IDENTIFIKASI VARIASI GENETIK KERBAU (Bubalus bubalis) LOKAL LUMAJANG BERBASIS PENANDA MIKROSATELIT Identification Genetic Diversity of Local Buffalo (Bubalus bubalis) Lumajang Based On Microsatellite Marker Roisatul Ainiyah1, Moh. Amin2, Umie Lestari 1 Universitas Yudharta Pasuruan 2 Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] ABSTRAK Kerbau (Bubalus bubalis) telah mengalami penurunan jumlah populasi di tingkat nasional. Sebagai salah satu sumber daya alam Indonesia, kerbau harus dijaga kelestariannya, terlebih kelestarian plasma nutfahnya. Salah satu daerah di Indonesia yang potensial untuk perkembangan kerbau adalah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Tetapi, adanya seleksi negatif dan inbreeding dapat mempengaruhi kualitas kerbau lokal. Oleh karena itu, upaya pelestarian kerbau perlu dilakukan, salah satunya dengan identifikasi genetik untuk mengetahui keragaman genetik pada kerbau lokal Lumajang. Proses identifikasi variasi genetik dapat dilakukan menggunakan penanda genetik mikrosatelit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan variasi fenotip dan genetik kerbau lokal Lumajang berbasis penanda mikrosatelit serta untuk mengetahui lokus yang paling informatif dalam menggambarkan variasi genetik kerbau. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu pengamatan fenotip kerbau (bentuk tubuh, panjang kepala, panjang leher, warna kulit tubuh, warna mata, panjang ekor, bentuk tanduk, lingkar badan, arah tanduk, tinggi badan, dan panjang tubuh total) dan identifikasi variasi genetik. Hasil penelitian menunjukkan terdapat variasi fenotip dan genotip pada kerbau lokal Lumajang. Perbedaan fenotip kerbau populasi 1 dan populasi 2 terdapat pada warna tubuh dan ukuran tubuh. Variasi genotip dilihat dari frekuensi alel, keragaman genetik populasi 2 lebih tinggi (4 alel) dibanding populasi 1 (3 alel) pada lokus INRA-23, sedangkan pada lokus INRA32 kergaman genetik populasi 1 lebih tinggi (3 alel) dari pada populasi 2 (2 alel). Dilihat dari tingkat heterozigositas, kerbau populasi 2 lebih heterozigot (62,5%) dibandingkan dengan kerbau populasi 1 (50%). Tingkat polimorfisme lokus INRA-23 (0,53%) lebih tinggi dibandingkan dengan INRA-32 (0,47%). Dari sini dapat dikatakan bahwa lokus INRA-23 lebih informatif dibanding lokus INRA32. Kata kunci: Variasi Genetik, Mikrosatelit, Panduan Kerja Laboratorium. ABSTRACT Buffalo (Bubalus bubalis) has decreased the number of population at the national level. As one of Indonesia's natural resources, buffalo must be preserved, especially the preservation of germplasm. One of the areas in Indonesia is a potential for the development of buffalo is Lumajang, East Java. However, the negative selection and inbreeding may affect the quality of local buffalo. Therefore, buffalo conservation efforts need to be done, one of them with the
30
genetic identification to determine the genetic diversity in local buffalo Lumajang. The process of identification of genetic variation can be carried out using microsatellite genetic markers. The purpose of this study was to describe the phenotype and genetic variation Lumajang local buffalo-based microsatellite markers and to determine the locus of the most informative in describing the genetic variation buffalo. This study consisted of two phases, namely the observation of the phenotype buffalo (body shape, head length, neck length, color of skin, eye color, tail length, shape of the horn, the circumference of the body, directions horn, height, and total body length) and identification genetic variation. The results showed a phenotype and genotype variation in local buffalo Lumajang.
dekade sebelumnya, hal ini diduga
PENDAHULUAN Kerbau (Bubalus bubalis) pada beberapa
daerah
karena
adanya
seleksi
negatif.
