Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
KEJADIAN PENYAKIT STRATEGIS PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR DAN PROGRAM PENANGGULANGANNYA DI PROVINSI NANGGRO ACEH DARUSSALAM ISKANDAR MIRZA, M. FERIZAL, dan ARMEN ZULHAM Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nanggroe Aceh Darussalam Jl. P. Nyak Makam 27 Banda Aceh
ABSTRAK Salah satu kendala dalam melaksanakan program kesehatan hewan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari masing-masing kabupaten, sehingga program kesehatan hewan belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan bahkan terbuka peluang meningkatnya angka kematian ternak akibat penyakit. Di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD) terdapat 7 jenis penyakit strategis, 3 diantaranya merupakan penyakit strategis pada ternak ruminansia besar yaitu Brucellosis, Salmonellosis dan Septicaemia epizootika. Data terakhir menunjukkan bahwa Brucellosis berjangkit di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Banda Aceh. Salmonellosis terjadi di Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Banda Aceh. Septicaemia epizootika berjangkit di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulu. Kata Kunci: Penyakit strategis, ruminansia besar, Aceh
PENDAHULUAN Salah satu kendala dalam melaksanakan program pelayanan kesehatan hewan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari kabupaten/kota, sehingga program kesehatan hewan yang dilaksanakan selama ini cenderung lebih bersifat kuratif. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan bahkan terbuka peluang meningkatnya angka kematian ternak yang diakibatkan oleh penyakit. Terbatasnya informasi kejadian penyakit tersebut disebabkan karena belum adanya pos kesehatan hewan (poskeswan) di setiap kabupaten/kota dan belum optimalnya peran poskeswan yang telah ada. Dalam rangka mendukung program kecukupan daging tahun 2010 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah Provinsi NAD melalui Fakultas Kedokteran Hewan bekerjasama dengan PLAN Internasional Banda Aceh telah melakukan workshop dengan tema Pemberdayaan dan Revitalisasi Poskeswan. Workshop tersebut
116
dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 2021 Juli 2006. Tujuan dari workshop tersebut adalah untuk merumuskan standar operasional prosedur dan menetapkan suatu model pos kesehatan hewan mandiri di Provinsi NAD. Kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan hewan dan sekaligus memantau kejadian penyakit hewan di Provinsi NAD secara intensif yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan produksi serta turut membenatu mewujudkan program kecukupan daging 2010. Dinas Peternakan Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun 2005 terdapat 30 jenis penyakit ternak yang dijumpai di wilayah Provinsi NAD yang terdiri dari 7 jenis penyakit yang disebabkab oleh bakteri, 6 jenis oleh protozoa, 3 jenis oleh virus, 13 jenis oleh endoparasit dan 4 jenis oleh ektoparasit. Diantara 30 jenis penyakit tersebut, 7 jenis diantaranya merupakan penyakit strategis. Dari 7 jenis penyakit strategis tersebut, 3 jenis diantaranya merupakan penyakit strategis yang dijumpai pada ternak ruminansia besar. Ketiga jenis penyakit strategis tersebut adalah
