INFESTASI TELUR CACING PARASITIK PADA TINJA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis)
ASEP SAEFULLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infestasi Telur Cacing Parasitik pada Tinja Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2012 Asep Saefullah NIM B04080153
ABSTRAK ASEP SAEFULLAH. Infestasi Telur Cacing Parasitik pada Tinja Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis). Dibawah bimbingan RISA TIURIA dan HERA MAHESHWARI. Produktivitas kerbau di Indonesia semakin lama semakin menurun. Produktivitas kerbau dapat dipengaruhi oleh infeksi cacing. Penurunan produktivitas tersebut berupa penurunan bobot badan, pertumbuhan yang lambat maupun peningkatan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi infestasi telur cacing pada tinja kerbau lumpur (Bubalus bubalis). Penelitian ini menggunakan 4 ekor kerbau betina (K1-K4). Sampel diambil selama empat minggu di 5 titik pada tinja kerbau yaitu bagian atas, bawah, tengah, kanan dan kiri tinja. Metode yang digunakan yaitu flotasi sederhana, McMaster dan filtrasi bertingkat. Penelitian ini menemukan dua genus telur trematoda yaitu genus Fasciola dan genus Paramphistomum dengan tingkat infeksi yang ringan. Ukuran rata-rata telur genus Fasciola adalah 155.60 µm × 97.03 µm dan genus Paramphistomum sekitar 145.34 µm × 83.08 µm. Kerbau ketiga (K3) memiliki derajat infeksi Fasciola sp tertinggi, sedangkan kerbau lainnya lebih didominasi infeksi Paramphistomum sp. Produksi telur cacing selama 4 minggu tampak fluktuaktif. Pada lima titik sampel tinja yang diamati, produksi telur tidak berbeda signifikan. Kata Kunci : Kerbau lumpur, Fasciola sp., Paramphistomum sp.
ABSTRACT ASEP SAEFULLAH. Infestation of Parasitic Egg Worm in Swamp Buffalo (Bubalus bubalis) Faeces. Under direction of RISA TIURIA and HERA MAHESHWARI. The productivity of buffalo in Indonesia was decreased continously. Buffalo productivity can be affected by worm infection. The productivity declined were body weight climbdown, growth delayed even mortality increased. This research was aimed to evaluated infestation of parasitic egg worm in swamp buffalo (Bubalus bubalis) faeces. This research used four of female buffaloes (K1-K4). Faeces sample taken for four week at five points were top, bottom, center, right and left of buffalo faeces. The methode which applied was simple flotation, McMaster, and gradient filtration. Two genus trematoda eggs was identified, Fasciola and Paramphistomum with low degree of infection. The mean size of eggs were 155.6 µm × 97.03 µm for genus Fasciola and 145.34 µm × 83.08 µm for Paramphistomum. The third buffalo (K3) had the highest infection by genus Fasciola, while the others by Paramphistomum. Egg production in four weeks seemed to be fluctuative. In five point which observed for egg production there were not significantly different. Keywords: Swamp buffalo, Fasciola, Paramphistomum.
INFESTASI TELUR CACING PARASITIK TINJA PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis)
ASEP SAEFULLAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEQWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Infestasi Telur Cacing Parasitik pada Tinja Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Nama : Asep Saefullah NIM : B04080153
Disetujui oleh
Dr. drh. Risa Tiuria, MS. Pembimbing I
Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Ungkapan rasa syukur yang mendalam senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Nabi Agung, Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dimulai sejak Juli 2011 ini adalah infeksi cacing dengan judul “Infestasi Telur Cacing Parasitik pada Tinja Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis)”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Risa Tiuria, MS dan Dr.drh. Hera Maheshwari, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini serta Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS selaku dosen penilai seminar skripsi yang telah bersedia memberikan berbagai masukan dan perbaikan. Disamping itu penghargaan juga penulis sampaikan kepada drh. Adi Winarto, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan tuntunan selama studi di FKH IPB, staf laboratorium Helminthologi FKH (Bapak Sulaiman dan Ibu Ira) yang telah banyak membantu penelitian saya serta teman-teman, Avenzoar (FKH 45) khususnya Ahmad, Aming, Ana, Ayu, Monika, Sri, dan Veki yang senasib dan seperjuangan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu dan Ayah serta adikadik tersayang (Nuraeni, Mustofa, Khotimah, Munawaroh, Asiah dan Badrussalam) atas segala kasih, cinta dan doa-doanya, Ustadz Ece Hidayat, Ust. Abdurrahman dan Ust. Dudi Supiandi beserta para keluarga yang dengan sepenuh hati memberikan pelajaran-pelajaran yang berharga dalam kehidupan, temanteman CSS MORA 45 (Jamal, Ayip, Cecep,dll) yang banyak membantu penyelesaian skripsi ini serta rekan-rekan santri/at Al Ihya Darmaga yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Bogor, Desember 2012 Asep Saefullah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan
1
1.3 Manfaat Penelitian
1
2 TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 KERBAU
2
2.1.1 Klasifikasi Kerbau
2
2.1.2 Jenis Kerbau
2
2.1.3 Pertumbuhan Kerbau Lumpur
3
2.1.4 Sistem Pemeliharaan Kerbau Lumpur
3
2.1.5 Bobot Badan
3
2.2.1 Plathyhelminthes
3
2.2.2.1 Pembagian Plathyhelminthes
3
2.2.1.2 Kelas Trematoda
4
2.2.1.3 Kelas Cestoidea
4
2.2.2 Nemathelminthes
5
2.2.2.1 Kelas Nematoda
5
3 METODOLOGI PENELITIAN
8
3.1 Waktu dan Tempat
8
3.2 Alat dan Bahan
8
3.3 Metode Penelitian
8
3.3.1 Pengumpulan Sampel
8
3.3.2 Pengamatan Sampel
9
3.3.2.1 Uji Kualitatif
9
3.3.2.2.2 Teknik Filtrasi Bertingkat
10
3.3.3 Pengukuran Telur Cacing
10
3.3.4 Analisis Data
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
10
5 SIMPULAN DAN SARAN
14
6 DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
19
DAFTAR TABEL 1 Ukuran rata-rata telur cacing
11
2 Perbandingan FEC pada beberapa titik
13
DAFTAR GAMBAR 1 Kerbau Lumpur
2
2 Siklus hidup cacing kelas Trematoda, Paramphistomum cervi
5
3 Siklus hidup cacing kelas Cestoidea, Taenia sp.
6
4 Siklus hidup cacing kelas Nematoda
6
5 Telur cacing pada Ruminansia
7
6 Titik pengambilan sampel pada feses kerbau
9
7 Perbandingan infestasi telur cacing genus Fasciola pada kerbau 1-4 (K1K4) selama 4 minggu (M1-M4) 12 8 Perbandingan infestasi telur cacing genus Paramphistomum pada kerbau 1- 4 (K1-K4) selama 4 minggu (M1-M4) 12
DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan uji ANOVA
18
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerbau adalah salah satu hewan ternak domestik yang mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat. Manfaat kerbau terutama dari daging, susu, kulit serta tenaganya (Bamualim & Muhammad 2007). Daging kerbau merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat. Tenaga kerbau sering dimanfaatkan untuk membantu membajak sawah atau lahan pertanian. Di samping itu, kerbau juga menjadi investasi petani yang sewaktu-waktu dapat dijual ke pasar (Petheram et al. 1982). Sebagaimana ternak lainnya, kerbau tidak terlepas dari berbagai penyakit. Penyakit tersebut dapat disebabkan oleh virus, bakteri, cendawan, maupun agen parasitik seperti cacing. Kasus kecacingan pada kerbau membawa kerugian pada kerbau secara langsung dan secara tidak langsung merugikan peternak. Populasi kerbau di Indonesia cenderung menurun dalam beberapa dasawarsa terakhir (Setyono 2009). Menurut Khan et al. (2008) parasit merupakan masalah utama dalam penurunan produktivitas ternak di dunia. Penurunan produktivitas ternak diantaranya terjadinya penurunan bobot badan, pertumbuhan yang lambat dan kematian. Hal ini terjadi karena parasit tersebut mengambil nutrisi yang dibutuhkan, memakan jaringan tubuh, dan menghisap darah inangnya. Gejalagejala umum yang disebabkan oleh infeksi cacing antara lain: Pertama, anemia karena infeksi cacing haematophagous misalnya Haemonchus, Mecistocirrus, Bunostomum, Fasciola dan Paramphistomum. Kedua, diare karena efek gangguan pencernaan atau penyerapan oleh infeksi Trichostrongylus, Cooperia, Oesophagostomum dan Paramphistomum. Ketiga, penurunan bobot badan dan kelemahan kronis akibat penurunan nafsu makan dan penurunan kecernaan pakan (Dorny et al 2011). Penurunan produktivitas ternak dapat memberikan dampak negatif bagi peternak. Ternak yang terinfeksi secara kronis biasanya mengalami kekurusan, dan sebagai akibatnya ternak akan mempunyai nilai jual yang rendah. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perlu diketahui secara lebih dalam tentang jenis-jenis cacing parasitik yang menginfeksi kerbau. Oleh karena itu, penelitian tentang identifikasi cacing parasitik merupakan salah satu langkah yang tepat. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis telur cacing yang ada pada tinja kerbau, mengukur dan membandingkan derajat infeksi cacing parasitik pada kerbau, dan menganalisis infestasi telur cacing di lima titik pada sampel tinja. 1.3 Manfaat Penelitian Pasca penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, dunia pendidikan dan masyarakat. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk pencegahan atau diagnosis awal
2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU 2.1.1 Klasifikasi Kerbau Menurut Reksohadiprodjo (1984) ada dua tipe kerbau Asia yang tergolong dalam spesies yang sama dengan taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminantia Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus bubalis
Gambar 1 Kerbau lumpur (Sumber: Bustami & Susilawati 2007) 2.1.2 Jenis Kerbau Kerbau (Bubalus bubalis) domestik Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau sungai (riverine buffalo). Populasi kerbau terbanyak di dunia terdapat di Asia. Di Indonesia populasi kerbau sebesar 1,3 juta ekor (Kementan-BPS 2011). Mayoritas (95%) populasi kerbau adalah kerbau lumpur, sisanya dalam jumlah kecil (sekitar 2%) adalah kerbau sungai yang terdapat di Sumatera Utara. Kedua jenis kerbau ini memiliki karakteristik dan kebiasaan yang berbeda. Kerbau lumpur memiliki kebiasaan berendam dalam lumpur, kubangan ataupun air yang
