Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
SELEKSI PADA TERNAK KERBAU BERDASARKAN NILAI PEMULIAAN EKO HANDIWIRAWAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151 e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Seleksi dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan kemajuan genetik pada generasi selanjutnya dan memperoleh populasi ternak yang lebih seragam. Sampai saat ini belum pernah dilakukan seleksi secara sistematis dan terencana baik pada ternak kerbau di Indonesia. Seleksi pada kerbau Indonesia sebenarnya akan mudah dilakukan karena adanya variasi individu yang sangat besar. Penerapan metode seleksi pada ternak kerbau dapat dilakukan dengan cara seperti yang biasa dikerjakan pada sapi potong atau sapi perah. Namun demikian sebagaimana seleksi yang dilakukan pada sapi potong dan sapi perah, sistem rekording data yang akurat dan pengumpulan data yang teratur dengan jumlah contoh yang mencukupi merupakan hal pokok yang perlu dibangun dengan baik agar pengolahan dan analisis data yang dilakukan dapat menghasilkan informasi yang dapat dipercaya. Sifat yang dipilih harus dibuat minimal karena tiap sifat yang disertakan dalam seleksi akan mengurangi intensitas seleksi yang dimungkinkan untuk sifat lain. Beberapa kriteria seleksi yang disarankan digunakan untuk kerbau meliputi angka reproduksi, kecepatan pertumbuhan atau berat pada umur tertentu, kualitas karkas, kekuatan dan daya tahan kerja serta temperamen. True breeding value dari ternak tidak dapat diketahui, yang dapat dilakukan adalah menghitung estimated breeding value (EBV) berdasarkan petunjuk performans (nilai fenotipik) yang ada pada ternak itu sendiri, saudara, progeni atau tetuanya. Kecermatan pendugaan EBV tersebut dipengaruhi oleh (1) jumlah catatan, (2) heritabilitas, (3) ripitabilitas dan (4) hubungan silsilah/kekerabatan. Metode Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) dapat menghitung EBV dengan menggunakan data dari kelompok ternak yang berasal dari farm atau ranch yang berbeda atau dari dekade yang berbeda. Kata kunci: Kerbau, seleksi, nilai pemuliaan
PENDAHULUAN Sumbangan sangat besar telah diberikan oleh Robert Bakewell (1725-1795) sebagai pionir besar dalam penerapan ilmu pemuliaan ternak (JOHANSSON dan RENDEL, 1966), sehingga saat ini teori tentang pemuliaan ternak telah mengalami banyak sekali kemajuan. Sifat-sifat produksi beberapa jenis ternak telah mengalami kemajuan yang sangat mengesankan dengan aplikasi ilmu pemuliaan ternak. Pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan yang telah dicapai saat ini pada ternak broiler demikian pula produksi telur pada layer merupakan contoh kemajuan yang cukup mengesankan dalam bidang pemuliaan ternak. Kapasitas produksi berbagai komoditas ternak yang ada saat ini jelas sangat jauh mengalami perbaikan dibandingkan ketika belum “tersentuh” ilmu pemuliaan.
Perbaikan mutu genetik ternak pada umumnya dapat dilakukan dengan jalan seleksi dan persilangan. Dengan seleksi generasi berikutnya akan memiliki frekuensi gen yang lebih seragam sesuai dengan arah yang dikehendaki pemulia, sebaliknya persilangan menyebabkan penambahan variasi gen pada generasi selanjutnya. Walaupun nampaknya saling bertolak belakang namun keduanya dapat diarahkan untuk membentuk populasi yang memiliki mutu genetik lebih baik dari sebelumnya yang ditunjukkan dengan penampilan sifat-sifat produksi dari sebelumnya. Dalam prakteknya seleksi dan persilangan dapat berjalan bersama-sama secara berkesinambungan tidak dilakukan secara terpisah, seperti dilakukan pada pembentukan bangsa ternak baru misalnya. HARDJOSUBROTO (1994) mengemukakan bahwa seleksi adalah suatu tindakan untuk memilih ternak yang dianggap mempunyai
79
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