mengalami
Mirhabibi, dkk (2007) menyatakan
penurunan jumlah populasi, tetapi
bahwa dampak negative inbreeding
pada beberapa daerah lain kerbau
adalah
mengalami
individu
peningkatan
jumlah
mengurangi
profitabilitas
hewan, umur produktif
populasi. Sebagai salah satu sumber
menurun, seluruh sifat dari individu
daya alam Indonesia, kerbau harus
tersebut mengalami penurunan, dan
dijaga agar jumlah populasinya tidak
jarak kelahiran semakin panjang.
semakin
menurun
dan
dijaga
Beberapa
uraian
diatas
kelestariannya, terlebih kelestarian
menunjukkan perlu adanya upaya
plasma nutfahnya. Salah satu daerah
pelestarian
di Indonesia yang potensial untuk
dilakukan dengan identifikasi variasi
perkembangan
adalah
genetik untuk mengetahui keragaman
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
variasi genetik pada kerbau lokal
Tetapi adanya seleksi negatif dan
Lumajang. Identifikai variasi genetik
inbreeading
sangat
kerbau
dikhawatirkan
dapat
kerbau
diperlukan
yang
sebagai
dasar
mempengaruhi kualitas kerbau dan
pertimbangan
plasma nutfah kerbau yang ada.
strategi
Juwita
(2008)
pengelolaan,
melaporkan ukuran tubuh kerbau
sumberdaya
murrah hasil penelitian lebih kecil
berkelanjutan. Penanda genetik yang
dibandingkan ukuran tubuh yang
dapat digunakan adalah mikrosatelit.
dan
Anggraeni
dilaporkan dari pengamatan pada tiga 31
dalam
dapat
menyusun
konservasi, dan
pemuliaan, pemanfaatan
genetik
secara
Mikrosateli
adalah
sekuen
kepala, panjang leher, warna kulit
DNA yang berulang, dimana satu
tubuh, warna mata, panjang ekor,
motif mengandung 1-6 pasangan
bentuk tanduk, lingkar badan, arah
basa yang diulang secara tandem.
tanduk, tinggi badan, dan panjang
Penanda
molekuler
mikrosatelit
tubuh
memiliki
keunggulan
dari
sampel darah kerbau, dan tahap II
pada
total),
serta
pengambilan
penanda morfologi, yaitu lebih stabil
dilakukan
dengan
dan dapat dideteksi pada semua
molekuler
yang
jaringan
laboratorium untuk analisis DNA,
organisme,
dipengaruhi
serta
oleh
tidak
lingkungan
meliputi
kegiatan
pendekatan dilakukan
isolasi
di
DNA,
(Zulfahmi, 2013). Kelebihan lain
elektroforesis agarosa, PCR, dan
yang
elektroforesis
dimiliki
molekuler
oleh
mikrosatelit
penanda adalah
poliakrilamid
menggunakan dua macam primer,
merupakan penanda genetik yang
yaitu INRA-23, dan INRA-32.
digunakan untuk pemetaan genom, pemotongan gen dari sifat-sifat yang
HASIL PENELITIAN
komplek, penyelidikan keragaman
Hasil penelitian tahap I berupa
genetik karena sifat polimorfismenya
data ciri-ciri fenotip kerbau lokal
yang sangat tinggi, memiliki cara
Lumajang dan tahap II berupa data
kodominan dalam pewarisan sifat,
variasi
dan mudah untuk dicetak (Navani,
Lumajang.