3 menggenang. Kerbau lumpur lebih banyak digunakan sebagai ternak kerja dan penghasil daging (Sitorus & Anggraeni 2008). Kerbau sungai memiliki ciri tanduk melingkar ke bawah dan kerbau lumpur mempunyai tanduk melengkung ke belakang . Kerbau lumpur mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai 25 pasang (50 kromosom) (Hasinah & Handirawan 2006). Kerbau sungai memiliki kebiasaan berendam dalam air jernih seperti sungai dan danau. Kerbau ini biasa digunakan sebagai ternak penghasil susu dan umumnya berwarna hitam pekat (Hasinah & Handirawan 2006). Sebagian besar kerbau lumpur memiliki warna abu-abu, dengan garis kalung (chevron) berwarna putih pada leher, serta warna kaki (stocking) abu-abu muda atau abu-abu (Sitorus & Anggraeni 2008) 2.1.3 Pertumbuhan Kerbau Lumpur Kerbau merupakan ternak yang pertumbuhannya lambat. Kerbau baru mencapai dewasa tubuh setelah umur 3 tahun (Fahimmudin 1975). Akan tetapi, pendapat yang lain menyatakan kerbau mencapai dewasa pada umur 5-6 tahun (Sastroamidjojo 1991). Dewasa kelamin sangat mempengaruhi laju pertumbuhan. Lendhanie (2005) menyatakan dewasa kelamin kerbau lumpur dicapai pada umur 2-3 tahun. Yurleni (2000) juga menyatakan hal serupa yaitu bahwa kerbau jantan dan betina mencapai dewasa kelamin sekitar umur 2.5-3 tahun. 2.1.4 Sistem Pemeliharaan Kerbau Lumpur Pemeliharaan kerbau di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan intensif. Pemeliharaan secara intensif yaitu pemeliharaan ternak hampir sepanjang hari berada dalam kandang. Kerbau diberikan pakan hijauan melebihi kebutuhannya dari segi kualitas maupun kuantitas agar bobot badan cepat bertambah (Murtidjo 1993). Pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan ternak yang dilepas di padang penggembalaan sepanjang hari mulai dari pagi sampai sore. Padang penggembalaan dapat berupa rawa seperti yang diterapkan di Kalimantan Selatan (Suryana 2007). Pemeliharaan semi intensif yaitu menyediakan padang penggembalaan terbatas dengan memanfaatkan lahan tidak produktif, ternak dilepas pada siang hari dan sore atau malam hari dikandangkan. 2.1.5 Bobot Badan Menurut Lendhanie (2005) kerbau lumpur pada umur 1 tahun beratnya mencapai 195-200 kg, sedangkan ketika berumur 3 tahun mencapai berat badan 400-500 kg. Menurut Herianti dan Pawarti (2009) bobot kerbau yang baru lahir yaitu 30-40 kg, sedangkan bobot umur 1.5-3 tahun berkisar antara 250-350 kg. 2. 2 CACING PARASITIK 2.2.1 Plathyhelminthes 2.2.2.1 Pembagian Plathyhelminthes Platyhelminthes memiliki badan yang pipih, tidak memiliki rongga tubuh, dan biasanya bersifat hermaprodit. Plathyhelminthes terbagi dalam kelas Trematoda, Cestoidea, dan Turbellaria (Cheng 1973).
4
2.2.1.2 Kelas Trematoda Cacing dewasa biasanya ovipar dan meletakkan telurnya pada uterus. Saat perkembangan telur, embrio cacing terdapat dalam suatu pyriform bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium dibantu oleh silia menuju air. Kemudian mirasidium mencari siput yang cocok untuk melakukan perkembangan selanjutnya. Mirasidium berkembang menjadi sporokista dalam jaringan lunak siput. Sporokista mengandung sejumlah sel germinal. Sel-sel tersebut berkembang menjadi redia dan bermigrasi ke hepato-pankreas siput. Redia berkembang dari sel germinal menjadi serkaria (Taylor et al. 2007). Serkaria merupakan cacing pipih yang muda dengan ekor yang panjang. Serkaria berkembang menjadi metaserkaria dengan melepaskan ekornya dalam waktu satu jam. Kista metaserkaria berfungsi memperpanjang kelangsungan hidupnya. Sewaktu diingesti oleh inang definitif, bagian luar dinding kista dipecah secara mekanik selama inang mengunyah. Pecahnya kista menghasilkan larva dan langsung berpenetrasi pada usus dan bermigrasi pada tempat yang disukainya kemudian menjadi dewasa dalam beberapa minggu (Taylor et al. 2007). Siklus tersebut diilustrasikan secara jelas pada Gambar 2. Menurut keterangan Withlock (1960), cacing memiliki siklus hidup yang bervariasi. Secara umum ada dua macam siklus yaitu siklus langsung dan tidak langsung. Siklus hidup langsung dilalui tanpa inang antara. Siklus tidak langsung berarti parasit membutuhkan inang antara sebelum menginfeksi inang definitif. Trematoda memiliki siklus hidup tidak langsung. 2.2.1.3 Kelas Cestoidea Kelas ini terdiri atas dua subkelas yaitu cestodaria dan cestoda. Subkelas cestoda merupakan cacing parasit pada hewan berdarah dingin, ternak domestik bahkan manusia. Cacing ini terdiri atas dua ordo penting yaitu Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Ordo Cyclophyllidea sebagian besar bersifat parasitik pada hewan berdarah panas. Cyclophillidea mempunyai siklus hidup tidak langsung sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3 (Lapage 1962). Cestoda tidak memiliki rongga badan dan semua organ tersimpan di dalam jaringan parenkim (Lapage 1962). Selain itu, cestoda tidak memiliki saluran pencernaan, sehingga makanannya akan langsung diserap oleh dinding tubuhnya. Cestoda memiliki bentuk tubuh seperti pita dan panjang tubuh mulai dari ukuran sentimeter sampai beberapa meter. Tubuhnya bersegmen dan setiap segmen berisi satu atau dua set organ reproduksi jantan dan betina. Tubuhnya panjang, pipih, dan terdiri dari tiga daerah, yaitu skoleks (kepala), leher, dan badan atau strobila (Taylor et al. 2007). Bagian kepala memiliki 2 sampai 4 alat penghisap yang memiliki rostelum. Rostelum merupakan penonjolan yang berada pada kepala dan dilengkapi kait untuk menempel pada dinding usus inang. Tepat di belakang skoleks terdapat leher pendek dari jaringan yang tidak mengalami diferensiasi, kemudian diikuti strobila yang bersegmen (Levine 1994).
