Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
KADAR HORMON PROGESTERON KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) MELALUI DARAH DAN FESES DI KABUPATEN KAMPAR (Level of Progesterone in Blood and Feces of Swamp Buffaloes (Bubalus bubalis) in Kampar District) YENDRALIZA Laboratorium Biologi Reproduksi Ternak Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau
ABSTRACT This study was carried out to know ovary physiology of caraheifer and caracow There were 40 faecal samples weight of 0.25 g and 6 of blood samples taken from 3 heifer caraheifer and 3 caracow through the profiles of progesterone in the stool. The samples were analysed by ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) and shown descriptively by displaying the average and percentageof progesterone level. Level of progesterone in caracow was 790.62 ± 296.21 ng/g of dry weight faecal and 4.3 ng/ml in blood and the lowest level of progesterone of caraheifer was 766.67± 225.09 ng/gram of dry weight faecal and 2,667 ng/ml in blood. The mean levels of progesterone caracow with caraheifer not significantly different at P > 0.05. It could be concluded that the ovary activity could be detected by faecal analysis. Key Words: Swamp Buffalo, Ovary Activity, Progesterone, Faecal
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan kadar hormone progesteron antara kerbau betina yang belum melahirkan dengan kerbau betina yang sudah melahirkan melalui feses. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 sampel feses, berat 0,25 g dan 6 sampel darah yang berasal dari 3 ekor kerbau yang belum pernah melahirkan dan 3 ekor kerbau lumpur yang sudah pernah melahirkan. Sampel yang diperoleh dianalisis dengan ELISA (Enzyme Linked Immosorbent Assay) dan ditampilkan secara deskriptif dengan menampilkan rerata dan persentase. Rerata kadar hormone progesterone kerbau betina yang sudah pernah melahirkan 790,62 ± 296,21 ng/g BK feses dan 4,3 ng/ml dalam darah. Rerata progesterone ternak kerbau yang belum pernah melahirkan 766,67 ± 225,09 ng/g BK feses dan 2.667 ng/ml darah. Rerata kadar progesterone kerbau betina yang sudah pernah melahirkan dengan kerbau betina yang belum pernah melahirkan tidak berbeda nyata pada P > 0,05. Feses dapat digunak untuk melihat aktivitas ovarium. Key Words: Kerbau Lumpur, Progesteron, Feses, Darah
PENDAHULUAN Salah satu ternak ruminansia besar yang mampu menyediakan kebutuhan daging untuk konsumsi masyarakat Indonesia adalah ternak kerbau. Dengan jumlah populasi pada 2007 sejumlah 2,5 juta ekor, total populasi ternak sapi perah dan sapi potong sejumlah 11,2 juta ekor, maka peranan ternak kerbau dalam program P2SDS sebesar 22% dan ternak sapi sebesar 78%. Tetapi jika dilihat dari sumbangan daging maka kerbau memberikan kontribusi sejumlah 41 ribu ton per tahun,
70
sedangkan sapi sekitar 460 ribu ton, maka peran kerbau dalam suplai daging hanya sekitar 8%. DANELL (1987) dan TY et al. (1989) melaporkan bahwa populasi folikel ovaria pada kerbau hanya ½ dari populasi folikel pada sapi dan kadar hormon gonadotrophin darah pada kerbau juga lebih rendah dibandingkan dengan sapi (JAINUDEEN, 1986; RAJAMAHENDRA dan THAMOTHARAM, 1988). Fenomena ini terjadi karena hormon FSH tidak mampu mendorong sistesis hormon estrogen oleh sel granulos dari folikel de Graff sehingga tidak muncul tanda-
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
