntingan dari inseminasi buatan kegiatan ini dievaluasi dengan teknik palpasi per rektal pada sekitar hari ke 60 pascaIB. Hasil evaluasi palpasi digunakan untuk menghitung Conception Rate (CR) dan pregnancy rate. Pada kegiatan ini dipakai 65 ekor kerbau lumpur betina milik peternak-peternak kerbau di Kabupaten Kampar. Sebelum ditentukan ternak betina mana yang akan dijadikan resipien maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan status reproduksi dari ternakternak yang berpotensi terpilih dan hanya ternak dengan kondisi yang baik dengan Body Condition Score (BCS) > 3 atau mendekati 3 yang akan dipilih. Ke-65 kerbau betina tersebut diinseminasi dengan menggunakan semen beku kerbau lumpur yang berasal dari Taman Suaka Marga Satwa Nasional Baluran di Jawa Timur. Variabel yang diamati Variabel yang diamati dalam kegiatan ini adalah parameter-parameter yang berhubungan dengan efektifitas sinkronisasi estrus metode select synch dan penggunaan prostaglandin serta kombinasinya dengan hCG, terhadap persentase kebuntingan pascaIB. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan awal terhadap populasi kerbau di Kabupaten Kampar menunjukkan bahwa
64
sebaran populasi yang hampir merata di berbagai kecamatan, sehingga menggambarkan bahwa ternak kerbau merupakan komoditas ternak yang diunggulkan. Masyarakat Kabupaten Kampar juga lebih menyukai daging kerbau dari pada daging sapi. Pemanfaatan ternak kerbau, terutama yang jantan adalah untuk memenuhi kebutuhan ternak korban pada Lebaran Haji, disamping juga pada Lebaran Idul Fitri. Populasi kerbau jantan pada umumnya didominasi oleh kerbau muda, dibawah umur dua tahun, karena kerbau jantan umur lebih dari dua tahun akan dijual untuk kebutuhan korban tersebut. Ketersediaan pejantan di sebagian wilayah yang digunakan untuk perkawinan adalah jantan-jantan muda dan berasal dari wilayah tersebut sendiri. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya inbreeding cukup besar. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi keragaman genetik ternak kerbau di wilayah tersebut dalam jangka panjang, apabila tidak ada upaya untuk mencegahnya melalui program perkawinan luar (outbreeding). Untuk melakukan perkawinan outbreeding tersebut diperlukan adanya pejantan yang harus didatangkan dari luar wilayah, atau melalui perkawinan inseminasi buatan menggunakan semen kerbau dari wilayah lain. Namun karena kerbau pada umumnya mempunyai sifat kekerabatan yang tinggi dalam subpopulasinya, maka apabila ada pejantan lain masuk dalam supopulasinya akan terjadi perkelahian dan kerbau pemenang akan diterima dalam subpopulasi tsb. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam kegiatan ini telah dilakukan upaya sinkronisasi estrus dan
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
inseminasi buatan ternak kerbau menggunakan semen pejantan yang berasal dari Taman Suaka Marga Satwa di Baluran, Jawa Timur. Pejantan dari Baluran tersebut dipelihara di Balai Penelitian Ternak Bogor, dan diambil semennya untuk diproses menjadi semen beku, sehingga dapat digunakan untuk inseminasi buatan apabila diperlukan. Tabel 2 menggambarkan kualitas semen segar dan beku kerbau Baluran yang diinseminasikan. Pengamatan awal terhadap wilayah Kabupaten Kampar dengan populasi ternak kerbau yang cukup tinggi juga menunjukkan bahwa potensi penyediaan pakan dalam bentuk hijauan alam sangat tergantung pada padang penggembalaan yang ada. Pada umumnya, padang penggembalaan tersebut berada pada kawasan dengan ketebalan top soil yang tipis dan miskin unsur hara. Oleh karena itu, ketersediaan hijauan yang mempunyai nilai nutrisi tinggi masih sulit didapatkan. Sistem pemeliharaan ternak secara ekstensif yang dilakukan masyarakat adalah dengan cara melepaskan ternak kerbau dari kandang (kawasan berpagar) untuk mencari pakannya sendiri. Diperkirakan dengan metode ini energi banyak terbuang untuk mencari makan yang kurang berkualitas, akibatnya kerbau-kerbau tsb menjadi kurus atau body condition score nya rendah. Hal inilah yang mungkin berpengaruh terhadap perlakuan sinkronisasi estrus dan hasil inseminasi buatan. Pada musim tanam padi, ternak kerbau tidak dilepaskan untuk mencari pakan sendiri, akan tetapi digembalakan agar tidak mengganggu tanaman pertanian. Bahkan tidak jarang dijumpai, justru kawasan tanaman pertanian tersebut dipagari sehingga ternak