2001).
penelitian yang didapatkan.
genetik Berikut
kerbau data
lokal hasil
1. Variasi Fenotip Hasil pengamatan fenotip yang
METODE Penelitian ini terdiri dari dua
dimiliki kerbau daerah Lumajang
tahap, yaitu tahap I dilakukan dengan
disajikan pada Tabel 4.1 dan Tabel
pendekatan
4.2, sedangkan hasil pengukurannya
morfologi
untuk
mengambil data berupa pengamatan dan
pengukuran
fenotip
disajikan pada Tabel 4.3 dan 4.4.
kerbau
(meliputi bentuk tubuh, panjang
32
Tabel 4.1 Data Hasil Pengamatan Ciri-Ciri Fenotip Populasi 1 (Kerbau di Dusun Sumber Wuluh, Desa Tambahrejo, Candipuro, Lumajang) Kode
Bentuk
Sampel
Tubuh
1
Individu 1
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
2
Individu 2
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
3
Individu 3
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
4
Individu 4
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
5
Individu 5
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
6
Individu 6
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
7
Individu 7
Gempal
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
8
Individu 8
Gemuk
Keabu-abuan
Hitam
Melengkung
Belakang
No
Warna Tubuh
Warna
Bentuk
Arah
Mata
Tanduk
Tanduk
Ada satu dari delapan kerbau,
gemuk. Untuk asepek warna tubuh,
yaitu kerbau dengan kode sampel
warna mata, bentuk tanduk, dan arah
individu 7 yang memiliki bentuk
tanduk
tubuh
memiliki penampakan fenotip yang
gempal,
berbeda
dengan
bentuk tubuh kerbau yang lain yaitu
seluruh
kerbau
sampel
sama.
Tabel 4.2 Data Hasil Pengamatan Ciri-Ciri Fenotip Populasi 2 (di Dusun Kemamang, Desa Tambahrejo, Candipuro, Lumajang) 1
Individu 1
Bentuk Tubuh Gempal
2
Individu 2
Gempal
3 4 5 6 7 8
Individu 3 Individu 4 Individu 5 Individu 6 Individu 7 Individu 8
Gemuk Gemuk Gempal Gemuk Gemuk Gemuk
No
Kode
Warna Tubuh Abu-abu kehitaman Abu-abu kehitaman Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu
Ada lima dari delapan individu
Warna Mata Hitam
Bentuk Tanduk Melengkung
Arah Tanduk Belakang
Hitam
Melengkung
Belakang
Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam
Melengkung Melengkung Melengkung Melengkung Melengkung Melengkung
Belakang Belakang Belakang Belakang Belakang Belakang
individu 1, 2, dan 5 yang memiliki
dalam populasi 2 memiliki fenotip
bentuk
yang sama, yaitu pada aspek warna
dengan bentuk tubuh kerbau lain
mata
yaitu gemuk. Selain itu fenotip yang
hitam,
bentuk
tanduk
tubuh
berbeda
melengkung, dan arah tanduk ke
berbeda
belakang. Perbedaan terdapat pada
individu 1 dan 2 yang memiliki
33
juga
gempal,
ditunjukkan
oleh
warna tubuh abu-abu kehitaman,
memiliki warna tubuh abu-abu.
berbeda dengan kerbau lain yang Tabel 4.3 Data Hasil Pengukuran Fenotip Populasi 1 (di Dusun Sumber Wuluh, Desa Tambahrejo, Candipuro, Lumajang) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kode Sampel
Individu 1 Individu 2 Individu 3 Individu 4 Individu 5 Individu 6 Individu 7 Individu 8
Lingkar Dada (cm) 161 171 158 151 160 138 184 199
Tinggi Badan (cm) 119 125 117 113 120 107 128,5 132
Panjang Tubuh Total (cm) 112 125 97 94 100 92 117 130
Data pengukuran kerbau (Tabel
Ukuran Kepala (cm) 41 44 40 39 40 37 48 48
Panjang Leher (cm) 50 55 47 43 39 40 53 55
Panjang Ekor (cm) 67 66 60 60 53 53 59 70
panjang tubuh total berkisar antara
4.3) menunjukkan adanya selisih
92-130,
ukuran
kepala
berkisar
hasil pengukuran. Hasil pengukuran
antara37-48, panjang leher berkisar
lingkar dada berkisar antara 138-199,
antara 39-55, dan panjang ekor
tinggi badan berkisar antara 107-132,
berkisar antara 53-70.
