POLA PENGEMBANGAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DARWIS EFFENDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Darwis Effendi NIM:D051060171
ABSTRACT DARWIS EFFENDI. Pattern of Development Area of Beef Cattle at Aceh Besar District in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under direction of ASNATH MARIA FUAH, RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI. Aceh Besar district have not been able to provide a source of livestock breeds and going to meet the needs of beef cattle fattening business people, so that the dependence of the provision of livestock breeds and going from outside the area is very high. One of the potential of livestock sub-sector, especially beef cattle farms suitable for development in Aceh Besar district is breeding beef cattle. This study aims to identify the potential and pattern of development of the area of beef cattle in the district of Aceh Besar Aceh. The research was carried out on beef cattle breeding areas in Aceh Besar district, which was held in May to July 2011 through the collection data by the survey method of 280 Bali cattle and 72 farmers. The data in the form of farmer characteristics, technical and management areas of livestock farming systems were analyzed descriptively. Participation, knowledge and motivation of farmers using the Mann-Whitney test. Bali cattle body weight was measured through estimation by the method of regression analysis. The pattern of development area of beef cattle in the Aceh Besar district formulated using SWOT analysis. Based on the analysis of increasing population could reach 285.9, 225.3, 54.3, and 2 Animal Unit (AU) for each village at Saree Aceh, Sukamulia, Data Gaseu, and Bareuh. The interviews show that in general maintenance of the system using semi-intensive systems and the need for livestock feed entirely dependent on the forage consumed by livestock itself. Data characteristics of farmers on the location of the study showed that most (> 85% of respondents) breeder age ranged from 15-55 years, while over 55 years less than 15%. Farmer education levels varied, with dominated by primary (57-76%). Principal jobs as farmers and ranchers are the cultivation of cattle as a sideline business. Experience the majority of farmers still less than 5 years. Score value of knowledge, motivation and participation of cattle ranchers in Aceh Besar district showed that the breeder has a score value which is still low (<25.0) on the program area of beef cattle for breeding. The increase in population is still minus the percentage of births is still quite low and the percentage of mortality is still high enough. Bali cattle body weight for nearly every age category and gender is still low, mainly due to the management of livestock farming so productivity Bali cattle is not optimal. Development programe of the area of beef cattle in the future need to consider the quality of human resources and socio-economic conditions of farmers in developing goals. Development of the area of beef cattle in Aceh Besar district for planning and program implementation can be done by UPTD Ruminant Livestock Husbandry Department of the Aceh Besar district includes the active role of livestock farmers in a participatory manner with the priority scale. Keywords: Beef cattle, pattern of development area, Kabupaten Aceh Besar
RINGKASAN DARWIS EFEENDI. Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh ASNATH M. FUAH, RUDY PRIYANTO, dan EDDIE GURNADI.
Kabupaten Aceh Besar belum mampu menyediakan sumber ternak bibit dan bakalan sapi potong untuk memenuhi kebutuhan usaha penggemukan rakyat, sehingga ketergantungan penyediaan ternak bibit dan bakalan dari luar daerah sangat tinggi. Salah satu potensi subsektor peternakan khususnya peternakan sapi potong yang cocok untuk dikembangkan di Kabupaten Aceh Besar adalah pembibitan sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi potensi dan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini dilakukan pada kawasan pembibitan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar, yang dilaksanakan selama bulan Mei sampai Juli 2011 melalui pengumpulan data dengan metode survey terhadap 280 ekor sapi Bali dan 72 petani ternak. Data karakteristik peternak, teknis manajemen kawasan dan sistim budidaya ternak dianalisis secara deskriptif. Partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak menggunakan metode uji Mann-Whitney. Bobot tubuh sapi Bali diukur melalui pendugaan dengan metode analisis regresi. Pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dirumuskan menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan analisis peningkatan populasi dapat mencapai 285.9, 225.3, 54.3, dan 2 ST masing-masing untuk desa Saree Aceh , Sukamulia, Data Gaseu, dan Bareuh. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada umumnya sistem pemeliharaan menggunakan sistem semi intensif dan kebutuhan pakan ternak seluruhnya tergantung pada hijauan yang dikonsumsi oleh ternak itu sendiri. Data karakteristik peternak pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (>85% responden) umur peternak berkisar antara 15 – 55 tahun, sedangkan di atas 55 tahun kurang dari 15%. Tingkat pendidikan peternak beragam, dengan didominasi oleh tingkat SD (57 - 76%). Pekerjaan pokok peternak adalah sebagai petani dan usaha budidaya sapi sebagai usaha sambilan. Pengalaman peternak sebagian besar masih kurang dari 5 tahun. Skor nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak sapi potong di Kabupaten Aceh Besar menunjukkan bahwa peternak memiliki nilai skor yang masih rendah (< 25,0) tentang program kawasan sapi potong untuk pembibitan. Kenaikan populasi masih minus dengan persentase kelahiran masih cukup rendah serta persentase kematian masih cukup tinggi. Bobot badan sapi Bali untuk hampir semua kategori umur dan jenis kelamin masih rendah, terutama disebabkan oleh tatalaksana budidaya ternak sehingga prodktivitas sapi Bali tidak optimal. Program pengembangan kawasan sapi potong dimasa yang akan datang perlu mempertimbangkan kualitas SDM dan kondisi sosial ekonomi peternak dalam tujuan pengembangan. Pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar untuk perencanaan dan pelaksanaan program dapat dilakukan oleh UPTD Ternak Ruminansia Besar Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar dengan mengikut sertakan peran aktif petani ternak secara partisipatif dengan skala prioritas. Kata kunci: sapi potong, pola pengembangan kawasan, Kabupaten Aceh Besar
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan Atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
POLA PENGEMBANGAN KAWASAN SAPI POTONG DI KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DARWIS EFFENDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nama
: Darwis Effendi
NIM
: D051060171
Program Studi/Mayor
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S Ketua
Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota
Prof (Em). Dr. Drh. R. Eddie Gurnadi Anggota
Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Tanggal Ujian: 29 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi magister ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini ialah kajian pengembangan kawasan sapi potong dengan judul: “Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nangrroe Aceh Darussalam”. Terima kasih dengan segala hormat penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S, Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Prof (Em) Dr. Drh. R. Eddie Gurnadi serta Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA atas segala bimbingan, saran dan motivasi yang selalu diberikan dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis limpahkan untuk ibunda yang tak henti-hentinya memberi dukungan moril dan materil, terkhusus untuk Qwantinova “istriku”, Najla dan Assyifa “buah hatiku” atas do’anya dengan segenap kesabaran dan kebesaran hati telah menjadi sumber kekuatan. Kepada rekan-rekan pascasarjana peternakan khususnya PTK 06 dan 07 serta Supriadi, terima kasih atas semangat kebersamaan selama studi dan segala bantuan administrasi yang diberikan selama menjalani studi. Tak lupa pula terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Aceh Besar atas biaya dan kesempatan yang diberikan selama menempuh studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Darwis Effendi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 April 1974 di Langsa, Aceh Timur. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan (Alm.) T.Aly Basyah dan Nurrasyidah. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Banda Aceh dan lulus seleksi masuk Universitas Syiahkuala melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi/Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiahkuala dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemda Kabupaten Aceh Besar dan ditempatkan pada instansi Dinas Peternakan sebagai staf. Pada tahun 2006, atas bantuan biaya pendidikan dari pemda Kabupaten Aceh Besar penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi Ilmu Ternak.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
vi
PENDAHULUAN...……………………………………………….………. Latar Belakang…………………………………………….………… Tujuan Penelitian………………………………………….………… Manfaat Penelitian..…………………………………….……………
1 1 5 5
KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ Produksi Sapi Potong di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.... Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong….….……….… Potensi Pengembangan Sapi Bali…………………………………… Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong di Indonesia…….………… Kawasan Agribisnis Sapi Potong…..……………………..……….… Pendekatan Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi potong…....
9 9 10 14 16 21 22
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………......... Metode Pengumpulan Data dan Responden...………………………. Peubah yang Diamati.....................................................…………….. Analisis Data…………..…………...………………………............... PEMBAHASAN Karakteristik Umum Wilayah Penelitian…………………………….. Kondisi Geografis dan Agrofisik Wilayah.…………………….. Potensi Wilayah……………………………………………….... Karakteritik Kawasan Sapi Potong………………………………… Karakteristik Produktifitas Sapi Bali……………………..……. Daya Dukung Lahan dan Potensi Pengembangan……………… Karakteristik Peternak………………………...….…………….. Teknis Budidaya dan Layanan Peternakan.................................. Tingkat Perkembangan Kawasan Sapi Potong................................... Perkembangan Komponen Kawasan Sapi Potong....................... Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong................................... Identifikasi Faktor Internal – Eksternal........................................ Analisis Faktor Internal – Eksternal ............................................ Alternatif Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong........... Penetapan Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong.......... Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong......................................... Kebijakan dan Program Pengembangan Kawasan Sapi Potong......... SIMPULAN DAN SARAN.………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… LAMPIRAN………………………………………………………………..
