Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
ANALISIS EFISIENSI USAHA TERNAK KERBAU (Analysis of Efficiency in Buffaloes Farming) UKA KUSNADI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor16022
ABSTRACT A continued study on Buffalo Farming Efficiency was conducted in the center of buffalo population in Pandeglang and Lebak District, Province of Banten in year 2007. Objective of the study is to gain information on the level of efficiency on buffalo farming in the rural areas. A survey method was used by interview using structured questionaires to 60 respondents followed by a regular farm recording. Secondary data were gathered from the related institutions. Parameters recorded using participation approach (Participatory Rural Appraisal – PRA) were emphasized on technical and socioeconomic aspects such as: pattern of rearing (fattening and or breeding), animal pen system, management on feeding, breeding, diseases, marketing, inputoutput of production included potential and constrains of buffalo farming. Focus group discussion (FGD) was also conducted. Analysis of feasibility study was performed on calculation of values of NB/C ratio (indicator of short term) and of Revenue Cost Ratio (RCR) which were based on the recorded parameters as well as assumed parameters which were not gained from the study. Results of this study showed the value of NB/C ratios is 0.32 and 0.29 in the low land and in the upland agro-ecosystem respectively. Marketing was noted fair with proportional prices between the farm and the market gate. It is recommended production and reproduction technologies are included that for better efficiency of buffalo farming. Key Words: Buffalo, Farming Efficiency, Banten ABSTRAK Penelitian lanjutan tentang Analisis Efisiensi Usaha ternak kerbau di sentra produksi di Pandeglang dan Lebak. Propinsi Banten dilakukan pada tahun 2007. Penelitian bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh efisiensi usaha ternak kerbau pada dua basis agroekosistem yang berbeda dapat memberikan informasi dasar untuk menunjang pengembangannya ke depan. Penelitian ini menggunakan metoda survai. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait, sedang data lapangan dikumpulkan melalui wawancara (kuesioner berstruktur) pada 60 responden peternak kerbau, yang dilanjutkan dengan kegiatan monitoring (farm recording) pada 20 peternak kooperator. Data lapangan yang dikumpulkan dengan pendekatan partisipatif (Participatory Rural Appraisal - PRA) meliputi parameter-parameter teknis dan sosio-ekonomis seperti: pola pemeliharaan (penggemukan dan atau pengembangbiakan), sistem perkandangan, manajemen pemberian pakan, pengembangbiakan, pengendalian penyakit, pakan dan keluaran sistem produksi dengan potensi dan kendala yang dihadapi dalam usaha ternak kerbau dan dilengkapai dengan diskusi kelompok fokus. Analisa perhitungan kelayakan usaha meliputi perhitungan Net Benefit Cost Ratio (indikator jangka pendek), Revenue Cost Ratio (RCR) berbasis pada parameter-parameter yang tidak ditemukan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NBCRasio berturut-turut 0,32 dan 0,29 untuk agroekosistem dataran rendah dan dataran tinggi. Sistem pemasaran cukup efisien dengan tingkat harga yang rasional antara harga tingkat petani dan pasar. Dari penelitian ini disarankan perlunya peningkatan sentuhan teknologi produksi dan reproduksi bagi peningkatan efisiensi usaha ternak kerbau. Kata Kunci: Kerbau, Efisiensi Usaha, Banten
PENDAHULUAN Propinsi Banten termasuk satu dari sepuluh propinsi di Indonesia yang memiliki populasi kerbau lebih dari 100.000 ekor, (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Selain sebagai
sumber tenaga kerja, kerbau termasuk ternak ruminansia besar yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan daging dan susu di Indonesia. Pada umumnya kerbau dipelihara petani dalam skala pemilikan yang kecil, dengan
335