Tabel 4.4 Data Hasil Pengamatan Ciri-Ciri Fenotip Populasi 2 (di Dusun Kemamang, Desa Tambahrejo, Candipuro, Lumajang) 1
Individu 1
Bentuk Tubuh Gempal
2
Individu 2
Gempal
3 4 5 6 7 8
Individu 3 Individu 4 Individu 5 Individu 6 Individu 7 Individu 8
Gemuk Gemuk Gempal Gemuk Gemuk Gemuk
No
Kode
Warna Tubuh Abu-abu kehitaman Abu-abu kehitaman Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu
Warna Mata Hitam
Bentuk Tanduk Melengkung
Arah Tanduk Belakang
Hitam
Melengkung
Belakang
Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam
Melengkung Melengkung Melengkung Melengkung Melengkung Melengkung
Belakang Belakang Belakang Belakang Belakang Belakang
Data pengukuran kerbau (Tabel
107-127, ukuran kepala berkisar
4.4) menunjukkan adanya selisih
antara 40-49, panjang leher berkisar
hasil pengukuran. Hasil pengukuran
antara 45-50, dan panjang ekor
lingkar dada berkisar antara 165-193,
berkisar antara 56-70.
tinggi badan berkisar antara 118-132, panjang tubuh total berkisar antara
34
kedua primer tersebut merupakan
2. Variasi Genotip Identifikasi dilakukan
variasai
dengan
genetik
primer penanda mikrosatelit. Data
DNA
variasi genotip berupa frekuensi alel
analisis
menggunakan penanda mikrosatelit.
dianalisis
menggunakan
program
Tahap-tahap analisis DNA meliputi
genepop,
sedangkan
data
isolasi
gel
heterozigositas dan polymorphisme
agarosa dan pengukuran DNA hasil
information content (PIC) deianalisis
isolasi menggunakan nano drop,
dengan perhitungan rumus. Berikut
PCR (polymerase chain reaction),
ini hasil analisis data variasi genotip
dan
berupa frekuensi alel disajjikan pada
DNA,
elektroforesis
yang
terakhir
adalah
elektroforesis gel poliakrilamid. Pada
Tabel
tahap PCR, primer yang digunakan
heterozigositas dan PIC disajikan
adalah
Tabel 4.6, dan Tabel 4.7.
INRA-23
dan
INRA-32,
4.5,
sedangkan
nilai
Tabel 4.5 Frekuensi Alel Pada Kerbau Populasi 1 dan Populasi 2 Lokus INRA-23
Alel (base pair) 50 60 70 80 50 90 100 120
INRA-32
Nilai populasi
frekuensi 1
Populasi 1 0,13 0,13 0,75 0,00 0,00 0,44 0,25 0,31
Populasi 2 0,13 0,31 0,44 0,13 0,81 0,19 0,00 0,00
alel
pada
pada kisaran 0,00 sampai 0,44,
menggunakan
lokus
sedangkan pada populasi 2 adalah
INRA-23 ada pada kisaran 0,00
0,00-0,81. Hal
sampai
bahwa rentangan frekuensi alel pada
0,75,
sedangkan
pada
populasi 2 adalah 0,13-0,44. Hal ini
kerbau
menunjukkan
apabila
bahwa
rentangan
populasi
ini
2
menunjukkan
lebih
dibandingkan
tinggi dengan
frekuensi alel pada populasi kerbau
frekuensi alel pada kerbau populasi
populasi 1
1.
lebih tinggi apabila
Keragaman genetik populasi 2
dibandingkan dengan frekuensi alel
lebih
pada
populasi 1 (3 alel) pada lokus INRA-
kerbau
frekuensi
alel
populasi pada
2.
