IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE RELEASING HORMONE (GHRH) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DENGAN METODE PCR-RFLP
SKRIPSI ALMIRA PRIMASARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ALMIRA PRIMASARI. 2009. Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mendapatkan ternak lokal yang memiliki produktivitas tinggi adalah dengan perbaikan manajemen pemeliharaan dan perbaikan genetik. Perbaikan secara genetik dapat dilakukan dengan mengetahui karakteristik genetik ternak yang berpengaruh terhadap sifat pertumbuhan yang dikontrol oleh banyak gen dan sebagian besar aksinya bersifat aditif. Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang berperan menstimulasi sintesis dan sekresi Growth Hormone yang berpengaruh secara aditif terhadap pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada kerbau lokal di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sampel darah kerbau yang digunakan berjumlah 320 sampel yang berasal dari empat daerah, yaitu Semarang (Jawa Tengah), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Medan (Sumatera Utara) dan Banten. Amplifikasi gen GHRH dilakukan dengan teknik PCR, sedangkan untuk identifikasi keragaman dilakukan menggunakan metode PCR-RFLP dengan menggunakan enzim restriksi HaeIII. Gen GHRH kerbau yang berhasil diamplifikasi berukuran 451 pb terletak di sebagian ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Pendeteksian keragaman gen GHRH kerbau lokal Indonesia dengan metode PCR-RFLP menghasilkan dua tipe alel yaitu alel A (18%) dan alel B (82%). Genotipe yang diperoleh yaitu AA (0%), AB (36%) dan BB (64%) dengan nilai heterozigositas sebesar 46%. Frekuensi Alel A pada setiap populasi yaitu Semarang (15%), Mataram (19%), Medan (2%) dan Banten (45%). Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel A pada semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi alel B pada setiap populasi yaitu Semarang (85%), Mataram (81%), Medan (98%) dan Banten (48%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau Medan (98%) dengan nilai heterozigositas 4%. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi kerbau di Banten yaitu 48%. Nilai indeks fiksasi gen GHRH menunjukkan bahwa dari keempat populasi kerbau lokal tidak terdapat gen yang terfiksasi dengan nilai indeks fiksasi tidak sama dengan nol. Nilai jarak genetik gen GHRH terkecil yaitu antara populasi kerbau lokal Semarang dan kerbau lokal Mataram (0,001) dan terbesar antara populasi kerbau lokal Medan dan Banten (0,202). Kata-kata kunci: Kerbau, gen GHRH , PCR-RFLP.
ABSTRACT Identification of Growth Hormone Releasing Hormone Gene in Local Buffalo (Bubalus bubalis) Using PCR-RFLP Primasari, A., C. Sumantri and A. Farajallah GHRH is a hypothalamic hormone which stimulates growth hormone secretion in the pituitary gland. The objective of this study was to identify polymorphisms Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) gene of Indonesian buffalo’s. A total of 320 blood samples from Indonesian buffalo were used to determined polymorphism using PCR-RFLP method. The polymorphism of GHRH gene that spanned within exon 2 and exon 3 was amplified, and their mutation was detected using endonuclease HaeIII. In this study, there were found to be three GHRH/HaeIII genotype (AA genotype 0%, AB genotype 36% and BB genotype 64%) determined by two alleles, A (18%) and B (82%). The frequency of A allele was found 15% for Semarang population, 19% for Mataram population, 2% for Medan population and 40% for Banten population. The frequency of B allele was found 85% for Semarang population, 81% for Mataram population, 98% for Medan population and 60% for Banten population. The observed heterozygosis value were different among populations. The highest heterozygosis (ĥ) 0,485 for Banten population and the lowest was 0.037 for Medan population and the average heterozygosis for all populations (Ĥ) detected was 0.270. Index fixation value of GHRH gene showed there was not fixed into one gene type (Fski ≠ 0). The smallest genetic distance value of GHRH gene was found between Semarang and Mataram population (0.001) and highest between Medan and Banten population (0.202). Keywords: Buffallo, GHRH gene, PCR-RFLP.
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE RELEASING HORMONE (GHRH) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DENGAN METODE PCR-RFLP
ALMIRA PRIMASARI D14051318
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE RELEASING HORMONE (GHRH) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DENGAN METODE PCR-RFLP
Oleh ALMIRA PRIMASARI D14051318
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 April 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc.
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1988 di Sukabumi. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H.Tejo Sriwijoyo, SKM., M.MKes dan Hj.Henny Liswara. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD Negeri Cisande I, Sukabumi. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 1 Cibadak, Sukabumi dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMA Negeri 1 Sukabumi. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasisa Fakultas Peternakan (20062007 dan 2007-2008), Kelompok Pecinta Alam Fakultas Peternakan (2006-2007 dan 2007-2008), Ikatan Mahasiswa Sukabumi (2006-2007 dan 2007-2008) dan UKM Tae Kwon Do (2006-2007). Skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP diselesaikan penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, dan penulisan skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP. Beberapa hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah 1) kerbau di Indonesia merupakan salah satu ternak lokal dengan beberapa kelebihan yang dimilikinya sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi ternak penghasil daging 2) masih rendahnya perkembangan populasi, produksi dan produktivitas kerbau di Indonesia, serta 3) informasi molekuler kerbau lokal masih terbatas terutama gen yang mempengaruhi pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada kerbau lokal dari empat daerah di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditujukan sebagai informasi awal mengenai keragaman gen GHRH kerbau lokal Indonesia untuk penelitian selanjutnya, guna mendapatkan ternak kerbau dengan produktivitas yang lebih baik. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan peternakan Indonesia. Amin
Bogor, April 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .........................................................................................
i
ABSTRACT ............................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................
v
KATA PENGANTAR ............................................................................
vi
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xi
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................ Tujuan .........................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
Kerbau ......................................................................................... Ciri – ciri Fisik Kerbau ................................................... Produktivitas Kerbau ...................................................... Populasi Kerbau di Indonesia ..................................................... Potensi Ternak Kerbau ................................................................ Analisis Keragaman DNA ........................................................... Keragaman Gen Gowth Hormone Releasing Hormone (GHRH) .
3 4 5 6 6 7 8
METODE
..........................................................................................
11
Lokasi dan Waktu ....................................................................... Materi .......................................................................................... Sampel Darah dan Isolasi DNA ...................................... PCR (Amplifikasi DNA) ................................................ Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) ..... Elektroforesis .................................................................. Pewarnaan Perak ............................................................. Rancangan ..................................................................................... Prosedur ........................................................................................ Pengambilan dan Penanganan Sampel ........................... Ekstraksi DNA dari Sampel Darah .................................. Amplifikasi Gen GHRH ................................................. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) .... Elektroforesis .................................................................... Pewarnaan Perak ...............................................................
11 11 11 11 11 11 12 12 14 14 14 14 14 14 15
Halaman Pendeteksian Keragaman DNA ......................................
15
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
16
Amplifikasi Gen GHRH ............................................................. Pendeteksian Keragaman Gen GHRH dengan Metode PCR RFLP ........................................................................................ Keragaman Gen GHRH Kerbau Lokal ......................................... Nilai Heterozigositas ................................................................... Indeks Fiksasi ............................................................................. Jarak Genetik dan Pohon Genetik ...............................................
16 17 20 22 24 24
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
27
Kesimpulan ................................................................................. Saran ...........................................................................................
27 27
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
29
LAMPIRAN
32
..........................................................................................
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Beberapa Informasi Sifat Biologis Ternak Kerbau dengan Pola Pemeliharaan Ekstensif ..................................................................
5
2. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis Ternak ...................................................................
10
3. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen GHRH-HaeIII Kerbau Lokal...................................................................................
21
4. Nilai Heterozigositas (ĥ) dan Rataan Heterozigositas (Ĥ) Gen GHRH Kerbau Lokal ......................................................................
23
5. Nilai Indeks Fiksasi Gen GHRH Kerbau Lokal ...............................
24
6. Nilai Jarak Genetik Gen GHRH Kerbau Lokal ................................
25
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Hasil Amlifikasi Gen GHRH Menggunakan Metode PCR pada Gel Poliakrilamida 6% ..................................................................
16
2. Posisi Penempelan Primer dan Situs Pemotongan Enzim Restriksi HaeIII didasarkan pada sekuens gen GHRH pada sapi di GenBank (no akses GenBank AF242855) (Zhou et al., 2000) ......................
17
3. Hasil Pemotongan Fragmen Gen GHRH Menggunakan Metode PCR-RFLP dengan Enzim Pemotong HaeIII pada Gel Poliakrilamida 6% ..........................................................................
18
4. Diagram Elektroforesis Hasil Pemotongan Gen GHRH/HaeIII .....
19
5. Dendogram Pohon Genetik Berdasarkan Gen GHRH pada Empat Populasi Kerbau Lokal Indonesia ....................................................
25
.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Modifikasi Metode Isolasi DNA Menggunakan Genomic DNA Mini Kit Geneaid ...........................................................................
33
2. Sekuen Gen GHRH yang diakses di GenBank (no. AF242855) .....
34
3. Hasil Analisis Jarak Genetik dan Pohon Genetik ............................
35
PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging, susu dan kerja. Secara umum pemeliharaan ternak kerbau di Indonesia bukan ditujukan untuk diambil dagingnya. Peternak kerbau di Indonesia umumnya hanya memelihara kerbau sebagai ternak kerja untuk mengolah lahan pertanian dan sebagai tabungan hidup. Daging kerbau dapat menjadi komplemen bahkan substitusi daging sapi sehingga pengembangan kerbau perlu mendapat perhatian agar kerbau dapat berkontribusi lebih besar terhadap program kecukupan daging nasional. Revitalisasi peternakan kerbau harus dilakukan dalam upaya mendukung program kecukupan daging sapi tahun 2010. Diharapkan pada tahun tersebut ketergantungan impor daging dapat dikurangi secara signifikan (10%). Saat ini impor daging untuk memenuhi permintaan daging di Indonesia masih sekitar 30% (Riady, 2006). Perkembangan populasi, produksi dan produktivitas kerbau di Indonesia masih kurang optimal. Populasi kerbau di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Populasi ternak kerbau di Indonesia dari 3,065 juta ekor pada tahun 1997 menjadi 2,201 juta ekor pada tahun 2006 (Badan Pusat Statistik, 2006). Penurunan tersebut disebabkan oleh peralihan fungsi kerbau sebagai ternak kerja karena adanya mesin atau traktor dan makin sempitnya areal lahan untuk penggembalaan serta kurang adanya usaha – usaha perbaikan mutu genetik dan teknik budidaya. Perbaikan mutu genetik kerbau masih tertinggal jauh dari ternak lainnya. Perbaikan dengan mempertimbangkan penanda genetik dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam melakukan seleksi. Salah satu metode seleksi yang sedang berkembang saat ini adalah metode MAS (Marker Assisted Selection) yaitu seleksi berdasarkan penciri DNA yang mengontrol sifat-sifat ekonomis. Growth Hormone Releasing Hormone merupakan hormon yang menstimulasi sintesis dan sekresi Growth Hormone yang mempengaruhi pertumbuhan. Oleh karena itu, gen GHRH merupakan penciri genetik yang dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam melakukan seleksi ternak.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen growth hormone releasing hormone (GHRH) dengan metode PCR-RFLP pada kerbau lokal dari empat daerah di Indoesia yaitu Semarang (Jawa Tengah), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Medan (Sumatera Utara) dan Banten.
TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Tetua kerbau domestik (Bubalus bubalis) berasal dari kerbau liar Asia (Wild Asian buffalo – Bubalus bubalis). Kerbau domestik satu dengan lainnya agak berbeda, menunjukkan bahwa tetua mereka berasal dari beberapa subspesies yang dapat dijumpai di beberapa bagian dunia. Kebanyakan kerbau domestik dijumpai pada wilayah yang beriklim panas dan basah dimana padi dihasilkan. Sekitar 95% dari kerbau domestik terdapat di Asia, dan sekitar 2,5% terdapat di Afrika, khususnya Mesir (FAO, 2000). Kerbau merupakan ternak yang multifungsi yaitu sebagai penghasil daging, susu dan kerja yang potensial untuk mengolah lahan pertanian. Selain itu, kerbau berfungsi sebagai sumber pupuk dan mempunyai fungsi sosial budaya di beberapa daerah di Indonesia. Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau justru lebih baik dibandingkan sapi dan masih dapat berkembang biak dalam kondisi kualitas pakan yang tersedia relatif kurang baik. Kerbau memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Salah satu kelemahan kerbau adalah ketidaktahanannya terhadap udara yang panas. Oleh sebab itu untuk melangsungkan proses faali hidupnya memerlukan waktu untuk merendam diri di lumpur (berkubang) (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Umumnya semua tipe kerbau domestik (Bubalus bubalis) dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau sungai (riverine buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo). Kromosom kerbau liar Asia maupun kerbau domestik (kerbau rawa) adalah 2n = 48, sedangkan kerbau sungai (riverine buffalo) adalah 2n =50 (FAO, 2000). Kedua kelompok kerbau ini mempunyai sifat biologis yang berbeda. Kerbau sungai menunjukkan kesenangan terhadap air mengalir yang bersih, sedangkan kerbau rawa suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air menggenang (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau rawa dan hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu. Kerbau rawa
biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging dan jarang digunakan sebagai penghasil susu. Hanya sedikit sekali kerbau rawa yang dimanfaatkan susunya, karena produksi susunya sangat rendah yaitu hanya 1-1,5 l/hari, dibandingkan dengan tipe sungai yang mampu menghasilkan susu sebanyak 6-7 l/hari (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Ciri – ciri Fisik Kerbau Ciri - ciri fisik kerbau sungai yaitu memiliki tanduk melingkar ke bawah atau lurus memanjang dan memiliki kulit berwarna hitam atau abu-abu agak gelap. Sedangkan kerbau rawa atau kerbau lumpur umumnya memiliki tanduk melengkung ke atas dan memiliki kulit berwarna abu – abu terang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erdiansyah (2008) di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa kerbau yang terdapat di daerah tersebut merupakan kerbau rawa dengan jenis tanduk melingkar ke atas sebesar 98%. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Asoen (2008) yang melakukan pengamatan terhadap kerbau rawa yang menghasilkan 96,2% dari jumlah kerbau memiliki bentuk tanduk normal yang memanjang ke belakang lalu melengkung ke atas. Kerbau rawa yang diamati memiliki warna abu – abu terang (36,5%), abu – abu gelap (29,5%) coklat dan merah masing – masing 11% dan 19%. Sifat khas warna kulit berkaitan dengan hasil pengukuran morfometrik tubuh kerbau dimana kerbau yang memiliki warna kulit merah dan coklat memiliki ukuran relatif lebih besar (Erdiansyah, 2008). Garis kalung (chevron) merupakan ciri spesifik kerbau rawa. Berdasarkan hasil penelitian Sitorus (2008) ditemukan lima variasi garis kalung pada kerbau rawa yaitu tunggal di bagian atas, tunggal di bagian bawah, tunggal di bagian bawah dan bercabang, double yaitu di leher bagian atas dan bawah, serta double dengan bagian bawah yang bercabang. Erdiansyah (2008) menyebutkan terdapat juga sebanyak 1,5% kerbau lokal dalam penelitiannya di Nusa Tenggara Barat yang tidak memiliki chevron dan terdapat pula kerbau lokal yang memiliki chevron tunggal yang memiliki persentase cukup besar yaitu 18,5%. Kaki kerbau lokal umumnya berwarna terang Sitorus (2008) menyebutkan bahwa terdapat dua variasi warna kaki kerbau rawa yaitu 94,12% berwarna abu – abu muda dan hanya 5,88% berwarna abu-abu. Warna hitam pada kaki ditemukan hanya 4% dari kerbau lokal yang diamati. Kerbau rawa umumnya memiliki jenis teracak mangkok sehingga banyak digunakan untuk
mengolah lahan pertanian karena kemampuannya menekan keras ke bawah (Erdiansyah, 2008). Penelitian yang dilakukan Hidayat (2007) menunjukkan bahwa antara kerbau Banten dan Sumatera utara mempunyai ukuran tubuh yang berbeda, kerbau Sumatera Utara mempunyai tinggi pundak, dan lingkar dada yang lebih besar dibandingkan kerbau Banten. Rataan tinggi pundak kerbau Banten yaitu 120 cm, Sumaera Utara 126 cm. Rataan lingkar dada kerbau Banten yaitu 170 cm dan Sumatra Utara 182 cm. Rataan panjang badan kerbau Banten 121 cm dan rataan panjang badan kerbau Sumatera Utara yaitu 118 cm. Produktivitas Kerbau Produktivitas kerbau dalam beberapa hal lebih rendah dibandingkan sapi terkait dengan sifat-sifat biologis yang dimilikinya. Dewasa kelamin kerbau relatif lebih lambat, calving interval sekitar dua tahun dan persentase karkas relatif lebih kecil dibandingkan sapi (<50%). Pertambahan bobot badan kerbau sekitar 0,3-0,9 kg per hari (Tabel 1). Tabel 1. Beberapa Informasi Sifat Biologis Ternak Kerbau dengan Pola Pemeliharaan Ekstensif Sifat biologis Umur beranak pertama Lama kebuntingan Jarak beranak Pertambahan bobot badan Persentase karkas Senang berkubang Estrus
Keterangan
3,5-4 tahun 11-12 bulan 20-24 bulan 0,3-0,9 kg per hari <50% Perlu tempat berkubang Tanda-tanda lemah dan relatif tenang (silent heat) Anestrus Bermusim Postpartum unestrus Panjang Posisi vagina Bagian depan lebih rendah dibanding belakang, sewaktu berahi cairan tidak keluar Libido pejantan di musim kemarau Menurun drastis Jumlah pejantan yang dipelihara peternak Terkadang terlalu banyak, sehingga tidak efisien, sering berkelahi dan kawin beberapa kali (>3 kali) Perkawinan tidak terkontrol Meningkatnya inbreeding Sumber : Diwyanto dan Handiwirawan (2006).
Populasi Kerbau di Indonesia Populasi kerbau di Indonesia berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa jumlah populasi kerbau di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 1997, 1999, 2000, 2001, 2005 berturut – turut adalah sebanyak 3,065 juta ekor, 2,504 juta ekor, 2,405 juta ekor, 2,333 juta ekor, 2,403 juta ekor, 2,428 juta ekor dan pada tahun 2006 menjadi 2,201 juta ekor yang menyebar hampir di seluruh propinsi tetapi tidak merata jumlahnya. Populasi kerbau terbanyak terdapat di sepuluh propinsi di Indonesia yaitu propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan yang masing-masing berjumlah 340.031, 261.308, 211.008, 156.570, 156.568, 145.439, 141.236, 128.502, 123.826 dan 103.577 ekor. Rataan pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia adalah sekitar 3,41% per tahun. Potensi Ternak Kerbau Kerbau lokal mempunyai potensi yang besar untuk dapat dikembangkan sebagai ternak penghasil daging karena mudah menyesuaikan diri, mempunyai bobot karkas yang relatif lebih tinggi dibandingkan sapi lokal serta telah biasa dipelihara di perdesaan (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Ternak kerbau belum digunakan sebagi ternak penghasil daging walaupun dari segi bobot badan cukup potensial. (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Kerbau dapat berkembang dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi yang basah sampai dengan kondisi yang kering. Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut, pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasinya (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Daging kerbau lebih merah dibanding daging sapi karena mempunyai pigmentasi yang lebih banyak dan kurang lemak intramuskuler. Kondisi ini menyebabkan daging kerbau relatif lebih keras dibanding sapi, tetapi justru disukai sebagian konsumen yang memiliki resep masakan tradisional yang unik. Secara umum harga daging dan kerbau hidup lebih rendah dibandingkan sapi, kecuali di beberapa daerah yang memang menyukai daging kerbau. Dengan harga yang lebih
