Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
KETERSEDIAAN TEKNOLOGI VETERINER DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR R.M.A ADJID dan YULVIAN SANI Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151 Bogor 16114
ABTSRAK Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pertanian telah menetapkan program Kecukupan Daging yang ditargetkan akan dicapai pada tahun 2010 guna meningkatkan perekonomian Indonesia. Untuk mendukung program Kecukupan Daging tersebut perlu diperhatikan faktor produktivitas ternak sebagai penghasil sumber daging. Peranan kesehatan hewan sangat penting artinya bagi ternak karena dapat mempengaruhi produktifitas bahkan dapat mengakibatkan kematian. Disamping itu masalah kesehatan hewan/penyakit juga dapat mempengaruhi kesehatan manusia dalam kaitan penyakit zoonosis. Namun disisi lain dalam hal ilmu pengetahuan dapat memacu perkembangan baru ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat melindungi lingkungan dan kelestarian sumberdaya genetik. Berbagai permasalahan kesehatan hewan masih melanda ternak di Indonesia, terutama terhadap penyakit strategis yang memiliki dampak sosial dan ekonomi luas. Pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan yang menjadi tugas pemerintah diarahkan kepada penyakit yang berdampak sosial dan ekonomi luas, menular, menyebar dengan cepat dan berakibat pada morbiditas dan mortalitas tinggi. Prioritas pengendalian penyakit pada ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) saat ini diberikan kepada 5 penyakit strategis, yaitu Brucellosis, Anthrax, Infectious Bovine Rhinotracheits (IBR), Bovine Viral Diarrhoea (BVD) dan Jembrana. Berbagai teknologi pengendalian penyakit strategis pada ternak ruminansia besar telah dikuasai dan dihasilkan, terutama teknik isolasi dan identifikasi untuk berbagai agen penyakit, berbagai teknik diagnostik, reagensia uji, teknik molekuler diagnostik, serta vaksin. Namun demikian beberapa teknologi tersebut masih harus disempurnakan dan ditingkatkan untuk aplikasinya seperti yang diutarakan dalam makalah ini. Kata Kunci: Ruminansia besar, teknologi, pengendalian penyakit
PENDAHULUAN Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dalam rangka meningkatkan perekonomian di Indonesia telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Purwakarta. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, Departemen Pertanian kemudian menetapkan Program Kecukupan Daging Sapi yang ditargetkan akan tercapai pada tahun 2010. Program tersebut dimaksudkan agar terjadi percepatan pertumbuhan produksi ternak sapi lokal, sehingga volume impor daging dan sapi bakalan semakin kecil yang pada akhirnya dapat menghemat devisa negara secara signifikan. Untuk mencapai kecukupan daging sapi pada tahun 2010, maka program tersebut perlu didukung dengan upaya meningkatkan produktifitas ternak atau dengan mengurangi
24
kendala produksi peternakan. Salah satu kendala produksi ternak adalah faktor penyakit hewan. Keberadaan penyakit pada ternak ruminansia besar dapat mengakibatkan penurunan produktifitas bahkan kematian ternak, bila tidak dilakukannya pengendalian penyakit secara cepat, tepat dan berkelanjutan. Dengan demikian pengendalian penyakit strategis pada ternak ruminansia besar menjadi penting dan strategis dalam upaya mendukung program swasembada daging sapi tersebut. Pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan yang menjadi tanggung jawab utama pemerintah diarahkan kepada penyakitpenyakit yang berdampak kerugian ekonomi yang signifikan dan luas, karena sifatnya yang menular, menyebar cepat dan mengakibatkan tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi. Berbagai jenis penyakit menular telah menyerang ternak sapi lokal di Indonesia, baik yang diakibatkan oleh agen virus, bakteri,
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