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
tujuan utama untuk dimanfaatkan tenaganya dalam mengolah lahan sawah dan sebagai ternak penghasil daging (WIRYOSUHANTO, 1980, KUSNADI et al., 2005). Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 1994 mencapai 2.684.239 ekor. Namun dalam dekade 10 tahun terakhir menurun secara signifikan, hingga mencapai angka 2.572.169 ekor pada tahun 2005 (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Penurunan ini terjadi hampir di setiap propinsi, termasuk di Banten. Pada tahun 1994 populasi kerbau di Propinsi Banten adalah 172.382 ekor, namun pada tahun 2004 tercatat hanya 163.834 ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Ini berarti di propinsi Banten terjadi penurunan populasi rata-rata 0,27% per tahun. Menurut WIRYOSUHANTO (1980) populasi kerbau di Indonesia menurun sejak tahun 1925 dengan laju penurunan yang makin besar. Sebagai contoh penggemukan kerbau tidak berkembang bahkan diantaranya ”bangkrut”, karena sulitnya bakalan. Namun untuk daerah Pulau Jawa masih ada yang melakukan, ini berarti ada sumber bakalan di lokasi terdekat (masih bertahan) tetapi informasinya kurang. Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa penanganan khusus tidak mustahil kerbau di Indonesia akan terkuras terutama yang memiliki bibit unggul, sehingga untuk pengembangan selanjutnya akan lebih sulit lagi. Oleh karena itu, perlu ada usaha dari berbagai aspek keilmuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendorong berkembangnya ternak kerbau di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan populasi kerbau di Indonesia. Menurut data BPS yang dilaporkan oleh DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2005, keuntungan memelihara ternak kerbau adalah Rp 204 ribu/ekor/tahun. Minimnya keuntungan dalam memelihara kerbau, menyebabkan petani kurang bergairah untuk mengembangkan usaha ternak kerbau (KUSNADI et al., 2005; MULYADI et al., 1981). Disamping itu terganggunya lingkungan hidup kerbau dalam suatu agroekosistem, seperti berkurangnya lahan sebagai garapan petani maupun sebagai sumber pakan menyebabkan kerbau sulit berkembang. Menurut TRIWULANINGSIH (2005) sistem pemeliharaan tradisional menyebabkan terjadi perkawinan sedarah (in breeding) sehingga kualitas bibit
336
kerbau menurun yang akibatnya perkembangan populasi kerbau lambat. Hasil penelitian tahun 2006 menunjukkan pemeliharaan kerbau di Propinsi Banten masih dilakukan secara tradisional, namun ditinjau dari sumberdaya alam, sumberdaya pakan dan sumberdaya manusia cukup potensial untuk dikembangkan. Pemeliharaan kerbau akan lebih baik jika dilakukan secara terintegrasi dengan pola pertanian yang ada. Dari hasil penelitian sebelumnya (KUSNADI et al., 2006) penampilan produksi dan reproduksi kerbau baik di dataran tinggi maupun dataran rendah masih jauh dibawah rata-rata penampilan kerbau di Indonesia. Dari kondisi yang ada tersebut secara sosial, teknis dan ekonomis layak untuk dikembangkan namun sampai berapa jauh tingkat efisiensi usaha yang telah dicapai belum diketahui. Atas dasar pemikiran tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efisiensi usaha ternak kerbau pada sistem pemeliharaan yang berbeda baik secara ekonomis, teknis maupun sosial di beberapa agroekosistem, baik untuk tujuan produksi bibit, daging, susu maupun tenaga kerja. Selain itu juga untuk mengkaji herd survival di sentra populasi kerbau. MATERI DAN METODE Lokasi penelitian dilakukan di Propinsi Banten yang memiliki agroekosistem yang berbeda masing-masing 2 Kabupaten. Pemilihan lokasi untuk setiap propinsi berdasarkan pada: 1. Merupakan wilayah pengembangan ternak kerbau sesuai dengan program pemerintah daerah setempat (dipilih satu kabupaten terpadat ternak kerbau). 2. Lokasi yang memiliki agroekosistem dan sistem pemeliharaan yang berbeda. 3. Lokasi yang memiliki prospek pengembangan kerbau ditinjau dari ketersediaan lahan dan sarana prasarana wilayah. Penelitian ini dilakukan dengan metode survai yang dilanjutkan dengan “farm record keeping” (MANWAN et al. 1996; KUSNADI et al., 1993) terhadap 60 orang petani peternak kerbau di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lebak dan Pandeglang di Propinsi Banten