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Brucellosis, Salmonellosis dan Septisemia epizootika (SE). Keberhasilan pengendalian penyakit menular strategis tersebut sangat ditentukan oleh koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat karena koordinasi pengendaliannya dilakukan di tingkat pusat. Makalah ini membahas tentang kejadian dan sebaran penyakit menular strategis pada ternak ruminansia besar di Provinsi NAD yang diharapkan dapat membantu dalam pengendalian penyakit tersebut di Provinsi NAD. BRUCELLOSIS Brucellosis merupakan penyakit reproduksi menular yang dapat menimbulkan keguguran. Menurut DITJENNAK (1981), kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai 10 milyar rupiah lebih setiap tahunnya. Penyebab brucellosis pada sapi dan kerbau adalah Brucella abortus. Di Indonesia, brucellosis juga dikenal sebagai penyakit keluron menular dan di Aceh dikenal dengan penyakit Sane. Selain menyerang ternak, brucellosis juga bersifat zoonosis sehingga dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Sumber penularan penyakit ini diantaranya cairan genital, susu dan semen sapi yang sakit. Padang rumput, pakan dan air yang tercemar oleh brucella merupakan sarana yang utama dalam penularan penyakit. Proses jalannya penyakit adalah kuman masuk ke dalam tubuh melalui penetrasi membran mukosa saluran pencernaan, mulut, saluran reproduksi dan selaput lendir mata (Plommet dan Plommet, 1988). Selain itu penularan penyakit juga dapat melalui kontak langsung dengan kulit yang luka, hewan yang terinfeksi selama pemerahan dan inseminasi buatan dengan semen yang tercemar (MANTHEI et al., 1950). Kuman Brucella abortus juga ditularkan kepada janin melalui plasenta. Infeksi pada paedet dapat berjalan lama tanpa menunjukkan reaksi positif dalam uji serologi sampai saat beranak yang pertama (BLOOD dan HENDERSON, 1979). Sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap infeksi B. abortus (EDINGTON dan DONHAM, 1939). Sapi dara dan sapi tidak bunting banyak
yang resisten terhadap infeksi Brucella abortus. Brucellosis di Indonesia diketahui sejak tahun 1925 ketika Kirschner berhasil mengisolasi kuman Brucella dari janin pada kasus aborsi di daerah Bandung. Sejak penyakit tersebut dapat diidentifikasi ternyata semakin banyak kasus yang diketahui menyerang sapi termasuk kejadian di Provinsi NAD. Kejadian brucellosis di Provinsi NAD dan Sumatera Utara pertama sekali dilaporkan oleh KRANEVELD pada tahun 1927 (SUDIBYO, 1995) yang berhasil mengisolasi Brucella abortus dari cairan persendian lutut yang bengkak (hygroma) pada sapi potong di daerah Aceh dan Sumatera Utara. Dinas Peternakan Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun 2005 kasus brucellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh dengan jumlah kasus yang dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang dilaporkan tersebut berdasarkan data dari masing-masing kabupaten/kota namun akurasi data tentang jumlah kasus masih diragukan karena data yang diperoleh tersebut berdasarkan gejala klinis yang dijumpai di lapangan. Meskipun demikian, data yang disajikan tersebut sangat penting sebagai data dasar untuk mengetahui sejauh mana sebaran penyakit tersebut di Provinsi NAD. Selanjutnya Dinas Peternakan Provinsi NAD (2005) melaporkan bahwa sebaran penyakit di Provinsi NAD dari tahun ke tahun tidak terjadi perubahan. Berdasarkan pola budidaya ternak yang masih ekstensif tradisional dan pengawasan lalu lintas ternak yang kurang ketat akan memberi peluang semakin meluasnya sebaran penyakit ini di Provinsi NAD. Kuman Brucella abortus dapat menghasilkan endotoksin, dan toksin ini dapat mengakibatkan terjadinya plasentitis dan endometritis sehingga terjadi keguguran (ENRIGHT, 1990). Aborsi biasa terjadi pada umur kebuntingan sekitar 6 bulan (BLOOd dan Henderson, 1979) dan menurut Sudibyo (1995) keguguran dapat terjadi pada minggu ke-8 setelah inokulasi kuman. SUDIBYo (1995) melaporkan bahwa sapi yang secara klinis memperlihatkan kebengkakan pada lutut (hygroma) depannya perlu dicurigai akan adanya infeksi brucellosis.
