KAJIAN PENAMPILAN REPRODUKSI IKAN LELE (Clarias gariepinus) BETINA MELALUI PENAMBAHAN ASCORBYL PHOSPHATE MAGNESIUM SEBAGAI SUMBER VITAMIN C DAN IMPLANTASI DENGAN ESTRADIOL-17β
HENGKY JULIUS SINJAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ Kajian Penampilan Reproduksi Induk Ikan Lele (Clarias gariepinus) Betina melalui Penambahan Ascorbyl Phosphate Magnesium sebagai Sumber Vitamin C pada Pakan dan Implantasi Estradiol-17β ”
adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi di mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
Hengky Julius Sinjal NIM C061020041
Ringkasan Hengky Julius Sinjal. Kajian Penampilan Reproduksi Ikan Lele (Clarias gariepinus) betina melalui Penambahan Ascorbyl Phosphate Magnesium Sebagai Sumber Vitamin C pada Pakan dan Implantasi Estradiol-17β. Komisi Pembimbing: M. Zairin Jr, R. Affandi, B. Purwantara, dan W. Manalu. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh kombinasi ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi estradiol-17β pada kecepatan pematangan gonad, kualitas telur, dan larva ikan lele (Clarias gariepinus). Dalam percobaan ini ikan diberikan beberapa kombinasi perlakuan yang terdiri atas 2 faktor, yaitu penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan dengan dosis 0, 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 17-β dengan dosis 00, 250, dan 500 μg/kg induk ikan, sehingga jumlah kombinasi perlakuan adalah 12. Delapan belas ekor induk dengan berat 250–328 gr ditebar ke dalam jaring apung (3X2X2m) untuk satu perlakuan sehingga terdapat 12 buah jaring apung dengan total induk ikan berjumlah 216 ekor. Pakan diberikan dua kali sehari secara at satiation. Pemeriksaan kematangan gonad dilakukan dua minggu sekali dengan menggunakan metode kanulasi, bersamaan waktunya dilakukan pengambilan sampel darah dengan menggunakan spuit 2.5 ml yang berheparin untuk keperluan analisis kandungan estradiol plasma darah. Induk yang telah matang gonad diinjeksi dengan ovaprim sebanyak 2 kali untuk memacu ovulasi. Telur-telur yang dihasilkan oleh induk betina ditetaskan di akuarium, kemudian dihitung daya tetas telurnya, dan persentase larva abnormal yang dihasilkan induk tersebut. Ketahanan larva diuji dengan memelihara larva sebanyak 100 ekor tanpa diberi makan. Larva diamati setiap hari dan mortalitasnya dicatat. Jika larva yang hidup tinggal 20 ekor (20%) maka pengamatan larva diakhiri. Kandungan vitamin C, protein, fosfolipid, lemak, prolin, dan hidroksiprolin dianalisis pada ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari. Berdasarkan evaluasi kombinasi penambahan ascorbyl phosphate magnesium dan implantasi estradiol pada induk ikan lele memperlihatkan respons nyata pada kinerja penampilan reproduksi yang meliputi kecepatan pematangan gonad, indeks gonad somatik, fekunditas relatif, daya tetas telur, ketahanan hidup larva, dan larva abnormal yang dihasilkan. Kombinasi yang terbaik untuk mempercepat pematangan gonad dan memperbaiki kualitas telur dan larva adalah kombinasi penambahan ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg pada pakan dan implantasi estradiol-17β dengan dosis 250 μg/kg. Dengan semakin meningkatnya penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan menghasilkan peningkatan kandungan vitamin C pada telur sehingga menghasilkan ketahanan hidup larva yang tinggi dan mengurangi larva abnormal. Kata kunci: Ikan lele (Clarias gariepinus), Ascorbyl phosphate magnesium, estradiol-17β, penampilan reproduksi
ABSTRACT Hengky Julius Sinjal. Study of Reproduction Performance of Female African Catfish (Clarias gariepinus) with Supplemeted by Ascorbyl Phosphate Magnesium as a Source of Vitamin C in Diets and Implanted with Estradiol17β. Advisors: M. Zairin Jr, R. Affandi, B. Purwantara, dan W. Manalu. The experiment was conducted to determine the effect of dietary ascorbyl phospahate magnesium as a source of vitamin C and implanted with estradiol-17β on the gonad maturation, egg and larva quality of African Catfish Clarias gariepinus. Fish were treated by various combinations of dietary dosage of ascorbyl phosphate magnesium (0, 600, 1200, and 1800 mg/kg of feed) and estradiol-17β (00, 250, and 500 μg/kg). Two hundreds sixteen and eighteen pairs of broodstock fish were used for this experiment. Fish were fed with the experimental diets two times a day at satiation. The gonad somatic index, egg diameter, fecundity, hatching rate of the eggs, survival rate, and percentage of abnormal larvae were determined. Results of the experiment indicated that supplementation of ascorbyl phosphate magnesium and estradiol-17β stimulated gonad development and increased hatching rate, fecundity and survival rate, and reduced percentage of abnormal larvae. Combination of ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg feed and estradiol-17β 250 μg/kg gave the best reproductive performance. Key word : African Catfish Clarias gariepinus, Ascorbyl phosphate magnesium, estradiol-17β, reproduction performance
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PENAMPILAN REPRODUKSI IKAN LELE (Clarias gariepinus) BETINA MELALUI PENAMBAHAN ASCORBYL PHOSPHATE MAGNESIUM SEBAGAI SUMBER VITAMIN C DAN IMPLANTASI DENGAN ESTRADIOL-17β
HENGKY JULIUS SINJAL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Budidaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui penambahan ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi dengan estradiol-17β
Nama
: Hengky Julius Sinjal
Nomor Pokok
: C061020041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Jr., M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota
Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Enang Harris, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Jesus yang maha pengasih karena hanya dengan berkat anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Peningkatan produksi perikanan dan peningkatan kualitas dan kuantitas benih ikan merupakan issue yang mendasari penelitian ini, dengan judul ” Kajian Penampilan Reproduksi Induk Ikan Lele (Clarias gariepinus) Betina Melalui Penambahan Ascorbyl Phosphate Magnesium Sebagai Sumber Vitamin C pada Pakan dan Implantasi Estradiol-17β ” Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. M. Zairin Jr., M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ridwan Affandi, DEA dan Bapak Dr. Drh. Bambang Purwantara, M.Sc, Bapak Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan nasihat, petunjuk dan bimbingan yang sangat berharga selama proses penelitian sampai dengan penyelesaian studi. Terima kasih kepada Prof. Dr. Enang Harris, MS. Ketua Program Studi Ilmu Perairan dan DR. Chairul Muluk mantan Ketua Program Studi Ilmu Perairan yang terus memberikan motivasi dan nasehat agar penulis cepat menyelesaikan studi. Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada pimpinan Universitas Sam Ratulangi, dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Manado yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pimpinan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pascasarjana, yang telah menerima penulis untuk belajar dan menyelesaikan studi di lembaga ini. Pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, pemerintaha daerah Sulawesi Utara, dan yayasan mandiri atas bantuan dana penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah mengizinkan penulis melaksanakan penelitian di Instalasi Riset Depok, terima kasih juga kepada Ir. Wayan
Subamia, M.Si. sebagai kepala Instalasi Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar Depok dan staf karyawan yang telah memberi bantuan penggunaan fasilitas penelitian dan bantuan tenaga teknis lapangan selama saya melakukan penelitian. Banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses perkuliahan, penelitian sampai penulisan disertasi; oleh karena itu ucapan terima kasih disampaikan kepada: staf administrasi dan perpustakaan Departemen Budidaya Perairan: Yuli, Hani, Asep, dan Dessy; teknisi laboratorium: Ibu Lina, Bapak Wasjan, Bapak Ranta. Teman-teman di Program Studi Ilmu Perairan: Suradi, Gunarto Lantama, Surya Darwisito, Bambang utomo, Yulfiperius, dan Adharto Utiah; Rekanrekan di Bogor: Anderson Kumenaung, Orbanus Naharia, Nurdin Jusuf, Ridwan Lasabuda, Agung Windarto, Alfret Luasunaung, Adnan Wantasen, Edwin Ngangi, Donata Pandin, Tommy Lolowang, Hasnawaty, Joice Rimper, Jack Mamangkey, Deny Karwur, Erly Kaligis, Hengky Manoppo, Teo Lasut, Ari Mirah, dan Yosep Karamoy. Terima kasih kepada Ayahanda Hendrik Petrus Sinjal (Alm) dan Ibunda Eleonora Lumintang, adik-adik, kakak-kakak, adik-adik ipar dan kakak-kakak ipar, atas bantuan doa dan dana dalam penyelesaian studi penulis. Secara khusus dengan segala ketulusan hati, saya sampaikan terima kasih kepada istriku dan anakku yang tercinta Joshua Nirai Okinawa Sinjal dan Hideyuki William Michael Sinjal yang merupakan sumber inspirasi saya dan dengan penuh pengertian, kesabaran, dan rela ditinggal lama tanpa didampingi secara fisik oleh penulis sebagai seorang ayah. Penulis menyadari bahwa apa yang penulis lakukan masih belum memadai karena keterbatasan waktu dan dana. Oleh karena itu kritik dan saran penyempurnaan selanjutnya penulis sangat dihargai. Diharapkan apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat dalam memacu perkembangan teknologi pembenihan ikan di Indonesia.
Bogor, Agustus 2007 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 19 Juli 1958 sebagai anak dari pasangan Bapak Hendrik Petrus Sinjal (Alm) dan Ibu Eleonora Lumintang. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Manado pada tahun 1970, sedangkan pendidikan menengah tingkat pertama dan menengah tingkat atas jurusan IPA diselesaikan masing-masing pada tahun 1973 dan 1976. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi, Manado masuk pada tahun 1977 dan selesai pada tahun 1985. Pada tahun 1991 penulis melanjutkan studi ke program Master Science pada Program Studi Marine Biology, University of the Ryukyus Okinawa Jepang dan selesai pada tahun 1993. Sejak tahun 1986 penulis telah bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Pada tahun 1995 penulis menikah dengan Ir. Jeane Rimber Indy MSc dan dikaruniai dua orang anak
Joshua Okinawa Nirai Sinjal dan Hideyuki Michael
William Sinjal. Pada tahun 2002 penulis diberi kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan bantuan dana beasiswa pendidikan pascasarjana yang diperoleh dari Departeman Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xii I
II
III
IV
V VI VII
PENDAHULUAN...................................................................................... 1 Latar Belakang........................... ................................................................ 1 Perumusan Masalah.................................................................................... 4 Tujuan dan Manfaat.................................................................................... 6 Hipotesis...................................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 7 7 Kematangan Gonad Ikan............................................................................. Vitelogenesis............................................................................................... 10 Peranan Vitamin C pada Reproduksi Ikan................................................. 12 Peranan Estradiol-17β pada Reproduksi Ikan............................................ 15 Kualitas Telur Ikan..................................................................................... 17 Kerangka Teoretis...................................................................................... 19 METODE PENELITIAN............................................................................ 22 Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................... 22 Bahan dan Alat............................................................................................ 22 Metode Penelitian....................................................................................... 24 Pelaksanaan Penelitian................................................................................ 26 Analisis Data............................................................................................... 30 HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 31 Hasil............................................................................................................ 31 Kecepatan Pematangan Gonad, Indeks Gonad Somatik, Diameter Telur..................................................................................................... 31 Fekunditas, Daya Tetas Telur, Ketahanan Hidup Larva, dan Keabnormalan Larva............................................................................ 37 Kadar Estradiol-17β dalam Plasma Darah........................................... 41 Kandungan Vitamin C Ovarium, Telur, dan Larva............................. 43 46 Kandungan Protein Telur, dan Larva............................................... Kandungan Lemak, Telur dan Larva.................................................... 47 Rasio Hidroksiprolin/Prolin Ovarium dan Larva................................. 48 Pembahasan................................................................................................. 50 KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
69 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 70 LAMPIRAN................................................................................................ 79
DAFTAR TABEL Tabel 1
Halaman
Komposisi pakan dengan penambahan ascorbyl phosphate magnesium 0, 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan....................................................................
23
Komposisi proksimat pakan dengan penambahan ascorbyl phosphate magnesium 0, 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan............................................
24
Perlakuan berbagai kombinasi penambahan ascorbyl phosphate magnesium dan implantasi estradiol-17β.............................................................................
24
4
Kualitas air selama percobaan..........................................................................
27
5
Nilai rataan indeks kematangan gonad, diameter telur, fekunditas, derajat tetas telur, ketahanan hidup larva dan larva abnormal pada ikan lele yang diberikan berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium dan implantasi estradiol-17β ..................................................................................
33
2 3
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1
Proses vitelogenesis pada ikan (Aida et al., 1991)........................................
2
Wadah penelitian yang terbuat dari bambu dengan 12 jaring apung dengan ukuran 3 X 2 X 2 m yang di atasnya ditutupi dengan jaring............................ Nilai rataan lama waktu matang ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β...........................
3 4
16 23 31
Nilai rataan indeks gonad somatik ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan hormon estradiol17β.................................................................................................................
34
Nilai rataan diameter telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan hormon estradiol-17β..............
35
Struktur histologi gonad ikan lele pada kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium 00 mg/kg dan hormon estradiol-17β 00 μg/ml.........
36
Nilai rataan fekunditas relatif ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β...........................
37
Nilai rataan daya tetas telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β..............;............
38
Nilai rataan ketahanan hidup larva ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol17β.................................................................................................................
39
10 Nilai rataan larva abnormal ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol 17β............................
40
11 Gambaran morfologis larva: normal (a) abnormal (b, c, dan, d) dari hasil penetasan induk ikan lele (Clarias gariepinus).............................................
41
5 6 7 8 9
12 Kadar estradiol-17β plasma darah ikan lele pada berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β selama percobaan........................................................................................................ 13 Nilai kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β.......................................................... 14 Nilai kandungan protein pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β........................................................................................... 15 Nilai kandungan vitamin C ovarium ikan lele pada hari ke 0, 42, dan 98 yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β..........................................................................................
42 43 45 46
16 Nilai kandungan fosfolipid telur dan lemak pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β.......................................................... 17 Nilai rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β...........................................................
47 49
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 79
1
Komposisi vitamin mix dan mineral mix………...................................
2
Cara pembuatan pelet hormon estradiol-17β...............................…...
80
3
Prosedur penyiapan preparat histologi gonad.....................................
81
4
Prosedur radioimmunoassai…………………………………………..
84
5
Prosedur analisis lipida nonpolar (Takeuchi, 1988)…..………..……
85
6
Prosedur analisis vitamin C dengan alat HPLC (Schuep et al. 1994).
86
7
Nilai lama waktu matang ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β........... Nilai indeks gonad somatik ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β..........
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
87 87
Nilai diameter telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β.....................
88
Nilai fekunditas ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β.....................
88
Nilai derajat tetas telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β.....................
89
Nilai ketahanan hidup larva ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β............
89
Nilai larva abnormal ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan hormon estradiol-17β........
90
Kandungan vitamin C ovarium ikan lele pada hari ke 0, 42, dan 98 yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β......................................................................... Nilai rataan kadar estradiol (ng/ml) plasma darah ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol yang diambil setiap dua minggu selama 98 hari.................... Kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi estradiol-17β..................................... Kandungan protein pada telur, larva 0, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi estradiol-17β............................................................................ Kandungan fosfolipid dan lemak pada telur, larva 0, dan 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi estradiol-17β.......................................................
90 91 92 92 93
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) pada ovarium, larva 0, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi estradiol17β..................................... Analisis ragam lama waktu matang ikan lele.......................................... Analisis ragam indeks kematangan gonad ikan lele................................ Analisis ragam diameter telur ikan lele................................................... Analisis ragam fekunditas telur ikan lele................................................ Analisis ragam daya tetas telur ikan lele................................................. Analisis ragam ketahanan hidup larva ikan lele...................................... Analisis ragam larva abnormal ikan lele................................................. Analisis ragam kandungan estradiol plasma darah ikan lele berdasarkan waktu pengamatan.............................................................. Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 00 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg………………………....
93 94 94 95 95 96 96 97 98 99
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 00 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg…………..………….....
100
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 00 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg……………......……….
101
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 600 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg…………………….......
102
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 600 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg……………………….
103
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 600 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg……………………….
104
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg………………..……...
105
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg……….…………......
106
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg……………………...
107
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 1800 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg………………..……...
108
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 1800 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg……..……………….
109
Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate magnesium 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg……….……………..
110
Rasio hidrksiprolin/prolin pada ovarium, larva 0 dan larva 2 hari..........
111
Penguji Luar komisi ujian tertutup: Prof. Dr. Ir. Ing Mokoginta, MS Penguji Luar komisi ujian terbuka: 1. Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, MS 2. Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini usaha ke arah tersebut telah dilakukan, namun belum berhasil dengan baik. Kekurangan persediaan benih yang bermutu dalam jumlah dan waktu yang tepat disebabkan oleh belum optimalnya penanganan induk dan larva yang dihasilkan. Perbaikan kualitas dan kuantitas telur melalui perbaikan kualitas pakan induk merupakan alternatif dalam upaya mengatasi masalah tersebut. Kandungan nutrisi pakan ikan adalah salah satu faktor penentu dalam perkembangan oosit, terutama pada awal perkembangan telur. Informasi kebutuhan nutrisi untuk ikan-ikan budi daya yang tersedia umumnya hanya sebatas kebutuhan nutrien makro, seperti lemak dan protein,
sedangkan
informasi kebutuhan mikro nutrien, seperti vitamin dan mineral, masih sangat terbatas. Selain itu, penggunaan mikro nutrien ini dalam ransum pakan induk hanya mengacu kepada kebutuhan ransum secara umum untuk pertumbuhan. Dalam kondisi seperti ini, sulit mengembangkan teknologi produksi benih berkualitas secara massal. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kualitas pakan
termasuk nutrien mikro yang
merupakan faktor penting yang berhubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur yang diproduksi, dan kualitas telur dan larva (Watanabe 1988). Kualitas telur merupakan refleksi keadaan kimia nutrisi kuning telur yang sangat dipengaruhi oleh kesehatan dan gizi pakan yang diterima oleh induk Blaxter (1969). Beberapa nutrien mikro maupun asam-asam lemak esensial yang terkandung dalam ransum pakan ikan akan diakumulasikan dalam telur untuk digunakan sebagai energi maupun senyawa pembentuk jaringan tubuh selama proses perkembangan embrio (embriogenesis) maupun larva. Saat telur menetas, sumber energi untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung pada material bawaan telur yang telah disiapkan oleh induk dan fase ini merupakan fase yang paling kritis. Material telur yang mengalami defisiensi gizi akan menimbulkan gangguan dalam perkembangan larva dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian.
2
Keberadaan nutrien dalam telur ini merupakan akumulasi nutrien pada fase pematangan gonad. Secara alamiah proses vitelogenesis memerlukan interaksi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi vitelogenesis antara lain temperatur, naik turunnya permukaan air, curah hujan, debit air, feromon, dan pakan. Pakan induk yang dapat mempengaruhi vitelogenesis adalah pakan yang berkualitas, yaitu pakan yang mengandung protein, lemak, vitamin E, vitamin C, dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan ikan sebagai bahan pembentuk vitelogenin. Faktor internal adalah ketersediaan hormon-hormon steroid, gonad terutama estradiol-17β dalam tingkat yang dapat merangsang vitelogenesis. Dalam upaya untuk lebih meningkatkan kualitas telur dan larva ikan lele, perlu diadakan perbaikan pengelolaan reproduksi dengan cara mempercepat kematangan gonad melalui penggunaan hormon eksogen dan perbaikan nutrisi induk terutama kebutuhan akan vitamin C. Informasi kebutuhan vitamin C saat siklus reproduksi serta pengaruhnya pada perkembangan ovarium dan perkembangan larva ikan lele belum ada, padahal informasi ini sangat bermanfaat dalam penyusunan ransum yang tepat untuk induk ikan lele sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki penampilan reproduksi ikan tersebut. Vitamin C merupakan salah satu nutrien mikro yang dibutuhkan oleh induk ikan dalam proses reproduksi. Hal ini didasarkan pada adanya fluktuasi kandungan vitamin C ovarium selama berlangsungnya siklus reproduksi pada beberapa spesies ikan dan udang yang ditangkap di alam seperti pada udang Palaemon serratus (Guary et al. 1975), ikan Carassius carassius (Saeymour 1981), Godus morhua (Agrawal dan Mahajan 1980; Sandnes dan Braekkan 1981), Oreochromis sp (Azwar 1997). Kandungan vitamin C dalam ovarium akan meningkat pada awal perkembangannya dan kemudian menurun pada fase akhir sebelum ovulasi. Ikan tidak mampu mensintensis vitamin C (Faster dalam Sandnes 1991) sehingga untuk mempertahankan metabolisme sel, vitamin C mutlak harus diperoleh dari luar tubuh karena tidak terdapat enzim L-gulonolakton oksidase yang dibutuhkan untuk biosintesis vitamin C (Dabrowski 2002). Peran pakan dalam perkembangan gonad penting untuk fungsi endokrin yang normal. Tingkat pemberian pakan tampaknya mempengaruhi sintesis maupun pelepasan hormon dari kelenjar-kelenjar endokrin. Kelambatan perkembangan gonad
3
karena kekurangan pakan mungkin dapat menyebabkan kadar gonadotropin rendah yang dihasilkan oleh kelenjar adenohipofisis, respons ovari yang kurang atau mungkin kegagalan ovari untuk menghasilkan jumlah estrogen yang cukup (Toelihere 1981). Seperti yang telah dijelaskan di atas, di samping ketersediaan materi baik kualitas maupun kuantitas untuk mendukung proses reproduksi, kerja hormon juga diperlukan untuk mempercepat dan meningkatkan proses sintesis vitelogenin dan penyerapannya oleh telur. Estradiol-17β merupakan hormon perangsang biosintesis vitelogenin di hati. Di samping itu estradiol-17β di dalam darah memberikan rangsangan balik terhadap hipofisis dan hipotalamus ikan. Rangsangan yang diberikan oleh estradiol-17β kepada hipofisis ikan adalah rangsangan dalam proses pembentukan gonadotropin yang juga berperan dalam membantu proses penyerapan vitelogenin oleh telur. Vitelogenin yang disintesis di hati dengan bantuan hormon estradiol-17β disekresikan ke dalam aliran darah menuju gonad. Oleh karena adanya peranan estradiol-17β pada biosintesis vitelogenin maka penambahan estradiol-17β melalui implan pada induk ikan diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan estradiol-17β yang optimun untuk merangsang hati mensintesis dan mensekresi vitelogenin ke dalam darah sehingga konsentrasi vitelogenin dalam darah akan meningkat. Dengan demikian, penyerapan vitelogenin oleh oosit akan berjalan dengan lancar. Dengan melakukan pendekatan-pendekatan di atas maka diharapkan telur yang dihasilkan akan mempunyai derajat pembuahan dan derajat tetas yang tinggi sehingga larva yang dihasilkan berkualitas baik dengan ketahanan hidup yang prima. Namun, usaha-usaha pendekatan tersebut sering dilakukan secara parsial dan tidak bersifat menyeluruh. Pendekatan yang baik adalah mengkombinasikan antara lingkungan, pakan, dan hormon. Faktor lingkungan sangat kompleks dan sukar ditiru sehingga kombinasi antara pakan dan hormonlah yang sangat dimungkinkan, tetapi dengan memperhatikan faktor lingkungan optimal yang mendukung proses reproduksi. Dalam upaya meningkatkan kualitas telur yang pada akhirnya dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan, penelitian ini dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan nutrisi dan hormonal. Di samping itu, kebutuhan vitamin C induk ikan lele dumbo yang berkaitan dengan akumulasi material telur dalam rangka memperoleh benih dengan kualitas yang baik belum tersedia. Dengan
4
demikian, perlu dilakukan penelitian untuk
mengevaluasi pengaruh penambahan
ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C pada pakan dan hormon estradiol-17β pada pematangan gonad, kualitas telur, dan ketahanan hidup larva ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Dengan kombinasi tersebut diharapkan akan lebih memaksimalkan proses reproduksi sehingga diharapkan materi yang masuk dapat dengan optimal diserap telur dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas telur dan larva. Perumusan Masalah Masalah yang dihadapi dalam budi daya ikan lele adalah kurangnya informasi tentang nutrisi induk. Ketersediaan nutrien induk untuk proses vitelogenesis sangat bergantung pada kualitas pakan yang diberikan. Material telur yang mengalami definsiensi gizi akan menimbulkan gangguan pada perkembangan larva dan akhirnya akan mengalami kematian. Salah satu unsur mikro nutrien yang penting dalam proses vitelogenesis dan embriogenesis adalah vitamin C. Pada proses vitelogenesis, vitamin C sebagai donor elektron dalam reaksi hidroksilasi biosintesis hormon steroid yang diperlukan bagi berlangsungnya proses tersebut. Selain itu, vitamin C juga berfungsi sebagai anti oksidan yang akan melindungi kolesterol dari kerusakan akibat terjadinya proses oksidasi sehingga kebutuhan kolesterol untuk proses biosintesis hormon estrogen dapat terpenuhi. Pada proses embriogenesis, vitamin C berperan dalam metabolisme lemak, yaitu dalam reaksi biosintesis karnitin, yang berfungsi mentransfer asam lemak rantai panjang dari sitosol ke mitokondria untuk dikonversi menjadi energi melalui proses β-oksidasi. Dengan demikian, kebutuhan energi selama proses tersebut berlangsung dapat dipasok dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber energi dan nutrien esensial bagi perkembangan larva ikan ketika telur menetas bergantung pada materi bawaan yang telah dipersiapkan oleh induk. Vitamin C mempunyai fungsi sebagai kofaktor enzim prolil dan lisin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi prolin dan lisin, yang esensial untuk biosintesis jaringan kolagen yang terdapat pada ovarium dan perkembangan embrio. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam kantong ovarium. Kolagen sebagai penyusun dinding kapiler darah di jaringan termasuk telur. Kapiler darah pada gonad penting dalam pendistribusian nutrien ke oosit. Selama embrio dan larva berkembang, kandungan
5
vitamin C telur cepat menurun (Sato et al. 1987) karena pada saat itu terjadi pembentukan tulang dan jaringan ikat. Umumnya, spesies ikan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan biosintesis vitamin C. Ketidakmampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan karena tidak adanya enzim L-gulunolakton oksidase yang berperanan dalam mengkonversi Lgulunolakton ke bentuk 2-keto-L-gunulolakton, sebagai tahap akhir dalam sintesis vitamin C. Untuk itu kebutuhan vitamin C ikan harus dipasok dari luar. Selain itu, pemberian pakan yang tidak optimal menyebabkan kurangnya energi untuk mendukung proses reproduksi, terutama dalam mensintesis hormon-hormon yang terlibat dalam proses perkembangan telur (vitelogenesis) seperti estradiol-17β. Estradiol-17β adalah hormon steroid yang disintesis pada lapisan granulosa yang kemudian bekerja merangsang biosintesis vitelogenin di hati. Sintesis vitelogenin dirangsang oleh estradiol-17β yang memasuki sistem peredaran darah kemudian merangsang hati mensintesis dan mensekresi vitelogenin. Konsentrasi estradiol-17β di dalam plasma darah yang meningkat selama periode pertumbuhan oosit dapat digunakan sebagai indikator vitelogenesis (Fostier et al. 1978, King dan Pankhurst 2004). Dengan kata lain, estradiol-17β bertanggung jawab dalam sintesis vitelogenin. Dengan adanya peranan vitamin C dan estradiol-17β seperti tersebut di atas, perlu diujicobakan peranan tersebut pada ikan uji, agar diperoleh informasi pengaruh kombinasi ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C dan estradiol-17β pada pematangan gonad dan kualitas telur pada ikan lele dumbo. Informasi ini sangat penting dalam menyusun suatu ransum yang tepat bagi pemenuhan gizi dan dosis hormon estradiol-17β untuk induk ikan pada masa reproduksi sehingga telur dan kualitas larva yang dihasilkan dapat ditingkatkan lagi.