mutu genetik baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta memilih ternak yang dianggap kurang baik untuk disingkirkan dan tidak dikembangbiakkan lebih lanjut. Tindakan pemulia untuk menentukan ternakternak mana yang boleh bereproduksi dan menghasilkan generasi selanjutnya dikatakan sebagai seleksi buatan. Di samping seleksi buatan, secara simultan sebenarnya juga bekerja seleksi alam, yaitu seleksi yang bekerja akibat pengaruh kekuatan-kekuatan alam untuk menentukan ternak-ternak mana yang akan dapat bereproduksi selanjutnya. Seleksi alam didasarkan kepada daya adaptasi ternak terhadap pengaruh lingkungan dan pada umumnya mengakibatkan perubahan yang sangat lambat. Seleksi buatan dilakukan pemulia berdasarkan keunggulan yang dimiliki ternak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manusia/pasar. Hal ini dilakukan untuk mempercepat perubahan mutu genetik ternak. Ukuran mutu genetik ternak yang dipergunakan sebagai pegangan dalam melakukan seleksi, salah satunya adalah Nilai Pemuliaan (Breeding Value) ternak yang bersangkutan. Nilai Pemuliaan adalah penilaian dari mutu genetik ternak untuk suatu sifat tertentu, yang diberikan secara relatif atas dasar kedudukannya di dalam populasinya (HARDJOSUBROTO, 1994). Sampai saat ini belum pernah dilakukan seleksi secara sistematis dan terencana baik pada ternak kerbau di Indonesia. Seleksi pada kerbau Indonesia sebenarnya akan mudah dilakukan karena variasi individu kerbau di Indonesia sangat besar dalam hal konformasi bentuk tubuh, produksi daging, pertumbuhan, temperamen dan produksi susu (HARDJOSUBROTO, 1994). Penerapan metode seleksi pada ternak kerbau dapat dilakukan dengan cara seperti yang biasa dikerjakan pada sapi potong atau sapi perah. Dalam makalah ini akan dibahas metode seleksi berdasarkan nilai pemuliaan yang dapat diterapkan pada kerbau seperti yang diterapkan pada sapi potong dan sapi perah. Namun demikian sebagaimana seleksi yang dilakukan pada sapi potong dan sapi perah, rekording data yang akurat dan pengumpulan data yang teratur dengan jumlah contoh yang mencukupi merupakan hal pokok yang perlu dibangun dengan baik agar pengolahan dan
80
analisis data yang dilakukan dapat menghasilkan informasi yang dapat dipercaya. PENGARUH SELEKSI TERHADAP KEMAJUAN GENETIK Fungsi seleksi adalah mengubah frekuensi gen, di mana frekuensi gen-gen yang diinginkan akan meningkat sedangkan frekuensi gengen yang tidak diinginkan akan menurun. Perubahan frekuensi gen-gen ini tentunya akan mengakibatkan rataan fenotipe dari populasi terseleksi akan lebih baik dibandingkan dari rataan fenotipe populasi sebelumnya. Perbedaan antara rataan performans dari ternak yang terseleksi dengan rataan performans populasi sebelum diadakannya seleksi disebut sebagai diferensial seleksi, yang dinyatakan dengan rumus (BECKER, 1985; HARDJOSUBROTO,1994): S = XS - X di mana : S = diferensial seleksi X = rataan fenotipe populasi XS = rataan fenotipe sesudah adanya seleksi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai diferensial seleksi, yaitu (1) pada seleksi untuk satu sifat, semakin sedikit ternak yang dipilih semakin besar diferensial seleksinya; (2) diferensial seleksi dapat lebih besar pada kelompok ternak dengan jumlah yang besar, sebab pada populasi yang besar akan semakin besar pula kemungkinan dijumpai ternakternak yang performansnya di atas atau di bawah rataan; (3) diferensial seleksi pada ternak jantan lebih tinggi daripada ternak betina, karena ternak jantan memiliki potensi untuk menghasilkan lebih banyak keturunan dibandingkan ternak betina (NOOR, 1996). Tidak seluruhnya perbedaan performans diturunkan ke generasi selanjutnya, proporsi dari diferensial seleksi yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya adalah hanya yang bersifat genetik saja, yaitu sebesar angka pewarisannya (heritabilitas). Dengan demikian besarnya diferensial seleksi yang diwariskan yang merupakan tanggapan seleksi yang akan muncul pada generasi berikutnya adalah sebesar (HARDJOSUBROTO, 1994; FALCONER dan MACKAY, 1996):
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