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
dalam memperoleh data dasar. Selanjutnya dilakukan farm record keeping terhadap petani terpilih sebanyak ± 20 orang petani (± 30% dari sampel survei) untuk memperoleh data dinamika herd survive usaha kerbau (teknis, ekonomis dan sosial) pada sistem pemeliharaan dan agroekosistem yang berbeda. Petani terpilih yang menjadi kooperator diharapkan memiliki skala usaha lebih dari 3 ekor induk. Sebelum survei dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pra survei (penjajagan) dalam memperoleh informasi mengenai faktorfaktor usaha, variabel teknis dan sosial. Data yang dikumpulkan Data primer mencakup aspek teknis, sosial dan ekonomis meliputi potensi dan kendala, sistem perkandangan, tatalaksana pemberian pakan, reproduksi, pembibitan, penggemukan, pengendalian penyakit, pemasaran, input – output yang berkaitan dengan sistem usaha ternak kerbau. Data sekunder diperoleh dari dinas yang terkait berupa sumberdaya fisik meliputi prasarana dan sarana produksi, sistem kelembagaan, harga dan pemasaran serta daya dukung lahan. Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara berstruktur (instrument questionaire), diskusi kelompok fokus (focus group discussion) terhadap petani peternak, petugas dinas terkait serta kelompok petani melalui pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). Data yang diperoleh pada kunjungan pertama dianalisis sementara. Bila hasil analisis mengindikasikan perlunya pengumpulan data yang lebih mendalam, maka dilakukan kunjungan dan diskusi lain dengan pihak-pihak yang terkait, baik dilokasi awal maupun lokasi lain, untuk memperoleh gambaran data yang lebih lengkap. Hal ini terutama untuk menentukan petani sampel (± 20 orang atau 30% dari sample survei) guna memperoleh data dinamika usaha (farm record keeping) yang dilakukan setiap bulan.
Analisa data Semua data diolah dalam satu siklus produksi atau tahunan (tergantung ketersediaan data). Analisa usaha dilakukan dengan indikator kelayakan teknis dan ekonomis proyek (GRAY et al., 1996), sebagai berikut: 1. Net Benefit Cost Ratio dengan rumus Net B/C Ratio = Jumlah seluruh Net Benefit Positif : Jumlah seluruh Net Benefit Negatif 2. Kriteria investasi RCR (Revenue Cost Ratio) dengan rumus RCR = penerimaan : pengeluaran x 100% RCR ini untuk menentukan kelayakan suatu usaha yang menguntungkan apabila nilainya lebih tinggi dari suku bunga yang berlaku di perbankan.
Asumsi-asumsi Dalam analisa kelayakan digunakan beberapa asumsi ekonomi, diantaranya: 1. Diskon faktor (faktor koreksi) digunakan sebesar 12% sesuai dengan suku bunga kredit usahatani. 2. Semua input dan output dinilai dengan rupiah sesuai harga yang berlaku pada saat kegiatan ”farm record keeping”. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika kelompok tani kerbau Yang dimaksud dinamika kelompok tani kerbau disini terbatas pada perkembangan kelompok tani kerbau yang ada di dataran tinggi dan dataran rendah termasuk jumlah anggota kelompok dan aktifitas petani/ kelompok dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha ternak kerbau maupun tanaman. Hal ini diperlukan untuk melihat animo masyarakat petani terhadap pemeliharaan kerbau. Perkembangan dinamika yang dimonitor setiap dua bulan selama 8 bulan dapat dilihat dalam Tabel 1. Dinamika
337
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
kelompok tani kerbau sangat lamban ditinjau dari jumlah anggota yang hanya meningkat 15%, bahkan di dataran rendah bersifat statis dengan jumlah anggota yang tetap selama delapan bulan. Begitu pula dalam hal menanam tanaman pakan baru ada aktifitas pada bulan keenam, dengan jumlah yang relatif kecil.