6
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mendapatkan
dosis kombinasi ascorbyl phosphate magnesium dan
estradiol-17β yang optimum dalam pematangan gonad, kualitas telur, dan larva ikan lele sebagai ikan uji. 2. Untuk melihat pengaruh kombinasi ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol17β pada penampilan reproduksi induk ikan lele serta keterkaitannya dengan komposisi vitamin C, protein, lemak, fosfolipid, dan ratio hidroksiprolin/prolin ovarium, telur, dan larva. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam manajemen induk, dengan pemberian pakan dan perlakuan hormonal yang tepat pada induk ikan sehingga dapat mempercepat pematangan gonad, meningkatkan kuantitas, kualitas telur, dan ketahanan hidup larva ikan ikan lele. Hipotesis Dengan pemberian ascorbyl phosphate magnesium pada pakan dan implantasi hormon estradiol-17β yang optimal dapat meningkatkan kualitas vitelogenin yang selanjutnya akan meningkatkan kandungan fosfolipida telur sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva meningkat
7
II. TINJAUAN PUSTAKA Kematangan Gonad Ikan Kematangan gonad adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (1997), umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10-25 persen dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin rneningkat tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan menjadi semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. (1974) bahwa kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya. Ikan lele (Clarias batrachus) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun (Chinabut et al. 1991) dengan ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh 100 sampai 200 gram (Mollah dan Tan 1983; Suyanto 1986). Di Thailand, ikan lele yang hidup di alam memijah pada musim penghujan dari bulan Mei sampai Oktober (Chinabut et al. 1991). Perkembangan sel telur (oosit) diawali dari germ cell yang terdapat dalam lamela dan membentuk oogonia. Oogonia yang tersebar dalam ovarium menjalankan suksesi pembelahan mitosis dan ditahan pada "diploten" dari profase meiosis pertama. Pada stadia, ini oogonia dinyatakan sebagai oosit primer (Harder 1975). Oosit primer kemudian menjalankan masa tumbuh yang meliputi dua fase. Pertama adalah fase previtelogenesis, ketika ukuran oosit membesar akibat pertambahan volume sitoplasma (endogenous vitelogenesis), namun belum terjadi akumulasi kuning telur. Kedua adalah fase vitelogenesis, ketika terjadi akumulasi material kuning telur yang disintesis oleh hati, kemudian dibebaskan ke darah dan dibawa ke dalam oosit secara mikropinositosis (Zohar 1991; Jalabert dan Zohar 1982). Peningkatan ukuran indeks gonad somatik atau perkembangan ovarium disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada
8
saat perkembangan oosit terjadi perubahan morfologis yang mencirikan stadianya. Menurut Nagahama (1983) stadium oosit dapat dicirikan berdasarkan volume sitoplasma, penampilan nukleus dan nukleolus, serta keberadaan butiran kuning telur. Berdasarkan kriteria ini, oosit dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas. Yamamoto dalam Nagahama (1983) membaginya ke dalam 8 kelas, yaitu stadia kromatin-nukleolus, perinukleolus (yang terdiri atas awal dan akhir nukleolus), stadium oil drop stadium yolk primer, sekunder, tertier, dan stadium matang. Sedangkan Chinabut et al. (1991) membagi oosit dalam 6 kelas untuk Clarias sp, dimana stadia nukleolus dan perinukleolus dikategorikan sebagai stadium pertama, dan setiap stadium dicirikan sebagai berikut: -stadium 1 :
Oogonia dikelilingi satu lapis set epitel dengan pewarnaan hematoksilin-eosin plasma berwarna merah jambu, dengan inti yang besar di tengah.
-stadium 2 :
Oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. Oosit dilapisi oleh satu lapis epitel.
-stadium 3 :
Pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar dan provitilin nukleoli mengelilingi inti.
-stadium 4 :
Euvitilin inti telah berkembang dan berada disekitar selaput inti Stadium ini merupakan awal vitelogenesis yang ditandai dengan adanya butiran kuning telur pada sitoplasma. Pada stadium ini, oosit
dikelilingi oleh dua lapis sel dan lapisan
zona radiata
tampak jelas pada epitel folikular. -stadium 5 :
Stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur. Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma dan zona radiata terlihat jelas.
-stadium 6 :
Inti mengecil dan selaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi. Zona radiata, sel folikel, dan sel teka terlihat jelas.
Pengetahuan tingkat kematangan gonad sangat penting dan sangat menunjang keberhasilan dalam membenihkan ikan karena berkaitan erat dengan pemilihan caloncalon induk ikan yang akan dipijahkan. Semakin tinggi tingkat perkembangan gonad,
9
telur yang terkandung di dalamnya semakin membesar sebagai hasil dari akumulasi kuning telur, hidrasi, dan
pembentukan butir-butir minyak yang berjalan secara
bertahap. Secara garis besar, perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan menjadi dewasa kelamin
dan
selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai dari ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap kedua dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan normal (Lagler et al. 1977). Tam et al. (1986) menyatakan bahwa pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh massa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin. Sementara itu, menurut Bagenal (1969), ukuran telur juga berperan dalam kelangsungan hidup ikan. Benih ikan brown trout yang berasal dari telur yang berukuran besar mempunyai daya hidup yang lebih tinggi daripada benih ikan yang berasal dari telur yang berukuran kecil. Hal ini terjadi karena kandungan kuning telur yang berukuran besar lebih banyak sehingga larva yang dihasilkan mempunyai persediaan makanan yang cukup untuk membuat daya tahan tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan telur-telur yang berukuran kecil. Woynarovich dan Horvath (1980) menyatakan bahwa induk yang pantas dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman.
Fase pembentukan kuning telur dimulai
sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur da!am sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Lam (1985), apabila rangsangan diberikan pada saat ini, maka akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau melebur pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel), dan oviposisi. Menurut Suyanto (1986), bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia maka telur dorman tersebut akan mengalami degenerasi (rusak) lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia. Faktor-faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya atresia adalah ketersediaan pakan (Bagenal 1978), sedangkan faktor internal adalah umur telur.
10
Ukuran sel telur ada hubungannya dengan fekunditas. Makin banyak telur yang dipijahkan ukuran telurnya makin kecil, misalnya ikan cod (diameternya 1-1,7mm) produksinya 10 juta telur. Salmon Atlantik yang memiliki diameter telur 5-6 mm, produksi telurnya 2.000-3.000 butir (Blaxter 1969), sedangkan untuk ikan belut dengan diameter telur 1–1,5 mm produksinya 2.200–5.400 telur (Sidthimunka 1972). Vitelogenesis Sintesis vitelogenin (prekursor kuning telur) di dalam hati disebut vitelogenesis. Vitelogenin diangkut dalam darah menuju oosit, lalu diserap secara selektif dan disimpan sebagai kuning telur. Vitelogenin ini berupa glikofosfoprotein yang mengandung kira-kira 20% lemak, terutama fosfolipid, trigliserida, lipoprotein, dan kolesterol. Berat molekul vitelogenin untuk beberapa jenis ikan diketahui antara 140220 kDa (Tyler 1991; Komatsu dan Hayashi 1997). Proses oogenesis pada teleost terdiri atas dua fase, yaitu pertumbuhan oosit (vitelogenesis) dan pematangan oosit. Vitelogenesis merupakan aspek penting dalam pertumbuhan oosit yang meliputi rangkaian proses (1) adanya sirkulasi estrogen (estradiol-17β) dalam darah menggertak hati untuk mensintesis dan mensekresikan vitelogenin yang merupakan prekursor protein kuning telur; (2) vitelogenin diedarkan menuju lapisan permukaan oosit yang sedang tumbuh; (3) secara selektif, vitelogenin akan ditangkap oleh reseptor dalam endositosis, dan (4) terjadi translokasi sitoplasma membentuk badan kuning telur bersamaan dengan pembelahan proteolitik dari vitelogenin menjadi subunit lipoprotein kuning telur, lipovitelin, dan fosvitin. Adanya vitelogenin menunjukkan terjadinya akumulasi lipoprotein kuning telur di dalam oosit. Pada beberapa jenis ikan selama pertumbuhan oosit terjadi peningkatan Indeks Somatik Gonad (IGS) 1 sampai 20% atau lebih. Pada ikan betina, ovari berespons terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin dengan meningkatkan secara tidak langsung produksi estrogen, yakni estradiol-17β (E2). Estradiol-17β beredar menuju hati, memasuki jaringan dengan cara difusi dan secara spesifik merangsang sintesis vitelogenin (Ng dan Idler 1983). Aktivitas vitelogenesis ini menyebabkan nilai indeks hepatosomatik (IHS) dan indeks gonadosomatik (IGS) ikan meningkat (Cerda et al. 1996).
11
Pembesaran oosit disebabkan terutama oleh penimbunan kuning telur. Seperti pada kebanyakan ikan, kuning telur merupakan komponen penting oosit ikan Teleostei. Ada tiga tipe material kuning telur pada ikan Teleostei: butiran kecil minyak, gelembung kuning telur (yolk vesicle) dan butiran kuning telur (yolk globule). Secara umum, butiran kecil minyak yang kita kenal dengan lipid yang berantai panjang (asam lemak tidak jenuh) pertama kali muncul di daerah perinuklear dan kemudian berpindah ke periferi (tepi sel) pada tahap selanjutnya. Urutan kemunculan material kuning telur bervariasi antarspesies. Pada rainbow trout, butiran kecil muncul segera setelah dimulainya pembentukan gelembung kuning telur (Yamamoto et al. 1965 dalam Nagahama 1983). Fenomena penimbunan material kuning telur oleh oosit ikan dibagi menjadi dua fase, yakni sintesis kuning telur di dalam oosit atau vitelogenesis endogen dan penimbunan prekursor (bahan pembentuk) kuning telur yang disintesis di luar oosit atau vitelogenesis eksogen (Matty 1985). Gelembung kuning telur positif-PAS (mukopolisakarida atau glikoprotein) umumnya merupakan struktur yang pertama muncul dalam sitoplasma oosit selama pertumbuhan sekunder oosit, dan pertama kali muncul di zona terluar dan zona midkortikal pada oosit. Ketika vitelogenesis berlangsung, sebagian besar sitoplasma telur matang ditempati oleh banyak gelembung kuning telur yang padat dengan asam lemak dan dikelilingi oleh selapis membran pembatas. Selama tahap akhir vitelogenesis, globula kuning telur beberapa ikan Teleostei bergabung satu sama lain membentuk masa tunggal kuning telur. Perkembangan gonad ikan betina terdiri atas beberapa tingkat yang dapat didasarkan atas pengamatan secara mikroskopis dan makroskopis. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium antara lain tebal dinding indung telur, keadaan pembuluh darah, inti butiran minyak, dan kuning telur. Secara makroskopis perkembangan ovarium ditentukan dengan mengamati warna indung telur, ukuran butiran telur, dan volume rongga perut ikan. Pada ovarium ikan terdapat bakal sel telur yang dilindungi suatu jaringan pengikat yang bagian luarnya dilapisi peritoneum dan bagian dalamnya dilapisi epitelium. Sebagian dari sel-sel epitelium akan membesar dan berisi nukleus, yang kemudian butiran ini kelak akan menjadi telur. Selama perkembangannya, ukuran oosit
12
akan bervariasi. Pada tahap perkembangan awal, oogonia terlihat masih sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang sangat besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok tapi kadang-kadang ada juga yang berbentuk tunggal. Sementara itu oogonia terus membelah diri dengan cara mitosis. Pada ikan yang mempunyai siklus reproduksi tahunan atau tengah tahunan akan terlihat adanya puncak-puncak pembelahan oogonia. Pada ikan yang memijah sepanjang tahun, perbanyakan oogonia akan terus menerus sepanjang tahun. Transformasi oogonia menjadi oosit primer banyak terjadi pada tahap pertumbuhan yang ditandai dengan munculnya kromosom. Segera setelah itu, folikel berubah bentuk, dari semula yang berbentuk skuamosa menjadi berbentuk kapsul oosit. Inti sel terletak pada bagian sentral dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang tipis. Pada perkembangan selanjutnya, oosit membentuk lapisan korion, membran, granulosa, membran, dan teka. Juga butir-butir lemak mulai terlihat ditumpuk pada sitoplasma dan bersamaan dengan itu muncul cortical alveoli. Pada saat ini, ketersediaan vitamin C mutlak diperlukan karena dengan peningkatan kadar asam lemak, kebutuhan vitamin C semakin meningkat pula. Vitamin C dapat mencegah terjadinya oksidasi pada unitunit asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh (Machlin 1990). Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada vitelogenesis yang diawali dengan pembentukan vakuola-vakuola yang kemudian diikuti dengan munculnya globula kuning telur, bersamaan dengan itu oosit membengkak secara menyolok. Kuning telur pada ikan terdiri atas fosfoprotein dan lipoprotein yang dihasilkan oleh hati kemudian disalurkan ke dalam peredaran darah. Peranan Vitamin C pada Reproduksi Ikan Vitamin C adalah nutrien yang dibutuhkan untuk proses fisiologi hewan, termasuk ikan (Tolbert 1979 dalam Al Amoudi et al. 1992). Sebagai vitamin yang larut dalam air, vitamin C disintesis dari asam glukuronat oleh beberapa hewan, namun ikan tidak dapat mensintesisnya walaupun sel-selnya membutuhkan (Masumoto et al. 1991). Oleh sebab itu, vitamin C harus tersedia dalam pakan (Faster dalam Sandnes 1991). Ketidakmampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan oleh tidak adanya enzim L-gulunolakton oksidase yang berperan dalam konversi L-gulunolakton ke bentuk 2-ketoL-gulunolakton sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Dabrowski 1991).
13
Variasi kadar vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari berbagai spesies ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang. Kadar vitamin C ikan karper Krusian (Carassius carassius) saat siklus reproduksi berkisar dari 92 sampai 203 ug/g (Saeymour 1981), ikan cod Atlantik (Gadus morrhua) berkisar dari 80 sampai 203 ug/g (Sandnes dan Braekkan 1981), dan karper India dari 225 sampai 286 ug/g) (Agrawal dan Mahajan 1980). Cho et al. (1979) mendapatkan bahwa kadar vitamin C ovarium ikan trout (Oncorhynchus mykiss) mencapai maksimum pada 451 ug/g bobot basah pada saat akan ovulasi. Dengan memperhatikan indeks gonad somatik, Sandnes dan Braekkan (1981) mencatat bahwa akumulasi vitamin C tertinggi menjelang GSI mencapai maksimum, kemudian menurun saat terjadi ovulasi. Pengamatan pada ikan kod Atlantik memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C pada stadia awal pertumbuhan ovarium adalah 150 ug/g dan tertinggi mencapai 500 ug/g (Sandnes 1984). Menurut Ishibashi et al. (1994), perubahan vitamin C ovarium selama periode pematangan berkaitan dengan peningkatan ukuran oosit karena akumulasi material kuning telur. Agrawal dan Mahajan (1980) mencatat bahwa kandungan vitamin C darah ikan karper India yang ditangkap di alam mencapai titik terendah saat musim pemijahan, yaitu 17,95-19,65 ug/ml, dan saat pertumbuhan ovarium kadar vitamin C mencapai kisaran 20,39-25,95 ug/ml. Disimpulkan pula bahwa ada mobilisasi vitamin C yang diperoleh dari pakan alami ke ovarium saat siklus reproduksi. Soliman et al. (1986) menyatakan bahwa tingginya kandungan vitamin C saat ovarium berkembang berkaitan dengan fungsinya sebagai kofaktor enzim prolil dan lisil hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi prolin dan lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat dalam ovarium. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam kantung ovarium (Sandnes et al. 1984). Waagbo et al. (1989) telah mengamati adanya akumulasi vitamin C di jaringan kolagen yang mengitari sel telur sehingga disimpulkan bahwa pada saat gonad berkembang vitamin C digunakan untuk sintesis kolagen. Pendapat lain dikemukakan oleh Sandnes (1984) bahwa peningkatan kadar vitamin C dalam siklus reproduksi berhubungan dengan proses vitelogenesis. Proses ini dikontrol oleh hormon estrogen yang mampu menstimulasi hati untuk mensintesis protein spesifik, yang kemudian diakumulasikan pada oosit bersama senyawa lipida. Vitamin C pada ovarium berperan dalam reaksi hidroksilasi sintesis hormon steroid reproduksi.
14
Penelitian Alava et al. (1993) memperlihatkan bahwa pemberian askorbil-2fosfat magnesium, suatu bentuk turunan vitamin C, dalam ransum dapat menstimulasi perkembangan gonad induk udang Penaeus japonicus betina. Percobaannya dengan menggunakan pakan yang disuplementasi askorbil-monofosfat magnesium masingmasing 500, 1000, dan 1500 mg/kg. Setelah pemeliharaan 170 hari, nilai IGS induk betina mencapai 2.40, 2.51, dan 1.81%, sedangkan nilai IGS induk jantan adalah 0.76, 0.87, dan 0.91%. Untuk kontrol tidak diperoleh data karena induk mati sebelum berakhimya percobaan. Penelitian Ishibasi et al. (1994) terhadap ikan Japanese parrot (Oplegnathus fasciatus) memperlihatkan peningkatan indeks gonad somatik dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan. Ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, dan 3000 mg/kg memperlihatkan nilai IGS masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, dan 2.2 % untuk induk betina, dan 0.4, 0.6, 0.5, dan 0.8 untuk induk jantan. Pengamatan secara mikrokospis terhadap ovarium juga memperlihatkan persentase induk yang mencapai aktivitas vitelogenesis meningkat dengan peningkatan dosis vitamin C. Induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C tidak menunjukkan adanya oosit pada fase vitelogenesis, sedangkan dengan perlakuan suplementasi vitamin C 300, 1000, dan 3000 mg/kg pakan, jumlah induk yang ovarinya mencapai stadium vitelogenesis hingga matang adalah 20, 40, dan 80%. Soliman et al. (1986) mengamati pengaruh asam askorbat pada penampilan reproduksi ikan Oreochromis mossambicus melaporkan bahwa ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C biasa 1250 mg/kg memperlihatkan gejala siap mijah lebih cepat dua minggu dibandingkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C. Percobaan Priyono et al. (1996) mencatat bahwa ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium 1500 mg/kg pakan menunjukkan frekuensi bertelur lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan dengan suplementasi 1000 mg/kg pakan, dan tidak ditemukan induk yang memijah pada kontrol. Vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, namun kadar vitamin C ovarium dapat mencapai kadar tertentu (Ishibashi et al. 1994). Percobaannya memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000, dan 3000 mg/kg pakan mencapai 70.6, 657.1, 898.4, dan 866.2 ug/g bobot basah.
Soliman et al. (1986) mengemukakan bahwa
15
vitamin C dalam ransum yang diterima oleh induk dapat ditransfer ke telur, dan disiapkan untuk perkembangan embrio. Pengamatannya pada telur ikan Oreochromis mossambicus dimana induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mengandung vitamin C 201.83 ug/g dan daya tetas telur mencapai 89.33%, sedangkan kandungan vitamin C telur dari induk yang menerima pakan tanpa vitamin C tidak terdeteksi dan mempunyai daya tetas 56.90%, dan 85% pascalarva yang dihasilkan mengalami gangguan pertumbuhan tulang belakang. Percobaan Akiyama et al. (1990) pada ikan sardin (Sardinops sagaxmelanosticia) menunjukkan bahwa tidak ditemui telur yang menetas dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 80 mg/kg pakan, sedangkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C lebih tinggi, yaitu 3200 mg/kg pakan menghasilkan daya tetas telur lebih baik. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperan dalam mendukung perkembangan embrio (Sandnes 1991). Menurut Sandnes et al. (1984) kandungan vitamin C telur 20 ug/g merupakan batas terendah untuk perkembangan normal embrio ikan trout. Peranan Estradiol-17β pada Reproduksi Ikan Proses vitelogenesis pada ikan melibatkan beberapa hormon, dan pada ikan ada dua macam hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh adenohipofisis yang berperan sebagai follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Hormon tersebut adalah FSH (GTH I), yang bekerja merangsang perkembangan folikel melalui sekresi estradiol-17β pada ovari dan LH (GTH II) yang dibutuhkan untuk proses pematangan akhir oosit (Nagahama 1983). Gonadotropin yang dihasilkan akan bekerja pada sel teka sebagai tempat sintesis testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh lapisan sel teka akan masuk ke dalam lapisan granulosa. Di dalam lapisan granulosa testosteron diubah menjadi estradiol-17β dengan bantuan enzim aromatase. Estradiol-17β merupakan perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati. Di samping itu, estradiol-17β yang terdapat dalam darah memberikan rangsangan balik terhadap hipofisis dan hipotalamus ikan. Rangsangan yang diberikan oleh estradiol-17β terhadap hipofisis ikan adalah rangsangan dalam proses pembentukan gonadotropin. Rangsangan terhadap hipotalamus adalah dalam memacu proses GnRH. GnRH yang dihasilkan ini bekerja untuk merangsang hipofisis melepaskan gonadotropin yang
16
nantinya berperan dalam proses biosintesis estradiol-17β pada lapisan granulosa. Siklus hormonal terus berjalan di dalam tubuh ikan selama terjadinya proses vitelogenesis (Nagahama 1983 dan Yaron 1995). Menurut Aida et al. (1991) proses vitellogenesis pada ikan terjadi seperti pada Gambar 1.