Nilai
populasi
tinggi
(4
alel)
dibanding
1
23, sedangkan pada lokus INRA-32
menggunakan lokus INRA-32 ada
kergaman genetik populasi 1 lebih
35
tinggi (3 alel) dari pada populasi 2 (2
Perbedaan terjadi karena adanya
alel). Adanya frekuensi alel yang
perubahan,
berbeda menunjukkan ada perbedaan
disebabkan banyak faktor, misalnya
struktur genetik pada alel tersebut.
penyimpangan genetik atau mutasi.
berubahan
dapat
Tabel 4.6 Nilai Heterozigositas Pada Kerbau Populasi 1 dan Populasi 2 Populasi 1 Obs. Het1 Expc. Het2 50% 46% 50% 74% 50% 60%
Lokus
INRA-23 INRA-32 Rerata Keterangan: 1 Observed Heterozygosity (Heterozigositas yang Teramati) 2 Expected Heterozygosity (Heterozigositas yang Diharapkan)
Populasi 2 Obs. Het Expc. Het 87,5% 77% 37,5% 35% 62,5% 56%
Data diatas menunjukkan nilai
populasi 1 lebih tinggi dibanding
rata-rata heterosigositas pada kerbau
nilai heterozigositas yang teramati,
populasi 1 dari ke dua lokus sebesar
artinya tingkat heterozigositas kerbau
50%,
populasi
sedangkan
nilai
rata-rata
1
ini
rendah.
Nilai
heterosigositas kerbau populasi 2
heterozigositas nilai heterozigositas
dari ke dua lokus sebesar 62,5%,
yang teramati pada populasi 2 lebih
artinya tingkat heterosigositas kerbau
tinggi dibanding nilai heterozigositas
populasi 2 lebih tinggi dibanding
yang diharapkan, artinya tingkat
dengan
tingkat
heterozigositas pada kerbau populasi
kerbau
populasi
heterosigositas 1.
Nilai
2tinggi.
heterozigositas yang diharapkan pada Tabel 4.7 Nilai PIC Pada Kerbau Populasi 1 dan Populasi 2 Lokus INRA-23 INRA-32
Data
Populasi 1 0,40 0,57 0,49
diatas
Populasi 2 0,65 0,36 0,51
Rerata 0,53 0,47
menunjukkan
Tetapi selisih nilai polimorfisme
tingkat polimorfisme lokus INRA-23
kedua lokus tersebut tidak terlalu
(0,53%) lebih tinggi dibandingkan
tinggi,
dengan INRA-32 (0,47%), artinya
merupakan
lokus
informatif untuk digunakan. Nilai
INRA-23
lebih
informatif
sehingga lokus
yang
cukup
dalam memberikan informasi variasi
polimorfisme
genetik dibanding lokus INRA-32.
(0,49%) lebih rendah dari pada 36
pada
keduanya
populasi
1
populasi 2 (0,51%), artinya tingkat
Juwita dan Anggraeni (2008),
polimorfisme populasi 2 lebih tinggi
mengungkapkan bahwa kerbau rawa
daripada populasi 1.
didomi-nasi oleh kulit bewarna abuabu
dilengkapi
kharakter
khas
semuanya mempunyai chevron dan
PEMBAHASAN Persamaan yang ada pada ciri
stocking. Pada kegiatan pengamatan
fenotip kerbau dapat menunjukkan
chevron dan stocking tidak dijadikan
hubungan
namun
sebagai aspek pengamatan, tetapi
demikian perbedaan yang ada belum
tampak dari foto dokumentasi bahwa
tentu
hubungan
hampir
Hal
ini
Lumajang yang digunakan sebagai
dikarenakan adanya variasi individu
sampel penelitian memiliki chevron
dalam suatu populasi memang lazim
dan stocking. Ada perbedaan yang
terjadi. Hardjosubroto dalam Dudi
mencolok antara kerbau populasi 1
(2007), menyatakan bahwa adanya
dan kerbau populasi 2, yaitu warna
variasi diantara kerbau rawa di
tubuh kerbau populasi 1 didominasi
Indonesia,
akibat
oleh keabu-abuan, lebih tepatnya
pengaruh dari lingkungan sehingga
adalah coklat keabu-abuan. Warna
menyebabkan
tubuh kerbau populasi 2 cenderung
kekerabatan,
menunjukkan
kekerabatannya
sehingga
jauh.
