Bachtar Bakrie et. al. : Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Rumah Potong Unggas untuk Bahan Pakan Ternak/Ikan Lele Bachtar Bakrie, Yudi Sastro, Syamsu Bahar, Umming Sente, Dini Andayani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta Jln. Raya Ragunan No.30. Kel. Jati Padang, Kec. Pasar Minggu, Jakarta-12540. Email:
[email protected] ABSTRAK Salah satu teknologi yang sangat tepat untuk diterapkan dalam pemanfaatan limbah RPU, terutama untuk ayam mati, adalah teknologi fermentasi. Penelitian tentang pengolahan ayam mati utuh melalui proses fermentasi untuk pembuatan pakan ternak/ikan Lele telah dilakukan pada tahun 2012. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa formulasi untuk fermentasi ayam mati yang paling baik adalah: ayam mati + molases 20% + tepung jagung 20% + Lactobacillus spp. dengan lama fermentasi 3 minggu. Sehubungan dengan kandungan lemak yang masih cukup tinggi, sehingga menyulitkan dalam pembuatan pelet untuk pakan ternak/ikan lele. Oleh sebab itu masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan waktu fermentasi yang lebih singkat dan dengan menggunakan berbagai bahan pencampur dalam upaya untuk mereduksi kandungan lemak dari hasil fermentasi ayam mati. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 5 ulangan. Sebagai faktor pertama adalah jangka waktu fermentasi, yaitu selama 1, 2, 3, dan 4 minggu. Sedangkan faktor kedua adalah 2 macam bahan pembantu reduksi/ pengurangan kadar air dan lemak dari bahan hasil fermentasi, yaitu berupa Onggok atau tepung kapur, dengan komposisi masingmasing di dalam bahan sebanyak 10, 15 dan 20% (w/w). Pengamatan yang dilakukan kimia/proksimat. Diperoleh hasil bahwa lama waktu yang terbaik untuk menfermentasikan ayam mati adalah selama 3 minggu. Bahan pencampur yang terbaik digunakan adalah Onggok sebanyak 20% yang menghasilkan kandungan protein yang tinggi, kandungan lemak dan serat kasar yang yang cukup rendah. Kata kunci: ayam mati, fermentasi, pelet, ikan lele
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
ABSTRACT One technology that is appropriate to be applied in the chicken slaughter house (RPU) waste utilization, especially for the dead chickens, is fermentation technology. Fermentation is very safe to use as a feed of whole dead chicken processing through fermentation processes for the manufacture of Results of the assessment found that the best formulation for the fermentation of the dead chicken was: a dead chicken + 20% molasses of 3 weeks using Lactobacillus spp. In relation to the fat content is still quite high, making needed to obtain a shorter fermentation time and by using a variety of mixing ingredients in an effort to reduce the fat content of fermented chicken. The assessment was conducted using a completely randomized design (CRD) factorial with 2 factors and 5 replications. The adjuvant used will either be composition in the material of 10, 15 or 20% (w/w). The observations made were physical appearance and chemical/ proximate analysis The results obtained indicate that the best fermentation period for dead chickens using additional materials such as molasses, corn for 3 weeks. The best mixing ingredients used are as much as 20% Onggok which produces a high protein content but low in fat and crude Keywords: dead chicken,
fermentation,
PENDAHULUAN Jumlah pasokan ayam potong ke wilayah DKI Jakarta pada saat ini diperkirakan mencapai sekitar 540.000 ekor per hari dalam
25
Bachtar Bakrie et. al.: Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