rendah maka pasar bagi daging kerbau menjadi lebih luas, banyak konsumen yang mampu untuk membelinya sehingga peluang pengembangannya menjadi lebih terbuka (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Analisis Keragaman DNA Polimerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin thermocycler Metode ini berjalan secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Proses yang terjadi dalam mesin PCR melipti tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer) dan ekstensi (pemanjangan primer). Proses dari mulai denaturasi, penempelan dan ektensi disebut sebagai satu siklus. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses elektroforesis dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Muladno, 2002). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) merupakan metode analisis lanjutan dari produk PCR. RFLP adalah profil DNA berupa fragmenfragmen DNA hasil pemotongan enzim endonuklease atau enzim restriksi yang mengenali situs pemotongan empat dan enam basa. RFLP memiliki kemampuan untuk mendeteksi keragaman di tingkat alel didasarkan pada polimorfisme yang muncul karena adanya basa yang mengalami substitusi, penambahan, pengurangan dan perpindahan (translokasi) pada genom DNA. Perubahan tersebut menyebabkan perbedaan ukuran dari fragmen restriksi yang dicerna oleh enzim restriksi tertentu. RFLP hanya mendeteksi perbedaan-perbedaan dari fragmen tersebut, dimana satu dengan lainnya berhubungan dengan homolognya dari probe molekuler yang digunakan dalam hibridisasi. Probe molekuler yang digunakan untuk RFLP antara lain probe genom DNA (yang diturunkan dari genom DNA) dan probe cDNA (yang diturunkan dari mRNA). Kelebihan dari RFLP adalah dapat mendeteksi sifat kodominan, artinya dapat membedakan antara yang homozigot dan heterozigot. Selain itu kelebihan yang lain adalah diharapkan didapatkan homologi polimorfik (Gupta et al., 2002). Metode lain yang dapat digunakan untuk menganalisis keragaman pada tingkat molekul DNA diantaranya adalah Polymerase Chain Reaction-Single-Strand
Conformation Polymorphism atau PCR-SSCP yang merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan yang terjadi pada fragmen DNA akan mempengaruhi bentuk dari fragmen DNA untai tunggalnya yang terlihat dari perubahan pola migrasi pada gel poliakrilamida nondenaturasi. Metode SSCP dapat mendeteksi adanya mutasi paa fragmen DNA akan tetapi tidak dapat memberikan informasi tentang posisi dimana terjadinya mutasi pada fragmen DNA dan memiliki keterbatasan dalam menentukan jumlah alel (Barroso et al., 1999). Temperature-Gradient Gel Electrophoresis (TGGE) merupakan salah satu metode analisis keragaman yang mendeteksi adanya mutasi menggunakan gel yang memiliki perbedaan suhu (Jasik dan Reichert, 2006). Denaturing-Gradient Gel Electrophoresis (DGGE) merupakan salah satu metode yang dapat membedakan adanya mutasi berdasarkan berat molekul fragmen DNA pada gel yang memiliki perbedaan konsentrasi bahan untuk menyamakan berat molekul (denaturing) (Liu et al., 2008). Analisis keragaman molekul DNA juga dapat dilakukan dengan metode sekuensing yang merupakan satu dari terobosan utama dalam genetika molekuler. Sekuensing merupakan proses penentuan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA atau RNA. Sekuensing menghasilkan penggambaran linear simbolik yang disebut sekuens yang meringkas sebagian besar struktur tingkat atom atas molekul yang disekuensing. Sekuensing DNA akan menghasilkan sekuens DNA yang digambarkan sebagai untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA (Muladno, 2002). Tipe polimorfisme yang dideteksi analisis sekuen yaitu pertukaran satu basa dan menghasilkan informasi sekuens yang dibutuhkan. Proses sekuensing dapat dilakukan secara cepat dan hasil yang diperoleh diperoleh tinggi akan tetapi biaya yang dibutuhkan cukup besar (Gupta et al., 2002). Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dikenal juga dengan nama Growth Releasing Factor (GRF) atau Growth Hormone Releasing Factor (GHRF) atau somatocrinin terdiri dari 44 peptida asam amino dengan berat molekul 12447 Da dan panjang 107 aa (Connor et al., 2005). Menurut Baker et al., (2000) GHRH dikenal pula dengan somatoliberin pertama kali diisolasi pada tahun 1982 dari sel
pituitari dan sel hipothalamus. Berdasarkan fungsi protein, somatoliberin sama seperti jenis glukagon, sekretin dan VIP (Vasoactive Intestinal Peptide). GHRH terikat pada spesifik reseptor (GHRH-R) yang terdapat dalam sel pituitari anterior dan menstimulasi sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan (Growth Hormone). Growth Hormone dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan berperan penting untuk reproduksi, laktasi, dan pertumbuhan tubuh (Etherton, 1998). Beberapa penelitian telah dilakukan pada ternak sapi dan diketahui bahwa somatotropin, somatoliberin dan sejenis sintesisnya meningkatkan produksi baik pada ternak perah yaitu meningkatkan produksi dan lemak susu (Bonneau dan Laarveld, 1999) maupun ternak pedaging (Achtung et al., 2001) yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan sehingga mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong. Cheong et al. (2006) menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk produksi daging. Gen GHRH pada sapi terletak pada kromosom nomor 13 (Barendse et al., 1994) terdiri dari lima ekson dan empat intron (Zhou et al., 2000). Menurut Zhou et al. (2000) panjang gen GHRH pada sapi adalah 9356 pb (pasang basa). Moody et al. (1995) melaporkan adanya keragaman gen GHRH pada sapi dengan metode PCR-RFLP menggunakan primer GHRH forward 5’-GTA AGG ATG CCA GCT CTG GGT3’ dan GHRH reverse 5’-TGC CTG CTC ATG ATG TCC TGG A-3’ serta enzim restriksi HaeIII yang menghasilkan dua alel yaitu 317,83, 55 pb (alel A) dan 196, 121, 83, 55 pb (alel B). Keragaman ditemukan pada intron pertama gen GHRH pada sapi. Situs keragaman untuk GHRH/HaeIII pada sapi Polish Black and White menurut Dybus dan Grzesiak (2006) terletak menutupi bagian ekson 2, seluruh intron 2, dan sebagian dari ekson 3; analisis keragaman terletak di intron 2 (no. Akses GenBank AF242855). Kmiéc et al. (2007) melakukan penelitian terhadap keragaman GHRH/HaeIII dan hubungannya dengan sifat produksi susu pada sapi Polish Red-and-White (salah satu varietas bangsa Fresian Holstein). Produk PCR teramplifikasi sepanjang 296 pb, menghasilkan tiga genotipe yang memiliki pola pemotongan fragmen 194, 55 dan 48 pb (GHRHB /GHRHB) ; 242, 194, 55 dan 48 pb (GHRHA/GHRHB) dan 242, 55 dan 48pb (GHRHA/GHRHA). menghasilkan frekuensi genotipe
GHRHA/GHRHA sebesar 9,6%, genotipe
GHRHA/GHRHB 37% dan genotipe GHRHB/GHRHB sebesar 53,4%. Frekuensi alel GHRHA sebesar 28,1% dan Frekuensi alel GHRHB sebesar 79,1%. Cheong et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang nyata antara keragaman gen GHRH dengan sifat karkas yang meliputi bobot karkas dan perototan bagian longisimus pada ternak pedaging asli Korea (Hanwoo) dengan metode analisis sekuen DNA, enam lokasi keragaman dipilih dari 12 keragaman single nukleotida yang ditemukan untuk kemudian ditetapkan genotipe dari ternak tersebut dan ditemukan lima penanda haplotipe (frekuensi > 0,1). Pierzchala et al. (2003) menyatakan bahwa keragaman gen GHRH berhubungan dengan laju pertumbuhan dan kualitas karkas pada ternak babi dengan enzim restriksi AluI yang menghasilkan Frekuensi genotipe AA (8,8%), AB (61,8%) dan BB (27,97%). Beberapa penelitian mengenai keragaman gen GHRH pada beberapa ternak disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis Ternak Ternak
Jumlah Alel
Posisi Marker
Metode
Sumber
Sapi Perah dan
2
Intron 1
RFLP
Moody et al. (1995)
Sapi Pedaging
2
Intron 2
RFLP
Dybus et al. (2003)
Sapi Perah
2
Intron 2
RFLP
Dybus dan Grzesiak (2006)
12 tipe
5’UTR dan intron
Analisis sekuen
Cheong et al. (2006)
Sapi Perah
2
Intron 2
RFLP
Kmiec et al. (2007)
Babi
2
Ekson 3
RFLP
Pierzchala et al. (2003)
Babi
2
Ekson 3
RFLP
Franco et al. (2005)
Pedaging
Sapi Pedaging
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2008 sampai dengan bulan Desember 2008. Materi Sampel Darah dan Isolasi DNA Sampel darah kerbau yang digunakan berjumlah 320 sampel yang diambil dari empat daerah, yaitu 75 dari Semarang (Jawa Tengah), 103 dari Mataram (Nusa Tenggara Barat), 65 dari Siborong-borong (Sumatera Utara), dan 77 dari Banten. Sampling darah dilakukan menggunakan vaccutainer 10 ml berheparin yang dilengkapi dengan jarum no. 18. Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA mini kit (Geneaid). PCR (Amplifikasi DNA) Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan primer yang digunakan Moody et al. (1995), yaitu GHRH forward 5’-GTA AGG ATG CCA GCT CTG GGT3’ dan GHRH reverse 5’-TGC CTG CTC ATG ATG TCC TGG A3’, enzim Taq polymerase, dNTP, 10x buffer dan air destilata Alat – alat yang digunakan antara lain tabung PCR, pipet mikro dengan tipsnya, alat sentrifugasi, vortex dan mesin thermocycler (TaKaRa PCR Thermal Cycler). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Bahan – bahan yang digunakan adalah Produk PCR, enzim restriksi (RE) HaeIII dengan buffernya dan air destilata. Alat – alat yang digunakan antara lain tabung PCR, pipet mikro dengan tipsnya, alat sentrifugasi, vortex dan inkubator.
Elektroforesis Bahan – bahan yang digunakan adalah air destilata steril, akrilamida 30%, 5 x TBE, TEMED (tetramethylendiamine), APS (ammonium persulfat) 10%, loading dye, dan marker. Alat – alat yang digunakan yaitu gelas ukur, tabung reaksi, dua buah kaca untuk cetakan gel, sisir khusus untuk sumur, pipet berskala, pipet mikro 2 µl dengan tipsnya dan power supply 500VA. Pewarnaan Perak Bahan – bahan yang digunakan adalah air destilata, CTAB (cetyltrimetil ammonium bromide), NH4OH, AgNO3, NaOH, Na2CO3, formaldehida dan asam asetat glacial. Alat – alat yang digunakan antar lain nampan, gelas ukur, tabung Erlenmeyer, dan water-bath shaker.
