Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
KARAKTERISTIK PEMELIHARAAN KERBAU (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN BOYOLALI (Characteristic of Buffalo (Bubalus bubalis) Rearing in Boyolali District) B. UTOMO dan S. PRAWIRODIGDO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, PO Box 101, Ungaran 50501
ABSTRACT Buffaloes (Bubalus bubalis) is an important source of beef in Indonesia. In accordance to which, a survey was performed in Boyolali District of Central Java. The investigation was directed toward evaluating buffaloes rearing character in the villages for guidance of introducing reproduction to improve buffalo productivity. Primery data were collected through personal interview to the buffaloes owners (farmers), whereas, the secondary data were obtained from related government institutions. Results indicated that in Boyolali District, buffaloes still have important roles for investment, draught animal power for agricultural work, and producing organic fertilizer (compost). Statistic data of the year of 2007 indicated that buffalo population in Boyolali District was only last 1.5% of large ruminant population (147.729 heads). However, based on the fluctuation population during the five years, it could be noted that the existence of buffaloes in Boyolali is still needed. The rearing system of buffaloes is commonly conducted by the farmers, keeping them in the barn and herding. The feedstuffs used for buffaloes are: rice bran, corn stalk, groundnut leaf and stem, sweet potato leaf and stem, and native grass. Commonly, buffaloes are allowed to breed natively when they were herded or dipping in the river. The pregnancy length of the buffaloes was between 10 – 11 months, oestrus postpartum is more than 4 months, and the calving interval is 15 – 20 months. Usually, the mature animal is employed for ploughing the irrigated land from 06.00 – 11.00 am. Therefore, the owner received Rp. 40,000 payment for this activity. It is concluded that to increase buffalo productivity, introduction of reproduction technology and diet quality improvement should be performed simultaneously. Key Words: Buffalo, Population, Rearing Character ABSTRAK Ternak kerbau (Bubalus bubalis) adalah salah satu sumber daging penting di Indonesia. Sehubungan dengan itu, dilakukan survei di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah untuk mengetahui karakter pemeliharaan kerbau di pedesaan sebagai pedoman penerapan teknologi reproduksi guna meningkatkan produktivitas. Pengambilan data primer melalui wawancara langsung dengan peternak kerbau dan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Hasil survei menunjukkan bahwa di wilayah Kabupaten Boyolali, ternak kerbau masih mempunyai peranan penting sebagai tabungan, sumber tenaga kerja untuk mengolah lahan pertanian, dan sumber bahan pupuk kandang. Data statistik tahun 2007 menunjukkan bahwa populasi kerbau di Kabupaten Boyolali hanya 1,5% dari populasi ternak ruminansia besar (147.729 ekor). Walaupun demikian, memperhatikan populasinya yang mengalami pasang surut selama lima tahun kebelakang dapat ditegaskan bahwa eksistensi ternak kerbau di Boyolali masih diperlukan. Pada umumnya peternak menggunakan sistem pemeliharaan ternak kerbau dalam kandang dan digembalakan. Jenis pakan yang diberikan adalah jerami padi, tebon jagung, jerami kacang tanah, daun ubi jalar dan rumput lapang. Sistem perkawinan ternak umumnya terjadi secara alami ketika digembalakan atau dimandikan di sungai. Lama kebuntingan ternak kerbau milik peternak berkisar antara 10 – 11 bulan, birahi kembali setelah beranak lebih dari 4 bulan, dan jarak beranaknya 15 – 20 bulan. Ternak dewasa biasanya digunakan untuk mengolah lahan sawah mulai jam 06.00 – 11.00 dengan upah Rp 40.000. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau diperlukan introduksi teknologi reproduksi dan perbaikan kualitas pakan secara simultan. Kata Kunci: Kerbau, Populasi, Karakter Pemeliharaan
100
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