5 2.2.2 Nemathelminthes Phylum Nemathelminthes terdiri atas tiga kelas utama yaitu kelas Nematomorpha, Acantocephala, dan Nematoda (Cheng 1973). Penulis tidak melakukan peninjauan pustaka terhadap kelas Nematomorpha dan Acantocephala karena keduanya tidak bersifat parasit pada ternak ruminansia domestik.
Gambar 2
Siklus hidup cacing kelas Trematoda, Paramphistomum cervi (Sumber: LIoyd et al. 2007)
2.2.2.1 Kelas Nematoda Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Secara umum nematoda memiliki bentuk silinder, lonjong pada kedua ujung tubuh, tidak memiliki warna, dan memiliki lapisan kutikula. Sistem pencernaan nematoda berupa tabung sederhana, tapi lebih lengkap dibandingkan kelas lainnya. Mulut nematoda dikelilingi oleh dua atau tiga bibir yang berhubungan dengan esophagus (Taylor et al. 2007). Sistem reproduksi pada jantan dan betina terpisah (Lapage 1962). Sebagian Nematoda mengalami siklus langsung dan sebagian lain mengalami siklus tidak langsung (Withlock 1960). Siklus hidup langsung Nematoda diilustrasikan secara jelas pada Gambar 4).
6
Gambar 3 Siklus hidup cacing kelas Cestoidea, Taenia sp.(Sumber: CDC 2012)
Gambar 4 Siklus hidup cacing kelas Nematoda (Sumber : Scheuerle 2009)
7
Gambar 6 Beberapa jenis telur cacing yang sering ditemukan pada ruminansia (Perbesaran 400×) (kiri-kanan): 1) Telur Toxocara 2) Telur Fasciola hepatica (F); Telur Paramphistomum cervi (P) 3) Telur Trichostrongylid (kiri); Telur Moniezia (kanan) 4) Telur Fasciola gigantica 5) Telur Nematodirus 6) Telur Strongyloides (kecil) dan Strongylid (besar) (Sumber: RVC 2012; De Waal 2010; Scheuerle 2009; Goral 2011; Peebles 2008; Miller & Gipson 2003) 2.2.3 Telur Cacing Morfologi telur cacing sangat membantu dalam mendiagnosa penyakit kecacingan secara spesifik. Masing-masing kelas memiliki morfologi yang berbeda. Trematoda digenea memiliki telur bulat, kerabang yang tipis, dan sebuah operculum yang akan terbuka jika larva (mirasidium) keluar serta knob (Kremer & Chaker 1983; Krejci & Fried 1994). Kelas Cestoda subkelas Pseudophyllidea sama seperti telur digenea yang memiliki kerabang yang tipis dan sebuah
8 operkulum, akan tetapi telur tersebut berisi larva coracidium. Sedangkan subkelas Cyclophyllidea memiliki ciri kerabang yang tebal dan berisi larva oncosphere yang dilengkapi dengan tiga pasang kait. Telur nematoda sangat berbeda baik ukuran dan bentuknya. Ketebalan kulit telur nematoda bervariasi dan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dari kulit telur nematoda yaitu inner membran, middle layer dan outer membran (Taylor et al. 2007). Berdasarkan keterangan The Royal Veterinary College (RVC) (2012), ada beberapa jenis telur yang biasa ditemukan pada ruminansia yaitu telur Toxocara, Nematodirus, Fasciola, Paramphistomum, Strongyloides, Trichostrongyloid, dan Moniezia (Gambar 6).
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai dari 12 Juli 2011 sampai dengan 14 Juli 2012. Pengumpulan sampel dilakukan selama empat minggu dari tanggal 14 Juli 2011-11 Agustus 2011 di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR), sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah plastik sampel, saringan, cawan petri bergaris, saringan bertingkat, kamar hitung McMaster, mikroskop Nikkon YS100 dan Nikkon Eclipse E600 dan monitor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tinja kerbau sebanyak 248 sampel, dan larutan gula-garam jenuh. Sampel tinja diambil dari kerbau lumpur yang berasal dari kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan Sampel Kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah empat ekor yaitu kerbau 1, 2, 3 dan 4. Kerbau-kerbau tersebut diberi albendazol peroral dengan dosis pemberian 20 ml pada dua hari sebelum pengambilan sampel. Sampel diambil dari tinja kerbau melalui palpasi perektal atau yang sudah jatuh (dalam kondisi baru jatuh) ke tanah jika tinja sudah keluar. Pengambilan sampel dilakukan setiap dua hari sekali. Masing-masing kerbau dilakukan pengambilan pada lima titik yaitu bagian atas, bawah, tengah, kanan dan kiri dari tinja (Gambar 7). Pengambilan sampel pada lima titik ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya kesalahan. Pengumpulan sampel dilakukan dengan mempersiapkan sebanyak 248 buah plastik sampel yang telah ditandai dengan nomor kerbau, tanggal pengambilan dan titik pengambilan sampel. Masing-masing titik dilakukan pengambilan tinja sekitar 7-10 gram. Tinja disimpan di dalam plastik yang tertutup rapat, lalu disimpan sementara dalam coolbox dan selanjutnya disimpan di dalam refrigerator.