R = h2 . S di mana : R = tanggapan seleksi atau tanggapan seleksi per generasi h2 = heritabilitas sifat yang diseleksi S = diferensial seleksi Rumus di atas hanya dapat digunakan untuk menghitung tanggapan seleksi sebagai akibat dari seleksi yang telah atau sedang dilakukan sekarang dan tidak dapat digunakan untuk keperluan perencanaan, karena sukar untuk menghitung nilai S. Untuk suatu perencanaan maka tanggapan seleksi dapat dihitung dengan rumus (HARDJOSUBROTO, 1994; FALCONER dan MACKAY, 1996) : R = i.h2.σp di mana : i = intensitas seleksi = S/σp σp = simpangan baku dari fenotipe Untuk menghitung tanggapan seleksi per tahun maka rumus di atas harus dibagi dengan interval generasinya (=l). Interval generasi adalah rataan umur tetua pada saat anak dilahirkan (HARDJOSUBROTO, 1994; FALCONER dan MACKAY, 1996). i.h2.σp R= l Dari persamaan di atas maka dapat diketahui bahwa tanggapan seleksi atau kemajuan genetik akibat seleksi dipengaruhi oleh (1) akurasi/kecermatan seleksi; (2) intensitas seleksi; (3) variasi genetik; dan (4) interval generasi (BOURDON, 1997). Kecermatan seleksi sangat berkaitan langsung dengan nilai heritabilitas. Menurut WARWICK et al. (1990) beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menaikkan kecermatan seleksi adalah (1) membakukan prosedur pengelolaan semaksimal mungkin dan membuat penyesuaian terhadap pengelolaan atau lingkungan yang tidak mungkin dikendalikan (mengurangi ragam lingkungan); (2) jika memungkinkan, melakukan pengukuran berulang terhadap suatu sifat; dan (3) penggunaan informasi performans individu dan saudara secara optimal. Intensitas seleksi yang tinggi, populasi yang sangat bervariasi dan interval generasi yang lebih pendek dapat meningkatkan laju kemajuan genetik. Idealnya keempat faktor tersebut dibuat maksimal
untuk mempertinggi kemajuan genetik, yaitu kecermatan seleksi, intensitas seleksi dan variasi genetik dimaksimalkan dan interval generasi dibuat minimal. Namun demikian tidak mungkin semua faktor dibuat maksimal karena perubahan pada satu faktor terkadang mempengaruhi faktor yang lain (BOURDON, 1997). Dengan demikian, yang dapat dilakukan adalah menentukan kombinasi terbaik dari keempat faktor tersebut yang dapat memperoleh kemajuan genetik yang optimal. Saling keterkaitan keempat faktor tersebut dalam menentukan kemajuan genetik telah dijelaskan oleh BOURDON (1997). Pengurangan interval generasi biasanya menyebabkan pengurangan/penurunan kecermatan seleksi. Hal ini disebabkan hanya sedikit catatan (catatan progeni) tersedia yang dapat dipergunakan dalam membuat prediksi/pendugaan genetik. Intensitas seleksi yang sangat tinggi bagi ternak pengganti akan menyebabkan banyak ternak yang dipertahankan di dalam populasi sehingga interval generasi akan menjadi panjang. Seleksi seharusnya ditujukan kepada sifatsifat yang betul-betul penting ditinjau dari segi ekonomi. Tabel 1 menunjukkan daftar sejumlah sifat dari sapi potong dan sapi perah yang dapat dipertimbangkan dalam program seleksi. Dalam praktek, seleksi sering tidak hanya ditujukan kepada satu sifat saja tetapi dilakukan terhadap beberapa macam sifat. Beberapa macam sifat tersebut terkadang dianggap sama-sama pentingnya dalam segi ekonomi sehingga harus dilakukan semuanya. Walaupun demikian perlu dipahami bahwa seleksi secara simultan terhadap beberapa sifat dapat menurunkan diferensial seleksinya sehingga sifat mana yang dipilih harus dipertimbangkan secara seksama. Jumlah sifat yang dipilih harus dibuat minimal karena tiap sifat yang disertakan dalam seleksi akan mengurangi intensitas seleksi yang dimungkinkan untuk sifat lain. Ada tiga cara untuk melakukan seleksi terhadap beberapa macam sifat yang dapat dijalankan secara tunggal atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Ketiga cara tersebut adalah (1) memilih satu sifat sampai pada tingkat perbaikan yang diinginkan, kemudian baru memilih sifat yang kedua, demikian seterusnya (Tandem Selection); (2) memilih
81
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
individu-individu yang mencapai tingkat minimal yang ditentukan untuk masingmasing sifat dan semua individu di bawah tingkat yang ditentukan untuk setiap sifat akan disisihkan dengan tidak memandang kelebihan pada sifat yang lain (Independent Culling Levels); (3) menggabungkan semua informasi
dari semua sifat dari suatu individu ke dalam suatu skor atau penilaian keseluruhan untuk digunakan sebagai dasar untuk memilih atau menyisihkan ternak (Index Selection) (WARWICK et al., 1990; HARDJOSUBROTO, 1994).
