Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
KERAGAMAN GENETIK TERNAK KERBAU DI INDONESIA HASANATUN HASINAH dan EKO HANDIWIRAWAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor
ABSTRAK Peran ternak kerbau di Indonesia cukup penting, disamping sebagai penghasil daging, penghasil susu juga sebagai penghasil pupuk dan merupakan sumber tenaga kerja yang potensial untuk mengolah lahan usahatani serta mempunyai fungsi sosial budaya yang penting di beberapa daerah. Perkembangan populasi, produksi dan produktivitas kerbau di Indonesia masih kurang baik, termasuk perbaikan mutu genetiknya masih tertinggal jauh dari ternak lainnya. Terdapat dua tipe kerbau yaitu kerbau sungai yang merupakan tipe penghasil susu dan kerbau lumpur/rawa yang biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging. Kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau rawa dan hanya sedikit terdapat kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah. Kerbau yang begitu lama berkembang dan dipelihara pada suatu agroekosistem yang spesifik telah terseleksi secara alamiah dan menghasilkan tipe kerbau yang berkarakter spesifik. Beberapa hasil penelitian di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan keragaman genetik kerbau lumpur masih cukup beragam sedangkan jarak genetiknya masih dekat, sementara jarak genetik antara kerbau lumpur dan kerbau sungai cukup jauh. Peningkatan mutu genetik dapat dilakukan melalui seleksi dan memasukan materi genetik baru dari luar negeri. Dengan variasi individu yang cukup besar dalam hal konformasi bentuk tubuh, produksi daging, pertumbuhan, temperamen dan produksi susu, seleksi sebetulnya akan mudah untuk dikerjakan. Kata kunci: Kerbau, keragaman genetik, mutu genetik
PENDAHULUAN Sejak dulu kerbau mempunyai peranan yang cukup besar pada keluarga petani di perdesaan. Ternak kerbau disamping penghasil daging juga sebagai penghasil susu yang diolah dan dijual peternak dalam bentuk dadih di Sumatera Barat serta gula puan, sagon puan dan minyak samin di Sumatera Selatan. Selain itu kerbau juga dimanfaatkan sebagai penghasil pupuk organik dan merupakan sumber tenaga kerja yang potensial untuk mengolah lahan usahatani. Di beberapa daerah di Indonesia, kerbau mempunyai fungsi yang terkait dengan sosial budaya (adat dan ritual). Jumah ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan sebanyak 2.428.000 ekor (DITJEN PETERNAKAN, 2005) dan tersebar di seluruh propinsi. Populasi tertinggi dijumpai di Propinsi NAD diikuti Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Kemunduran populasi kerbau di Indonesia disebabkan antara lain angka kelahirannya yang rendah, lambat dewasa, daya tahan terhadap panas rendah dan arti ekonomisnya telah menurun (HARDJOSUBROTO, 1994). Selain itu populasi
kerbau ini diperkirakan menurun sedikit atau tidak berkembang sebagaimana mestinya karena areal tanah untuk penggembalaannya makin sempit dan kurang adanya usaha-usaha untuk memperbaikinya, baik dari segi pemuliaan maupun pengelolaannya. Walaupun demikian, kerbau lokal mempunyai potensi yang besar untuk dapat dikembangkan sebagai ternak penghasil daging karena mudah menyesuaikan diri, mampu memanfaatkan pakan yang mengandung serat kasar tinggi dan bermutu rendah dibandingkan sapi, mempunyai bobot karkas yang relatif lebih tinggi dibandingkan sapi lokal serta telah biasa dipelihara di perdesaan. Kerbau memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Salah satu kelemahan kerbau adalah ketidaktahanannya terhadap udara yang panas. Oleh sebab itu untuk melangsungkan proses faali hidupnya memerlukan waktu untuk merendam diri di lumpur (berkubang). Umumnya usahaternak kerbau merupakan usaha peternakan rakyat yang dipelihara sebagai usaha sampingan, menggunakan tenaga kerja keluarga dengan skala usaha yang
89
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