Rancangan Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA yang ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran (marker) yang sama dan dihitung frekuensi alelnya. Frekuensi alel dihitung berdasarkan rumus Nei (1987) :
X
∑
Keterangan : Xi
= Frekuensi alel i
nii
= Jumlah individu bergenotip ii
nij
= Jumlah individu bergenotip ij
n
= Jumlah individu sampel
Derajat heterozigositas (ĥ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus DNAmenggunakan rumus Nei (1987) :
ĥ Keterangan : ĥ
∑
= Nilai heterozigositas lokus
Xi
= Frekuensi alel i
n
= Jumlah individu sampel
Ragam heterozigositas (Vsl(ĥ)) pada tiap populasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : V ĥ
2 nii ∑ nij 22n 2 x! " x # $ x x % 2n
Standar error (SE) diperoleh dari akar ragam heterozigositas. Rataan heterozigositas (Ĥ) dihitung dengan rumus sebagai berikut : )
Ĥ ĥ' /) '*+
Keterangan : ĥj= derajat heterozigositas untuk lokus ke-j r = jumlah lokus yang diuji Ĥ = rataan heterozigositas Indeks fiksasi pada masing – masing populasi diperoleh dari persamaan : F-./
X / X / X/ 1 X /
Keterangan : Xkii = Frekuensi genotipe homozigot alel i pada populasi ke-k Xki = Frekuensi alel i
Jarak genetik (D) dihitung berdasarkan rumus : 6
6
*
*
6
I P3 4 P5 ;78 P3 9 8 P5 9:
Keterangan : D = Jarak genetik
D ln I
*
Pix = Frekuensi alel ke i pada populasi X Piy = Frekuensi alel ke i pada populasi Y Prosedur Penanganan dan Pengambilan Sampel Sampel darah diambil melalui vena jugularis kerbau menggunakan vaccutainer berheparin. Darah yang diperoleh kemudian disimpan dalam alkohol 70% dalam 1mM EDTA. Darah dibawa ke laboratorium untuk dikerjakan lebih lanjut. Ekstraksi DNA dari Sampel Darah Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA mini kit Geneaid yang dimodifikasi untuk darah yang disimpan dalam alkohol (lampiran 1). Amplifikasi Gen GHRH Proses amplifikasi DNA secara in vitro menggunakan pereaksi yang terdiri dari 2 µl sampel DNA dimasukkan kedalam tabung PCR, kemudian ditambah 2 µl primer. Larutan dalam tabung kemudian ditambah dengan premix yang terdiri dari 17,85 µl air destilata, 10 x bufer 2,5 µl, 2 mM MgCl2, 0,24 mM dNTP, dan 0,75 unit enzim Taq polymerase. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada mesin thermocycler dengan suhu pradenaturasi 940C selama 5 menit, 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 940C selama 1 menit, annealing 600C selama 1 menit dan elongasi 720C selama 2 menit. Elongasi akhir 720C selama 5 menit. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Produk PCR kemudian dipotong dengan enzim restriksi HaeIII yang mengenali situs pemotongan empat basa dan memotong pada posisi GG|CC. Produk PCR sebanyak 5 µl dipindahkan ke dalam tabung baru 0,5 ml dan ditambahkan dengan enzim restriksi HaeIII dan buffernya mengikuti petunjuk produsen. Campuran tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 12 jam. Elektroforesis Fragmen DNA produk PCR yang telah dipotong divisualisasikan dengan teknik elektroforesis gel polyakrilamida 6%. Gel dibuat dengan cara mencampurkan 12 ml air destilata, 4 ml 5 x TBE, 4 ml akrilamida 30%, 15 µl TEMED, dan 160 µl APS 10%. Sebanyak 2 µl produk PCR dilarutkan dalam loading dye. Elektroforesis
dilakukan selama 40 menit pada tagangan konstan 220 v atau sampai pewarna bromtimol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan pewarnaan perak. Pewarnaan perak Pewarnaan perak (silver staining) dilakukan dengan langkah sebagai berikut: gel dimasukan kedalam larutan CTAB 0,2 gram /200 ml air destilata selama delapan menit sambil digoyang, kemudian dicuci dengan air destilata selama 2 x 2 menit. Air tersebut dibuang dan ditambahkan larutan NH4OH selama 6 menit sambil digoyang. Kemudian dilanjutkan dengan larutan perak nitrat (AgNO3) selama 10 menit sambil digoyang. Gel dicuci kembali dengan air destilata 2 x 2 menit. Untuk memunculkan pita, gel direndam dalam larutan Na2CO3 dan formaldehid. Setelah pita muncul, ditambahkan larutan asam asetat untuk menghentikan aktifitas oksidasi perak oleh formaldehid. Pendeteksian keragaman DNA Setelah pewarnaan perak, akan muncul pita – pita DNA. Setiap pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjangnya. Setiap pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan genotip pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau alel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GHRH Gen GHRH pada kerbau lokal dari empat populasi di Indonesia berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan primer yang mengikuti Moody et al. (1995) pada ternak sapi. Gen GHRH kerbau lokal yang berhasil diamplifikasi berukuran 451 pb (gambar 1) dan sesuai dengan sekuen DNA yang menjadi acuan (Gambar 2).
Gambar 1. Hasil Amplifikasi Gen GHRH Menggunakan Metode PCR pada Gel Poliakrilamida 6% Ruas gen GHRH yang diamplifikasi pada penelitian ini terletak di sebagian ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Panjang fragmen gen GHRH hasil amplifikasi pada sapi menurut Moody et al. (1995) adalah 455 pb dan panjang target pada yak menurut Ou et al. (2002) adalah 450 pb terletak di ekson 2, intron 2 dan ekson 3. Sedangkan menurut Franco et al. (2005) panjang fragmen gen GHRH hasil amplifikasi pada ternak babi adalah 455 pb yang terletak di ekson 3.
4321 cctgtctgtc atttcccagg taccagcaca ggggtgaagg atgctgctct gggtgttctt Primer Forward 4381 cctcgtgacc ctcaccctca gcagcggctc ccacggttcc ctgccttccc agcctctcag 4441 gtaagcagtt ctgagaagag aagcaagaga gg|ccctttga ggatgcgact cgagctggtc 4501 cccagctggg tcctcaggca gcctcccttg ctcatctctg ggagggtggc agactgagcc 4561 ccagagaggt caccacccag ccctggttcc agccctctct ggggacgagc agggcaagag 4621 gcgacagaaa gacctcacag agaccaagtg agcacagtcc cctggg|cctc ccaccccacc 4681 ctttgacctc tgactccttc tactaggatt ccacggtacg cagatgccat cttcactaac 4741 agctaccgga aggttctggg|ccagctgtct gcccgcaagc tactccagga tatcatgaac Primer Reverse 4801 aggcagcagg ggtgagccgg cgttctcgtg acttctccct gcaccctcgg ttcatcatga
Gambar 2. Posisi penempelan primer dan situs pemotongan Enzim Restriksi HaeIII didasarkan pada sekuens gen GHRH pada sapi di GenBank (no akses GenBank AF242855) (Zhou et al., 2000). Keberhasilan amplifikasi gen GHRH sangat ditentukan oleh bahan pereaksi PCR , kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target) dan kondisi mesin PCR. Menurut Viljoen et al. (2005), keberhasilan mengamplifikasi DNA bergantung pada interaksi komponen PCR dalam konsentrasi yang tepat. Keberhasilan amplifikasi DNA juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor, yaitu haemoglobin yang dapat menghambat kerja enzim taq polymerase. Upaya yang umum dilakukan untuk optimasi PCR diantaranya yaitu suhu penempelan primer, konsentrasi primer, konsentrasi DNA target dan konsentrasi Mg2+. Pendeteksian Keragaman Gen GHRH dengan metode PCR-RFLP Pendeteksian keragaman gen GHRH pada kerbau lokal Semarang, Mataram, Medan dan Banten dilakukan dengan metode RFLP. Enzim restriksi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu HaeIII yang mengenali situs pemotongan empat basa dan memotong pada posisi GG|CC. Berdasarkan sekuen gen GHRH sapi (no akses GenBank AF242855) ditemukan tiga titik potong enzim restriksi HaeIII, yaitu pada nukleotida ke-4472, 4666 dan 4760 dari sekuen gen GHRH sapi sepanjang 9356 pb atau pada posisi basa ke-118, 312 dan 406 dari produk PCR (Gambar 2 dan Lampiran 2). Pemotongan tersebut menghasilkan empat fragmen yang panjangnya adalah 118, 194, 94 dan 45 pb. Keempat pita tersebut menunjukkan alel B. Jika terdapat mutasi satu basa dari keempat basa sebagai pengenal oleh enzim restriksi
HaeIII III maka situs pemotongan tersebut tidak dikenali lagi sehingga fragmen tidak dipotong. Pola pemotongan fragmen tersebut menunjukkan alel A. Ternak kerbau dikatakan memiliki genotipe AA apabila terdapat tiga fragmen (pita) DNA dengan panjang 312 pb, 94 pb dan 45 pb. Genotipe AB ditunjukkan dengan lima fragmen yang memiliki panjang 312 pb, 194 pb, 118 pb, 94 pb dan 45 pb. Genotipe BB ditunjukkan unjukkan dengan terdapatnya empat fragmen yaitu 194 pb, 118 pb, 94 pb dan 45 pb.. Pita DNA dengan ukuran 45 pb tidak dapat ditampilkan karena akrilamida dengan konsentrasi 6% kurang tepat digunakan untuk memisahan DNA dengan panjang kurang dari 60 pb (Muladno, 2002). Ternak kerbau dengan genotipe homozigot yaitu AA dan an BB menunjukkan bahwa kedua tetua menyumbangkan gen (alel) yang sama, sedangkan kerbau dengan genotipe heterozigot AB menunjukkan ternak tersebut memiliki kombinasi gen yang berbeda dari kedua tetuanya. Hasil pemotongan fragmen gen GHRH/ GHRH/HaeIII pada kerbauu lokal ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
312 pb
194 pb 118 pb
94 pb
Gambar 3. Hasil Pemotongan Fragmen Gen GHRH Menggunakan Metode PCR-RFLP RFLP dengan Enzim Pemotong HaeIII pada Gel Poliakrilamida 6%.
M
AA
AB
312 pb
312 pb
BB
500 pb 400 pb 300 pb 200 pb
194 pb
194 pb
118 pb
118 pb
94 pb
94 pb
94 pb
45 pb
45 pb
45 pb
100 pb
Gambar 4. Diagram Elektroforesis Hasil Pemotongan Gen GHRH/HaeIII Bagian struktural gen terdiri dari bagian yang dapat mengkode protein (kodon) yang disebut ekson dan bagian yang tidak dapat mengkode protein (non kodon) yang disebut intron atau interving sequences (IVS). Ekson berisi informasi kode asam amino yang akan di produksi oleh gen, sedangkan non kodon berperan sebagai penyambung dalam proses produksi asam amino (Nei, 1987). Situs keragaman yang diperoleh pada penelitian ini terletak di intron 2 sehingga mutasi terjadi pada sekuen yang tidak ditranskripsikan. Pola pemotongan fragmen DNA pada penelitian ini berbeda dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis ternak. Hal ini dikarenakan susunan basa pada setiap individu berbeda sehingga daerah pengenalan dan pemotongan
enzim restriksinya pun berbeda pula, sehingga pita hasil
pemotongannya dapat berbeda ukuran. Identifikasi keragaman gen GHRH pada sapi telah dilakukan dengan metode PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi HaeIII oleh Moody et al. (1995) yang melaporkan adanya dua jenis alel yaitu alel A dan alel B dengan tiga jenis genotipe yaitu AA, AB dan BB. Ternak sapi dikatakan mempunyai genotipe AA apabila pola pemotongan enzim restriksi menghasilkan tiga fragmen DNA dengan panjang 317 pb, 83 pb dan 55 pb. Genotipe AB apabila terdapat fragmen yang terpotong
menghasilkan lima fragmen DNA dengan panjang 317 pb, 196 pb, 121 pb, 83 pb dan 55 pb. Genotipe BB apabila fragmen DNA terpotong di 196bp, 121bp, 83bp, 55bp, menghasilkan empat pola pemotongan fragmen DNA. Kmiéc et al. (2007) melaporkan adanya keragaman gen GHRH/HaeIII pada ternak sapi Limousin dengan metode PCR-RFLP. Produk PCR sepanjang 296 pb dapat terpotong dan menghasilkan dua jenis alel yaitu alel A dan alel B serta menghasilkan tiga genotipe yang memiliki pola pemotongan fragmen 194, 55 dan 48 bp (BB); 242, 194, 55 dan 48 bp (AB) dan 242, 55 dan 48bp (AA). Sedangkan Franco et al. (2005) melaporkan terdapat keragaman gen GHRH pada babi Landrace yaitu alel A dengan keragaman fragmen pada 250 pb dan alel B dengan keragaman fragmen pada 230 pb.