9
A Ki
T
Ka
B
Gambar 7 Titik pengambilan sampel pada feses kerbau. Ada lima titik yang diambil sampel yaitu atas (A), bawah (B), tengah (T), kanan (Ka) dan kiri (Ki) (Sumber: Pribadi). 3.3.2 Pengamatan Sampel Pengamatan sampel dilakukan dengan melakukan uji kualitatif dan uji kuantitatif. Uji kualitatif bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis telur cacing dalam tinja kerbau. Metode pengujian yang dilakukan yaitu teknik flotasi sederhana. Uji kuantitatif bertujuan untuk menghitung derajat infestasi cacing pada kerbau. Metode pengujiannya dengan menggunakan teknik McMaster dan filtrasi bertingkat. 3.3.2.1 Uji Kualitatif Timbangan dikalibrasikan lalu sampel tinja ditimbang sebanyak 2 gram dalam gelas sampel. Sebanyak 58 ml larutan gula garam jenuh ditambahkan ke dalam gelas sampel dan diaduk sampai homogen. Setelah itu, larutan sampel disaring 2-3 kali dan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh (miniskus cembung). Mulut tabung ditutup dengan cover glass dan didiamkan 3-5 menit. Cover glass diangkat secara vertikal lalu ditempelkan pada gelas objek. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop pada perbesaran 100× (Soulsby 1986). 3.3.2.2 Uji Kuantitatif 3.3.2.2.1 Teknik McMaster Uji ini berdasarkan pada metode yang digunakan Whitlock (1960). Uji ini bertujuan untuk mempertunjukkan dan menghitung jumlah telur cacing pada sampel tinja. Metode pengujian ini dilakukan dengan memasukkan larutan sampel yang telah dibuat (seperti pada uji kualitatif) ke dalam kamar hitung McMaster dengan pipet sampai penuh. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop pada perbesaran 100×.
10 3.3.2.2.2 Teknik Filtrasi Bertingkat Tinja sebanyak 3 gram ditambahkan ke dalam 50 ml air dan diaduk sampai homogen. Setelah itu, larutan sampel disaring 2-3 kali. Sampel hasil saringan difiltrasi dengan saringan bertingkat, berturut-turut 400 μm, 100μm dan 45 μm. Sedimen dari saringan pertama disemprot dengan sprayer sehingga terkumpul pada saringan ketiga. Sedimen pada saringan ketiga dimasukkan ke dalam cawan petri hitung dengan cara menyemprotkan sprayer ke arah cawan petri hitung dengan posisi mulut saringan ke arah cawan. Selanjutnya sedimen dicampur air secukupnya, lalu diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40× (Soulsby 1986). 3.3.3 Pengukuran Telur Cacing Telur cacing yang ditemukan diambil sampling 10 buah per jenis telur dari sampel yang berbeda. Pengukuran telur menggunakan mikroskop cahaya Nikkon Eclipse E600 dengan perbesaran 100× dan dibantu dengan sebuah monitor untuk menampilkan gambar. 3.3.4 Analisis Data Perhitungan telur cacing menggunakan metode Faecal Egg Counts (FEC) serta uji ANOVA untuk mengevaluasi infestasi telur cacing pada tinja. Perhitungan FEC Trematoda berdasarkan Palmer dan Lyon (2011) dengan menggunakan rumus:
FEC = n/bt
n
= jumlah telur yang ditemukan dalam cawan petri hitung
bt
= bobot tinja (g)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini berhasil mengidentifikasikan jenis-jenis telur cacing pada kerbau. Adapun jenis telur cacing yang telah teridentifikasi yaitu telur genus Fasciola dan genus Paramphistomum dari kelas Trematoda. Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya telur cacing dari kelas Cestoda maupun Nematoda. Hasil penelitian ini memperkuat beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki keterkaitan baik pada kerbau maupun ruminansia lainnya. Mukhlis (1985), Widjajanti (2004) dan Purwanta et al. (2006) menyatakan bahwa Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. adalah spesies trematoda yang umum ditemukan di Indonesia. Fasciola hepatica dan F. gigantica adalah dua spesies parasit trematoda yang menginfeksi ruminansia domestik seperti domba, sapi dan kerbau. Infeksi F. gigantica pada kerbau di negara-negara tropis di Asia sering terjadi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang berat (Zhang et al. 2006). Penelitian yang dilakukan Balitvet pada tahun
11 1991 terhadap sampel tinja kerbau lumpur di Kalimantan Selatan menemukan infeksi cacing hati (Fasciola sp.) dan trematoda rumen (Paramphistomum sp.), serta tidak ditemukan infeksi cacing nematoda dalam saluran pencernaan (Suhardono 2000). Menurut Rohaeni et al. (2008), kejadian infeksi pada Kalimantan Selatan bahkan menjadi salah satu penyebab tingginya mortalitas ternak kerbau. Penelitian Estuningsih (2006) dengan uji capture-ELISA untuk deteksi antigen dalam tinja menyimpulkan bahwa sebanyak 60,28% dari 141 sampel tinja sapi di RPH Jakarta yang diteliti positif Fasciola sp. Tabel 1 Hasil pengukuran rataan panjang dan lebar telur cacing genus Fasciola dan genus Paramphistomum pada tinja kerbau Jenis telur (genus)
Ukuran rataan (µm) Panjang
Lebar
Fasciola
155.60 ± 15.68
97.03 ± 6.03
Paramphistomum
145.34 ± 6.38
83.08 ± 9.49