bentuk ayam hidup. Selain itu, sebanyak 840 ton/hari dipasok dalam bentuk karkas yang dipotong di sekitar wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Dinas Kelautan dan Pertanian, 2013). Sehubungan dengan terdapatnya ayam potong dan berbagai jenis unggas lainnya, maka wilayah DKI Jakarta tidak terhindar dari terjadinya kasus penyakit mulai mewabah di Indonesia semenjak bulan Agustus 2003. Wilayah Provinsi DKI Jakarta dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai daerah tertular pada tanggal 5 September 2005. Dalam upaya untuk mengendalikan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 24 April 2007 telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2007, tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas. Sebagai tindak lanjut dari Perda tersebut ditetatpkan untuk melakukan pemindahan/relokasi tempat penampungan ayam (TPnA) dan tempat pemotongan ayam (TPA), yaitu dengan menyiapkan sebanyak 9 lokasi Rumah Pemotongan Unggas (RPU) yang berada di luar pasar dan sebanyak 6 lokasi RPU yang ditempatkan di dalam pasar tradisional. Dengan adanya relokasi ke 15 wilayah tersebut, akan terjadi beberapa permasalahan akibat banyaknya jumlah ayam yang dipotong. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan RPU adalah limbah padat yang berupa ayam mati, limbah bulu, limbah jeroan, serta limbah padat lainnya. Dapat dicermati, apabila jumlah pemotongan di salah satu RPU mencapai 100.000 ekor per hari, dengan tingkat kematian ayam yang didatangkan dari berbagai daerah di luar Jakarta dapat mencapai 1-5%, maka jumlah ayam mati mencapai 1.000 – 5.000 ekor per hari. Limbah ayam mati tersebut harus mendapat perhatian yang serius karena sering dimanfaatkan dan dijual secara tidak resmi (illegal) bersamaan dengan ayam potong lainnya. Beberapa metode yang sering digunakan untuk mengatasi ayam mati ini
26
maupun limbah padat lainnya antara lain adalah dengan jalan pembakaran/insinerasi, penguburan dan pengomposan. Cara lain yang juga dapat dilakukan yaitu metode fermentasi dengan menggunakan asam laktat (Blake, dkk., 1995). Hasil fermentasi tersebut sudah sangat aman untuk digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak/ikan lele. Proses fermentasi dapat dilakukan di lingkungan RPU, sehingga penyebaran penyakit yang berasal dari ayam mati akan dapat dihindari. Untuk membantu mempercepat proses fermentasi, maka perlu dilakukan penambahan bakteri penghasil asam laktat, misalnya Lactobacillus spp., yang terbukti sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan virus dan bakteri pathogen (Wooley, dkk., 1981; Talkington, dkk., 1981; Cai, dkk., 1994; Erickson, dkk., 2004). Penelitian tentang pengolahan ayam mati utuh melalui proses fermentasi untuk pembuatan pakan ternak/ikan Lele telah dilakukan di BPTP Jakarta pada tahun 2012 (Bakrie, dkk., 2012). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui: a) Kombinasi terbaik untuk campuran bakteri dan bahan pembantu dalam fermentasi ayam mati, dan b) Pengaruh jangka waktu fermentasi antara 3, 6, 9 dan 12 minggu terhadap kualitas hasil fermentasi ayam mati. Bahan yang digunakan adalah sumber gula berupa molasses dan jagung giling, inokulum Lactobacillus spp., inokulum Streptomyces spp. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa formulasi untuk fermentasi ayam mati yang paling baik adalah: ayam mati + molases 20% + tepung jagung 20% + Lactobacillus spp. dengan lama fermentasi 3 minggu. Cara fermentasi tesebut menghasilkan tepung dengan kadar protein 18,7%, lemak 34,4%, dan energi 2.315 kkal/ kg, dengan kandungan mikroba Escherichia coli hanya sebanyak kurang dari 3 MPN/g, Salmonella sp. Negatif (per 25 g) dan nilai TPC hanya sebesar 20 cfu/µ. Sehubungan dengan kandungan lemak yang masih cukup tinggi, sehingga menyulitkan dalam pembuatan pellet
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Bachtar Bakrie et. al. : Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
untuk pakan ternak/ikan lele. Oleh sebab itu masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan waktu fermentasi yang lebih singkat dan dengan menggunakan berbagai bahan pencampur dalam upaya untuk mereduksi kandungan lemak dari hasil fermentasi ayam mati tersebut. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas 4 perlakuan dan 6 ulangan. Sebagai perlakuan adalah jangka waktu fermentasi, yaitu selama 1, 2, 3, dan 4 minggu. Untuk penelitian ini dibutuhkan ayam mati utuh dan segar sebanyak 200 ekor. Ayam mati tersebut dikumpulkan dari pedagang ayam yang berada di wilayah DKI Jakarta, yaitu pada pagi hari sekitar jam 4.00-6.00 WIB. Ayam mati yang terkumpul langsung dibawa ke Laboratorium BPTP Jakarta untuk ditimbang beratnya. Setelah itu, semua ayam mati dicacah menggunakan mesin pencacah, hingga berukuran 2,5 cm atau lebih kecil agar terjadi homogenisasi antar berbagai bagian karkas serta untuk meningkatkan penetrasi asam laktat ke dalam karkas. Hasil cacahan dicampur secara merata dengan 20% molases dan 20% tepung jagung serta penambahan inokulum Lactobacillus plantarum sebanyak 106 cfu/g. Sebanyak 8 kg dari campuran bahan tersebut dimasukkan ke dalam kotak plastik berukuran 10 liter, lalu ditutup rapat dan diberi plester/lakban. Jumlah kotak plastik yang diperlukan adalah sebanyak 24 buah, yaitu masing-masing 6 buah untuk 4 jangka waktu fermentasi yang telah ditentukan sebagai perlakuan. Semua kotak plastik tersebut kemudian disimpan di tempat yang sejuk dan aman. Selanjutnya, sebanyak masing-masing 6 buah kotak plastik dibuka untuk diamati setiap minggu. Hasil fermentasi yang diperoleh setiap minggu dicampur merata dan dibagi menjadi 6 bagian, masing-masing sebanyak 3 bagian dipergunakan untuk pencampuran dengan
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
onggok dan 3 bagian lagi dengan tepung kapur. Jumlah onggok atau tepung kapur yang dicampurkan adalah sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan yaitu sebanyak 10, 15 dan 20% (w/w). Terhadap semua hasil campuran tersebut dilakukan pengukuran kandung BK dan lemak. Setelah diperoleh bahan hasil fermentasi yang mempunyai kandungan BK dan lemak yang dianggap paling baik, lalu dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60 0C. Kemudian digiling halus dengan mesin pembuatan tepung menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Analisa proksimat lengkap dilakukan terhadap sampel yang telah digiling menjadi tepung. Pengamatan yang dilakukan adalah dan tekstur serta ada atau tidaknya jamur dan belatung). Sedangkan analisa kimia/proksimat yang dilakukan adalah meliputi kandungan bahan kering, protein, lemak, serat kasar, energi, Ca dan P. Sampel untuk pelaksanaan analisa kimia dikirimkan ke Laboratorium Kimia Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor. Analisis data dari semua parameter yang diukur akan dilakukan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), yaitu untuk mengetahui adanya perbedaan antar perlakuan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Sciences) Versi 21.0. Apabila hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan (Kusriningrum, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat keasaman (pH) dan Karakteristik Fisik Derajat keasaman (pH) ayam mati yang telah digiling dan dicampur dengan campuran fermentor pada saat sebelum difermentasikan adalah sebesar 6,5 (Tabel 1). Nilai pH tersebut menurun menjadi 5,0 dan 4,5 setelah difermentasikan selama 1 dan 2 minggu. Kemudian, nilai pH menurun terus
27
Bachtar Bakrie et. al.: Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
menjadi 4,0 pada minggu ketiga dan keempat setelah fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan fermentasi telah terjadi dengan sempurna pada minggu ketiga. Sebagaimana diketahui bahwa hasil fermentasi yang berkualitas baik pada umumnya mempunyai nilai pH sekitar 3,8-4,2, berkualitas sedang jika mempunyai pH sekitar 4,5-5,2 dan apabila pH > 4,8 berarti telah terjadi kegagalan dalam pembuatan silase (Ennahar et al., 2003; Haustein, 2003; Lado, 2007). Hal tersebut berhubungan dengan terjadinya perkembangan dan pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) selama proses ensilase yang mengakibatkan peningkatan produksi asam laktat dan menyebabkan kondisi menjadi asam dan ditandai dengan penurunan pH (Bureenok et al., 2005). Kondisi tersebut akan menghambat pertumbuhan jamur dan membatasi berkembangnya bakteri pembusuk. Selama proses fermentasi terjadi perobahan aroma dari ayam mati yang difermentasikan, namun aroma yang wangi keasaman terjadi setelah 3 minggu difermentasikan (Tabel 1). Namun, pada minggu ke empat hasil fermnetasi menjadi agak busuk dan agak kering. Oleh sebab itu, lama waktu fermentasi yang terbaik untuk ayam mati adalah selama 3 minggu. Tidak terjadi perubahan yang nyata pada warna dari ayam yang difermentasikan, yaitu warnanya hampir sama yaitu kecoklatan. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya penambahan molases. Sedangkan tekstur dari bahan yang difermentasikan cenderung untuk menjadi semakin kering dengan semakin lamanya proses fermentasi. Kemungkinan bahwa selama proses fermentasi dibutuhkan