merupakan
semacam
terbentuklah
evolusi
sub
grup
seluruh
abu-abu
gelap
kerbau
dan
lokal
abu-abu
kerbau, yakni: (1) terjadinya kerbau-
kehitaman. Bentuk tubuh kerbau
kerbau yang berbadan besar dan
populasi 2 lebih gempal dan terlihat
kerbau-kerbau yang berbadan kecil,
padat
(2) adanya perbedaan terhadap daya
populasi
tahan
(3)
menunjukkan bahwa kerbau pada
terjadinya kegemaran hidup di dalam
populasi 2 memiliki ukuran tubuh
air,
lebih besar dari pada kerbau populasi
terhadap
atau
panas,
berkubang.
dikemukakan
oleh
dan
Hal
yang
dudi tersebut
berisi 1.
dari Hasil
pada
kerbau
pengukuran
1.
dapat juga terjadi pada kerbau lokal
Pemilik kerbau di kedua dusun
Lumajang sehingga memunculkan
tersebut
variasi dalam populasi.
kerbaunya berbeda.
37
memang dengan
memelihara cara
Pemeliharaan
yang kerbau
populasi
1
dengan
dilepaskan
hanya akan melepaskan kerbaunya di
langsung di daerah persawahan, dan
sawah miliknya saja, bukan di sawah
dapat berkubang langsung di lumpur
milik orang lain. Sehingga kerbau
sawah, sedangkan kerbau populasi 2
yang kawin juga akan mengawini
dilepaskan di hutan pinus dan sungai
kebau yang berada pada tempat yang
di dekat
sama.
hutan
pinus dijadikan
Sehingga
hal
ini
sangat
sebagai tempat berkubang. Hal ini
memingkinkan
terjadinya
sudah menunjukkan adanya variasi
inbreeding.
tingginya
pada dua populasi kerbau tersebut,
nilai heterozigositas pada populasi
bahkan juga pada individu dalam
dua juga dimungkinkan berhubungan
populasi, terutama pada populasi 2.
dengan cara pemeliharaan pemilik
Perbedaan pada distribusi dan
Sedangkan
kerbau. Dimana kerbau dilepaskan di
frekuensi alel menunjukkan bahwa
hutan
faktor-faktor seperti penyimpangan
kerbau dari pemilik lain. Sehingga
genetik dan mutasi memiliki efek
memungkinkan
yang
perkawinan dengan kerbau milik
berbeda
dalam
penetapan
struktur gen pada individu (Ciofi dan
pinus,
bercampur
dengan
terjadinya
orang lain.
Bruford, dalam sukri 2011). Tingkat
Tingkat
polimorfisme lokus
heterozigositas kerbau populasi 2
INRA-23 lebih tinggi dibandingkan
lebih
kerbau
dengan INRA-32, sehingga lokus
populasi 1. Tingkat heterozigositas
INRA-23 lebih informatif dalam
yang rendah dapat disebabkan karena
memberikan informasi keragaman
adanya
sekerabat
genetik kerbau. Nilai polimorfisme
akan
populasi 1 lebih rendah dibanding
hilangnya
populasi 2, hal ini berbanding lurus
tinggi
dibanding
perkawinan
(inbreeding),
hal
ini
menyebabkan keanekaragaman populasi
genetik
(Leksono,
dihubungkan
dengan
2013).
suatu
dengan
Jika
cara hidup
perhitungan
nilai
herozigositas,
dimana
tingkat
heterozigositas
populasi
2
lebih
kerbau populasi 1, rendahnya tingkat
tinggi dari poopulasi 1. Lestari
heteroziositas dimungkinkan karena
(2013) mengungkapkan bahwa nilai
pemeliharaan
heterozigositas
kerbau
yang
dilepaskan di sawah. Pemilik kerbau
akan
selalu
berbanding lurus dengan nilai PIC.