117
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Teknik diagnosa brucellosis yang dilaksanakan di Provinsi NAD adalah dengan uji RBT dan CFT. Uji CFT merupakan uji yang paling baik dibandingkan dengan uji konvensional lainnya karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik (ALTON et al., 1975). Program penanggulangan yang telah dilaksanakan adalah dengan cara vaksinasi di daerah tertular, sedangkan program pemotongan terhadap hewan yang positif belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena menyangkut dengan ganti rugi. Penanggulangan penyebaran penyakit ini melalui pengawasan lalu lintas ternak juga belum dapat dilakukan secara ketat karena keterbatasan sarana dan prasarana. Oleh karena itu diperlukan suatu standar operasional prosedur (SOP) terhadap lalu lintas ternak yang dapat dilaksanakan di lapangan sehingga penyebaran penyakit ini tidak meluas ke daerah yang masih bebas. SALMONELLOSIS Salmonellosis adalah salah satu kuman penyebab penyakit zoonosis yang perlu mendapat perhatian, karena kuman ini patogen terhadap orang maupun hewan yang masih muda dan hewan atau manusia dewasa yang mengalami stres (BUXTON, 1957). Hampir dapat dipastikan bahwa semua negara mengenal salmonellosis, dan penyakit ini dapat menular ke manusia (zoonosis). Bakteri dari genus salmonella ditemukan di Amerika pada tahun 1899 (DHARMOJONO, (2000) 2001). Selanjutnya PORTILLO melaporkan bahwa genus salmonella pada saat ini terdapat lebih dari 2600 serotipe dan oleh WHO dibagi menjadi 2 spesies yaitu salmonella enterica dan salmonella bongori. Penularan salmonella pada manusia dan hewan dapat terjadi melalui pakan, air minum, peralatan kandang, daging karkas, rumah potong hewan dan penetasan telur (JOHN et al, 1988). Di Indonesia telah diketahui bahwa ternak seperti kerbau, sapi dan babi yang secara klinis sehat, kenyataannya ada yang mengandung kuman salmonella (POERNOMO et al., 1984). Dinas Peternakan Provinsi NAD melaporkan bahwa pada tahun 2005
118
salmonellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh. Pada tahun 2001 kejadian penyakit hanya terjadi di 2 kabupaten/kota yaitu dari Aceh Besar dan Aceh Timur. Mengingat begitu mudahnya terjadi perpindahan sumber penularan maka tidak tertutup kemungkinan penyakit ini akan menyebar ke seluruh daerah. Oleh karena penyakit ini tergolong kedalam food borne disease maka sangat sulit untuk menghambat penyebarannya ke daerah bebas lainnya. Ternak yang terjangkit dengan salmonellosis umumnya mempunyai gejala gastroenteritis, diare, dehidrasi dan demam. Gastroenteritis sering disertai dengan diare karena bakteri tersebut menghasilkan cytotoxin dan enterotoxin (DHARMOJONO, 2001). Diagnosis salmonellosis di lapangan biasanya didasarkan pada gejala dan tanda klinis dan penegakan diagnosa dilakukan dengan mengisolasi dan mengidentifikasi agen penyebab. Isolasi mikroba penyebab merupakan cara diagnosa terbaik. Penanganan terhadap hewan yang sakit biasanya dilakukan dengan pemberian antibiotika. Cholamphenicol atau ampicillin merupakan obat pilihan pertama untuk pengobatan salmonella (WATTS, 1983), dan menurut DHARMOJONO (2001) pengobatan salmonellosis sebaiknya dengan menggunakan antibiotik spektrum luas yang diberikan per parentral (DHARMOJONO, 2001). Penggunaan antibiotika harus dilakukan secara rasional karena penggunaan yang tidak rasional dapat mengakibatkan strain resisten. SEPTICAEMIA EPIZOOTICA Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorrhagic Septicaemia (HS) atau disebut juga penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang hewan sapi dan kerbau, bersifat akut dengan mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Kerugian akibat penyakit ini cukup besar. WIRYOSUHANTO (1993) melaporkan bahwa pada tahun 1987 kerugian ekonomi akibat penyakit ini pada sapi dan kerbau di Indonesia mencapai Rp. 16,2 milyar. Kerbau lebih peka terhadap SE dibandingkan sapi (PRIADI dan NATALIA, 2000).