Umpan balik Lonjakan
Gambar 1. Proses vitelogenesis pada ikan (Aida et al. 1991) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi estradiol17β akan meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah dan konsentrasi estradiol17β tinggi pada saat vitelogenesis pada European sea bass (Dicebtrachus labrax) (Hassin et al. 1991); salmon (Salmo gairdneri) (Van Bohemen et al. 1981); mas koki (Pankhurst et al. 1986); jambal siam (Pangasius hypophthalmus) (Indriastuti 2000 dan Monijung 2002). Penelitian untuk melihat hubungan tersebut telah dilakukan pada ikan trout, Salmo trutta dan rainbouw trout Salmo gairdneri (Hjartarson et al. 1991), Striped bass Morone sexatilis (Sullivan et al. 1991), dan Clarias macrocepalus (Tan-Fermin et al. 1997). Sintesis vitelogenin di hati sangat dipengaruhi oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu, sintesis tersebut dipengaruhi juga oleh androgen yang ada
17
dalam tubuh ikan (testosteron) dan melalui perubahan androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase hati (Yaron 1995). Dengan demikian, peningkatan GtH dapat meningkatkan estradiol, dan pola kandungan estradiol seiring dengan perkembangan telur (Yaron 1995; Tan-Fermin et al. 1997). Kualitas Telur Ikan Kualitas telur adalah kemampuan telur untuk menghasilkan larva yang berdaya hidup. Kemampuan telur untuk
menghasilkan larva yang berdaya hidup dapat
ditentukan dengan beberapa faktor antara lain faktor fisik, kimia, genetik, dan fisiologi selama terjadi proses awal pada telur. Jika salah satu faktor essensial ini tidak ada, perkembangan telur akan gagal dalam beberapa stadia. Telur merupakan hasil akhir dari proses gametogenesis setelah oosit mengalami fase pertumbuhan yang panjang yang sangat bergantung pada gonadotropin dari pituitari. Perkembangan diameter telur pada oosit teleostei umumnya karena akumulasi kuning telur. Ada tiga macam material kuning telur yang berbeda, yaitu 1) oil droplet (butir minyak), 2) yolk vesicle (vesikula kuning telur), dan 3) yolk globule (bola kecil kuning telur). Dalam vitelogenesis yang sedang berkembang, sitoplasma telur yang matang ruangannya diisi oleh bola-bola kecil kuning telur saling bersatu dengan yang lainnya membentuk menjadi massa kuning telur. Pembuahan atau fertilisasi adalah proses bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur dalam sitoplasma sehingga membentuk zigot, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Laju pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur. Fertilisasi dan proses aktivasi pada telur ikan menjadi penting untuk beberapa perkembangan embrio. Selama fertilisasi dan aktivasi, pada telur-telur ikan teleost terjadi reaksi kortikal. Alveoli kortikal melebur dan melepaskan kandungannya (koloids) dari lapisan kortikal, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang perivitelin (Yamamoto 1961 dalam Kjorsvik et al. 1990). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Tidak lengkapnya proses aktivasi ini menyebabkan ruang perivitelin sempit sehingga diameter telur tidak berkembang (Kjorsvik et al. 1984). Pengerasan
18
korion telur selama proses aktivasi akibat dari reaksi enzim. Telur yang kualitasnya bagus memiliki korion yang keras. Selain hal-hal di atas parameter lain yang dapat juga menjadi patokan kualitas telur adalah transparansi telur dan distribusi butiran lemak (Mc Evoy 1984). Kualitas telur yang baik umumnya transparan dan jelas kelihatan serta pembelahan awal yang simetris. Selama oogenesis, kuning telur mengakumulasi sejumlah besar granula kuning telur dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Kisaran diameter granula telah diukur antara 6-24 µm (Linhart et al. 1995). Jumlah dan distribusi lemak (butir lemak) sangat bervariasi. Ukuran diameternya antara 1-1.5µm, dan diketahui bahwa butir lemak berfungsi sebagai cadangan energi dan fungsi hidrostatik. Distribusi butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur. Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva yang kecil yang ditetaskan dari telur yang kecil. Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmon salar, Onchorhynchus mykiss (Kamler 1992), dan turbot (Scopththalmus maximus L) (Kjorsvik et al. 2003). Beberapa peneliti menunjukkan bahwa telur yang berukuran besar menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Kamler (1992) mengajukan sebuah persamaan kelangsungan hidup untuk ikan pelagis laut, laju mortalitas telur dan larva berbanding terbalik dengan ukuran telur. Bila tidak ada makanan eksternal, larva yang lebih besar yang berasal dari telur yang besar dapat bertahan hidup lebih lama dibanding larva yang berasal dari telur yang kecil. Pada kondisi yang baik seperti di pembenihan, ukuran telur tidak memberikan dampak secara langsung pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada ikan Rainbow trout (Salmo gairdneri: Pitman 1979; Springate dan Bromage 1985), Salmo salar (Thorpe et al. 1984), catfish Clarias macrocepalus. (Reagen dan Conley 1977), dan carp (Kirpchnikov 1966 dalam Kjorsvik et al. 1990). Telur harus mengandung semua nutrien yang diperlukan oleh embrio yang sedang berkembang dan larva setelah telur dibuahi sampai pada saat ikan dapat memenuhi keperluannya untuk mengawali konsumsi makanan dari luar. Komposisi biokimia telur yang sehat menggambarkan kebutuhan embrio terhadap nutrisi dan
19
pertumbuhan.
Komponen yang diketahui esensial untuk kehidupan organisme
(terutama untuk organisme yang tidak dapat mensintesis nutrien), seperti vitamin C harus ada dalam pakan dalam jumlah tertentu untuk kebutuhan biologi organisme tersebut. Oleh karena itu, parameter biokimia kualitas telur dapat digunakan untuk mengevaluasi kandungan biokimia telur bahkan sebelum fertilisasi. Materi yang diperlukan selama perkembangan
dapat dibagi dua, yaitu 1)
diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik dan 2) digunakan untuk energi metabolisme. Jumlah nutrien yang diperlukan jelas bervariasi bergantung pada beberapa faktor, antara lain waktu inkubasi, ukuran ikan pada waktu menetas, dan lamanya anak-anak ikan
memerlukan persediaan makanan endogen sebelum
menemukan semua keperluan dari sumber lain.
Kandungan protein lipid dan
karbohidrat berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup larva (Kamler 1992) Kerangka Teoretis Secara alami proses vitellogenesis memerlukan interaksi antara faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi vitelogenesis antara lain temperatur, curah hujan, debit air, feromon, dan pakan. Pakan merupakan komponen penting dalam proses pematangan gonad karena proses vitelogenesis pada dasarnya adalah proses akumulasi nutrien dalam sel telur sehingga ketersediaan nutrien pada sel telur akan menentukan kualitas telur dan pada akhirnya juga pada perkembangan larva. Di pihak lain, faktor internal yang terpenting adalah tersedianya hormon-hormon steroid gonad terutama estradiol-17β pada tingkat yang dapat merangsang vitelogenesis. Proses perkembangan gonad ikan
dimulai
dengan adanya
respons dari
hipotalamus terhadap sinyal lingkungan, kemudian merangsang pituitari untuk menghasilkan gonadotropin yang nantinya akan mempengaruhi sintesis testosteron yang diaromatasi menjadi estradiol-17β. Estradiol-17β
merupakan perangsang
biosintesis vitelogenin di hati, dan dapat memberikan umpan balik terhadap hipofisis serta hipotalamus ikan untuk menghasilkan gonadotropin. Sintesis vitelogenin ini distimulir oleh estradiol-17β yang masuk ke dalam sistem vaskuler dan merangsang hati untuk mensintesis dan mensekresi vitelogenin. Selanjutnya vitelogenin ini dilepas ke dalam darah dan kemudian secara selektif diserap oleh oosit yang kemudian
20
ditimbun sebagai komponen kuning telur. Peningkatan konsentrasi estradiol-17β akan meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi estradiol-17β dalam tubuh ikan sejalan dengan perubahan konsentrasi vitelogenin darah. Vitamin C mempunyai peranan dalam proses vitelogenesis dan embriogenesis. Hal ini terjadi karena vitamin C mempunyai peranan penting dalam reaksi hidroksilasi biosintesis hormon steroid, metabolisme lemak, dan sintesis kolagen (Masumoto et al. 1991; Linder 1992: Piliang 1995). Vitamin C memainkan peranan penting dalam reaksi hidroksilasi biosintesis hormon steroid yang diperlukan bagi berlangsungnya proses tersebut. Selain itu, vitamin C juga berfungsi sebagai antioksidan. Pada proses embriogenesis, vitamin C berperan dalam metabolisme lemak, yaitu dalam reaksi biosintesis karnitin, yang berfungsi mentransfer asam lemak rantai panjang dari sitosol ke mitokondria untuk dikonversi menjadi energi melalui proses β-oksidasi. Dengan demikian, kebutuhan energi selama proses tersebut berlangsung dapat dipasok dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber energi dan nutrien esensial bagi perkembangan larva ikan ketika telur menetas bergantung pada materi bawaan yang telah dipersiapkan oleh induk. Vitamin C mempunyai fungsi sebagai kofaktor enzim prolil dan lisil hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi prolin dan lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat pada ovarium. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam kantong ovarium. Hal inilah yang menyebabkan adanya fluktuasi kandungan vitamin C ovarium selama berlangsungnya siklus reproduksi. Selain itu, kolagen dibutuhkan untuk perkembangan embrio dan larva, karena kolagen merupakan komponen utama pada kulit dan jaringan ikat serta zat-zat pembentuk tulang dan gigi. Defisiensi vitamin C pada ikan dapat disebabkan kurang tersedianya senyawa ini dalam pakan yang diberikan karena mudah larut dalam air dan hilang selama proses pembuatan pakan. Di samping itu, ikan tidak mampu mensintesis vitamin C, walaupun sel-selnya membutuhkan vitamin C. Dari hasil percobaan Azwar (1977) diketahui bahwa ascorbyl phosphate magnesium memiliki ketersediaan biologi yang tinggi terhadap ikan nila dan tahan terhadap
21
oksidasi sehingga bioaktivitasnya sebagai sumber vitamin C dalam pakan tetap tinggi setelah melalui proses pembuatan pakan.
22
III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT), Depok, Jawa Barat. Penelitian ini dimulai sejak Juni sampai Desember 2005. Bahan dan Alat Pakan uji Selama penelitian, jenis pakan yang digunakan adalah pakan dalam bentuk pelet dengan komposisi berdasarkan komposisi pakan buatan untuk induk ikan lele (Khoironi, 2002), kemudian ditambahkan vitamin C yang berupa ascorbyl phosphate magnesium (Showa Denko Jepang) dengan bobot molekul 379,61 serta kandungan asam askorbat 46%. Komposisi pakan uji dan proksimat pakan dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Hewan Uji Dalam percobaan ini hewan uji yang akan digunakan adalah induk ikan lele dumbo (C. gariepinus) dari hasil pembesaran petani ikan yang ada di Dermaga Bogor. Induk ikan adalah hasil pemijahan dari satu induk dan berumur 6 bulan. Jumlah ikan yang digunakan adalah 216 ekor induk ikan lele betina pada tingkat kematangan gonad II dan 216 ekor ikan jantan. Masing-masing perlakuan mempunyai 18 ekor ikan. Ukuran panjang dan bobot ikan uji masing-masing 32–38 cm dan 250–328 gram. Hormon implantasi Hormon yang digunakan adalah estradiol-17β (Sigma Chemical Company) dan bubuk kolesterol (5-cholesten-3β-ol), cocoa butter, alkohol 98%, 2-phenoxyethanol dan betadine (prosedur selengkapnya pada Lampiran 03). Wadah Ikan dipelihara dalam 12 buah jaring terapung yang diletakkan di dalam kolam dengan ukuran panjang, lebar, dan kedalaman masing-masing 3.0 meter, 2.0 meter, dan 2.0 meter. Pada permukaan atas wadah diberi jaring penutup
23
untuk mencegah agar ikan uji tidak melompat ke luar wadah (Gambar 2). Untuk pemijahan digunakan akuarium sebanyak 40 buah dengan ukuran 60 X 50 X 50 cm yang dilengkapi dengan pipa-pipa aerasi. Akuarium tersebut juga akan digunakan untuk proses inkubasi, penetasan telur, dan pemeliharaan larva.
Gambar 2. Wadah penelitian yang terbuat dari bambu dengan 12 jaring apung dengan ukuran 3 X 2 X 2 m yang di atasnya ditutupi dengan jaring Tabel 1. Komposisi bahan pakan dengan penambahan ascorbyl phosphate magnesium (APM) 0, 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan Bahan Pakan (%) Tepung ikan Tepung kedelai Pollard Minyak ikan Minyak jagung Cholin Chlorida Mineralª Vitamin mix (tanpa vitamin C) CMC Selulosa APM
Persentase Ascorbyl Phosphate Magnesium (APM) 0 600 1200 1800 23.28 23.28 23.28 23.28 28.08 28.08 28.08 28.08 36.29 36.29 36.29 36.29 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 0.50 0.50 0.50 0.50 5.00 5.00 5.00 5.00 0.61 0.61 0.61 0.61 2.00 1.50 0.00
2.00 1.44 0.06
2.00 1.38 0.12
2.00 1.32 0.18
24
Tabel 2. Komposisi proksimat pakan dengan perlakuan penambahan ascorbyl phosphate magnesium (APM) 0, 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan. Komposisi Persentase Ascorbyl Phosphate Magnesium (APM) Proksimat 0 600 1200 1800 Protein 36.42 36.12 35.98 36.67 Lemak 7.47 7.89 7.24 7.95 Karbohidrat 36.56 36.47 36.12 36.98 Abu 10.34 10.65 9.87 10.80 Serat kasar 8.56 8.90 8.24 8.95 DE (kkal/g pakan) 308.65 308.90 309.46 309.96 Vit. C (mg/kg pakan) 9.56 204.76 386.90 564.82
Metode Penelitian Perlakuan Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Faktorial 4 X 3 sehingga terdapat 12 interaksi perlakuan. Faktor pertama adalah 4 dosis ascorbyl phosphate magnesium yang berbeda dalam pakan ikan, yaitu 0, 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan. Faktor kedua adalah dosis hormon estradiol17β yang berbeda, yaitu 0, 250, dan 500 μg/kg bobot tubuh. Secara rinci rancangan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perlakuan berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan implantasi estradiol-17β (E2) Dosis APM (mg/kg pakan)
Dosis estradiol-17β (μg/kg bobot tubuh) 0
250
500
0
0.00 : 0.00 (A)
0.00 : 250 (B)
0.00 : 500 (C)
600
600 : 0.00 (D)
600 : 250 (E)
600 : 500 (F)
1200
1200 : 0.00 (G)
1200 : 250 (H)
1200 : 500 (I)
1800
1800 : 0.00 (J)
1800 : 250 (K)
1800 : 500 (L)
25
Parameter yang dievaluasi Adapun peubah yang diamati adalah sebagai berikut 1. Diameter telur, yang diukur sebanyak 100 butir dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. 2. Pengamatan perkembangan gonad, yang dilakukan dengan membuat preparat histologis ovarium dan diambil di awal, tengah, dan akhir penelitian. 3. Fekunditas relatif Fr =
Ft Wt
dengan Fr : Fekunditas relatif Ft : Fekunditas total (Butir telur) Wt : Bobot tubuh ikan (Gram) 4. Daya tetas telur DT =
a x100 F
dengan DT : Daya tetas telur a : Jumlah telur yang menetas F : jumlah total telur yang ditetaskan 5. Indeks Gonad Somatik (IGS) IGS (%) =
Bo x 100 Bg
dengan IGS : Indeks Gonad Somatik (%) Bo : Bobot ovarium Bg : Bobot gonad 6. Perhitungan ketahanan hidup larva dilakukan dengan memelihara 100 ekor larva yang baru menetas di akuarium dengan tidak diberi makanan. Larva diamati setiap hari, mortalitasnya dicatat. Perhitungan lama waktu (hari) dihentikan jika larva yang hidup tinggal 20%.
26
7. Analisis proksimat pakan, telur, dan larva, yang dilakukan mengikuti protokol yang dikemukakan Takeuchi (1988). 8. Analisis fospolipida pada telur menggunakan kromatografi gas (Takaeuchi 1988) 9. Analisis kandungan vitamin C pada ovarium, telur dan larva mengikuti prosedur yang dikemukakan oleh Schuep et al. (1994). 10. Analisis hidroksiprolin dan prolin pada ovarium dan larva menggunakan spektrofotometer (Apriyantono et al. 1989). 11. Analisis estradiol-17β pada plasma darah ikan dengan teknik radioimunoassay Pelaksanaan Penelitian Pematangan gonad Sebelum induk ikan dimasukkan ke dalam jaring, dilakukan pemeriksaan jaring apung dari kebocoran. Penempatan jaring apung berdasarkan perlakuan dilakukan secara acak. Jaring apung ditempatkan di kolam dengan air yang mengalir dengan pergantian air sebanyak 100 sampai 200% dalam sehari. Pembersihan sisa-sisa makanan dan kotoran di dasar jaring apung dilakukan setiap hari. Sebelum dilakukan percobaan, ikan uji diaklimatisasi selama 1 minggu. Selama periode aklimatisasi, ikan diberi pakan dari perlakuan kontrol sebanyak 2 % bobot tubuh perhari. Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini ditandai secara individu dengan menggunakan tasi (tagging) yang berwarna dan bernomor yang diselipkan pada sirip punggung. Setiap perlakuan menggunakan satu wadah dan tiap wadah diisi 18 ekor induk ikan betina. Selama penelitian, ikan yang dipelihara diberi pakan buatan 2 kali sehari at satiation pada pagi dan sore hari. Bobot pakan yang diberikan pada ikan setiap perlakuan dicatat. Pengukuran parameter kualitas air untuk suhu dilakukan setiap hari pagi dan sore hari. Kandungan oksigen dan pH diukur sekali seminggu, sedangkan kandungan karbondioksisida dan amonia diukur tiga kali, yaitu pada awal, tengah, dan akhir penelitian. Hasil parameter kualitas air selama penelitian disajikan dalam Tabel 4.
27
Tabel 4. Parameter fisika kimia air selama percobaan Parameter
Kisaran
Suhu
27.5 – 31 0C
PH
6.56 – 7.0
Oksigen Terlarut (O2)
2.95 – 5.83 mg/l
Karbondioksida (CO2)
3.55 – 7.78 mg/l
Amoniak
0.02 – 0.49 mg/l
Data kualitas air pada Tabel 4 menunjukkan bahwa semua parameter yang diukur masih berada pada batas toleransi kehidupan ikan lele (Clarias gariepinus), baik dalam budi daya pembesaran maupun dalam pembenihan sehingga keadaan perairan tersebut masih mendukung sebagai tempat ikan uji dipelihara. Penyuntikan hormon dilakukan dengan menggunakan alat khusus yang disebut implanter, dengan cara menusuk bagian punggung kanan ikan dengan pisau kecil. Setelah itu alat implan yang mengandung hormon ditusukkan ke dalam punggung dan hormon diimplan ke dalam tubuh ikan. Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap dua minggu. Setiap pemeriksaan induk, selalu dimulai dengan pembiusan ikan dengan menggunakan MS 222 dosis 75 mg/l kemudian dilanjutkan dengan penimbangan induk. Evaluasi gonad ikan uji yang terpilih secara acak dilakukan secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan, diambil gonadnya kemudian ditimbang dan difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%. Evaluasi gonad ini dilakukan pada awal, tengah, dan akhir penelitian. Gonad diambil dan ditimbang kemudian dilakukan pengamatan histologis (prosedur Lampiran 4). Di samping itu sebagian gonad ini diambil untuk analisis vitamin C, hidroksiprolin, dan prolin. Contoh darah diambil sebanyak 1.5 ml dengan menggunakan spuit 2.5 ml yang berheparin. Contoh darah diambil dari bagian punggung kemudian dimasukkan ke dalam tabung polietilen 1.5 ml dan diputar selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan suhu
28
200C. Selanjutnya, plasma darah dimasukkan ke dalam tabung polietilen dan disimpan pada suhu -200C. Pengukuran hormon dilakukan dengan radioimunoassai. Kandungan estradiol-17β dalam plasma dianalisis dengan menggunakan kit radioimunoassai fase padat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan zat radioaktif 125I. Selain itu, diukur kandungan fosfolipida di darah. Pengambilan contoh telur dilakukan dengan menggunakan metode kanulasi pada semua induk. Contoh telur diambil minimal 100 butir per ekor kemudian difiksasi dalam larutan Bouin dan formaldehida 4%. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 40x dan 100x. Pengamatan posisi inti telur dilakukan dengan meneteskan secara merata larutan sera (alkohol 99% : formaldehida 40% : asam asetat 100% = 6 : 3 : 1) pada sampel telur. Kemudian diamati dengan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Induk yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur yang ≥ 1,0 mm sebanyak 70 %, selain itu, dilihat induk ikan yang perutnya lebih besar dan lembek. Saat pemeriksaan kematangan telur, induk yang telurnya segera dipindahkan ke akuarium untuk persiapan pelaksanaan pemijahan buatan. Pemijahan buatan dilakukan dengan penyuntikan ovaprim dengan dosis 0.9 ml/kg. Penyuntikan secara intramuskular dilakukan 2 kali, untuk penyuntikan pertama ⅓ bagian dan untuk penyuntikan kedua ⅔ bagian dilakukan setelah 6 -7 jam. Kemudian telur dikeluarkan dengan cara pengurutan. Telur-telur hasil pengurutan ditampung di baskom kecil, kemudian diberi larutan garam faali sekitar 2.0 ml dan larutan fertilisasi sekitar 2.0 ml, kemudian dimasukkan sperma dan dicampur dengan menggunakan bulu ayam sekitar 1 menit setelah itu dimasukkan air untuk mengaktiftkan sperma supaya terjadi pembuahan. Pembuahan akan terjadi saat itu juga, kemudian telur-telur tersebut dipindahkan ke potongan kaca yang telah disiapkan, kemudian potongan kaca tersebut dimasukkan ke dalam akuarium.untuk inkubasi. Untuk mendapatkan sperma, induk jantannya dimatikan, lalu gonadnya diambil dan dihancurkan dalam larutan garam faali 5.0 ml. Induk jantan yang digunakan untuk membuahi telur-telur induk betina berasal dari induk jantan yang dipelihara di jaring apung .
29
Telur yang diovulasikan dihitung dengan menggunakan metode sampling berat. Untuk menentukan fekunditas relatif, yaitu dengan mengambil telur dan ditimbang 1 gram telur kemudian dihitung jumlah telurnya. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 kali dan jumlah total telurnya dibagi tiga. Sebelum dan sesudah telur dikeluarkan induk ditimbang untuk mendapatkan bobot induk yang kemudian akan dibandingkan dengan bobot telur. Sebanyak 20% dari total telur yang diovulasikan dipakai untuk penetasan dan 20% lagi digunakan untuk analisis vitamin C, fosfolipida, dan kandungan proksimat telur. Penetasan telur Sebelum dilakukan pengeluaran telur dari induk betina, terlebih dahulu disiapkan akuarium yang berukuran 60 X 50 X 40 cm yang diisi air setinggi 20 cm. Di dasar bak tersebut diletakkan kaca berukuran 20 X 40 cm (kolektor telur) secara berurutan sehingga sebagian besar dasar akuarium tertutup oleh kaca. Air yang digunakan sama seperti pada pemeliharaan induk. Sebelum wadah dipakai, wadah dicuci dan diisi air, kemudian dilarutkan metilen biru dengan konsentrasi 0.2 ppm. . Telur-telur yang dibuahi, diinkubasi dalam akuarium. Telur yang telah diinkubasi dibiarkan sampai menetas. Selama inkubasi, perkembangan embrio diamati di bawah mikroskop sampai menjadi larva. Telur yang menetas dan yang tidak menetas dihitung. Selanjutnya dianalisis protein, lemak, dan vitamin C untuk telur yang baru menetas dan larva 2 hari. Dari sejumlah larva yang dihasilkan dihitung jumlah larva yang normal dan yang tidak normal. Pemeliharaan larva Pemeliharaan larva dimulai dengan mempersiapkan wadah akuarium yang berukuran 60 X 50 X 40 cm
kemudian diisi air setinggi 40 cm dan diberi aerasi kemudian
dimasukkan 100 ekor larva hasil penetasan dari masing-masing perlakuan. Ketahanan larva dilakukan dengan cara memelihara larva yang baru menetas dalam akuarium. Jumlah larva yang dipelihara untuk masing-masing perlakuan sebanyak 100 ekor tanpa diberi makan. Data yang diamati adalah berapa lama (hari) larva dapat bertahan hidup. Larva diamati setiap hari, mortalitasnya dicatat. Penghitungan larva yang mati diakhiri, jika larva yang hidup tinggal 20% (Kamler 1992).
30
Analisis data Data lama waktu matang, fekunditas, IGS, diameter telur, derajat tetas telur, ketahanan hidup larva dan larva abnormal dilakukan analisis sidik ragam dengan uji respon polinomial ortogonal pada tingkat kepercayaan 99% dan 95% (Gomez KA & Gomez AA 1995). Data profil hormon estradiol-17β, kandungan vitamin C, lemak, fosfolipid, protein, dan rasio hidroksiprolin/prolin dari ovarium, telur, larva 0, dan larva 2 hari ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan gambar.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemberian kombinasi pakan uji yang ditambahkan ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan implantasi estradiol-17β pada ikan lele (Clarias gariepinus) yang dipelihara dalam jaring apung ternyata mempengaruhi penampilan reproduksi hasil pengamatan, yang terdiri atas indeks gonad somatik, fekunditas, daya tetas telur, ketahanan hidup larva dan larva abnormal (Tabel 5). Kecepatan Pematangan Gonad, Indeks Gonad Somatik, dan Diameter Telur Untuk mengetahui respons gonad terhadap pemberian APM pada pakan dan implantasi estradiol pada ikan lele yang diukur dari lama waktu matang, indeks gonad somatik, dan diameter telur dapat dilihat pada Tabel 5. Pematangan gonad tercepat diperoleh pada ikan uji yang diberikan APM sebanyak 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 250 µg/kg pakan, yaitu dimulai pada hari ke 28, dengan rata-rata 39.20 hari, yang kemudian diikuti oleh induk ikan yang diberikan APM 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 500 µg/kg, dengan rata-rata 47.60 hari. Yang paling lama matang gonad adalah ikan yang diberi tambahan APM 0 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 0 µg/kg yang dicapai dalam waktu
100 80
(hari)
Lama waktu matang
95.20 hari (Gambar 3 dan Tabel 5).