Keragaman Gen GHRH Kerbau Lokal Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen GHRH pada kerbau lokal bersifat polimorfik (beragam) pada semua populasi dari empat daerah di Indonesia. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 (99%). Keragaman genetik terjadi apabila terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (biasanya lebih dari 1%) (Nei, 1987). Persentase keberhasilan pendeteksian keragaman Gen GHRH dengan metode PCR-RFLP dalam penelitian ini sebesar 76,56%, yaitu dari 320 sampel dapat diidentifikasi keragaman gen GHRH sebanyak 245 sampel. Nilai frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen GHRH kerbau lokal disajikan pada Tabel 3. Genotipe yang ditemukan pada penelitian ini yaitu AA (0%), AB (36%) dan BB (64%). Nilai frekuensi genotipe AB dan BB pada populasi kerbau Semarang (Jawa Tengah) yaitu 30% dan 70% dengan frekuensi alel A (15%) dan alel B (85%), frekuensi genotipe AB dan BB kerbau Mataram yaitu 37% dan 63% dengan frekuensi alel A (19%) dan alel B (81%), populasi kerbau Medan mempunyai frekuensi genotipe AB dan BB sebesar 3% dan 97% dengan frekuensi alel A (2%) dan alel B (98%), sedangkan untuk kerbau pada populasi daerah Banten memiliki nilai frekuensi genotipe AB dan BB sebesar 80% dan 20% dengan frekuensi alel A (4%) dan alel B (6%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau Medan (98%) (Tabel 3).
Tabel 3. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen GHRH-HaeIII Kerbau Lokal Daerah Semarang
Jumlah Sampel (n) 61
Mataram
86
Medan
53
Banten
45
Total
245
Genotipe AA (0) AB (18) BB (43) AA (0) AB (32) BB (54) AA (0) AB (2) BB (51) AA (0) AB (36) BB (9) AA (0) AB (88) BB (157)
Frekuensi Genotipe 0,000 0,705 0,295 0,000 0,372 0,628 0, 000 0,038 0,962 0,000 0,800 0,200 0,000 0,360 0,640
Frekuensi Alel A = 0,147 B = 0,853 A = 0,186 B = 0,814 A = 0,019 B = 0,981 A = 0,400 B = 0,600 A = 0,180 B = 0,820
Nilai frekuensi genotipe tertinggi kerbau lokal dalam penelitian ini adalah genotipe BB yaitu sebesar 64%, sedangkan genotipe AA tidak ditemukan dari 320 sampel yang berasal dari empat daerah di Indonesia. Kerbau lokal yang berasal dari empat daerah di Indonesia dalam penelitian ini memiliki frekuensi alel B yang lebih tinggi dibandingkan alel A pada semua populasi. Hasil penelitian ini serupa dengan beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya yang menyebutkan bahwa genotipe AA jarang ditemukan pada gen GHRH (Moody et al.,1995). Penelitian yang dilakukan oleh Dybus et al. (2003) membuktikan bahwa sapi Limousin yang dilahirkan dengan genotipe homozigot GHRHA/GHRHA lebih rendah (p≤0,01) daripada yang dilahirkan dengan genotipe GHRHA/GHRHB dan GHRHB/GHRHB. Menurut Moody et al. (1995) GHRHA merupakan alel yang berpengaruh terhadap persentase lemak dan dalam penelitiannya membuktikan bahwa adanya hubungan antara keragaman GHRH/HaeIII dan sifat produksi susu pada ternak sapi Fresian Holstein (FH). Individu yang memiliki genotipe GHRHA/GHRHA secara signifikan mempunyai persentase dan produksi lemak susu yang lebih tinggi. Hasil yang sama dilaporkan Dybus dan Grzesiak (2006) yang menyebutkan bahwa genotipe gen GHRHA tidak berpengaruh terhadap produksi susu akan tetapi sapi
yang memiliki satu atau dua alel GHRHA dapat menghasilkan lebih banyak lemak dalam susunya. Kmiec et al (2007) melaporkan dalam penelitiannya pada ternak sapi perah diperoleh frekuensi genotipe
GHRHA/GHRHA sebesar 9,6%, genotipe
GHRHA/GHRHB 37% dan genotipe GHRHB/GHRHB sebesar 53,4%. Frekuensi alel GHRHA sebesar 28,1% dan Frekuensi alel GHRHB sebesar 79,1%. Penelitian tersebut menunjukkkan adanya keragaman sekuen gen GHRH/HaeIII dan menghasilkan nilai yang lebih tinggi untuk analisis sifat produksi susu yang meliputi produksi susu (kg), produksi lemak susu (kg), protein susu (kg), juga total lemak dan protein (kg) serta kandungan lemak dan protein (%) pada sapi dengan genotipe GHRHA/GHRHA. Pierzchala et al. (2003) melaporkan keragaman gen GHRH dengan enzim restriksi AluI dan hubungannya dengan laju pertumbuhan dan kualitas karkas pada ternak babi. Keragaman gen GHRH/aluI menghasilkan Frekuensi genotipe AA (8,8%), AB (61,8%) dan BB (27,97%). Ketebalan lemak pundak berhubungan dengan genotipe AA. Ternak babi dengan genotipe AB menunjukkan berat lemak babi yang lebih rendah tetapi lebih tinggi kandungan dagingnya dibandingkan genotipe AA. Menurut Cheong et al. (2006) Gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk produksi daging. Hasil yang diperoleh dalam penelitiannya menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara keragaman gen GHRH dengan sifat karkas yang meliputi bobot karkas dan perototan bagian longisimus pada ternak pedaging asli Korea (Hanwoo). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keragaman GHRH dapat menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap produksi karkas pada ternak pedaging. Nilai Heterozigositas Heterozigositas disebut juga sebagai keragaman genetik. Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur keragaman genetik suatu populasi (Nei, 1987). Nilai heterozigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel, jumlah alel dan frekuensi alel. Nilai heterozigositas kerbau lokal pada penelitian ini berkisar antara 0,037 – 0,485 (Tabel 4).
Tabel 4. Nilai heterozigositas (ĥ) dan Rataan Heterozigositas (Ĥ) Gen GHRH Kerbau Lokal Daerah
ĥ ± SE
Ĥ
Semarang
0,252 ± 0,045
0,270 ± 0,024
Mataram
0,305 ± 0,003
Medan
0,037 ± 0,026
Banten
0,485 ± 0,022
Total
0,461 ± 0,022
Populasi kerbau lokal di daerah Medan mempunyai nilai heterozigositas paling rendah yaitu 0,037. Rendahnya nilai heterozigositas ini kemungkinan besar diakibatkan oleh rendahnya frekuensi salah satu alel dalam populasi kerbau Medan. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi kerbau lokal di daerah Banten yaitu sebesar 0,485. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerbau lokal pada populasi Banten memiliki keragaman gen GHRH paling tinggi dari keempat populasi dalam penelitian ini. Nilai heterozigositas total dari empat populasi kerbau lokal di Indonesia yaitu sebesar 0,461, sedangkan nilai heterozigositas rata – rata dari keempat populasi yang diamati adalah sebesar 0,270. Nilai heterozigositas kerbau lokal dalam penelitian ini dapat dikatakan rendah jika dibandingkan nilai keragaman genetik yang telah ditemukan pada beberapa jenis ternak lain. Sumantri et al. (2006) melaporkan dalam penelitiannya pada DNA mikrosatelit sapi perah FH bahwa nilai heterozigositas per lokus (ĥ) paling rendah 0,6151 untuk lokus BM415 dan tertinggi 0,7301 untuk lokus BM888 dengan rataan heterozigositas (Ĥ) untuk kedelapan lokus sebesar 0,6768. Nilai rataan heterozigositas dalam penelitian Hidayat (2004) pada DNA mikrosatelit lokus CSSM018 dan IDVGA-30 domba garut yaitu 0,6899. Sedangkan Fauzi (2006) menyebutkan bahwa rataan nilai heterozigositas DNA mikrosatelit pada ternak domba lokal lokus CSSM018, ILSTS054 dan IDVGA-30 berkisar antara 0,4645 – 0,4694.
Indeks Fiksasi Indeks fiksasi dapat digunakan untuk mengetahui pola perkawinan dan seleksi yang dilakukan dalam populasi. Indeks fiksasi bisa bernilai positif maupun negatif, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya inbreeding, seleksi dan kawin tidak acak. Nilai indeks fiksasi gen GHRH kerbau lokal dari empat populasi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 5. Indeks fiksasi gen GHRH pada keempat populasi kerbau lokal dalam penelitian ini tidak sama dengan nol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada keempat populasi kerbau lokal di Indonesia tidak terjadi fiksasi gen GHRH. Tabel 5. Nilai Indeks Fiksasi Gen GHRH Kerbau Lokal Daerah
Alel
FIski
Semarang
A
-0,175
B
-3,450
A
-0,229
B
-0,228
A
-0,019
B
-0,019
A
-0,666
B
-0,666
A
-0,218
B
-0,197
Mataram
Medan
Banten
Total
Jarak Genetik dan Pohon Genetik Gen GHRH Jarak genetik adalah ukuran perbedaan material genetik diantara individu yang berbeda spesies atau pun individu dengan spesies sama. Hubungan kekerabatan dari beberapa kerbau
lokal berdasarkan gen GHRH dapat diketahui dengan
menghitung jarak genetik menggunakan rumus Nei (1987). Semakin kecil nilai jarak genetik antar populasi semakin dekat hubungan kekerabatan antar populasi tersebut, sebaliknya semakin besar nilai jarak genetik antar populasi maka semakin jauh hubungan kekerabatan antar populasi tersebut. Hasil analisis jarak genetik
berdasarkan gen GHRH antara empat populasi kerbau lokal di Indonesia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Jarak Genetik Gen GHRH Kerbau Lokal Daerah Semarang Mataram Medan Banten
Semarang 0,000 0,001 0,012 0,089
Daerah Mataram 0,000 0,023 0,064
Medan
Banten
0,000 0,171
0,000
Jarak genetik dapat digunakan untuk membuat dendogram (pohon filogeni) yang dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan kekerabatan antara populasi. Menurut Nei (1987) hubungan kekerabatan antar populasi dapat diketahui dengan menggunakan metode yang paling sederhana rata – rata jarak genetik UPGMA (Unweighted Pair-Group Methode with Arithmetic mean). Hubungan kekerabatan antara empat populasi kerbau lokal ditunjukkan pada Gambar 5.