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Penyebaran penyakit SE di Provinsi NAD berjangkit sesuai arus lalu lintas ternak dan arah arus sungai (SUHIRJAN et al., 1989). Pada tahun 2005 wabah SE berjangkit di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulu. Pada tahun 2001 wabah tersebut terjadi di Aceh Barat, Aceh Tenggara dan Simeulu. Kematian ternak ruminansia besar pada tahun 1988 akibat wabah SE di Aceh Timur 20 ekor, Aceh Selatan 989 ekor, Aceh Barat 735 ekor dan Aceh Utara 175 ekor (SUHIRJAN et al., 1989). Berdasarkan laporan tersebut dapat diketahui bahwa di beberapa daerah yang sebelumnya pernah melaporkan kasus tersebut namun beberapa tahun terakhir ini tidak pernah melapor lagi kasus tersebut seperti daerah Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara. Data tersebut menunjukkan bahwa sebaran penyakit tersebut saat ini terjadi di daerah barat dan selatan (termasuk di dalamnya kabupaten pemekaran yaitu Aceh Barat Daya dan Simeulu). Gejala penyakit yang menyolok adalah demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas ke atas dan kearah dada (PRIADI dan NATALIA, 2000). Bakteriaemia pada sapi dan kerbau terjadi pada 12 jam pasca infeksi, dan bakteri dapat ditemukan di cairan hidung kerbau pada saat yang sama tetapi pada sapi 4 jam sesudahnya (PRIADI dan NATALIA, 2000). Perubahan patologis yang menonjol adalah oedema yang meluas di daerah leher, pembendungan paruparu/pneumonia, dan adanya pendarahan petechiae pada saluran pernafasan bagian atas (PRIADI dan NATALIA, 2000). Tingkat keberhasilan isolasi bakteri penyebab penyakit tersebut masih sangat rendah. Isolasi bakteri sering mendapat kesulitan akibat kontaminasi sampel lapangan yang diterima (ACIAR REPORT, 1994). Reisolasi P. multocida masih dapat dilakukan pada sampel yang diambil 35 jam setelah kematian hewan, tetapi sesudah itu adanya kontaminasi oleh bakteri kontaminan (terutama Proteus sp.) sangat menyulitkan usaha isolasi (PRIadi dan NATALIA, 2000). Sampel sumsum tulang merupakan sampel terbaik, karena dari sampel ini masih dapat dilakukan isolasi bakteri penyebab meskipun sampel telah berumur lama atau lebih dari (3 hari) (PRIADI dan NATALIA, 2000).
Untuk mencegah penyakit ini, Pemda Provinsi NAD juga telah mengalokasikan sejumlah dana yang bersumber dari APBD TK. I dan ABPD TK. II untuk pengadaan vaksin. Program pencegahan terhadap penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi di seluruh kabupaten dengan prioritas di daerah yang banyak dijumpai kasus. Terhadap hewan yang sakit dilakukan pengobatan dengan antibiotik. Potong paksa dilakukan apabila berdasarkan pengalaman tidak mungkin lagi disembuhkan dengan pemberian antibiotika. KESIMPULAN Salah satu kendala dalam melaksanakan program pelayanan kesehatan hewan di Provinsi NAD saat ini adalah terbatasnya informasi kejadian penyakit dari masingmasing Kabupaten/Kota. Terdapat 3 jenis penyakit menular strategis pada ternak ruminansia besar yaitu Brucellosis, Brucellosis dan Septisemia epizootika (SE). Brucellosis terjangkit di Kkabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Banda Aceh dan sebarannya dari tahun ke tahun tidak terjadi perubahan. Teknik diagnosa brucellosis yang telah dilaksanakan adalah dengan uji RBT dan CFT. Program penanggulangan yang telah dilaksanakan adalah dengan cara vaksinasi di daerah tertular, sedangkan program pemotongan terhadap hewan yang positif belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena menyangkut masalah ganti rugi. Penanggulangan penyebaran penyakit ini melalui pengawasan lalu lintas ternak juga belum dapat dilakukan secara ketat. Salmonellosis terjadi di 5 kabupaten/kota yang terdiri dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Tengah, Aceh Timur dan kota Banda Aceh. Pada tahun 2001 kejadian penyakit hanya terjadi di 2 kabupaten/kota yang terdiri dari Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Timur. Penyebaran penyakit SE di NAD berjangkit sesuai arus lalu lintas ternak dan arah arus sungai. Pada tahun 2005 SE berjangkit di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Simeulu. Pada tahun 2001 wabah tersebut terjadi di Aceh Barat, Aceh Tenggara dan Simeulu. Pada tahun 1988 wabah SE terjadi di
119
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Barat dan Aceh. Data terakhir menunjukkan bahwa sebaran penyakit tersebut saat ini terjadi di daerah barat dan selatan. Program pencegahan terhadap penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi di seluruh kabupaten dengan prioritas di daerah yang banyak dijumpai kasus. Terhadap hewan yang sakit dilakukan pengobatan dengan antibiotik. Potong paksa dilakukan apabila berdasarkan pengalaman tidak mungkin lagi disembuhkan dengan pemberian antibiotika. DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 1994. Annual Report. Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia in Indonesia. Aciar Project No. 9202. ALTON, G.G., J. WAW, B.A. REGERSON and G.G. MCPHERSON. 1975. The serological diagnosis of bovine brucellosis: An evaluation of the complement fixation, serum agglutination and Rose Bengal Test. Aust. Vet. J. 51:57-63. BLOOD, D.C. and J.A. HENDERSON. 1979. Veterinary medicine. 5th. ed., Bailliere Tindall, London. BUXTON, A. 1957. Salmonellosis in animal. Commonwealth Agriculture Bureax Farnham Royal, Bucks, England. 209 pp. DHARMOJONO. 2001. Limabelas penyakit menular dari binatang ke manusia. Milenia Populer, Jakarta. DINAS PETERNAKAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM. 2005. Laporan Survailance dan Pembuatan Peta Penyakit Strategis. DITJENNAK. 1981. Penyakit keluron menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit Menular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dijen Peternakan. Jakarta. EDINGTON, B.H and C.R. DONHAM. 1939. Infection and reinfection experiment with Bang’s disease. J. Agric. Res. 59:609-618. ENRIGHT, F.M. 1990. the pathogenesis and pathobiology of brucella infection in domestic animal. In: K. Nielsen and R. Duncan ed. Animal brucellosis. 1st ed. CRR Press, Boca Raton, Ann Abor, Boston.