60 40 20 0 500
0 250
600 Do sis
AP M
0
1200 (m g/ kg )
1800
) / kg ug ( l dio tra Es
Gambar 3. Nilai rataan lama waktu matang ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
32
Hasil analisis sidik ragam lama waktu matang ikan lele menunjukkan pengaruh APM yang sangat nyata dengan pola linear dan kuadratik (p<0.01), sedangkan estradiol sangat nyata dengan pola respon linear dan pola respon kuadratik (p<0.01). Interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata dari faktor APM berpola linier dengan pola kuadratik pada faktor estradiol (p<0.05) Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara lama waktu matang (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) : Y = 61.13 -72.80X1 + 0.039 X12 – 25.20 X2 + 0.68 X22 + 16.80 X1X22 dengan nilai R2 = 0.63 Lama waktu matang gonad ikan lele
menunjukkan bahwa dosis
pemberian APM 600 dan 1200 mg/kg pakan yang dikombinasikan dengan dosis estradiol 250 dan 500 µg/kg menghasilkan ikan matang gonad lebih cepat, tetapi ketika dosis APM dinaikan menjadi 1800 mg/kg dikombinasikan dengan estradiol 500 µg/kg menunjukkan kecendrungan sudah tidak berpengaruh lagi pada lama waktu matang ikan (Tabel 5). Berdasarkan kurva respon dari persamaan di atas nilai minimun lama waktu matang gonad ikan lele terjadi pada kombinasi penambahan APM 921 mg/kg dan implantasi estradiol 365 µg/kg. Hasil pengamatan rataan indeks gonad somatik secara keseluruhan berkisar antara 8.33-17.94% (Lampiran 8). Nilai rataan indeks gonad somatik tertinggi diperoleh pada ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), yaitu sebesar 15.93%, yang diikuti oleh kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan I) sebesar 15.72%, dan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan F), yaitu sebesar 14.95% (Tabel 5 dan Gambar 4 ). Indeks gonad somatik minimum terlihat pada dosis estradiol 0 μg/kg bila dikombinasikan dengan APM 0 dan 600 mg/kg, dan pada dosis estradiol 250 μg/kg sampai 500 μg/kg akan menghasilkan peningkatan nilai Indeks gonad somatik bila dikombinasikan dengan APM 1200 mg/kg dan 1800 mg/kg.
33
Tabel 5. Nilai rataan lama waktu matang, indeks gonad somatik, diameter telur, fekunditas relatif, derajat tetas telur, ketahanan hidup dan larva abnormal larva ikan lele (Clarias gariepinus) yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β (E2) Perlakuan (APM mg/kg; E2 μg/ml)
A (00;00)
Lama Waktu Matang (Hari)
Indeks Gonad Somatik (%)
c
8.33±2.05
95.20±6.26
Diameter Telur (mm)
d
1.18±0.03
a
49.36±15.83
d
1.21±0.03
a
52.10±12.11
cd
1.18±0.04
a
62.47±9.14
bcd
1.19±0.02
a
68.46±24.17
bcd
a
B (00;250)
75.60±15.33
abc
8.75±2.16
C (00;500)
64.40±18.78
abc
10.23±1.54
D (600;00)
78.40±15.96
bc
10.35±2.27
E (600;250)
53.20±15.96
b
12.20±2.22
1.20±0.06
13.96±1.79abc
1.22±0.07 a
F (600;500) G (1200;00) H (1200;250)
50.40±15.96b abcd
72.80±25.04
Fekunditas Relatif (Butir telur)
13.80±1.93
abc
1.21±0.06
a
Derajat Tetas Telur (%)
c
45.00±7.90
bc
65.60±14.53
abc
67.00±7.96
3.80±0.44
a
12.80±2.38
ab
4.20±0.44
a
8.80±1.92
b
4.40±0.54
a
7.00±1.58
b
ab
3.20±1.92
a
bc
a
ab
63.40±15.22
82.88±16.88
abc
76.00±13.01
92.42±25.18abc
74.00±13.97bc
abc
Larva Abnormal (%)
a
abc
73.78±11.21
Ketahanan Hidup Larva (Hari)
c
ab
5.00±0.70
bc
6.00±0.70
2.20±1.30
6.00±0.70bc
2.00±1.00a
83.00±13.17
bc
bc
6.20±0.44
1.80±0.83
a
39.20±11.71a
15.93±1.73a
1.23±0.02 a
102.66±22.09a
90.80±4.32d
6.60±0.54c
1.40±0.54a
I (1200;500)
47.60±7.66b
14.63±2.54ab
1.20±0.06 a
101.41±25.15a
81.80±9.67bc
6.20±0.83bc
1.40±0.54a
J (1800;00)
64.40±21.23abc
14.03±2.50abc
1.20±0.05 a
75.01±18.78abc
81.60±6.50bc
6.40±0.89bc
1.60±0.89a
K (1800;250)
50.40±15.96b
15.72±1.78a
1.18±0.04 a
96.09± 25.10bc
80.20±7.75bc
6.20±0.70bc
2.00±0.70a
L (1800;500)
50.40±15.96b
14.96±0.98a
1.19±0.03 a
94.45±29.84bc
79.00±5.52bc
6.00±0.70bc
2.20±0.83a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0.05).
34
Indeks Gonad Somatik (%)
20 15 10 5 0 500
0 250
600 Do s is
AP M
0
1200 (m g /k g)
1800
) /kg ug ( l d io t ra s E
Gambar 4. Nilai rataan indeks gonad somatik ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Hasil analisis ragam indeks gonad somatik menunjukkan bahwa penambahan APM pada pakan ikan lele sangat nyata mempengaruhi IGS dengan pola respon linear dan kuadratik (P<0.01), sedangkan implantasi estradiol menunjukkan pengaruh nyata dengan pola respons kuadratik (P<0.05). Hal yang sama juga terjadi
pada interaksi faktor APM dengan implantasi estradiol
menunjukkan pengaruh nyata pada pola respon APM linier dan pola respon estradiol kuadratik (P<0.05). Kurva respon dari persamaan ini nilai maksimum indeks gonad somatik terjadi pada penambahan APM 1346 mg/kg dan implantasi estradiol 180 μg/kg.
Persamaan regresi yang diperoleh dari model hubungan
antara indeks gonad somatik (Y) dengan perlakuan penambahan APM (X1) dan implantasi estradiol (X2) Y = 12.74 + 20.00 X1 - 2.95 X12 + 1.82 X2 - 1.2240 X22 – 13.9360 X1X22 dengan nilai R2 = 0.67 Rata–rata diameter telur matang yang dihasilkan oleh induk pada akhir percobaan disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 9. Kombinasi antara penambahan APM pada pakan dan implantasi estradiol ternyata tidak memberikan pengaruh pada diameter telur induk ikan lele (Lampiran 22).
35
Frekuensi sebaran diameter telur masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 28–39. Frekuensi sebaran telur di kelompokkan ke dalam tujuh kelas yang berbeda berdasarkan nilai batas atas dan nilai batas bawah
dari
keragaman nilai yang ada. Jarak dalam satu kelompok kelas sebesar 0.200 mm. Secara umum dari seluruh perlakuan yang ada, perkembangan diameter telur ikan lele terdapat puncak-puncak nilainya bergantung pada waktu pengamatan yang dilakukan. Distribusi diameter telur pada setiap pengamatan menunjukkan ukuran diameter telur yang heterogen, dimana sejak awal pengamatan diperoleh diameter telur dengan ukuran 0.1 mm sampai dengan ukuran lebih besar 1 mm untuk masing-masing perlakuan (Lampiran 28 sampai 39). Namun demikian, proporsi telur dengan diameter >0.8 mm lebih tinggi pada waktu sebelum memijah dibandingkan pada awal percobaan. Pada awal percobaan, ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1 sampai 0.3 mm. Secara keseluruhan dari tiap-tiap perlakuan terjadi peningkatan diameter telur dari awal sampai akhir penelitian dan ukurannya bervariasi pada setiap kali pengukuran.
Diameter telur (mm)
2 1.5 1 0.5 0 500
0 250
600 Do sis
AP M
0
1200 (m g/ kg )
1800
) /kg (ug l di o t ra Es
Gambar 5. Nilai rataan diameter telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Hasil pengamatan struktur histologis gonad terlihat telur dengan kondisi TKG II sebelum induk ikan mulai diberi perlakuan (Gambar 6 a), dimana ovari
36
terdiri atas oosit dan sel-sel yang berada di dalam folikel dan ukurannya masih kecil dan tidak seragam.
n n a
b
n
n c
d
n
f
Gambar 6. Struktur histologis gonad ikan lele pada kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium 00 mg/kg dan estradiol-17β 00 μg/kg. (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE 40x)
Keterangan : a = gonad pada awal percobaan b = gonad pada pertengahan percobaan c dan d = gonad pada akhir percobaan n = nukleolus f = folikel Oosit yang mulai tumbuh, berkembang, dan tampak diameter telur mulai membesar serta butiran telur terlihat jelas dan nukleolus masih di tengah. Pada tahap ini perkembangan gonad telah memasuki TKG III. Pada TKG III terjadi proses vitelogenesis sehingga tingkat ini disebut juga sebagai fase akumulasi kuning telur dan tahap pertumbuhan gonad, hal ini ditandai dengan makin membesarnya diameter telur (Gambar 6 b). Pada Gambar 6 c dan d terlihat telur memasuki tahap kematangan akhir yang ditandai dengan posisi inti sel yang sedang dan berada di tepi (TKG IV). Artinya, ikan sudah siap dipijahkan.
37
Fekunditas relatif, Daya Tetas Telur, Ketahanan Hidup Larva, dan Larva Abnormal Nilai rataan fekunditas relatif ikan lele tertinggi ditemukan pada ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 μg/kg, yaitu sebesar 102.66±22.09, kemudian diikuti oleh kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 μg/kg, yaitu sebesar 101.41±25.15, dan fekunditas relatif terendah diperoleh pada kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 μg/kg sebesar 49.36±15.83 (Gambar 7 dan Tabel 5). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan APM pada ikan lele
mempengaruhi
sangat nyata pada
fekunditas relatif, baik APM linier maupun APM kuadratik (P<0.01) (Lampiran 23). Pola respon estradiol linier menunjukkan pengaruh nyata (P<0.05). Kurva respon dari persamaan ini nilai maksimum fekunditas
relatif terjadi pada
penambahan APM 1104 mg/kg dan implantasi estradiol 258 μg/kg. Persamaan regresi yang diperoleh dari model hubungan fekunditas relatif ikan lele (Y) dengan perlakuan penambahan APM (X1) dan estradiol (X2) Y = 79.295 + 113.13 X1 – 30.85 X12 + 21.13 X2. dengan nilai R2 = 0.58
Fekunditas relatif (butir telur)
120 100 80 60 40 20 0 0
500
600 Do s is
AP M
250
1200 (m g/ kg )
0
1800
l (u dio t ra s E
g) g/k
Gambar 7. Nilai rataan fekunditas relatif ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
38
Daya tetas telur ikan lele pada berbagai kombinasi penambahan APM dan implantasi estradiol pada ikan lele berkisar 45–96%, hasil derajat tetas telur terendah dihasilkan oleh induk ikan yang menerima pakan tanpa penambahan APM dan implantasi hormon estradiol. Rataan daya tetas telur pada berbagai kombinasi APM dan estradiol pada ikan lele disajikan pada Lampiran 11. Daya tetas tertinggi ditemukan pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan pakan dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), yaitu sebesar 91.80%, kemudian
diikuti oleh kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan
estradiol 500 μg/kg (perlakuan I), yaitu sebesar 85.80%,
dan kombinasi
penambahan 1200 mg/kg pakan dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan G) sebesar 83 %, dan yang terendah adalah kombinasi penambahan APM 0 mg/kg pakan dan 0 μg/kg (perlakuan A), yaitu 49% (Gambar 8).
Daya tetas telur (%)
100 80 60 40 20 0 500
0 Do s is
250
600 AP M
0
1200 (m g /k g)
1800
(ug iol d t ra Es
) /kg
Gambar 8. Nilai rataan daya tetas telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Berdasarkan analisis ragam daya tetas telur menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan APM sangat nyata dengan pola respons linear dan kuadratik (P<0.01), begitu juga pada faktor estradiol menunjukkan pengaruh nyata dengan pola respon linear dan kuadratik (P<0.05). Interaksi faktor APM dan estradiol menunjukkan pengaruh nyata dengan pola respons linear (P<0.05). Berdasarkan persamaan
39
kurva respons diperoleh
nilai maksimum daya tetas telur terjadi pada
penambahan APM 1481 mg/kg dan
implantasi estradiol 186 μg/kg.
Dari
persamaan regresi diperoleh model hubungan antara daya tetas telur (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) : Y = 73.96 + 77.20X1 – 8..93 X12 + 7.25 X2 - 12.55 X22 + 85.80 X1X2 dengan nilai R2 = 0.59 Berdasarkan analisis ragam ketahanan hidup larva terlihat bahwa pengaruh perlakuan APM nyata dengan pola linier dan kuadratik (P<0.05), sedangkan perlakuan estradiol berpengaruh nyata dengan berpola kuadratik (P<0.05). Pola respon interaksi antara APM linier dan estradiol kuadratik juga menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05). Kurva respons dari persamaan ini menunjukkan bahwa nilai maksimum ketahanan hidup larva terjadi pada penambahan APM 1320 mg/kg dan implantasi estradiol 50 μg/kg. Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara ketahanan hidup larva maksimum ikan lele (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) :
Ketahanan hidup larva (hari)
Y = 5.56 + 6.66X1 – 0.0013 X12 - 0.02 X22 + 2.00 X1 X2 dengan nilai R2 = 0.70
8 6 4 2 0 500
0 250
600 Do s is
AP M
0
1200 (m g /k g)
1800
Es
(ug iol d a tr
/kg
)
Gambar 9. Nilai rataan ketahanan hidup larva ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
40
Induk ikan lele pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estrtadiol 250 μg/kg dapat menghasilkan ketahanan hidup larva selama 6.60 ± 0.54 hari, sedangkan induk yang tidak diberi penambahan APM dan hormon estradiol menghasilkan ketahanan hidup larva hanya 3.80 ± 0.44 hari (Gambar 9 dan Lampiran 12). Pengamatan terhadap keabnormalan larva pada berbagai kombinasi antara penambahan APM dan implantasi hormon estradiol berkisar 1.4–12.8%. Persentase larva abnormal tertinggi dihasilkan induk yang menerima pakan tanpa tambahan APM dan implantasi hormon estradiol (APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 μg/kg), yaitu sebesar 12.8%, diikuti oleh kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 250 μg/kg, yaitu sebesar 8.8%. Untuk larva abnormal yang terendah adalah 1.4% yang dihasilkan oleh induk yang diberi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 μg/kg dan penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 μg/kg (Gambar 10 dan Lampiran 13).
Larv a abnorm al (% )
15
10
5
0 500
0 250
600 Do
s is
0
1200 AP M
(mg
/kg )
1800
(ug iol d a tr Es
) /kg
Gambar 10. Nilai rataan larva abnormal ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
41
Hasil analisis ragam larva abnormal menunjukkan bahwa penambahan APM adalah signifikan untuk pola linear maupun pola kuadratik (P<0.05), sedangkan pola respons estradiol linear dan kuadratik tidak menunjukkan pengaruh. Interaksi antara APM kuadratik dan estradiol linear
justru
memperlihatkan pengaruh nyata (P<0.05) (Lampiran 26). Dari kurva respons diperoleh bahwa nilai minimum larva abnormal terjadi pada penambahan APM 1254 mg/kg dan implantasi estradiol 116 μg/kg. Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara larva abnormal minimum ikan lele (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) : Y = 3.86 – 23.73X1 + 7.47 X12 - 1.70 X2 + 20.00X1X2 - 3.60 X12 X2
dengan
nilai R2 = 0.89 Larva abnormal biasanya memperlihatkan warna kehitam-hitaman pada bagian kuning telur dan terjadi pembengkokan pada tulang ekor dan punggung (Gambar 11).
a
b
c
d
Gambar 11. Gambaran morfologis larva: normal (a) dan abnormal (b, c dan d) dari induk ikan lele (Clarias gariepinus). Kadar Estradiol-17β dalam Plasma Darah Kadar estradiol plasma darah ikan lele selama percobaan disajikan pada Lampiran 15 dan Gambar 12. Hasil percobaan menunjukkan bahwa konsentrasi estradiol-17β plasma darah pada awal percobaan berkisar antara 1.42 dan 1.76 μg/ml. Kadar tertinggi terjadi pada hari ke 14, terutama untuk induk ikan yang diimplan estradiol 250 dan 500 μg/kg
yang terdiri atas
kombinasi antara
penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan B), APM 0
42
mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan C), APM 600 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L) dengan kadar estradiol plasma darah berkisar antara 7.04 dan 9.98 μg/ml. Sebaliknya, pada induk ikan yang tidak diimplan estradiol yang terdiri dari kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A), APM 600 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan D), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan G), dan APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan J) tidak terjadi peningkatan estradiol plasma darah yang berarti, kadar estradiolnya berkisar antara 1.8 dan 2.67 μg/ml.
Estradiol plasma darah (ng/mg)
12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu Pengamatan (Minggu ke-) A (APM 00 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) C (APM 00 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg) E(APM 600 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg) G (APM 1200 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) I (APM 1200 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg) K (APM 1800 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg)
B (APM 00 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg) D (APM 600 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) F (APM 600 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg) H (APM 1200 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg) J (APM 1800 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) L (APM 1800 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg)
Gambar 12. Kadar estradiol-17β plasma darah ikan lele pada berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β selama percobaan Pada pengamatan hari ke 28, 42, 56 dan 70 terjadi penurunan kadar hormon estradiol plasma darah pada induk ikan-ikan yang diimplan estradiol 250 dan 500 μg/kg. Sebaliknya, induk ikan-ikan yang tidak diimplan estradiol, kadar estradiol
43
dalam darah mengalami peningkatan sejak hari ke 14, 28, 42, 56, 70, dan 84 (Gambar 12). Dari hasil pengamatan ini terlihat bahwa perlakuan yang diimplan dengan estradiol 250 dan 500 μg/kg dapat meningkatkan kandungan estradiol plasma darah sampai pada pengamatan hari ke 14 (Gambar 12). Setelah itu, implan estradiol pada induk ikan tidak berpengaruh lagi pada kandungan estradiol plasma darah. Kadar hormon estradiol plasma darah ikan lele antarwaktu pengambilan sampel menunjukkan perbedaan nyata pada hari 14 (P<0.05) (Lampiran 27). Kandungan Vitamin C Ovarium, Telur, dan Larva Pemberian kombinasi antara penambahan APM dan implantasi estradiol pada ikan lele ternyata mempengaruhi komposisi kandungan vitamin C ovarium, hati, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari (Gambar 14 dan Lampiran 16).
KANDUNGAN VITAMIN C (mg/g)
400 L
300
K J I
200
H G F
100 E D
0 A
HARI KE 0
HARI KE 42
HARI KE 98
C B
N UA K A RL PE
Keterangan : A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 μg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 μg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 μg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 μg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 μg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 μg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg)
Gambar 13. Nilai kandungan vitamin C ovarium ikan lele pada hari ke 0, 42, dan 98 yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
44
Induk ikan yang menerima pakan tanpa penambahan APM pada pakan yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg (perlakuan A),
APM 0 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan B),
APM 0 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan C) kandungan vitamin C dalam ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari cendrung lebih rendah dibanding dengan induk ikan yang menerima penambahan APM pada pakan yang terdiri dari kombinasi antara penambahan APM 600 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan D),
APM 600 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg
dan estradiol 500 μg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan G), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan J), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L).
Pada semua
kombinasi penambahan APM dan implantasi hormon estradiol, kandungan vitamin C lebih tinggi pada ovarium, kemudian menurun pada telur, dan sampai telur menetas menjadi larva (Gambar 14).
Hal ini membuktikan bahwa
penambahan APM pada pakan sebagai sumber vitamin C yang diberikan melalui pakan induk ikan akan diakumulasikan oleh ikan pada saat pembentukan telur dan dimanfaatkan saat perkembangan larva. Kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari naik sejalan dengan dosis APM yang ada dalam pakan. Kandungan vitamin C
ovarium ikan lele pada pakan yang tanpa
penambahan APM yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A),
APM 0 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg
(perlakuan B), APM 0 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan C) cendrung terus menurun hingga akhir percobaan, sedangkan kandungan vitamin C ovarium ikan pada pakan yang ditambahkan APM pada pakan yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 600 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan D), APM 600 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan G), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg
45
(perlakuan J), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L) mengalami peningkatan dari hari ke 0 sampai pada hari ke 42, kemudian menurun sampai pada hari ke 98 (Gambar 13). Penurunan vitamin C ovarium pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan APM pada pakan yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan E2 0 μg/kg (perlakuan A), APM 0 mg/kg dan E2 250 μg/kg (perlakuan B), APM 0 mg/kg dan E2 500 μg/kg (perlakuan C) menunjukkan bahwa ikan lele tidak mampu mensintesis vitamin C dan sangat bergantung pada suplai dari luar.
KANDUNGAN VITAMIN C (mg/g)
500 400 L
300
K J I
200
H G
100
F E D
0 A
PE
N UA
L2H
LOH
TELUR
OVARIUM
C B
AK RL
Keterangan : L0H = Larva 0 hari L2H = Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 μg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 μg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 μg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 μg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 μg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 μg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg)
Gambar 14. Nilai kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
46
Kandungan Protein Telur dan Larva Hasil analisis kandungan protein telur, larva 0 hari dan larva 2 hari ikan lele pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol disajikan pada Gambar 15 dan Lampiran 17. Kandungan protein pada berbagai kombinasi penambahan APM dan hormon estradiol cendrung meningkat dari telur ke larva 0 hari dan stabil pada larva 2 hari.
Kandungan protein tertinggi pada telur dicapai oleh kombinasi
penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan H), diikuti oleh kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I) dan yang terendah adalah kombinasi perlakuan penambahan
80 L 60
K J I
40
H G F
20
E D C
0 B A
PE
N UA K A RL
L2H
LOH
TELUR
KANDUNGAN PROTEIN (%)
APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A).
Keterangan : L0H = Larva 0 hari L2H = Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 μg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 μg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 μg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 μg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 μg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 μg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg)
Gambar 15. Nilai kandungan protein pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
47
Kandungan protein pada telur cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan dosis APM pada pakan pada setiap kombinasi penambahan APM dan estradiol. Demikian juga terjadi pada larva 0 hari dan larva 2 hari (Gambar 15 dan Lampiran 17). Kandungan Lemak Telur dan Larva Nilai kandungan lemak telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol
disajikan pada (Gambar 16 dan
KANDUNGAN LEMAK (%))
Lampiran 18).
100 80 L
60
K J I
40
H G
20
F E D C LOH
B A
PE
N UA K A RL
L2H
LM TELUR
FL TELUR
0
Keterangan : FL Telur = Fosfolipid telur LM Telur = Lemak telur LM L0H = Lemak Larva 0 hari LM L2H = Lemak Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 μg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 μg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 μg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 μg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 μg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 μg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg)
Gambar 16. Nilai kandungan fosfolipid telur dan lemak pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
48
Kandungan lemak di telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari naik sejalan dengan peningkatan dosis APM pada pakan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa lemak yang diakumulasi dalam telur akan digunakan selama proses embriogenesis berlangsung dan selama perkembangan larva. Hal ini terlihat dari terjadinya penurunan kandungan lemak dari telur sampai larva berumur 2 hari pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol. Kandungan lemak tertinggi diperoleh pada induk ikan dengan kombinasi penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) dan yang terendah adalah kombinasi penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 00 µg/ml (perlakuan A) (Gambar 16 dan Lampiran 18). Kandungan fosfolipid (FL) di telur dapat dilihat pada Gambar 16. Fosfolipid mengandung asam lemak esensial Semakin tinggi dosis APM dalam pakan sejalan dengan meningkatnya kandungan FL di telur dan mencapai puncaknya pada kombinasi penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L). Kandungan FL terendah diperoleh pada kombinasi penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A). Rasio Hidroksiprolin/Prolin (HP/P) pada Ovarium dan Larva Cara untuk mendeteksi pembentukan kolagen adalah dengan mengukur kandungan hidroksiprolin dan prolin serta rasio antara keduanya. Kalau rasio HP/P tinggi, maka peluang terjadinya pembentukan kolagen akan tinggi. Hasil analisis rasio hidroksiprolin/prolin pada ovarium, larva 0 hari, dan larva 2 hari pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 19. Data selengkapnya kandungan hidroksiprolin, prolin dan rasio hidroksiprolin/prolin selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 40. Dari gambar di bawah ini dapat diketahui bahwa penambahan APM pada pakan dapat meningkatkan rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) ovarium, dibanding dengan perlakuan tanpa penambahan APM pada pakan. Selama berlangsungnya proses perkembangan larva mengalami penurunan
dari menetas sampai larva 2, hari rasio HP/P
untuk semua perlakuan.