kecil. Pemeliharaan kerbau masih sangat sederhana, umumnya kerbau diangon dan peternak mengaritkan rumput untuk pakan di kandang. Pemeliharaan ternak umumnya bergantung pada ketersediaan rumput alam. Kerbau yang begitu lama berkembang dan dipelihara pada suatu agroekosistem yang spesifik telah terseleksi secara alamiah dan menghasilkan tipe kerbau yang berkarakter spesifik. Kerbau berkembang di daerah dengan agroekosistem yang bervariasi seperti padang penggembalaan dengan iklim kering di NTB, NTT; di daerah persawahan irigasi maupun non irigasi; di daerah pegunungan dan dataran rendah yang berawa-rawa seperti di daerah Kalimantan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi kerbau pada berbagai kondisi agroekosistem sangat besar. Sebagai akibat pengaruh lingkungan telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup pada kerbau di Indonesia, seperti (1) timbulnya kerbau-kerbau yang berbadan besar dan yang berbadan kecil, (2) perbedaan terhadap daya tahan terhadap panas, dan (3) kegemaran hidup di dalam air (HARDJOSUBROTO, 2006). ASAL USUL DAN DESKRIPSI Kerbau termasuk dalam sub-famili Bovinae, genus Bubalus. Dari empat spesies kerbau, hanya satu yang dapat menjadi jinak, yaitu dari spesies Bubalus arnee. Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Diduga kerbau telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat perpindahan nenek moyang kita dari India Belakang ke Jawa pada tahun 1.000 SM (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993). Beberapa kerbau liar yang masih dapat dijumpai, yaitu anoa, kerbau Mindoro, Buballus caffer, dan kerbau merah. 1) Anoa (Buballus depressicornis) adalah kerbau liar di daerah Minahasa, Gorontalo, Tolitoli dan Bontain. Bentuk tubuhnya kerdil. 2) Kerbau Mindoro (Buballus mindorensis) yang terdapat di Filipina. Kerbau ini juga bertubuh kecil, menyerupai kerbau kerdil. 3) Buballus caffer, kerbau liar yang sangat kuat terdapat di Afrika Timur, dan
90
beberapa di daerah Afrika Barat Daya, Transvaal dan Kongo. 4) Kerbau merah. Kerbau ini kecil, warnanya merah. Tingginya 1,2 – 1,5 m terdapat di Afrika Barat, di daerah Tsad, Niger hilir, Kongo dan Maroko Selatan. Umumnya semua tipe kerbau domestik (Bubalus bubalus) dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau sungai (river buffalo) dengan tanduk melingkar ke bawah dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo) yang mempunyai tanduk melengkung ke belakang. Kedua kelompok kerbau ini mempunyai sifat biologis yang berbeda. Kerbau sungai menunjukkan kesenangan terhadap air mengalir yang bersih, sedangkan kerbau lumpur suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air menggenang. Kerbau tipe lumpur biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging dan tidak pernah sebagai penghasil susu, sedangkan kerbau sungai merupakan tipe penghasil susu. Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia. Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau lumpur dan hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu. Kerbau lumpur yang berkembang dan dibentuk menurut agroekosistem memunculkan berbagai tipe kerbau. Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Rawa, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga, di Kalimantan Selatan ada kerbau Kalang dan di Maluku ada kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula kerbau liar. Hanya sedikit sekali kerbau lumpur yang dimanfaatkan air susunya, karena produksi susunya sangat rendah yaitu hanya 1-1,5 l/hari, dibandingkan dengan tipe sungai yang mampu menghasilkan susu sebanyak 6-7 l/hari. KERAGAMAN GENETIK TERNAK KERBAU Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