Tabel 1. Daftar sifat-sifat yang mungkin dipertimbangkan dalam program seleksi Jenis ternak Sapi perah
Sapi potong
Sifat-sifat obyektif Produksi susu per laktasi Produksi susu selama hidup % lemak % bahan kering tanpa lemak Lama memerah (mesin) Bobot lahir, dan pada umur-umur berbeda sampai dewasa Besar badan (ukuran tubuh) Umur saat pubertas Jarak beranak Umur saat pubertas Keteraturan beranak Bobot lahir Bobot sapih Laju pertumbuhan pasca sapih Konversi pakan Bobot dewasa & besar kerangka Kualitas karkas Kemampuan kerja (kekuatan menarik dan kecepatan)
Sifat-sifat subyektif Bentuk tubuh Ketiadaan cacat Mudah diperah (dengan tangan) Tabiat Kekuatan (vigor) Tidak ada kesulitan beranak
Bentuk tubuh Ketiadaan cacat Tidak ada kesulitan beranak Libido Tabiat Bentuk karkas Kekuatan (vigor)
Sumber: WARWICK et al. (1990)
Untuk kerbau, HARDJOSUBROTO (1994) menyarankan beberapa kriteria seleksi yang dapat digunakan yaitu meliputi angka reproduksi, kecepatan pertumbuhan atau berat pada umur tertentu, kualitas karkas, kekuatan dan daya tahan kerja serta temperamen. Apabila kriteria pemilihan berdasarkan kekuatan dan daya tahan kerja sukar dilakukan maka disarankan berdasarkan berat badan pada umur tertentu, karena ada alasan kuat mengatakan bahwa kekuatan kerja kerbau dipengaruhi oleh besarnya tubuh. NILAI PEMULIAAN Nilai Pemuliaan dari seekor ternak adalah sebuah gambaran nilai gen-gen ternak yang bersangkutan untuk keturunannya (KINGHORN,
82
1992). Seleksi dilaksanakan biasanya bertujuan untuk memilih tetua yang memiliki Nilai Pemuliaan paling tinggi dari semua ternak yang tersedia, supaya keturunan dari tetua yang terseleksi mencapai rataan performans setinggi mungkin. Seandainya dapat diketahui secara pasti Nilai Pemuliaan sebenarnya (true breeding value) dari setiap ternak maka tujuan tersebut dapat dicapai secara efisien dengan meranking ternakternak menurut true breeding value tersebut dan memilih dari daftar teratas. Namun demikian, dalam praktek true breeding value dari ternak-ternak tersebut tidak diketahui, yang ada hanya satu atau lebih petunjuk untuk true breeding value itu. Petunjuk itu terdiri dari satu atau lebih ukuran performans (nilai fenotipik) yang ada pada
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
ternak itu sendiri atau pada saudaranya. Dengan menggunakan petunjuk-petunjuk tersebut dapat diperkirakan true breeding value dari setiap ternak dan kemudian ternakternak tersebut dapat diranking menurut estimated breeding value (EBV). Dengan meranking ternak menurut EBV maka sebenarnya telah cenderung meranking ternakternak tersebut menurut true breeding value. Lebih akurat perkiraan true breeding value tersebut maka lebih akurat ranking yang telah dibuat tersebut (NICHOLAS, 1987). Rumus umum untuk menghitung perkiraan Nilai Pemuliaan dari sumber informasi tunggal menurut BOURDON (1997) adalah : I = b.x di mana : I = nilai indeks (predicted value) b = koefisien regresi x = (PI - P) = deviasi dari rataan contemporary Nilai indeks (I) adalah Nilai Pemuliaan dugaan yang terdiri dari beberapa bentuk, biasanya berupa Estimated Breeding Value (EBV), Expected Progeny Difference (EPD) atau Most Probable Producing Ability (MPPA). Koefisien regresi (b) merupakan regresi dari true value (BV, PD atau PA) atas evidence (fakta) yang mengukur perubahan (expected) true value per unit perubahan evidence. Nilai koefisien regresi tergantung pada sumber informasi catatan produksi dan metode prediksi Nilai Pemuliaan. HARDJOSUBROTO (1994) memberikan pengertian dari istilah EBV, EPD dan MPPA. Estimated Breeding Value (EBV) atau Nilai Pemuliaan dugaan adalah hasil pendugaan dari Nilai Pemuliaan yang sesungguhnya yang dihitung berdasarkan atas performans individu dan keluarga dekatnya dibandingkan dengan performans populasinya. Expected Progeny Difference (EPD) atau Ramalan Beda Produksi