tanda berahi (HAFEZ, 2000). PUTRO (1991) menambahkan bahwa profil hormon progesteron selama siklus birahi juga rendah. Data kadar hormon progesteron ternak kerbau di Kabupaten Kampar belum ada. Data tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan ternak kerbau di Kabupaten Kampar. Penentuan kadar hormon dapat dilakukan melalui darah, saliva, urin dan feses (MOSTL dan PALME, 2002). Pengamatan kadar progesteron melalui feses dapat digunakan melihat fungsi ovarium. Ovarium yang berfungsi secara normal akan mempunyai pola tertentu dan terjadi secara konsisten (ASTUTI et al., 2006). Profil hormon reproduksi selama siklus tersebut dapat menggambarkan fungsi ovarium betina yang bersangkutan sehingga menganalisis profil hormon maupun metabolitnya dapat mengindikasikan kondisi reproduksi betina tersebut (MOSTL dan PALME, 2002). Analisis profil metabolit hormone di feses telah digunakan beberapa peneliti terdahulu seperti SCHWARZENBERGER et al. (1996) yang melakukan pada sapi dan singa di Austria dan hasilnya dapat merefleksikan kondisi reproduksi ternak. Teknik monitoring siklus ovarium betina secara non-invasif perlu dikembangkan. Untuk jangka panjang, adanya dasar ilmiah untuk mengetahui status reproduksi kerbau lumpur Kampar ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi usaha pengembangbiakkan ternak kerbau baik melalui kawin alam maupun melalui penerapan teknik-teknik reproduksi sehingga dapat menunjang pencapaian swasembada daging 2014. MATERI DAN METODE Koleksi feses Ternak kerbau yang diambil fesesnya terdiri dari 2 kelompok. Kelompok I terdiri dari 3 ekor ternak kerbau betina yang belum pernah melahirkan. Kelompok II terdiri dari 3 ekor ternak kerbau betina yang sudah melahirkan. Feses dikoleksi pada pukul 6 pagi sampai pukul 7 pagi selama 5 hari. Feses dikering bekukan terlebih dahulu menggunakan alat pengering beku (freeze dry system, model
79480, Lab Conco) selama 3 x 24 jam, kemudian dihaluskan dan diekstraksi sesuai prosedur yang dinyatakan oleh HEISTERMANN et al. (1998). Ekstraksi feses Feses yang telah disimpan di dalam freezer diambil kemudian masing-masing dipindahkan ke dalam tabung plastik untuk selanjutnya dilakukan lyofilisasi dan pulverisasi. Powder yang telah terbentuk diambil 50 mg berat kering kemudian diekstraksi dengan menggunakan pelarut methanol 80% sebanyak 3 ml. Selanjutnya, larutan dimasukkan ke dalam tabung polipropilene berukuran 15 ml, divorteks selama 10 menit. Sentrifugasi dengan kecepatan 500 g selama 10 menit (MONFORT et al. 1998) dilakukan setelah larutan divorteks. Supernatan dituang ke dalam tabung mikro 1,5 ml, disimpan di dalam ferezer -20oC sampai dilakukan asai menggunakan ELISA. 5 mg feses yang sudah dikering bekukan dimasukkan ke tabung reaksi ditambahkan Ethanol 90%, setelah itu dipanaskan dalam waterbath 96 – 99oC selama 20 menit. Kemudian disentrifuse. Setelah itu ditambahkan 3 ml Ethanol 100% dan 1 ml Methanol 100%. Setelah itu feses yang di ekstrak siap dianalisa dengan metode ELISA. Analisis progesteron dengan metoda ELISA Dalam analisa digunakan kit Progesteron Enzyme Immuno Assay (EIA) produk DRG Instrument GmbH, German. Prinsip kerja jenis hormon yang digunakan adalah prinsip kompetitif yaitu Progesteron dalam sampel akan berkompetisi dengan Progesteronkonjugat HRP (DRG, 2009). Analisis progesteron dalam feses dilakukan dengan metoda ELISA sesuai prosedur yang dinyatakan oleh HEISTERMANN et al. (1995) dengan menggunakan standar dan antibodi spesifik untuk maasing-masing metabolit yang akan dianalisis. Uji validasi Untuk menguji validasi asai yang digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji
71
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