27 27 28 28 35 35 39 46 46 50 53 56 59 61 68 69 73 76 81 82 85 97 99 103
DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas penggunaan lahan kawasan pembibitan sapi potong Kabupaten Aceh Besar............................................................................ 3 2. Perhitungan kapasitas tampung menurut Reksohadiprodjo (1985)….…
27
3. Koefisien Satuan Ternak (ST) Ruminansia (Reksohadiprodjo 1985)...... 27 4. Rumus pendugaan bobot badan sapi menurut ukuran tubuh……………. 29 5. Luas Kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah, dan Jantho................... 37 6. Kondisi agrofisik lokasi penelitian........................................................... 39 7. Potensi desa di lokasi penelitian............................................................... 40 8. Kondisi populasi sapi Bali di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar.....
46
9. Performans reproduksi sapi Bali di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar....................................................................................................... 47 10. Rataan bobot sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar................... 49 11. Potensi lahan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar.........................
52
12. Karakteristik peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar........... 54 13. Nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar........................................................................ 55 14. Aspek teknis pemeliharaan dan layanan peternakan di lokasi penelitian................................................................................................ 57 15. Kondisi sarana dan fasilitas peternakan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar............................................................................................ 58 16. Skoring penilaian kawasan sapi potong untuk kriteria pembibitan......... 60 17. Hasil Evaluasi Faktor Internal (IFE)....................................................... 18. Hasil Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)...................................................
73 75
19. Program Jangka Panjang Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar............................................................................................ 92 20. Program Jangka Pendek Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar............................................................................................. 94
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar……………………................... 8
2. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Penggemukan Sapi.........................
18
3. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Pakan..............................................
18
4. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sapi Bakalan melalui IB.................
19
5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong.......................................
20
6. Metode pengukuran ukuran tubuh sapi (Otsuka et al. 1981)…...…...........
30
7. Hamparana kawasan pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak...
36
8. Lahan penggembalaan perorangan yang dipagari desa Cucum kecamatan Kota Jantho...............................................................................................
42
9. Kondisi overgrazing padang penggembalaan di desa Bareuh kecamatan Kota Jantho...............................................................................................
43
10. Kondisi undergrazing padang penggembalaan di desa Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah...................................................................
43
11. Pemberian hijauan pakan pada sistim pemeliharaan semi-intensif............
44
12. Kandang tertutup yang digunakan untuk penggemukan sapi jantan..........
45
13. Kematian Ternak sapi Bali di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar.....
47
14. Proses pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali di lokasi penelitian....
50
15. Jalan usaha tani menuju lokasi kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe dengan kondisi rusak.................................................................................
59
16. Fasilitas Unit Pelaksana Terknis Daerah (UPTD) Ruminansia Besar Kabupaten Aceh Besar.............................................................................
66
18. Kondisi fasilitas peternakan di kawasan Blang Ubo-ubo desa Saree Aceh.......................................................................................................... 19. Rumusan Model Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong...........................
66 81
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi penelitian ………………………….……………..…………... 105 2. Rataan skor kondisi tubuh dan karakterisrik sifat kuantitatif sapi Bali umur ≤ 1 tahun (gigi I0) di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar........... 107 3. Rataan skor kondisi tubuh dan karakteristik sifat kuantitatif sapi Bali umur 1 – 2 tahun (gigi I1) di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar.......... 108 4. Rataan skor kondisi tubuh dan karakterisrik sifat kuantitatif sapi Bali umur ≥ 2 tahun (gigi I2) di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar............. 109 5. Produksi Hijauan Pakan Ternak dan KPPTR di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar.......................................................................................... 110 6. Penilaian Tingkat Perkembangan Kawasan untuk Kriteria Pembibitan pada Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar ............................................. 111 7. Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar............................................................................................................. 112 8. Hasil Penilaian Prioritas Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC di Kabupaten Aceh Besar....................................................... 113
PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah otonomi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai hinterland (daerah penyangga) bagi wilayah andalan ibukota provinsi yaitu Kota Banda Aceh. Sebagai pintu masuk utama menuju Kota Banda Aceh meningkatkan fungsinya menjadi daerah penyangga di sektor pangan, pemukiman, dan transportasi. Peran yang cukup menonjol sektor pertanian dalam struktur ekonomi daerah ditunjukkan dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) sebesar 30.7% dan menyerap tenaga kerja sebesar 41.7% (79 325 orang) dari total angkatan kerja (186 911 orang) pada tahun 2009 (Bappeda Aceh Besar 2010). Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi di Kabupaten Aceh Besar, terkait dengan perannya terhadap pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan serta memacu pengembangan wilayah. Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2009) sektor peternakan mengalami pertumbuhan sebesar 4.97%, terutama dipengaruhi laju peningkatan produksi daging sebesar 6,97% per tahun. Pada tahun 2009 produksi daging di Kabupaten Aceh Besar telah mencapai 2 131.1 ton, dimana sebesar 63% (1 342.6 ton) berupa daging sapi. Sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah sekaligus sentra produksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan sebaran sebesar 16.1% dari total populasi sebesar 688 118 ekor (Dinkeswannak NAD 2010). Potensi usaha sapi potong masih cukup besar di Kabupaten Aceh Besar terkait dengan akselerasi permintaan dan tingginya harga produk, di tingkat peternak berimplikasi terjadinya perubahan yang berorientasi ekonomi. Perubahan pola budidaya pada usaha penggemukan ke arah intensif dengan sistem kereman meningkatkan permintaan input produksi berupa bakalan baik kuantitas maupun kualitasnya. Usaha pembibitan sapi potong masih berjalan secara parsial yang diusahakan oleh peternakan rakyat dengan pola ekstensif sehingga kemampuan penyedian sapi bibit dan bakalan rendah. Saputra (2008) menyatakan dalam usaha pembibitan sapi potong di Provinsi Aceh, kemampuan
peternak lokal menyediakan bibit dan bakalan hanya dapat memenuhi 15 – 20% saja dari keseluruhan kebutuhan. Kekurangan sapi bibit dan bakalan sebesar 80% masih dipasok dari luar daerah, tetapi tidak terjamin kesinambungan karena di daerah tersebut juga terbatas sehingga harga bibit menjadi mahal. Titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah faktor pembibitan dan dalam usaha pembibitan sapi potong rakyat kendala yang ditemui berkaitan dengan rendahnya produktivitas ternak dan petani ternak serta keterbatasan modal usaha. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Aceh Besar berupa penguatan modal kelompok melalui program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). Program yang telah berjalan tersebut masih belum cukup efektif, pola budidaya sapi potong yang tidak terkosentrasi pada suatu lokasi menyebabkan kurang optimalnya fungsi pengawasan dan pelayanan peternakan yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat adopsi teknologi dan redistribusi (perguliran) ternak gaduhan serta kurang berkembangnya kelembagaan petani ternak. Pengembangan peternakan berjalan lambat dan kontribusinya akan kecil terhadap perekonomian suatu daerah apabila masih menggunakan sistim produksi tradisional. Program aplikasi pemerintah ke masyarakat petani ternak belum memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan sapi potong khususnya di wilayah produksi. Perlu adanya perubahan strategi peningkatan populasi ternak. Sebaiknya program pembudidayaan dikonsentrasikan pada suatu wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi ternak dengan pengawasan secara insentif di dalamnya (Daryanto 2007). Perubahan pola usaha pembibitan sapi potong rakyat di Aceh Besar mulai diterapkan pada beberapa kelompok peternak gaduhan pemerintah sejak tahun 2004