Aktifitas menanam pakan untuk kerbau, pengolahan pupuk, pertemuan kelompok, ikut pelatihan dan kunjungan ke tempat peternakan kerbau lain masih sangat kurang. Hal ini menunjukkan bahwa animo terhadap perbaikan pemeliharaan kerbau sangat kurang.
Tabel 1. Dinamika kelompok tani kerbau selama 8 bulan di Propinsi Banten Periode dua bulan ke
Uraian 1
2
3
4
Perubahan
A
20
20
20
20
Tetap
B
17
18
20
20
Naik 15%
Jumlah anggota (orang)
Tanaman pakan A
-
-
+
+
B
-
-
+
+
A
-
+
+
+
B
+
+
++
++
Pelihara kerbau Bibit
Penggemukan A
+
+
++
++
B
+
++
++
++
Penghasil anak A
+
+
++
++
B
+
++
++
+
A
-
-
+
++
B
-
+
++
++
A
-
+
+
+
B
-
+
++
++
A
-
-
+
+
B
-
+
++
++
A
-
-
-
-
B
-
-
-
+
A
-
-
+
+
B
-
-
+
++
Pengolahan pupuk
Pekerjaan Non Farm
Pertemuan kelompok
Ikut pelatihan
Kunjungan tempat lain
A = daerah dataran rendah; B = daerah dataran tinggi; - = tidak ada aktifitas; + = aktifitas bertambah
338
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Sebaliknya minat memelihara kerbau untuk tujuan penggemukan dan menghasilkan anak aktifitasnya cukup tinggi. Sementara untuk menghasilkan bibit ada kenaikan maskipun lambat, terutama pada daerah dataran rendah. Kondisi ini menunjukkan bahwa memelihara kerbau dengan tujuan untuk menghasilkan anak dan penggemukan yang mudah dijual sangat diminati, tetapi untuk meningkatkan hasil usaha relatif kurang. Mereka cenderung lebih memilih bekerja di sektor lain (non farm), apabila ada kesempatan. Efisiensi usaha ternak kerbau ARIFIN (1986) mengemukakan bahwa suatu usaha peternakan adalah proses produksi sehingga rendahnya tingkat pendapatan peternak mungkin disebabkan oleh penggunaan faktor-faktor produksi yang tidak efisien. Ini merupakan ukuran dalam mencapai produksi tertentu dibandingkan dengan faktor produksi atau biaya minimum. Efisiensi merupakan ukuran dalam mencapai produksi yang didapat dari suatu kesatuan biaya, kemudian ratio input-output yang juga dapat dijadikan dasar dalam menentukan nilai efisiensi. MUBIYARTO (1989) menyatakan bahwa efisiensi usaha terdiri dari efisiensi produksi (teknis) dan efisiensi ekonomis. Efisiensi produksi adalah banyaknya produksi fisik yang didapat dari satu kesatuan faktor produksi (input), sedangkan efisiensi ekonomis adalah efisiensi fisik yang dinilai dengan uang. Dalam menilai efisiensi suatu usaha ternak menurut GRAY et al. (1996), dapat dipergunakan Investment Criteria (IC), yakni suatu indikator yang digunakan untuk mengukur atau memberikan gambaran dari suatu usaha apakah usaha yang sedang atau selesai dijalankan efisien secara ekonomis atau tidak. Salah satu IC yang dapat digunakan adalah mengukur efisiensi usaha dengan tingkat keuntungan usaha tersebut. Untuk memperoleh tingkat efisiensi usaha, semua kegiatan yang mencakup pengeluaran dan penerimaan dalam jangka waktu tertentu, atau setiap tahun kemudian dicatat. Begitu juga data fisik produksi diukur dan dicatat, untuk selanjutnya dianalisa tingkat efisien usahanya. Menurut GRAY et al. (1996) dalam mengukur efisiensi usaha perlu diukur juga tingkat