cukup banyak air untuk dapat bekerjanya bakteri yang bertugas dalam proses fermentasi tersebut. Kandungan Bahan Kering (BK) Pengukuran kadar BK sangat diperlukan untuk mengetahui bahwa selama fermentasi tersedia cukup bahan karbohidrat terlarut air yang diperlukan oleh BAL dalam melakukan fermentasi, diperlihatkan oleh tidak terjadinya pengurangan kadar BK selama proses fermentasi. (Nishino et al., 2003; Utomo et al., 2013). Selain itu, untuk memperoleh hasil dengan kualitas yang cukup baik, maka kandungan bahan kering (BK) bahan yang difermentasikan harus minimal sebesar 35% (Jennings,2013; Yakin dan Sariri, 2013). Hal tersebut dapat tercapai pada bahan yang digunakan dalam proses fermentasi dilakukan pada kegiatan ini. Terli hat bahwa kandungan BK semakin berkurang dengan bertambahnya waktu fermentasi, yaitu dari 58,2% pada saat sebelum fermentasi menjadi 37,0% setelah 4 minggu fermentasi (Tabel 1). Namun demikian, terlihat juga bahwa setelah 1 minggu difermentasikan terjadi penurunan kadar BK yang cukup tinggi, yaitu menjadi 36,9%, akan tetapi terjadi kenaikan lagi menjadi 45,2% setelah 2 minggu difermentasikan. Dengan demikian kemungkinan bahwa tidak terdapat kandungan bahan karbohidrat terlarut air yang cukup dalam proses fermentasi ini, sehingga terjadi penurunan kadar BK yang cukup nyata. Semakin banyak jumlah onggok atau tepung kapur yang ditambahkan, maka semakin meningkat kandungan BK dari ayam yang telah difermentasikan (Tabel 2). Tidak
Tabel 1. No. 1. 2. 3. 4. 5.
28
pada saat sebelum dan sesudah difermentasikan BK Lama pH Aroma Fermentasi (%) Sebelum 6,5 58,2 Amis 1 minggu 5,0 36,9 Agak wangi 2 minggu 4,5 45,2 Asam ++ 3 minggu 4,0 40,0 Wangi Asam 4 minggu 4,0 37,0 Agak busuk
Warna
Tekstur
Merah hitam Coklat Coklat Coklat Coklat
Lembut Berair ++ Berair ++ Berair + Sedikit air
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Bachtar Bakrie et. al. : Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
terlihat pebedaan yang terlalu nyata dalam hal kandungan BK antara ayam hasil fermentasi yang diberi onggok dan tepung kapur. Akan tetapi, terlihat bahwa penambahan sebanyak 20% onggok menghasilkan tekstur dibandingkan dengan yang lainnya. Kandungan Lemak Untuk memudahkan dalam pembuatan pelet serta untuk penyusunan ransum dengan kandungan lemak tertentu, maka diperlukan pengukuran kadar lemak yang diperoleh dari ayam mati yang telah difermentasikan. Sebagaimana diperoleh dalam hasil penelitian sebelumnya, kandungan lemak dari ayam mati yang difermentasi sangat tinggi sehingga sulit untuk digunakan dalam pembuatan pelet. Dalam penelitian ini telah berhasil diturunkan kadar lemak dalam ayam mati yang difermentasikan, yaitu dengan menggunakan Onggok atau Tepung kapur. Diperoleh bahwa semakin banyak Onggok atau Tepung kapur
yang ditambahkan, maka kandungan lemak semakin berkurang (Tabel 2). Kandungan lemak yang terendah diperoleh adalah setelah difermentasikan selama 4 minggu dan dengan penambahan masing-masing sebanyak 20% Onggok (14,2%) atau Tepung kapur (14,1%). Akan tetapi sehubungan dengan hasil fermentasi yang terbaik adalah pada ayam mati yang difermentasikan selama 3 minggu, dan berdasarkan penampilan atau tekstur dari ayam yang difermentasikan adalah terbaik dengan pencampuran dengan 20 % Onggok atau Tepung kapur, maka kandungan lemak yang diperoleh adalah 16,7% apabila dicampur dengan Onggok dan 16,9% dengan Tepung kapur. Kandungan Gizi Ayam Mati Kandungan protein dari ayam utuh setelah digiling adalah cukup tinggi (53,0%), namun setelah dicampur dengan 20% molases dan 20% tepung jagung terjadi penurunan menjadi hanya sebesar 23,3% (Tabel 3).