melalui
penerapan
lokalisasi
kandang
kelompok,
bertujuan
mengoptimalkan fungsi pelayanan dan produktivitas kelompok. Pengembangan program terus dilakukan dalam mendukung pengembangan wilayah potensial peternakan dan intensifikasi usaha pembibitan sapi potong rakyat. Langkah strategis yang ditempuh pemerintah Aceh Besar pada tahun 2008 yaitu peluncuran program rintisan pembangunan kawasan sapi potong. Konsep kawasan dengan pola Village Breeding Centre (VBC) dipusatkan pada dua lokasi
pengembangan yaitu Blang Ubo-Ubo kecamatan Lembah Seulawah dan Cot Seuribe kecamatan Kota Jantho. Arahan pengembangan adalah sistem pemeliharaan induk dan anak (cow-calf operation) melalui pola penyedian hijauan pakan ternak campuran padang pengembalaan dan pemberian hijauan potongan (cut and carry). Total alokasi sapi bali untuk kedua kawasan tersebut berjumlah 980 ekor yang didistribusikan kepada 13 kelompok ternak dengan total anggota 260 orang yang disertai penyedian sarana penunjang. Areal kawasan pembibitan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar diplotkan seluas 3 560 ha (Tabel 1). Luasan lahan potensial pengembangan kawasan sebesar 8.25% (293.72 ha) di Blang Ubo-Ubo dan 39.37% (1 401.57 ha) di Cot Seuribe berupa padang rumput, alang-alang dan semak belukar (Disnak Aceh Besar 2009). Tabel 1. Luas penggunaan lahan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar Luas Kawasan Penggunaan Blang Ubo-Ubo Cot Seuribe ha % ha % Pemukiman 12.5 2.2 70.3 2.3 Kebun campuran 80.9 14.4 433.7 14.5 Sawah 0 38.8 1.3 Tegalan 1.9 0.3 573.9 19.1 Alang-alang dan padang rumput 340.2 60.8 1 216.4 40.5 Semak belukar 124.5 22.2 667 22.2 Total 560 100 3 000 100 Sumber: Dinas Peternakan Aceh Besar 2009
Kawasan peternakan dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan dan berperan membina unit usaha yang ada menjadi kawasan peternakan berwawasan agribisnis. Optimalisasi peranan kelembagaan dan kemampuan usaha agribisnis petani ternak dilakukan melalui peningkatan populasi dan kapasitas produksi ternak di setiap kawasan sehingga berdampak perbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pengembangan kawasan dilakukan dengan memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan, ternak, dan faktor produksi lainnya berupa tenaga kerja dan modal kerja (Ditjen Peternakan 2001). Pengembangan produksi sapi potong harus dipertimbangkan berbagai aspek penting yang berkaitan dengan sumber daya lokal seperti kondisi agroekologi, daya dukung wilayah, nilai ekonomi, serta faktor kendala melalui
pendekatan wilayah dan proses partisipasi yang disinergikan dengan arahan pembangunan daerah (Deptan RI 2001). Oleh karenanya, dalam mengevaluasi kawasan agribisnis sapi potong diperlukan adanya suatu pedoman evaluasi yang dikembangkan berdasarkan komponen kawasan yang meliputi; lahan, pakan, ternak, teknologi, peternak, tenaga pendamping, fasilitas dan kelembagaan. Indikator komponen kawasan kemudian disusun dan ditetapkan sebagai faktor penentu tingkat perkembangan kawasan (Deptan RI 2002a). Sebagai program rintisan, perkembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar perlu dikaji untuk mengetahui faktor kendala teknis maupun non teknis sehingga dapat dirumuskan solusi perbaikan dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan penelitian yang komprehensif untuk menganalisa berbagai komponen yang terlibat dalam kawasan sapi potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar beserta pengaruh faktor eksternal terhadap produktivitas kawasan. Penentuan faktor kendala dan prioritas tingkat pengaruhnya terhadap perkembangan kawasan menjadi pertimbangan yang menentukan pola pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumberdaya lokal yang tersedia.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi
dan
menganalisa
potensi,
pola
manajemen,
dan
karakteristik produksi kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. 2. Menentukan strategi peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar . 3. Menentukan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk menentukan strategi dan kebijakan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan daya saing produk pertanian serta berperan dalam pelestarian sumberdaya pertanian (Saragih 2000). Kawasan produksi ternak merupakan areal terbatas dengan batas fisik dan administratif yang jelas untuk kegiatan budidaya ternak (pembibitan, pembesaran dan penggemukan), ditunjang oleh sarana produksi memadai seperti pakan, kandang, gudang, dan tempat penjaga kandang yang seluruhnya dikelola oleh manajemen yang tergabung dalam kelompok atau koperasi peternakan (Abdullah 2009). Posisi ternak sesuai fungsi pemanfaatan dan pengembangannya dalam budidaya ada tiga, yaitu ternak sebagai sumberdaya, ternak sebagai komoditas dan ternak sebagai penghasil produk. Ternak sebagai sumberdaya harus dijaga keberadaannya karena dari kelompok ini akan dihasilkan ternak sebagai komoditas yang selanjutnya dari ternak komoditas akan menghasilkan ternak bakalan unggul atau ternak sebagai penghasil produk (Yusdja dan Ilham 2006). Ketiga fungsi ternak tersebut akan lebih efisien dan efektif bila dilaksanakan melalui keterpaduan dalam suatu kawasan peternakan. Kawasan peternakan dalam perkembangannya akan berinteraksi dengan wilayah disekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam melakukan pengembangan kawasan sapi potong rakyat tidak dapat dilakukan secara parsial, juga harus dipertimbangkan interaksi dengan wilayah produksi disekitarnya. Hal tersebut terkait dengan penyebaran penyakit, konflik penggunaan lahan, keamanan, aliran sarana produksi, distribusi dan pemasaran ternak. Perkembangan kawasan sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu dan upaya pengembangan kawasan akan dapat efektif apabila variabel penentu perkembangan kawasan tersebut dapat teridentifikasi secara baik. Sementara variabel penentu secara lebih spesifik saat ini belum terumuskan secara sistematis dan konkrit. Setiap wilayah dapat memiliki kawasan tertentu sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah setempat sehingga kawasan agribisnis peternakan di masing-masing wilayah mempunyai karakteristik dan pola yang sangat beragam (Deptan RI 2002a).
Pengembangan kawasan sapi potong dalam penelitian ini mengandung lima dimensi utama yang terdiri dari wilayah, ternak, sumberdaya manusia, teknis peternakan dan faktor eksternal. Setiap dimensi tersebut memiliki indikator dan kriteria yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi bersangkutan. Indikator wilayah dicerminkan oleh kesesuaian lahan bagi pengembangan produksi sapi potong berupa daya dukung hijauan pakan dan agrofisik wilayah. Indikator ternak dicerminkan oleh tingkat produktivitas ternak dan kontribusi usaha sapi potong. Indikator sumberdaya manusia dicerminkan oleh ketersedian keluarga petani ternak, motivasi dan partisipasi peternak terhadap usaha sapi potong. Indikator teknis peternakan dicerminkan oleh manajemen produksi, ketersedian f asilitas layanan
peternakan
dan
kelembagaan.
Indikator
faktor
eksternal
dicerminkan oleh dukungan kebijakan pemerintah daerah, kelengkapan sarana prasarana penunjang, peluang pasar, kondisi sosial ekonomi dan interaksi dengan wilayah disekitarnya. Penyusunan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat (Gambar 1) dimulai dengan mengidentifikasi lingkungan strategis berupa faktor internal (komponen kawasan) dan faktor eksternal dari kondisi kawasan sapi potong rakyat Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe di Kabupaten Aceh Besar. Analisis lingkungan strategis dilakukan melalui matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation), sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman terhadap perkembangan kawasan tersebut. Selanjutnya disusun suatu formulasi strategi menggunakan matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Penentuan alternatif pola pengembangan kawasan sapi potong meliputi pada empat tipe strategi yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST dan strategi WT. Penentuan prioritas dari alternatif yang dihasilkan ditentukan melalui Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM). Pola pengembambangan kawasan sapi potong rakyat yang menjadi prioritas utama merupakan acuan konseptual untuk penetapan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat berdasarkan pertimbangan setiap faktor internal dan eksternal.