efisiensi pemasaran hasil baik dilakukan oleh petani atau oleh pihak lain. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa dalam memproduksi komoditas pertanian faktor pemasaran merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan. Dalam kaitan ini disajikan hasil penelitian efisiensi usaha ternak kerbau yang meliputi efisiensi produksi, efisiensi ekonomis dan efisiensi pemasaran. Efisiensi produksi dan reproduksi Fungsi produksi mencerminkan kombinasi berbergai faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk (BISHOP, 1989). Salah satu faktor produksi penting dalam usaha ternak adalah ketersediaan input fisik, untuk usaha ternak kerbau dapat berupa bibit, tenaga kerja, modal dan makanan ternak. Sedangkan yang dimaksud dengan produk dalam usaha ternak kerbau merupakan hasil dari pengorganisasian input dan faktor-faktor produksi yang berupa anak, daging dan pupuk kandang. Produk usaha termak kerbau tersebut sangat tergantung dari lama pemeliharaan, kemampuan produksi dan reproduksi kerbau serta manajemen pemeliharaan (input). Kemampuan produksi dan reproduksi kerbau di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa kemampuan produksi dan reproduksi kerbau di daerah peneltian ditinjau dari angka parameter fertilitas, umur beranak pertama, service per conception, jarak beranak dan siklus berahi menunjukkan angka yang sangat berbeda dengan standar optimal, dengan perbedaan di dataran rendah rata-rata 33,8% dan di dataran tinggi 53,8%. Artinya bahwa secara teknis (breeding efficiency) kemampuan produksi dan reproduksi kerbau di kedua daerah tersebut belum efisien. Kondisi ini mencerminkan bahwa apabila ternak kerbau untuk usaha komersial kurang efisien mengingat siklus produksi yang cukup panjang dengan input fisik akan bertambah dan hasil produksi tetap. Dari Tabel 2 terlihat pula bahwa rata-rata parameter produksi dan reproduksi kerbau di dataran tinggi lebih rendah dari pada di dataran rendah. Hal ini mungkin karena di dataran tinggi kerbau digunakan untuk tenaga kerja mengolah lahan sehingga berpengaruh terhadap siklus produksi dan reproduksi
339
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 2. Kemampuan produksi dan reproduksi kerbau induk di Propinsi Banten Uraian Jumlah induk umur > 2 tahun
Standar optimal -
Hasil penelitian
Perbedaan dengan standar (%)
A
B
A
B
20
25
-
-
Fertilitas (%)
85
75
68
12
20
Umur beranak pertama (tahun)
3
3,5
3,6
17
20
Service per conception (kali)
2
3
4
50
100
Jarak beranak (bulan)
15
21
24
40
60
Siklus birahi (hari)
16
24
27
50
69
Jumlah
-
Rata-rata
169
269
33,8
53,8
A: daerah dataran rendah, B: daerah dataran tinggi Sumber: WIRYOSUHANTO (1980)
kerbau. Penurunan populasi kerbau di Propinsi Banten salah satu penyebabnya karena tingkat kemampuan produksi dan reproduksi kerbau masih rendah. Oleh karena itu perlu ada sentuhan teknologi yang mengarah kepada efisiensi teknis produksi yang dapat meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak kerbau. Efisiensi ekonomis Efisiensi ekonomis adalah efisiensi teknis berupa ratio input output yang dinilai dengan uang. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap 20 ekor kerbau jantan yang sendang digemukan/dibesarkan oleh dua kelompok peternak masing-masing 10 ekor di dataran rendah dan 10 ekor di dataran tinggi, angka/nilai input dan output produksi disajikan Tabel 3. Pada usaha penggemukan/pembesaran ternak kerbau sebanyak 10 ekor selama 5 bulan memerlukan biaya sebesar Rp. 58.380.000 di dataran rendah dan Rp. 59.257.200 di dataran tinggi. Biaya tersebut diperlukan untuk pembelian bakalan (97,5%) dan biaya transportasi (1,5%). Sedangkan penerimaanya sebesar Rp. 77.267.500 di dataran rendah dan Rp. 76.463.200 di dataran tinggi. Penerimaan ini terdiri dari nilai penjualan ternak (98%) dan dari pupuk (2%). Keuntungan yang diperoleh peternak cukup besar yaitu Rp 18.887.500 di dataran rendah dan Rp. 17.206.000 di dataran tinggi.