kerbau tidak dapat masuk kedalamnya. Kondisi ini juga menyebabkan ternak kerbau menjadi lebih terbatas wilayahnya untuk mendapatkan pakan yang cukup. Hasil yang diperoleh telah digambarkan dalam Tabel 3 yang mengemukakan data tentang realisasi jumlah ternak kerbau yang disinkronisasi estrus, selanjutnya diinseminasi buatan serta data keberhasilan inseminasi dalam bentuk kejadian kebuntingan hingga 60 hari non-return estrus. Dari data tersebut dapat dinyatakan bahwa keberhasilan inseminasi cukup baik, yaitu 37 ekor (66%) berhasil bunting dari 56 ekor yang diperiksa (dipalpasi rektal). Keberhasilan ini harus diikuti dengan upaya perbaikan ketersediaan pakan dengan kualitas nutrisi yang lebih baik. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan lahan penggembalaan melalui introduksi tanaman pakan ternak (rumput) dan leguminosa pohon (Glirisidia, Caliandra, Lamtoro, dan lain sebagainya) yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar dan dikembangkan di kawasan tersebut. Berdasarkan perlakuan sinkronisasi estrus yang dilakukan, maka dapat dilihat bahwa sinkronisasi menggunakan PG-PG-hCG adalah yang terbaik menghasilkan kebuntingan (hingga 60 hari setelah IB) sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3. Keberhasilan kebuntingan berdasarkan palpasi rektal pada 60 hari setelah inseminasi yang diperoleh dari kegiatan ini adalah suatu tingkat keberhasilan yang sangat tinggi mengingat bahwa pada umumnya inseminasi pada kerbau hanya mencapai keberhasilan kurang dari 50%. Meskipun demikian, hasil ini masih harus ditunggu sampai saat kelahiran
Tabel 3. Keberhasilan kebuntingan hasil inseminasi buatan (60 hari setelah IB) Perlakuan Sinkronisasi PG-PG-hCG-IB
Jumlah kerbau yang disinkronisasi 19
Jumlah Jumlah Kerbau (n) kerbau yang yang di IB diperiksa 19
18
Jumlah kerbau bunting (%)
Jumlah kerbau tidak bunting (%)
Keterangan
15 (83,33%)
3 (16,67%)
1 dijual (tidak diperiksa)
PG-PG-IB
34
34
29
18 (62,07%)
GnRH-PG-IB
12
9
9
4 (44,44%)
Total (ekor)
65
62
56
37 (66,1%)
1 dijual (tidak diperiksa), 11 (37,93%) 4 belum diperiksa 5 (55,56%)
3 ekor tidak di IB
19 (33,9%)
65
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
anak kerbau yang harus dalam kondisi sehat dan normal. Masalah kondisi pakan selama masa kebuntingan sangat menentukan keberhasilan melahirkan nantinya dengan kondisi anak dan induk yang normal pula. Oleh karena itu, pemeliharaan ternak kerbau yang sudah berhasil diinseminasi tersebut perlu ditunjang dengan kecukupan pakan untuk memenuhi kebutuhan ternak induk selama kebuntingan. GnRH (Gonadotropin releasing hormone) adalah hormone alami yang diproduksi oleh hypothalamus di dalam otak. (WHITTIER dan GEARY, 2000). GnRH menyebabkan berfungsinya LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dari kelenjar hypophyse yang merupakan gonadotropin hormone, dimana FSH meningkatkan perkembangan folikel hingga menjadi folikel yang siap untuk diovulasikan dan LH menyebabkan ovulasi dan apabila pada saat yang tepat diinseminasi maka akan terjadi fertilisasi, selanjutnya terbentuk corpus lutheum (CL) yang memproduksi hormone progesterone dan mempertahankan kebuntingan. Selanjutnya dilaporkan bahwa pada penelitian injeksi GnRH (hari ke-0) kemudian PGF2α pada hari ketujuh dan GnRH lagi pada hari kesembilan dan IB pada hari