Kondisi Kawasan Sapi Potong Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribee Di Kabupaten Aceh Besar
Komponen Kawasan
Faktor Eksternal
Sumberdaya manusia
Kesesuaian wilayah
Potensi Ternak
Teknis Peternakan
Rumah Tangga Petani (KK), motivasi dan partisipasi peternak
Agrofisik dan Potensi lahan
Produktivitas ternak
Manajemen produksi, fasilitas layanan peternakan dan kelembagaa n
KPPTR
- Kebijakan Potensi Pengembangan Ternak Efektif (PPE)
AHP
pemerintah Tingkat Perkembangan Kawasan SWOT
- Sarana prasarana - Pasar - Sosial budaya
Alternatif Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat QSPM Prioritas Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat
Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Aceh Besar Keterangan : AHP = Analytical Hierarchy Process (Saaty 1993) SWOT = Analisis SWOT (David 2001) QSPM = Quantitative Strategic Planning Matrix (David 2001)
Gambar 1 Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar
TINJAUAN PUSTAKA
Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, peternak rakyat dan swasta. Pemerintah menetapkan kebijakan, memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani ternak berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008). Sebagai negara agraris perkembangan sektor peternakan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai sektor lainnya terutama pada usaha peternakan sapi potong yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pertanian sawah dan ladang serta penyebaran penduduk. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi relatif rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan yang terus meningkat. Kapasitas produksi daging sapi pada tahun 2007 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 5 277.9 ton sedangkan kebutuhannya sebesar 6 877.8 ton, sehingga 1 599.9 ton (23.26%) daging sapi belum terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu pasar daging sapi yang sangat terbuka bagi wilayah lain dan menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi pembangunan sektor peternakan daerah khususnya untuk komoditas sapi potong. Potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat mendukung untuk pengembangan peternakan sapi potong. Pada tahun 2007 potensinya diperkirakan masih dapat menampung ternak sapi sebanyak 2.45 juta ST (Satuan Ternak) dan baru dimanfaatkan sebesar 6.14 ribu ST. Selain itu jumlah penduduk sebesar 4.22 juta jiwa merupakan konsumen yang besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1.1% per tahun, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan serta meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah; (a) masih kurangnya akses
peternak terhadap pemasaran, (b) menurunnya kualitas genetik sapi potong, (c) peternak masih memposisikan diri sebagai pemelihara dengan tenaga kerja yang berasal dari keluarga, (d) kecilnya skala kepemilikan ternak (2 – 4 ekor per keluarga) dengan lokasi yang terpencar,
(e) belum intensifnya pola
pengembangbiakan sapi potong sehingga penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB) serta teknologi transfer embrio masih kurang optimal, dan (f) masih terjadinya pemotongan sapi betina produktif dalam mencukupi kebutuhan daging sapi.
Kondisi
tersebut
mengakibatkan
rendahnya
tingkat
keberhasilan
kebuntingan dan kualitas bibit yang dihasilkan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Saputra 2008). Kondisi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan tidak terlepas dari melemahnya potensi produksi daerah sentra produksi sapi potong, dimana salah satunya adalah Kabupaten Aceh Besar. Sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Besar pertumbuhan populasi sapi potong berfluktuatif selama kurun waktu 2000 – 2009, yakni dari 4.2% (sebelum tahun 2004) menjadi 2.5% (setelah tahun 2004). Melemahnya potensi produksi sapi potong terjadi pada kurun waktu tahun 2004 – 2005, dimana terjadi penurunan populasi sebesar 22% dari sebelumnya sebesar 125 219 ekor (2004) menjadi 97 224 ekor (2005). Kondisi tersebut disebabkan hilangnya ternak sapi masyarakat yang cukup besar dampak bencana tsunami yang terjadi di Kabupaten Aceh Besar pada akhir tahun 2004 (Dinkeswannak NAD 2010).
Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong Kendala dan peluang pemeliharaan sapi potong di suatu wilayah harus memperhatikan tiga faktor, yaitu faktor teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian sistem reproduksi yang berkesinambungan,
ditunjang
oleh
kemampuan
manusia,
dan
kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial dimaksudkan eksistensi teknis ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Faktor lainnya secara
eksternal di antaranya; infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah (Santosa 2001). Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan kepadatan teknis ternak yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak (ST) ternak herbivora saja. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya, maka berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Dari angka kepadatan teknis maka akan didapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan ternak akan bergantung kepada: (1) derajat kesuburan tanah, (2) iklim, (3) tataguna tanah, dan (4) topografi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak saja yang
diperhitungkan,
misalnya
tanah
pertanian,
perkebunan,
padang
penggembalaan dan sebahagian dari kehutanan (Natasasmita dan Mudikdjo 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa, ketersediaan air juga harus diperhitungkan dalam usaha peternakan sapi potong. Sapi yang kekurangan air menyebabkan aktivitas sel-sel tubuhnya akan terganggu
sehingga tubuh sakit dan
pertumbuhannya akan terganggu. Kebutuhan air bagi tiap ekor sapi dewasa diperhitungkan berkisar 40 liter sehari dan di padang penggembalaan diusahakan jarak mencapai sumber air tidak lebih dari 1.6 km agar sapi tidak terlalu letih. Subagio dan Kusmartono (1988) menyatakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas tampung ternak terutama berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembalaan yaitu: 1. Penaksiran kuantitas produksi hijauan, dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran bujur sangkar. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara acak, ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5 - 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
2. Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF masing-masing adalah 25 – 30 %, 40 – 45 %, dan 60–70 %. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan karena: (a) Erodibilitas lahan. Jika lahan mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen, (b) Pola pertumbuhan
kembali
hijauan.
Bila
hijauannya
mempunyai
pola
pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan (c) Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara. Semakin banyak jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100% hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak. 3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan. 4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas, karena hal ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Bibit sapi potong yang baik menurut Wiyono dan Aryogi (2007) harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut : a. Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, sapi PO berwarna putih, sapi Madura berwarna coklat, dan sapi Bali betina berwarna merah bata serta jantan dewasa berwarna hitam.
b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak dengan tingkat pertambahan berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu. c. Ukuran tinggi punuk minimal pada calon bibit sapi potong (indukan dan pejantan) mengacu pada standar bibit populasi lokal, regional atau nasional. d. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan (terjadi pada sapi yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi pada sapi tetua atau pada sapi keturunannya). e. Untuk pejantan, testis sapi umur diatas 18 bulan harus simetris (bentuk dan ukuran yang sama antara skrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya melebihi 32 cm (32 – 37 cm). f. Kondisi sapi sehat yang diperlihatka dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat ditularkan melalui aktivitas reproduksi. Usahatani sebagai suatu sistem dalam pendekatannya ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, adalah struktur dari sistem tersebut dan kedua, fungsi dari komponen-komponen pembentuk sistem itu sendiri. Dalam fungsinya sebagai sistem usahatani, ternak akan berintegrasi dengan lahan, komoditi lain yang diusahakan dan dengan petani sebagai pengelola usaha tani. Interaksi ternak dengan petani, mencakup empat aspek penting yaitu: (a) keserasian ternak dengan tujuan petani, (b) kesenangan petani dan ketrampilannya memelihara ternak, (c) kemampuan petani dari segi waktu dan tenaga kerja pemelihara, dan (d) keadaan sosial budaya lingkungan setempat (Siregar 1997). Partisipasi merupakan kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi dalam pembangunan adalah peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik berupa pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukkan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, materi serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Rakhmat 2000).
Persoalan biaya memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan dari suatu usaha. Secara umum biaya produksi dimaksudkan sebagai jumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi suatu usaha. Penerimaan usahatani atau disebut juga sebagai pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu perhitungan yang biasa digunakan adalah setahun Ukuran ini juga merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan dalam usaha tani (Soekartawi et al. 1986). Pendapatan bersih usaha tani (net farm income) dibedakan menjadi dua katagori. Katagori pertama adalah pendapatan tunai usaha tani yang merupakan selisih antara penerimaan total (total cash income) dengan biaya tunai total (total cash expense), pendapatan tunai ini masih disesuaikan dengan beberapa pengeluaran non tunai seperti penyusutan dan per ubahan investasi. Sebagai katagori kedua adalah pendapatan bersih usahatani (net farm income) yang merupakan hasil penyesuaian (pengurangan) antara pendapatan tunai dengan biaya non tunai (Kay 1981).
Potensi Pengembangan Sapi Bali Sapi potong di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa rumpun berdasarkan habitat wilayahnya antara lain adalah sapi Bali, Peranakan Ongol (PO), Sumba Ongol (SO), Madura, Aceh, Pesisir dan Brahman. Hardjosubroto (1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan karena didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo (1992) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali di berbagai wilayah Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.