adalah ramalan perbedaan antara performans di kelak kemudian hari dari anak seekor pejantan bila dibandingkan dengan performans populasinya. Most Probable Producing Ability (MPPA) atau Penduga Kemampuan Berproduksi adalah suatu pendugaan dari produksi ternak di masa mendatang yang didasarkan atas produksi sekarang dan di masa yang lalu. Sumber informasi untuk menghitung Nilai Pemuliaan Dalam menduga Nilai Pemuliaan seekor ternak, ada empat macam sumber informasi yang dapat dipergunakan, yaitu (1) fenotipe individu itu sendiri; (2) fenotipe saudara kolateral; (3) fenotipe anak keturunannya; dan (4) fenotipe tetuanya (HARDJOSUBROTO, 1994). Dengan rumus umum I = b.x, BOURDON (1997) memberikan contoh rumus koefisien regresi yang dipakai untuk menghitung Nilai Pemuliaan dari sumber informasi tunggal (catatan individu, catatan saudara kolateral dan catatan progeni) seperti terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 tersebut dapat diambil contoh jika akan dihitung EBV seekor induk sapi perah dari n catatan dirinya sendiri, maka rumusnya adalah : I = b.x
nh 2 EBV = . (PI - P) 1 + (n − 1)r di mana : h2 = heritabilitas r = ripitabilitas PI = rataan catatan produksi ternak yang sedang diduga P = rataan produksi populasi Demikian juga untuk pendugaan yang lain berlaku aturan seperti contoh di atas.
83
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Tabel 2. Contoh rumus koefisien regresi yang dipakai untuk menghitung nilai pemuliaan dari sumber informasi tunggal dan kecermatannya Pendugaan Sumber (I) informasi (x) EBV Catatan tunggal individu EBV Rataan n catatan dari individu
Koefisien regresi (b)
Kecermatan
h2
h
nh 2 1 + (n − 1)r
nh 2 1 + (n − 1)r
MPPA
Rataan n catatan dari individu
nr 1 + (n − 1)r
nr 1 + (n − 1)r
EBV
Rataan catatan tunggal dari m half sib
mh 2 4 + (m − 1)h 2
1 2 mh 4 4 + (m − 1)h 2
EPD
Rataan catatan tunggal dari m half sib
1 mh 2 2 4 + (m − 1)h 2
EBV
Rataan catatan tunggal dari m full sib
EBV
Rataan catatan tunggal dari p progeni
2 ph 2 4 + ( p − 1)h 2
EPD
Rataan catatan tunggal dari p progeni
ph 2 4 + ( p − 1) h 2
EBV
Rataan catatan progeni tunggal dari l litter dari sebanyak k anak
2lkh2 lkh2 2 2 4+(k −1)(2h2 +4cFS ) +(l −1)kh2 4 + (k − 1)(2h2 + 4cFS ) + (l − 1)kh2
EBV
Rataan n catatan masing-masing dari p progeni
1 ph 2 2 1 + ( n − 1) r h2 + ( p − 1) 4 n
1 2 mh 2 2 ) 2 + (m − 1)( h 2 + 2c FS
ph 2 4 + ( p − 1) h 2
1 ph 2 4 h2 1 + ( n − 1) r + ( p − 1) n 4
Sumber: BOURDON (1997)
Pendugaan Nilai Pemuliaan atas dasar sumber informasi performans dari tetuanya (seleksi silsilah) dapat dilakukan dengan rumus berikut (HARDJOSUBROTO, 1994): NP = 1/2 h2 (PD - P) + 1/2 h2 (PS - P) di mana : PS = performans bapaknya PD = performans induknya
84
P
= rataan performans populasi
Seandainya tidak tersedia informasi dari kedua tetuanya maka informasi dari nenek, kakek, terus ke atas dapat digunakan tetapi dengan merubah koefisien di depan h2 sesuai dengan hubungan individu tersebut dengan moyangnya tersebut. Hubungan individu dengan kedua tetua (parent) adalah 1/2,