Ukuran telur genus Fasciola pada penelitian ini yaitu 126.60-179.0 µm × 89-106.70 µm dengan rataan 155.60 ± 15.68 µm × 97.03 ± 6.03 µm (Tabel 1). Ukuran telur genus Fasciola di Indonesia umumnya yaitu 118.80-158.40 µm × 66-105 µm (Mukhlis 1985). Ukuran ini lebih mirip telur F.hepatica yang berukuran 130-150 µm × 63-90 µm (Levine 1994). Hasil ini juga sejalan dengan pendapat Chen (1990) dalam Abdel-Nasser et al. (2010) yang menyatakan bahwa ukuran telur genus Fasciola di Asia tidak jauh berbeda dari F. hepatica yaitu 130-150 µm × 63-90 µm. Namun, ukuran telur genus Fasciola penelitian ini lebih kecil daripada ukuran telur genus Fasciola asal Afrika. Menurut Lapage (1962) ukuran telur genus Fasciola asal Afrika berkisar 156-197 µm × 90-104 µm. Ukuran telur genus Paramphistomum pada penelitian ini adalah 135.30 -152.20 µm × 72.90-100 µm dengan rataan 145.34 ± 6.38 µm × 83.08 ± 9.49 µm (Tabel 1). Hasil ini mendukung keterangan Foreyt (2001) yang mengutarakan bahwa telur genus Paramphistomum memiliki ukuran 150 µm × 75 µm. Hasil ini juga menguatkan penelitian Burgu (1981) yang mengemukakan bahwa ukuran telur genus Paramphistomum 121-169 µm × 68-95 µm. Hasil rataan perhitungan Faecal Egg Counts (FEC) genus Fasciola dengan teknik filtrasi adalah 2.07 ± 4.30 per gram tinja sedangkan rataan FEC genus Paramphistomum adalah 1.76 ± 2.24 per gram tinja. Berdasarkan standar infeksi, infestasi telur trematoda pada kerbau atau sapi tergolong patogenik apabila terdapat 100-200 telur per gram tinja (Soulsby 1986). Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau yang diteliti mengalami infeksi Fasciola dan Paramphistomum yang tergolong tidak patogenik.
12
J u m l a h t e l u r
18.00 16.00 14.00 12.00 10.00
K1
8.00
K2
6.00
K3
4.00
K4
2.00 0.00 M1
M2
M3
M4
Waktu
Gambar 8 Grafik perbandingan infestasi telur cacing genus Fasciola pada kerbau 1-4 (K1-K4) selama 4 minggu (M1-M4)
J u m l a h t e l u r
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50
K1
2.00
K2
1.50
K3
1.00
K4
0.50 0.00 M1
M2
M3
M4
Waktu
Gambar 9 Grafik perbandingan infestasi telur cacing genus Paramphistomum pada kerbau 1- 4 (K1-K4) selama 4 minggu (M1-M4) Gambar 2 dan 3 menunjukkan perbandingan infestasi kedua jenis telur cacing pada keempat kerbau. Data tersebut menggambarkan bahwa masingmasing kerbau memiliki derajat infeksi cacing yang berbeda. Secara umum infeksi Paramphistomum hampir merata pada semua kerbau. Rataan telur genus Paramphistomum pada kerbau 1, 2 dan 4 lebih tinggi dibandingkan telur genus Fasciola. Namun, kerbau 3 mengalami hal yang sebaliknya, rataan telur genus Fasciola yang ditemukan lebih tinggi daripada telur genus Paramphistomum. Perbedaan derajat infeksi dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri atas umur, jenis kelamin dan
13 breed (Putri 2008; Sayuti 2007). Zhang et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap derajat infeksi adalah imunitas individu kerbau. Menurut Tuasikal & Suhardono (2006), peningkatan daya tahan tubuh ternak dapat menurunkan patogenisitas cacing. Faktor intrinsik yang diduga mempengaruhi derajat infeksi pada penelitian ini adalah imunitas individu kerbau. Dugaan ini didasarkan pada asumsi bahwa pengaruh faktor intrinsik lain dapat diabaikan karena dianggap sama pada semua kerbau. Kerbau yang memiliki imunitas yang baik maka akan dapat menghambat aktivitas parasitik cacing (Zhang et al. 2006). Hal ini akan menurunkan fekunditas cacing. Penurunan fekunditas ini akan mengurangi produksi telur cacing. Sebaliknya, kerbau yang memiliki imunitas yang rendah terhadap cacing tertentu akan mengalami infeksi yang tinggi. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi derajat infeksi meliputi iklim, karakteristik geografis dan manajemen pemeliharaan (Putri 2008). Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap derajat infeksi pada penelitian ini adalah pemberian anthelmintika albendazol. Obat yang diberikan diduga memberikan efektivitas yang berbeda terhadap keempat kerbau. Sebagaimana yang dijelaskan Alvarez et al. (2009), albendazol hanya peka terhadap jenis–jenis cacing tertentu saja diantaranya Fasciola namun tidak peka terhadap Paramphistomum. Infestasi telur cacing dari M1-M4 mengalami fluktuasi dan tidak sama antar kerbau. Terjadinya fluktuasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, banyaknya tinja yang dikeluarkan setiap hari oleh hewan seringkali berbeda. Kedua, produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda. Ketiga, produksi telur cacing tua dan muda berbeda (Kusumamihardja 1995 dalam Chrisnawaty 2008). Keempat, konsistensi tinja yang lembek lebih berat dibandingkan dengan tinja yang padat (Soulsby 1986). Tabel 2 Hasil perhitungan FEC pada beberapa titik dari sampel tinja Titik
Kode kerbau K1
K2
K3
K4
Nilai rataan FEC (TTGT) A
1,97 ± 2.37a
0,94 ± 1.02a
3,62 ± 3.77a
0,86 ± 0.85a
B
2,26 ± 2.36a
0,67 ± 0.86a
3,94 ± 3.10a
0,78 ± 0.76a
T
2,31 ± 2.64a
0,49 ± 0.78a
2,94 ± 2.80a
0,96 ± 1.19a
Ka
2,36 ± 2.55a
0,27 ± 0.39a
4,15 ± 4.57a
0,85 ± 1.02a
Ki 2,10 ± 2.12a 0,49 ± 0.53a 5,13 ± 5.62a 1,10 ± 1.60a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (p>0.05). A : Titik pada bagian atas tinja Ka: Titik pada bagian kanan tinja B : Titik pada bagian bawah tinja Ki: Titik pada bagian kiri tinja T : Titik pada bagian tengah tinja
Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan rataan produksi harian telur cacing pada berbagai titik. Berdasarkan data tersebut, jumlah telur tidak berbeda nyata antar titik (p>0.05). Hal ini membuktikan pada titik manapun dapat dilakukan pengambilan sampel karena hasilnya tidak berbeda nyata.
