Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENAMPILAN REPRODUKSI TERNAK KERBAU DI PANDEGLANG (Reproductive Performance of Buffalo in Pandeglang) Hastono, Talib C, Herawati T Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT This study was conducted in Pasir Picung kampong, Cibarani village, Saketi sub-district of Pandeglang district in 2013. Parameter measured was buffalo’s reproductive performance such as: signs of estrus, time of mating, age of first mating, mating system, service per conception, postpartum mating and maximum age of breeding stock. Result showed that only 50% of farmers who know the signs of estrus. Age of bull and cow at first mating were respectively 2.8 and 1.7 years; while length of postpartum mating was 6 months. The mating system done by natural or artificial insemination (AI), while service per conception using AI was one time, however, service per conception for natural mating was not known. Maximum age for breeding stock was after 6-12 times of parturition. Farmer minimal knowledge in reproduction was one of many factors that caused the lengthy calving interval (more than 16 months) in this study. Key Words: Reproduction, Buffalo, Artificial Insemination ABSTRAK Penelitian dilakukan di Dusun Pasir Picung, Desa Cibarani, Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang tahun 2013. Parameter yang diamati adalah penampilan reproduksi ternak kerbau meliputi: tanda-tanda birahi, waktu mengawinkan, umur pertama kali kawin, sistem perkawinan, frekwensi perkawinan sampai bunting, kawin kembali setelah beranak dan batas umur ternak kerbau digunakan sebagai bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 50% peternak yang mengetahui tanda-tanda birahi, umur pertama kali kawin kerbau betina dan jantan masing-masing adalah 2,8 dan 1,7 tahun; kawin kembali setelah beranak adalah 6 bulan; sistem perkawinan alam dan inseminasi buatan (IB), frekwensi perkawinan sampai bunting dengan teknik IB adalah 1 kali. Sementara itu, melalui perkawinan alam tidak diketahui. Batas umur digunakan sebagai bibit berkisar antara 6-12 kali beranak. Pengetahuan peternak yang minimal tentang reproduksi adalah salah satu penyebab panjangnya calving interval pada ternak kerbau dalam penelitian ini yang mencapai lebih dari 16 bulan. Kata Kunci: Reproduksi, Kerbau, Inseminasi Buatan
PENDAHULUAN Dalam rangka mensukseskan program Pemerintah mengenai sewasembada daging, salah satunya adalah daging kerbau termasuk didalamnya. Swasembada daging erat kaitanya dengan produktivitas ternak baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas ternak yang dimaksud adalah besaran bobot hidup per individu diatas rata-rata. Sementara itu, kuantitas ternak adalah sejumlah ternak setelah diakumulasikan mencapai bobot hidup tertentu. Jadi swasembada daging dapat diperoleh dengan dua cara yaitu: meningkatkan
92
produktivitas ternak perindividu atau dengan cara meningkatkan populasi ternak melalui peningkatan efisiensi reproduksi. Hal tersebut tidak terlepas dari penampilan reproduksi ternak yang bersangkutan. Berbicara reproduksi maka sistem perkawinan akan terlibat didalamnya, baik kawin alam maupun suntik (IB). Kemudian waktu mengawinkan dan jumlah perkawinan memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi reproduksi ternak, karena hal ini menyangkut jarak beranak yang akan ditimbulkannya. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi adalah kegagalan perkawinan sehingga jumlah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
perkawinan meningkat. Sejalan dengan fenomena tersebut, otomatis akan memperpanjang jarak beranak, yang pada akhirnya akan menghambat peningkatan populasi suatu bangsa ternak akibat rendahnya efisiensi reproduksi. Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran mengenai penampilan reproduksi ternak kerbau di lokasi penelitian. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Dusun Pasir Picung, Desa Cibarani Kecamatan Saketi melibatkan peternak kerbau. Metoda penelitan melalui wawancara dengan menggunakan alat bantu quesioner yang didiskusikan pada 30 orang peternak partisipan. Selanjutnya penelitian dilaksanakan melalui pengamatan langsung di lapang baik pada kandang peternak maupun kawasan penggembalaan. Parameter yang diamati adalah penampilan reproduksi ternak kerbau dengan peubah meliputi: tandatanda birahi, umur pertama kali dikawinkan, sistem perkawinan, jumlah kawin sampai bunting, kawin kembali setelah beranak, batas umur ternak kerbau digunakan sebagai bibit dan penggunaan pejantan. Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Mengetahui tanda-tanda birahi Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa para peternak di lokasi penelitian pada umumnya banyak yang belum mengetahu