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
dengan kakek dan neneknya (grandparent) adalah 1/4, dengan buyut (grade grandparent) adalah 1/8 demikian seterusnya makin jauh makin rendah, yang mencerminkan sumbangan darah dari moyangnya tersebut. Dengan demikian contoh rumus Nilai Pemuliaan seekor ternak dengan menggunakan informasi dari induk dan neneknya adalah (HARDJOSUBROTO, 1994): NP = 1/2 h2 (PD - P) + 1/4 h2 (PN - P) di mana : PN = performans neneknya Kedua rumus pendugaan Nilai Pemuliaan dari informasi silsilah di atas ditulis dalam bentuk yang telah disederhanakan. Kecermatan pendugaan nilai pemuliaan (accuracy prediction) menunjukkan keterandalan (reliability) dari pendugaan tersebut, kecermatan tidak dapat dipakai untuk memperbaiki kebenaran pendugaan
tersebut (KINGHORN, 1992). Sebagai contoh, seandainya dua ekor ternak mempunyai EBV yang sama tetapi kecermatan EBV satu ekor ternak lebih tinggi dibandingkan yang lain maka masih dianggap bahwa dua ekor ternak tersebut mempunyai genetik yang sama. Walaupun demikian, ada resiko yang lebih besar bahwa true breeding value dari ternak dengan kecermatan EBV lebih rendah secara signifikan lebih rendah daripada yang diharapkan/diperkirakan dibandingkan ternak satunya. Banyak faktor yang mempengaruhi kecermatan pendugaan seperti terlihat pada rumus dalam Tabel 2. Faktor-faktor tersebut sama dengan faktor yang mempengaruhi koefisien regresi yaitu (1) jumlah catatan, (2) heritabilitas, (3) ripitabilitas dan (4) hubungan silsilah/kekerabatan. Pengaruh keempat faktor tersebut terhadap kecermatan pendugaan Nilai Pemuliaan dapat dilihat dengan jelas pada Tabel 3.
Tabel 3. Kecermatan pendugaan nilai pemuliaan dari sumber informasi tunggal Sumber informasi Individu Half sib
Progeni
Hubungan kekerabatan 1,00 0,25
0,50
Jumlah catatan 1 1 10 20 100 1.000 1 10 20 100 1.000
0,05 0,22 0,06 0,17 0,22 0,37 0,48 0,11 0,34 0,45 0,75 0,96
Heritabilitas 0,30 0,55 0,14 0,33 0,39 0,47 0,49+ 0,27 0,67 0,79 0,94 0,99
0,70 0,84 0,21 0,41 0,45 0,49 0,49+ 0,42 0,82 0,90 0,98 0,99+
Sumber: BOURDON (1997)
Dari Tabel 3 terlihat bahwa makin tinggi nilai heritabilitas maka kecermatan pendugaan makin meningkat, hal ini dikarenakan heritabilitas mengukur kekuatan hubungan di antara Nilai Pemuliaan dengan nilai fenotipe. Kecermatan pendugaan paling tinggi diperoleh dari penggunaan catatan individu, selanjutnya catatan progeni dan kemudian catatan half sib. Hal ini berhubungan dengan proporsi gen yang dikandung dari sumber informasi untuk pendugaan. Semakin banyak jumlah catatan,
kecermatan terlihat semakin lebih baik. Dapat dilihat pula bahwa jika heritabilitas tinggi, maka catatan performans individu merupakan petunjuk yang baik dari Nilai Pemuliaannya karena memiliki kecermatan yang tinggi (0,84). Catatan progeni merupakan sumber informasi yang sangat berharga karena dengan jumlah catatan yang cukup, kecermatan pendugaan Nilai Pemuliaan mampu melebihi kecermatan pendugaan dengan sumber informasi catatan performans
85
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
individu itu sendiri walaupun pada sifat dengan heritabilitas yang rendah. Dapat dicatat pula bahwa catatan dari saudara hanya dapat meningkat kecermatan pendugaan tidak melebihi 0,5.