tersebut. Keragaman pada kerbau dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk dan sebagainya. Polimorfisme biokimia pada kerbau juga merupakan keragaman yang dapat dilihat dengan adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah (misalnya Albumin, Alkaline Phosphatase, Transferrin, dan lain-lain), sel darah merah (Acid Phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B, dan sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2, Phosphoglucomutase, dan sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa, Lactoglobulin beta dan sebagainya). Sekuen DNA juga mempunyai keragaman yang dapat diamati dengan menggunakan beberapa macam cara, seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), SSCP (Single-Strand Conformational Polymor-phism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) dan lain-lain. Kerbau lumpur mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai 25 pasang (50 kromosom). Menurut CHUNNCHAI (1981) selain adanya perbedaan dalam hal jumlah pasangan kromosom, ada pula perbedaan pada besarnya seks kromosom diantara kedua sub grup kerbau tersebut. Pada kerbau lumpur, besar kromosom Y tidak melebihi 1/3 dari besar kromosom X, sedangkan pada kerbau sungai besar kromosom Y mencapai sekitar ½ dari kromosom X. HARDJOSUBROTO (2006) mengemukakan juga terdapat perbedaan lain pada bentuk kormosom ke-1 autosom, dimana pada kerbau lumpur bentuknya metasentrik sedangkan kerbau sungai sub metasentrik. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, akan terjadi “polymorphism” (bentuk yang bermacam-macam yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu) jika persilangan di antara kedua kelompok dilakukan. Keragaman fenotipe Antara kerbau lumpur dan kerbau sungai terdapat perbedaan pokok dalam hal bentuk dan warna. Selain adanya perbedaan dalam besarnya tubuh, diduga ada kecenderungan adanya perbedaan sub grup berdasarkan daya
tahannya terhadap panas atau kegemarannya terhadap air. Misalnya, kerbau yang terdapat di Nusa Tenggara tampak lebih tahan terhadap panas dan kekeringan daripada kerbau-kerbau yang berada di wilayah Jawa dan Sumatera (HARDJOSUBROTO, 1994). Di Kalimantan terdapat kerbau kalang yang selalu berendam di air rawa-rawa. Kerbau ini hanya naik ke darat apabila menjelang malam hari, untuk masuk ke kandangnya yang disebut kalang (HARDJOSUBROTO, 2006). Kerbau lumpur di Indonesia dilaporkan AMANO et al. (1981) mempunyai tiga macam pola warna yaitu abu-abu, putih dan belang. Hasil penelitian AMANO et al. (1982) mendapatkan juga kerbau yang berwarna coklat (warna kulit merah muda/pink dengan warna rambut coklat atau abu-abu) yang dapat ditemukan di Pulau Sumba dan Sumbawa. Gen warna putih dengan frekuensi tinggi (0,192-0,518) teramati di Bali, Sulawesi Selatan dan Lampung. Kerbau belang ditemukan di Tana Toraja (Sulawesi), Sumba dan Sumbawa. Kerbau berwarna coklat ditemukan di Sumba dan Sumbawa. SIREGAR et al. (1997) melaporkan karakter morfologi kerbau di daerah Serang dan Banyuwangi tidak jauh berbeda. Begitu juga kerbau-kerbau dari Taman Nasional Baluran tidak berbeda jauh dan telah berbaur dengan kerbau setempat. Warna dominan adalah abuabu dengan warna khas putih pada leher dan warna merah untuk kerbau bule yang jumlahnya sangat sedikit. Garis punggung umumnya cekung, temperamen umumnya jinak. Warna moncong, tanduk dan kuku hitam serta bulu ekor umumnya hitam dan sedikit berwarna abu-abu. Tanduk berbentuk lurus kemudian makin tua makin melengkung. Bentuk tanduk yang abnormal juga didapatkan yaitu melengkung ke arah bawah. Walaupun mempunyai karakter morfologi yang tidak jauh berbeda tetapi ukuran tubuh kerbau dewasa di daerah Banyuwangi ternyata lebih besar daripada di daerah Serang. Kerbau di daerah Serang lebih bulat tetapi lebih pendek (SIREGAR et al., 1997). MERKENS (1927) yang disitasi SIREGAR et al., (1997) melaporkan tinggi gumba kerbau di Bogor untuk umur G-8 adalah 125,1 (116-129 cm), di Mangan 125,0 (120-131 cm), di Pekalongan 127,3 (123-131 cm) dan di Kudus 127,2 (125130 cm). Tinggi pundak kerbau di Jawa Timur
91
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