Peranginangin (1990) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian pedet sebesar 11.18% umumnya akibat terserang penyakit Jembrana, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang sama memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7.26% terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang cukup baik yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994) memperoleh calving interval sebesar 14 – 15 bulan, sedangkan Tanari (1999) memperoleh calving interval sebesar 12.19±0.06 bulan dikarenakan manajemen reproduksi yang dilaksanakan di Bali cukup baik yakni umumnya perkawinan dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan ditunjang oleh biologi reproduksi sapi Bali yang cukup baik dimana fertilitasnya tinggi sekitar 83%. Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60% (Maryono dan Romjali 2007). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai (Andini et al. 2007). Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70% dan pakan yang baik adalah murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai ternak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan ternak serta lingkungan (Maryono dan Romjali 2007). Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama pada jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu : (1) lama bunting yang panjang, (2) panjangnya interval dari melahirkan sampai estrus pertama, (3) tingkat konsepsi yang rendah, dan (4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak sebagian besar (95%) dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Adanya perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak di suatu wilayah dipengaruhi oleh
keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi (Toelihere 1983). Melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu diperhatikan dan menghitung dengan tepat jumlah sapi Bali yang dapat dikeluarkan agar tidak mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah (Putu et al. 1997). Out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi oleh natural increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di daerah tersebut (Hardjosubroto 1994).
Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong Di Indonesia Budidaya sapi potong merupakan suatu kegiatan pemeliharaan sapi potong secara terkontrol untuk tujuan produksi yang terdiri dari usaha pembibitan dan usaha penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti (replacement stock) dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Sedangkan penggemukan sapi bertujuan untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar (Deptan RI 2002a). Basis pembibitan sapi potong di Indonesia adalah pembibitan rakyat yang cirinya tidak terstruktur, skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) yang umumnya terintegrasi dengan kegiatan lain. Problem yang dihadapi usaha pengembangan peternakan rakyat adalah ketepatan pengalokasian sumberdaya, termasuk pengalokasian jenis ternak kepada suatu daerah dan peternak dengan kondisi yang sangat beragam. Selama struktur produksi di
dominasi oleh usaha skala kecil yang berorientasi pada usahatani keluarga, maka program pengembangan ternak rakyat harus didasarkan pada pendekatan sistem pertanian secara menyeluruh dengan pendekatan keilmuan, terpadu dan spesifik lokasi, dimana petani hidup dan bekerja (Sabrani et al. 1981). Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu ; (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam “Sapta Usaha Peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, dan (3) pendekatan agribisnis dengan tujuan: mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran (Gunardi 1998). Pengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu: 1) pengembangan potensi ternak dan bibit temak, 2) pengembangan pakan ternak, 3) pengembangan teknologi budidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait dengan sanitasi dan kesehatan ternak serta peningkatan industri
dan pemasaran hasil peternakan,
pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan pengembangan
peternakan
(Sudardjat
2000).
Kebijakan
pembangunan
peternakan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak melalui pengembangan kawasan dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, sentra peternakan yang sudah ada dan kawasan di setiap kabupaten, kotamadya, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan peternakan rakyat, sudah saatnya diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem agribisnis (BAPPENAS 2004). Model meningkatkan
pembangunan produksi
dan
peternakan
yang
pendapatan
dapat
petani
digunakan
ternak
serta
untuk asas
industrialisasi peternakan sapi potong yaitu: (a) penyediaan bakalan; (b) pengembangan plasma nuftah; (c) pengembangan bapak angkat; (d) pengembangan pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat); (e) Pola Mitra Usaha; (f)
pengembangan pola koperasi; (g) pengembangan pola imbal beli; (h) pengembangan sistem bina renteng; (i) pengembangan pola Sumba Kontrak; (j) pengembangan dengan sistem bagi hasil; (k) pengembangan melalui pembinaan pasar (Tawaf 1993). Usaha penggemukan sapi potong sangat tergantung pada ketersediaan sapi bakalan, pakan dan teknologi tepat guna. Model usaha sapi potong yang telah diperkenalkan dan masih relevan diterapkan adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) sapi potong (Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004) dan Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong (Gurnadi 2004), dijelaskan sebagai berikut : 1). PIR Penggemukan Budidaya (penggemukan) sapi potong diselenggarakan dalam bentuk kerjasama diantara perusahaan Inti yang menyediakan sarana produksi, penggolahan dan pemasaran, dengan peternak plasma sebagai pelaksana budidaya seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Penggemukan Sapi KERJASAMA PERUSAHAAN & PETERNAK PERUSAHAAN INTI
SAPRODI
AGRIBISNIS BUDIDAYA PENGOLAHAN
- Bakalan - Pakan -Teknologi
PEMASARA N
Pengolahan
DOMESTIK (Substitusi Impor)
RPH
EKSPOR
Kerjasama
PETERNAK PLASMA
Penggemukan
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
2). PIR Pakan Pola kerjasama dimana plasma menyediakan pakan ternak bagi usaha penggemukan sapi yang dilakukan oleh perusahaan inti, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Pakan KERJASAMA PERUSAHAAN & PETERNAK PERUSAHAAN INTI
SAPRODI - Bakalan - Pakan -Teknologi
AGRIBISNIS BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN Feed-Lot Fattening 4-6 bulan
Pengolahan
DOMESTIK (Substitusi Impor)
RPH EKSPOR
Kerjasama PETERNAK PLASMA
Pakan
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
3). PIR Sapi Bakalan PIR Sapi Bakalan adalah pola kerjasama perusahaan Inti dengan peternak sebagai plasma dimana plasma mendapat pelayanan dan bimbingan dari Inti untuk memproduksi sapi bakalan, sedangkan Inti memberikan pelayanan melalui Inseminasi Buatan (IB) atau Embryo Transfer (ET) seperti ditunjukkan Gambar 4. Gambar 4. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sapi Bakalan melalui IB KERJASAMA PERUSAHAAN & PETERNAK PERUSAHAAN INTI
SAPRODI
AGRIBISNIS BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN
- Bakalan - Pakan -Teknologi
Pengolahan
RPH
Kerjasama
PETERNAK PLASMA
Bibit
Anak JTN Digemukkan Anak BTN Bibit
Sumber: Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004
DOMESTIK (Substitusi Impor) EKSPOR
4). Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong Subsistem V I Subsistem V
Subsistem IV
Subsistem III
Subsistem II
Subsistem I
Keterangan : Subsistem I = Pusat R & D dan penyalur Input Modern Subsistem II = Produser PRIMER (Peternak Mitra, Peternak Rakyat) Subsistem III = Produsen Primer Plus (“Feed-Lotter”) Subsistem IV = Produsen Sekunder (RPH) Subsistem V = Produsen Sekunder Plus (pabrik pengolah dan konsumen antara) Subsistem VI = Subsistem Tersier (konsumen akhir) Sumber : Gurnadi 2004
Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong dibagi menjadi enam subsistem usaha, yang dapat dijelaskan sebagai berikut ;
a. Subsistem I (MB-SS I) merupakan usaha pelayanan pendukung yang menyediakan bibit sapi, bibit tanaman makanan ternak, vaksin, obatobatan, dan sarana lainnya. Selain itu juga merupakan pusat penelitian dan pengembangan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan subsistem lainnya. b. Subsistem II (MB-SS II) merupakan kelompok peternak mitra atau peternak rakyat, sebagai produsen primer yang menghasilkan sapi potongan hasil penggemukan atau sapi bakalan yang dapat dijual ke peternakan inti pada Subsistem III. c. Subsistem III merupakan perusahaan inti yang mempunyai modal cukup. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan adalah menghasilkan sapi bakalan, sapi hasil penggemukan, RPH dan pabrik pengolahan. d. Subsistem IV dan III merupakan satu unit usaha atau unit usaha yang terpisah. e. Subsistem V dan Subsistem VI merupakan pasar.