38
Riyanto (2010) menyatakan bahwa
Lumajang adalah populasi 1. Untuk
nilai
menjaga
informasi
polimorfik
berbanding lurus dengan jumlah alel dalam
setiap
tinggi
jumlah
lokusnya, alel,
nutfah
maka
diperlukan adanya inbreeding.
semakin
maka
plasma
Disisi
nilai
lain,
konservasi,
selain
informasi
untuk
mengenai
informasi polimorfik juga semakin
variasi genetik
tinggi. Tingginya polimorfisme dari
digunakan
suatu populasi bisa diartikan bahwa
menjaga keragaman variasi genetik
variasi alel serta sifat spesifik dari
kerbau yang ada. Keragaman variasi
populasi juga cukup tinggi. Lokus
genetik
yang
menggambarkan
bahwa individu terkait akan lebih
adanya heterozigositas dalam suatu
bertahan (survive) ketika suatu saat
individu.
terjadi proses seleksi alam. Selain
polimorfik
Kesimpulan
yang
diatas juga dapat
sebagai
upaya
memberikan
untuk
keuntungan
dapat
itu, informasi keragaman variasi
diambil dari beberapa uraian diatas
genetik tersebut dapat dimanfaatkan
adalah bahwa kerbau populasi 2
untuk membentuk kerbau dengan
memiliki tingkat keragaman variasi
kualitas
genenetik lebih tinggi dibandingkan
dengan melakukan outbreeding.
unggul,
caranya
adalah
dengan populasi 1. Informasi ini dapat berguna sebagai langkah awal dalam
melakukan
KESIMPULAN DAN SARAN
konservasi
Kesimpulan
dari
hasil
terhadap kerbau lokal Lumajang,
penelitian ini adalah; 1) ada variasi
dimana dalam
fenotip
pada
kerbau
bubalis)
lokal
Lumajang
tersebut
adalah
upaya konservasi dengan
tetap
(Bubalus antara
mempertahankan keberadaan plasma
populasi 1 dengan populasi 2, yaitu
nutfah yang ada. Untuk menjaga
pada
kelestarian plasma nutfah, maka
pengukuran. Warna tubuh kerbau
keberadaan kerbau yang memiliki
populasi 1 didominasi oleh warna
hubungan kekerabatan dekat adalah
keabu-abuan, sedangkan pada kerbau
penting, dalam hal ini populasi yang
populasi 2 didominasi oleh abu-abu
memiliki potensi sebagai sumber
gelap. Ukuran tubuh kerbau populasi
plasma
1 lebih kecil dibandingkan dengan
nutfah
kerbau
lokan
39
warna
tubuh
dan
hasil
kerbau populasi 2; 2) ada variasi
dengan INRA-32 (0,47%). Dari sini
genotip
kerbau
dapat dikatakan bahwa lokus INRA-
populasi 1 dan kerbau populasi 2
23 lebih informatif dibanding lokus
berdasarkan pada frekuensi alel,
INRA-32.; dan 3).