Hal ini membuktikan bahwa
terjadi peningkatan aktivitas biosintesis kolagen untuk menopang struktur tubuh embrio sampai pada umur 2 hari. Terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara kombinasi penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (rasio
49
HP/P pada ovarium, larva 0 hari, larva 2 hari sebesar 0.72, 0.65, dan 0.49) dan kombinasi penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg, (nilai HP/P adalah 0.37, 0.30, dan 0.25) (Gambar 17). Hal ini membuktikan bahwa APM sebagai sumber vitamin C dibutuhkan dalam sintesis kolagen untuk perkembangan embrio.
1
R AS IO HP /P
0.9 0.8
L K
0.7 0.6
J I
0.5 0.4 0.3
H G F
0.2 0.1
E D C B
RL PE
AN
A L2 H
L0 H
O V A R IU M
0
U AK
Keterangan : L0H = Larva 0 hari L2H = Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 μg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 μg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 μg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 μg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 μg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 μg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 μg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 μg/kg)
Gambar 17. Nilai rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) pada ovarium, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
50
Pembahasan Kombinasi antara penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan dan implantasi hormon estradiol pada ikan induk lele berdasarkan hasil percobaan ini menunjukkan bahwa hampir semua ikan dapat matang gonad, memijah, dan memproduksi larva. Waktu yang diperlukan dari proses pematangan gonad sampai dengan pemijahan berbeda-beda pada setiap perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan dosis penambahan AMP dalam pakan dan
implantasi hormon estradiol memberikan respons pada kinerja reproduksi ikan lele. Kecepatan pematangan gonad ikan uji tercepat diperoleh pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan hormon estradiol 250 µg/kg dengan rata-rata 39.20 hari. Sementara itu, kombinasi antara penambahan AMP 0 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 0 μg/kg (kontrol), kecepatan pematangan gonad ikan rata-rata 95.20 hari.
Data hasil tersebut menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan pematangan gonad dapat dipercepat atau dipersingkat 60 hari melalui penambahan AMP dan estradiol. Implantasi estradiol pada ikan mengakibatkan peningkatan konsentrasi estradiol dalam darah. Peningkatan konsentrasi estradiol dalam darah ikan akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad, karena estradiol merupakan perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati. Selain estradiol, vitamin C berperanan dalam reaksi hidroksilasi dalam biosintesis hormon steroid yang bahan bakunya berasal dari kolesterol.
Vitamin C
memainkan peranan penting dalam proses biosintesis hormon estradiol sebagai donor elektron untuk enzim hidroksilase yang berperan mengkonversi testosteron menjadi estrogen.
Hormon ini disintesis dan disekresikan
oleh lapisan sel
granulosa dan teka pada folikel oosit di bawah pengaruh FSH (Nagahama et al. 1982). Pendapat ini didukung oleh hasil pengamatan Halver (1985) yang mencatat bahwa vitamin C diakumulasikan pada sel folikel yang mengelilingi sel telur. Pada jaringan ini
terdapat sel teka dan granulosa yang merupakan tempat
disintesis hormon estradiol yang berfungsi dalam proses vitelogenesis di hati (Zohar 1991).
Hasil penelitian Azwar (1997) pada ikan nila (Oreochromis sp)
mencatat kandungan kolesterol (bahan dasar hormon steroid)
ovarium yang
51
menerima pakan tanpa vitamin C jauh lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan
dengan suplementasi vitamin C. Ini mengindikasikan
bahwa kekurangan vitamin C kemungkinan menghambat konversi kolesterol ke bentuk estrogen. Mobilisasi kolesterol ke ovarium dapat diketahui dengan terjadinya peningkatan kolesterol darah saat siklus reproduksi.
Kolesterol ovarium ini
selanjutnya dikonversi menjadi testosteron. Testosteron ini akan mengalami oksidasi pada atom C19, kemudian terjadi proses pembuangan gugus metil pada atom C19 ini untuk menghasilkan estrogen (C18), dan sebagai tahap akhir akan dilakukan proses aromatisasi pada cincin A dari estrogen dengan bantuan enzim aromatase sehingga menghasilkan hormon estradiol. Berkaitan dengan peranan vitamin C ini dalam siklus reproduksi, beberapa peneliti telah mencatat bahwa ikan nila (Soliman et al. 1986), ikan bandeng (Azwar et al. 2001), dan Japanese parot (Oplegnathus fasciatus) (Ishibashi et al. 1994) yang diberi pakan dengan suplementasi vitamin C yang cukup untuk mencapai kesiapan ovulasi lebih cepat dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi vitamin C. Estradiol merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. Estradiol plasma mengalami peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan peningkatan ukuran diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi estradiol dalam darah akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad. Oleh karena itu, kadar estradiol plasma darah dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al. 1992). Implantasi estradiol dapat meningkatkan kadar estradiol dalam plasma darah. Dalam penelitian ini peningkatan konsentrasi estradiol plasma darah pada induk-induk ikan yang diimplantasi dengan estradiol 250 μg/kg dan 500 μg/kg yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan B), APM 0 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan C), APM 600 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg
52
dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L) terjadi pada pengamatan hari ke-14. Hasil ini berbeda dari yang didapat oleh Flett dan Leatherland (1989) bahwa kadar estradiol plasma darah tertinggi terjadi pada hari ke-28 setelah implantasi estradiol pada ikan Salmo gairdneri. Sularto (2002) memperlihatkan terjadi peningkatan pada hari ke-14 setelah induk jambal Siam diimplantasi dengan hormon LHRH dan estradiol. Supriyadi (2004) yang menggunakan teknik enkapsulasi 17αmetiltestosteron dalam emulsi yang diberikan pada ikan baung diperoleh kadar hormon estradiol tertinggi terjadi pada hari ke-56. Yusuf (2005) menyatakan bahwa terjadi pada hari ke-42 setelah induk ikan baung disuntik dengan emulsi W/O/W yang mengandung hormon LHRHa dan estradiol. Perbedaan waktu yang terjadi kemungkinan karena adanya respon yang berbeda dari setiap spesies ikan yang berhubungan dengan teknik pemberian, dosis, dan jenis hormon. Adanya perbedaan kadar estradiol plasma darah ikan lele pada hari ke-14 (P<0.05) (Lampiran 27), lebih cendrung disebabkan oleh perbedaan dosis estradiol yang diimplantasi dan APM yang diberikan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa implantasi estradiol pada induk ikan mampu meningkatkan kosentrasi estradiol plasma darah. Konsentrasi hormon estradiol dalam plasma
darah untuk perlakuan yang diimplantasi dengan
estradiol, setelah hari ke-14 mengalami penurunan sampai pada pengamatan hari ke-70 (Gambar 12). Hal ini berkaitan dengan tingkat kematangan telur yaitu kadar estradiol akan menurun menjelang pematangan akhir. Menurut Singh dan Singh (1990) pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir, sintesis estradiol akan menurun karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen terhadap hormon yang menstimulasi sintesis estradiol. Lebih lanjut Mylonas dan Zohar (2001) menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon estradiol tinggi pada fase vitelogenesis dan mencapai puncaknya pada fase mGV(Germinal Vesicle migration) dan kemudian mengalami penurunan pada fase pGV(Germinal Vesicle peripheral). Djojosoebagio (1996) mengemukakan bahwa jika kadar hormon estrogen yang dihasilkan oleh gonad dalam darah melebihi jumlah yang diperlukan, hormon estrogen ini akan mengirim sinyal ke hipofisis untuk mengurangi GtH-I. Selain itu, hormon estrogen juga dapat menghambat
53
hipotalamus untuk memproduksi GnRF sehingga sekresi GtH-I menjadi berkurang.
Berkurangnya sekresi GtH-I oleh hipofisis secara langsung akan
menghasilkan
penurunan sintesis estradiol-17β oleh lapisan sel teka dan
granulosa. Konsentrasi hormon estradiol dalam plasma darah untuk perlakuan yang tidak diimplantasi dengan estradiol yang terdiri atas
kombinasi antara
penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A), APM 600 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan D), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan G), dan APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan J) mengalami peningkatan secara bertahap dari hari ke-14 sampai pada akhir penelitian. Hal ini karena penyediaan estradiolnya hanya didapat dari
reaksi
hidroksilasi dalam biosintesis hormon steroid yang bahan bakunya berasal dari kolesterol. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa vitamin C memainkan peranan penting dalam proses biosintesis estradiol sebagai donor elektron untuk enzim hidroksilase yang berperan mengkonversi testosteron menjadi estrogen. Sintesis estradiol akan mengalami peningkatan secara bertahap selama vitelogenesis dan berkorelasi positif dengan peningkatan ukuran oosit. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lee dan Yang (2001), perubahan kadar estradiol berkorelasi dengan perkembangan telur dalam ovari dan peningkatan nilai indeks kematangan gonad. Menurut Nagahama (1983), estradiol dalam darah akan merangsang hati untuk mempercepat proses sintesis dan sekresi vitelogenin yang selanjutnya akan merangsang proses vitelogenesis di dalam ovarium. Dikemukakan lagi oleh Nagahama (1994) bahwa kadar estradiol dalam darah tersebut berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang linear dengan proses vitelogenesis. Kemudian menurut Yaron (1995), ketika proses vitelogenesis tersebut berlangsung, granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya sehingga volume oosit membesar. Dengan adanya aktivitas oosit tersebut maka indeks kematangan gonad ikan juga meningkat (Indrastuti, 2000). Proses pertumbuhan dan pematangan oosit diatur oleh hormon (Redding dan Patino, 1993). Nagahama et al (1995) mengemukakan setelah kelenjar hipofisa mensekresikan hormon FSH yang kemudian mempengaruhi sel teka untuk mensekresikan hormon testosteron. Hormon ini kemudian mempengaruhi
54
sel granulosa untuk mensekresikan hormon estradiol sebagai perangsang hati untuk memproduksi dan menskresikan vitelogenin sebagai bahan dasar oosit. Dengan demikian, oosit akan tumbuh dan berkembang. Proses berikutnya adalah pematangan oosit, yang diatur oleh tiga faktor, yaitu LH (GTH-II), maturation inducing hormon (MIH), dan maturation promoting factor (MPF).
Aktivitas
GTH-II bersifat tidak langsung dalam mempengaruhi kematangan oosit. GTH-II diperantarai oleh produksi MIH dari sel folikel. Pada spesies ikan teleost, percobaan in-vitro menunjukkan bahwa steroid C-21 mampu mengawali proses germinal visicle breakdown (GVBD). Pada saat terjadi MIH di antara steroid C21 hanya dua yang mampu terindentifikasi, yaitu 17 ,20β -dehidoxy-4-pregnen-3one dan 17 ,20β, 21-trihidroxy-4-pregnen-3-one. Testosteron dan C-19-steroid pada konsentrasi tinggi bisa juga menginduksi GVBD, sedangkan estradiol dan steroid C-18 tidak mampu menginduksi kematangan oosit. Aktivitas GTH-II pada sel teka dapat meningkatakan 17α-hydroxyprogesterone melalui mediasi reseptor sistem adenilat siklase-cAMP. 17α–hydroxyprogesterone diubah kedalam bentuk 17α, 20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one oleh sel granulosa di mana aktivitas GTHII mempengaruhi sintesis de novo enzim 20β–hydroxysteroid dehydrogenase (20β HSD). Nilai indeks gonad somatik secara keseluruhan 16.81% (Gambar 4).
Kombinasi
berkisar antara 8.39-
antara penambahan APM dan implantasi
hormon estradiol berpengaruh nyata pada nilai indeks gonad somatik (P<0.05). Nilai indeks gonad somatik tertinggi diperoleh pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 250 μg/kg (16.81%), yang diikuti kombinasi antara penambahan AMP 1200 mg/kg dan implantasi estradiol 500 μg/kg (15.30%) dan yang terendah adalah kombinasi yang tanpa penambahan APM dan implantasi estradiol. Terjadinya perbedaan antarperlakuan dipengaruhi oleh dosis APM dan estradiol. Hasil penelitian Efrizal (1995) pada lele dumbo diperoleh nilai IGS 16.80 %, sementara Basuki (1990) mendapatkan nilai IGS 13.88%. Hasil penelitian Syahrial (1988) untuk ikan Clarias batracus bobot 9.78-26.96 gram dengan perlakuan Vitamin E 114.21 mg/kg menghasilkan IGS 7.53%. Khoironi (2002) dengan perlakuan kombinasi kolesterol 5740 dan vitamin E 240 mg/kg menghasilkan IGS 13.34%. Peningkatan
55
nilai indeks gonad somatik dapat disebabkan oleh perkembangan oosit. Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh (Tyler 1991). Pada saat proses vitelogenesis berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya sehingga volume oosit membesar (Yaron 1995). Selama proses tersebut berlangsung, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terdapat perubahan dalam gonad itu sendiri. Umumnya, pertambahan gonad pada ikan betina berkisar antara 10-25% dari bobot tubuh (Tang dan Affandi 2000). Respons indeks gonad somatik terhadap dosis AMP memperlihatkan pola kuadratik yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis vitamin C yang disuplementasikan semakin meningkat indeks gonad somatik ikan lele pada batas perlakuan yang diberikan. Hasil yang didapat dalam percobaan ini sejalan dengan hasil yang didapat oleh beberapa peneliti lainnya pada spesies ikan yang berbeda. Mazuqi et al. (1997) melaporkan bahwa pemberian ascorbil phosphate magnesium sebesar 0, 0.05, 0.10, dan 0.15% dalam pakan induk udang windu (Penaeus monodon) menghasilkan peningkatan indeks gonad somatik 1.08 – 1.28%, dibandingkan dengan kontrol yang hanya 1.0%.
Selanjutnya hasil
penelitian Azwar (1997) pada ikan nila (Oreochromis sp) mencatat bahwa pakan dengan suplementasi ascorbyl phosphate magnesium 0, 750, 1500, 2250, dan 3000 mg/kg memperlihatkan nilai indeks gonad somatik masing-masing 1.80, 2.16,
2.48, 2.75, dan 2.51% setelah induk dipelihara selama 72 hari. Hasil
penelitian Ishibashi et al. (1994) menunjukkan bahwa indeks gonad somatik induk ikan Oplegnathus fasciatus yang diberi pakan dengan suplementasi vitamin C nyata lebih tinggi dibanding induk kontrol. Ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, dan 3000 mg/kg memperlihatkan nilai indeks gonad somatik masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, dan 2.2% setelah 6 bulan pemeliharaan. Dikemukakannya bahwa rendahnya indeks gonad somatik diduga berkaitan dengan rendahnya kandungan hormon estradiol dan vitamin C ovarium. Soliman et al (1986) mencatat bahwa induk Oreochromis mossambicus yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mencapai tingkat kematangan gonad lebih awal 2 minggu dibandingkan dengan kontrol.
56
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar vitamin C dalam pakan akan meningkatkan nilai indeks gonad somatik, diameter telur, dan daya tetas telur.
Nilai indeks gonad somatik, diameter telur, dan daya tetas telur
tertinggi dihasilkan oleh induk dengan kombinasi antara penambahan AMP 1200 mg/kg dan implantasi estradiol 250 μg/ml. Masumoto et al. (1991) melaporkan bahwa induk ikan crucian carp yang diberi suplementasi vitamin C menghasilkan telur yang lebih banyak dibanding dengan yang tanpa suplementasi vitamin C. Kualitas telur yang baik dapat juga dilihat dari derajat tetas telur. Kombinasi penambahan APM pada pakan dan implantasi hormon estradiol mempengaruhi daya tetas ikan lele dengan kecendrungan respons kuadratik untuk penambahan APM. Ada korelasi positif antara peningkatan dosis suplementasi APM pada pakan dengan peningkatan daya tetas telur dan mencapai puncak pada dosis tertentu. Azwar (1997) melaporkan bahwa suplementasi APM sangat nyata mempengaruhi daya tetas telur ikan nila dengan kecendrungan respons kuadratik, yang berarti peningkatan pemberian APM tidak selalu diikuti dengan peningkatan daya tetas telur. Rataan daya tetas telur meningkat dari 73.66% mencapai maksimum 96.80% pada dosis APM 2105.44 mg/kg, kemudian menurun mencapai 90.33% pada dosis 3000 mg/kg. Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa suplementasi APM pada ikan lele dapat meningkatkan daya tetas telur.
Beberapa peneliti sebelumnya melaporkan hal yang sama, seperti
Dabrowski dan Bloom (1994) yang memperlihatkan bahwa telur dari ikan rainbow trout yang menerima pakan dengan penambahan APM sebesar 850 mg/kg pada pakan menghasilkan derajat tetas telur 25.3–46.7%, sedangkan tanpa penambahan vitamin C derajat tetas telur hanya sebesar 9.4–22%. Sementara itu Soliman et al (1986) mencatat bahwa derajat tetas telur Oreochromis mossambicus yang menerima pakan dengan penambahan vitamin C 1250 mg/kg pakan mencapai 89.33%, sedangkan induk ikan yang menerima pakan tanpa penambahan vitamin C daya tetas telurnya 54.25%. Beberapa hasil penelitian lainnya seperti Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, Sandnes et al. (1984) pada rainbow trout, Soliman et al. (1986) pada ikan nila, dan Azwar et al. (2001) pada ikan bandeng memberikan kecendrungan yang sama dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini.
Derajat tetas telur tertinggi dihasilkan oleh
57
kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 μg/kg, yaitu 91.80%, sementara derajat tetas telur yang dihasilkan dari penelitian Efrizal (1995) ikan lele dumbo adalah 69% dan Baidya (2002) pada ikan yang sama mendapatkan 53%
dan Syarial (1998) untuk ikan Clarias batracus sebesar
71.87% Tingginya derajat tetas telur dari induk yang menerima kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg yaitu sebesar 91.80% selain disebabkan oleh tingginya akumulasi lemak dalam telur yang berfungsi sebagai sumber energi utama, juga berkaitan erat dengan peranan vitamin C dalam biosintesis senyawa prostagladin. Goodman (1994) menyatakan bahwa bahan baku senyawa prostagladin adalah asam arakhidonat yang bersumber dari asam lemak esensial. Di sini, vitamin C berperan sebagai antioksidan untuk menjaga agar asam lemak esensial tidak teroksidasi oleh hadirnya oksigen sehingga akumulasi asam lemak esensial dalam telur menjadi meningkat seperti telah ditunjukkan oleh hasil penelitian Mokoginta et al. (2000) dengan menggunakan kristal vitamin asam askorbat yang diberikan kepada induk ikan patin. Leray et al. (1985)
mengemukakan bahwa proses pengenalan antarsel dalam telur
dipengaruhi oleh prostagladin. Jika telur kekurangan prostagladin maka berlangsungnya proses pembelahan sel akan gagal dan akibatnya akan menghasilkan derajat tetas telur yang rendah seperti yang dihasilkan oleh induk dengan kombinasi antara penambahan APM 00 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg dengan daya tetas 45.00%. Selain itu, prostagladin ini diketahui sebagai mediator kerja pecahnya folikel (ovulasi) pada ikan (Syarial 1988). Prostagladin bersama dengan hormon reproduksi lain LH akan mempertinggi aktivitas enzim proteolitik di folikel sehingga akan menstimulasi inti sel telur yang berada di tengah untuk bergerak ke pinggir dan selanjutnya melebur menuju kutub anima, yang berarti telur siap diovulasikan (Tang dan Affandi 2000). Hasil pengamatan terhadap ketahanan hidup larva tanpa diberikan makanan memperlihatkan makin tinggi dosis APM pada larva, makin tinggi pula ketahanan hidup larva. Ketahanan hidup larva tertinggi (6.60 hari) dicapai oleh kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg. Katahanan hidup larva sangat berhubungan dengan cadangan energi bawaan berupa kuning telur
58
dan butir minyak. Cadangan energi bawaan ini dalam proses pembentukannya sangat dipengaruhi oleh nutrient induk.
Ketahanan hidup larva awal sangat
ditentukan oleh energi bawaan yang dipersiapkan oleh induk mulai saat vitelogenesis sampai telur matang (siap dipijahkan). Jika dalam perkembangan oosit induk mengalami kekurangan nutrien, proses perkembangan vitelogenesis akan mengalami gangguan sehingga telur yang dihasilkan tidak menetas. Pada penelitian ini diperoleh bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara perlakuan suplementasi APM dengan daya tahan hidup larva yang mengandalkan cadangan energi bawaan berupa kuning telur dan butir minyak, dengan lama hidup larva selama 5.00–6.60 hari, sedangkan yang tanpa suplementasi APM hanya bertahan hidup 3.80–4.40 hari. Hasil penelitian ini didukung oleh Azwar et al. (2001) pada ikan bandeng dan Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, dimana peningkatan dosis APM dalam pakan akan meningkatkan ketahanan hidup larva. Masumoto et al. (1991) mencatat bahwa penambahan meningkatkan fekunditas, diameter telur,
vitamin C dalam pakan dapat ketahanan hidup larva, serta
mengurangi abnormalitas larva. Hasil penelitian terhadap keabnormalan larva memperlihatkan bahwa 1.40 –12.80% larva yang dihasilkan memperlihatkan perkembangan abnormal. Persentase larva abnormal terendah dihasilkan dari induk dengan kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg, yaitu 1.40%. Persentase rataan larva abnormal menurun dari 12.80% mencapai minimum 1.06% pada dosis APM 1254.34 mg/kg dan kemudian meningkat mencapai 2.20% pada dosis 1800 mg/kg pakan. Hasil percobaan Azwar (1997) terhadap ikan nila, dengan menambahkan APM 0, 750, 1500, 2250, dan 3000 mg/kg pakan menghasilkan larva abnormal 16.74, 3.93, 1.87, 0.54, dan 0.56%. Sementara Soliman et al. (1986) melaporkan bahwa induk ikan Oreochromis mossambicus yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, perkembangan larva yang abnormal mencapai 56.9%, sedangkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan hanya 1.28% yang menunjukkan pertumbuhan abnormal. Menurut Dabrowski dan Blom (1994) ada korelasi antara kandungan vitamin telur dengan perkembangan embrio dan kekurangan vitamin C telur akan memberikan efek yang merugikan bagi perkembangan embrio. Hasil
59
percobaan ini mencatat bahwa selama perkembangan embrio, 37% cadangan vitamin C telur digunakan.
Soliman et al. (1986) mengemukakan bahwa
kekurangan vitamin C telur akan menghambat sintesis kolagen. Pada kondisi induk defisiensi vitamin C ditemui banyak larva yang tumbuh abnormal dengan gejala-gejala badan ekor bengkok, maupun sirip ekor tidak berkembang sempurna. Biasanya larva demikian hidupnya tidak tahan lama. Rendahnya daya tetas telur dan tingginya larva abnormal yang dihasilkan dari induk yang menerima pakan defisiensi vitamin C seperti yang terdapat pada kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg ini ada kaitanya dengan ketersediaan energi, gangguan metabolisme lemak, dan gangguan pembentukan jaringan kolagen. Kolagen adalah senyawa protein yang berbentuk superheliks, yang terdiri atas asam amino glisin dan hidroksilasi prolin, dan berfungsi sebagai penopang utama integritas struktur jaringan tubuh (Soliman et al. 1986).
Vitamin C dibutuhkan dalam reaksi hidroksiprolin sehingga
kekurangannnya
cendrung
melemahkan
struktur
penyusunan
tubuh.