kesepuluh, menghasilkan persentase kebuntingan 54%, metode ini disebut sebagai ovsynch. Sementara itu bila dilakukan injeksi GnRH (hari ke-0) dan PGF2α (hari ketujuh) dan IB hari kesembilan, menghasilkan persentase kebuntingan 58%, metode ini disebut sebagai select-synch pada sapi potong di USA. Pada penelitian ini diperoleh persentase kebuntingan 44% pada metode GnRH- PGF2α-IB. HALL et al., (2009) melaporkan bahwa rataan persentase kebuntingan setelah proses sinkronisasi estrus dengan syncro-Mate-B (Prostaglandin) dan IB adalah 48,7% (n = 78), bila dengan metode select-Synch (GnRH-PGF2α-IB) persetase kebuntingan 62,9% (n = 97). Pada penelitian ini dengan metode PG-PG-IB diperoleh hasil yang lebih baik yaitu 62,07% (18/29). Perbedaan ini dikarenakan bangsa ternak yang berbeda, pada penelitian terdahulu dengan menggunakan sapi potong, sedangan disini pada kerbau. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa injeksi GnRH menyebabkan LH surge; kirakira tujuh jam setelah injeksi GnRH dan puncak LH surge pada sekitar 100 menit kemudian (WHITTIER dan GEARY, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa penelitian pada
Keberhasilan IB 100 90
%
83.33
80
PG-PG
70
PG-PG-hCG
62.07
GnRH-PG
60 50
44.44
40 30 Treatment sinkronisasi estrus Grafik 1. Keberhasilan kebuntingan berdasarkan metode sinkronisasi estrus
66
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
sapi perah di Wisconsin, menunjukkan 90% sapi ovulasi setelah injeksi GnRH yang pertama dan pada sapi potong yang sedang laktasi 70% ovulasi setelah injeksi GnRH pertama. Oleh sebab itu setelah injeksi GnRH pertama dan setelah ovulasi terbentuklah CL dan konsentrasi progesterone meningkat, apabila pada hari ketujuh setelah injeksi GnRH kemudian diinjeksi dengan PGF2α menyebabkan regresi CL dan dua hari kemudian oosit fertil siap untuk difertilisasi. HALL et al. (2009) menyatakan bahwa sapi harus mempunyai BCS (Body condition score) 5 atau lebih untuk keberhasilan sinkronisasi estrus dan inseminasi dan mendapatkan persentase kebuntingan yang maximum; oleh sebab itu faktor pakan sangat menentukan untuk keberhasilan program ini. Di Kampar cukup besar peluang untuk pengembangan ternak. SITUMORANG dan SIREGAR (1997) juga melaporkan bahwa pada kerbau lumpur di peternakan rakyat Sumatra Utara (Porsea dan Siborong-borong) yang diberi konsentrat 4 kg/ekor/hari dan kondisi tubuhnya bagus sangat responsif terhadap perlakuan sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan dibandingkan dengan kerbau di BPTHMT Siborong-borong yang tidak diberi konsentrat. BARUSELLI et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian pakan dan managemen yang bagus akan meningkatkan siklus estrus yang normal dan CR (conception rate) setelah perlakuan sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan, dimana pada penelitiannya diperoleh CR 31,4% (n = 223) pada kerbau yang kondisi tubuhnya < 3,0 (BCS < 3) dibandingkan dengan kerbau yang BCS > 4 diperoleh CR 52,9% (n = 546). WHITTIER dan GEARY (2000). melaporkan sinkronisasi estrus pada sapi potong dengan menggunakan 100 µgram GnRH dibandingkan dengan 50 µgram GnRH, pada hari ke–7 di injeksi dengan PGF2α dan di IB setelah estrus, menghasilkan persentase kebuntingan 58,5% (55/94) dan 50,5% (47/93) masing-masing untuk perlakan 100 µgram dan 50 µgram GnRH. Sementara itu, pada penelitian ini diperoleh persentase kebuntingan 44% dengan menggunakan 250 µgram GnRH dan 5 ml Lutalise per ekor. Perbedaan ini disebabkan individu ternak tersebut dan mungkin perbedaan status folikular saat mulai perlakuan. RENSIS dan LOPEZ–GATIUS (2007)