terhadap respon konsentrasi, dengan melakukan paralelisme feses dengan pengenceran 1 : 0,3; 1 : 1,25; 1 : 2,5; 1 : 5; 1 : 15; 1:40, terhadap standar PdG. Presisi asai ditentukan dengan menghitung koefisien variasi dari masing-masing nilai kontrol kualitas pada konsentrasi tinggi dan rendah pada beberapa asai yang telah dilakukan (inter-assay coeffiecient of variant), dan juga perhitungan koefisien variasi dari masing-masing nilai kontrol kualitas konsentrasi tinggi dan rendah pada satu asai (inter-assay coeffiecient of variant). Apabila asai menunnjukkan nilai koefisiensi variasi ≤ 15% maka asai tersebut dikatakan memiliki nilai presisi yang baik. Parameter penelitian Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar progesteron pada kerbau dara dan kerbau pascapartum melalui feses dan darah. Analisa data
Absorban
Data Progesteron feses yang diperoleh, masing-masing dibuatkan pola hormon progesteron dan ditampilkan secara deskriptif, rata-rata dan standar deviasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi pengukuran hormon progesteron Uji validasi terhadap respon-dosis dilakukan dengan membuat paralelisme dalam pengenceran berseri menggunakan buffer (TODD et al., 1999) dari pengenceran 1:0,3; 1 : 1,25; 1 : 2,5; 1 : 5; 1 : 15 dan 1:40 baik terhadap progesteron dalam feses (Gambar 1). Dalam gambar Nampak semakin tinggi pengenceran, kadar hormon semakin kecil, ini berarti bahwa respon dosis terhadap konsentrasi normal. Dengan dihasilkannya pola yang paralel dengan kurva standar, maka hasil uji paralelisme ini menunjukkan bahwa antibodi yang digunakan pada asai bersifat imunoreaktif terhadap hormon yang diukur. Selanjutnya hormone yang diukur yaitu PdG merupakan imunoreaktif PdG (iPdG). Adapun reaksi silang antibody PdG terhadap PdG adalah 100%, pregnandiol 22%, 20αhidroksiprogesteron 32%, 5α-pregnane-20α-ol2-on 14% dan < 1% untuk steroid lainnya (HEISTERMANN et al. 1996) Dari gambar terlihat bahwa semakin tinggi pengenceran, maka kadar hormone yang terukur akan semakin kecil pada asai PdG, yang menunjukkan bahwa ada respon reaktivitas silang antara kandungan hormone
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.3
1.25
2.5
5
15
Konsentrasi standar PdG Gambar 1. Uji Paralisem PdG melalui fese kerbau lumpur betina di Kabupaten Kampar
72
40
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
yang diukur dengan standar asai yang digunakan serta identik. Hal ini menggambarkan grafik yang paralel dengan pengenceran yang dilakukan secara berseri. Respon konsentrasi feses juga terlihat paralel dengan standar PdG. Nilai-nilai konsentrasi yang berada dibawah kurva standar pada uji PdG menunjukkan bahwa pada saat feses dikoleksi, status reproduksi ternak diperkirakan berada pada fase folikuler, sedangkan nilainilai konsentrasi yang berada di atas kurva standar menunjukkan bahwa status reproduksi ternak diperkirakan pada fase luteal. Sehingga uji paralelisme ini dapat pula dijadikan acuan untuk penentuan konsentrasi/pengenceran yang dilakukan dalam pengukuran hormon yang dikehendaki sesuai dengan status reproduksi ternak. Disamping uji paralelisme, kajian validasi dilakukan dengan studi efisiensi ekstraksi menggunakan radioimmunoassay. Hasilnya menunjukkan bahwa metode ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini mempunyai efisiensi 76%. HEISSTERMANN (2001) dalam ASTUTI et al. (2006) menjelaskan bahwa nilai efisiensi ekstraksi yang baik adalah di atas 65% dengan demikian prosedur ekstraksi dalam penelitian ini dapat dikatakan baik. Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran kadar progesterone dapat dilakukan melalui pendekatan non-invasive menggunakan contoh feses.