W HY BY A G
Best linear unbiased prediction
S G’ S’ e
Pendugaan Nilai Pemuliaan yang dilakukan di atas dilakukan dengan asumsi bahwa informasi performans yang dipergunakan berasal dari kelompok ternak kontemporari yang mirip secara genetis. Seandainya ingin melakukan pendugaan menggunakan data dari kelompok ternak kontemporari yang berbeda secara genetis, yaitu misalnya berasal dari farm atau ranch yang berbeda atau dari dekade yang berbeda maka metode yang cocok dengan keadaan tersebut adalah dengan menggunakan Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) (BOURDON, 1997), suatu metode yang telah dikembangkan oleh HENDERSON (NICHOLAS, 1987; SCHNEEBERGER, 1992). BLUP merupakan metode analisis uji zuriat yang menggunakan berbagai macam informasi dari anak dan lingkungannya, sehingga peramalan mutu pejantan dapat dikatakan tidak mengalami bias (HARDJOSUBROTO, 1994). Metode BLUP tidak lain adalah kombinasi dari seleksi indeks dengan teknik least square (HARDJOSUBROTO, 1994). Pengaruh lingkungan dan nilai pemuliaan dari ternak diestimasi serentak (simultan) sehingga perbedaan genetik di antara herd diperhitungkan dengan benar (SCHNEEBERGER, 1992). BLUP memerlukan perhitungan yang sangat intensif dengan menggunakan multiple sumber informasi dan melibatkan solusi (cara penyelesaian) simultan dari sejumlah persamaan. BLUP menggabungkan berkali-kali sejumlah persamaan yang akan dipergunakan untuk indeks seleksi yang sesuai, hal ini karena sekali analisis, BLUP menyediakan pendugaan untuk keseluruhan populasi ternak, tidak hanya untuk satu ternak pada suatu waktu (BOURDON, 1997). Untuk sedikit menggambarkan bagaimana dan pengaruh apa saja yang digunakan dalam analisisnya, berikut ini adalah model statistik yang dipakai dalam menghitung BLUP (HARDJOSUBROTO, 1994) : W = HY + BY + A + G + S + 1/2G’ + 1/2S’ + e
di mana:
86
= nilai BLUP = pengaruh tahun (herd year effect) = block calving effect = pengaruh umur saat beranak = pengaruh kelompok pejantan (sire group) = pengaruh pejantan = maternal grandsire group effect = maternal grandsire effect = galat (error)
Dari model tersebut di atas dapat dilihat bagaimana kompleksnya cara menghitung nilai W. Dimasukkannya bermacam-macam faktor itu dengan maksud untuk meningkatkan kecermatan dalam menghitung nilai W. Oleh karena itu, perhitungan dengan cara demikian disebut dengan unbiased prediction, yaitu peramalan yang tanpa penyimpangan (HARDJOSUBROTO, 1994). NICHOLAS (1987) telah mengemukakan empat langkah dasar metode BLUP di dalam melakukan pendugaan Nilai Pemuliaan, sekaligus memberikan contoh perhitungan sederhana dari keempat langkah tersebut, yang meliputi: 1.
2.
3.
Menuliskan sebuah ekspresi (disebut sebuah model) yang menggambarkan performans individu yang berhubungan dengan semua faktor yang diperlukan untuk dimasukkan ke dalam perhitungan. Menuliskan persamaan kuadrat terkecil (least squares equations), yang berhubungan dengan model. Menambahkan σ e σ s ke koefisien diagonal dari sisi kiri setiap persamaan yang menunjukkan pengaruh sire, di 2
mana
σ 2s
2
adalah ragam pengaruh sire
σ 2e adalah 2 (=VP- σ s = (1-
(=1/4VA = 1/4h2VP), dan
4.
residual error variance 1/4h2)VP), di mana VP adalah ragam fenotipik. Persamaan tersebut sekarang disebut persamaan mixed-model (mixedmodel equations). Menghasilkan sebuah estimasi dari setiap pengaruh dengan menyelesaikan persamaan mixed-model setelah menentukan beberapa pembatas-pembatas yang perlu, seperti μ=0.