Semarang 0,001
0,017
Mataram
0,108 Medan
Banten
Gambar 5. Dendogram Pohon Genetik Berdasarkan Gen GHRH pada Empat Populasi Kerbau Lokal Indonesia.
Nilai jarak genetik terkecil adalah kerbau lokal Mataram dengan kerbau lokal Semarang, yaitu 0,001 yang menunjukkan bahwa antara kedua populasi tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Hal ini diduga terjadi karena adanya penyebaran dan pola migrasi. Sedangkan nilai jarak genetik terbesar yaitu antara kerbau lokal Medan dengan kerbau lokal Banten sebesar 0,202, yang menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan antara kedua populasi kerbau lokal tersebut jauh. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui keragaman gen GHRH pada kerbau lokal di Indonesia sehingga informasi yang diperoleh masih sangat sedikit untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya agar dapat menganalisis hubungan antar tipe maupun genotipe gen GHRH dengan sifat – sifat kuantitatif kerbau lokal Indonesia, sehingga dapat dilakukan seleksi terhadap kerbau lokal Indonesia sebagai ternak penghasil daging.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Gen GHRH pada populasi kerbau lokal di Indonesia bersifat polimorfik (beragam). Identifikasi keragaman gen GHRH pada kerbau lokal Indonesia dengan teknik PCR-RFLP menghasilkan dua alel, yaitu alel A (18%) dan alel B (82%) Genotipe yang diperoleh yaitu AA (0%), AB (36%) dan BB (64%) dengan nilai heterozigositas sebesar 46%. Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel A pada semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi Alel A pada setiap populasi yaitu Semarang (15%), Mataram (19%), Medan (2%) dan Banten (45%). Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel A pada semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi alel B pada setiap populasi yaitu Semarang (85%), Mataram (81%), Medan (98%) dan Banten (48%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau Medan (98%) dengan nilai heterozigositas 4%. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi kerbau di Banten yaitu 48%. Nilai indeks fiksasi gen GHRH menunjukkan bahwa dari keempat populasi kerbau lokal tidak terdapat gen yang terfiksasi dengan nilai indeks fiksasi tidak sama dengan nol. Nilai jarak genetik gen GHRH terkecil yaitu antara populasi kerbau lokal Semarang dan kerbau lokal Mataram (0,001) dan terbesar antara populasi kerbau lokal Medan dan Banten (0,202). Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melakukan analisis hubungan antara keragaman gen GHRH dengan sifat-sifat kuantitatif kerbau lokal Indonesia. Data yang diperoleh selanjutnya dapat dijadikan sebagi acuan dalam melakukan seleksi ternak untuk memperoleh bibit unggul.
UCAPAN TERIMAKASIH Syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.Ir.Cece Sumantri,M.Agr.Sc sebagai pembimbing utama dan Dr.Ir.Achmad Farajallah,M.Si sebagai pembimbing anggota atas segala bimbingan, arahan dan motivasi bagi penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga ALLAH SWT memberikan balasan terbaik atas segala pengorbanan, curahan waktu dan tenaga serta ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir.Hj.Sri Supraptini Mansjoer sebagai pembimbing akademik atas segala motivasi dan nasehatnya. Kepada Dr.Ir.Bambang Suryobroto selaku kepala Lab Zoologi dan dosen-dosen Zoologi atas izin yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian. Kepada Prof.Dr.Ir.Muladno,MSA dan Dr.Ir.Komang G. Wiryawan sebagai dosen penguji atas segala masukannya yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini. Khusus kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta, Hj.Henny Liswara dan H.Tejo Sriwijoyo atas segala motivasi, dukungan, kasih sayang dan do’a yang tak pernah terputus bagi penulis. Segala yang Ibunda dan Ayahanda berikan dalam kehidupan penulis tak kan pernah bisa terbalaskan. Kepada adik-adik tersayang Ulima Dwi P.S. dan Alya Tri A.S. yang selalu memberi warna dalam kehidupan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada A’Eryk A. atas segala bimbingan dan bantuannya selama penelitian hingga terselsesaikannya skripsi ini. Kepada Pak Adi, Pak Khoirul, Ibu Ria, Ibu Bibah, Kak Ogie dan Kak Wildan di Lab Zoologi atas segala bantuannya selama penelitian. Terima kasih kepada sahabatsahabat tercinta di Fakultas Peternakan: 3G(Tha2,Mpit,Tristy,Asti dan Lidi) yang telah memberi suatu arti persahabatan yang indah dan tak kan terlupakan, Wiwin T. yang selalu bersama dalam keseharian, Restu M. atas segala bantuan dan semangatnya, semua rekan di IPTP 42 yang tak mungkin bisa disebutkan satu per satu atas kebersamaan yang penuh makna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia peternakan Indonesia. Amin. Bogor, April 2009 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Achtung, T.T., D.S. Buchanan, C.A. Lents, S.M. Barao dan G.E. Dahl. 2001. Growth hormone response to growth hormone-releasing hormone in beef cows divergently selected for milk production. J. Anim. Sci., 79: 1295-1300. Asoen, N.J.F. 2008. Studi craniometrics dan pendugaan jarak genetik kerbau sungai, kerbau rawa dan silangannya di Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta. Baker, A.R., F. Izydar, B.Colenbrander dan M.M. Bevers. 2000. Effect of growth hormone releasing hormone (GHRH) and Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) on in vitro bovine oocyte maturation. Theriogenology, 53: 1771-1782. Barendse, W., S.M. Armitage, L.M. Kosarek, A. Shalom, B.W. Kirkpatrick, A.M. Ryan, D.L. LI. Claytoni, H.L. Neibergs, N. Zhang, W.M. Grosse, J. Weiss, P. Creighton, F.Miccarthy, M. Ron, A.J. Teale, R. Fries, R.A. Mcgraw, S.S. Moore, M. Georges, M. Soller, J.E. Womack dan D.J.S. Hetzel. 1994. A genetic linkage map of the bovine genome. Nat. Genet. 6: 227-235. Barroso, A., S. Dunner, dan J. Canon. 1999. Technical note: use of PCR-singlestrand conformation polymorphism analysis for detection of Bovine β-casein variants A1, A2, A3, and B. J. Anim. Sci. 77:2629-2632. Bonneau, M. dan B. Laarveld. 1999. Biotechnology in animal nutrition, physiology and health. Livestock Prod. Sci., 59: 223-241. Cheong, H.S., D.H. Yoon, L. H. Kim, B. L. Park, Y.H. Choi, E. R. Chung, Y.M. Cho, E.W. Park, I.C. Cheong, S.J. Oh, S.G. Yi, T. Park dan H.D. Shin. 2006. Growth hormone-releasing hormone (GHRH) polymorphisms associated with carcass traits of meat in Korean cattle. J. BioMed Central Ltd., 1471-2156. Connor E.E., M.S. Ashwell, dan G.E. Dahl. 2005. Characterization and expression of the bovine growth hormone-releasing hormone (GHRH) receptor.Agricultural Research Service.USDA. Beltsville USA. Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi.Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Dybus, A., M. Kmieć, Z. Sobek, W. Pietrzyk, dan B. Wiśniewski. 2003. Associations between growth hormone releasing hormone (GHRH) and pituitary transcription factor 1 (PIT1) genes and production traits of Limousine cattle. Arch. Tierz., Dummerstorf 46 (6): 527-534. Dybus, A. dan W. Grzesiak. 2006. GHRH/HaeIII gene polymorphism and its associations with milk production traits in Polish Black-and-White cattle. Arch. Tierz., Dummerstorf 49 (5): 434-438.
Erdiansyah, E. 2008. Studi keragaman fenotipe dan pendugaan jarak genetik antara kerbau lokal di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Etherton, T.D. dan D.E. Bauman. 1998. Biology of somatotropin in growth and lactation of domestic animals. Physical Rev., 78: 745-61. FAO. 2000. World Watch List for Domestic Animal Diversity. Scherf, B.D. (Ed). Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy. Fauzi, U. 2006. Identifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM018, ILSTS054 dan IDVGA-30 pada domba lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Franco, M. M., R. C. Antunes, H. D. Silva, L. R. Goulart. 2005. Association of PIT1, GH and GHRH polymorphisms with performance and carcass traits in Landrace pigs. J Appl. Genet 46(2) pp. 195-200. Gupta, P.K., R.K. Varshney dan M. Prasad, 2002. Molecular Markers: Principles and Methodology. Dalam: Jain, S.M., D.S. Brar, and B.S. Ahloowalia (Eds.). Molecular Techniques in Crop Improvement. p.9-54. Hidayat. 2004. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit IDVGA-30 dan CSSM018 sebagai penanda sifat cepat tumbuh pada domba garut. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Hidayat, U. 2007. Karakteristik fenotipik kerbau Banten dan Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Jasik, A., dan M. Reichert. 2006 Application of temperature-gradient gel electrophoresis for detection of prion protein gene polymorphisms in Polish Swiniarka sheep. J. Vet. Diagn. Invest. 18:170-274. Kmieć, M., I. K. Luczak, H. Kulig, dan A. Terman. 2007. Association between GHRH/HaeIII restriction polymorphism and milk production traits in a herd of dairy cattle. J. of Anim. and Vet. Adv. 6 (11): 1298-1303. Liu, G., T. Amemiya, dan K. Itoh. 2008. Two-dimensional DNA gel electrophoresis mapping: a novel approach to diversity analysis of bacterial communities in enviromental soil. J. of Bioscience and Bioengineering. 105:127-133. Moody, D. E., D. Pomp, dan W. Barendse. 1995. Restriction fragment length polymorphism in amplification products of the bovine growth hormone releasing hormone gene. J. Anim. Sci. 73 : 3789. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wira Usaha Muda. Bogor. Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York. Ou, J.T., Zhong,J.C., Chen,Z.H., Wu,H. dan Rao,K.Q. 2002. T-A cloning and sequencing analysis on growth hormone releasing hormone gene of Yak. Journal College of Life Science and Technology, Southwest University for Nationalities, 282, Chengdu, Sichuan, China.