Kawasan Agribisnis Sapi Potong Pengembangan model kawasan secara ekonomi merupakan upaya efisiensi kegiatan usaha dalam suatu ruang ekonomi tertentu melalui konsentrasi kegiatan atau aglomerasi. Aglomerasi dimaksudkan untuk memperoleh manfaat antara lain; (1) memaksimumkan keuntungan usaha karena berbagai kegiatan berada pada satu lokasi yang terjangkau; (2) memaksimumkan pelayanan fasilitas sehingga dapat menekan biaya transportasi; (3) lebih menjamin keterkaitan agribinsis hulu-hilir; dan (4) memudahkan koordinasi dan pembinaan pelaku/pengelola. Manfaat aglomerasi dapat diwujudkan apabila; (1) proses produksi dilakukan secara efisien; (2) pelayanan fasilitas dilakukan seefisien dan seefektif mungkin; (3) terjaminnya pasokan bahan baku, distribusi, dan kualitas produk; dan (4) adanya sistem pembinaan yang kondusif (Deptan RI 2002a). Kawasan peternakan merupakan suatu kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung dan
suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah kawasan peternakan yang berorientasi ekonomi dan memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun hilir (Deptan RI 2002b). Komponen-komponen pembentuk kawasan peternakan sapi potong yang menjadi indikator penentuan suatu bentuk kawasan meliputi lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan petugas pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Deptan RI 2002a). Menurut Bappenas (2004), dipandang dari segi potensi agroekosistem dan tingkat kemandirian kelompok, kawasan peternakan bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga macam kawasan itu adalah merupakan tahapan pengusahaan pengembangan kawasan peternakan rakyat. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kawasan Peternakan Baru Kawasan ini dikembangkan dari daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Petani telah memiliki usaha tani lain terlebih dahulu, atau belum memiliki usaha apapun di sektor agribisnis. Demikian pula kelompok petaninya juga belum terbentuk, kalaupun sudah ada tapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Lahan cukup luas dan bahan pakan cukup potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Peran pemerintah diperlukan dalam bentuk pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Peternakan Binaan Kawasan ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru, setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan.
Daerah
atau
wilayah
telah
berkembang
sesuia
dengan
perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompo tani dari kelompok pemula menjadi kelompok madya, dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Kerjasama antar kelompok tani sudah mulai dirintis, dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Demikian pula unit-unit pelayanan,
unit-unit pengembangan sarana dan unit-unit pemasaran sudah mulai dibangun. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan sudah mulai berkurang. 3. Kawasan Peternakan Mandiri Kawasan ini merupakan pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan, yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang lebih luas. Kelompok tani telah meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerja sama dengan beberapa kelompok lain dalam wadah KUBA. Bahkan telah dikembangkan beberapa KUBA yang satu sama lainnya saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA, dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Unitunit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi, dan unit-unit pemasaran telah berkembang sangat efisien, sedemikian hingga ada kemandirian para petani, kelompok petani, KUBA, dan kawasan. Pada tahap ini, peran pemerntah tinggal hanya pengaturan dan pengawasan.
Pendekatan Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck and Jauch 1994). Manajemen strategi didefinisikan
sebagai
seni
dan
pengetahuan
merumuskan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi (David 2001). Analisis SWOT adalah alat pengidentifikasian berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu usaha (kegiatan). Berdasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), yang secara bersamaan meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu usaha. Dengan demikian perencanaan strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor internal dan eksternal dari suatu usaha dalam kondisi saat itu yang disebut dengan Analisis Situasi (Rangkuti 2006). Problem sistem tidak semuanya dapat dipecahkan hanya melalui komponen yang terukur. Komponen yang tidak terukur sering mempunyai peranan yang cukup besar. Untuk mengevaluasi nilai sosial dalam masyarakat yang kompleks diperlukan suatu metode yang cocok yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan adanya interaksi antara judgment dengan fenomena sosial itu. Proses hirarki analitik (PHA) dapat digunakan untuk memecahkan
problema
yang
terukur
maupun
yang
memerlukan
judgement (Saaty 1993). Selanjutnya disebutkan bahwa prinsip dasar PHA ke dalam langkah penyusunan matriks pendapat meliputi analisis persoalan, penyusunan hirarki, komparasi berpasangan, sintesa prioritas dan pemeriksaan konsistensi. Teknik perumusan strategi yang dikembangkan oleh David (2001), memiliki tiga tahap pelaksanaan dan menggunakan matriks sebagai model analisisnya yang meliputi : 1. Tahap Input Tahap pemasukkan informasi yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal dan matriks evaluasi faktor internal. 2. Tahap Pencocokan Tujuan tahap pencocokan adalah menghasilkan strategi alternatif yang layak, bukan untuk menetapkan strategi mana yang terbaik. Tahap pencocokan dari kerangka kerja perumusan strategi digunakan matriks SWOT. Penggunaan matriks SWOT sangat ditentukan oleh informasi yang diperoleh dalam tahap input untuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan dan kelemahan internal. 3. Tahap Keputusan Tahapan keputusan dilakukan dengan menggunakan Quantitative Strategies Planning Matrix (QSPM) atau Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif.
Secara konseptual tujuan QSPM adalah untuk menetapkan daya tarik relatif (relative attractiveness) dari variasi strategi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi yang dianggap paling baik guna diimplementasikan dengan menggunakan penilaian intuitif dalam menyeleksi strategi alternatif tersebut menggunakan informasi dari tahap input dan tahap pencocokan. Tawaf (1993) menyebutkan ada empat strategi dasar pengembangan sapi potong, yaitu: 1. Strategi Agresif. Pada kondisi peluang dan kekuatan yang tinggi seluruh potensi diarahkan untuk mengembangkan peternakan. Pada keadaan ini, pengambil keputusan secara aktif dapat menetapkan keputusannya untuk mengembangkan peternakan sapi potong karena iklim usaha sangat mendukung. 2. Strategi Diversifikasi. Kondisi kekuatan dan ancaman yang tinggi dihadapkan pada dua hal yang kontradiktif. Perlu dilakukan beberapa alternatif pengembangan bila altematif pertama gagal, maka alternatif berikutnya dapat menutupi kegagalan tersebut. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan daging perlu dikembangkan berbagai bentuk usaha ternak sapi potong. 3. Strategi Berbalik. Pada kondisi peluang dan kelemahan yang tinggi memerlukan paling sedikit dua kebijakan yang bertolak belakang. Bila pemenuhan kebutuhan daging dilakukan dengan pengembangan perusahaan peternakan
menghadapi
kegagalan,
maka
alternatifnya
adalah
mengembangkan peternakan rakyat dengan skala kecil atau semula dengan sistem feedlot oleh perusahaan, berbalik menggunakan sistem kreman yang dilakukan oleh rakyat. Pada kondisi ini diperlukan perlindungan kebijakan pemerintah, introduksi modal dan teknologi yang memadai. 4. Strategi Defensif. Pada kondisi kelemahan dan ancaman yang tinggi perlu dilakukan strategi defensif. Artinya campur tangan pemerintah sangat diperlukan terutama mengenai permodalan serta teknologi baru.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Kawasan Sapi Potong Pola VBC (Village Breeding Centre) di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meliputi; (1) Kawasan Blang Ubo-Ubo, yaitu desa Saree Aceh dan Suka Mulia Kecamatan Lembah Seulawah, dan (2) Kawasaan Cot Seuribe, yaitu desa Bareuh di Kecamatan Kota Jantho dan desa Data Gaseu di Kecamatan Seulimum (lampiran 1). Penelitian dilakukan selama tujuh bulan dengan tahapan: persiapan selama dua bulan (Januari – Maret 2011); pengumpulan data selama tiga bulan (April – Juni); analisis data dan penulisan (Juni – Juli 2011).
Metode Pengumpulan Data dan Responden Penelitian ini menggunakan metode survei, yakni; wawancara dengan peternak responden, dan observasi langsung di lokasi penelitian. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yakni; peternak yang terlibat dalam program kawasan sapi potong di Aceh Besar, memiliki pengalaman beternak, dan merupakan anggota kelompok aktif. Pengamatan dilakukan untuk melihat sistim pengelolaan kawasan dan budidaya ternak di lokasi penelitian. Untuk pengukuran sampel yang dilakukan yaitu; ukuranukuran tubuh sapi potong, dan produksi hijauan pakan ternak di kebun rumput, padang pengembalaan dan alang-alang. Wawancara menggunakan daftar pertanyaaan (kuisioner) terhadap responden yang terkait kegiatan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar yaitu; anggota kelompok berjumlah 71 orang, dan unsur pelaku (stakeholders) yang terlibat pada program kawasan. Data yang dikumpulkan mencakup data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari Potensi Desa (PODES), Bappeda Kabupaten Aceh Besar, Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi NAD, dan hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder tersebut meliputi; (1) karakteristik wilayah, (2) populasi ternak ruminansia, (3) kelembagaan, (4) fasilitas layanan peternakan dan sarana prasarana penunjang, dan (5) kebijakan pemerintah daerah. Data primer meliputi: (1) produktivitas ternak sapi potong,
(2) produksi hijauan pakan ternak di padang pengembalaan, kebun rumput, dan alang-alang, (3) karakteristik peternak, dan (4) manajemen kawasan dan budidaya ternak.