PENDAHULUAN Ternak kerbau (Bubalus bubalis) telah lama dikembangkan oleh masyarakat dalam skala usaha relatif kecil, untuk tujuan produksi tenaga, daging, kulit, sebagian kecil untuk produksi susu, kompos, dan sumber energi. Ternak kerbau yang ada di Indonesia sebagian besar (95%) adalah kerbau lumpur (swamp buffalo), sementara 5% jenis kerbau sungai/ Murrah yang banyak diusahakan di daerah sekitar Medan (MURTI dan CIPTADI, 1987). Populasi kerbau di Kabupaten Boyolali pada tahun 2007 hanya 1,5% (2.175 ekor) dari populasi ternak ruminansia besar (147.729 ekor) dan tersebar di 15 Kecamatan yaitu Kecamatan Mojosongo, Karanggede, Teras, Banyudono, Sambi, Sawit, Wonosegoro, Ampel, Juwangi, Simo, Klego, Ngemplak, Boyolali, Kemusu, dan Andong. Populasi ternak kerbau di Boyolali selama kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007 Hal ini menunjukkan terjadi trend penurunan populasi ternak kerbau di Kabupaten Boyolali. Secara umum penyebab terjadinya penurunan populasi kerbau karena berkembangnya lambat sebagai akibat rendahnya repproduksi dan produktivitasnya. Penyebab rendahnya produktivitas adalah sifat dari ternak yang pertumbuhannya lambat, durasi periode birahi kembali panjang, masa kebuntingannya lama (lebih panjang dari sapi) dan timbulnya gejala birahi yang sulit untuk dideteksi (PUTU et al., 1994). Di samping itu terdapat beberapa faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas ternak kerbau, yaitu terbatasnya bibit unggul, rendahnya kualitas pakan, kurangnya modal, rendahnya pengetahuan petani terhadap reproduksi ternak kerbau, dan kurangya teknologi tepat guna (SIREGAR dan DIWYANTO, 1995). Padahal ternak kerbau berperan tidak hanya berkontribusi terhadap pendapatan peternak yang memilikinya, namun juga terhadap penyediaan daging (meskipun dalam volume kecil). Konstribusi kerbau sebagai pemasok daging secara nasional pada tahun 2005 hanya 1,93% atau 40,8 ribu ton (DITJENNAK, 2005). Pada masa mendatang, ternak kerbau diharapkan juga berfungsi sebagai salah satu ternak penghasil daging yang dominan. Ditinjau dari sisi profil dagingnya, daging kerbau memiliki kadar
lemak yang rendah dibanding jenis daging lainnya (YENDRALIZA, 2009). Bahkan di beberapa daerah, daging kerbau justru lebih digemari dan sangat terkenal dibandingkan dengan daging sapi. Sehubungan dengan itu, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sistem pemeliharaan ternak kerbau di pedesaan sebagai pedoman penerapan teknologi reproduksi guna meningkatkan produktivitas ternak kerbau di Kabupaten Boyolali. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di lima desa dari kecamatan di Kabupaten Boyolali. Lokasi penelitian dipilih bersama dengan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali berdasarkan tingkat populasi ternak kerbau. Adapun lokasi yang dipilih yaitu: Desa Brajan Kecamatan Mojosongo, Desa Mojolegi Kecamatan Teras, Desa Ketaon Kecamatan Banyudono, Desa Catur Kecamatan Sambi, dan Desa Karanggede Kecamatan Karanggede. Lebih lanjut, di setiap desa dipilih 5 orang petani sebagai responden, sehingga jumlah responden keseluruhan 25 orang petani. Penelitian menggunakan metode survei dan telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2009. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikoleksi berdasarkan hasil wawancara langsung dengan petani responden, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan tabulasi secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, yang terletak antara 110 22’ – 110 50’ Bujur Timur dan 7 36’ – 7 71’ Lintang Selatan. Dengan bentang Barat - Timur 48 km dan bentang Utara – Selatan 54 km. Wilayah tersebut di bagian utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang. Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Sukoharjo. Bagian Selatan berbatasan dengan
101
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
Kabupaten Klaten dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Ketinggian tempat Kabupaten Boyolali antara 75 – 1500 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan administrasi dibagi menjadi 19 kecamatan, terdiri dari 267 desa/kelurahan dan 890 dusun (PEMKAB 2006). Luas wilayah Kabupaten Boyolali 101.510,20 ha, sebagian besar (77,39%) merupakan lahan kering yaitu seluas 78.563,54 ha dan 22.946,66 ha (22,61%) lahan sawah (Tabel 1). Pada Tabel 1 tercatat bahwa padang pengembalaan di wilayah Boyolali sangat terbatas yaitu hanya 981,98 ha (1,25%). Di sisi lain, pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan peralihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan tidak dapat dihindari lagi, sehingga menyebabkan semakin berkurangnya lahan untuk budidaya ternak. Dengan asumsi bahwa semua ternak ruminansia dipelihara dalam sistem penggembalaan, maka rasio ternak persatuan luas mencapai 1 : 4 satuan ternak (animal unit) per hektar (HALOHO dan YUFDI, 2006). Tabel 1. Pemanfaatan lahan di Kabupaten Boyolali Pemanfaatan/penggunaan Lahan kering