340
Walaupun nilai keuntungan per bulan per ekor masih rendah yaitu Rp 377.750 di dataran rendah dan Rp. 344.120 di dataran tinggi akan tetapi ditinjau dari nilai efisiensi usaha cukup baik dengan nilai NBC ratio 0,32 dan 0,29. Hal ini dicerminkan pula oleh nilai RCR 132% dan 129% yang artinya dengan investasi Rp 100 diperoleh untung 32% dan 29%. Nilai efisiensi ini bila dibandingkan dengan hasil sebelumnya jauh lebih baik, yaitu hanya mencapai 18-19% (KUSNADI et al., 2006). Begitu juga bila dibandingkan dengan nilai suku bunga untuk usaha pertanian 11%, maka usaha penggemukan/pembesaran kerbau cukup optimis untuk bisa berkembang. Dilain pihak bahwa usaha ternak kerbau sebagai penghasil bibit kurang begitu menguntungkan dibanding untuk penghasil daging. Data mengenai besar dan nilai biaya serta penerimaan usaha ternak kerbau sebagai penghasil anak (bibit) dengan skala pemilikan 5 ekor induk di dataran rendah dan 3 ekor di dataran tinggi selama 20 tahun dapat dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa usaha ternak kerbau sebagai penghasil bibit, tingkat keuntungan per ekor per bulannya sebesar Rp. 114.500 di dataran rendah dan Rp 172.000 di dataran tinggi, jauh lebih rendah dari usaha ternak kerbau sebagai penghasil daging. Walaupun keuntungan per ekor per siklus produksi pemeliharaan kerbau untuk pembibitan lebih tinggi dari pada penggemukan, namun siklus produksinya lama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Oleh karena itu, peternak lebih tertarik memelihara kerbau sebagai penghasil daging daripada penghasil bibit. Kondisi inilah yang menyebabkan populasi kerbau di Propinsi Banten lamban perkembangannya. Ditinjau dari NBC Ratio 0,32 di dataran rendah dan 0,44 di dataran tinggi serta RCR 132% dan 144% menunjukkan angka yang cukup efisien.
Siklus produksi sebagai akibat dari kurang efisiennya faktor teknis produksi menyebabkan siklus produksi yang panjang maka usaha pembibitan kerbau kurang efisien jika tanpa memperbaiki teknis produksi, dan reproduksi yang mengarah kepada efisiensi breeding yang optimal.
Tabel 3. Besar dan nilai input-output produksi usaha penggemukan/pembesaran kerbau penghasil daging selama 5 bulan di Propinsi Banten Nilai
Uraian Dataran rendah Banyaknya kerbau jantan umur 26 bulan (ekor)
Dataran tinggi
10
10
Berat awal (kg)
3.560
3.500
Harga beli (Rp/kg)
16.000
16.500
ADG (kg/ekor/hari)
0,62
0,60
Lama pemeliharaan (hari)
150
152
Berat jual (Rp/kg)
4.490
4.412
Biaya pakan (Rp/hari)
1.800
2.350
Harga jual (Rp/kg)
17.000
17.000
Biaya transport (Rp/ekor)
25.000
25.000
Pupuk yang terkumpul (kg)
3.750
4.864
250
300
56.960.000
57.750.000
Biaya pemeliharaan (pakan)
270.000
357.200
Tenaga kerja
900.000
900.000
Harga jual pupuk (Rp/kg) Biaya (Rp): Pembeliaan bakalan
Transportasi Jumlah
250.000
250.000
58.380.000
59.257.200
76.330.000
75.004.000
937.500
1.459.200
Penerimaan (Rp) Penjualan ternak Nilai pupuk
77.267.500
76.463.200
Keuntungan (Rp)
Jumlah
18.887.500
17.206.000