melaporkan bahwa CR (Conception Rate) 30%, bila diluar musim kawin (breeding season), tetapi bila pada musim kawin mencapai 45% pada kerbau dengan metode ini. BARUSELLI et al. (2007) melaporkan persentase kebuntingan 60,6% pada kerbau yang disinkonisasi dengan GnRH kombinasi dengan PGF2α (pada hari ke 7), lalu GnRH (hari ke 9) dan IB 16 jam kemudian. Sementara itu CHAIKHUN et al. (2010) mendapatkan hasil yang berbeda antara kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dara (n = 20) dan induk (n = 35), dimana CR (conception rate) kerbau dara 15% dan dan PR (pregnancy rate) 15%, tetapi pada kerbau induk 51,4% dan 42,9%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian ini yaitu 44%. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh BCS, paritas, periode post partum dan musim kawin (breeding season). Sementara itu BRITOA et al. (2002) melaporkan bahwa efisiensi prostaglandin untuk sinkronisasi estrus pada kerbau sungai tergantung pada konsentrasi plasma progesterone, karena prostaglandin menyebabkan luteolisis dan ovulasi kerbau tergantung pada kadar plasma progesterone; ukuran corpus luteum dan status folikel di ovari sebelum perlakuan dimulai. Pada penelitian ini tidak diketahui status folikel kerbau sebelum penelitian dimulai; oleh karena itu hasilnya bervariasi antar perlakuan yang diberikan. Untuk penelitian ini perlakuan induksi hCG setelah dua kali injeksi prostaglandin dengan interval 11 hari bertujuan membantu terjadinya LH surge, sehingga oosit fertil dapat diovulasikan dan pada saat yang tepat diinseminasi, agar terjadi fertilisasi dan selanjutnya kebuntingan. Pemberian GnRH dilakukan pada awal ataupun akhir siklus estrus tidak berpengaruh terhadap profil hormon progesteron dan konsentrasi estradiol pada kerbau sungai, demikianlah yang diungkapkan oleh JAZAYERI et al. (2010); dimana telah dilakukan penelitian terhadap 15 ekor kerbau sungai yang dibagi menjadi tiga perlakuan, yaitu injeksi PGF2α (Synchromate, 500 µg, cloprostenol sodium, Bremer pharma GmbH, Germany) dua kali dengan interval 11 hari (A) sebagai kontrol; lalu perlakuan B dengan injeksi GnRH (Cystorelin, 2 ml im) pada hari ke–6 dan perlakuan C injeksi pada hari ke–16. Ternyata puncak konsentrasi plasma estradiol dicapai
67
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
pada hari ke–20 dan tidak berbeda nyata antar perlakuan; yaitu 11,34 ± 1,77; 11,74 ± 1,91 dan 12,72 ± 2,49 pg/ml, masing-masing untuk perlakuan A, B dan C. Konsentrasi progesterone menurun mulai hari ke 15 dalam siklus estrus dan tidak ada perbedaan konsentrasi plasma progesterone diantara perlakuan yg diberikan. Konsentrasi LH dan FSH meningkat dengan perlakuan GnRH, Selanjutnya dikatakan pula bahwa induksi hCG pada kerbau juga menginduksi ovulasi. Sedangkan induksi GnRH pada kerbau sungai mereduksi periode post partum anestrus dan merangsang ovulasi pada program sinkronisasi estrus. Sementara itu SITUMORANG dan SIREGAR (1997) melaporkan bahwa pemberian 500 IU hCG pada pada 24 – 72 jam setelah induksi PGF2α (estrumate) yang ke dua dapat meningkatkan persentase kerbau yang birahi dan bunting (86,6 vs 50%). Persentase kebuntingan dilihat dari kerbau yang tidak menunjukkan gejala birahi kembali pada siklus berikutnya. Dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang mencapai 83,33% vs 62,07% untuk kerbau yang diinduksi dan tanpa hCG, namun persentase kebuntingan dikonfirmasi setelah palpasi rectal setelah sekitar 60 hari diinseminasi. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh perbedaan individu dan status fisiogi reproduksi kerbau yang digunakan dalam penelitian ini. Dapat dikatakan bahwa induksi hCG dan PGF2α dapat meningkatkan kinerja reproduksi kerbau lumpur (Bubalus bubalis). KESIMPULAN 1. Penyerentakan birahi dapat dilakukan dengan hasil yang baik menggunakan sistem penyuntikan PGF2α dua kali dengan selang waktu 11 hari kemudian diikuti dengan penyuntikan hCG 48 jam setelah PGF2α terakhir dan inseminasi 12 jam kemudian (perlakuan A). 2. Pelaksanaan IB yang tepat waktu dapat meningkatkan keberhasilan program inseminasi buatan pada ternak kerbau. 3. Kondisi ternak (body condition score) pada saat pelaksanaan inseminasi buatan sangat menentukan keberhasilan inseminasi. Pengamatan keberhasilan kebuntingan ternak kerbau hingga melahirkan masih perlu