parasit maupun jamur. Prioritas pengendalian penyakit strategis pada ternak ruminansia besar diberikan kepada penyakit Anthrax, Brucellosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarrhoea (BVD) serta Jembrana. Balai Besar Penelitian Veteriner (BB LITVET) sebagai lembaga penelitian di lingkup Departemen Pertanian yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan penelitian veteriner di Indonesia, sudah seharusnya menghasilkan informasi dan teknologi untuk mengendalikan penyakit strategis pada ruminansia besar. Namun demikian sejauh mana teknologi tersebut telah dihasilkan dan diaplikasikan, serta kendala yang dihadapi dalam melaksanakan penelitian guna menghasilkan teknologi tersebut, diutarakan dalam makalah ini. HASIL-HASIL PENELITIAN PENYAKIT STRATEGIS PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR Di Indonesia, institusi yang paling bertanggungjawab dalam melakukan penelitian penyakit hewan atau veteriner adalah Balai Besar Penelitian Veteriner (BB LitVet). Disamping BB LitVet, instansi lainnya yang juga dapat melakukan penelitian penyakit hewan meskipun sangat terbatas, adalah Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV), Balai Besar Veteriner (BBVet) serta perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran hewan (Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Udayana, Universitas Syah Kuala). Hasil-hasil penelitian penyakit strategis ternak ruminansia besar (Anthrax, Brucellosis, IBR, BVD dan Jembrana) yang dapat diinformasikan, baik yang berasal dari hasil penelitian di Balitvet maupun instansi lainnya adalah sebagai berikut: Penyakit Anthrax Anthrax adalah penyakit bakterial yang bersifat sangat fatal dan menular ke manusia (zoonosis) disebabkan oleh Bacillus anthracis pembentuk spora, Gram positip dan berbentuk batang. Penyakit ini terutama menyerang
hewan herbivora (ruminasia besar, ruminasia kecil) serta kumannya dapat mengakibatkan penyakit pada manusia melalui kontak kulit, inhalasi atau mengkonsumsi produk hewan yang terkontaminasi (OIE, 2000) Penyakit ini telah diketahui keberadaannya di Indonesia sejak tahun 1832. Sebaran penyakit Anthrax sejak tahun tahun 1930 sampai dengan saat ini, secara geografis pernah terjadi di 17 propinsi, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Timor, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Namun akhir-akhir ini kejadian penyakit Anthrax sering dilaporkan berjangkit di pulau Jawa dan Nusa Tenggara (ADJID et al. 2005). Balitvet telah menguasai dan mengembangkan berbagai teknologi diagnosis untuk penyakit Anthrax, seperti 1). teknik isolasi dan identifikasi kuman Anthrax; 2). uji ASCOLI untuk deteksi kuman Anthrax; dan 3). uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi dalam tubuh hewan. Mengingat kuman Anthrax sangat berbahaya, maka penanganan kumannya dibatasi pada laboratorium kesehatan hewan tertentu, dengan aturan keluar masuk kuman yang sangat ketat. Sementara itu, vaksin Anthrax masih dalam tahap pengembangan yang dilakukan oleh Balitvet melalui isolasi dan identifikasi antigen protektif. Brucellosis Brucellosis adalah penyakit infeksius mengakibatkan keluron pada ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing dan lain-lain), babi dan anjing. Penyakit ini disebabkan bakteri dari genus Brucella serta dapat pula menular dari hewan sakit ke manusia (ALTON, et al. 1988). Brucellosis tersebar luas di seluruh dunia yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan gangguan kesehatan masyarakat. Pada sapi kuman penyebabnya adalah B. abortus mengakibatkan keluron pada umur kebuntingan diatas 5 bulan. Pada kebuntingan berikutnya tidak terjadi keluron, tetapi dapat muncul kembali setiap 2-3 kali kebuntingan
25
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