120
GRAYDON, R.J., B.E. PATTEN and H. HAMID. 1993. The Pathology of experimental Haemorrhagic Septicaemia in buffalo calves. Proc. of the Fourth International Workshop on Haemorrhagic Septicaemia, Srilangka, 11-15 FEB. 1991:73-81. JOHN, B.C., S.R PALMER and J.M. PAYNe 1988. Salmonellosis in the zoonoses infection transmited from animal to man. British Library Cataloguing in Publication Data. First Published in Great Britanian: 180-182. MANTHEI, C.A., D.E. DETRAY and E.R. GOODE. 1950. Brucella infection in bull and the spread of brucellosis in cattle by artificial insemination. Intrauterine injection. Proc.Book American Veterinary Medical Association. J.Am.Vet. Med. Assoc. 117:106. PLOMMET, M and A.M. PLOMMEt, 1988. Virulence of brucella: Bacterial growth and decline in mice. Annal. Rech. Vet. 19(1): 65-67. PORTILLO, F.G. 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. 1ed. J.W. Cary, J.E. Linz and D. Bhatnagar Ed. Technomic Publising Company, Inc. 851. New Holland Avenue Box 3535. Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7. PRIADI, A. dan LILY NATALIA. 2000. Patogenesis Septicaemia Epizootica (SE) pada Sapi/Kerbau: Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Reisolasi, Deteksi Pasteurella Multocida dengan Media Kultur dan Polymerase Chain Reaction (PCR). JITV. 5(1): 65-71. SRI POERNOMO, R.G. HIRST, ISKANDAR, J.T. EMMINS and S. HARDJOUTOMO. 1984. Salmonella in slaughter animal in Indonesia. Proccedings of the International symposium on salmonella. New Orleans, Lousiana, U.S.A. p 342-343. SUDIBYO, A. 1995. Isolasi dan identifikasi Brucela abortus yang menyerang sapi perah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, 2: 909-914. SUDIBYO, A. 1995. Studi epidemiologi brucellosis dan dampaknya terhadap reproduksi sapi perah di DKI Jakarta. JITV. Puslitbang Peternakan,. 1(1): 31-36.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
SUDIBYO, A. 1995. Studi patogenisitas Brucella abortus isolat lapang pada sapi perah sedang bunting. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan,. 2: 903908. SUDIBYO, A., P. RONOHARDJO, B. PATTEN dan Y. MUKMIN. 1991. Status Brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. Balai
WATTS, H.D. 1983. Handbook of medical treatment. Seventeenth ed. Watts H.D. Ed. Jones Medical Publication, Greenbrae, California. WIRYOSUHANTO, S.D. 1993. Sistem kesehatan hewan dalam era tinggal landas. Rapat Konsultasi Teknis Nasional Direktorat Jendral Peternakan, Cisarua, 5-8 Januari 1993. hlm 20.
SUHIJAN, MAHMUD A.GANI dan M. GUNAWAN. 1989. Aspek epidemiologi penyakit ngorok/SE di Daerah Istimewa Aceh tahun 1988. Buletin Veteriner. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah I. Direktorat Jenderal Peternakan, Proyek Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Propinsi Sumatera Utara. 41: 1-8.
121