14
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Jenis telur cacing yang ditemukan dalam penelitian ini adalah telur trematoda genus Fasciola dan genus Paramphistomum. Berdasarkan nilai FEC yang diperoleh tingkat infeksi kedua spesies cacing masih tergolong tidak patogenik. Infeksi Paramphistomum lebih tinggi dibandingkan infeksi Fasciola pada ketiga kerbau. Sebaliknya, infeksi Fasciola lebih menonjol dibandingkan infeksi Paramphistomum pada satu kerbau. Jumlah telur cacing pada kelima titik pengambilan tinja tidak berbeda nyata. 5.2 Saran Saran penulis untuk penelitian selanjutnya yaitu perlu dilakukannya penelitian dengan menggunakan beberapa anthelmintik untuk mengamati khasiat obat terhadap cacing parasit.
6 DAFTAR PUSTAKA Abdel-Nasser AH, Ismael MH, Refaat MAK. 2010. Development and hatching mechanism of Fasciola eggs, light and scanning electron microscopic studies. Saud J Biol Sci 17: 247-251. doi: 10.1016/j.sjbs.2010.04.010. Alvarez L, G Moreno, L Moreno, L Ceballos, L Shaw, I Fairweather, C Lanusse. 2009. Comparative assessment of albendazole and triclabendazole ovicidal activity on Fasciola hepatica eggs. Vet Parasitol 164:211–216. doi: 10.1016/j.vetpar.2009.05.014. Bamualim AM, Muhammad Z. 2007. Situasi dan Keberadaan Ternak Kerbau di Indonesia. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau 2007. Bogor. hlm 32-39. Burgu A. 1981. Studies on the Biology of Paramphistomum Schrank, 1970 in the Sheepin the District of Eskisehir Ciftelerstrate Farm. A O Vet Fak Derg 28(1-4): 50-71. Bustami, E Susilawati. 2007. Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Hal 90-94. Cheng TC. 1973. General Parasitology. Florida: Academy Press. Chrisnawaty D. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor: Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. De Waal. 2008. Paramphistomum, a brief review. Irish Vet J 63 (5): 313-315. Dorny P, Valérie S, Johannes C, Sothy M, San S, Bunthon C, Davun H, Dirk Van A, Jozef V. 2011. Infections with gastrointestinal nematodes, Fasciola and Paramphistomum in cattle in Cambodia and their association with morbidity parameters. Res Vet Sci 175: 293-299. doi:10.1016/j.vetpar.2010.10.023
15 Estuningsih SE. 2006. Diagnosis of Fasciola gigantica infection in cattle using capture-ELISA assay for detecting antigen in faeces. JITV 11(3): 229-234. Fahimuddin M. 1975. Domestic Water Buffalo. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Foreyt WJ. 2001. Veterinay Parasitology: Reference Manual. Fifth Ed. Iowa: Iowa State University Press. Goral V, Senem S, Omer M, Mutallib C, Berat E, Besir K. 2011. Biliary Fasciola gigantica case report from Turkey. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 42(3): 509-512. Herianti I, Pawarti MDM. 2009. Penampilan reproduksi kerbau pada kondisi peternakan rakyat di Pringsurat, Kabupaten Temanggung. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009. Temanggung: BPTP Jawa Tengah. [Kementan-BPS]. Kementerian Pertanian-Badan Pusat Statistik. 2011. Hasil Rilis Akhir Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011. [internet] [diacu 2012Desember 4]. Tersedia pada: http://ditjennak.deptan.go.id. Khan MK, MS Sajid, MN Khan, Z Iqbal and MU Iqbal. 2008. Bovine fasciolosis: Prevalence, effects of treatment on productivity and cost benefit analysis in five districts of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci 87: 70–75. doi: 10.1016/j.rvsc.2008.12.013 Krejci KG, Fried B.1994. Light and scanning electron microscopic observations of the eggs, rediae, cercariae, and encysted metacercariae of Echinostoma trivolvis and E. caproni. Parasitol. Res. 80: 42–47. Kremer M, Chaker E. 1983. Operculated eggs of plathelminths: description of a typical forms and attempt of explanation. Ann.Parasitol. Hum. Comp. 58: 337– 345. Lapage G. 1962. Veterinary Helminthology and Entomology. 5th Ed. London: Balliere, Tindal ancox, Inc. Lendhanie UU. 2005. Karakteristik reproduksi kerbau lumpur dalam kondisi lingkungan peternakan rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1.Januari:43-48. Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology. USA: Burgess Publishing Company. Lloyd J, Joe B, Stephen L. 2007. Stomach fluke (paramphistomes) in ruminants. Primefact 452: 1-4. Miller D, T Gipson. 2003. Results of a Dewormer Resistance Survey in Oklahoma Goat Herds. Proc. 18th Ann. Goat Field Day. Langston University: Langston, OK. Hlm 34-41. Mukhlis A. 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp) dan Daur Hidupnya di Indonesia. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Murtidjo BA. 1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta: Kanisius. Palmer D, Lyon J. 2011. Detection of Trematode Eggs and Eimeria Leuck – Sedimentation Methode – Faecal Sample. PAM-26: 1-10. Peebles K. 2008. Understanding The Life Cycle of Ruminant Parasites. Moredun Research Institut: United Kingdom. Hlm 1-30.