tanda-tanda birahi. Hanya sebagian peternak yang mengetahui tanda-tanda birahi pada ternak kerbau yaitu kerbau yang sedang birahi akan mengeluarkan lendir, vulva merah, nafsu makan menurun, mengejar jantan, diam bila dinaiki pejantan dan gelisah. Secara keseluruhan bila dirangkum maka para peternak mengetahui tanda-tanda birahi tersebut. Tetapi secara perorangan mereka hanya mengetahui sebagian dari tanda–tanda birahi tersebut, yang tentu saja hal ini akan mengurangi efektifitas perkawinan, karena peternak tidak memberikan perhatian yang cukup pada ternak yang sedang birahi. Tandatanda birahi yang disebutkan oleh para peternak tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Putu (2003) yang menerangkan bahwa tingkah laku homo seksual pada kerbau betina baik yang aktif menaiki ataupun yang diam saja bila dinaiki oleh betina lainnya menunjukkan bahwa kerbau tersebut dalam keadaan birahi. Toelihere (1981) menyatakan bahwa tandatanda birahi pada ternak kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan mendorong keluarnya lendir tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi. Penampilan reproduksi ternak kerbau hasil penelitian ini secara keseluruhan tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Penampilan reproduksi ternak kerbau di lokasi penelitian Uraian
Rataan
Minimum
Maksimum
Jantan (tahun)
1,8 ± 0,54
1
3
Betina (tahun)
2,8 ± 0,75
2
3
Umur pertama kali kawin
Jumlah kawin sampai bunting Kawin alam (kali) IB (kali)
Tidak tahu 1,2 ± 0,4
1
2
Kawin kembali setelah beranak (bulan)
6 ± 3,7
3
12
Batas umur sebagai bibit (tahun)
9 ± 3,18
5
12
Penggunaan pejantan (tahun)
3 ± 0,89
2
4
93
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Sistem perkawinan Sistem perkawinan pada umumnya adalah kawin alam, walaupun ada beberapa peternak yang masuk dalam daftar program Pemerintah menggunakan IB melalui penyerentakan birahi. Pada perkawinan alam kerbau betina digembalakan secara bersama-sama dengan kerbau jantan. Bila ada kerbau betina yang birahi maka dapat dipastikan akan terjadi perkawinan walaupun demikian tidak akan diketahui pejantan mana yang mengawininya, apalagi bila dalam areal penggembalaan tersebut terdapat lebih dari satu kerbau jantan. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan beberapa kelemahan diantaranya: 1. Peternak tidak mengetahui kapan pertama kali kerbau betina yang di peliharanya kawin; 2. Luput dari perhatian mengenai tanda-tanda birahi (kerbau betina minta kawin), akibatnya sebagian besar peternak tidak mengetahui tanda-tanda birahi; 3. Peternak tidak mengetahui dengan pejantan mana kerbau betinanya kawin. Hal negative juga dapat terjadi, yaitu jika hanya ada satu kerbau betina yang birahi, maka para kerbau jantanakan mengerubutidan berebut untuk kawin tetapi tidak ada yang berhasil mengawini kerbau betina tersebut secara benar. Keadaan yang terakhir ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perkawinan kembali sesudah melahirkan yang berakhir dengan kebutingan. Dampak lainnya dari perkawinan pada kelompok sendiri adalah meningkatnya level inbreeding, karena tidak menutup kemungkinan pejantan yang mengawininya masih mempunyai hubungan darah kekerabatan yang dekat seperti anak mengawini induknya, atau keponakan mengawini saudara bapak maupun induknya dan sebaliknya. Disisi lain pada kerbau yang dilakukan kawin dengan IB, apabila tidak langsung bunting sementara kerbau yang baru saja di IB tersebut tidak dikandang melainkan di gembalakan, maka tidak menuntup kemugkinan kerbau tersebut akan kawin alam dengan pejantan yang ada pada masa birahi yang masih tersisa karena lama birahi antara 1-3 hari. Jadi akan terjadi kerancuan apakah anak yang diperoleh tersebut hasil IB atau
94
kawin alam, bila kerbau yang di IB tersebut tidak dipantau atau tidak diawasi secara ketat terutama dalam masalah mengandangkan ternak yang sudah di IB tersebut. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan pejantan lain setelah di IB, maka sebaiknya kerbau yang mengikuti program IB yang didahului dengan penyerentakan birahi, dapat dikandangkan menjelang birahi dan 3 hari sesudah birahi untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan pejantan yang tidak direncanakan. Umur pertama kali kawin Pada Tabel 1 tertera bahwa kerbau jantan pertama kali dikawinkan pada umur 1,8 tahun sedang kerbau betina 2,8 tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa ternak kerbau di lokasi penelitian masih terlalu muda untuk dikawinkan. Hal tersebut terjadi karena sistem pemeliharaan digembalakan secara bersama (pedet-ternak dewasa), maka jika ada ternak yang birahi maka perkawinan dapat saja terjadi setiap saat. Berbagai pustaka memaparkan bahwa umur dewasa kelamin kerbau lumpur baik jantan atau betina akan dicapai pada usia 3-4 tahun (Fischer dan Bodhipaksha 1992; Gordon 1996). Hasil lainnya yang lebih detail (Kazimi 1983) melaporkan bahwa kerbau betina dikawinkan pertama kali untuk menghasilkan keturunan yang baik dan sehat adalah pada umur 3,76 tahun di Indonesia. Jainudeen dan Hafez (1992a) menuliskan bahwa kerbau betina baru boleh dikawinkan jika minimal bobot badannya telah mencapai antara 250-275 kg, dan bobot badan tersebut biasanya dicapai pada umur antara 24-36 bulan. Kerbau betina biasanya melahirkan pertama kali pada umur 5 tahun (Estes 1992 dalam Rabie 2011). Jumlah kawin sampai bunting Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah kawin untuk mencapai satu kebuntingan pada kawin alam tidak diketahui, namun pada IB sebanyak 1,2 kali. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Menurut Toelihere (1981) S/C yang normal 1,7-2. Kenyataan di lapang bahwa pada ternak kerbau jumlah perkawinan masih
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
cukup tinggi untuk mengasilkan satu kebuntinmgan. Hasil penelitian Dilaga dalam Arman (2006) menunjukkan bahwa jumlah perkawinan mencapai 3 kali untuk memperoleh satu kebuntingan, yang mengusulkan bahwa perbandingan jumlah kerbau lumpur pejantan dengan betina sebaiknya berada pada kisaran 1: 10 dengan menggunakan sistem perkawinan secara alam agar dapat tercapai mencapai jumlah kebuntingan yang optimal per tahun. Sebaliknya Toelihere (1981) mengatakan bahwa dengan kawin alam seekor pejantan dapat mengawini 50-70 ekor betina dalam setahun. Tentu saja keduanya benar hanya Dilagamengusulkan untuk perkawinan terjadi secara efektif dalam satu siklus birahi (21 hari) dan Toelihere memaparkan jumlah minimal pejantan yang dibutuhkan untuk terjadinya perkawinan dalam rentang waktu setahun dimana pejantan tersebut akan mengawini kerbau-kerbau betina dalam beberapa siklus birahi. Sebaliknya di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) imbangan pejantan dengan betina cukup luas, dimana ditemui pada suatu daerah terdapat 70 ekor kerbau induk dan 2 ekor pejantan atau dengan perbandingan jantan berbanding betina adalah sebesar 1 : 35 (Zulbardi dan Kusumaningrum 2005). di Kaliman Timur imbangan jantan dengan betina adalah 10 pejantan berbanding 170 betina atau 1 : 17 (Kristianto 2006). Selanjutnya Kristianto (2006) melaporkan bahwa dalam satu kelompok ternak yang digembalakan secara bersama maka perkawinan akan berjalan dengan sistem hukum alam dimana pejantan yang terkuatlah yang mempunyai kesempatan terbesar untuk mengawini pertama kali betina yang birahi. Jika dalam hari itu hanya ada seekor betina yang birahi maka pejantan lainnya tidak akan kebagian untuk mengawini. Tetapi jika pada hari yang sama ada beberapa ternak betina yang birahi maka setelah pejantan terkuat meninggalkan betina yang telah dikawini dan mengejar betina lain yang birahi barulah pejantan terkuat kedua menperoleh kesempatan mengawini, kemudian disusul oleh pejantar terkuat berikutnya dan pejantan pecundang memperoleh giliran terakhir. Akibatnya seekor betina dapat dikawini banyak pejantan, bisa sampai 3 ekor pejantan (Dwiyanto dan Handiwirawan 2006).
Yang jadi masalah disini adalah bila pejantan yang mengawini tersebut memiliki hubungan kekerabatan, maka akan terjadi inbreeding. Jika pejantan pecundang (biasanya berusia muda dan bertubuh kecil) yang beruntung, dimana semennyalah yang mampu membuahi sel telur kerbau betina tersebut, maka tentu saja pedet kerbau yang akan dilahirkan padawaktunya nanti akan mempunyai bobot lahir yang kecil dengan peluang hidup yang juga kecil. Kawin setelah beranak Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata periode waktu yang dibutuhkan kerbau induk untuk kawin kembali setelah beranak adalah sebesar 6 bulan. Peubah ini akan menentukan jarak beranak, bila umur kebuntingan rata-rata mencapai 10 bulan, maka diperkirakan jarak beranak kerbau di lokasi penelitian berada lebih besar dari 16 bulan, karena jumlah perkawinan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh satu kebuntingan tidak diketahui. Hasil penelitian ini masih berada dalam renrtang waktu yang didapatkan oleh Zulbardi dan Kusumaningrum (2005) yang menunjukkan bahwa pada umumnya atau 63,3% kerbau induk akan dikawinkan kembali 2 bulan setelah beranak, dan sisanya sebesar 36,63% perkawinan baru dimulai setelah beranak lebih dari dua bulan. Hanya tidak dilaporkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya perkawinan yang diakhiri dengan kebuntingan. Kenyataanya dilapang jarak beranak kerbau yang dipelihara sebagian besar peternak masih relatif panjang yakni 20-24 bulan (Dwiyanto dan Handiwirawan 2006). Batas umur produktif sebagai bibit Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa para peternak memlihara induk rata-rata sampai 9 kali beranak dengan kisaran antar 5 sampai 12 kali beranak. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau yang dipelihara di lokasi penelitan masih produktif antara umur 11,5 tahun sampai umur 22 tahun dengan rataan 17,5 tahun, perhitungan ini diperoleh dengan catatan rataan jarak beranak dan umur pertama kali beranak masing–masing adalah 18 dan 48
95
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
bulan. Hasil ini lebih rendah dengan apa yang diutarakan oleh Toelihere (1981) yang menerangkan bahwa ternak kerbau dapat dipelihara sampai umur 25 tahun dengan 20 kali beranak. Dari hasil-hasil ini maka kita perlu meletakan penghargaan yang tinggi pada ternak kerbau, karena umur produktif yang demikian tinggi ini, jelas-jelas jauh melebihi apa yang ditunjukkan oleh ternak sapi yaitu hanya antara umur 10-12 tahun (5-7 kali beranak). Hanya saja karena informasi ini masih kurang populer sehingga ternak kerbau masih tetap di nomor duakan dinegeri ini. Penggunaan pejantan Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kerbau jantan yang digunakan sebagai pemacek bukanlah pejantan yang sengaja dipilih sebagai pejantan, melainkan adalah pejantan yang dipelihara untuk beberapa lama yang kemudian akan dijual jika ada penawaran harga jual yang cocok dari pembeli. Jadi tepat sekali bila di lokasi penelitian tersebut dilaksanakan program IB walaupun diketahui bahwa tingkat kebuntingan hasil IB masih cukup rendah yakni sekitar 30% pada kondisi lapangan dan pada kondisi stasiun percobaan 60% (Situmorang dan Sitepu 1991). Namun demikian guna menunjang peningkatan populasi, sementara kerbau jantan langka, maka kawin secara IB lah yang paling tepat untuk saat ini. Apapun alasannya, kawin alam pun masih sangat diperlukan, oleh karena itu kerbau jantan unggul sebagai pemacak harus tetap tersedia di suatu wilayah atau lokasi penelitian terutama pejantan yang sengaja dipilih untuk dijadikan pejantan, yang tentunya dibutuhkan bantuan dari pemerintah daerah sebagai pembina pada peternak. Sebagaimana Jill (2006) menerangkan bahwa pada sekelompok sapi perah induk yang berjumlah 600-800 ekor system perkawinan menggunakan IB selama 6 minggu, selebihnya dilakukan kawin alam dengan menggunakan pejantan untuk mengawini sapi perah induk yang mengalami birahi tenang. Jumlah pejantan yang digunakan adalah 4 ekor dengan perincian 3 ekor untuk 100 betina dan 1 ekor pejantan lagi sebagai cadangan. Pejantan disatukan dengan betina dalam kandang kelompok selama 12 minggu. Contoh inipun dapat dicontoh oleh peternak
96