Pembentukan jaringan kolagen dalam struktur tubuh dapat diindikasikan dari perubahan rasio kadar hidroksilasi prolin dan prolin. Peranan vitamin C dalam pembentukan kolagen dapat terlihat dengan penurunan kandungan vitamin C saat perkembangan embrio dan larva. Hal ini terlihat jelas pada induk yang menerima pakan dengan suplementasi APM 1200 mg/kg pakan, kandungan vitamin C telur adalah 150.56 µg/g, kemudian menurun setelah telur menetas menjadi 120.74 µg/g, dan kemudian menurun lagi menjadi 80.68 µg/g setelah kuning telur habis. Terjadi
penurunan
kandungan
vitamin
C
yang
tajam
bersamaan
denganpembentukan hidroksilasi prolin pada saat perkembangan larva dari kondisi baru menetas hingga larva menghabiskan kuning telur , dimana pada masa ini terjadi aktivitas pembentukan jaringan kolagen lebih tinggi dibandingkan saat perkembangan embrio. Kuantitas kandungan protein dan lipida telur sangat mempengaruhi kualitas telur. Lipida sangat cepat menurun pada saat perkembangan embrio dan larva karena senyawa ini digunakan sebagai energi utama dalam penyusunan struktur jaringan tubuh. Ketersediaan vitamin C dalam ransum pakan ikan juga mempengaruhi metabolisme lipida selama siklus reproduksi dan kandungan lipida
60
telur. Azwar (1997) mencatat bahwa lipida nonpolar (yang merupakan sumber energi utama dalam perkembangan telur dan larva) dari telur ikan nila yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C. Kondisi demikian sangat dibutuhkan pada saat awal siklus hidup ikan karena pada masa ini ketersediaan energi endogen sangat menentukan ketahanan hidup larva. Hal ini menyebabkan daya tetas telur dan ketahanan hidup larva yang dihasilkan dari induk-induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C relatif lebih baik. Berkaitan dengan energi, Azwar et al. (2001) juga mencatat bahwa induk ikan bandeng yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1500 mg/kg menghasilkan ketahanan hidup larva 5 hari, sedangkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C hanya 3–4 hari. Hal yang serupa ditemukan pula pada penelitian Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik. Variasi kadar vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari beragam spesies ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang.
Kandungan
vitamin C ovarium pada perlakuan tanpa penambahan APM pada pakan, dari awal percobaan cendrung terus menurun hingga hari ke-98 seperti yang terlihat pada kombinasi antara penambahan APM 00 mg/kg dan estradiol 00 μg/kg (perlakuan A), sementara untuk induk ikan yang menerima pakan dengan suplementasi APM 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan vitamin C ovarium meningkat hingga hari ke-56 dan kemudian menurun pada hari ke-98. (Gambar 15). Penurunan vitamin C ovarium pada induk ikan yang tidak ada penambahan APM pada pakan (perlakuan A) menunjukkan bahwa ikan lele tidak mampu mensintesis vitamin C dan sangat bergantung pada suplai dari luar. Jika ikan menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C dalam periode lama, kadar vitamin C dalam jaringan menurun. Kecepatan penurunan vitamin C bergantung pada waktu paruh biologis vitamin C di dalam jaringan. Waktu paruh biologis vitamin C dalam jaringan ikan trout mencapai 3 bulan (Tucker dan Halver,. 1984). Hal ini menunjukkan bahwa jika suplementasi vitamin C rendah, penggunaan vitamin dalam jaringan akan ditekan sehingga penurunan vitamin C dalam jaringan lebih
61
lambat dalam menjaga fungi sel. Namun, belum diperoleh data tentang standar minimal kandungan vitamin C ovarium untuk mempertahankan aktivitas reproduksi. Hasil penelitian Azwar (1997) pada ikan nila yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C menunjukkan kandungan vitamin C ovarium pada hari ke-18 sekitar 62.67 µg/g, kemudian menurun pada hari ke-72 mencapai 26.26 µg/g, sedangkan vitamin C ovarium ikan yang menerima pakan dengan suplementasi APM 3000 mg/kg pakan pada hari ke 18 adalah 188.85 µg/g, dan meningkat hingga hari ke-54, yaitu 358. 43 µg/g dan menurun pada hari ke-72, yaitu 349.26 µg/g. Percobaan yang dilakukan oleh Waagbo et al. (1989) mencatat bahwa kandungan vitamin C induk ikan trout yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C selama 6 bulan mencapai kisaran 11–39 µg/g, sebulan kemudian kandungan vitamin C ovarium menurun 2–5 µg/g, sedangkan kandungan vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000 mg/kg mencapai 464–510 µg/g, sebulan kemudian kadar vitamin C menurun berkisar 206–314 µg/g.
Sementara itu Ishibashi et al. (1994)
melaporkan bahwa pada induk ikan Oplegnathus fasciatus yang diberi pakan tanpa suplementasi vitamin C selama 6 bulan kandungan vitamin C ovariumnya mencapai kisaran 51.6–89.4 µg/g dan tidak dijumpai induk yang mengandung oosit vitelogenesis, sedangkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 3000 mg/kg pakan mencapai 366.2 µg/g. Kandungan vitamin C dalam ovarium juga sangat bergantung pada kadar vitamin C dalam
pakan yang diberikan.
Beberapa hasil penelitian telah
memperlihatkan bahwa ada kecendrungan peningkatan kadar vitamin C dalam ovarium hingga kapasitas tertentu sejalan dengan peningkatan kandungan vitamin C ransum pakan. Penelitian Azwar (1997) memperlihatkan bahwa induk ikan nila yang menerima pakan masing-masing dengan suplementasi APM 0, 750, 150, 2250, dan 3000 mg/kg pakan memperlihatkan kandungan vitamin C ovarium masing-masing sebesar 26.26, 295.90, 375.70, 370.27, dan 349.26 µg/g bobot ovarium. Tingginya kandungan vitamin C saat ovarium berkembang berkaitan dengan fungsinya sebagai kofaktor enzim prolil dan lisin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi prolin dan lisin, dan sangat esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat dalam ovarium (Cardinal dan
62
Underfriend dalam Soliman et al. (1986). Kolagen merupakan penyusun utama dinding kantong kuning telur. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa terjadi akumulasi vitamin C di jaringan kolagen yang mengintari sel telur sehingga pada saat gonad berkembang, vitamin C digunakan untuk reaksi hidroksilasi pembentukan jaringan kolagen dari senyawa lisin dan prolin. Hasil analisis kandungan vitamin C pada telur serta larva 0 hari dan larva 2 hari menunjukkan bahwa kandungan vitamin C lebih tinggi pada telur, kemudian menurun setelah telur menetas menjadi larva. Fakta ini membuktikan bahwa vitamin C yang diberikan melalui pakan induk akan diakumulasikan oleh induk pada saat pembentukan telur dan dimanfaatkan saat perkembangan larva. Perbedaan kandungan vitamin C yang sangat besar terlihat pada induk ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L) dibanding dengan induk ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A) pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari (Gambar 14 dan lampiran 16). Hal ini membuktikan bahwa vitamin C memang sangat dibutuhkan dalam perkembangan embrio dan larva, seperti pada pembentukan kolagen yang merupakan komponen utama pada kulit dan jaringan ikat serta zat-zat pembentuk tulang dan gigi, dan merupakan bahan dasar zat-zat yang terdapat di antara sel-sel. Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan terganggunya sintesis kolagen yang menimbulkan penyakit (Pilliang, 2000). Sintesis kolagen meliputi proses hodroksilasi prolin secara enzimatik untuk membentuk suatu komponen stabil, yaitu matriks ekstra seluler. Secara umum diketahui bahwa asam askorbat berfungsi untuk sintesis kolagenkolagen yang rusak, dengan demikian merangsang pembentukan jaringan pengikat yang diperlukan untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak serta mempercepat pertumbuhan. Kuantitas kandungan protein dan lipida telur sangat mempengaruhi kualitas telur. Lipida sangat cepat menurun pada saat perkembangan embrio dan larva karena senyawa ini digunakan sebagi energi utama dan penyusun struktur jaringan tubuh. Suplementasi vitamin C dalam ransum pakan dapat meningkatkan kandungan lipida telur. Ketersediaan vitamin C dalam ransum pakan ikan juga mempengaruhi metabolisme lipida selama siklus reproduksi dan kandungan lipida
63
telur. Hasil penelitian ini melaporkan bahwa total lemak pada telur meningkat sejalan dengan peningkatan dosis penambahan vitamin C. Azwar (1997) mencatat bahwa lipida nonpolar dari telur ikan nila yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C. Vitamin C dapat mempengaruhi metabolisme lemak dan L-karnitin tubuh (Miyasaki et al. 1995). Vitamin C berperan dalam biosintesis karnitin, yaitu kofaktor yang dibutuhkan untuk aktivitas enzim hidroksilase pada mitokondria dan sitosol (Feller dan Rudman 1988). Di dalam sel, karnitin berperan dalam transfer asam lemak rantai panjang dari sitosol ke mitokondria untuk dikonversi menjadi energi melalui proses β-oksidasi Dengan demikian besarnya akumulasi vitamin C telur dari induk yang ditambahkan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H) terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan lemak untuk penyediaan energi selama proses embriogenesis berlangsung, yaitu dari telur sampai larva menetas (larva umur 0 hari) dan selama perkembangan awal larva (sampai kuning telur habis) melalui proses β-oksidasi. Hal ini jelas terlihat dari besarnya jumlah vitamin C dan lemak di telur yang digunakan selama proses tersebut berlangsung, yaitu masing-masing 69.7 µg/g dan 14.71% untuk induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM
1200
mg/kg pakan dan
estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), dibanding induk ikan dengan kombinasi APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A), yakni sebesar 5.93 µg/g dan 9.86 % (Lampiran16 dan Lampiran 18). Horning et al (1984) mencatat bahwa defisiensi vitamin C menyebabkan penurunan tingkat karnitin dalam jaringan, dan sebagai akibatnya terjadi penurunan produksi energi.
Terjadinya penurunan produksi
energi ini dengan jelas terlihat dari besarnya persentase sisa lemak yang tertinggal pada larva umur 2 hari dari induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A), yakni sebesar 72% (Lampiran 18). Hasil penelitian Mokoginta et al. (2000) juga mencatat hal yang sama, yaitu terjadi penurunan kandungan lemak telur yang cukup besar selama proses embriogenesis berlangsung dan selama pertumbuhan awal larva (sampai kuning telur habis).
Miyasaki et al. (1995) memperlihatkan bahwa kandungan lemak
jaringan tubuh ikan raibow trout yang menerima pakan dengan penambahan
64
vitamin C selama 60 hari berbeda sangat nyata dari kandungan lemak awal setelah mengalami pelaparan selama 60 hari, sedangkan ikan yang menerima pakan tanpa penambahan vitamin C tidak memperlihatkan perbedaan kandungan lemak jaringan setelah masa pelaparan dibandingkan dengan kandungan lemak awal. Dengan optimalnya vitamin C dalam tubuh ikan, ketersediaan karnitin sebagai karrier cukup sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan lemak tubuh. Penambahan vitamin C dalam pakan ikan rainbow trout dapat meningkatkan kadar total karnitin di otot dan di hati. Vitamin C dapat mempengaruhi metabolisme lemak dan L-karnitin tubuh (Miyasaki et al. 1995). Vitamin C berperan dalam reaksi enzim hidroksilase sitosolik pada tahap II dan V jalur pembentukan karnitin (Feller dan Rudman 1988). L-karnitin merupakan komponen yang terdapat dalam jantung, otot kerangka, hati, dan beberapa jaringan lain. Komponen ini berperan dalam transpor asam lemak ke mitokondria, dimana asam-asam lemak akan dioksidasi yang akan diperlukan oleh sel-sel dan jaringan lainya (Piliang 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa karnitin disintesis dari lisin dan metionin oleh dua enzim hidroksilasi, dimana kedua enzim tersebut mengandung ferro dan L-asam askorbik.
Defisiensi L-asam ascorbik dapat
menurunkan produksi karnitin dan akan menyebabkan akumulasi trigliserida dalam darah, kelelahan, dan penyakit sariawan. Sebagaimana sudah diketahui bahwa salah satu fungsi vitamin C adalah sebagai zat antioksidan, yaitu dapat mencegah terjadinya oksidasi lemak (Halver 1989). Linder (1992) mengemukakan bahwa pada tingkat molekuler, vitamin C mempunyai sifat pereduksi seperti halnya vitamin E. Dalam keadaan demikian, vitamin C mempunyai sifat umum yang penting
sebagai antioksidan. Sifat
antioksidan ini akan melindungi lemak dari proses oksidasi sehingga akumulasi lemak telur menjadi tinggi seperti yang dihasilkan oleh induk dengan kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan H), yaitu sebesar 43.12%. Namun, peningkatan kadar APM pakan yang lebih tinggi seperti pada kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L) dengan nilai 44.45% tidak akan meningkatkan akumulasi lemak di telur yang lebih tinggi secara nyata dibanding telur dari induk yang menerima perlakuan sebelumnya. Lemak yang terkandung dalam telur selain digunakan
65
sebagai sumber energi, juga dapat di konversi menjadi struktur membram sel atau senyawa lainnya seperti prostagladin (Watanabe 1988). Dengan demikian kandungan lemak di dalam telur dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur kualitas telur yang dihasilkan oleh induk ikan. Dari hasil analisis fosfolipid (FL) pada telur, kandungan FL yang tertinggi dicapai oleh induk dengan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L). Fosfolipid mengandung asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan pada perkembangan telur dan proses embriogenesis. Keberadaan asam lemak esensial pada membran sel dapat mempengaruhi sifat fluiditas membram sel serta berfungsi sebagai prekursor senyawa prostagladin yang berperan sebagai hormon. Prostagladin diketahui sebagai mediator kerja gonadotropin saat pecahnya folikel (ovulasi) pada ikan (Lam 1985). Prostagladin juga terlibat dalam peningkatan c-AMP yang dipicu oleh LH atau GTH-II. Dengan demikian, peningkatan fluiditas membran sel dan prostagladin telur akan menyebabkan aksi gonadotropin dalam pembentukan telur meningkat sehingga fekunditas meningkat. Asam lemak esensial yang terkandung dalam telur berpengaruh pada stadia awal embriogenesis dan akan menentukan apakah embrio tersebut akan berkembang atau tidak (Mokoginta 1992) Hasil analisis protein menunjukkan peningkatan kandungan protein pada telur ke larva 0 hari dan stabil pada larva 2 hari (Gambar15 dan Lampiran 17). Hasil penelitian ini didukung oleh Ahmady (2001) pada ikan patin dan Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, dimana ada kecenderungan peningkatan kandungan protein dari telur ke larva.
Hal ini berhubungan dengan dimulainya
proses pembentukan jaringan dan organ-organ tubuh pada saat telur menetas, seperti terbentuknya kepala, abdomen, dan ekor.
Pada hari kedua terbentuk
saluran pencernaan, mata, sirip dada, dan terjadi penebalan pada rangka utama. Pada hari ke tiga saluran pencernaan dan mata sudah terbetuk dengan sempurna dan telah siap difungsikan. Pada saat ini cadangan energi berupa kuning telur telah habis karena telah digunakan dalam pembentukan jaringan hingga jaringan tersebut berfungsi. Cadangan energi yang ada adalah oil globule (butir minyak). Jika dalam waktu tertentu larva belum memperoleh makanan maka oil globule akan dimanfaatkan terus. Makin lama larva hidup dengan mengandalkan energi
66
cadangan, makin baik kualitas larva tersebut. Dalam sintesis kolagen dibutuhkan senyawa protein yang berbentuk superhelik yang terdiri atas asam amino lisin dan hidroksilasi prolin sebagai penopang utama integritas struktur jaringan tubuh. Dari hasil analisis protein telur didapatkan bahwa kandungan protein tertinggi di peroleh pada induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg (perlakuan K), yaitu sebesar 60.98, diikuti oleh induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg (perlakuan L) sebesar 60.67, dan yang terendah adalah kombinasi antara penambahan APM 0 VC mg/kg dan 0 μg/kg (perlakuan A) sebesar 53.72. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dalam pakan akan ikut mempengaruhi proses vitelogenesis sehingga pada saat proses vitelogenesis berlangsung, vitamin C ikut mempercepat pembentukan lipoprotein yang merupakan bahan baku pembentukan kuning telur. Seperti diketahui bahwa komponen utama kuning telur adalah protein. Protein merupakan bahan utama pembentuk jaringan. Jika protein tidak mencukupi selama perkembangan embrio, seperti yang terlihat pada induk dengan kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg (perlakuan A), proses perkembangan embrio akan terganggu atau lebih jauh lagi akan menghasilkan larva yang abnormal. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penambahan APM dalam pakan turut meningkatkan rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) dibanding dengan perlakuan
yang tidak dilakukan penambahan.
Dalam hubungannya dengan
pembentukan kolagen, maka salah satu cara untuk mendeteksinya adalah dengan melihat hasil pengukuran prolin dan hidroksiprolin serta ratio antara keduanya. Kalau rasio HP/P tinggi, peluang terjadinya pembentukan kolagen akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Penambahan vitamin C dalam pakan akan meningkatkan rasio HP/P di ovarium dan larva ikan, dibanding dengan tanpa penambahan vitamin C. Pola ini sama dengan yang ditemukan oleh Sato et al. (1982) dan Sato et al. (1987) yang memperlihatkan bahwa penambahan vitamin C dalam pakan pada benih ikan rainbow trout akan meningkatkan rasio HP/P yang dihasilkan baik di kulit maupun di tulang. Selanjutnya Sato et al. (1991) mencatat pula bahwa bentuk vitamin C tidak mempengaruhi rasio HP/P di kulit dan di tulang benih rainbow trout.
67
Penurunan rasio HP/P dari ovarium ke larva umur 0 hari dan larva umur 2 hari memperlihatkan terjadinya peningkatan aktivitas biosintesis kolagen untuk menopang struktur tubuh embrio yang baru menetas. Tingginya rasio HP/P pada pakan yang disuplementasi vitamin C menunjukkan bahwa vitamin C dibutuhkan dalam sintesis kolagen. Prolin merupakan bahan baku utama untuk sintesis hidroksiprolin yang merupakan komponen utama penyusun formasi kolagen. Peranan vitamin C dalam sintesis kolagen dimulai dari proses hidroksilasi asam amino lisin dan prolin menjadi hidroksilisin dan hidroksiprolin . Proses ini melibatkan enzim prolin/lisin hidroksilase, O2, ion ferro (Fe ²+), α-ketoglutarat, dan vitamin C. Peranan utama vitamin C dalam reaksi ini adalah untuk mengubah ion ferri (Fe ³+) menjadi ferro (Fe ²+) atau untuk mempertahankan kondisi ferro (Masumoto et al. 1991). Sato et al. (1987) melaporkan bahwa rasio HP/P dari benih ikan rainbow trout yang diberi pakan dengan penambahan vitamin C di tulang punggung adalah 0.84, sedangkan penambahan vitamin C sebesar 0.75.
yang menerima pakan tanpa
Nilai ini relatif sama dengan yang
dihasilkan oleh larva 0 hari dan larva 2 hari dari induk yang menerima pakan dengan penambahan APM dan tanpa penambahan APM
pada penelitian ini
(Lampiran 19). Goodman (1994) mengemukakan bahwa kekurangan vitamin C cenderung melemahkan struktur penyusun tubuh dan akibatnya pertumbuhan larva menjadi tidak normal. Tingginya persentase larva abnormal yang dihasilkan oleh kelompok induk ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi APM pada pakan dibanding dengan kelompok induk ikan yang menerima pakan dengan penambahan APM berkaitan
erat dengan peranan vitamin C dalam sintesis
kolagen yang berguna menopang pertumbuhan tulang yang normal dari larva. Hasil penelitian Azwar (1997) menunjukkan bahwa penambahan vitamin C sangat nyata mempengaruhi persentase larva abnormal. Persentase larva abnormal menurun dari 16.74% pada pakan kontrol dan hanya 0.56% pada pakan yang ditambahkan APM sebesar 3000 mg/kg pakan. Demikian juga hasil penelitian dari Soliman et al. (1986) pada ikan Oreochromis mossambicus dan Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, menghasilkan persentase larva abnormal rendah pada pakan yang ditambahkan vitamin C.
68
Dari keseluruhan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pada pakan dan implantasi hormon estradiol 250 μg/kg adalah yang terbaik untuk induk ikan lele, dalam rangka mempercepat kematangan gonad dan menghasilkan kualitas telur dan larva yang tinggi. Peningkatan penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan induk ikan diketahui dapat meningkatkan kandungan vitamin C telur sehingga menghasilkan ketahanan hidup larva yang tinggi dan mengurangi larva abnormal.
69
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan : 1. Kombinasi penambahan ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg pada pakan dan implantasi dengan 250 μg/kg pada induk ikan merupakan kombinasi yang terbaik karena mampu memberikan pengaruh tertinggi pada kecepatan pematangan gonad, indeks gonad somatik, daya tetas telur, ketahanan hidup larva, dan larva abnormal. 2. Kombinasi penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan dan implantasi estradiol-17β pada ikan lele memperlihatkan respons berbeda nyata dengan kontrol dan efektif untuk peningkatan kinerja penampilan reproduksi ikan lele. 3. Dengan semakin meningkatnya penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan induk ikan diketahui dapat meningkatkan kandungan vitamin C telur sehingga menghasilkan ketahanan hidup larva yang tinggi dan mengurangi larva abnormal.
Saran Untuk menghasilkan kualitas telur dan larva yang baik serta pematangan gonad yang cepat diperlukan pemberian APM sebanyak 1200 mg/kg pakan dan diimplantasi dengan estradiol-17β sebanyak 250 μg/kg .
DAFTAR PUSTAKA Agrawal NK, Mahajan CL. 1980. Comparative tissue ascorbic acid studies in J Fish Biol 17:135-141.
fishes.
Ahmad MM, Nasim KM, Mahmood, MJ Javaid. 1990. The role of AA in steroidogenesis during the reproductive cycle of fish Tilapia nilotica. Proc. Pakistan Congr Zool 9: 25-29. Ahmady K. 2001. Pengaruh kadar vitamin C dalam bentuk L-ascorbyl-2phosphate magnesium dalam pakan terhadap kualitas telur ikan patin (Pangasius hypophthalmus) tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Aida K, Kobayasi M, Kaneko T. 1991. Endokrinologi. P. 167-121. Dalam: Hazawa, M. dan I. Hanyu (eds). Fisiologi ikan. Koseisha Koseikaku, Tokyo. Akiyama T, Shiraishi M, Yamamoto T, Hirose K. 1990. Variation of administrated ascorbic acid levels during maturation and spawning period in sardine. Jpn Soc Fisheries Meeting, Oct. Abs:436. Alava VR, Kanazawa A, Teshima S. 1993. Effect of dietary Lascorbyl-2-phosphate magnesium on gonadal maturation of Penaeus japonicus. Nippon Suisan Gakkaishi 59 :691-696. Al Amaoudi MM, El-Nakadi AMN, El-Nouman BM. 1992. Evaluation of dietary requirement of vitamin C for the growth of Orechromis spilirus fingerling in water from the red sea. Aquaculture 105: 165-173. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiantono S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan IPB Press. Azwar ZI. 1997. Pengaruh ascorbil fosfat magnesium sebagai sumber vitamin C terhadap perkembangan ovarium dan penampilan larva ikan nila (Oreochromis sp.) disertasi . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Azwar ZI, Priyono A, Setiadarma T, Sutarmat T. 2001. Pengaruh suplemen ascorbil fosfat magnesium sebagai sumber vitamin C dalam ransum terhadap perkembangan gonad dan mutu telur ikan bandeng (Chanos chanos Forskal). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 : 40–47. Bagarino T. 1995. Biology of Milkfish. Training Course on Marine Fish Hatchery, 06 Juni-July 1995. Bagenal TB. 1969. Relationship between egg size and fry survival in Brown trout (Salmo Trutta L). J Fish Biol 1: 349-353.
71
Baidya AR, Senoo S. 2002. Observations of oocyte final maturation and eggs on African Catfish Clarias gariepinus under artificial rearing conditions. Suisanzoshoku 50. 415-422 Blaxters HS. 1969. Development of egg and larvae. p: 184-190. In Hoar and Randall (eds), Fish Physiology Vol III, Academic Press Inc. Cerda JBG, Calman GJ, Lafleur Jr, Limesand S. 1996. Pattern of vitellogenesis and folicle maturational competence during the ovarian folicular cycle of Fundulus heteroclitus. Gen. Comp Endocrinol 103: 24-35. Chinabut S, Limsuwan LC, Kitsawat P. 1991. Histology of the walking catfish Clarias batrachus. International Development Research Centre. Canada. Cho CY, Cowey CB, Watanabe T. 1985. Finfish Nutrition in Asia Metodhological Approaches to Research and Development, Ottawa, Ont IDRC. Dabrowski K. 1991. Comparative bioavailability of ascorbic acid and its stable form in rainbow trout. School of Natural Resources, The Ohio State University Colombus: 344-356. Dabrowski K. 2002. Ascorbic acid in aquatic organisms status and perspectives. CRC Press London. Dabrowski K, Blom JH. 1994. Ascorbic acid deposition in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) eggs and survival of embryos. Comp Biochem. Physiol 109 A :129-135. Djojosoebagio S. 1996. Fisiologi Nutrisi, edisi II. Jakarta. Dushkina LA, 1975. Viability of Herring (Clupea) eggs and fertilizing capacity of herring sperm stored under various conditions. J Ichthyology,15. 423-429. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Efrizal 1995. Pengaruh penyuntikan 17α-hidroksi Progesteron dan hCG terhadap ovulasi dan kualitas telur ikan lelel dumbo (Clarias gariepinus). disertasi . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Facon AGJ. 1987. Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp. A training manual I. The essential nutrients. FAO. Brazil Feller AG, Rudman D. 1988. Role of carnitine in human nutrition. J Nutrition. 188 : 541–547.