Pierzchała, M., T. Blicharski, dan J. Kuryl. 2003. Growth rate and carcass quality in pigs as related to genotype at loci POU1F1/RsaI (Pit1/RsaI) and GHRH/AluI*. J. Anim. Sci. vol. 21 (3) : 159-166. Riady, M. 2006. Implementasi program menuju kecukupan daging 2010 : strategi dan kendala. makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, 5-6 September 2006. Sitorus, A.J. 2008. Studi keragaman fenotipe dan pendugaan jarak genetik kerbau sungai, kerbau rawa dan silangannya di Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Sumantri, C., Perwitasari, D., A. Farajallah, dan A. Anggraeni. 2006. Keragaman DNA mikrosatelit sapi Friesian Holstein (FH) di balai pembibitan ternak unggul (BPTU) sapi perah Baturraden. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Viljoen, G.J., L.H. Nel, dan J.R. Crowther. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook. Springer, Dordrecht, Netherland. Zhou, P., G. W. Kazmer, dan X. Yang. 2000. Bos taurus growth hormone releasing hormone gene, complete cds. GenBank, AF 242855 (2000).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Modifikasi Metode Isolasi DNA Menggunakan Genomic DNA Mini Kit Geneaid Sampel darah ↓ Sentrifugasi 3500 rpm, 10 menit Sel darah putih dipindahkan ke tabung 1,5 ml ↓ + Etoh absolut sampai 1 ml Masukkan ke freezer, 2 jam ↓ Sentrifugasi 7000 rpm, 10 menit Supernatan dibuang + TE sampai 500 µl ↓ Sentrifugasi 7000 rpm, 10 menit Supernatan dibuang + 1 x STE sampai 350 µl + 5 mg/ml proteinase K 10 µl ↓ Inkubasi 56°C, 1 jam + 10 % SDS 40 µl + Bufer GB 250 µl ↓ Inkubasi 70°C, 10 menit + Ethanol 250 µl ↓ Pindahkan ke GD Column ↓ Sentrifugasi 10000 rpm, 3 menit Cairan ditabung penampung dibuang + Bufer W1 400 µl ↓ Sentrifugasi 10000 rpm, 1 menit Cairan ditabung penampung dibuang + Bufer pencuci 600 µl ↓ Sentrifugasi 10000 rpm, 1 menit Cairan ditabung penampung dibuang Pindahkan GD Column ke tabung 1,5 ml ↓ + Bufer pengelusi 100 µl ↓ Sentrifugasi 10000 rpm, 1 menit Didapatkan cairan berisi DNA dalam tabung 1,5 ml
Lampiran 2. Informasi Gen GHRH pada Sapi LOCUS AF242855 9356 bp DNA linear MAM 30-JUL-2000 DEFINITION Bos taurus growth hormone releasing hormone gene, complete cds. ACCESSION AF242855 VERSION AF242855.1 GI:9587127 KEYWORDS . SOURCE Bos taurus (cattle) ORGANISM Bos taurus Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata; Euteleostomi; Mammalia; Eutheria; Laurasiatheria; Cetartiodactyla; Ruminantia; Pecora; Bovidae; Bovinae; Bos. REFERENCE 1 (bases 1 to 9356) AUTHORS Zhou,P., Kazmer,G.W. and Yang,X. TITLE Direct Submission JOURNAL Submitted (08-MAR-2000) Animal Science, University of Connecticut, 3636 Horsebarn Hill Road, Storrs, CT 06269, USA FEATURES Location/Qualifiers source 1..9356 /organism="Bos taurus" /mol_type="genomic DNA" /db_xref="taxon:9913" mRNA join(65..128,4340..4440,4707..4811,7048..7167,9337..>9356) /product="growth hormone releasing hormone" exon 65..128 /number=1 exon 4340..4440 /number=2 CDS join(4361..4440,4707..4811,7048..7167,9337..9352) /codon_start=1 /product="growth hormone releasing hormone" /protein_id="AAF89171.1" /db_xref="GI:9587128" /translation="MLLWVFFLVTLTLSSGSHGSLPSQPLRIPRYADAIFTNSYRKVL GQLSARKLLQDIMNRQQGERNQEQGAKVRLGRQVDGVWTDQQQMALESTLVSLLQERR NSQG" exon 4707..4811 /number=3 exon 7048..7167 /number=4 exon 9337..>9356 /number=5 ORIGIN 1 gacgctgaca acgcttaggc aaataaaggt ataattggtg ggagcgccac gcagccgctg 61 gagcagacgc cgaggcctgt ggagctggag cgacctctca ctgcagagga agacctgcct 121 ccttggaggt gagcgggcaa ggggcggggg tggccctggg ggctggactg gatgggagtg 181 agaacattga gctgctcacc aactcagagg ccccacgttc aagaggccca ctgccatcct 241 ctctgcccct ggactggtga gtacatttga ggccccttgt taggggctcg ggaatatgct 301 ttgaacggtg ggtaccattt tgaggttgtc ttgaatgctt gaacctcagt ccatggggta 361 gtagcagcag acaggtgcca ggtgggctgt caggggcaga tgaggtctcc gtgctttttc 421 aagggtgtgc caggtgggct tccaggacaa atgcatcacc tggcaagatt ctcctgtcaa 481 gcacgggatt ctgccatgga ctacagcttc cctggtggct cagatggtaa agaatctgcc 541 tgcaatgtgg gagacccagg tttgatccct ggatcagcaa gatctcctgg agaagggaat 601 ggctacccac tacagtattc ttacctgaaa aaccccatgg acagaggagt ctgggggcta 661 caggccatgg ggttgtacag agttggacgc gactgagcga ctgacacttt ccaagtggct 721 gtgcaaatca gtaccttgca ctgatcactc agaactgatt caacgtaatt gcctggaaat 781 tgataatatt ttgctttctt gtgcaattgt agctgtgcgc cttactttag gttttagaca
841 cgattatctg cccttggagt actccattac cccccgtttg tctctcaacc cagcattcaa 901 tgatcctaaa gtatttgtat cttttatcac aagccgcctc gaaccctttc tggaagaagg 961 tgaggtgttc ttttgaatga ccattcaaga tgcttcttca tgaataactt agatctcctt 1021 tgacttggaa cactagcggt gaaacagttt ataaagtgaa tcaggacatc attgctttag 1081 ggttcttaaa ttacatagca gaagatttaa aagaggtaaa agattgtttg gtttttttcc 1141 agaagttcaa aagtggcctt gctggtttgt acttgagacc ttacctctgg tggtaactga 1201 aagttgtctg cagaattctt ggagcattcc tggcatgaag tctggcaaaa tgtgccaact 1261 aatgtagatt aagtgcccat ttatcctgag tccagacgac ctcaaatata tctaatcacg 1321 gaattagttt gtaagcatgg tggagagcta actgatacac ataatgacag ccgataaatc 1381 ctaaaatgcc ttcagaacca tccaggaggt gttgatggtg ttcttggact catgcttgat 1441 ttaattcagt gaattctagt ttcttagact cgccctgtgg aagctgtctg ccacgaccac 1501 ttttttattc ctagcggcac aatctatcct catcatacca gcaactggat gattcttgtt 1561 gttttccctc tttgtccaat gggattttgt aaccccgtgg agtagcttat cactggtcag 1621 aagttacaat ggtgttttga cccatccctg gggtacgtgg ttttgggtga atgttgtgct 1681 tcttggttga ccagattatg aggttgccca gcctccctct gaatgatctg gggttactgg 1741 ctttcctgtg acttgactcc caaagtctgc caatctcagg ttattttcag ctcccaaacc 1801 cctgctgtgc acagggacag gccagccaag caggtgttcc tgtctgtccc cttgtctcct 1861 cccagagact cagtaacaaa gagcaaacgc tttcggtctt ctcagaactg ctttccatgt 1921 gcaggggatg aattctggag cgccaccatg aatagggagc cctgtgaata ggggattgta 1981 tcaaagaggc tgccgcgcag agcgggaggc ccattctaga gtgcccactc tgcgactaat 2041 ttgatggagg accatggaaa aacagccctt ctttctgggt tcatttcgtt ggctgtctaa 2101 aactagagct cgtgatacct gctcccgagg gcgagtgtga gggtgggctg tgagggacag 2161 gggggcccag gggctgggaa tccctgggag aaggggtaag cgttggagag gctgagatgg 2221 cgcttaggcc aaaaacaggg gtttgggctt tgccctggag ggagtggaat gccaagggct 2281 tctgagaggt gagagaggtg attgcgagct tggatgtgct caggtcattg aaagagcagc 2341 tggaaagaag gcaagaaagc ccagactgca gctgggagac agaaaaagta gtggtcatgt 2401 caaggagacc cctttgctcc caaagatctc ctgtttaagg aaactccaag cagaggagca 2461 ggtctagaaa agagagatgg gtgtgataat gtgtgatgag gacagaaagc taaagatcct 2521 tggtctgggg agccaaggtc taaatcaggt gcaaaacgca tctaaagggc tcatcgtgtg 2581 gttaaaggta cagaaggtct gggaggcaca gctggtggat gtcaaaggcg aggccatggt 2641 ctcatctttt ctctagcccc gatccttacc agagtggtaa aagcttaaca aatatttgca 2701 ggataagggg acttggactt gacacaatgg gaaaagcttc caaacaggaa aagctgcctg 2761 gaagtaggac acactggctt gaggtagtga gctccctgtc actcacagtg tttgagctga 2821 agctggacca taggctgttg ggggaggggg atggagggga gcacatcaaa gaggaggctc 2881 gcgtttgaga tctggatggc tgctcgctcc ctccagctct gggggtgcaa gggtctcagg 2941 cagcagtgaa cagtccgcag ggatgcttcc tgggatctca aggcctcccg ggtttagtcc 3001 agatcccagt gtctgggaga cggagggtga taccctaaga ggagaagtga gcccagggat 3061 ggaagtggat tcctcctggg ctgccccacc tgccagaaat cccttctgag caggacctgc 3121 cggaaatgga gacactcagg gagatggtgg gccgtgagtt gtctcttgcc ctttccaggg 3181 ccggccaagc atctggaggg gtctgtatgc ccctagaggg gacatctggc tgacaggggg 3241 gtgcctctgg gagatgggaa gtcctgaccc tgaggtgact gagtctccct gagcccagcg 3301 gtttccaccc cgcagtctgg gttgatagca gagcatggcc ctagcagagg cggctctgtc 3361 ccccgtagac tattcttcct aattgctgag aatggtgtca gcaggccccc attaagaata 3421 attacatgat ctatgagatg gttctgccac cgggctcccc aggtccctgg tctcttccag 3481 ggctaaaact cttagacaaa atctaaactt ctggagcaag aggcacagcc attctccctt 3541 ccctccaact ccacacaaga caagacagcc tgccctctga acaggtcctc agagcagagg 3601 tgcgtgaaga ataccccctg tgccaaccac tcacgtcagc cgcctcatct cagttcatgc 3661 tcacatgacc ctaggcagta ggtccagtta tcgagtccat tttgtggata gagaaactga 3721 ggtctggaaa ggagaagccc ctagtcctgg gatgcacagc tagtgatgac caagcctgga 3781 tgtgaacttg ggtttttctg actcagagcc tgagctgtca gctccactca acgctgtcag 3841 tgccacactg ggcaggggag gacttaggca aatatgagaa gctgtttgct cctcccccac 3901 tccagtcttc tcgcctgaag aatccccacg gacagaggag cctggtgggt cgcaaagtgt 3961 cggacgcaac tgaatcgatt tagcacacat tattatatta ttccttgctg aggcctgagt 4021 cccacgtaga atgccctgta ggaagcggta gtttcaccat tgtctttcat tgtatgttca 4081 accctgtgag gtcagcggca tagccttatc atgaccattt tacagatgga gaaaatgagg 4141 ccagagtttg tgactggcag aggcagaact tgaacccagg tgtgtcagac tttgagcctg 4201 ctctgtcttc cctaccccac agcttccaaa agacaaggat catagctctc acggaccagg 4261 ccgagggcca gagctagcag agggcatctc agtgtctatg gctatgcttg accttttctt