16 Petheram RJ, C Liem, Y Priyatman dan Mathuridi. 1982. Studi kesuburan kerbau di pedesaan Kabupaten Serang, Jawa Barat. Laporan No. 1. Balitnak. Ciawi, Bogor. Purwanta, Ismaya NRP, Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J Agrisistem 2(2): 63-69. Putri DPE. 2008. Studi Kasus Fasciolosis yang Dipantau pada Pemeriksaan Daging Qurban Idul Adha 1427 H di Wilayah Jabodeta [skripsi]. Bogor: Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Reksohadiprodjo S. 1984. Produksi Tanaman Hijauan Tropik. Yogyakarta : Gadjah Mada Univ. Press. Rohaeni ES, Eko H, M. Najib. 2008. Kerbau lumpur, Alternatif Ternak Potong Mendukung Program Swasembada Daging di Kalimantan Selatan. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. Bogor. hlm 76-80. [RVC] The Royal Veterinary College. 2012. FAO Guide to Veterinary Diagnostic Parasitology. [Internet] . [diacu 2012 September 10]. Tersedia pada: http://www.rvc.ac.uk/review/Parasitology/RuminantEggs/Common.htm Sastroamidjojo SM. 1991. Ternak Potong dan Ternak Kerja. Jakarta: CV. Yasaguna. Sayuti L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing hati (Fasciola spp) pada Sapi Kabupaten Karangasem, Bali [skripsi]. Bogor: Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Scheuerle MC. 2009. Anthelminthic Resistance of Haemoncus contortus and the Famacha©-Method as a Tool to Delay the Development of Anthelminthic Resistance. [disertasi]. Munchen: Universitat Munchen. Setyono B. 2009. Upaya Peningkatan Produktivitas dalam Rangka Meningkatan Kesejahteraan Peternak [abstrak]. Di dalam: Seminar dan Lokakarya Kerbau 2009. Bogor: hlm 178-188. Sitorus AJ dan A Anggraeni. 2008. Karakterisasi Morfologi Estimasi dan Jarak Genetik Kerbau lumpur, Sungai (Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Bogor. Hal 38-54. Soulsby EJL, Monnig H Otto. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London: Baillière, Tindall & Cassell. Suhardono. 2000. Beberapa masalah kesehatan ternak kerbau yang dipelihara di lahan rawa Kalimantan Selatan. Wartazoa 10(2): 64-71. Suryana. 2007. Pengembangan integrasi ternak ruminasia pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (1): 35-40. Taylor MA, RL Coop, RL Wall . 2007. Veterinary Parasitology. UK: Blackwell Publishing. Tuasikal BJ, Suhardono. 2006. Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.). JITV 11(4): 317-323. Widjajanti S. 2004. Fasciolosis pada manusia: mungkinkah terjadi di Indonesia. Bul Ilmu Peter Indones 14(2): 65-72. Withlock JH. 1960. Diagnosis of Veterinary Parasitisms. Piladelphia: Lea & Febriger. Yurleni. 2000. Produktivitas dan peluang pengembangan ternak kerbau di provinsi Jambi [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
17 Zhang WY, Moreau E, Yang BZ, Li ZQ, Hope JC, Howard CJ, Huang WY, Chauvin A. 2006. Humoral and cellular immune responses to Fasciola gigantica experimental infection in buffaloes. Res Vet Sci 80: 299-307. doi: 10.1016/j.rvsc.2005.07.003.
18 Lampiran 1 Perhitungan Uji ANOVA UNIANOVA Skor BY Kerbau Titik /METHOD=SSTYPE(3) /INTERCEPT=EXCLUDE /CRITERIA=ALPHA(0.05) /DESIGN=Kerbau Titik.
Between-Subjects Factors Value Label Kerbau
Titik
N
1
5
2
5
3
5
4
5
1
Atas
4
2
Bawah
4
3
Tengah
4
4
Kanan
4
5
Kiri
4
Dependent Variable:Skor Source Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
978.548a
8
122.319
317.614
3
105.871
Titik
5.308
4
1.327
Error
21.467
12
1.789
Total
1000.015
20
Kerbau
a. R Squared = .979 (Adjusted R Squared = .964)
F
Sig. 68.37 6 59.18 2 .742
.000
.000 .582
19
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 3 Maret 1990. Penulis merupakan anak pertama dari ayahanda Jamhari dan ibunda Sholihah. Seusai menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Cirebon Girang, penulis melanjutkan studinya di SMPN 1 Talun. Setelah itu penulis melanjutkan sekolah menengah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Ciwaringin, Cirebon. Melalui jalur BUD Kementerian Agama, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Selama studi di FKH IPB penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi baik intra kampus maupun ekstra kampus. Penulis pernah menjabat pengurus sekaligus ketua DKM An Nahl FKH IPB dan menjadi anggota Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi ekstra kampus seperti Community of Satri Scholar of Religious Affairs (CSS MORA), Ikatan Santri Al Ihya (ISMA) Dramaga, serta OMDA Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC).