Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
PEMULIAAN TANAMAN PAKAN TERNAK ACHMAD BAIHAKI Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21, Bandung
PENDAHULUAN Pertumbuhan dan jumlah penduduk Indonesia sangat besar dewasa ini. Pada tahun 1985 jumlah penduduk hanya 145 juta jiwa dan tahun 2005 telah mencapai 220 juta jiwa, tahun 2010 diperkirakan sebesar 234 juta jiwa, tahun 2015 mencapai 248 juta jiwa, tahun 2020 sebesar 262 juta jiwa, dan tahun 2025 angka tersebut akan menjadi 274 juta jiwa. Pertumbuhan selama 20 tahun, 1985 – 2005, rata-rata sebesar 3,75%. Dari tahun 2005 dan selanjutnya, asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 2,80%. Dibanding dengan angka pertumbuhan tahun 1985–2005, maka pertumbuhan tahun 2005 dan selanjutnya memang menurun, akan tetapi bila dilihat dari besarnya jumlah penduduk pada tahun 2010, 2015 dan seterusnya, merupakan angka yang sangat besar. Memang bila dilihat dari tenaga kerja angka tersebut merupakan kekuatan yang besar, tetapi dilihat dari sudut pengadaan pangan dan kualitas manusia, besaran tersebut merupakan gambaran betapa besar beban yang harus dipikul oleh bidang pertanian. Pengadaan pangan, terutama yang berprotein tinggi, yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat luas, harus merupakan perhatian semua pihak. Untuk membangun bangsa diperlukan manusia Indonesia yang berkualitas, bukan hanya dari jumlah penduduk yang besar saja. Indonesia membutuhkan manusia-manusia berkualitas. Salah satu unsur dasar penopang tumbuhnya manusia berkualitas adalah makanan yang berprotein cukup dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Makanan yang berprotein tinggi diperoleh dari tanaman kacang-kacangan dan protein dari ternak. Kedelai merupakan tanaman leguminosa yang kandungan proteinnya sangat tinggi (36% - 43%), dan merupakan sumber protein amat penting yang terjangkau oleh sebagian besar penduduk Indonesia dalam bentuk produk olahannya, seperti tempe dan tahu. Namun sangat disayangkan Indonesia masih mengimpor
34
kedelai sebesar 700.000–1.200.000 ton per tahun. Pemerintah berupaya meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai dengan berbagai program (Palagung Kedelai). Sumber protein ternak merupakan bahan makanan yang sangat digemari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama masyarakat berpenghasilan rendah, sumber protein asal ternak harganya tidak terjangkau oleh mereka. Biaya produksi untuk setiap kilogram daging dan telur yang tinggi menyebabkan harga daging mahal. Semuanya berpangkal pada mahalnya harga pakan, baik pakan hijauan maupun pakan ternak unggas. Upaya agar harga daging/telur terjangkau oleh masyarakat luas, terutama lapisan masyarakat berpenghasilan rendah, antara lain adalah menurunkan biaya produksi daging/telur dengan cara meningkatkan produktivitas dan kualitas pakan ternak, terutama pakan hijauan. Peningkatan produktivitas hijauan pakan ternak (HPT) dapat ditempuh melalui intensifikasi pertanaman, perbaikan budidaya, proteksi terhadap hama dan penyakit, penggunaan bahan tanaman unggul yang bermutu. Namun penggunaan bahan tanaman unggul bermutu merupakan langkah pertama yang menentukan batas atas produktivitas suatu usaha tani. Kesalahan dalam memilih bahan tanaman dalam suatu usaha tani, akan berakibat fatal. Benih dan bibit unggul bermutu merupakan penentu batas atas produktivitas suatu usaha tani. Jumlah ternak ruminansia di Indonesia pada tahun 2004 adalah 10.721 000 ekor sapi potong, 382.000 sapi perah, 2.572.000 kerbau, 13.442.000 kambing dan 8.246.000 domba (DITJENNAK, 2005). Jumlah tersebut jauh melebihi angka tahun 1982 (kecuali kerbau), berturut-turut 6.594.000 ekor sapi potong, 140.000 sapi perah, 2.513.000 kerbau, 7.891.000 kambing dan 4.231.000 domba (SIREGAR, 1985). Pertambahan populasi ternak tahun 2003 - 2004, kecuali sapi potong dan sapi perah, persentasenya jauh lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2000
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
– 2005 (2,8%). Sapi potong dan sapi perah, yang sebenarnya diharapkan meningkat melebihi peningkatan jumlah penduduk, ternyata hanya bertambah 2,1% saja. Populasi kerbau tahun 2004 dibanding dengan populasi kerbau tahun 1982 nampaknya tidak banyak berubah. Sebagian besar ternak adalah milik petani kecil yang secara tradisional memanfaatkan HPT alamiah yang tumbuh di alam (bahan dibudidayakan), terutama rumput-rumputan yang tumbuh di lahan-lahan sisa, pinggiran jalan, pematang sawah, pagar dan perdu serta pohon-pohon pagar, padang gembalaan masyarakat dan juga sisa-sisa tanaman pangan (SIREGAR, 1985). Dewasa inipun sumbersumber HPT tersebut tidak banyak berubah, bahkan dari segi luas arealnya diperkirakan menurun, sejalan dengan beralih fungsinya secara drastis lahan-lahan pertanian ke fungsi lain, dengan tingkat pengurangan + 140.000 ha per tahun, terutama terjadi di P. Jawa. Sumber hijauan pakan ternak tersebut pada umumnya masih species-species liar lokal, belum tersentuh teknologi pemuliaan, dengan produktivitas yang masih rendah, demikian juga kualitasnya. Demikian juga padangpadang rumput gembalaan produktivitasnya masih rendah. Daya dukung padang rumput gembalaan menjadi rendah, dan berujung pada rendahnya produktivitas daging per satuan luas padang rumput gembalaan. Sumber PHT tersebut pada umumnya belum tersentuh input, seperti pemupukan dll. Kambing dan domba diberi pakan hijauan yang dipotong (diarit) dari rumputan yang tumbuh di alam, tanpa ditanam sengaja untuk ternak. Kecuali pada peternakpeternak komersial dekat perkotaan. Jika pemerintah berupaya meningkatkan konsumsi daging dari 9,12 kg/orang/tahun pada tahun 2004 menjadi 12 kg/orang/tahun pada tahun 2010, maka produksi daging ternak ruminansia harus sebesar 30% dari angka tersebut, yaitu sebesar 846.000 ton, atau kenaikan sebesar 46%. Ini berarti peningkatan populasi ternak ruminansia pun harus 46% dari populasi 2004. Kenaikan populasi ternak ruminansia tersebut dengan sendirinya harus diimbangi dengan peningkatan ketersediaan PHT yang bermutu. Padahal, seperti diuraikan di muka, telah terjadi penurunan luas areal pertanian yang besar disertai dengan masih rendahnya
produktivitas dan kualitas PHT. Tentu hal ini menyebabkan persentase lahan ternak ruminansia juga menurun. Padahal NITIS (1995) melaporkan bahwa dari 40 juta ha lahan kering hanya 7% merupakan padang rumput. Untuk memenuhi kebutuhan PHT pada kondisi semacam itu, cara yang paling tepat adalah peningkatan produktivitas PHT melalui teknologi budidaya, pemupukan, proteksi hama dan penyakit rumputan, dan ekstensifikasi ke wilayah-wilayah perkebunan dan wilayah hutan dalam bentuk tumpangsari. Hal yang mendasar yang diutamakan dalam kaitan ini adalah pemuliaan PHT, yang selama ini tidak disentuh. PEMULIAAN PAKAN TERNAK Umum Rumusan program penelitian di bidang produksi ternak dan veteriner (Renstra PUSLITBANG PETERNAKAN 1997 – 2005) butir 3 berbunyi, sebagai berikut: Penyediaan hijauan pakan ternak (HPT) untuk ternak ruminansia. Titik perhatian program penelitian ini sebagai sasaran ditujukan untuk menghasilkan HPT yang berproduksi tinggi dengan pemanfaatan lahan yang efisien sesuai untuk agroekologi tertentu dalam kaitan dengan budidaya komoditas pertanian lainnya. Pengembangan teknologi pemanfaatan plasma nutfah hayati sebagai sarana biofarma tidak terlepas dari upaya penyediaan HPT. Dari rumusan tersebut sebetulnya sudah jelas bahwa pemuliaan PHT merupakan titik perhatian dalam penelitian. Namun informasi yang melaporkan kegiatan pemuliaan, sangat terbatas, baru sebatas mengkoleksi plasma nutfah PHT indeginus dan introduksi dari luar negeri, serta uji adaptasi species. IVORY dan SIREGAR (1984), melaporkan bahwa sejak tahun 1950 ada penekanan perhatian terhadap introduksi, penelitian manajemen pemotongan berbagai species rumputan untuk padang rumput yang menerima pemupukan dosis tinggi, respon rumput dan legiminosa terhadap pemupukan nitrogen, fosfat dan kalium. IVORY dan SIREGAR (1984) melaporkan bahwa sebelum tahun 1971, lebih banyak introduksi dan penelitian evaluasi dilaksanakan di Sumatera dan Irian Jaya daripada di P. Jawa.
35
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Di P. Jawa Direktorat Jenderal Peternakan membangun tempat-tempat demonstrasi species di sembilan wilayah utama Indonesia. PRAWIRADIPUTRA dan PURWANTARI (1995) menyatakan bahwa penelitian peningkatan HPT dilakukan dengan pendekatan agronomi atau ekologi, sedangkan penelitian peningkatan mutu dan pendayagunaan potensi HPT dilakukan melalui pendekatan teknologi pakan. Penelitian pada PHT pohon Calliandra pun yang dilaporkan oleh HERMAWAN et al., (1996) dan PALMER dan IBRAHIM (1996), masih taraf penelitian introduksi dan evaluasi. Penulis belum menemukan informasi mengenai penelitian pemuliaan PHT di tanah air secara utuh, baru pada taraf introduksi, koleksi dan evaluasi. Padahal kontribusi pemuliaan dalam meningkatkan produktivitas tanaman dapat mencapai sekitar 63%.
3.
4.
5.
Strategi pemuliaan PHR Kebijakan pemuliaan PHR sebagai pegangan umum sebaiknya digunakan apa yang digariskan dalam Renstra Puslitbangnak seperti tercantum di atas. Butir 3 Renstra tersebut bersifat memanfaatkan sumber daya genetik, biogeofisik dan sosial budaya lokal secara arif, tanpa mengabaikan kepentingan yang lebih luas, dan memperhatikan kebutuhan lokal spesifik. Karena keanekaragaman ekosistem tempat tumbuh yang dimiliki Indonesia sangat besar dan keanekaragaman species rumputan dan PHT asli Indonesia juga sangat besar, ditambah dengan introduksi berbagai species PHT yang selama ini telah dilakukan, serta taraf pemuliaan PHT pada tingkat awal, maka strategi pemuliaan PHT sebaiknya sebagai berikut : 1. Melanjutkan identifikasi, koleksi dan evaluasi species-species yang tumbuh di lokasi spesifik. 2. Menyeleksi pada lokasi/wilayah spesifik, species yang memperlihatkan keunggulan karakter kuantitatif (potensi hasil), dilakukan penelitian agronomi, serta karakteristik species tersebut, keunggulannya maupun kelemahannya. Bila terseleksi species tersebut dikembangkan pada wilayah spesifik tersebut atau pada wilayah yang berciri serupa.
6.
Hibridisasi terencana, mutasi ataupun transgenik digunakan bila terdapat kelemahan-kelemahan species lokal. Hasil misalnya produktivitasnya rendah, rentan terhadap hama dan penyakit, atau tidak tahan cekaman abiotis, dengan melakukan introduksi species baru yang dibutuhkan. Pemuliaan diutamakan kepada tanaman PHT yang bukan PHT tanaman makanan. Tanaman makanan pemuliaannya pada umumnya sudah maju. Demikian juga untuk tanaman perkebunan dan kehutanan yang merangkap dapat digunakan sebagai PHT. Bila diperlukan dapat kerjasama dengan mereka, misalnya pemuliaan sorghum yang produktivitas hijauannya tinggi. Membentuk koleksi keanekaragaman plasma nutfah PHT secara nasional sebagai bagian dari upaya pelestarian, baik dalam bentuk in situ, ex situ ataupun “on farm”. Dalam pelaksanaan penelitian pemuliaan tanaman PHT, sebaiknya diikutsertakan petani setempat, sesuai dengan rumusan Rnstra, dengan cara menerapkan metode Participatory Plant Breeding (BAIHAKI, 2005).
Kendala pemuliaan tanaman PHT rumputan Seperti halnya pada tanaman makanan, tanaman PHT pun terdiri dari tanaman menyerbuk sendiri dan tanaman menyerbuk silang. Metode pemuliaannya sama seperti pada tanaman makanan, hanya saja pada tanaman PHT, khusus pemuliaannya lebih sulit dibanding tanaman pangan. Kesulitannya timbul akibat metode polinasinya, fertilisasi dan pembentukan buah yang iregular, serta masalah evaluasi dan pemeliharaan strainstrain baru. Kesulitan tersebut, antara lain (POEHLMAN dan BORTHAKUR, 1969) : 1. Pada umumnya species tanaman PHT rumputan adalah menyerbuk silang. Heterosigositas species ini menyulitkan dalam perbanyakan dan memelihara identitas galur. 2. Umumnya steril, sehingga sulit membuat galur murninya. 3. Bagian-bagian bunganya kecil, sehingga menyulitkan persilangan buatan.
36
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
4.
Beberapa rumputan adalah apomiksis (pembentukan biji tanpa persilangan). 5. Banyak rumputan penghasil biji yang buruk atau viabilitas yang rendah. 6. Banyak rumputan menghasilkan benih yang lemah, sehingga sulit membentuk pertanaman. 7. Mencari tempat isolasi bagi pengembangan strain baru, biasanya sulit untuk tidak terjadi kontaminasi. 8. Evaluasi awal tanaman terseleksi berdasar penampilan tanaman pada pertanaman dengan jarak tanam lebar yang tidak sesuai dengan pertanaman rapat. 9. Tanaman PHT rumputan biasanya bijinya disebar dalam bentuk campuran, sehingga menyulitkan evaluasi terhadap setiap species. 10. Strain yang terseleksi dapat berpenampilan berbeda pada sistem pengelolaan pemotongan rumput. 11. Umumnya PHT rumputan adalah tanaman perenial, jadi evaluasinya lebih lama. Lain halnya pada tanaman PHT legiminosa kesulitannya tidak serumit tanaman PHT rumputan. Objektif pemuliaan tanaman PHT Objektif pemuliaan tanaman PHT rumputan dan legum dari satu species ke species lainnya tidak selalu sama. Pemulia harus mempelajari secara seksama setiap species. Namun garis besarnya adalah sebagai berikut (SLEPER, 1987 dan TAYLOR, 1987) : 1. Produksi hijauan dan biji yang tinggi dan berkualitas. Dua karakter kuantitatif ini merupakan idaman tujuan para pemulia, khususnya pemulia PHT. Nilai heritabilitasnya rendah sebagaimana umumnya karakter kuantitatif. 2. Kualitas pakan, meningkatkan kualitas PHT meliputi : − digestibilitas, kemudahan untuk dicerna ternak merupakan salah satu hal yang penting dalam program pemuliaan PHT. − merubah usia kematangan. Tanaman PHT rumputan apabila usianya meningkat, maka IVDMDnya menurun (in vitro dry matter disappearance). Nilai IVDMD akan terendah pada saat pematangan biji. Tanaman PHT rumputan sebaiknya tidak dipanen pada
tahap pertumbuhan lanjut. Memuliakan tanaman PHT rumputan yang matang pada saat akhir periode penanaman akan mampu meningkatkan kualitas − Penelitian yang dilakukan oleh ASAY et al., (2001) pada tanaman Russian Wildrye menunjukkan bahwa nilai estimasi heritabilitas (h2) untuk karakter IVDMD relatif cukup tinggi, yaitu 0,74, sedangkan untuk kandungan protein (CP) sebesar 0,58, dan 0,81 untuk NDF (neutral ditergent fiber). Ini berarti bahwa untuk tiga karakter tersebut kemajuan pemuliaan peluangnya besar untuk dicapai. − Membuang komponen anti kualitas − Komponen antikualitas pada tanaman PHT rumputan dan legum dapat menurunkan penampilan ternak. Misalnya alkoloid pada “reed canary grass” berperan terhadap berbagai kelainan ternak, seperti diare, kehilangan bobot, dan mengurangi nafsu makan. − Meningkatkan kandungan gizi (nutrient content) − Ketidak cukupan kandungan mineral pada tanaman PHT rumputan dan legum akan membatasi penampilan ternak. 3. Penampilan ternak. Aspek penting dalam hal ini adalah peningkatan palatabilitas dan besarnya asupan pakan PHT rumputan. 4. Persitensi tanaman PHT. Terutama untuk PHT rumputan, persistensi padang rumput sangat penting. Dikendalikan secara genetik dan faktor pengelolaan padang rumput gembalaan. 5. Resistensi terhadap penyakit dan hama. Tanaman PHT banyak diserang oleh musuh-musuh alami patogen, yang berdampak pada penurunan dan kualitas hasil. Penyakit yang menyerang daun termasuk karat batang, karat daun dan karat tajuk. Proteksi menggunakan obatobatan buatan akan sangat membahayakan ternak dan mahal. Pembentukan tanaman PHT yang tahan terhadap penyakit melalui pemuliaan adalah yang paling murah, aman dan menjaga kelestarian lingkungan. Demikian juga halnya terhadap hama tanaman PHT.
37
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Khususnya bagi Indonesia yang memiliki keanekaragaman ekosistem tempat tumbuh tanaman PHT yang luas, perlu diperhatikan adanya kendala yang disebabkan oleh faktor abiotis, seperti kemasaman tinggi, kekeringan, genangan, dll. Untuk itu perlu pula diperhatikan pemuliaan : 1. Toleransi terhadap cekaman abiotis. Karena penurunan areal pertanian, termasuk areal pertanaman untuk tanaman PHT, baik rumputan ataupun legumi, perluasan tanaman PHT ke areal perkebunan atau kehutanan, ataupun ke areal tanaman makanan, dalam bentuk sistem pertanaman tumpangsari tampaknya harus dilakukan. Peluang untuk sukses besar. Untuk itu perlu program pemuliaan : 2. Pembentukan strain/klon/varietas yang toleran terhadap kondisi tumpangsari (cropping system) Metode pemuliaan tanaman PHT rumputan Pada umumnya tanaman PHT rumputan yang dihasilkan melalui pemuliaan adalah (1) kultivar sintetik, meliputi enam langkah : pembentukan nurseri sumber, seleksi fenotipik, evaluasi progeni, pembentukan kultivar sintetik uji, uji penampilan ternak, dan pelepasan, (2) pembentukan kultivar klon vegetatif, meliputi langkah pembentukan nurseri sumber, seleksi fenotipik, uji penampilan ternak, dan pelepasan. Perlu dijelaskan secara singkat di sini mengenai evaluasi progeni. Dalam kaitan ini klon-klon yang telah diseleksi dari nurseri sumber, maka perlu dievaluasi dan ditentukan klon-klon mana saja yang akan mampu digabungkan dengan baik untuk membentuk kultivar sintetik eksperimen (uji) yang kemudian diuji lebih lanjut. Topcross, polycross, dan uji openpallinated progeny, merupakan contoh prosedur pemuliaan yang digunakan dalam mengevaluasi kemampuan daya gabung umum dari tetua-tetua potensial untuk membentuk kultivar sintetik uji. SLEPER (1987) menguraikan lebih lanjut metode-metode pemuliaan, sebagai berikut (secara ringkas).
Seleksi fenotipik rekuren (recurrent phenotypic selection) Metode pemuliaan ini digunakan untuk meningkatkan frekuensi alil-alil unggulan dalam suatu populasi. Peningkatan secara genetik sebuah populasi heterogenus tanaman PHT rumputan diwujudkan dengan seleksi berdasarkan penampilan fenotip individu tanaman. Ini adalah sebuah tipe prosedur seleksi fenotipik rekuren, yang sering disebut sebagai seleksi massa, yang meliputi seleksi batang-batang tanaman unggulan setelah persilangan terbuka terjadi, kemudian bijinya dipanen, dan dibulk untuk membentuk populasi siklus seleksi berikutnya. Seleksi dilakukan hanya berdasarkan pada tetua betina saja, karena individu-individu yang terseleksi maupun yang tidak terseleksi keduanya berpartisipasi dalam polinasi. Tujuan utama seleksi massa adalah meningkatkan proporsi genotip-genotip superior dalam populasi bersilang random. Seleksi massa sangat efektif untuk meningkatkan frekuensi gen karakter yang heritabilitasnya tinggi, dan karakter tersebut mudah dievaluasi dengan kasat mata secara mudah. Misalkan untuk karakter ketahanan terhadap hama dan penyakit. Metode seleksi massa sangat berguna pada fase awal program pemuliaan tanaman PHT rumputan, yang sebelumnya sedikit atau belum pernah dilakukan seleksi terhadap populasi yang bersangkutan. Uji topcross Pada metode uji topcross klon-klon unggulan terseleksi dari suatu nurseri sumber dievaluasi untuk kemampuan daya gabung umum (GCA – general combining ability) dengan cara menyilangkannya dengan sebuah tester yang memiliki basis genetik luas (broad based tester). Biasanya yang digunakan sebagai tester adalah sebuah kultivar yang telah beradaptasi baik yang luas. Biji yang dihasilkan dari persilangan topcross dipanen dari setiap entri (nomer seleksi) secara terpisah. Biji tersebut digunakan untuk pertanaman percobaan berulang. Setelah berjalan tiga sampai empat tahun evaluasi, pada plot-plot ukuran kecil yang diulang dua
38
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
sampai empat ulangan setiap tahunnya, maka klon-klon unggul akan teridentifikasi. Klonklon yang superior digunakan untuk membentuk kultivar sintetik uji. Uji polycross Uji polycross merupakan substitusi uji topcross, dan dilakukan setelah seleksi fenotipik telah terjadi. Metode ini terdiri dari pembentukan nurseri polycross berulang pada satu atau beberapa lokasi dan persilangan random dibiarkan terjadi diantara entri, kemudian biji-biji hasil silang random polycross tadi dipanen secara terpisah berdasar entrinya. Lalu biji-biji tadi digunakan untuk mengevaluasi setiap entri dalam sebuah uji polycross berulang. Uji progeni persilangan terbuka Pada metode ini biji dikumpulkan dari batang-batang tanaman terpilih yang ditanam dalam suatu nurseri sumber, dimana sumber tepungsari tidak terbatas. Tanaman-tanaman terseleksi dapat dipastikan akan terpolinasi oleh tanaman sekitar yang memiliki waktu antesis yang bersamaan. Seleksi dilakukan hanya kepada tetua betina saja. Evaluasi dilakukan terhadap karakter-karakter produksi biji, kualitas hijauan, kemampuan tanaman menyebar, kemampuan daya pulih setelah disabit, umur, resistensi terhadap hama dan penyakit. Uji ini merupakan uji evaluasi genotipik paling sederhana dan murah. Jumlah tanaman yang digunakan pada prosedur ini berbeda antara satu pemulia dengan pemulia tanaman PHT rumputan yang lain. Tapi jumlah yang paling umum digunakan adalah 5.000 – 10.000 tanaman, yang ditanam biasanya dalam satu lokasi, bila memungkinkan bisa dua lokasi. Metode hibridisasi Pada metode pemuliaan ini yang dikembangkan adalah hibrida F1-nya dengan perbanyakan vegetatif. Sebagai contoh metode ini adalah hibrida rumput bermuda sebagaimana dilaporkan oleh SLEPER (1987). Persilangan “Tift” bermudagrass dengan satu rumputan introduksi dari Afrika. Lima ribu
individu F1 hibridanya ditanam dengan jarak tanam lebar untuk dievaluasi dan 147 diantaranya terseleksi yang kemudian diperbanyak secara vegetatif, dan selanjutnya dievaluasi kembali dalam uji berulang dengan menggunakan plot-plot kecil. Satu diantaranya kemudian dilepas pada tahun 1943 dengan nama kultivar “Coastal”. Pada tahun 1987 “Coastal” tumbuh dengan baik dan ditanam pada wilayah lebih dari 4 juta hektar di Amerika Serikat sebelah tenggara. Metode pemuliaan tanaman PHT legum Tanaman PHT legum terdiri dari PHT legum species semusim (annual) dan species tahunan (perennial). Metode pemuliaan untuk PHT legum semusim yang menyerbuk sendiri mengikuti metode-metode pemuliaan tanaman legum pangan, seperti tanaman kedelai dll, dan tidak akan diuraikan di sini. Informasi detail tentang tanaman PHT legum di Indonesia belum banyak. Penelitian ke arah itu perlu dilakukan. Pada umumnya PHT legum diperbanyak melalui biji untuk komersial, sekalipun terdapat perbanyakan secara vegetatif selama masih memungkinkan. PHT perennial adalah tanaman silang terbuka, self incompatible dan membutuhkan lebah untuk terjadinya persilangan. Sedangkan tanaman PHT legum semusim adalah species menyerbuk sendiri. Species PHT rumputan dan legum yang ada di Indonesia dicantumkan dalam Tabel 1, namun karakteristik speciesnya belum ada. Selain itu disusun pula Tabel 2 yang memuat species PHT legum yang mungkin dapat diintroduksi ke Indonesia, lengkap dengan karakteristiknya. Kultivar yang dapat dibuat untuk tanaman PHT legum adalah kultivar murni, kultivar campuran genotip, kultivar sintetik dan kultivar hibrida. Pada taraf awal peluang untuk mengembangkan species asli (lokal) adalah melalui evaluasi ekotip-ekotip lokal, sebagaimana berkembang di negara-negara lain. Namun harus disadari bahwa ekotipekotip tersebut adalah beradaptasi sempit. Hal ini penting untuk diperhatikan bagi Indonesia untuk kestabilan produksi dan ketersediaan pakan. Objektif pemuliaan tanaman PHT legum pada umumnya sama dengan objektif
39
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
pemuliaan tanaman PHT rumputan, jadi tidak akan diulang di sini. Metode-metode pemuliaan tanaman PHT legum yang digunakan umumnya adalah seperti berikut (TAYLOR, 1987): seleksi massa, seleksi rekuren fenotipik, evaluasi klonal, polycross, pembentukan strain, backcross, seleksi geno-phenotipik, hibrida single dan double-cross. Metode-metode tersebut akan bervariasi dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi. Untuk Indonesia hal ini perlu diperhatikan. Dalam memuliakan tanaman PHT legum beberapa faktor harus diperhatikan: Umumnya tanaman PHT legum sulit dibuat galur murninya (inbred) karena adanya kendala genetik inkompatibilitas sendiri. Teknik mengatasinya tersedia, namun galur murninya sampai homozigositas tidak
mungkin dicapai, karena kehilangan figor yang luar biasa. − Umumnya biji tanaman PHT legum dihasilkan di luar wilayah pertanaman produksi, sehingga perlu diuji lokasi. − Kemungkinan terjadi perbedaan penampilan tanaman PHT legum di tempat pengembangan dengan tempat wilayah pertanaman untuk produksi. Juga uji progeni menjadi keharusan. − Karena banyak tanaman PHT legum adalah species perennial, maka satu siklus seleksi akan memakan waktu 3 – 4 tahun, dan kemajuan pemuliaan menjadi lambat. Khususnya untuk tanaman yang harus dievaluasi dalam bentuk populasi campuran.
Tabel 1. Species THP rumputan dan THP legum di Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Species Rumputan Andropogon gayanus Andropogon nodosis Brachiaria brizantha Brachiaria decumbens Brachiaria mutica Chloris gayana Cynodon dactylon Digitaria decumbens Eragrostis amabilis Eragrostis curvula Euchlaena mexicana Hyparrhenia rufa Melinis minutiflora Panicum maximum Panicum muticum Paspalum dilatum Paspalum notatum Pennisetum purpureum Pennisetum chandestinum Setaria sphacelata Sorghum sudanense -
Species Legum Cayanus cajan Calopogonum mucunoides Centrosema plumieri Centrosema pubescens Clitoria ternatea Crotalaria striata Crotalaria usaramoensis Desmodium intertum Dolichos lablab Flemingia congesta Indigofera arecta Indigofera endicaphylla Lotononis bainesii Macroptilium actropurpureum Mimosa invisa Neonotonia wightii Pueraria javanica Peuraria phaseoloides Peuraria triloba Sesbania aciculata Sesbania grandiflora Sesbania spesiosa Stylosanthes humilis Stylosanthes guianensis Tephrosia ap Vigna marina
Sumber: Modifikasi oleh Achmad Baihaki dari IVORY dan SIREGAR (1984)
40
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Tabel 2. Species tanaman PHT legum yang baik untuk introduksi dan characteristiknya (tumbuh di AS). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Species Trifolium pratense L Red clover T. repens L White clover T. incarnatum L Crimson clover T. vesiculosum savi Arrow Leaf clover T. fragiferum L Strawberry clover T. subterraneum L Subterranian clover T. alexandrium L Berseem clover T. hybridum L Alsike clover Lotus corniculatus L Birdsfoot trefoil L. peduneulatus Cav Big trevoil Lespedesa striata Kobe lespedeza L. stipulacea Korean lespedeza L. cuneata Sericea lespedesa Astragalus cicer Milk vetch Vicia sativa Common vetch V. villosa Harry vetch V. grandiflora Big flower vetch Melilotus officinalis L. Sweet clover Lupinus angustifolius L. Blue lupine
Khromosom
Polinasi
Warna bunga
Jumlah Bobot Biji per gram
Longevitas
2n
x
14
7
CR
R
600
P
32
8
CR
W
1540
P
14
7
CS
C
300
A
16
8
CR
WP
810
A
16
8
V
W
660
P
16
8
SA
W
140
A
16
8
CR
R
440
A
16
8
CR
Y
1540
P
24
6
CR
Y
830
P
24
6
CR
B
2200
P
16
8
CS
B
420
A
16
8
CS
B
500
A
16
8
CS
B
700
P
64
8
CR
Y
285
P
12
6
CR
B
15
A
14
7
CR
P
44
A
14
7
CR
Y
70
A
16
8
CR
Y
570
BI
40
10
CR
B
7
A
Sumber : TAYLOR, 1987 Keterangan: CR = Cross, S = Self, CS = Crossing and Selfing, SA = Selfing Antagany, V = Crossing and Selfing pd tanaman berbeda. R = Red, W = White, C = Crimson, WP = Whitish Purple, Y = Yellow, B = Blue, LY = Light Yellow, P = Purple, A = Annual, P = Perennial, BI = Biennial.
41
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Metode seleksi massa Penyelenggaraan metode seleksi massa untuk tanaman PHT legum pada dasarnya sama dengan seleksi massa pada tanaman PHT rumputan. Kemajuan dapat terjadi dengan baik dan cepat bila polinasi dilakukan hanya diantara tanaman-tanaman terseleksi. Seleksi rekuren fenotipik Prosedur ini sama untuk PHT rumputan. Prosedur ini efektif untuk karakter dengan nilai heritabilitas tinggi (h2) dan mudah untuk diseleksi, yaitu untuk karakter-karakter tanaman yang dikendalikan genetik sederhana (simple genic characters), seperti ketahanan penyakit, kandungan tanin dan estrogen, dan bobot biji. Tapi tidak menutup kemungkinan karakter kuantitatif pun dapat berhasil dimulyakan melalui metode ini, bila karakternya mudah dikenali dan seleksi dilakukan banyak siklus. Contohnya adalah varietas red clover “Kenland” yang persistensinya baik, yang dikembangkan di AS melalui metode ini (TAYLOR, 1987). Metode polycross Tujuan metode polycross adalah mengisolasi klon-klon dengan daya gabung umum superior (GCA) yang dapat disilangkan untuk membentuk kultivar sintetik unggulan. Cocok untuk tanaman PHT legum perennial, karena dapat diperbanyak secara vegetatif. Pembentukan strain Prosedur ini mengkombinasikan langkahlangkah seleksi rekuren fenotipik dan metode polycross. Populasi-populasi berbeda dipelihara dan dievaluasi secara terpisah. Populasi-populasi superior diintercross untuk membentuk kultivar baru. Metode backcross Metode ini digunakan untuk memperbaiki kelemahan suatu kultivar unggul. Misalkan suatu kultivar unggul rentan terhadap suatu penyakit yellow mosaic virus. Resistensi terhadap virus tersebut diketahui dikendalikan oleh gen dominan sederhana, misalnya. Maka
kultivar unggul yang rentan terhadap penyakit YMV tersebut disilangkan secara backcross sebanyak lima kali agar penampilan genotip tetua unggulnya kembali utuh disertai keunggulan ketahanan terhadap virus tersebut. Modifikasi-modifikasi dapat dilakukan. Seleksi geno-fenotipik Metode ini menggabungkan langkahlangkah metode polycross (genotipic selection) dan seleksi fenotipik rekuren. Dalam metode ini biji dihasilkan sebagaimana dilakukan dalam metode polycross, tapi tidak dilakukan seleksi tetua superior berdasar uji progeni, melainkan tanaman terseleksi dari turunan superior dilakukan intercross untuk membentuk populasi baru. Hibrida single dan double cross Kultivar hibrida merupakan produk yang memanfaatkan kemampuan daya gabung umum (GCA) dan daya gabung khusus (SCA), yang terdapat dalam beberapa tanaman PHT legum. Klon-klon superior yang dihasilkan dari metode polycross atau seleksi rekuren fenotipik, disilangkan dalam sebuah rancangan perkawinan dialil untuk memperoleh kombinasi persilangan yang memberikan SCA tertinggi, memanfaatkan varians genetik aditif dan dominan. SUMBER DAYA PEMULIA TANAMAN PHT Dari uraian yang telah dikemukakan terlihat tantangan yang besar untuk mewujudkan kecukupan sumber protein ternak yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hal tersebut mengandung arti dalam memproduksi protein dari ternak harus dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Salah satu langkah yang telah dikemukakan adalah meningkatkan produktivitas dan kualitas PHT melalui pemuliaan tanaman PHT, sebagaimana tersirat dalam rumusan Renstra 1997 – 2005, butir 3. Untuk mewujudkan dan melaksanakan kerja tersebut diperlukan tenaga pemulia yang terdidik dan terlatih dalam segala tingkatan : teknisi, laboran, pemulia (S1, S2 dan S3), ahli
42
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
perbenihan, ahli hama dan penyakit, dan agronomi. Mereka diharapkan mengkhususkan diri dalam tanaman PHT. Luasnya permasalahan dan besarnya kebutuhan pakan hijauan ternak di Indonesia, pembuatan dan pengembangan kultivar PHT yang berproduktivitas tinggi dan berkualitas tinggi pula, harus cepat terlaksana. Artinya bahwa Indonesia membutuhkan tenaga-tenaga pemulia PHT yang banyak dalam waktu secepat-cepatnya. Hal tersebut dapat ditempuh dengan tiga tahap. Tahap pertama. Melatih para sarjana yang sudah bekerja di bidang peternakan (khususnya staf peneliti) yang “background” pendidikannya bukan bidang pemuliaan, selama empat sampai enam bulan, sehingga pengetahuan ilmu pemuliaannya setara dengan sarjana S1 programstudi pemuliaan. Hal ini telah dilakukan oleh Fakultas Pertanian Unpad dua angkatan untuk tanaman pangan. Dengan cara ini kebutuhan pemulia khusus tanaman PHT dalam waktu singkat dapat diperoleh. Tahap kedua. Merekrut tenaga-tenaga sarjana pemulia terdidik yang baru. Tahap ketiga. Pada Universitas yang mengembangkan program studi pemuliaan, dikembangkan mata kuliah khusus (2 sks) menyangkut pemuliaan tanaman PHT. KESIMPULAN − − − − − −