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati berupa karakteristik kawasan dan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar, yaitu: 1. Karakteristik wilayah meliputi; iklim, jenis tanah, topografi, sistem penggunaan lahan, luas lahan pangan, nisbah lahan pangan terhadap penduduk, kapasitas tampung ternak, dan potensi pengembangan ternak efektif.. 2. Karakteristik produktivitas ternak yaitu; struktur populasi, kondisi ternak, dan bobot badan menurut umur dan jenis kelamin. 3. Karakteristik peternak meliputi; umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, jumlah anggota keluarga dan rumah tangga petani ternak serta pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak. Pengetahuan adalah pengetahuan peternak tentang pengembangan. Motivasi adalah keinginan dan kemauan peternak melakukan kegiatan pengembangan. Partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pengembangan sapi potong baik secara individu maupun kelompok. 4. Teknis peternakan meliputi; pola manajemen kawasan, perkembangan kelompok, pola budidaya, penerapan teknologi reproduksi dan pakan, penanganan penyakit dan kesehatan ternak, dan sarana prasarana peternakan. 5. Faktor eksternal meliputi: kebijakan pemerintah daerah, akses permodalan, sarana prasarana penunjang, peluang pasar, dan sosial budaya.
Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : 1). Analisis kapasitas tampung berdasarkan penaksiran produksi hijauan pakan ternak pada lahan penyedia hijauan pakan ternak dalam kawasan. Pengambilan sampel hijauan melalui metode cuplikan
(ubinan 1x1 m) secara acak sebanyak dua ulangan, berdasarkan pertimbangan homogenitas lahan (komposisi botani, penyebaran produksi, dan topografi). Sampel dipotong lebih kurang 5 – 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya (Subagio dan Kusmartono 1988). Perhitungan kapasitas tampung lahan (Tabel 2) mengacu pada pedoman Reksohadiprodjo (1985) dengan standar Satuan Ternak (Tabel 3) dan kebutuhan pakan satu satuan ternak (1 ST) ruminansia sebesar 10 % dari Bobot Badan berdasarkan bahan segar.
Tabel 2. Perhitungan kapasitas tampung menurut Reksohadiprodjo (1985) Rumus Perhitungan Rataan bobot sampel (kg/m2)
(1)
Jenis Lahan Padang Alang-alang Kebun Penggembalaan Rumput Hasil cuplikan
Produksi hijauan (kg/ha)
(2)
(1) x 104 (m2/ha)
Proper Use Factor (PUF)
(3)
Tingkat penggunaan
Hijauan tersedia (kg/ha)
(4)
(2) x (3)
Kebutuhan hijauan perbulan (kg/ST) (5)
3% (BB ternak) x 30
Kebutuhan lahan perbulan (ha/ST)
(6)
(5) / (4)
Konversi luas lahan pertahun*
(7)
Y =(R/S)+1
Kebutuhan lahan pertahun (ha/ST)
(8)
Y x (6)
Kapasitas tampung
(9
1 / (8)
Keterangan : * Rumus Voisin; Y = ( R / S ) + 1 Y = Angka konversi luas lahan yang digunakan dari per bulan menjadi per tahun S = Lama periode merumput ( 30 hari untuk padang penggembalaan) R = Lama periode istirahat ( 70 hari untuk padang penggembalaan)
Tabel 3. Koefisien Satuan Ternak (ST) Ruminansia Jenis Ternak
Satuan Ternak (ST) Anak
Muda
Dewasa
< 6 Bulan
> 6 Bulan
Sapi
0.25
0.60
1.00
-
-
Kerbau
0.29
0.69
1.15
-
-
-
-
-
0.08
0.16
Kambing dan Domba
Sumber : Reksohadiprodjo 1985
2). Potensi pengembangan ternak ruminansia di suatu wilayah dihitung melalui metode Potensi Pengembangan Ternak Efektif (PPE), mengacu pada pedoman Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak (1995) sebagai berikut: a. PMSL = a LG + b PR + c LH Dimana: PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan (ST). a
= Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan (a = 0.082 ST/ha lahan perkebunan; a = 1.52 ST/ha lahan sawah/tegalan).
LG
= Luas lahan garapan (ha).
b
= Daya tampung ternak ruminansia di padang rumput, alangalang dan kebun rumput (b = berdasarkan hasil analisis kapasitas tampung).
PR
= Luas kebun rumput, padang rumput dan alang-alang (ha).
c
= Daya tampung ternak ruminansia pada lahan hutan dan rawa (c = 2.68 ST/ha lahan hutan/rawa).
LH
= Luas lahan hutan dan rawa (ha).
b. PMKK = a x KK Dimana: PMKK = Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga (ST). KK a
= Jumlah kepala keluarga petani ternak (KK) = Kemampuan rumah tangga petani ternak untuk budidaya sapi potong di padang penggembalaan tanpa tenaga kerja dari luar, a = 15 ST/KK.
c. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) dihitung berdasarkan selisih potensi maksimum dengan populasi riil, dengan asumsi penambahan kapasitas hanya untuk ternak sapi potong, sebagai berikut: KPPTR(SL) = PMSL – Pt KPPTR(KK) = PMKK – Pt Dimana: KPPTR(SL) = KPPTR berdasarkan sumber daya lahan
KPPTR(KK) = KPPTR berdasarkan kepala keluarga Pt d.
= Populasi riil pada saat penelitian
Potensi
Pengembangan
berdasarkan
nilai
Ternak
minimun
Efektif diantara
(PPE)
ditentukan
KPPTR(SL)
dan
KPPTR(KK): KPPTR Efektif = KPPTR(SL), Jika KPPTR(SL) < KPPTR(KK) KPPTR Efektif = KPPTR(KK), Jika KPPTR(KK) < KPPTR(SL)
3). Produktivitas ternak yang dianalisis meliputi karakteristik produksi yaitu kondisi ternak dan bobot badan ternak. Kondisi ternak diperoleh melalui hasil pengamatan. Bobot ternak dewasa dilakukan melalui pendugaan bobot badan dengan menggunakan persamaan (Tabel 4) yang berpedoman pada Rajab (2009).
Tabel 4. Rumus pendugaan bobot badan sapi menurut ukuran tubuh (Rajab 2009) Jenis Kelamin
Gigi
Jantan
I0 I1 I2 I0
- 307 + 2.86LD + 0.14PB + 3.7Lcan + 0.69LbPG - 527.5 + 2.5PB + 0.8LD + 2.57TP + 3.9Lcan - 511.3 + 2.76LD + 2.48LbPG + 1.48PB + 4.2LCan - 275 + 2.17LD + 0.47PB + 300.73Lcan + 0.85LbD
I1 I2
- 332.2 + 2.23LD + 1.53PB + 3.1Lcan - 385.4 + 2.51LD + 1.16TPG + 0.09PB
Betina
Persamaan Regresi
Keterangan : LD = Lingkar dada TP = Tinggi pundak pinggul TPG = Tinggi pinggul PB = Panjang badan Lcan = Lingkar pergelangan kaki (canon)
LbPG = Lebar LbD
= Lebar dada
Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali (Gambar 6) menurut Otsuka et al. (1981) meliputi: 1. Lingkar dada diukur pada bidang yang terbentuk mulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat, menggunakan pita ukur (cm) 2. Tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur (cm).
3. Tinggi pinggul diukur dari bagian tertinggi pinggul tegak lurus sampai ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur (cm). 4. Panjang badan diukur dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) sampai penonjolan tulang duduk (tuber ischii) dengan memakai tongkat ukur (cm). 5. Lebar pinggul diukur jarak dari penonjolan pinggul (tuber coxae) pada bagian kiri dengan bagian kanan tubuh menggunakan kaliper (cm). 6. Lebar dada diukur jarak dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) pada bagian kiri dengan bagian kanan tubuh menggunakan kaliper (cm). 7. Lingkar pergelangan kaki (canon) diukur pada bagian yang ramping dari tulang metacarpus (metatarsus) menggunakan pita ukur (cm).