berikutnya. Pedet yang dilahirkan biasanya lemah dan kemudian mati. Akibat lainnya adalah tertahannya plasenta dan terinfeksinya uterus. Infeksi uterus yang parah dapat mengakibatkan sterilitas. Pada pejantan brucellosis mengakibatkan radang testes (orchitis) dan akhirnya sterilitas. Penularan penyakit terjadi melalui mulut/hidung akibat percikan bahan-bahan abortusan atau cairan/lendir yang menyertai anak baru lahir dari induknya yang terinfeksi brucellosis. Penyakit juga dapat menular melalui semen dari pejantan terinfeksi. Pencegahan penyakit melalui pengaturan kandang melahirkan (jauh dari tempat kelompok). Penerapan test and slaughter serta vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah hewan dari serangan brucellosis. Brucellosis pada sapi dilaporkan tersebar di 25 propinsi di Indonesia. SETIAWAN (1990) dan SUDIBYO et al (1991) melaporkan kejadian brucellosis pada ternak sapi potong di 7 propinsi (Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, dan Sumatera Utara) dengan prevalensi antara 6,6-61,3%. Pada tahun 1998 brucellosis juga dilaporkan terjadi di Sumatera Barat (ANONIM, 1998/99). Selanjutnya pada tahun 2003, secara serologis menggunakan uji RBT, penyakit brucellosis dilaporkan menyerang 750 ekor sapi potong di Propinsi Bengkulu (KUSWADY, 2003), serta di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku (ANONIM, 2003). Teknologi diagnosis yang telah dikuasai dan dikembangkan Balitvet meliputi 1) teknologi isolasi dan identifikasi bakteri brucella; 2) teknologi deteksi antibodi dalam serum hewan menggunakan uji Milk Ring Test (MRT), Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Bovine Viral Diarrhea (BVD) Penyakit BVD pada sapi disebabkan oleh virus bovine diarrhea, keluarga pestiviridae. Gejala klinis penyakit BVD terdiri dari 4 bentuk, yaitu: 1) bentuk subklinis (tidak ada gejala); 2) bentuk kronis (ada gejala tapi tidak khas, seperti berkurangnya nafsu makan, kelesuan, diare ringan, pertumbuhan yang lamban); 3) bentuk akut (gejala diare profuse,
26
demam, erosi pada saluran gastrointestinal); 4) bentuk mukosa (ditandai dengan gejala akut disertai adanya perlukaan pada selaput lendir mulut dan saluran usus). Pada bentuk mukosa hewan yang terserang dengan umur 8 sampai 18 bulan biasanya akan mati pada hari ke 14 setelah infeksi. Pada sapi bunting umur kebuntingan 3 – 4 bulan, infeksi virus mengakibatkan kematian fetus dan keluron. Infeksi virus BVD pada umur kebuntingan pertengahan trimester biasanya mengakibatkan cacat pada otak dan mata, kadang-kadang juga bulu. Penularan penyakit terjadi karena kontak dengan cairan lendir mukosa hewan terinfeksi atau lingkungan tercemar. Penularan dapat terjadi melalui semen pejantan, baik melalui kontak seksual atau melalui IB. Diagnosa penyakit dilakukan dengan mengisolasi agen penyakit atau pemeriksaan antibodi setelah terjadi abortus. Pencegahan penyakit dilakukan melalui mencegah kontak dengan hewan sakit (memperlihatkan gejala klinis), lingkungan tercemar (terkena lendir hewan sakit), menggunakan pejantan bebas BVD pada kawin alam, atau penggunaan semen bebas BVD pada IB. Alternatif pencegahn penyakit adalah dengan melakukan vaksinasi hewan terhadap virus BVD. Di Indonesia penyakit BVD pernah dilaporkan kejadiannya di beberapa wilayah di Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir, tahun 2002, kejadiannya dilaporkan menyerang 269 ekor sapi potong di Propinsi Bengkulu (KUSWADY, 2003). Balitvet sebagai institusi penelitian telah menguasai 1) teknolgi diagnosis serologis Serum Netralisasi, baik untuk tujuan skrining maupun untuk pengukuran kandungan titer antibodi spesifik BVD; 2) teknik isolasi dan identifikasi virus BVD; 3) serta informasi epidemiologi infeksi penyakit BVD. Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR) Penyakit IBR adalah penyakit infeksius yang menyerang saluran pernafasan ataupun genital. Penyebabnya adalah virus Bovine Herpes 1 (BHV-1). Pada bentuk infeksi saluran pernafasan, gejalanya adalah demam tinggi, anoreksia, nafas cepat dan sesak, depresi,
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