−
Penduduk Indonesia sangat besar jumlahnya. Luas wilayah pertanian menurun, terutama untuk peternakan semakin sempit. Kebutuhan daging ternak meningkat, tapi tidak terjangkau masyarakat luas, mahal. Produktivitas tanaman PHT dan mutunya masih rendah. Efisiensi produksi pakan hijauan ternak perlu ditingkatkan. Pemuliaan tanaman PHT merupakan salah satu alternatif terbaik untuk efisiensi produksi daging, dengan menghasilkan kultivar-kultivar PHT dengan produktivitas dan mutu yang tinggi. Kebijakan pemuliaan tanaman PHT spesifik wilayah, memanfaatkan potensi setempat, termasuk sosial budaya masyarakat setempat.
− −
− −
Enam strategi pemuliaan tanaman PHT diajukan. Telah tersedia cukup metode-metode dasar bagi pemuliaan tanaman PHT, yang dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan masalah di wilayah setempat. Tenaga pemulia tanaman PHT perlu dikembangkan. Satu mata kuliah pemuliaan tanaman PHT dapat dikembangkan pada program studi pemuliaan. DAFTAR PUSTAKA
ASAY, K.H., H.F. MAYLAND, P.G. JEFFERSON,J.D. BERDAHL, J.F. KARN and B.L. WALDRON. 2001. Parent-progeny relationships and G x E effect for factors associated with grass Tetanny and forage quality in Russian Wildrye. Crop Sci. 41 : 1478 - 1484. BAIHAKI, A. 2005. Peran dan Partisipasi Peneliti Dalam Pengembangan Participatory Breeding. Seminar Nasional Ristek. Participatory Plant Breeding dalam Pengembangan Buah Nasional. Kementrian Negara Ristek RI – PKBT LPPM IPB. Jakarta 12 Agustus 2005. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Departemen Pertanian, 2005. HERNAWAN, E., Y. HIDAYAT, and J. KARTASUBRATA. 1996. Trial of Calliandra Calothyrus Provenances from Tropical Latin America in Bandung, Indonesia. Proceedings International Workshop on the Genus Calliandra. Ed. D.O. Evans. Forest, Farm, and Community Tree Research Reports. Special Issue, 1996. A Publication of Winrock International.. IVORY, D. A. and M.E. SIREGAR. 1984. Forage Research in Indonesia : Past and Present. Asian Pasture. FFTC Book Series No. 25. PALMER, B., and T.M. IBRAHIM. 1996. Calliandra Calothyrsus Forage for the Tropics – a Current Assesment. Proceedings International Workshop on Genus Calliandra. Ed. D.O. Evans. Forest, Farm, and Community Tree Research Reports. Special Issue, 1996. A Publication of Winrock International. NITIS, I.M. 1996. Sistem Penyediaan Pakan Hijauan Menunjang Industri Peternakan Yang Berkesinambungan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid I. Ed. Yusuf Halim, Aip Syarifuddin dan Hadi Budiman, Pusat Penelitian dan Pengembangan
43
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Peternakan Badan Litbangtan, Deptan. Bogor 1996. PRAWIRADIPUTRA, B.R., dan N.D. PURWANTARI. 1996. Pengembangan Potensi Sumberdaya Hijauan Pakan Untuk Menunjang Produktivitas Ternak. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Ed. Yusuf Halim, Aip Syarifuddin dan Hadi Budiman, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Litbangtan, Deptan. Bogor 1996 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN, Badan Litbangtan, Deptan. 1997. Rencana Strategis Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
SIREGAR, M.E. 1985. Forage and Pasture Production in Indonesia. Tropical Agriculture Series No. 18. Ministary of Agriculture, Forestry and Fisheties. Japan. SLEPER, D.A. 1987. Forage Grasses. In Principles of Crop Development. Vo. 2. Crop Species. W.R. Fehr. Ed. Mc Millan Publishing Company. New York. SRI ASTUTI, R., dan SUHARTONO. 2005. Tahun 2025 Penduduk Indonesia 273.7 Juta. Harian Kompas, 3 Agustus 2005. halaman 18. TAYLOR, N.L. 1987. Forage Legumes. In Principles of Cultivar Development. Vol. 2. Crop Species. W.R. Fehr. Editor. Mc Millan Publishing Company. New York.
44