Keuntungan per ekor
1.888.750
1.720.600
377.750
344.120
NBC ratio
0,32
0,29
RCR (%)
132
129
Keuntungan per bulan/ekor Efisiensi (IC)
341
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 4. Besar dan nilai input-output produksi usaha ternak kerbau penghasil bibit di Propinsi Banten Nilai
Uraian Skala pemilikan induk umur > 3 tahun (ekor) Hari kerja kerbau (HOK)
Dataran rendah
Dataran tinggi
5
3
-
28
20
20
Harga beli bibit (Rp/ekor)
6.750.000
7.000.000
Harga jual induk (Rp/ekor)
7.250.000
8.000.000
500
650
1.800
1.600
250
300
Harga jual anak (Rp/ekor)
2.750.000
2.750.000
Jumlah anak terjual (ekor)
4
2
Harga tenaga kerbau (Rp/ekor)
-
-
33.750.000
21.000.000
300.000
390.000
1.800.000
1.800.000
400.000
200.000
36.250.000
23.390.000
Penjualan induk
36.250.000
24.000.000
Penjualan anak
11.000.000
8.250.000
Lama pemeliharaan (bulan)
Biaya pakan (Rp/hari) Pupuk yang terkumpul (kg/periode) Harga pupuk (Rp/kg)
Biaya Pembelian induk Pemeliharaan (pakan) Tenaga kerja Lain-lain (perbaikan kandang, transport, Retribusi, obat) Jumlah Penerimaan
Tenaga kerja
-
980.000
Pupuk
450.000
480.000
Jumlah
47.700.000
33.710.000
Total
11.450.000
10.320.000
Keuntungan/ekor
2.290.000
3.440.000
114.500
172.000
NBC
0,32
0,44
RCR
1,32
1,44
Keuntungan
Keuntungan/bulan/ekor Efisiensi (investment criteria)
Efisiensi pemasaran Pemasaran merupakan aspek yang menentukan tingkat efisiensi usaha kerbau di suatu daerah. Berdasarkan penelitian ini ada dua jalur pemasaran yang berlaku di kedua daerah penelitian yaitu:
342
1. Jalur pemasaran kerbau untuk dipotong 2. Jalur pemasaran kerbau untuk bibit Jalur pemasaran kerbau untuk dipotong adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Petani harga jual Rp. 6,5 juta
Bandar kerbau
Pengumpul Rp. 6,7 juta
Rp 7 juta
Jagal (rumah potong)
ekor atau sekitar 23,1%. Jalur pemasaran tersebut masih cukup efisien. Menurut GRAY et al. (1996) bahwa selisih harga petani (Farm Gate Price) dengan konsumen di bawah 30% termasuk pemasaran yang efisien. Jalur pemasaran kerbau untuk bibit, rantainya lebih pendek yaitu: Petani
Rp 7,5 juta
Pengumpul
Rp 6,75 juta
Pengecer daging
Rp 7 juta
Bandar kerbau
Rp. 8 juta
Rp. 8 juta Petani Konsumen Rata-rata Rp. 52.000/kg
Jalur pemasaran dari petani, pengumpul, bandar, jagal, pengecer sampai konsumen akhir, merupakan pelaku pemasaran. Para pelaku pemasaran mendapat keuntungan yang berbeda, tergantung dari perannya. Besarnya tingkat keuntungan untuk setiap pelaku pemasaran dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayar konsumen adalah Rp. 1.500.000/
Dalam jalur pemasaran ini petani bisa menjual langsung kepada petani lain atau kepada pengumpul. Dari pengumpul dijual ke Bandar kerbau yang bisa menjual ke petani lain baik di daerah itu sendiri atau ke luar daerah. Selisih harga dari petani dengan harga yang dibayar konsumen akhir adalah Rp 1.250.000 atau 18,4%, (Tabel 6). Oleh karena itu, jalur pemasaran ini masih efisien karena masih di bawah 30% (GRAY et al., 1996).