leleran hidung dari encer sampai mukopurulen. Jika virus IBR menyerang saluran genital sapi betina, maka akan terlihat gejala klinis profusa pustular vulvovaginitis dan penyakitnya dikenal sebagai infectious pustular vulvovaginitis (IPV). Lendir bernanah dapat terlihat keluar dari liang vulva. Sapi betina memperlihatkan kemajiran temporer. Sapi betina yang terinfeki virus IBR, baik tipe pernafasan maupun vulvovaginitis, dapat berakibat pada abortus fetus mulai 3 minggu sampai 3 bulan setelah mengalami infeksi. Tanda lainnya yang umum adalah tertahannya placenta. Pada sapi jantan, gejala klinis yang tampak adalah perlukaan bernanah pada glans penis dan prepusium dan penyakitnya disebut infectious balanopostitis (IBP). Adanya rasa sakit pada alat kelamin ini dapat menghambat aktifitas kontak seksual pejantan dengan sapi betina. Infeksi oleh BHV-1 dapat juga hanya menimbulkan gangguan ringan saja atau subklinis, tergantung strain virusnya (GIBBS dan REYEMAMU, 1977). Penularan penyakit dapat terjadi melalui semen terinfeksi, kontak dengan cairan lendir mukosa hewan terinfeksi, atau dengan lingkungan tercemar. Diagnosis penyakit, disamping dengan memperhatikan gejala klinis, juga dilakukan dengan cara mengisolasi dan identifikasi agen penyakitnya. Sebaran penyakit IBR pada sapi potong di Indonesia, berdasarkan survei klinis atau serologis adalah sebagai berikut; di Propinsi Lampung pada tahun 1981 (MARFIATININGSIH, 1982); pada sapi bali di Kalimantan Barat pada tahun 1989, dikenal sebagai diare ganas sapi (WIYONO et al., 1989); di Propinsi Lampung pada tahun 1992-93 dilaporkan prevalensi reaktornya mencapai 3,7% dari 639 ekor (WIYONO, 1993). Selanjutnya di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kupang, Kalimantan Barat, Bali, dan Sumatera Utara dengan prevalensi serologis penyakit IBR tersebar dengan rataan prevalensi reaktor 15,9% (SUDARISMAN, 1995). Penyakit IBR dilaporkan tidak hanya menyerang ternak sapi potong, tetapi juga sapi perah. Pada tahun 1997 penyakit dilaporkan terjadi di Propinsi Sumatera Barat dan di NTB (SIREGAR, et al. 1997; SETIAWAN et al. 1997). Informasi terkini, penyakit IBR dilaporkan secara serologis terjadi di Provinsi Lampung pada
tahun 2001 (ANONIM, 2001). Yang lebih penting dan sangat perlu diperhatikan adalah jangan sampai penyakit IBR menyerang ternak bibit sapi di lokasi-lokasi pusat inseminasi buatan ataupun pusat pembibitan. Hal ini karena bila Lokasi-lokasi tersebut tercemar penyakit IBR, maka lokasi tersebut yang seharusnya berfungsi sebagai sumber semen/bibit sehat akan beralih fungsi sebagai sumber penyebar penyakit IBR secara nasional. Pencegahan penyakit pada sapi betina dilakukan dengan mencegah kontak seksual dengan pejantan terinfeksi, tidak menggunakan semen terinfeksi pada program IB, serta mencegah kontak dengan hewan sakit IBR (lendir mukosa atau lingkungan tercemar virus IBR). Vaksinasi cukup efektif untuk mencegah terjadinya penularan penyakit. Diagnosa penyakit didasarkan atas adanya kenaikan titer antibodi spesifik dan atas adanya agen penyakit yang diisolasi. Balitvet sebagai institusi penelitian telah menguasai 1) teknologi diagnosis serologis Serum Netralisasi, baik untuk tujuan skrining maupun untuk pengukuran kandungan titer antibodi spesifik IBR; 2) teknik isolasi dan identifikasi virus IBR; 3) telah menghasilkan prototipe vaksin IBR inaktif isolat lokal; 4) serta informasi epidemiologi infeksi penyakit IBR. Jembrana Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral akut pada sapi bali disebabkan oleh virus retrovirus dari sub family Lentivirus dengan gejala klinis menonjol berupa demam tinggi, pembengkakan kelenjar limfoid, serta diare yang umumnya bercampur darah (HARTANINGSIH, 2005; PUTRA dan SULISTYANA, 2004). Penyakit ini pertama kali muncul di Bali pada tahun 1964, dimana dalam 12 bulan telah menimbulkan kematian 26.000– 70.000 ekor sapi dari jumlah total sekitar 300.000 ekor sapi Bali pada saat itu (SOEHARSONO, 1997). Penyakit ini hanya terjadi di Indonesia, dan sampai sekarang telah menjadi penyakit endemis di Kalimantan Selatan, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Secara serologis, penyakit ditemukan di Jambi, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur
27
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
dan Kalimantan Tengah (HARTANINGSIH, 2005). Masa inkubasi penyakit berkisar antara 5– 12 hari dengan gejala klinis akut yang dapat bertahan sampai 12 hari. Gejala klinis meliputi demam tinggi, letargi, anoreksia dan pembengkakan limfoglandula superfisialis (CHADWICK et al., 1998). Tingkat mortalitas dapat mencapai 17% pada infeksi buatan yang terlihat konsisten dengan kejadian di lapangan. Sapi yang sembuh dari penyakit Jembrana menjadi viraemia sedikitnya selama 2 tahun setelah infeksi (CHADWICK et al., 1995), sehingga ternak tersebut sangat potensial sebagai sumber infeksi (carrier). Penularan penyakit terjadi melalui kontaminasi dari sekresi urin, air susu, dan saliva hewan sedang sakit dengan demam tinggi, serta penularan melalui gigitan serangga penghisap darah secara mekanik. Hewan yang sembuh dari penyakit Jembrana dapat menjadi hewan pembawa penyakit “carrier” sehingga berpotensi mengakibatkan wabah penyakit pada populasi yang rentan (PUTRA dan SULISTYANA, 2004; HARTANINGSIH, 2005). Teknologi penyakit Jembrana yang telah dihasilkan oleh BPPV Regional VI Denpasar, yaitu: 1) teknik diagnosis Capture-ELISA; SDS-PAGE; Immunohistokimia (IHC); dan PCR; 2) Vaksin Jembrana Konvensional (suspensi limpa 10%) dan kandidat vaksin rekombinan. KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENELITIAN PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR DAN PEMECAHAN MASALAH Kendala yang dihadapi dalam penelitian dan dan pengembangan teknologi pengendalian penyakit strategis ruminansia besar (sapi dan kerbau) umumnya terdiri dari biaya penelitian yang cukup mahal dibandingkan dengan pengembangan teknologi pengendalian penyakit pada unggas. Sumberdaya peneliti yang tersedia di Indonesia sangat terbatas khususnya untuk kegiatan penelitian biologi molekuler dan pengembangan vaksin
28
konvensional. Untuk menghasilkan produk (diagnosis molekuler dan vaksin rekombinan) memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Sementara itu populasi ternak umumnya dipelihara secara tradisional dan dimiliki oleh peternak kecil, sebagai usaha sampingan, sehingga kurang mampu menggunakan teknologi tinggi yang relatif lebih mahal. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, maka kegiatan penelitian sebaiknya dilakukan secara terpadu melalui kerjasama antar lembaga riset terkait baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sumberdaya peneliti sebaiknya dimanfaatkan secara optimal dengan memanfaatkan tenaga-tenaga peneliti muda atau mahasiswa yang sedang dalam menyusun skripsinya. Begitupula akses penggunaan sarana penelitian yang tersedia pada berbagai lembaga riset sebaiknya dapat dimanfaatkan bersama dalam kerangka kerjasama penelitian yang telah disepakati. ARAH PENELITIAN KE DEPAN Strategi peningkatan kesehatan hewan atau pengendalian penyakit dirancang berdasarkan posisinya yang sangat strategis dan fungsinya yang sangat erat sebagai pendukung dalam mewujudkan masyarakat sehat yang berwawasan lingkungan melalui pemenuhan kebutuhan protein hewani. Untuk mencapai sasaran ”ternak sehat dan masyarakat sehat” melalui kecukupan daging 2010, perlu didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Mengingat penyakit strategis pada ruminansia besar memiliki dampak sosial dan ekonomi yang luas, maka diperlukan teknologi-teknologi moderen, seperti biologi molekuler, untuk pengendalian penyakit tersebut dalam pengembangan teknologi diagnostik cepat, (Immunohistokimia, FAT, PCR; dipstik ELISA); vaksin dengan aplikasi mudah (aplikasi aerosol dan lain - lain) atau vaksin modifikasi genetik atau rekombinan. Penelitian epidemiologi penyakit masih diperlukan untuk lebih memahami penyakit guna pengendalian penyakit yang lebih efektif dan efisien.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 1. Ketersediaan teknologi pengendalian penyakit strategis pada ruminansia besar di Indonesia Penyakit Anthrax