Kadar profil hormon progesteron Hasil analisis metabolit progesterone feses dapat dilihat pada Tabel 1. Dari tabel diatas tergambar bahwa kerbau nomor satu memiliki kadar progesterone yang tinggi, 1006.05 ng/g feses dan diikuti oleh kerbau nomor empat, 921,26 ng/g feses. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kondisi ovarium kerbau lumpur dalam keadaan normal dan berada pada fase luteal. Sementara itu, kerbau nomor dua dan tiga untuk kerbau pascapartum dan kerbau lima dan enam untuk kerbau dara berada pada fase folikuler dengan kisaran rata-rata kadar hormon progesteronnya 696,87; 668,94; 694,69; 684,06. Rerata kadar progesterone pada kerbau lumpur yang sudah melahirkan dan kerbau lumpur yang belum pernah melahirkan tidak berbeda nyata pada P > 0,05. Namun jika dibandingkan antara masing-masing individu pada kerbau lumpur yang sudah melahirkan dan masing-masing individu kerbau dara terlihat berbeda nyata pada P > 0,05. Secara individual, kadar progesteron dalam feses masing-masing kerbau dapat dilihat pada Gambar 2. PALME dan MOSTL (2000) menyatakan bahwa 28% kadar hormone progesteron pada ternak domba ditemukan dalam feses, 72% berada dalam urin. Aktifitas ovarium dapat dilihat grafik kadar hormone progesteron. Dari profil hormon progesteron yang teratur,
Tabel 1. Kadar progesteron dalam feses 6 ekor kerbau lumpur Kerbau
Kadar progesteron (ng/g feses kering)
Kadar progesteron dalam serum (ng/ml)
Kerbau 1
1006,05 ± 429,33
5,0
Kerbau 2
696,87 ± 132,62
4,0
Kerbau 3
668,94 ± 132,90
4,0
Kerbau 4
921,26 ± 293,35
3,0
Kerbau 5
694,69 ± 205,81
3,0
Kerbau 6
684,06 ± 163,63
2,0
Keterangan
Kerbau pascapartum
Kerbau dara
73
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
Waktu pengambilan feces
Gambar 2. Kadar progesteron dalam feses pada kerbau dara pascapartum
menunjukkan adanya fluktuasi yang jelas merefleksikan pola hormonal yang bersiklus dengan fase folikuler dan fase luteal. Rerata kadar hormone progesterone dalam darah pada kerbau yang sudah pernah melahirkan 4,3 ± 0,57 dan 2,67 ± 0,57 ng/ml (Tabel 1). Kadar rerata ini juga tidak berbeda nyata pada P > 0,05. Rerata kadar hormone progesterone ini tidak jauh berbeda dengan HARJOPRANJOTO (1983) bahwa kadar progesterone ternak kerbau pada fase luteal 0,40 – 5,21 ng/ml, pada fase folikel kadar progesterone 0,07 ng/ml sampai 0,55 ng/ml. CHUA et al. (2002) mendapatkan kadar progesterone dalam darah kerbau betina yang belum pernah melahirkan 0,241 ± 0,134 ng/ml sampai 1,759 ± 0,187 ng/ml. Kisaran konsentrasi progesterone di feses merupakan konsentrasi yang diperoleh pada satu siklus saja, karena peningkatan dan penurunan kadar progesterone hanya dapat dilihat dan diperkirakan pada satu fase saja yaitu fase luteal dan fase folikel. KESIMPULAN Kadar progesterone antara ternak kerbau yang telah melahirkan dengan ternak kerbau yang belum pernah melahirkan baik dalam
74
feses maupun dalam darah tidak berbeda nyata pada P > 0,05. Feses dapat di gunakan sebagai sampel untuk melihat kadar hormone. Profil hormon progesterone melalui feses dapat digunakan sebagai indikator dalam mengevaluasi fungsi ovarium. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan uji radiometabolis untuk mengetahui time lag steroid pada kerbau sehingga kita dapat melihat waktu ovulasi dengan menghitung dua puncak kadar progesterone atau saat kadar progesterone mulai naik pada dua siklus estrus. Hal ini berguna untuk menentukan waktu yang optimal (Optimal Mating Time = OMT) dalam mengawinkan ternak kerbau. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih diucapkan kepada Dinas Peternakan Kampar yang telah menyediakan fasilitas, khususnya untuk Firdaus dan drh.Taufik Bahar yang telah memudahkan pengambilan sampel penelitian.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
DAFTAR PUSTAKA ASTUTI P, T.L. YUSUF, E. HAYES, H. MAHESWARI, L. SJAHIRDI and D. SAJUTHI. 2006. Diurnal Patterns of fecal and urinary Testosterone immunoreactive excretion in captive housed male javan gibbons (Hylobates moloch). J. Biotechnol. GMU CHUA. LN, A.S. SARABIA, N.P. ROXAS, Z.M. NAVA and V.G. MOMONGAN. 2002. Blood plasma progesterone in normally estrous cycling and anestrous Philipine Carabao Heifer. J. Vet. Anim. Sci. 10(1 and 2): 41. DANELL, B. 1987. Studies on reproduction Water Buffalo. Ph.D Thesis. Royal Veterinary College, Sweddish University of Agricultural Sciences, Uppala, Sweden. DRG.