(genetik)
pada
heterozigositas, dan nilai PIC, yaitu
Saran berdasarkan penelitian
ada perbedaan nilai frekuensi alel
yang telah dilakukan adalah variasi
kerbau pada kedua lokus (INRA-23
genetik kerbau populasi 1 di dusun
dan
genetik
Sumberwuluh lebih rendah daripada
tinggi
populasi 2 di dusun Kemamang. Hal
INRA-32).
kerbau
populasi
Variasi 2
lebih
dibanding populasi 1 pada lokus
ini
INRA-23,
inbreeding
dan
variasi
genetik
memungkinkan pada
telah
terjadi
populasi
1.
populasi 1 lebih tinggi dibanding
Informasi tersebut dapat dijadikan
populasi 2 pada lokus INRA-32. Ada
sebagai dasar oleh instansi terkait
perbedaan
heterozigositas
(misalnya dinas peternakan) untuk
pada kerbau populasi 1 dan kerbau
meyusun kebijakan-kebijakan yang
populasi
berkaitan dengan konservasi kerbau
memiliki lebih
tingkat
2.
Kerbau
tingkat
tinggi
populasi
2
heterozigositas
(62,5%)
lokal
dibanding
Lumajang,
guna
plasma nutfah, serta
menjaga kebijakan
dengan kerbau populasi 1 (50%).Ada
terkait pemeliharaan kerbau guna
perbedaan tingkat polimorfisme pada
memelihara
lokus
INRA-31.
genetik yang juga dapat mengarah
Tingkat polimorfisme lokus INRA-
pada produktivitas kerbau sebagai
23 (0,53%) lebih tinggi dibanding
hewan ternak.
INRA-23
dan
keragaman
variasi
dbioethics.org%2Fsites%2Fd efault%2Ffiles%2FGM%252 0crops%2520%2520full%252 0report.pdf&ei=7WHjUejpL8 TwrQfl_YGoDw&usg=AFQj CNFJ_ezNEIF3D4bL4vIviH QFNmWKew&bvm=bv.4870 5608,d.bmk, diakses Juli 2013).
DAFTAR PUSTAKA Dudi, 2007. Peningkatan Produktivitas Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) di Indonesia melalui Kegiatan Pemuliaan Ternak Berkelanjutan (Online), (http://www.google.com/url?s a=t&rct=j&q=&esrc=s&sourc e=web&cd=7&cad=rja&sqi= 2&ved=0CFAQFjAG&url=ht tp%3A%2F%2Fwww.nuffiel
Juwita, S.A., & Anggraeni, A. 2008. Karakterisasi Morfologi dan Estimasi Jarak Genetik Kerbau Rawa, Sungai 40
(Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. (online) (http://peternakan.litbang.dept an.go.id), diakses pada 01 Juli 2013.
Navani, N., Jain, P.K., Gupta, S., Sisodia, B.S. & Kumar, S. 2001. A Set of cattle microsatellite DNA markers for genome analysis of riverine buffalo (Bubalus bubalis). Animal Genetics, Vol 33: 149-154.
Leksono, A.S. 2013. Keanekaragaman Hayati. UB Press.
Riyanto. 2010. Identifikasi Variasi Genetik Kerbau Lokal Jawa Timur (Bubalus Bubalis) dari Wilayah yang Berbeda berbasis Mikrosatelit sebagai Pengembangan Bahan Ajar Mata Kuliah Genetika. Tesis tidak diterbitkan.
Lestari, F. 2013. Identifikasi Variasi Genetik Kerbau (Bubalus bubalis) Lokal Sumatera Selatan Berbasis Mikrosatelit Sebagai Pengembangan Media Interaktif Untuk Pembelajaran Teknik Analisis Biologi Molekuler Di Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sukri, A. 2011. Identifikasi Variasi Genetik Kerbau Lokal (Bubalus Bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, Berbasis Mikrosatelit sebagai Bahan Ajar Mata Kuliah Genetika. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Mirhabibi, S., Manafiazar, G.H., Qaravisi, S.H. & Mahmoodi, B. 2007. Inbreeding and its effect on some productive traits in buffaloes of South Iran. Journal Animal Science, Vol 06 (suppl, 2): 372-374.
Zulfahmi. 2013. Penanda DNA Untuk Analisis Genetik Tanaman. Jurnal Agroteknologi. Vol. 3 No. 2 41-51.
41