68
dilakukan. Disamping itu, upaya perbaikan pakan melalui peningkatan produktivitas hijauan serta kualitas dan kuantitas ketersediaan yang mencukupi kebutuhan ternak perlu dilakukan. Sosialisasi kepada masyarakat peternak diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Kampar melalui program outbreeding dengan penerapan teknologi Inseminasi Buatan dapat mencapai target yang diharapkan. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Kampar beserta stafnya dan peternak kerbau yang telah bersedia bekerjasama dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak I Ketut Pustaka dan Bapak Fidaus yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini; Ibu Enok Mardiyah dan Ibu Ida Zuraida yang telah membantu dalam proses pembuatan semen beku kerbau Baluran. DAFTAR PUSTAKA BARUSELLI, P.S., N.A.T. CARVALHO, L.U. GIMENES and G.A. CREPALDI. 2007. Fixed time artificial insemination in buffalo. Ital. J. Anim. Sci. 6(2): 107 – 118. BRITOA, L.F.C., R.SATRAPAA, E.P. MARSONA and J.P. KASTELICB. 2002. Efficacy of PGF2α to synchronize estrus in water buffalo cows (Bubalus bubalis) is dependent upon plasma progesterone concentration, corpus luteum size and ovarian follicular status before treatment. Anim. Reprod. Sci. 73(1): 23 – 35. CHAIKHUN, T., T. THARASANIT, J. RATTTANATEP, F. DE RENSIS and M. TECHAKUMPHU. 2010. Fertility of swamp buffalo following the synchronization of ovulation by the sequential administration of GnRH and PGF 2α combined with fixed-timed artificial insemination. Theriogenology 74(8): 1371 – 1376. GEARY,T.W., T.C. WHITTIER, E.R. DOWNING, D.G. LE FEVER, R.W. SILCOX, M.D. HOLLAND, T.M. NETT and G.D. NISWENDER. 1998. Pregnancy rates of postpartum beef cows synchronized
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
using Syncro-Mate-B or Ovsynch system. J. Anim. Sci.76: 1523 – 1527. HALL, J.B., W.D. WHITTER, M. JIMS, C. MARK and C. DAVID. 2009. GnRH based estrus synchronization systems. Virginia Cooperative Extension. Publication 400 – 013. JAZAYERY, S.P., H. KOHRAM and R. SALEHI. 2010. Hormonal responses to GnRH injection given at different stages of estrous cycle in water buffaloes. African J. Biotechnol. 9(14): 2169 – 2172. RENSIS, F.D and F. LOPEZ-GATIUS. 2007. Protocol for synchronizing estrus and ovulation in buffalo (Bubalus bubalis): A. review. Theriogenology 67: 209 – 216. SAID, TM, N. AZIZ, R.K. SHARMA, I. LEWIS-JONES, A.J. THOMAS and A. AGRAWAL. 2005. A novel association between sperm deformity index and oxidative stress-induced DNA damage in infertile male patients. Asian J. Androl. 7: 121 – 126. SITUMORANG, P. dan A.R. SIREGAR. 1997. Pengaruh hormone hCG setelah penyuntikan estrumate terhadap kinerja reproduksi kerbau lumpur (Bubalus bubalis). JITV 2: 213 – 217.
TRIWULANNINGSIH, E., P. SITUMORANG, T. SUGIARTI, R.G. SIANTUR dan D.A. KUSUMANINGRUM. 2005. Peningkatan kualitas semen beku sapi melalui penambahan gluthatione pada medium pengencer sperma. Pros. Seminar nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Fakultas Peternakan Universitas, Gajah Mada. TRIWULANNINGSIH, E., P. SITUMORANG, T. SUGIARTI, R.G. SIANTURI and D.A. KUSUMA NINGRUM. 2010. Effect of gluthatione addition to the sperm diluents medium on quality of bovine chilled semen. Indinesian J. Agric. 3(1): 60 – 65. TRIWULANNINGSIH. E, P. SITUMORANG, T. SUGIARTI, R.G. SIANTURI and D.A. KUSUMANINGRUM. 2003. Pengaruh penambahan glutathione pada medium pengencer sperma sapi terhadap kualitas semen cair (chilled) JITV 8(2): 91 – 97. WHITTIER, J.C. and T.W. GEARY. 2000. Frequently asked questions about synchronizing estrus and ovulation in beef cattle with GnRH. Iowa Cooperative Extension CHIPS Beef Breeding Management Seminar. January, 29, 2000.
69