Tabel 2. Kadar Bahan kering dan Lemak dari ayam yang difermentasikan setelah dicampur dengan berbagai level onggok atau tepung kapur No. 1.
2.
3. 4.
Lama Fermentasi 1 minggu Bahan kering Lemak 2 minggu Bahan kering Lemak 3 minggu Bahan kering Lemak 4 minggu Bahan kering Lemak
Onggok (%)
Tepung Kapur (%)
10
15
20
10
15
20
40,3 17,1
47,4 17,0
48,7 16,4
42,9 18,0
44,2 15,4
47,3 15,0
46,4 21,9
47,8 19,4
51,4 18,2
49,2 23,2
56,3 20,0
55,9 18,7
44,9 18,1
48,1 17,4
49,1 16,7
45,3 17,7
47,3 17,2
48,6 16,9
40,0 16,2
44,0 15,4
46,2 14,2
44,4 17,3
45,0 16,5
46,0 14,1
Tabel 3. Kandungan protein, lemak dan serat kasar dari ayam utuh giling pada saat sebelum dan sesudah difermentasikan selama 3 minggu Kandungan Gizi (%) No. Jenis Sampel Protein Lemak Serat Kasar 1. Ayam utuh giling 53,0 24,1 1,16 2. Ayam campuran sebelum fermentasi 25,3 23,2 1,53 3.
Ayam fermentasi 3 minggu
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
26,6
20,1
0,73
29
Bachtar Bakrie et. al.: Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
Berkurangnya kandungan protein tersebut kemungkinan besar disebabkan karena penambahan molases dan tepung jagung yang mempunyai kandungan protein cukup rendah, yaitu hanya 3,94% pada molases dan 9,07% pada tepung jagung (Watson, 2003; Eko, dkk., 2012; Muhandri, dkk., 2012). Tidak terjadi penurunan yang nyata terhadap kandungan lemak dari ayam utuh giling dibanding dengan ayam yang telah dicampur dengan molasses dan tepung jagung pada saat sebelum difermentasikan. Hal ini kemungkinan sangat berhubungan dengan sangat rendahnya kandungan lemak dari molasses (0,3%) dan tepung jagung (1,74%) yang digunakan. Sedangkan kandungan serat kasar pada ayam yang dicampurkan dengan molasses dan tepung jagung pada saat sebelum difermentasikan terlihat sedikit meningkat yang kemungkinan disebabkan karena cukup tingginya kandungan serat kasar dari tepung jagung (9,5%). Setelah difermentasikan selama 3 minggu, terjadi sedikit peningkatan dari kandungan protein ayam, yaitu dari 25,3% menjadi 26,6%. Namun terjadi penurunan yang cukup tinggi pada kandungan lemak dari 23,2% menjadi 20,1%. Penurunan yang cukup drastis adalah pada kandungan serat kasar dari ayam yang difermentasikan, yaitu dari 1,53% menjadi 0,73%. Kandungan protein dari ayam yang difermentasikan selama 3 minggu yang diperoleh dari hasil penelitian ini (25,3%) terlihat lebih tinggi daripada yang dilaporkan sebelumnya oleh Bakrie, dkk. (2012), yaitu
hanya sebesar 18,7%. Selain itu kandungan lemak yang diperoleh dalam penelitian ini (23,2%) jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (34,4%). Terjadinya perbedaan dalam kandungan protein dan lemak dari ayam setelah difermentasikan kemungkinan disebabkan karena terjadi perbedaan dari umur dan kondisi tubuh ayam yang digunakan. Kemungkinan bahwa ayam yang digunakan dalam penelitian terdahulu jauh lebih tua daripada ayam yang digunakan dalam penelitian ini. Biasanya ayam yang lebih muda akan mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dan kandungan lemak yang lebih rendah daripada ayam yang lebih tua. Pengukuran kandungan gizi yang lengkap (analisa proksimat) hanya dilakukan terhadap ayam mati yang difermentasikan selama 3 minggu dengan penambahan Onggok atau Tepung kapur sebanyak 20% (Tabel 4). Diperoleh hasil bahwa kandungan protein ayam