Ketersedian Teknologi Pengendalian Penyakit Isolasi dan identifikasi ASCOLI Serologi ELISA Isolasi dan identifikasi Serologi MRT. RBT, CFT, ELISA
Brucellosis
Bovine Viral Diarrhoea (BVD) Infectious Bovine Rhino-tracheitis (IBR)
Jembrana
DAFTAR PUSTAKA ANONIM. 1999. Laporan Tahunan Tahun 1998/99. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional II Sumatera Barat.. ANONIM. 2001. Laporan Tahunan Tahun 2001. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung. ANONIM. 2003. Kegiatan Laboratorium Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VII Maros. CHADWICK, B.J., M. DESPORT, D.M.N. DHARMA, J. BROWNLIE and G.E. WILCOX. 1998. Detection of Jembrana disease virus in spleen, lymph nodes, bone marrow and other tissues by in situ hybridization of paraffin-embedded tissues. J. of Gen Virol. 79: 101–106. CHADWICK, B.J., R.J. COELEN and G.E. WILCOX. 1995. Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus: a bovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. J. of. Gen. Virol 76:1634–1650. FORMAN, A.J., C.A. GIBSON and B.J. RODWELL. 1992. Serological evidence for the presence of bovine lentivirus infection in cattle in Australia. Aust. Vet. J. 69–337. FULTZ, P.N. 1991. Replication of an acutely lethal simian immunodeficiency virus activates and induces proliferation of lymphocytes. J. Virol 65: 4902–4909.
Isolasi dan identifikasi Uji Netralisasi Serum (SNT) Isolasi dan identifikasi Serum Netralisasi (SNT) Vaksin inaktif isolate lokal Isolasi dan identifikasi IHC SDS-PAGE Capture ELISA RT-PCR Vaksin rekombinan (dalam tahap uji coba)
HARTANINGSIH, N. 2005. Progress on Jembrana Disease Study. Dibawakan dalam pertemuan Evaluasi Penelitian, Denpasar, Bali KUSWADY, E. 2003. Kebijakan dan kesiapan pengendalian penyakit menular pada ternak sapi di Propinsi Bengkulu. Makalah dipresentasikan pada Sarasehan Pengamanan ternak Sapi di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Penyakit Menular, 9 September 2003, Bengkulu. MARFIATININGSIH, S. 1982. Diagnosa infectious bovine rhinotracheitis like disease pada sapi bali di Lampung Tengah. Dalam Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia periode tahun 1976-1981. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Deptan, Jakarta. PUTRA, A.A.G, dan K. SULISTYANA. 2004. Penularan penyakit Jembrana: Peranan Serangga Penghisap Darah. Buletin Veteriner, BPPV Denpasar XVI (64): 33-40. SETIAWAN, E.D., I.W. MATHIUS, S.B. SIREGAR, A. SUDIBYO, E. HANDIWIRAWAN, dan T. KOSTAMAN. 1997. Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam Usaha Peningkatan dan Produktifitas Sapi Potong di Propinsi NTB. Puslitbang Peternakan.
29
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
SIREGAR, A.R., P. SITUMORANG, M. BOER, G. MOEKTI, J. BESTARI, dan M. PURBA. 1997. Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam Usaha Peningkatan dan Produktifitas Sapi Potong di Propinsi Sumatera Barat. Puslitbang Peternakan. SOEHARSONO, S. 1997. Current information on Jembrana disease distribution in Indonesia. In. Jembrana Disease and the Bovine Lentiviruses. ACIAR Proceedings. ACIAR, Canberra. 75: 72–75. SUDARISMAN. 1995. Infectious Bovine Rhinotracheitis. Wartazoa 4(1-2): 25-29.
30
SUDIBYO, A. P. RONOHARDJO, B. PATTEN, dan Y. MUKMIN. 1991. Status brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. XXIII (41): 18-22. WIYONO, A., P. RONOHARDJO, R.J. GRAYDON, dan P.W. DANIELS. 1989. Diare ganas sapi: I. Kejadian penyakit pada sapi bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan 38:77-83 WIYONO, A. 1993. Studi prevalensi antibodi terhadap Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sentinel anak dan induk sapi bali di Lampung. Penyakit Hewan. XXV (45):7-10.