(Desa Bulu Agung) sedikit lebih tinggi, sedangkan untuk lingkaran dada dan panjang badan dilaporkan untuk Bogor 178,5 (170,7190,8 cm) dan 140,4 (130,5-150,6 cm), Priangan 183,0 (165-201 cm) dan 146,0 (132156 cm), Pekalongan 176,1 (169-184 cm) dan 148,3 (141-155 cm) dan di Kudus 187,0 (183195 cm) dan 137,2 (132-140 cm). Panjang badan kerbau menurut data MERKENS tersebut lebih panjang dari kerbau yang ada sekarang baik di Serang maupun di Banyuwangi. Akan tetapi kalau dilihat variasi yang begitu besar perbedaan tersebut tidak akan nyata. Dari sini dapat dilihat bahwa variasi performan kerbau cukup besar. Hal ini disebabkan tidak adanya seleksi dan variasi dari kondisi manajemen yang tinggi. Produktivitas kerbau yang masih rendah adalah wajar karena perbaikan mutu genetik melalui seleksi memang sangat minimal. Keragaman produksi Kemampuan produksi kerbau dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), dan sebagainya, maupun sifat reproduksi seperti umur beranak, jarak beranak (calving interval), persentase beranak, dan sebagainya. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi. SIREGAR dan DIWYANTO (1996) menyatakan keragaman yang cukup besar pada ternak kerbau seperti data yang terlihat pada Tabel 1. Hal ini menggambarkan kondisi manajemen dan sumberdaya genetik kerbau yang beragam pula. Dari tabel tersebut masih belum terlihat data untuk menggambarkan performan produksi kerbau sebagai penghasil daging. Secara umum produksi susu kerbau lumpur di Indonesia adalah rendah, sekitar 2 liter/ ekor/hari (COCKRILL, 1974 yang disitasi SIREGAR et al., 1997). Produksi ini selain dipengaruhi pembawaan dan makanan yang berkualitas rendah juga karena digunakan sebagai tenaga kerja termasuk kerbau yang sedang menyusui dan yang bunting. ROBINSON (1977) melaporkan bahwa pada umumnya
92
penggunaan tenaga kerja kerbau sebagai pembantu pengolah tanah pertanian di Jawa Barat selama 200 hari/tahun dalam 4 - 6 jam. Keadaan ini akan mempengaruhi kondisi dan produksi susu induk yang sedang laktasi. Pada kondisi stasiun penelitian oleh CHATALAKHANA (1994) dikemukakan beranak pertama dapat dicapai pada umur 24 - 36 bulan. Ini sangat menentukan produktivitas sekelompok induk atau produksi individu seekor induk kerbau dalam satu periode atau produksi seekor induk kerbau selama hidupnya. Jarak beranak yang bervariasi antara 427 - 912 hari terpaut jauh dari yang dicapai pada kondisi stasiun penelitian yang dikelola baik seperti dikemukakan CHATALAKHANA (1994) yaitu 370 - 450 hari. lni sangat erat dengan angka kelahiran yang begitu rendah (33%). Kematian anak prasapih yang tinggi (21%), penyebab utamanya adalah serangan cacing dan gizi yang kurang baik. Hal ini tentunya karena pengetahuan dan keterampilan peternak yang kurang dan juga masalah status kerbau yang hanya sebagai komoditi tambahan pada usahatani kecil. ROBINSON (1977) melaporkan bahwa selang beranak kerbau di Indonesia sekitar 687 hari. PETHERAM et al., (1982) dengan metode survei di daerah Serang mendapatkan angka kelahiran kerbau rata-rata 40% dihitung dari persentase kelahiran terhadap kerbau betina berumur di atas 4 tahun, dengan selang beranak 1,7 - 2,1 tahun. Berahi kembali 6 - 12 bulan sesudah beranak. Umur dewasa kelamin 3 tahun 3 bulan dan rata-rata umur beranak pertama 3 tahun 9 bulan. Keragaman molekuler Jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme dengan menggunakan prosedur elektroforesis, yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis. SIREGAR et al. (1997) yang melakukan penelitian di dua lokasi yaitu di Serang dan Banyuwangi melaporkan bila dilihat dari lokus albumin (Alb), hasil elektroforesis menunjukkan bahwa terdapat variasi fenotipe lokus albumin dengan kombinasi beberapa allel (multiple allel) yaitu 3 alel autosomal kodominan (A, B dan C). AMANO et al. (1981)
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
juga mendapatkan 3 alel autosomal kodominan pada lokus albumin. Pada lokus albumin, alel yang heterosigot lebih banyak dibandingkan dengan alel yang homosigot, demikian pula pada lokus transferrin. Pada lokus haemoglobin, diperoleh diallelic polymorphism (2 alel yang polimorfik) yaitu 2 alel autosomal kodominan A
dan B. Frekuensi gen lokus haemoglobin di Serang dan Banyuwangi adalah 0,6071 vs 0,5921 (alel A) dan 0,3929 vs 0,4079 (alel B). Dari lokus yang diamati, kerbau lumpur di kedua daerah tersebut masih cukup beragam sementara itu jarak genetiknya masih dekat (D = 0,02747).