Tabel 5. Besarnya tingkat keuntungan pelaku pemasaran kerbau untuk dipotong Pelaku pemasaran
Harga jual (Rp)
Besarnya keuntungan Rp
Petani
6.500.000
%
-
Pengumpul
6.700.000
200.000
3,1
Bandar kerbau
7.000.000
300.000
4,6
Jagal (rumah potong)
7.500.000
500.000
7,7
Pengecer daging*
8.000.000
500.000
7,7
Konsumen *Dijual berupa daging Rp 52.000/kg dengan berat karkas 154 kg/ekor, belum termasuk jeroan, kepala, kulit
343
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 6. Besarnya tingkat keuntungan pelaku pemasaran kerbau untuk bibit Pelaku pemasaran Petani
Harga jual (Rp) 6.750.000
Besarnya keuntungan Rp
%
-
-
Pengumpul
7.000.000
250.000
3,6
Bandar Kerbau
8.000.000
1.000.000
14,8
Konsumen akhir
-
-
-
1.250.000
18,4
Jumlah
KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dinamika kelompok tani kerbau menunjukkan adanya peningkatan dari aktivitas pemeliharaan kerbau. 2. Tingkat efisiensi produksi dan reproduksi ternak kerbau masih rendah yaitu 33,8% di dataran rendah dan 53,8% di dataran tinggi. 3. Tingkat efisiensi ekonomi untuk usaha penggemukan/penghasil daging dengan NBC ratio 0,32 di dataran rendah dan 0,29 di dataran tinggi. Begitu juga untuk penghasil bibit, NBC ratio 0,32 di dataran rendah dan 0,44 di dataran tinggi. Namun tingkat keuntungan masih rendah khususnya dalam usaha pembibitan, karena siklus produksi dan reproduksinya lebih panjang. 4. Dalam pemasaran ternak kerbau baik untuk dipotong maupun untuk bibit cukup efisien dengan perbedaan harga antara Farm Gate Price dengan konsumen akhir di bawah 30%. 5. Disarankan bahwa untuk meningkatkan efisiensi usaha dan tingkat keuntungan perlu adanya sentuhan teknologi produksi dan reproduksi kerbau yang mengarah kepada Efisiensi Breeding dengan meningkatkan skala usaha. 6. Untuk meningkatkan harga jual ternak, sebaiknya petani memelihara kerbau dengan warna bulu hitam/abu-abu tua, karena harga jual kerbau albino murah dan waktu/lamanya pemeliharaan lebih panjang untuk mencapai bobot badan optimal.
344
DAFTAR PUSTAKA BISHOP, C.E. 1989. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Penerbit Mutiara, Jakarta. 316 p. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Budidaya ternak ruminansia (kerbau) di Indonesia. Makalah Lokakarya Kerbau. 29 – 30 Nopember 2005. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. GRAY, C., L.K. SABUR. P. SIMANJUNTAK dan P. F. L. MASPAITELLA. 1996. Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia, Jakarta. KUSNADI U., S. ISKANDAR and M. SABRANI. 1993. Research Methodology for Crop Animal System in Hilly areas of Indonesia Crop Animal Interaction Proc. of an International Workshop. Held at Khon Kaen, Thailand. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.G. SIANTURI dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Propinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier. Bogor, 17 – 18 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 316 – 322. KUSNADI, U., L. PRAHARANI, E. TRIWULANINGSIH dan E. JUARINI. 2006. Kelayakan Usaha Ternak Kerbau untuk Penghasil Bibit dan Daging di Beberapa Agro-ekosistem. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian DIPA. Tahun Anggaran 2006. Edisi Khusus Buku I. Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Bogor. MANWAN, I. dan A.M. OKA. 1996. Konsep Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Makalah Seminar Usahatani Terpadu. 2 Nopember 1995. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. MUBYARTO. 1981. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
MULYADI, A. SANTOSO dan K. SURADISASTRA. 1981. Peranan Ternak Kerja Kerbau pada Usahatani Sawah di Sumedang. Bull. LPP 27: 21 – 30.
WIRYOSUHANTO. 1980. Peternakan Kerbau di Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
TRIWULANNINGSIH, E. 2005. Laporan Hasil Penelitian Breeding dan Reproduksi Ternak Kerbau di Indonesia Balitnak, Ciawi, Bogor.
345