72
Flett PA, Leatherland JF. 1989. Dose related effect of 17β-estradiol on liver weight, plasma E2, protein, calcium, and thyroid hormone levels and measurement of finding of thyroid hormones to vitellogenin in rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). J Fish Biol 34:515-527. Fostier A, Weil C, Terqui MB, Breton, Jalabert. 1978. Plasma estradiol-17β and gonadotropin during ovulation in rainbow trout (Salmo gairdneri R). Ann Biol Anim Boch Biophys 18: 929-936. Guary MM, Coccaldi HJ, Kanasawa. 1975. Variation of ascorbic acid during ovarian development and the moulting cycle Palaemon serratus (Crustace: Decapoda). Mar Biol 32: 349-355. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Ed-2. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Goodman S. 1994. Vitamin C the master nutrient. Terjemahan oleh Muhilal. Komar. Gramedia. Jakarta. Hjartarson SV, Bjornsson BTh, Moksness E, Norberg B. 1991. Induction of vitellogenin synthesis in juvenile striped wolffish (Anarhichas lupus L). hlm 322 Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive Physiology of Fish. Univ of East Anglia Norwich UK 7-12 July 1991. Halver J.E. 1985. Recent advances in vitamin nutrition and metabolism in fish. In : Cowey CB, Machie AM, Bill JG (eds). Nutrition and feeding in fish. Academic Press London 221–242. Halver J.E. 1989. Fish nutrition. Academic Press Inc London. Hassin SZ, Yaron, Zohar Y. 1991. Folicular steroidogenesis, steroid profiles and oogenesis in the European Sea Bass (Dicentrarchus labrax). hlm 100. Proceeding of the Fourth International Symposium on the Reproductive Physiology of Fish. Univ of East Anglia,Norwich UK 7-12 July 1991. Harder 1975. Anatomy of Fish. Schweizertbartsche Verlagsbuchhandlung Stuttgart. Heming IA, Budington RK. 1989. Yolk absorbtion in embryonic and larva fish. In : Hoar WS, Randall DJ. (Eds) Fish physiology IX. Academic Press Inc New York. 480 – 485 Hirose K, Machida Y, Donaldson EM. 1979. Induced ovulation of Japanesse Flounder (Limanda yokohama) with HCG and Salmon gonadotropin, with special reference to changes in the quality of egg retained in the ovarium cavity after ovulation. Bull Jap Soc Sci Fisheries 51: 1395-1 3 9 9 .
73
Horning DB, Glathaar, U Mosses. 1984. General aspects of ascorbic acids function and metabolism. Proceedings ascorbic acid domestic animals. Copenhagen. Royal Denish Agri Sci Soc 3–24. Indriastuti. CE. 2000. Aktivasi sintesis vitelogenin pada proses rematurasi ikan jambal siam (Pangasis hypohthalmus F.). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor . Ishibashi Y, Kato K, Ikeda S. 1994. Effect of dietary ascorbic acid supplementation on gonadal maturation in Japanese parrot fish. Suisanzoshoku 42: 279-285. Isriansyah. 2005. Pengaruh penggunaan LHRH analog dan 17αmetiltestosteron terhadap perkembangan gonad ikan baung (Hemibargrus nemurus Blkr.). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor . Kamler E. 1992. Early Life History of Fish. An Energetic Approach. Chapman and Hill. London. Khoironi. 2002. Peranan kombinasi kolesterol dan vitamin E sebagai perangsang pematangan gonad ikan lele (Clarias gariepinus). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor . King HR, Pankhurst NW. 2004. Ovarium growth and plasma sex steroid and vitellogenin profiles during vitellogenesis in Tasmania female Atlantic Salmo salar. Aquaculture 219: 797–813. Kjorsvik E, Mangor A, Holmford I. 1990. Egg quality in fishes. Advances in Marine Biologiy 26: 71-113. Kjorsvik E, Lonning S. 1984. Morphological, physiological and genetical studies of egg quality in Cod fish (Gadus morhua L). In the Propagation of Cod Gadus morhua L. Flodevigen rapport serie 1: 67–86 Kjorsvik E, Rutan HK, Rutan KL. 2003. Egg and larva quality criteria as predictive measures for juvenil production in Turbot (Scophthalmus maximus L). Aquaculture 227: 9–20. Komatsu M, Hayasi S. 1997. Pharmacological dose of estradiol 17-β induces vitelogenin synthesis in cultured hepatocytes of immature Eel (Anguilla japonica ). Fisheries Sciences 63: 9 8 - 9 9 4 . Kuo TJ, Nash CE, Shehadeh CH. 1974. A Procedural guide to induce spawning in Grey Mullet (Mugil cephalus). Aquaculture 3: 1-4. Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Pasino DRM. 1977. Ichthiology. John Wiley and Sons Inc New York, London.
74
Lam TJ, Sharma R. 1985. Effects of salinity and thyroxine on growth and development in the carp Cyprinus carpio. Aquaculture 44 : 201-212 Laven SP, Sorgeloos R. 1991. Variation in egg and larva quality in various fish and crustacean. Larviculture Symposium. 1991 August 27-30 Belgium: 221- 222. Lee WK and Yang SW. 2001. Relationship between ovarian development and serum levels of gonadal steroid hormones, and induction of oocyte maturation and ovulation in the cultured female korean spotted sea bass (Lateolabrax maculatus ) Aquaculture 207 : 169-183 Leray C, Nonnotte G, Roubaud P, Leger C. 1985. Incidence of (n-3) essential fatty acid deficiency on trout reproductive processes. Reprod Nutr Develop 25 : 567 – 581 Linhart 0, Kudo S, Billard R, Slechta V, Mikodina EV. 1995. Morphology. composition and fertilization of carp eggs: A review. Aquaculture 129: 75-93. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme (Terjemahan) Universitas Indonesia. Machlin LJ, 1990. Hand Book of Vitamin. Second Edition. Revised and Expanded Makatutu D. 2002. Suplementasi vitamin C dalam pakan untuk memacu perkembangan gonad dan meningkatkan mutu telur ikan kerapu bebek (Epinephelus microdon). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Masumoto TH, Hosokawa, Shimeno S. 1991. Ascorbic acid role in aquaculture nutrition. DN Akiyama, Tan RKH, (eds): Feed processing and nutrition workshop. Proceeding of the aquaculture 1991 September 19-25. ThailandIndonesia. American Soybean Association, Republic of Singapore: 42-48. Matty AJ. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portland. McEvoy LA. 1984. Ovulatory rhytim and over ripening of egg in cultivated turbot Scophthalmus maximus L. J Fish Biol 24: 437-448. Mokoginta I, 1991. Kebutuhan ikan lele (Clarias batrachus L.) akan asam lemak essensial bagi perkembangan induk. Direktorat Pembinaan Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat, Fakultas Perikanan IPB. Mokoginta I, Moeljohardjo DS, Takeuchi T, Sumawidjaja K, Fardiaz D. 1995. Kebutuhan asam lemak esensial untuk perkembangan induk ikan lele (Clarias batrachus). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia III: 41-50. Mokoginta I., Jusadi D, Setiawati M, Takeuchi T, Suprayudi MA. 2000. The effect of different levels of dietary n-3 fatty acid on the egg quality of
75
catfish (Pangasius hypophthalmus),. The Proceeding of The JSPS-DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area. August 2125, Bogor – Indonesia. hlm: 252-256 Mollah MFA and Tan ESP. 1983. HCG induced spawning of the Catfish, Clarias macrocephalus Guntther. Aquaculture 35 : 239-247. Miyasaki T, Sato M,. Yoshinaka R Sakaguchi M. 1995. Effect of vitamin C on lipid and carnitine metabolism rainbow trout. Fish Sci 61 : 501–506. Mylonas CC, Zohar Y. 2001. Endocrine regulations and artificial induction of oocyte maturation and spermiation in basses of the genus morone. Aquaculture 202:205-220. Nagahama Y. 1983. The Functional morphology of Teleost gonads. In. WS Hoar, Randall DJ, Donaldson EM (Eds.). Fish physiology IX B. Acad Press New York. hlm 223-275. Nagahama Y,. Kyawa H, Young G. !982. Celluler source of sex steroids in teleost gonad. Can J Fish Aquaculture Sci. 39 : 56–64. Nagahama Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int J Dev Biol 38 : 217–229. Nagahama Y, Yoshikuni M, Yamashita M, Tokumoto T, Katsu Y. 1995. Regulation of oosit growth and maturation in fish. In : Pedersen RA, Schatten GP editor. Current Topics in Developmental biology. Volum 30 New York. Academic Press. hlm 223–275. NRC (National Research Council). 1977. Nutrient Requirement of Warm Water Fish and Shellfish (Revised Edition) National Academy Press Washington DC. Piliang WG. 2000. Nutrisi Vitamin. Vol. 2. Penerbit Pertanian Bogor. Priyono A, Sugama K, Azwar ZI, Setiadarma T. 1996. Pengaruh suplementasi askorbil fosfat magnesium dalam pakan terhadap reproduksi ikan bandeng (Chanos-chanos). Laporan Proyek Penelitian Perikanan Pantai. Gondol. Readding JM, Patino R. Reproductive Physiology In : Evans DH. Eds. The Physiology of fish. USA : CRC Press Inc 503 – 533. Saeymour EA. 1981. Gonadal ascorbic acid and changes in level with ovarian development in the crussian carp (Carassius carassius L). Comp Biochem Physiol.70 :551-553. Sandnes K. 1984. Some aspects of ascorbic acid on reproduction in fish. Proc. Ascorbic acid in domestic animals. Royal Danish Agricultural Soc. Copenhagen hlm 206-212.
76
Sandnes K, Braekkan OR, Utne F. 1984. The effect of ascorbic acid suplementation in broodstock feed on reproduction of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture, 43: 167-177. Sandnes K and Braekkan OR. 1981. Ascorbic acid and reproductive cycle of ovaries in cod (Godus morhua). Comp Biochem Physiol 70:543-546. Sandnes K. 1991. Studies on Vitamin C in Fish Nutrition. Dept Fisheries and Marine Biology, Univ Bergen Norway. Sakai K, Nomura M, Takashima. F 1985. Characteristics of naturally spawned eggs of red seabream. Bull Jap Soc Sci Fisheries 51: 1395-1399. Sato M, Yoshinaka R, Ikeda S. 1982. Dietary ascorbic acid requirement of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) for growth and collagen formation. Bull Jpn Soc Fish 44 : 1029–1035. Sato M, Kondo T, Yoshinaka R, Ikeda S. 1982. Effect of dietary ascorbic acid levels in collagen formation in rainbow trout. (Oncorhynchus mykiss). Bull Jpn Soc Fish 48 : 553–556. Schuep W, P Hofman and E Kock. 1994. The assay of ascorbic acid in tissue and analysis of ascorbate-2-polyphosphate in feed and its stability. Roche Seminar. Singh PB, Singh TP. 1990. Seasonal correlation changes between sex steroid and lipid level in the fresh water female catfish (Heteropneustes fossilis) J Fish Biol 37:793-802. Soliman AK, Jauncey K, Robert RJ. 1986. The effect of dietary ascorbic acid suplementation on hatchability, survival rate and fry performance in Oreochromis mossambicus. Aquaculture 59:197-208. Steel GD, Torrie JH. 2001. Principles and Procedure of Statistics. A Biometrical Approach, Mc Graw-Hill Inc. New York. Sukendi 1995. Pengaruh kombinasi penyuntikan ovaprim dan prostagladin terhadap daya rangsang ovulasi dan kualitas telur ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sullivan CV, Tao Y, Hodson RG, Hara A, Bennet, Woods LC. 1991. Vitellogenin and vitellogenesis in Striped Bass (Morone saxatilis). hlm 315317. Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive Physiology of Fish. Univ East Anglia, Norwich, UK. 7-12 July 1991. Sumawidjaja K, Eidman K, Sumantadinata K, Harris E, Darnas D. 1983. Laporan Pilot Proyek Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Induk dan Benih
77
Ikan Air Tawar. Kerja Sama Dinas Perikanan Pemda Jawa barat dan Fakultas Perikanan IPB. Sularto. 2002. Pengaruh implantasi LHRH dan estradiol-17β terhadap perkembangan gonad ikan Pangasius djambal. tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Supriyadi. 2005. Efektivitas pemberian hCG dan 17α-metiltestosteron yang dienkapsulasi di dalam emulsi terhadap perkembangan gonad ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suyanto SR. 1986. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya., Jakarta. Syarizal. 1998. Kadar optimun vitamin E (α-tokoperol) dalam pakan induk ikan lele (Clarias batrachus), tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tang UM dan R Affandi. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Bogor. Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrient, hlm 179-232. In T Watanabe ed. Fish Nutrition and Mariculture. Kanagawa Fisheries Training Centre; JICA Tokyo. Tan-Fermin JD, Ijiri S, Ueda H, Adachi S, Yamauchi K. 1997. Ovarian development and serum steroid hormone profiles in Hatchery-bred female Catfish Clarias macrocephalus (Gunther) during an annual reproductive Cycle. Fisheries Science 63:867-872. Thakur NK. 1978. On the maturity and spawning of an air breathing catfish (Clarias batrachus). Matsya, 4: 59-66. Tucker RW And Halver JE. 1984. Distribution of ascorbate-2-sulphate, half-life and turn over of ascorbit acid in rainbow trout. J Nutrition 114 : 991-1000. Tyler C. 1991. Viteollogenesis in Salmonid. In Scott AP, Sumpter JP, Kime DE and Rolfe MS (Eds). Procedings of the Fourth International Symposium on the Reproductive Physiology of Fish. University of East Anglia. Norwich. hlm 295-299. Toelihere M. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa Bandung. Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture. JICA. The General Aquaculture Course. Dept of Agriculture Bioscience. Tokyo University. Waagbo RT, Thorson, Sandnes K. 1989. Role of dietary ascorbic acid in vitellogenesis in rainbow trout. Aquaculture 80:301-314. Woynarovich E, Horvath L. 1980. The Artificial Propagation of Warm Water Finfish. FAO Fisheries technical Paper No. 201. FIR/T 201.
78
Yaron Z. 1995. Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in the carp. Aquaculture 129: 49-73. Yusuf NS. 2005. Efektivitas Hormon LHRHa dan Estradiol-17β melalui emulsi W/O/W terhadap perkembangan gonad ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr). tesis . Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zairin M, Furukawa, Aida. 1992. Introduction of ovulation by hCG injection in tropical walking catfish Clarias batracus reared under 23–25º C. Nippon Suisan Gakkashi 58 : 1681–1685. Zohar Y. 1991. Fish Reproduction: Its Physiology and artificial manipulation hlm 65-119. In S. Sshilo and S. Saring (Eds). Fish culture in warm water problems and trends. GRC Press. Zohar Y, Mylonas CC. 2001. Endocrine menipulation of spawning in cultured fish : from hormones to genes. Aquacultue 197 : 99-136
79
Lampiran 1. Komposisi vitamin mix dan mineral mix Vitamin Mix Vitamin B1 Riboflavin Tiamin Vitamin B12 Ca pantotenat Inositol Biotin Piridoksin Niasin Vitamin K3 Asam folat a - Tokoferol Vitamin AD3 Mineral Makro (g/kg) KCl Mg SO47H2O Na H2PO4H2O Fe-sitrat NaCl Ca-laktat Trace Mineral (mg/kg) Zn SO4 7H2O Mn SO4 Cu SO45H2O CO Cl2 6H2O KIO3 Selulosa (g/kg)
Jumlah (mg/100g) 6.00 mg 1.00 mg 300.00 mg 0.01 mg 10.00 mg 1440.00 mg 75.00 mg 10.00 mg 5.00 mg 5.00 mg 15.00 mg 240.00 mg 40.00 g. Jumlah 8.76 7.50 26.70 1.25 1.00 11.27 Jumlah 1.50 81.00 15.50 0.30 1.50 2.95
80
Lampiran 2. Cara Pembuatan Pelet Hormon Estradiol-17β 1. Hormon estradiol-17β ditimbang sesuai yang direncanakan, kemudian larutkan dengan alkohol 50% sebanyak 1 ml. 2. Sebanyak 160 mg kolesterol tepung dimasukkan ke dalam cawan petri dan diambil larutan No.1 sesuai dosis yang diinginkan dan dicampur sampai merata. 3. Bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam oven selama satu jam pada suhu ± 370C. 4. Kemudian ditambahkan cocoa butter ± 0.2 ml, dan diaduk hingga merata, kemudian disimpan di refrigerator selama 24 jam. 5. Penimbangan adonan No. 4 dilakukan sesuai untuk setiap bobot ikan, kemudian dicetak dengan menggunakan plexy glass.
81
Lampiran 3. Prosedur penyiapan preparat histologi gonad ¾
Fiksasi dilakukan dengan cara merendam jaringan ke dalam larutan fiksatif. Fiksatif yang digunakan adalah Bouin dan paraformaldehida 4%. Sebelum perendaman dilakukan, jaringan gonad disayat-sayat terlebih dahulu dengan tujuan agar larutan fiksatif tersebut dapat masuk ke dalam jaringan secara merata Lama perendaman jaringan di dalam larutan fiksatif adalah seminggu.
¾
Bahan dehidrasi/dehidratan yang digunakan pada penelitian ini adalah alkohol. Prosedur dehidrasi dengan dehidratan alkohol adalah memasukkan jaringan ke dalam alkohol secara bertahap, mulai dari konsentrasi rendah sampai ke konsentrasi tinggi. Konsentrasi alkohol dimulai dari 70%, 80%, 90%, dan 95% masing-masing selama 24 jam. Selanjutnva jaringan dimasukkan ke alkohol absolut (100 %) I, II, dan III masing-masing 1 jam.
¾
Bahan yang digunakan sebagai bahan penjernih adalah xylol. Proses penjernihan ini dapat dilakukan secara bertahap, yakni melalui xylol (1), xylol (2) dan xylol (3). Lama perendaman pada masing-masing xylol adalah 1 jam. Dalam proses infiltrasi dengan paraffin yang bertitik didih sekitar 580C digunakan inkubator yang suhunva dapat tetap terjaga sekitar 58°C. Agar proses ini berjalan sempurna, perendaman spesimen jaringan pada parafin diulang 3 kali masing-masing selama 1 jam. Pemindahan jaringan dari masing-masing parafin dilakukan dengan menggunakan pinset.
¾
Prosedur embedding adalah sebagai berikut: 1. Wadah untuk penanaman (tutup pagoda) dipanaskan kemudian diolesi dengan gliserin secara merata di permukaan cetakan. 2. Cetakan dipanaskan, dan parafin cair dituangkan ke dalam cetakan. 3. Jaringan diambil dari oven dengan menggunakan pinset yang telah dipanaskan. 4. Kemudian parafin cair dimasukkan ke dalam cetakan. 5. Pengaturan jaringan pada cetakan, untuk memudahkan orientasi pada saat pemotongan. 6. Pemberian label pada cetakan, yang diletakkan di dinding cetakan.
82
7. Cetakan yang berisi parafin yang masih cair dan jaringan diapungkan di atas permukaan air dingin. Setelah parafin mengeras, cetakan yang berisi jaringan tersebut ditenggelamkan dan direndam selama satu malam. 8. Cetakan diangkat dari dalam air, kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator untuk memudahkan pelepasan blok parafin. 9. Blok parafin dikeluarkan dari cetakan dengan menggunakan ujung pisau. 10. Blok parafin dipotong (sesuai dengan banyaknya jaringan dalam setiap cetakan) dengan menggunakan pisau yang dipanaskan. 11. Blok parafin dibentuk persegi empat dengan sudut-sudutnya ditumpulkan, kemudian dilekatkan pada blok kayu dengan menggunakan pisau yang dipanaskan. Prosedur pemotongan (sectioning) adalah sebagai berikut: 1. Sebelum pemotongan, blok parafin dimasukkan ke dalam refrigerator atau lemari pendingin. 2. Blok parafin dipasang pada penjepit yang ada pada mikrotom. 3. Pengaturan orientasi blok parafin untuk mendapatkan posisi yang tegak lurus dan tepat di depan pisau. 4. Trimming, yaitu proses pemotongan untuk mendapatkan keseluruhan jaringan yang terdapat pada blok. Ketebalan proses trimming ini adalah 10 μm. 5. Setelah proses trimming dan jaringan pada blok sudah terpotong sempurna, pengatur ketebalan irisan diputar pada ketebalan 5 µm. 6. Mikrotom diputar, sambil mengambil hasil irisan dengan menggunakan kertas yang ujungnya dibasahi. 7. Pita-pita hasil irisan dimasukkan dan diapungkan ke dalam air dingin, kemudian diseleksi dengan menggunakan jarum. 8. Pengambilan irisan yang diapungkan di air dingin menggunakan obyek gelas untuk dipindahkan ke dalam penangas air yang bersuhu 48-50°C untuk beberapa saat (bergantung pada suhu penangas). Pengapungan pada penangas air dimaksudkan untuk mengembangkan irisan.
83
9. Fiksasi dengan cara menyentuhkan irisan dengan objek gelas, kernudian ditiriskan untuk beberapa saat sebelum diletakkan di atas hot plate sampai air yang terdapat pada objek gelas mengering. 10. Penyimpanan preparat ke dalam inkubator minimal 24 jam sebelum proses pewarnaan. Prosedur pewarnaan adalah sebagai berikut: Untuk Hemaktosilin-Eosin 1. Deparafinasi, yaitu proses menghilangkan parafin secara bertahap menggunakan xylol (xylol III, xylol II dan xylol I) selama kurang lebih 5 menit. 2. Rehidrasi, yaitu proses pemberian air pada jaringan secara bertahap ke dalam deretan alkohol mulai dari konsentrasi tinggi sampai konsentrasi rendah (mulai 100 %-70 %) selama kurang lebih 5 menit. 3. Pencucian pada air mengalir selama 10 menit, kemudian air suling selama 5 menit. 4. Pewarnaan dengan hemaktosilin selama 5 - 7 menit 5. Pencucian pada air mengalir lagi selama 10 menit, kemudian air suling selama 5 menit. 6. Pewarnaan dengan eosin selama 15 menit. 7. Pencucian pada air suling selama 5 menit.
84
Lampiran 4. Prosedur radioimuniasai Prosedur analisisnya diperoleh dari DPC Kit kode E 21 (Diagnostic Products Coorppration). Kit terdiri atas tabung polipropilen tanpa “coated antibodies”, tabung polipropilen” dengan coated antibosies”,
125
I larutan estradiol standar estradiol
(0,20,50,150,500,1800 dan 3600 pg estadiol/ml) a. 4 buah tabung polipropilen disiapkan untuk total count dan NSB (non spesific binding) b. 14 buah tabung polipropilen disiapkan untuk “coated antibodies” untuk standar (kalibrator) c. Tabung yang sama dengan b disiapkan untuk contoh yang dianalisis . d. Dipipet kalibrator A untuk NSB dan tabung A. kemudian untuk tabung kalibrator lainnya (B-G) (kalibrator 20-3600pg/ml) e. Sebanyak 100 µl serum diambil dan dipindahkan ke tabung polipropilen “coated antibodies”, ditambahkan 1.0ml 125I estradiol ke setiap tabung, diaduk dengan menggunakan vorteks otomatis hingga homogen. Untuk “total count” disiapkan pula 1.0ml
123
I dalam tabung T inkubasikan pada suhu kamar
selama 3 jam. Kemudian seluruh cairan (kecuali tabung T) dibuang dan tabung dikeringkan selama beberapa menit. f. Endapan radioaktif
125
I dicacah dalam tabung dengan gamma counter.
Berdasarkan data “total counts”, NSB, standar, dapat dibuat kurva nilai cacahan per menit dengan nilai standar dengan menggunakan kertas grafik semi log. Konsentrasi estradiol contoh dihitung berdasarkan grafik standar.
85
Lampiran 5
Analisis lipida polar (Takeuchi , 1988)
a. Sebanyak 30-100 mg lipida ovarium dan hati dilarutkan dalam 1.0 ml kloroform. Larutan kemudian disuntikkan ke permukaan “catridge”. b. Syringe lain yang berisi kloroform 20.0ml disuntikkan ke permukaan catridge dengan kecepatan aliran 25 ml/menit, dan larutan dikoleksi dalam botol (lipida nonpolar), ditimbang (a g). c. Kemudian ke permukaan catridge dialirkan pula campuran metanol dan kloroform (rasio volume 1:49), monogliserida yang tertinggal di catridge akan terelusi dan ditampung dalam botol lipida nonpolar. d. Sebanyak 30 ml metanol dialirkan pula melalui catridge sehingga lipida polar terelusi, kemudia ditimbang lipida polar (x g). e. Larutan
lipida
nonpolar
dan
lipida
polar
dalam
enlemeyer
dievaporasikan dengan “rotary vacuum evaporator” kemudian enlemeyer ditimbang kembali, Jika bobot lipida nonpolar setelah diuapkan b g, dan lipida polar y g maka lipida nonpolar adalah b-a g(C g), dan lipida polar adalah y-x g(Z g).