Luas Ha
%
78.558,74
77,39
Pekarangan/bangunan
25.028,81
31,86
Tegal/kebun
30.606,49
38,96
Padang gembala
981,98
1,25
Tambak/kolam
809,16
1,03
15.421,08
18,63
Hutan negara Lainnya
6.496,81
8,27
Lahan sawah
22.951,46
22,61
Sawah irigasi teknis
4.936,86
21,51
Irigasi setengah teknis
4.877,19
21,25
Irigasi sederhana
2.646,30
11,53
Tadah hujan
10.491,11
45,71
Sumber: PEMKAB BOYOLALI (2006)
Apabila dilihat dari sisi hidrologi, di Boyolali terdapat potensi sumber daya air yang meliputi: 1. Sumber air dangkal/mata air yaitu terdapat di Tlatar (Kecamatan Boyolali), Nepen (Kecamatan Teras), Pengging (Kecamatan
102
Banyudono), dan Pantaran (Kecamatan Ampel) 2. Waduk yaitu Kedungombo dengan luas 3.536 ha yang terdapat di wilayah Kecamatan Kemusu. Waduk Kedungdowo dengan luas 48 ha yang terdapat di wilayah Kecamatan Andong, waduk Cengklik dengan luas 240 ha yang terdapat di wilayah Kecamatan Ngemplak, dan waduk Bade dengan luas 80 ha yang terdapat di wilayah Kecamatan Klego 3. Terdapat empat sungai sebagai penyedia air baku yaitu sungai Serang, Cemoro, Pepe dan Gandul. Sumber air tersebut dapat menunjang kegiatan pengelolaan lahan sawah yang sangat membutuhkan pengairan terutama untuk menanam padi sawah dan tanaman palawija. KUSNADI et al. (2005) melaporkan bahwa kerbau merupakan komponen penting dalam usahatani, karena dapat membantu pendapatan petani dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia disekitarnya. Selama ini sumberdaya pakan yang dimanfaatkan sebagai bahan utama pakan ternak ruminansia di daerah Kabupaten Boyolali adalah limbah tanaman pangan (jerami padi, tebon jagung, jerami kacang tanah dan daun ubi jalar). Tentu saja potensi pakan hijauan tersebut berdampak terhadap pemeliharaan ternak kerbau. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa, daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia termasuk ternak kerbau cukup memadai. Perkembangan ternak kerbau Budidaya ternak kerbau di daerah Kabupaten Boyolali terutama di lahan sawah, terdapat di 15 desa dari 19 kecamatan. Populasi kerbau terbanyak terdapat di Kecamatan Karanggede dan terendah di Kecamatan Kemusu. Dari 19 kecamatan di Kabupaten Boyolali, hanya 4 kecamatan yang tidak memilikinya. Menurut DINAS PETERNAKAN dan PERIKANAN KAB. BOYOLALI (2007) populasi ternak kerbau pada tahun 2007 hanya 1,5% (2.175 ekor) dari populasi ternak ruminansia besar (147.729 ekor). Dalam kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007, populasi ternak kerbau masing-
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
masing adalah 3.237 ekor, 3.460 ekor, 3.319 ekor, 3.352 ekor, dan 2.175 ekor (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi trend penurunan populasi ternak kerbau di Kabupaten Boyolali pada tahun 2007. Secara umum penyebab terjadinya penurunan populasi ternak kerbau adalah perkembangbiakannya lambat sehingga produksi dan produktivitasnya rendah. Disamping itu adanya alat mekanisasi pertanian yang tidak dapat dihindari lagi, telah menggeser peran ternak kerbau sebagai tenaga kerja pengolah lahan pertanian. Tergesernya tenaga kerja kerbau tersebut tentunya berdampak terhadap pendapatan peternak yang hanya mengandalkan penghasilan dari jasa tenaga kerja kerbaunya untuk mengolah lahan pertanian. Lambat laun kondisi ini menyebabkan peternak beralih usaha ternak lainnya yang prospeknya lebih menguntungkan. Hasil penelitian PUTU et al. (1994) menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi rendahnya peningkatan populasi ternak kerbau adalah rendahnya penampilan reproduksinya. Hal ini karena ternak kerbau mempunyai sifat lambat dewasa kelamin, periode birahi kembali setelah beranak panjang, masa kebuntingan panjang, dan gejala birahinya sulit dideteksi. LUBIS dan SITEPU (1999) menambahkan bahwa rendahnya populasi ternak disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain masalah perkembangbiakan, pakan, kesehatan ternak, dan tatalaksana pemeliharaan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut diperlukan usaha peningkatan produksi dan mutu genetik ternak melalui berbagai upaya penerapan teknologi.
DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi ternak kerbau kurang menggembirakan diantaranya disebabkan oleh perhatian peternak yang kurang baik dalam manajemen pemeliharaannya. Sebelumnya TARMUDJI (2003) menegaskan bahwa beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan ruminansia besar di Indonesia adalah: reproduktivitas dan produktivitas rendah, adanya penyakit reproduksi, skala usaha kecil dan lokasinya terpencar-pencar, kualitas dan kuantitas pakan terbatas, ketrampilan peternak rendah, dan budidayanya masih tradisional. Oleh karena pemotongan ternak berlangsung terus, maka sebagai akibatnya populasi ternak turun. Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau perlu dilakukan berbagai upaya yang di antaranya adalah melalui perbaikan manajemen pemeliharaan dengan pembinaan dan penyuluhan secara intensif terhadap peternak. Selama ini di daerah Kabupaten Boyolali jarang dilakukan pembinaan dan penyuluhan tentang peternakan kerbau bagi anggota kelompok tani, terutama peternak yang membudidayakan ternak kerbau. Menurut ISBANDI dan PRIYANTO (2004), dalam upaya meningkatkan produktivitas usaha ternak diperlukan ketersediaan sarana pendukung, antara lain teknologi siap pakai dengan tingkat kelayakan yang cukup memadai untuk mendukung proses produksi berdasarkan sumberdaya ternak yang ada, serta peningkatan ketrampilan bagi peternak.
Tabel 2. Populasi ternak di Kabupaten Boyolali (ekor) Jenis ternak
Tahun 2003
2004
2005
2006
2007
Sapi perah
59.193
57.948
58.792
59.380
59.687
Sapi potong
88.322
88.715
88.527
89.412
85.867
3.237
3.460
3.319
3.352
2.175
Kerbau Kuda
686
673
600
586
597
Babi
5.518
5.572
5.602
5.658
5.830
117.972
105.736
111.231
112.343
86.038
52.924
52.706
50.648
51.154
47.512
Kambing Domba
Sumber: DINAS PETERNAKAN dan PERIKANAN KAB. BOYOLALI (2007)
103
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
Sistem pemeliharaan ternak kerbau Pada umumnya peternak responden memelihara 2 – 4 ekor ternak kerbau, dan sebagian besar ternak yang dipelihara merupakan milik sendiri (84%) dan sebagian kecil (16%) ternak gadhuhan. Kepemilikan tersebut tidak jauh berbeda dengan kepemilikan ternak kerbau oleh peternak di Desa Dampit (4,2 ekor/KK) dan Mekarjaya (4,3 ekor/KK) di Kecamatan Ciomas Kabupaten Sukabumi (RUSDIANA dan HERAWATI, 2009). Sistem pemeliharaan ternak kerbau yang dilakukan oleh peternak responden masih sederhana, yakni umumnya dikandangkan dan digembala. Penggembalaan dilakukan pada saat lahan sawah tidak ditanami padi (bero) dan di lapangan penggembalaan. Meskipun demikian tempat penggembalaan ini sangat terbatas. Pada sore hari sebelum ternak kerbau dikandangkan, biasanya dimandikan disungai terlebih dahulu. Kandang kerbau masih menyatu dengan rumah petani. Lantai kandang kerbau semuanya berupa tanah dan tempat pakan serta tempat minumnya tidak permanen (Gambar 1). Kondisi ini menambah bukti laporan ZULBARDI dan KUSUMANINGRUM (2005) bahwa lantai kandang untuk ternak kerbau umumnya berupa tanah yang sering berlumpur dan dindingnya berupa pembatas kayu atau bambu. Menurut BAMUALIM et al. (2009), kandang merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan produktivitas ternak. Namun demikian dijelaskan bahwa belum ada penelitian tentang ketentuan arah, bentuk, ukuran (tinggi dan luas), tempat pakan/air minum yang sesuai dengan tinggi dan besar ternak serta pengaruhnya terhadap produktivitas ternak. Usaha pengadaan kandang kelompok merupakan kemajuan yang penting, namun kandang yang dibangun belum sesuai dengan persyaratan kandang yang baik terutama lantai dan