mati fermentasi yang diberi Onggok (27,3%) jauh lebih tinggi (P<0,05) daripada yang diberi Tepung kapur (25,7%). Selain itu, kandungan Serat kasar pada ayam mati yang diberi Onggok (0,67%) jauh lebih rendah dibandingkan dengan penambahan Tepung kapur (7,99%). Sedangkan kandungan energi, kalsium dan fosfor jauh lebih tinggi dengan penambahan Tepung kapur daripada Onggok. Berdasarkalan hasil analisa proksimat tersebut terlihat bahwa ayam mati yang difermentasikan selama 3 minggu mempunyai kandungan gizi yang lebih baik jika dicampur dengan Onggok sebanyak 20% daripada
Tabel 4. Perbandingan kandungan gizi pada ayam mati yang difermentasikan selama 3 minggu dan dicampur dengan 20% Onggok atau Tepung Kapur No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
30
Kandungan Gizi Bahan Kering (%) Protein (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) Energi (kcal/kg) Ca (%) P (%)
Bahan Pencampur 20 % Onggok 49,1 a 27,3 a 16,9 a 0,67 a 3.609 a 1,13 a 0,63 a
20 % Tepung Kapur 48,6 a 25,7 b 16,7 a 7,99 b 4.941 b 1,04 b 0,73 b
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Bachtar Bakrie et. al. : Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
dicampur dengan Tepung kapur dengan jumlah yang sama. Hal ini diperlihatkan oleh kandungan protein yang lebih tinggi serta kandungan serat kasar yang yang cukup rendah. Walaupun kandungan lemak untuk kedua hasil fermentasi tersebut hampir sama (rataan 16,8%). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Lama waktu yang terbaik untuk menfermentasikan ayam mati menggunakan bahan tambahan berupa Molases, Tepung jagung dan Bakteri Lactobacillus plantarum adalah selama 3 minggu. 2. Untuk mengurangi/reduksi kadar lemak dari hasil fermentasi ayam mati dapat digunakan bahan berupa Onggok atau Tepung kapur sebanyak 20%, namun menggunakan Onggok jauh lebih baik daripada Tepung kapur. 3. Pencampuran sebanyak 20% Onggok ke dalam ayam mati yang telah difermentasikan selama 3 minggu mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, kandungan lemak dan serat kasar yang yang cukup rendah. 4. Untuk dapat menggunakan ayam mati sebagai bahan pakan sumber protein dalam pembuatan pelet untuk pakan ternak lele, maka disarankan untuk melakukan fermentasi ayam mati selama 3 minggu dan hasil fermentasinya kemudian dicampur dengan 20% Onggok. DAFTAR PUSTAKA Bakrie, B., U. Sente, D. Andayani, N.R. Sudolar dan Winarto. 2012. Pengkajian pemanfaatan limbah RPA sebagai bahan pakan ternak di DKI Jakarta. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Jakart. Blake, J.P., D.E Conner dan J.O. Donald. 1995. Fermentation of Poultry Carcasses. Current Concepts In Broiler Production. Fall 1995. Alabama Cooperative Extension Service. Department of
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015
Poultry Science at Auburn University. Alabama, USA. Hal.: 3 – 4. Bureenok, S., T. Namihira, M. Tamaki, S. Mizumachi, Y. Kawamoto and T. Nakada. 2005. Fermentative quality of guinea grass by using fermented juice of the epiphytic lactic acid bacteria (FJLB) as a silage additive. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18: 807-811. Cai, T., O.C. Pancorbo, J.E. Sander, W.C. Merka and H.M. Barnhart. 1994. Stabilization of poultry processing byproduct and waste, and poultry carcasses through latic acid fermentation. J. Appl. Poultry Res. 3 : 17 – 25. Dinas Kelautan dan Pertanian. 