Tabel 1. Performan produksi kerbau pada beberapa daerah di Indonesia Hal Umur beranak 1(bulan) Lama bunting (hari) Persentase induk melahirkan (%) Calving interval (hari) Bobot lahir (kg) Jantan Betina Bobot Sapih (kg) Jantan (180 hari) Betina Bobot 1 tahun Jantan (kg) Betina PBB pra sapih Jantan (kg/hari) PBB sapih 1 thn (kg/hari)
Betina Jantan Betina
Karkas Kematian pra sapih (%) Lama produksi (thn) C/R S/E Produksi susu (kg)
Kalsel 44-48 318-327
Jabar 33 295-330
Sumbar 48 330-365
Sumsel 44,73±4,01 11,73±0,44
Jatim 48 330-340
22-33
NTB
Sulsel 38 360
14,10
427-439 33 31 136 123
620-767 -
730-912 25-30 IB 35-38 -
600-900 18,20±5,25 14,53±4,08 -
687 16-18 -
-
548-30 30-35 25-30 -
194
-
-
-
-
-
-
176 0,57 0,51 0,32 0.29 44% 33,3%
0,35 0,35 % %
-
150-250 -
0,30 -
-
-
130-150 g -
160 -
45-47% -
-
-
-
-
18-21
-
-
-
-
-
-
-
8-10
-
-
15
4,14
-
-
36,30 2,80
-
-
-
2,28±1,6
61,7 164
-
2-4
-
-
Sumber: SIREGAR dan DIWYANTO (1996)
MUKHERJEE et al. (1991) mengemukanan bahwa ternak kerbau di Asia Tenggara mempunyai fenotipe luar yang serupa, tetapi mempunyai keragaman genetik yang cukup besar, hubungan jarak genetik kerbau lumpur di Asia Tenggara tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Begitu pula AMANO et al. (1981) mengemukakan bahwa kerbau lumpur di Jawa Barat, Sumatera Barat, Toraja dan Ujung Pandang mempunyai jarak genetik yang dekat, sementara itu kerbau lumpur dan kerbau murrah mempunyai jarak genetik yang jauh. AMANO et al. (1982) melakukan pengujian 23 lokus protein darah pada kerbau lumpur dan kerbau sungai di Indonesia. Heterosigositas dari lokus yang diuji pada kerbau lumpur
berkisar antara 7,3 sampai 9,9%. Dari analisis jarak genetik diperoleh hasil bahwa populasi kerbau lumpur dan kerbau sungai di Indonesia adalah merupakan populasi yang berbeda dan mempunyai jarak genetik yang jauh, sehingga diasumsikan bahwa kerbau lumpur dan kerbau sungai didomestikasi dari nenek moyang yang berbeda. Hasil penelitian polimorfisme protein tersebut sejalan yang dilaporkan TANAKA et al. (1995) yang melakukan studi pola pemotongan DNA mitokondria pada kerbau lumpur (Pilipina, Vietnam dan Indonesia) dan kerbau sungai (Bangladesh dan Pakistan) dengan menggunakan 15 enzime restriksi endonuklease. Lima tipe DNA mitokondria teriden-
93
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
tifikasi yaitu tiga tipe di kerbau lumpur dan dua tipe di kerbau sungai. Keragaman nukleotida bervariasi dari 0,2-0,6% di dalam kelompok kerbau lumpur dan kerbau sungai dan bervariasi antara 1,9-2,4% antara kerbau lumpur dan kerbau sungai. Berdasarkan pola pemotongan DNA mitokondria dengan dendogram, TANAKA et al. (1995) memperlihatkan bahwa kelompok kerbau lumpur merupakan kelompok yang berbeda dengan kerbau sungai. UPAYA PERBAIKAN GENETIK TERNAK KERBAU Perkembangan populasi, produksi dan produktivitas kerbau di Indonesia masih kurang baik, termasuk perbaikan mutu genetiknya masih tertinggal jauh dari ternak lainnya. Perbaikan mutu genetik pada kerbau dapat dilakukan melalui seleksi. Variasi individu ternak kerbau dalam hal konformasi bentuk tubuh, produksi daging, pertumbuhan, temperamen dan produksi susu sangat besar sehingga seleksi sebetulnya akan mudah