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
BLUP telah membuktikan sebagai metode yang sangat berguna untuk menduga Nilai Pemuliaan (SCHNEEBERGER, 1992), dan lebih andal daripada pendekatan seleksi indeks konvensional (NICHOLAS, 1987), dengan kesalahan pendugaan sangat diminimalkan (tidak bias) dengan korelasi antara yang diduga dengan penduganya maksimal (HARDJOSUBROTO, 1994). Karena kemampuannya untuk menghitung perbedaan genetik di antara kelompok kontemporari dan dapat menyediakan pendugaan genetik untuk banyak ternak pada suatu waktu, maka BLUP adalah metode yang disukai untuk evaluasi genetik skala besar yaitu evaluasi genetik dari populasi yang sangat besar, khususnya segala bangsa (BOURDON, 1997). Ada beberapa tipe model BLUP, yaitu sire model, sire-maternal grandsire model, animal model, repeat measure model, direct-maternal model, multiple-trait model. Perbedaan di antara model-model tersebut adalah pada ternak yang menerima pendugaan genetik (misalnya hanya bapak, semua tetua, atau semua ternak), jumlah atau macam pendugaan yang dibuat dan kesukaran perhitungan. Pada
umumnya lebih rumit model, lebih banyak persamaan yang terlibat, dan lebih banyak fasilitas komputer yang diperlukan (BOURDON, 1997). BLUP animal model saat ini dipergunakan pada banyak negara untuk sejumlah spesies, termasuk sapi perah, sapi potong, babi, kuda, domba dan ikan (SCHNEEBERGER, 1992). BOURDON (1997) telah membuat diagram yang menggambarkan perbedaan pendugaan Nilai Pemuliaan dengan cara BLUP animal model dan Selection index sire model (Gambar 1). Dari diagram tersebut terlihat bahwa BLUP animal model menggunakan informasi perfor-mans dari seluruh ternak yang memiliki hubungan kekerabatan, tidak hanya half sib tetapi juga saudara sepupu karena mereka mempunyai nenek bersama (common granddam). Sementara itu, pendugaan Nilai Pemuliaan dengan menggunakan metode Selection index sire model menggunakan kelompok bapak dengan mengabaikan hubungan maternalnya. Individu X dan Y terlihat tidak lebih sebagai half sib dan Y dan Z terlihat tidak mempunyai hubungan.
1. BLUP animal model Grandsire 1 X Y
Sire 1 Dam
Z
Sire 2
Granddam Grandsire 2
2. Selection index sire model Grandsire 1
X Sire 1 Y Z
Sire 2
Grandsire 2
Gambar 1. Diagram yang menggambarkan perbedaan pendugaan nilai pemuliaan dengan cara BLUP animal model dan selection index sire model
KESIMPULAN Seleksi pada ternak kerbau dapat dikerjakan dengan metode seleksi yang biasa digunakan pada sapi potong dan sapi perah. Seleksi dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan kemajuan genetik pada
generasi selanjutnya, di mana kemajuan yang dicapai tergantung pada (1) akurasi/kecermatan seleksi; (2) intensitas seleksi; (3) variasi genetik dan (4) interval generasi. Seleksi secara simultan terhadap beberapa sifat dapat menurunkan diferensial seleksi sehingga jumlah sifat yang dipilih
87
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
harus dibuat minimal karena tiap sifat yang disertakan dalam seleksi akan mengurangi intensitas seleksi yang dimungkinkan untuk sifat lain. Beberapa kriteria seleksi yang disarankan digunakan untuk kerbau meliputi angka reproduksi, kecepatan pertumbuhan atau berat pada umur tertentu, kualitas karkas, kekuatan dan daya tahan kerja serta temperamen. True breeding value dari ternak tidak dapat diketahui, yang dapat dilakukan adalah menghitung estimated breeding value (EBV) berdasarkan petunjuk performans (nilai fenotipik) yang ada pada ternak itu sendiri, saudara, progeni atau tetuanya. Kecermatan pendugaan EBV tersebut dipengaruhi oleh (1) jumlah catatan, (2) heritabilitas, (3) ripitabilitas dan (4) hubungan silsilah/kekerabatan. Metode Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) dapat menghitung EBV dengan menggunakan data dari kelompok ternak yang berasal dari farm atau ranch yang berbeda atau dari dekade yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA BECKER, W. A. 1985. Manual of Quantitative Genetics. Fourth Edition. Academic Enterprises. Pullman, Washington. BOURDON, R. M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
88
FALCONER, D. S. and T. F. C. MACKAY. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman Group Ltd. England. HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. JOHANSSON, I. and J. RENDEL. 1966. Genetics and Animal Breeding. Translated by M. TAYLOR. W. H. FREEMAN and Company. San Francisco. KINGHORN, B. 1992. Principles of Estimated Breeding Values. In: Animal Breeding, The Modern Approach. Post Graduate Foundation in Veterinary Science, University of Sidney. New South Wales, Australia. NICHOLAS, F. W. 1987. Veterinary Genetics. Oxford University Press Inc., New York. NOOR, R. R. 1996. Genetika Ternak. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. SCHEEBERGER, M. 1992. The Alternative Evaluation Procedures. In: Animal Breeding, The Modern Approach. Post Graduate Foundation in Veterinary Science, University of Sidney. New South Wales, Australia. WARWICK, E. J., J. M. ASTUTI, dan W. HARDJOSUBROTO. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.