2009. Total Progesteron Coat-A-count Prosedure., Diagnostic Products Corporation 5700 West 96th Street, Los Angelos, CA 90045 – 5597.
HAFEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals 8th Edition. Lea and Febiger, Philadelphia. HARDJOPRANJOTO, S. 1983. Biologi reproduksi kerbau lumpur (Bubalus bubalis) ditinjau dari segi kesuburan, hormon kelamin, morfologi kelenjer hipofisa dan spermatozoa. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. HEISTERMANN, M., M. AGIL, A. BOTHE and J.K. HODGES. 1998. Metabolisme and excretion of oestradiol-17β and progesteron in the Sumatera rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). Anim. Reprod. Sci. 53: 157 – 172. HEISTERMANN, M,U. MOHLE, H. VERVAECKE, L. VAN ELSACKER and J.K. HODGES. 1996. Application of urinary and fecal steroid measurements for monitoring ovarian function and pregnancy in the Bonobo (Pan paniscus) and Evaluation of perineal swelling patterns in relation to endoctrine evemts. Biol. Reprod. 55: 844 – 853. HEISTERMANN, M., E. MOSTL and J.K. HODGES. 1995. Non-invasive endoctrine monitoring of female reproductive status:Methods and applications to captive breeding and conservation of exotic species. di dalam: GANSLOBER, U., J.K. HODGES and W. KAMMANS (Eds.) Research and Captive Propagation. Filanderverlag GmBH, Erlangen. pp. 36 – 48.
HEISTERMANN, M., J. UHRIGSHARDT, A. HUSUNG, W. KAUMANNS and J.K. HODGES. 2001. Measurement of fecal steroid metabolites in the lion-tailed macaque (Macaca silenus): A non-invasive tool for assessing female ovarian function. Prim. Rep. 59: 27 – 42. JAINUDEEN, M.R. 1986. Reproduction in Water Buffalo. In: Current Therapy in Theriogenology 2. MORROW, D.A. (Ed.). W.B. Saunders Co., Philadelphia. MONFORT, S.L., B.S. MASHBURN, B.A. BREWER and R. CREEL. 1998. Adrenal activity in African Wild Dogs (Lycaon pictus) by fecal Corticosteroid Analysis. J. Zoo Wild Med. 292: 129 – 133. MOSTL, E. and R. PALME. 2002. Hormones as indicator of stress. J. Domes. Anim. Endoctrinol. 23: 67 – 74. PALME, R. and E. MOSTL. 2000. Determination of faecal cortisol metabolites in domestic livestock for non-invasive monitoring of disturbances. In: Altualle Arbeiten zur artgemaben Tierhaltung 2000. Kuratorium fur Technik und Bauwesen in der Landwirschat eV (KTBL), Darmstadt, Germany, KTPLSchrift 2001. 403: 3 – 17. PUTRO, P.P. 1991. Sinkronisasi berahi pada kerbau: Aktivitas Ovarium dan profil progesteron darah. Bull. FKH UGM XIV. RAJAMAHENDRAN, R.B. dan W.A. THAMOTHARAM. 1988. The use of progesteron releasing intravaginal device in swamp buffalo. J. Anim Reprod. Sci. 20: 12 – 19. SCHWARZANBERGER, F., E. MOSTL, R. PALME and E. BAMBERG. 1996. Faecal steroid analysis for non-invasive monitoring and of reproductive status in farm, wild and zoo animals. J. Anim Reprod. Sci. 42: 515 – 526. TODD, H.E., S.E. SHIDELER, L.S. LAUGHLIN, J.W. OVERSTREET, C.R. POHL, W. BYRD and B.L. LASLEY. 1999. Aplication of enzyme Immunoassay for Urineary Folicle Stimulating Hormone to describe the Effects of an Acute Stressor at different Stages of The Manstraul cycle in Female Laboratory Macaques, Am. J. Primatol. 48: 135 – 151. TY, L.V., D. CHUPIN dan M.A. DRIANCOURT. 1989. Ovarian follicular populations in buffaloes and Cows. J. Anim. Reprod. Sci. 19: 171 – 178.
75