untuk dikerjakan. Namun sampai saat ini seleksi secara sistematis yang terencana dengan baik dan terarah belum pernah dilakukan (HARDJOSUBROTO, 1994). Peningkatan produktivitas yang diperoleh dengan cara seleksi memang tidak secepat cara persilangan antar bangsa namun dengan keragaman yang tinggi tanggapan seleksi yang diperoleh akan lebih besar. Kendala dalam seleksi ternak kerbau adalah masih lemahnya identifikasi ternak dan rekording yang dilakukan. Belum terwujudnya identifikasi dan rekording yang baik dikarenakan umumnya kerbau dipelihara oleh peternak dalam jumlah kecil dan dipelihara secara tradisional serta belum cukupnya pemahaman dan kesadaran peternak terhadap mutu genetik ternak yang dipelihara, tidak sebagaimana sapi perah yang telah banyak diusahakan oleh perusahaan peternakan dengan identifikasi dan rekording yang sudah cukup baik. Tentunya seleksi akan dapat berjalan dengan baik jika didasarkan pada identifikasi dan rekording data yang akurat. Namun demikian identifikasi yang mudah dan murah dan rekording data yang memadai dapat saja dilakukan oleh peternak terutama pada kelompok-kelompok
94
peternak dengan bim-bingan petugas penyuluh atau Dinas Peternakan. Seleksi dilakukan dengan memperhatikan sub grup-sub grup kerbau yang terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan. Pejantan hasil seleksi dari suatu sub grup hanya dipergunakan untuk sub grup tersebut atau untuk sub grup dengan lingkungan yang relatif sama. Penggunaan pada lingkungan yang berbeda akan terkendala pada daya adaptasi yang telah terbentuk, sebagai contoh kerbau-kerbau dari daerah Nusa Tenggara lebih tahan panas daripada kerbau di daerah Jawa dan Sumatera. HARDJOSUBROTO (1994) mengemukakan beberapa kriteria seleksi yang disarankan dapat digunakan untuk memilih pejantan unggul. Kriteria tersebut meliputi pemilihan terhadap angka reproduksi, kecepatan pertumbuhan atau berat pada umur tertentu, kualitas karkas, kekuatan dan daya tahan kerja serta temperamen. Metode yang biasa dikerjakan di beberapa negara adalah metode seleksi massa dengan menggunakan uji performans selain uji Zuriat. Persilangan antar kerbau lumpur di Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan yang relatif sama diduga tidak akan menghasilkan hasil silangan dengan peningkatan produksi yang signifikan, oleh karena jarak genetik kerbau lumpur antar daerah di Indonesia tidak begitu jauh (AMANO et al., 1981; AMANO et al., 1982). HARDJOSUBROTO (2006) menyarankan peningkatan mutu genetik kerbau di Indonesia dilakukan dengan memasukkan materi genetik baru dari luar negeri berupa importasi semen beku. Persilangan antara kerbau lumpur dengan kerbau sungai (rawa x Murrah) akan menghasilkan silangan yang tidak menentu (polymorphism) atau sulit diprediksi hasilnya. Kemungkinan juga dapat menghasilkan silangan yang majir karena adanya perbedaan jumlah kromosom (48 dan 50) maupun bentuk kromosom (kromosom 1 dan kromosom Y). Tidak menutup kemungkinan juga bisa terjadi ”Translokasi Robertson” yaitu perubahan struktur kromosom yang diakibatkan adanya pertukaran segmen-segmen antara dua kromosom yang bukan homolog dengan akibat menurunnya reproduktivitas (HARDJOSUBROTO, 2006).