2013. Statistik Peternakan. Dinas Kelautan dan Pertanian. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Eko, D., Junus, M., dan M. Nasich. 2012. Pengaruh Penambahan Urea Terhadap Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Padatan Lumpur Organik Unit Gas Bio. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang. Ennahar. S., Y. Cai., and Y. Fujita. 2003. Phylogenetic diversity of lactic acid bacteria associated with paddy rice silage as determined by 16S ribosomal DNA analysis. Applied and Environmental Microbiology 69 (1): 444-451. Erickson, L.E., E. Fayet, B.K. Kakumanu dan L.C. Davis. 2004. Carcass Disposal: A Comprehensive Review. Chapter 5: Lactic Acid Fermentation. National Agricultural Biosecurity Center Consortium. USDAAPHIS Cooperative Agreement Project Carcass Disposal Working Group. National Agricultural Biosecurity Center. Kansas State University. Kansas. USA. Haustein, S. 2003. Evaluating Silage Quality. Diunduh tanggal 16 November 2013 dari http://www.agric.gov.ab.ca. Jenning, J. 2013. Principles of Silage Making. Agriculture and Natural Resources. Division of Agriculture. University or Arkansas. USA. Diunduh tanggal 20 April 2014 dari http://www.uaex.edu/ publications/PDF/FSA-3052.pdf Kusriningrum. R.S,. 2010. Perancangan Percobaan. Cetakan kedua. Airlangga University Press. Surabaya.
31
Bachtar Bakrie et. al.: Pengem bangan Teknologi Pengolahan Lim bah Rum ah Pot ong Unggas unt uk Pakan Ternak
Lado. L. 2007. Evaluasi kualitas silase rumput Sudan (Sorghum sudanense) pada penambahan berbagai macam aditif karbohidrat mudah larut. Tesis. Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Muhandri, T., H. Zulkhaiar, Subarna dan B. Nurtama. 2012. Komposisi Kimia Tepung Jagung Varietas Unggul Lokal dan Potensinya untuk Pembuatan Mi Jagung Menggunakan Ekstruder Pencetak. Jurnal Sains Terapan, Edisi II, Vol-2 (1) : 16 – 31. Nishino, N., H. Harada and E. Sakaguchi. 2003. Evaluation of fermentation and aerobic stability of wet brewers’ grains ensiled alone or in combination with various feeds as a total mixed ration. J. Sci. Food Agric. 883: 557 – 563. Talkington, F.D., EB. Shotts, Jr., R.E Wooley, W.K. Whitehead, dan C.N. Dobbins. 1981. Introduction and reisolation of select ram-negative bacteria from fermented edible wastes. Am. J. Vet. Res. 42: 1298-1301.
32
Utomo, R., S. P.S. Budhi, dan I.F. Astuti. 2013. Pengaruh level onggok sebagai aditif terhadap kualitas silase isi rumen sapi. Buletin Peternakan Vol. 37(3): 173-180. Watson, S. A. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of the Corn Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Wooley, RE, J.P. Gilbert, W.K. Whitehead, EB. Shotts, Jr., dan C.N. Dobbins. 1981. Survival of viruses in fermented edible waste material. Am. J. Vet. Res. 42: 87- 90. Yakin, E.A. dan A.K. Sariri. 2013. Penggantian sebagian hijauan dengan silase isi rumen sapi terhadap kecernaan dan feed cost per gain sapi potong. Prosiding Seminar Nasional “Pengembangan Agribisnis Peternakan Menuju Swasembada Protein Hewani”, diselenggarakan oleh Universitas Jenderal Soedirman, tanggal 8 Desember 2012. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Hal.: 561-567.
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 1, 2015