kerbau agar penggunaan pejantan dapat menjadi efektif dan hanya dibutuhkan dalam kurun waktu yang singkat. Setelah digunakan dapat dijual dan pada musim kawin berikutnya dapat diadakan kembali dengan uang hasil penjualan pejantan sebelumnya. Pada Tabel 1. Tertera bahwa kerbau jantan dipelihara peternak paling cepat sampai umur 2 tahun dan paling lama sampai umur 4 tahun dengan rataan selama 3 tahun. Alasan peternak tidak memelihara kerbau jantannya berlamalama dikarenakan oleh beberapa sebab, diantaranya yaitu: 1. Kerbau jantan tidak menghasilkan banyak uang karena tidak dapat beranak. 2. Kerbau jantan sulit dirawat karena suka pergi meninggalkan tempat untuk mencari betina yang sedang birahi, sampai-sampai berada jauh dari tempat asalnya bahkan bisa berada di luar kampung. Disisi lain peternak lebih suka menjual kerbau jantannya dibanding dengan kerbau betina, karena selain untuk menutupi kebutuhan hidup juga harganya lebih mahal dibanding kerbau betina. Umur juga sangat menentukan harga, kerbau jantan yang paling mahal dipasar ketika dia berumur sekitar 4 tahun, maka tidak heran kalau pejantan yang baik dengan tubuh kekar dengan umur 4 tahun lebih sangat langka di jumpai pada sekelompok ternak. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa imbangan jantan dan betina adalah 1 : 14. Hasil ini lebih besar bila dibanding dengan hasil yang diperoleh Dilaga et al. (2003) dalam Arman (2006) yakni 1 : 1 tetapi hampir sama bila dibandingkan dengan yang diperoleh Kristianto (2006), di Kalimantan Timur yaitu perbandingan jantan : betina sebesar 1 : 17. KESIMPULAN Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum penampilan reprodusi ternak kerbau di lokasi penelitian masih sama dengan penampilan reproduksi ternak kerbau yang berada di lokasi lainnya di tanah air Indonesia yakni ditandai dengan masih panjangnya jarak beranak mencapai lebih dari 12 bulan atau sekitar 16 bulan. Walaupun demikian secara khusus dapat ditunjukkan bahwa ternyata umur produktif kerbau lumpur
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
sangat panjang sehingga jika perkawinan dapat diefektifkan untuk menurunkan selang kelahiran (calving interval) dengan menggunakan pejantan yang baik maka ternak kerbau dapat menjadi andalan baru dalam swasembada daging sapi dan kerbau di Tanah Air. Disarankan agar kerbau yang perkawinannya dilaksanakan dengan IB agar dijaga betul-betul sehingga tidak dikawini oleh kerbau lain yang tidak diinginkan. DAFTAR PUSTAKA Arman C. 2006. Penyigian Karakteristik Reproduksi Kerbau Sumbawa. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Haryanto B, Djajanegara A, Priyanti A, Handiwirawan E, penyunting. Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 219-226. Dwiyanto K, Handiwirawan E. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Haryanto B, Djajanegara A, Priyanti A, Handiwirawan E, penyunting. Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sumbawa (Indones). hlm. 3-12. Fischer H, Bodhipaksha P. 1992: Reproduction in swamp buffaloes. In: Buffalo Production. Tulloh, NM. and Holmes, JHG.(eds.). 1st ed. Elsiever Science Publisher, Amesterdam, Netherland. Gordon I. 1996: Controlled Reproduction in Cattle and Buffaloes. 1st ed. CAB International, Willingford, UK.PP. 432-466. Jainudeen MR, Hafez ESE. 1992. Reproductive failure in females. In: Reproduction in farm animals. 6th edition, Hafez ESE. (ed.). Lea & Febiger.
Jill G. 2006. Dairy Cow Mating. Health News 31 October 2006. Manawatu Standard. via ProQuest Information and Learning Company; All Rights Reserved. hlm. 219-226. Kazimi SE. 1983: Observations on behavioural changes during oestrus in Nili-Ravi buffalo heifers. Pakistan Vet J. 3: 88- 90. Kristianto LK. 2006. Pengembangan Perbibitan Kerbau Kalang Dalam Menunjang Agrobisnis dan Agowisata di Kalimantan Timur. Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Haryanto B, Djajanegara A, Priyanti A, Handiwirawan E, penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sumbawa (Indones). hlm. 208-212. Putu IG. 2003. Aplikasi Teknologi Reproduksi Untuk Peningkatan Performans Produksi Ternak Kerbau Di Indonesia. Wartazoa 13:172-180. Rabie F. 2011. Buffalo Sexual and Maternal Behaviour. Faculty of Veterinary Medicine, Cairo University. http://members.tripod.com/ esarf_bcg/buffalo/sexbehav.html. Ditayangkan pada Rabu jam 11 WIB tanggal 13 April 2011. Situmorang P, Sitepu P. 1991. Comparative growth performance, semen quality and draught capacity of the Indonesian swamp buffalo and its crosses. ACIAR Proc. No. 34:102-112. Toelihere MR. 1981. Inseminasi Buatan pada ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Zulbardi M, Kusumaningrum DA. 2005. Penampilan Produksi Ternak Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 310-315.
97