dinding kandang. Peternak responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa tujuan pemeliharaan ternak kerbau yang dilakukan adalah sebagai tabungan, tenaga kerja (Gambar 2), dan penghasil pupuk kandang. Hasil studi ini mirip dengan yang dilaporkan MULYADI et al. (1981) bahwa ternak kerbau dimiliki petani terutama sebagai sumber tenaga, baik sebagai tenaga pengolah lahan pertanian maupun pengangkut hasil, di samping sebagai sumber pupuk, daging, dan tabungan. Di Sumedang kerbau dipergunakan tenaganya untuk membajak dan menggaru sawah, karena tapak kakinya lebar, jalannya lambat, dan tenaganya lebih besar daripada tenaga sapi atau kuda. Selain itu, kebiasan melumpur menjadikan ternak kerbau sebagai sumber tenaga ideal untuk mengolah lahan sawah (MULYADI et al., 1981) namun ditemukan bahwa fungsi ternak kerbau sebagai tenaga kerja pengolah lahan pertanian sudah semakin berkurang, karena tergeser oleh alat mekanisasi pertanian (traktor). Ternak kerbau yang dipekerjakan
Gambar 1. Kondisi ternak kerbau di kandang
Gambar 1. Kondisi ternak kerbau di kandang
104
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
Gambar 2. Penggunaan ternak kerbau untuk mengolah lahan sawah di daerah Kabupaten Boyolali
untuk mengolah lahan pertanian mulai bekerja pukul 06.00 sampai 11.00 WIB dengan upah Rp. 40.000/hari. Responden dalam penelitian ini menjelaskan bahwa untuk mengolah lahan sawah dengan luasan kurang lebih 3.000 m2 menggunakan tenaga ternak kerbau sampai siap tanam padi perlu waktu 5 hari (3 kali membajak dan 2 kali menggaru). Gambar 2 memberikan ilustrasi tentang pengolahan lahan sawah menggunakan sepasang ternak kerbau. Selanjutnya diinformasikan bahwa, apabila pengolahan lahan tersebut menggunakan traktor, maka akan dapat diselesaikan dalam waktu satu hari dengan biaya yang dibebankan adalah Rp. 200.000. Apabila kita bandingkan antara penggunaan tenaga kerja kerbau dan traktor dalam mengolah lahan sawah, maka biaya yang dikeluarkan sama tetapi waktu yang diperlukan jauh berbeda. Pada musim tanam padi, umumnya petani mengolah lahannya hampir bersamaan dan harus tepat waktu karena untuk mengejar musim tanam berikutnya. Oleh sebab itu, petani pemilik lahan lebih memilih menggunakan traktor bdari pada tenaga kerja ternak kerbau. Pakan Pakan ternak kerbau pada umumnya tidak jauh berbeda dengan pakan sapi. Peternak
responden memberikan pakan hijauan untuk ternak kerbaunya berupa jerami padi (Gambar 3), tebon jagung, jerami kacang tanah, daun ubi kayu, rumput lapang atau daun ubi jalar. Biasanya, pakan diberikan dua kali per hari yaitu pada pagi dan malam hari. Pada umumnya pemberian pakan tambahan pada ternak kerbau jarang sekali dilakukan, sehingga kebutuhan gizi bagi ternak ini belum terpenuhi. Pada musim panen limbah pertanian melimpah, pemberian pakan hijauan berlebihan, tetapi sebaliknya pada musim kemarau mengalami kekurangan pakan. Faktor utama dalam meningkatkan produktivitas ternak kerbau adalah terjaminnya ketersediaan hijauan pakan yang berkualitas baik, oleh karena itu pakan merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan produktivitas ternak, di samping potensi genetik dan lingkungan. SIREGAR et al. (1998) menyatakan bahwa pemberian sebanyak 4 kg pakan konsentrat/ekor/hari mampu menghasilkan pertambahan bobot badan yang sangat bermakna untuk kerbau betina dan jantan. Hasil penelitian ZULBARDI et al. (1998) juga menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan molases blok dapat memperbaiki penampilan produksi ternak kerbau yang ditandai dengan pertambahan bobot badan.