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
KESIMPULAN
Ternak kerbau di Indonesia mempunyai keragaman yang cukup besar yang dapat dilihat dari fenotipe, produksi dan secara molekuler. Sebagai akibat pengaruh lingkungan telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup pada kerbau di Indonesia. Peningkatan mutu genetik dapat dilakukan melalui seleksi dan memasukan materi genetik baru dari luar negeri. Dengan variasi individu yang cukup besar dalam hal konformasi bentuk tubuh, produksi daging, pertumbuhan, temperamen dan produksi susu, seleksi sebetulnya akan mudah untuk dikerjakan. Persilangan antara kerbau lumpur dengan kerbau sungai (rawa x Murrah) akan menghasilkan silangan yang tidak menentu (polymorphism) atau sulit diprediksi hasilnya dan menurunkan reproduktivitas. DAFTAR PUSTAKA AMANO, T., KATSUMATA, S. SUZUKI, K. NOZAWA. Y. KAWAMOTO, T. NAMIKAWA, H. MARTOJO, I.K. ABDULGANI dan H. NADJIB. 1981. Morphological and Geneticals Survey of Water Buffalous in Indonesia. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock. Part II (Report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey, No. 504353). Page : 31 - 54. AMANO, T., T. NAMIKAWA, J. OTSUKA, K. NOZAWA, Y. KAWAMOTO, O. TAKENAKA dan H. MARTOJO. 1982. Coat Color Variations of Indonesian Water Buffaloes. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock. Part III (Report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey. Page : 53 - 56. CHATALAKHANA, C. 1994. Swamp Buffalo Development in the Past Three Decades and Sutainable Production Beyond 2000. Long Term Improvement of the Buffalo. Proc. of the First ABA Congress BPRADEC. Bangkok. CHUNNCHAI, V. 1981. Differences of Chromosome Number and Structure Between Thai Swamp Buffalo and Murrah Buffalo. Proceeding of the 2nd Meeting on Regional Cooperation Agreement on the Use on Nuclear Technology to Improve Domestic Buffalo Production in Asia. Chulalongkorn University. Bangkok.
HARDJOSUBROTO, W. 2006. Kerbau, Mutiara yang Terlupakan. Orasi Purna Tugas tanggal 17 Juli 2006, Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta. HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. HARDJOSUBROTO, W. dan J.M. ASTUTI. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. MUKHERJEE, T.K., J.S.F. BAKER, S.G. TAN, O.S. SALVARAJ, J.M. PANANDM, Y. YUSHARYATI dan SREETARAM. 1991. Genetic Relationships Among Population of Swamp Buffalo in Southeast Asia. In: N.M. TULLOH (Ed). Buffalo and Goats in Asia: Genetic Diversity and use Aplication. Proc. Sem. Kuala 34-40, ACIAR Proc. Series No. 34, Canberra, Australia. PETHERAM, R.J, C. LIEM, Y. PRIYATMAN dan MATHURIDI. 1982. Studi Kesuburan Kerbau di Pedesaan Kabupaten Serang, Jawa Barat. Balai Penelitian Ternak Bogor, Indonesia. ROBINSON, D.W. 1977. Pengamatan Pendahuluan Atas Daya Hasil dari Kerbau kerja di Indonesia. Puslitbang Peternakan (Australia Indonesia) No. 2. Ciawi, Bogor. SIREGAR, A. R. dan K. DIWYANTO. 1996. Ternak Kerbau Sumberdaya Ternak Lokal sebagai Penghasil Daging (Review). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1996, hlm 381-384. Pulitbang Peternakan, Bogor. SIREGAR, A. R., K. DIWYANTO, E. BASUNO, A. THALIB, T. SARTIKA, R.H. MATONDANG, J. BESTARI, M. ZULBARDI, M. SITORUS, T. PANGGABEAN, E. HANDIWIRAWAN, Y. WIDIAWATI dan N. SUPRIYATNA. 1997. Karakteristik Performan Nutrisi, Mikroba Rumen, Morfologi Darah dan Dinamika Populasi Kerbau Lumpur di Pulau Jawa. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997, hlm 555-570. Puslitbang Peternakan, Bogor. TANAKA, K., T. YAMAGATA, . S. MASANGKAY, M. O. FARUQUE, D. VU-BINH, SALUNDIK, S. S. MANSJOER, Y. KAWAMOTO and T. NAMIKAWA. 1995. Nucleotide Diversity of Mitochondrial DNAs Between the Swamp and the River Types of Domestic Water Buffaloes, Bubalus bubalis, Based on Restrcition Endonuclease Cleavage Patterns. Biochemical Genetics. 33 (5/6) : 137-148.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Buku Statistik Peternakan Tahun 2005. Dirjen. Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
95