4321 cctgtctgtc atttcccagg taccagcaca ggggtgaagg atgctgctct gggtgttctt 4381 cctcgtgacc ctcaccctca gcagcggctc ccacggttcc ctgccttccc agcctctcag 4441 gtaagcagtt ctgagaagag aagcaagaga ggccctttga ggatgcgact cgagctggtc 4501 cccagctggg tcctcaggca gcctcccttg ctcatctctg ggagggtggc agactgagcc 4561 ccagagaggt caccacccag ccctggttcc agccctctct ggggacgagc agggcaagag 4621 gcgacagaaa gacctcacag agaccaagtg agcacagtcc cctgggcctc ccaccccacc 4681 ctttgacctc tgactccttc tactaggatt ccacggtacg cagatgccat cttcactaac 4741 agctaccgga aggttctggg ccagctgtct gcccgcaagc tactccagga tatcatgaac 4801 aggcagcagg ggtgagccgg cgttctcgtg acttctccct gcaccctcgg ttcatcatga 4861 tttggaggaa ccaagtctgg tgtcttcgct tgcacagcag ctgtcacttc tggacttgcc 4921 agggcagaag ggctccagtg tcaaaccttg ccttaaccct taactgataa gtgatcattg 4981 agcatagatg cttgtccctg agttgggctc cagtagtaac actgacagca gtcaccactt 5041 gactgactct accagaaaaa aagactttgc actggtcatc aatatacaac ctggcacagt 5101 gcatagcaag cccttggcag tgtcagccat tatgctcagg ttcttatgtg ctggttccaa 5161 caactttaca aaggatgtcc tcttaccccc atcacacaga agttacatta atagcttcta 5221 aaggacacac agcaatgagt ggcaaaatta gcatccaatc agcctgactg cctaaacatg 5281 ttttaatttt cattttgaaa aaattccaaa cttacagaga agttgcagaa atagtacaaa 5341 gggctttaac atgccctgct ctaagagtca acaattccta atattttttt actatatttg 5401 cttactccat atctggggct tccctgatga ctcagtggta aagaatctgc ctgcaatgca 5461 gaagatgcag gttccatccc tgggtcagga agattccctg gcggaggaaa tggcaaccga 5521 ctccattatt cttgcctgga gaatcccatg gacagaggag cctggcaggc tacagtccat 5581 ggggttgcag aatcagacat gactgagcat gtatacacac acacacacat tctctttctc 5641 tctctctctc tctctctctc tctctgctgc tgctaagtcg cttcattcgt gtccgactct 5701 gtgtgacccc atagactgca gcccaccagg ctcccccgtc cctgggattc tccaggcaag 5761 aacactggag tgggttgcca tttccttctc cagtgcatga aagtaaaagt gaaagtgaag 5821 tcgctcagtt gtgtccgact cccagcgacc ccatggactg cagcctacca ggctcctctg 5881 tccgtgggat tttccaggca agagaactgg agtggggtgc cattgccttc tccattctct 5941 ctctctctct ctctctctat atatatatat atatgggtag atacaggtct agacatatgt 6001 acacaaactc aggtatgatt atgagtatta ttgttttgct gaaccattta agagtgaatt 6061 atagtcatca tgacccttta tccttaagtt cttttgtgtg tctcctctaa tagctaatca 6121 aaggatactc tcttatataa tcacagtata attatcactt agagtccata tttaaatttc 6181 actagttgtc ccaaaatatc ctttataaaa attttaaaat atttttggct gtgtgaggtc 6241 ttagttgtag cacgcaggct cttccattgt gccgcgtgga ctctctggct gtggcacatg 6301 ggcttaggaa ctgtggtgct tgggctcagt tgctctgtgg catgtaggat cttagttccc 6361 ccatcaggga ttgagctcat gttgcctaca ttgcaaggtg gattcttagc cactggacca 6421 ccagggaagt ccctgtaaca attactgatc ttcctcatcc aggactcagt ccagccccag 6481 gtggcattta gtttctttta gtctggatca gttcctcagt ctttatgaca cagacatttt 6541 ttattagtaa aggcagttct tcatagaatg tccctcatat tgggcttgcg ggtgcttcct 6601 catgaataga ttcacattat gcaacagagg taatgcgtcc ttctcggtgc atcctgccgg 6661 gaggcgcgtg ttgtccagtt gtcccattgg tgatcacttg taacccattg gaacccattg 6721 gtgatggtaa ctttgatcac ttgtgtaaca cgacggctgc caggtttctc ctctgttaac 6781 atcttctcct ttgtgcttaa taagtcatct gtgggaagat attttgcaaa tgtgtacttc 6841 acagcctata gtcttcactc ctatacacac tgccttctta aacgctgctg agtctaattc 6901 agctgggtgc aagagtctat gccagatatc gcaataggcc gagggatgca cccccgctct 6961 gctccctttg ccctgaactt tcctaggcct cctccacttc ctactcaaat agcaacttct 7021 gttgttcctc tttttctaat caaacagaga gagaaaccag gagcaaggag caaaggtacg 7081 gcttggccgt caggtggacg gcgtgtggac agaccaacag cagatggcac tggagagcac 7141 cttggtgagc ctgctgcagg agcgcaggtg ggaatatgtg tgtgtgcaca agtgtgaagg 7201 tgtgcacaag tgtgtattga gggacctcag aggcttctgt ccccaagggt agccaggaaa 7261 aggacttccc tcctctccaa gaaaactggg aacgaggtcc gttcttccat acatcaagaa 7321 ccggaagaag gggggacatg tgtgatggag tctggctctc atccactcct gtatctccag 7381 tggagccaga ggccagcctc agtgtctgtg tccagaaatg tccctcactc atgagtcctg 7441 gggataggac ccaggaatct gaatttgaac gagagtccca ggggactctg atgctcctag 7501 tctgagatgc atgccctgga tcccttgcca agttcatcaa actgtaaaat cagagggaga 7561 ccagcccctt ccaacaccct tgggtagagg agattagtgc ttgtgagagg gagagatggg 7621 aatgagtcgc tccccagctc cctgaccctc acaatcctag gaggagtcag ggaagatcag 7681 gagtgagttt tcccatttta cagaggagga aaactgaggc aaagaagaag aagtagctag 7741 ccccaagtca gggactaggc aggcccaaga cctgcctttc ttccccagag ccctccacac
7801 gaactccatt tcttcaaaac gacacgactg tttgcagaaa ctgtgctgta ttttagagcc 7861 cgatttttga actgtgagca caaccatgcc ccagcgtgac tctgccagac acctccagcc 7921 caaactatta agcaaatcca gttcccagca gagttctccg tgtgccccct cgccttcttc 7981 ccagcctgat tagacaccga gagctcagag atctggccaa gtattgtcct ggggagatgc 8041 aagccgcagc aggcggacag gcagagcgta gcagaggtga gaaccaaccc cggaggcagg 8101 atggacacct gagccccagg tctgcttgtg cagccaagtc tttgcacaca gccagtcatc 8161 ttccccgttc ccacctctgt gaagggagca gatttgctcc aatggccacc aaggtcctgg 8221 aggatagaat tcttttttta aataaatgtc cctagagaat aatgcctccc ccctccacac 8281 cgtcccagcc ccgtgcctct catgctggga ttaggtcact attcacctgc ttcagggctc 8341 ccaccaggcc ccagtggggt agagtggccc caaggagggc cacgtcctaa gaatgcaggc 8401 ttggttcctg caggttaaaa gctagaggct tcacagagct gaaagtccta gagcggcagg 8461 aaggccccag aggttgcccc agccattgtt ccccctccag ctcaactgtt gcaaatccca 8521 ggacatgagg cgggggcggg aggggggggg ggcggtgctg agaaaacaga actgctgaat 8581 gaattcttac attaatacgt taagagtaga atgatttggc agttagcagc ctttcatacc 8641 caccatgctt tatgtccata taacagtcct ctaagttaat aagttcaggt ttctccatct 8701 tcccagctct taaaagtcat ccagggactt ccctggtggt ccagtggtta agacttcacc 8761 ttccaatgca gggggcatgg gttcagttcc tggtctggga aataagattc catatgcctt 8821 gtggccaaaa catgaaaaca taaaacagaa gcaatattgt aactaattca gtaaagtctt 8881 ctaaaatggt ccatataaaa aaaaatctta aaaaacaaaa agtcatccaa agatggccag 8941 gctctgggct gaggggatgg ccatggatgg gccagtcttg gtttctgctc tcatggaatt 9001 cataacacac tgaagtagac agaaattaaa caagtacgtg cacagtggat tatttaattt 9061 gtgataaatg gtaagggatg tggtgaacgt gtgtgctgga aagaatgacc tcatctaccc 9121 ctgtttggga gttagaagtg gcttcttcaa gggccagtga ttgtccaggc tctcaatagg 9181 agtgggttgg gagagctggg gctaagactg aggtcatctt gggagtcggt cagtctcaac 9241 attggagtca cggtcaccct agttccaagt gtcctgtcct accttgcctt ggtttcggtg 9301 cccccagact aagctttatc tttctttctg caataggaac tcccaaggat gaagca //
Lampiran 3. Hasil Analisis Jarak Genetik dan Pohon Genetik Analysis of F:\DATA1 Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid Marker Type: Codominant GENETIC DISTANCES NEI'S (1972/1978) IDENTITIES/DISTANCES Nei's original (1972) identity Population 1 2 3 4 1 ***** 2 0,9981 ***** 3 0,9884 0,9772 ***** 4 0,9145 0,9377 0,8426 ***** Nei's original (1972) distance Population 1 2 3 4 1 ***** 2 0,0019 ***** 3 0,0116 0,0230 ***** 4 0,0894 0,0643 0,1713 ***** Nei's unbiased (1978) identity Population 1 2 3 4 1 ***** 2 1,0008 ***** 3 0,9900 0,9787 ***** 4 0,9205 0,9438 0,8471 ***** Nei's unbiased (1978) distance Population 1 2 3 4 1 ***** 2 -,0008 ***** 3 0,0100 0,0215 ***** 4 0,0828 0,0578 0,1659 *****
Analysis of F:\DATA1 Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid Marker Type: Codominant
UPGMA Cluster using Nei's (1972) original distance Node Distance 1 0,0019 1 2 0,0173 1 3 0,1084 1
Includes Populations 2 2 3 2 3 4
Results from bootstrapping 1000 permutations conducted Node Proportion of similar replicates 1 1,0000 2 1,0000 3 1,0000 0 bootstrap replicates produced trees containing ties.