105
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
Gambar 3. Timbunan jerami padi untuk cadangan pakan ternak kerbau
Pemilihan pakan hijauan dan konsentrat dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan, yaitu mudah dan murah untuk mendapatkannya tentunya dengan syarat sesuai kebutuhan dasar ternak yang dipelihara (MAYUNAR, 2006). Hasil limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, ubi kayu, dan limbah industri pangan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sehingga secara tidak langsung kebutuhan pakan hijauan dan konsentrat bagi ternak dapat terpenuhi (HALOHO dan YUFDI, 2006). Meskipun demikian, di dalam penggunaannya bahan-bahan pakan tersebut perlu dikombinasi/ diformulasi untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak kerbau. Fenomena ini tentunya dapat dikembangkan dalam sistem pertanian terpadu, karena hasil samping budidaya tanaman pangan dan peternakan merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan secara simbiose mutualistis sehingga saling mendukung, menguntungkan, dan memberi manfaat yang besar bagi keduanya. Di lain pihak, INDRANINGSIH et al. (2006) memberikan higlight bahwa, meskipun penggunaan hasil limbah pertanian sebagai pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun prospek timbulnya residu kimiawi di dalam produk ternak sebagai akibat mengkonsumsi toksin yang terdapat di dalam limbah tersebut perlu mendapat perhatian serius.
106
Reproduksi Ditinjau dari aspek reproduksi dapat diinformasikan bahwa pola pemeliharaan kerbau yang dilakukan peternak responden adalah perbibitan dan pembesaran. Ternak kerbau betina kawin pertama kali rata-rata berumur lebih dari 2 tahun dan perkawinan terjadi pada waktu digembalakan (kawin alam). Pada umumnya, pejantan yang digunakan untuk mengawinkan relatif masih muda dan sering terjadi perkawinan sedarah, sehingga kemungkinan terjadi inbreeding cukup tinggi. Hal ini terpaksa dilakukan oleh peternak, karena ternak pejantan unggul tidak tersedia. Selain itu, petugas inseminator juga tidak mempunyai semen beku kerbau. Terkait dengan masalah tersebut, peternak mengharap agar dapat memperoleh pelayanan Inseminasi Buatan (IB) untuk ternak kerbau yang dipeliharanya seperti pelayanan untuk ternak sapi potong maupun sapi perah. Hasil wawancara terhadap peternak responden mengindikasikan bahwa lama bunting ternak kerbau di daerah Kabupaten Boyolali berkisar antara 10 – 11 bulan, birahi kembali setelah beranak (service period) lebih dari 4 bulan, serta jarak beranak (calving interval) 15 – 20 bulan. Kecuali data periode birahi kembali (2 – 3 bulan post partum), lama
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
kebuntingan dan interval beranak ternak kerbau di daerah Kabupaten Boyolali mirip dengan hasil penelitian di Tana Toraja Sulawesi Selatan yang dilaporkan PASAMBE et al. (2006). PASAMBE et al. (2006) menemukan dalam penelitiannya, lama kebuntingan ternak kerbau juga antara 10 – 11 bulan, tetapi interval kelahirannya 12 – 24 bulan. Melihat kenyataan tersebut, dapat ditegaskan bahwa kondisi reproduksi ternak kerbau lebih rendah dibandingkan dengan ternak sapi (LUBIS dan SITEPU, 1999). Menurut SIREGAR dan DIWYANTO (1995), bahwa faktor penyebab rendahnya tingkat produksi dan produktivitas ternak kerbau adalah terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan rendah, kekurangan modal, pengetahuan petani terhadap reproduksi ternak kerbau rendah, dan kurangnya ketersediaan teknologi tepat guna. Oleh karena itu, aplikasi inovasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau di daerah Kabupaten Boyolali perlu dilakukan secara simultan dengan perbaikan kualitas pakannya. KESIMPULAN Pemeliharaan ternak kerbau dilakukan masih secara sambilan dan sederhana, sehingga diperlukan pembinaan dan penyuluhan yang lebih intensif, terutama introduksi teknologi sistem budidaya ternak kerbau secara optimal. Di samping itu agar produktivitas ternak kerbau di daerah Kabupaten Boyolali dapat meningkat, maka aplikasi inovasi teknologi reproduksi perlu dilaksanakan secara simultan dengan perbaikan kualitas pakannya. DAFTAR PUSTAKA BAMUALIM, A., ZULBARDI M. dan C. TALIB. 2009. Peran dan ketersediaan teknologi pengembangan kerbau di Indonesia. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Peningkatan Peran Kerbau dalam Mendukung Kebutuhan Daging Nasional. Tana Toraja 24 – 26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Tana Toraja. hlm. 1 – 10.