Fraksi lipida nonpolar =
Fraksi lipida polar =
C x100 (C − Z )
Z x100 (C − Z )
86
Lampiran 6. Analisis vitamin C dengan alat HPLC (Scuep et al. 1994) I. Analisis vitamin C pada pakan ikan, ovarium, telur, dan larva ikan. 1. Sebanyak 0.1 g contoh diekstrasi dengan 5 ml asam metafosforik yang terdiri atas
0.2
%
dithiothreitol
menggunakan
penghangcur
jaringan
(tissue
homogenizer) dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit pada suhui 5-10ºC. 2. Kemudian campuran disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan padatan dan larutan (filtrat) 3.Filtrat diambil kemudian disaring dengan menggunakan filter membran 0.45 μm. Sebanyak 2 ml filtrat diambil dan dipindahkan ke dalam tabung volume 5 ml, ditambahkan 1ml enzim fosfatase (penambahan enzim fosfatase hanya dipakai pada pakan). 4.Contoh dibiarkan selama 6 jam pada suhu kamar. Kemudian 10 μl filtrat disuntikkan ke HPLC. II. Pembuatan standar vitamin C 1. Sebanyak 10 mg asam askorbat ditimbang, kemudian dilarutkan dengan 100 ml buffer asetat pH 4.8 yang terdiri atas 0.2 % dithiothreitol. 2. Campuran diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi standar 2.5, 5.0, 10.0, 15.0, dan 20.0 vitamin C/ml dengan rasio pengenceran 2.5 : 100, 15 : 100, 20 : 100. Kemudian larutan disimpan dalam refrigerator. 3. Dari setiap standar diambil 10 μl dan disuntikkan ke HPLC. 4. Dari hasil pembacaan kurva kromatografi dibuat kurva standar dengan sumbu horizontal sebagai konsentrasi vitamin C. Konsentrasi contoh dapat diketahui dengan menggunakan kurva standar.
87
Lampiran 7. Nilai rataan lama waktu matang ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1 98 98 84 70 42 56 98 28 42 56 56 56
LAMA WAKTU MATANG (hari) 2 3 4 5 Rataan 98 98 98 84 95.20±6.26 70 84 56 70 75.60±15.33 70 56 56 56 64.40±18.78 84 98 56 84 78.40±15.96 56 84 42 42 53.20±15.96 70 42 42 42 50.40±15.96 56 56 70 84 72.80±25.04 42 28 28 70 39.20±11.71 56 28 42 70 47.60±7.66 42 56 98 70 64.40±21.23 42 84 42 28 50.40±15.96 42 42 84 28 50.40±15.96
Lampiran 8. Nilai rataan indeks gonad somatik maksimum ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1 9.86 8.43 9.56 8.78 13.96 16.03 13.98 14.06 17.98 13.02 15.93 14.05
INDEKS GONAD SOMATIK (%) 2 3 4 5 Rataan 8.78 7.43 10.36 9.26 8.33±2.05 9.73 6.24 11.87 7.48 8.75±2.16 10.35 12.65 8.43 10.2 10.23±1.54 10.63 12.98 11.96 7.42 10.35±2.27 14.48 11.22 8.97 12.4 12.20±2.22 15.26 11.98 12.26 14.3 13.96±1.79 11.32 15.26 16.01 12.46 13.80±1.93 17.46 17.82 16.01 14.31 15.93±1.73 11.04 13.62 15.25 15.3 14.63±2.54 13.02 14.83 17.94 11.36 14.03±2.50 16.72 13.23 14.84 17.9 15.72±1.78 15.84 16.02 14.96 13.9 14.95±0.98
88
Lampiran 9. Nilai rataan diameter telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2)
1
2
A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1.18 1.21 1.17 1.22 1.23 1.3 1.19 1.21 1.23 1.28 1.19 1.18
1.24 1.25 1.18 1.18 1.24 1.24 1.29 1.2 1.19 1.23 1.11 1.16
DIAMETER TELUR (mm) 3 4 5 1.19 1.19 1.15 1.19 1.1 1.09 1.26 1.25 1.19 1.18 1.18 1.15
1.16 1.24 1.17 1.21 1.26 1.23 1.18 1.22 1.11 1.16 1.22 1.23
1.17 1.18 1.26 1.15 1.17 1.24 1.13 1.27 1.28 1.15 1.23 1.23
Rataan
1.18±0.03 1.21±0.03 1.18±0.04 1.19±0.02 1.20±0.06 1.22±0.07 1.21±0.06 1.23±0.02 1.20±0.06 1.20±0.05 1.18±0.04 1.19±0.03
Lampiran 10. Nilai rataan fekunditas relatif ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1 58.62 58.02 50.37 83.69 68.46 111.90 92.62 110.16 69.87 67.98 71.26 111.41
FEKUNDITAS RELATIF (butir telur) 2 3 4 5 Rataan 41.85 32.86 41.26 72.22 49.36±15.83 49.26 34.36 51.62 67.24 52.10±12.11 73.26 65.38 67.24 56.10 62.47±9.14 51.74 36.48 96.21 74.22 68.46±24.17 84.17 108.82 67.12 85.86 82.88±16.88 99.36 118.36 60.41 72.10 92.41±25.18 62.86 71.20 69.11 73.14 73.78±11.21 113.69 128.05 89.80 71.60 102.66±22.09 121.28 78.40 121.10 116.41 101.41±25.15 108.24 70.78 63.96 64.12 75.99±18.78 107.11 68.72 107.12 126.28 96.09±25.10 66.26 126.48 59.18 108.94 94.45±29.87
89
Lampiran 11. Nilai rataan daya tetas telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1 45 79 56 69 75 88 94 96 82 80 93 80
2 50 62 65 84 90 90 93 85 83 77 78 86
DAYA TETAS TELUR (%) 3 4 5 Rataan 58 45 56 45.00±7.90 72 42 65 65.60±14.53 77 72 60 67.00±7.96 42 62 78 63.40±15.22 55 82 61 76.00±13.01 62 70 90 74.00±13.97 65 73 90 83.00±13.17 94 89 96 90.80±4.32 79 69 93 81.80±9.67 80 78 78 81.60±6.50 80 72 80 80.20±7.75 81 77 71 79.00±5.52
Lampiran 12. Nilai rataan ketahanan hidup larva ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1 4 4 4 5 6 6 6 7 7 7 6 6
2 4 4 4 5 6 6 6 7 7 7 6 6
KETAHANAN LARVA (%) 3 4 5 Rataan 4 3 4 3.80±0.44 4 4 5 4.20±0.44 4 5 5 4.40±0.54 5 4 6 5.00±0.70 6 5 7 6.00±0.70 6 7 5 6.00±0.70 6 6 7 6.20±0.44 7 6 6 6.60±0.54 6 6 5 6.20±0.83 7 5 6 6.40±0.89 6 5 7 6.20±0.70 6 7 5 6.00±0.70
90
Lampiran 13. Nilai rataan larva abnormal ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
1 14 6 8 6 1 1 1 1 1 1 3 2
LARVA ABNORMAL (%) 3 4 5 Rataan 13 10 11 12.80±2.38 8 10 9 8.80±1.92 7 5 6 7.00±1.58 2 1 4 3.20±1.92 2 3 4 2.20±1.30 1 3 3 2.00±1.00 2 2 3 1.80±0.83 2 2 1 1.40±0.54 1 2 2 1.40±0.54 3 1 1 1.60±0.89 2 2 1 2.00±0.70 3 3 1 2.20±0.83
2 16 11 9 3 1 2 1 1 1 2 2 2
Lampiran 14. Nilai rataan kandungan vitamin C ovarium ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
Waktu pengamatan (hari) 0 84.98 85.12 83.56 86.78 83.64 89.34 82.79 84.64 86.63 87.54 80.36 82.47
42 32.76 30.52 31.97 272.58 283.65 280.71 345.32 352.72 350.76 342.86 340.87 348.64
98 20.36 22.85 28.98 238.76 260.54 254.17 296.64 306.42 295.48 288.56 298.31 281.86
91
Lampiran 15. Nilai rataan kadar estradiol (ng/ml) plama darah ikan lele yang diberi berbagai kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium dan estradiol-17β PERLAKUAN (VIT. C : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
0 Mean 1.42 1.51 1.42 1.72 1.36 1.76 1.43 1.54 1.63 1.45 1.48 1.66
SD 0.22 0.41 0.67 0.56 0.34 0.18 0.78 0.06 0.12 0.34 0.83 0.69
14 Mean 1.84 8.04 8.63 2.36 8.46 9.26 2.24 9.98 9.52 2.67 8.25 9.38
SD 0.65 0.08 0.86 0.32 0.42 0.14 0.09 0.26 0.74 0.28 0.92 0.46
28 Mean 2.28 6.86 7.97 2.98 7.27 8.02 3.53 7.62 8.78 3.62 7.82 8.76
SD 0.43 0.21 0.56 0.94 0.43 0.54 0.14 0.17 0.38 0.36 0.76 0.21
42 Mean 2.76 5.02 6.98 3.62 6.34 7.37 4.78 6.98 7.05 4.23 6.75 7.23
SD 0.53 0.45 0.73 0.62 0.12 0.34 0.58 0.64 0.15 0.05 0.52 0.43
56 Mean 3.01 4.82 5.01 4.24 5.96 6.31 5.41 5.04 5.32 6.23 5.51 5.34
SD 0.96 0.64 0.43 0.21 0.56 0.34 0.21 0.43 0.54 0.56 0.83 0.42
70 Mean 4.98 4.23 5.06 5.31 4.74 5.02 6.43 4.42 4.36 5.36 5.01 4.74
SD 0.54 0.32 0.22 0.31 0.73 0.52 0.32 0.26 0.54 0.31 0.32 0.62
84 Mean 5.36 3.97 4.01 6.42 4.03 4.43 4.21 4.63 3.38 4.82 3.62 2.96
SD 0.54 0.32 0.04 0.82 0.32 0.25 0.17 0.18 0.93 0.84 0.35 0.74
98 Mean 3.72 3.02 3.97 4.28 2.42 3.63 3.83 3.78 3.73 2.78 3.74 3.92
SD 0.45 0.76 0.8 0.98 0.12 0.47 0.78 0.44 0.52 0.64 0.74 0.86
92
Lampiran 16 . Kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0, dan 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi hormon estradiol-17β PERLAKUAN (APM : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
ovarium 32.76 30.52 31.97 272.58 283.65 280.71 345.32 352.72 350.76 342.86 340.87 348.64
Kandungan vitamin C (mg/g) telur larva 0 hari 7,60 3,20 5,27 2,62 6,30 3,41 68.57 54.13 70.53 52.78 64.98 55.84 152.9 123.9 150.56 120.74 156.87 125.97 170.45 135.76 172.86 140.32 175.83 133.64
larva 2 hari 1,67 1,11 1,32 37.68 38.98 36.13 73,63 80.68 83.54 118.76 120.74 125.98
Lampiran 17 . Kandungan protein telur, larva 0, dan 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi hormon estradiol-17β PERLAKUAN ( APM : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
telur 53.72 54.41 53.74 55.02 56.42 56.42 59.23 59.94 59.17 60.24 60.98 60.67
Kandungan protein larva 0 hari larva 2 hari 58.56 58.38 59.78 59.76 58.34 58,74 60,76 60,29 61.12 61.62 60.92 60,27 62.12 62,74 61,28 61.78 61,36 61,46 62.54 62,32 62.35 62,63 62.18 62.12
93
Lampiran 18. Kandungan fosfolipid (FL) telur, lemak telur, larva 0, dan 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi hormon estradiol-17β PERLAKUAN (APM : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
FL telur 58.78 59.42 59.62 60.12 60.29 61.10 62.82 63.23 63.42 63.40 63.86 63.88
Lemak telur 34.98 34.99 35.21 38.56 38.23 37.98 43.98 43.12 43.78 44.23 43.97 44.45
Lemak larva 0 hari 28.65 28.72 29.12 35.78 34.80 35.23 37.79 38.42 38.41 38.27 38.76 39.34
Lemak larva 2 hari 25.45 24.67 24.54 26.68 27.13 27.45 28.23 28.41 28.42 29.16 29.38 29.89
Lampiran 19 . Rasio hidroksiprolin/prolin ovarium, telur, larva 0, dan 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (AMP) dan implantasi hormon estradiol-17β PERLAKUAN (APM : E2) A (00 : 00) B (00 : 250) C (00 : 500) D (600 : 00) E (600 : 250) F (600 : 500) G (1200 : 00) H (1200 : 250) I (1200 : 500) J (1800 : 00) K (1800 : 250) L (1800 : 500)
Ovarium 0,37 0,33 0,30 0,48 0,54 0,58 0,67 0,68 0,68 0,69 0,71 0,72
RASIO HP/P Larva 0 hari 0,30 0,28 0,27 0,41 0,50 0,52 0,63 0,64 0,64 0,60 0,64 0,65
Larva 2 hari 0,25 0,21 0,20 0,33 0,32 0,34 0,48 0,48 0,49 0,49 0,49 0,49
94
Lampiran 20. Analisis ragam lama waktu matang ikan lele Sumber APM APM Linear APM Kuadratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
db
JK
KT
(2) 5579.4666 1 3974.8800 1 1581.0666 (2) 8238.5333 1 6350.4000 1 1888.1333 (4) 908.1333 1 392.0000 1 11.7600 1 78.4000 1 320.1333 48 12700.8000 60 12426.9333
F
1859.8222 3974.8800 1581.0666 4119.2666 6350.4000 1888.1333 151.3555 392.0000 11.7600 78.4000 320.1333 264.6000
p 7.03 15.02 5.98 15.57 24.00 7.14 0.57 1.48 0.04 0.30 1.21
0.0005 0.0003 0.0182 0.0001 0.0001 0.0103 0.0506 0.0595 0.0339 0.5887 0.2768
Lampiran 21 Analisis ragam indeks gonad somatik ikan lele Sumber Intercept APM APM Linear APM Kuadratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
db 1 (2) 1 1 (2) 1 1 (4) 1 1 1 1 48 60
JK
KT
9746.1015 9746.1015 335.9839 111.9946 300.0800 300.0800 32.7377 32.7377 37.9724 18.9862 32.9785 32.9785 4.9939 4.9939 23.2773 5.8795 4.0898 4.0898 8.0921 8.0921 1.6836 1.6836 0.9434 0.9434 193.1521 24.5783 10336.4874
F 2421.99 27.83 74.57 8.14 4.72 8.20 1.24 0.96 1.02 2.01 0.41 0.23
p 0.0001 0.0001 0.0001 0.0064 0.0135 0.0062 0.0408 0.0595 0.3184 0.0526 0.5252 0.6304
95
Lampiran 22 Analisis ragam diameter telur ikan lele
Sumber Intercept APM APM Linear APM Kuadratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
db 1 (2) 1 1 (2) 1 1 (4) 1 1 1 1 48 60
JK 86.5680 0.0039 0.0000 0.0030 0.0012 0.0000 0.0012 0.0063 0.0005 0.0010 0.0006 0.0000 0.1212 86.7009
KT
F
86.5680 0.0019 0.0000 0.0030 0.0006 0.0000 0.0012 0.0015 0.0005 0.0010 0.0006 0.0000 0.0025
p
34273.08 0.52 0.00 1.22 0.25 0.02 0.48 0.42 0.20 0.40 0.25 0.62
0.0001 0.6695 0.2749 0.9727 0.7828 0.9004 0.4934 0.8613 0.6546 0.5293 0.6170 0.4346
Lampiran 23. Analisis ragam fekunditas relatif ikan lele Sumber
db
JK
Intercept APM APM Linear APM Kuadratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
1 (2) 1 1 (2) 1 1 (4) 1 1 1 1 48 60
377260.2356 13166.8747 9598.5714 3568.0339 4980.3034 4465.8255 514.4778 1027.3670 66.4589 559.8742 236.1474 79.2675 477264.0000 1086021.1833
KT
F
377260.2356 883.99 4388.9582 10.28 9598.5714 22.49 3568.0339 8.36 2490.1517 5.83 4465.8255 10.46 514.4778 1.21 171.2278 0.40 66.4589 0.16 559.8742 1.31 236.1474 0.55 79.2675 0.19 994300.9167
p 0.0001 0.0001 0.0001 0.0057 0.0054 0.0022 0.2777 0.8746 0.6949 0.2577 0.4606 0.6684
96
Lampiran 24. Analisis ragam daya tetas telur ikan lele Sumber
db
APM APM Linear APM Kuadratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
(2) 1 1 (2) 1 1 (4) 1 1 1 1 48 60
JK
KT
5873.8000 2936.9333 4469.8800 4469.8800 1075.2666 1075.2666 1050.6333 525.3166 525.6250 525.6250 525.0083 525.0083 1186.7000 197.7833 920.2050 920.2050 129.7350 129.7350 60.0250 60.0250 31.0083 31.0083 5410.8000 112.7250 13521.9333
F 17.37 0.04 0.30 4.66 1.48 0.04 1.75 1.21 1.48 0.04 0.30
p 0.0001 0.0001 0.0033 0.0141 0.0358 0.0360 0.0388 0.0063 0.2887 0.4691 0.6024
Lampiran 25 Analisis ragam ketahanan hidup larva Sumber Intercept APM APM Linear APM Kuadaratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
db
JK
1 1859.2666 (2) 44.600000 1 33.333333 1 11.266666 (2) 1.433333 1 0.900000 1 0.533333 (4) 3.900000 1 2.000000 1 0.166666 1 0.400000 1 0.833333 48 20.800000 60 1930.000000
KT 1859.2666 22.336666 33.333333 11.266666 0.716666 0.000000 0.900000 0.740000 0.533333 2.000000 0.166666 0.833333 0.433333
F 4290.62 34.31 76.92 26.00 1.65 2.08 1.23 1.50 4.62 0.38 0.92 1.92
p 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0020 0.1560 0.0428 0.0484 0.0368 0.4481 0.3415 0.1719
97
Lampiran 26 Analisis ragam larva abnormal ikan lele Sumber
db
Intercept APM APM Linear APM Kuadaratik E2 E2 Linear E2 Kuadratik APM*E2 APM L * E2 L APM L * E2 K APM K * E2 L APM K * E2 K Galat Total
1 (2) 1 1 (2) 1 1 (4) 1 1 1 1 48 60
JK 897.0666 648.8000 422.4533 209.0666 31.0333 28.9000 2.1333 62.7000 50.0000 2.4066 8.1000 0.1333 86.4000 17.26.0000
KT 897.0666 216.2666 422.4533 209.0666 15.5166 28.9000 2.1333 16.4500 50.0000 2.4066 8.1000 0.1333 1.8000
F 498.37 120.15 234.70 116.15 8.62 16.06 1.19 5.81 27.78 1.34 4.50 0.07
p 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0006 0.0002 0.2817 0.0381 0.0651 0.2533 0.0391 0.7867
98
Lampiran 27. Analisis ragam kandungan estradiol plasma darah ikan lele berdasarkan waktu pengamatan ANOVA E2SERUM
Between Groups
Sum of Squares 150.848
df 7
Mean Square 21.550 1.503
Within Groups
132.255
88
Total
283.104
95
F 14.339
Sig. .000
E2SERUM Tukey HSD
a
Subset for alpha = .05 HARI .00
2
12
1 2.5317
70.00
12
3.9717
3.9717
84.00
12
4.1750
98.00
12
4.3717
4.3717
56.00
12
4.5833
4.5833
42.00
12
5.2092
5.2092
28.00
12
14.00
12
Sig.
N
3
4
5.8758
5.8758 7.0025
.090
.221
.065
.332
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.
Lampiran 28. Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
99
magnesium 0 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg Hari ke - 56
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40
Prosentase (%)
Prosentase (%)
50
30 20 10 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
0.200.41 0.610.81 1.011.21 1.41 0.400.60 0.801.00 1.201.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 70
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
0.200.410.610.811.011.211.41 - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 84
50
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
40 30 20 10 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.200.41 0.610.81 1.011.21 1.41 0.400.60 0.801.00 1.201.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 98
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 42
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.200.410.610.81 1.011.211.41 0.400.600.801.00 1.201.401.60 Kelas ukuran telur
Lampiran 29. Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
100
magnesium 0 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg Hari ke - 56
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40
Prosentase (%)
Prosentase (%)
50
30 20 10 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
0.200.41 0.610.81 1.011.21 1.41 0.400.60 0.801.00 1.201.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 70
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
0.200.410.610.811.011.211.41 - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 84
50
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
40 30 20 10 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.200.41 0.610.81 1.011.21 1.41 0.400.60 0.801.00 1.201.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 98
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 42
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.200.410.610.81 1.011.211.41 0.400.600.801.00 1.201.401.60
Kelas ukuran telur
Lampiran 30. Sebaran diameter telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
101
magnesium 0 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg Hari ke - 56
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 0
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 70
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 84
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.200.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.400.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Prosentase (%)
Hari ke - 42 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
μ Lampiran 31. Sebaran diameter telur u telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
102
magnesium 600 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg Hari ke - 56
Hari ke - 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
50 40 30 20 10 0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.211.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.401.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 70
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 84
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
40 30 20 10 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 98
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 42
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 Kelas ukuran telur
Lampiran 32. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
103
magnesium 600 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg Hari ke - 56
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 70
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 84
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Prosentase (%)
Hari ke - 42
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
Lampiran 33. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
104
magnesium 600 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 42
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.40 1.60
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 56
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.200.410.610.81 1.011.211.41 0.400.600.801.00 1.201.401.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 70
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Lampiran 34. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
105
magnesium 1200 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg Hari ke - 56
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.410.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.600.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 70
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 84
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
40 30 20 10 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 98
50
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 42
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.211.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.401.60 Kelas ukuran telur
Lampiran 35. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
106
magnesium 1200 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg Hari ke - 42
Hari ke - 0 50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
50 40 30 20 10 0
40 30 20 10 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 - 1.21 - 1.41 - 1.20 1.40 1.60 0.40 0.60 0.80 1.00
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 56
Hari ke -14 50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
50 40 30 20 10
40 30 20 10 0
0 0.20 - 0.41- 0.61- 0.81- 1.01- 1.21-
1.41-
0.40
1.60
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
0.41-
0.61-
0.81-
1.01-
1.21-
1.41-
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 28
Hari ke - 70
50
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
0.20 -
40 30 20 10 0 0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
Lampiran 36. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
107
magnesium 1200 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg Hari ke - 42
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 56
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.211.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.401.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 70
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Lampiran 37. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
108
magnesium 1800 mg/kg dan estradiol 0 μg/kg Hari ke - 56
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 0
0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 70
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 84
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
40 30 20 10 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.200.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.400.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
Hari ke - 98
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 42
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
40 30 20 10 0 0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.211.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.401.60
Kelas ukuran telur Kelas ukuran telur
Lampiran 38. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
109
magnesium 1800 mg/kg dan estradiol 250 μg/kg Hari ke - 56
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.410.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.600.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 70
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 84
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Prosentase (%)
Hari ke - 42
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
Lampiran 39. Sebaran diameter telur telur ikan lele yang diberi ascorbyl phosphate
110
magnesium 1800 mg/kg dan estradiol 500 μg/kg Hari ke - 56
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 0 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.20 0.41 0.610.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.801.00 1.20 1.40 1.60
0.20 0.410.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.600.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 70
Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke -14
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Kelas ukuran telur
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari ke - 84
50 Prosentase (%)
Prosentase (%)
Hari ke - 28
0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60
Kelas ukuran telur
40 30 20 10 0 0.20 0.41 0.61 0.81 1.01 1.21 1.41 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60
Kelas ukuran telur
Prosentase (%)
Hari ke - 42
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.200.410.610.811.011.211.41 - - - - - - 0.400.600.801.001.201.401.60 Kelas ukuran telur
Lampiran 40. Rasio hidroksiprolin/prolin ovarium, larva 0 hari, dan larva 2 hari
111
PERLAKUAN (APM : E2) HP P HP/P HP B (00 : 250) P HP/P HP C (00 : 500) P HP/P HP D (600 : 00) H HP/P HP E (600 : 250) H HP/P HP F (600 : 500) H
A (00 : 00)
HP/P HP G (1200 : 00)
H HP/P HP H (1200 : 250) H HP/P HP I (1200 : 500) H HP/P HP J (1800 : 00) H HP/P HP K (1800 : 250) H HP/P HP L (1800 : 500) H HP/P
HP/P Ovarium 0.34 0.90 0,37 0.30 0.91 0,33 0.31 0.98 0,30 0.51 1.05 0,48 0.53 0.96 0,54 0.56 0.96 0,58 0.60 0.92 0,67 0.61 0.89 0,68 0.59 0.89 0,68 0.59 0.85 0,69 0.62 0.88 0,71 0.62 0.88 0,72
HP/P Larva 0 hari 0.25 0.83 0,30 0.23 0.82 0,28 0.24 0.87 0,27 0.32 0.74 0,41 0.33 0.66 0,50 0.34 0.65 0,52 0.38 0.53 0,63 0.39 0.62 0,64 0.40 0.62 0,64 0.43 0.72 0,60 0.44 0.68 0,64 0.45 0.69 0,65
HP/P Larva 2 hari 0.22 0.87 0,25 0.21 0.93 0,21 0.20 0.96 0,20 0.25 0.75 0,33 0.24 0.74 0,32 0.26 0.77 0,34 0.32 0.64 0,48 0.33 0.65 0,48 0.33 0.62 0,49 0.34 0.71 0,49 0.35 0.69 0,49 0.35 0.69 0,49
112