DINAS PETERNAKAN dan PERIKANAN KAB. BOYOLALI. 2007. Statistik Peternakan dan Perikanan. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali. DITJENNAK. 2005. Buku Statistik Peternakan Tahun 2005. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek penjaringan dan distribusi. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. hlm. 3 – 12. HALOHO, L. dan P. YUFDI. 2006. Kondisi ternak kerbau di Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. hlm. 175 – 162 INDRANINGSIH, R., WIDIASTUTI dan Y. SANI. 2006. Upaya pengembangan peternakan kerbau dalam menunjang kecukupan daging. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. hlm. 110 – 124 ISBANDI dan D. PRIYANTO. 2004. Sumbangan subsektor usahaternak domba dalam mendukung ekonomi rumah tangga di Desa Pasiripis dan Tegalsari, Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 314 – 322. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.S.G. SIANTURI dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Provinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 316 – 322
107
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
LUBIS, A.M. dan P. SITEPU. 1999. Performans reproduksi sapi Bali dan potensinya sebagai breeding stock di Kecamatan Lampung Utara. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 1 – 2 Desember 1998. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
SIREGAR, A.R. dan KUSUMA DIWYANTO. 1995. Ternak Kerbau Sumberdaya Ternak Lokal sebagai Penghasil Daging (Review). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor, 7 – 8 November 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 571 – 584
MAYUNAR. 2006. Status dan prospek pengembangan ternak kerbau di Provinsi Banten. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa.
SIREGAR, A.R., P. SITUMORANG, ZULBARDI, M., L. P. BATUBARA, A. WILSON, E. BASUNO, S.E. SINULINGGA dan C.H. SIRAIT. 1998. Peningkatan produktivitas kerbau dwiguna (daging dan susu). Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 November 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor.
MULYADI, A., SANTOSO dan K. SURADISASTRA. 1981. Peranan Tenaga Kerja Ternak Kerbau Pada Usahatani Sawah di Sumedang. Bull. Lembaga Penelitian Peternakan. No 27. MURTI, T.W. dan G. CIPTADI. 1987. Kerbau Perah dan Kerbau Kerja. Penerbit Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. PASAMBE, D., M. SARIUBANG, SAHARDI dan S. N. TAMBING. 2006. Tampilan reproduksi dan produksi kerbau lumpur di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. PEMKAB BOYOLALI. 2006. Kabupaten Boyolali Dalam Angka. Pemerintah Kabupaten Boyolali. PUTU, I.G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHANIAGO, SANTOSO, TARMUDJI, A.A. SUPRIYADI dan P. OKTAPIANA. 1994. Peningkatan Produksi dan Reproduksi Kerbau Kalang pada Agroekosistem Rawa di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Bogor bekerjasama dengan P4N. RUSDIANA, S. dan T. HERAWATI. 2009. Pemeliharaan ternak kerbau dalam sistem usahatani terhadap pendapatan keluarga di Kecamatan Ciemas Kabupaten Sukabumi. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Tana Toraja. hlm. 84 – 90.
108
TARMUDJI. 2003. Beberapa Penyakit Penting pada kerbau di Indonesia. Wartazoa 13(4): 160 – 171. YENDRALIZA. 2009. Potensi dan prospek pengembNGn ternak kerbau dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal di Kabupaten, Kampar. Pros. Semnas Peternakan Berkelanjutan ”Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan Sumber daya Lokal untuk mendukung pangan asal Ternak”. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ZULBARDI, M., K. DIWYANTO, A.R. SIREGAR, E. BASUNO, A. THALIB dan N. SUPRIYATNA. 1998. Pemberian molases blok untuk perbaikan penampilan produksi ternak kerbau di Desa Bulu Agung Kecamatan Pesanggrahan Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 November 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor.hlm. 585 – 594 ZULBARDI, M. dan D. A. KUSUMANINGRUM. 2005. Penampilan produksi ternak kerbau lumpur (Bubalus bubalis) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
6