5 4 3
1
2
6
7 Keterangan :
1. Lingkar dada (cm) 2.Tinggi pundak (cm) 3. Tinggi pinggul (cm) 4. Panjang badan (cm)
5. Lebar pinggul (cm) 6. Lebar dada (cm) 7. Lingkar pergelangan kaki (cm)
Gambar 6. Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi (Otsuka et al. 1981)
4). Analisis motivasi peternak bertujuan membandingkan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak terhadap kegiatan kawasan sapi potong (aspek teknis peternakan), yang ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan dengan kuisioner. Kisaran nilai 1 sampai 5 dan total skor berkisar dari 10 sampai 50 dengan kategori : (1) rendah; untuk responden yang memiliki nilai skor kurang dari 25, (2) cukup; nilai skor 26 – 33, (3) tinggi; nilai skor 34 – 31 dan (4) sangat tinggi; nilai skor 42 – 50. Skor nilai
partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dibandingkan melalui analisis statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney, dengan bantuan software Minitab versi 14.0 (Musa dan Nasoetion 2007).
5). Metode yang digunakan dalam perumusan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah analisis SWOT dengan mengacu pada tahapan teknik perumusan strategi menurut David (2001), meliputi : 1. Tahap Input (The Input Stage) Menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) dan matriks evaluasi faktor internal (IFE) dengan langkah sebagai berikut: (a). Identifikasi Faktor eksternal dan internal Identifkasi faktor eksternal
(peluang dan ancaman) dan internal
(kekuatan dan kelemahan) berdasarkan hasil analisis sebelumnya. (b).Penentuan Bobot dan Peringkat Faktor internal dan eksternal diberikan bobot dan peringkat (rating) dengan bantuan kuisioner. Metode pembobotan terhadap faktor eksternal dan internal adalah proses hirarki analitik sesuai dengan penilaian (judgement) menggunakan skala banding berpasangan (Saaty 1993), dan penyelesainnya dengan bantuan software Expert Choice
2000.
Penentuan
peringkat
faktor
eksternal/internal
digunakan skala nilai peringkat, yaitu: 1 = rendah/sangat lemah, 2 = sedang/lemah, 3 = tinggi/kuat, dan 4 = sangat tinggi/sangat kuat. Nilai peringkat untuk peluang/kekuatan sangat tinggi diberi nilai 4, sebaliknya ancaman/kelemahan sangat besar diberi nilai 1. (c). Nilai bobot x peringkat Nilai bobot dikalikan dengan peringkat akan diperoleh skor setiap faktor yang selanjutnya dijumlahkan sehingga didapatkan skor total. Total skor dikategorikan; kuat (3 – 4), rata-rata (2 – 2.99), dan lemah (1 – 1.99). 2. Tahap Pencocokan (The Matching Stage) Alat analisis yang digunakan adalah Matriks SWOT melalui tahapan:
(a). Memasukkan hasil matriks EFE dan matriks EFE kedalam matriks SWOT (b) Pencocokan antara faktor eksternal dan internal untuk menghasilkan beberapa alternatif pola pengembangan kawasan sapi potong yaitu: pencocokan kekuatan internal dengan peluang eksternal (strategi SO) pencocokan kelemahan internal dengan peluang eksternal (strategi WO) pencocokan kekuatan internal dengan ancaman eksternal (strategi ST) pencocokan kelemahan internal dengan ancaman eksternal (strategi WT) 3. Tahap Keputusan (The Deci sion Stage ) Analisis QSPM yang digunakan, dengan langkah sebagai berikut: (a). Memasukkan hasil dari matriks EFE dan IFE ke dalam QSPM dan memberikan bobot untuk setiap factor. (b). Mengidentifikasi dan memasukkan hasil matriks SWOT kedalam QSPM. (c). Menetapkan nilai daya tarik relatif (AS) dengan memeriksa setiap faktor eksternal dan internal dalam mempengaruhi alternatif strategi pilihan, penentuannya dengan bantuan kuisioner. Nilai daya tarik yaitu; 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = cukup menarik, dan 4 = sangat menarik. (d). Menghitung Total Nilai Daya Tarik (TAS) melalui hasil perkalian bobot dengan nilai daya tarik dalam setiap baris. (e). Menjumlahkan total nilai daya tarik (TAS) dalam setiap kolom QSPM. Nilai TAS dari alternatif yang tertinggi menunjukkan alternatif itu semakin menarik dan menjadi prioritas utama yang ditetapkan sebagai pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Umum Wilayah Penelitian
Kondisi Geografis dan Agrofisik Wilayah Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu wilayah administrasi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada pada posisi geografis 5.2 o – 5.8o Lintang Utara dan 95o - 95.8o Bujur Timur dengan batas aministrasi ; (a) sebelah Utara dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh, (b) sebelah Selatan dengan kabupaten Aceh Jaya, (c) sebelah Timur dengan kabupaten Pidie, dan (d) sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2 974.12 km2 (5.18% dari luas Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam) dengan ibukotanya Kota Jantho meliputi 23 kecamatan, 68 kemukiman dan 601 desa. Letak kabupaten Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan ibukota propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kota Banda Aceh menjadikannya sebagai pintu gerbang utama dan berpeluang tumbuh serta berinteraksi dengan wilayah kabupaten lain. Ketersedian prasarana transportasi darat, udara dan laut yang cukup memadai seperti Jalan Nasional Arteri Primer Banda Aceh – Medan dan Banda Aceh – Meulaboh, Bandara Udara Internasional Iskandar Muda dan Pelabuhan Nasional Malahayati di Kabupaten Aceh Besar menjadikan mobilitas barang dan jasa termasuk hasil produksi pertanian cukup tinggi. Secara umum topografi Kabupaten Aceh Besar bervariasi, meliputi daerah pesisir, dataran rendah, perbukitan sampai pegunungan dengan ketinggian antara 100 – 500 m dpl (meter diatas permukaan laut) lebih mendominasi luas wilayah (42,64%). Berbagai jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar yaitu ; Latosol, Podsolid merah kuning, Hidromorf kelabu, Regosol, Aluvial, dan Komplek podsolid merah kuning. Sebagian besar (31,55 %) jenis tanah adalah podzolit merah kuning, dengan kedalaman (53,46 %) berkisar 30-60 cm. Tingkat erosi tanah termasuk rendah (3,59 %) dengan luas lahan kritis sebesar 32.888 Ha. Kondisi iklim di Kabupaten Aceh Besar sebagaimana umumnya wilayah Indonesia memiliki dua musim, yakni musim kemarau yang berlangsung dari bulan April sampai dengan Agustus dan musim hujan dari bulan September
sampai dengan Februari. Curah hujan berkisar antara 89.8 – 185.4 mm/bulan dengan jumlah rata-rata hari hujan 5 – 24 hari. Wilayah kabupaten Aceh Besar yang didominasi oleh topografi berbukit dan pegunungan umumnya terdapat di kecamatam Lembah Seulawah, Seulimun, Kota Jantho, Kota Cot Glie, Indrapuri, dan Krueng Raya. Kondisi tanah yang kurang subur, curah hujan rendah dan tidak merata, dengan bentang lahan didominasi padang rumput di wilayah tersebut menjadikan kegiatan usaha tani yang dilakukan masyarakat setempat dititikberatkan pada usaha pertanian lahan kering dan budidaya ternak ruminansia dengan sistim penggembalaan.
Gambar 7 Hamparan kawasan pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak
Kabupaten Aceh Besar seperti halnya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sampai saat ini masih relatif rendah tingkat kemampuan pasokan produksi sapi potong, terutama ternak bibit dan bakalan, dan dibandingkan permintaan hasil ternak yang terus meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan daerah Aceh Besar menjadi salah satu pasar hasil ternak yang sangat terbuka bagi wilayah lain. Sehingga menjadikannya tantangan sekaligus peluang yang cukup besar bagi pengembangan sub sektor peternakan khususnya komoditas sapi potong dalam memenuhi konsumsi daging penduduknya. Kabupaten Aceh Besar dalam kebijakan pembangunan regional wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kebijakan nasional pembangunan pertanian sub sektor
peternakan ditetapkan sebagai salah satu sentra pengembangan produksi sapi potong dengan sistim Kawin Alam (KA) dan Kawin Buatan (KB). Kebijakan tersebut lebih menguatkan posisi sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah dan pengembangan sentra sapi potong sebagai salah satu prioritas sasaran dalam kebijakan pembangunan perekonomian di Kabupaten Aceh Besar. Berkaitan dengan potensi lahan menunjukkan sebagian besar dari luasan lahan yang tersedia di Kabupten Aceh Besar,
belum semua termanfaatkan
secara optimal. Luas lahan budidaya tegalan dan ladang yang belum digunakan seluas 464 Ha sedangkan lahan budidaya lainnya mencapai 120.685 Ha. Luas lahan non budidaya berupa alang-alang, tanah tandus, dan rawa yang belum digunakan mencapai 108.420 Ha. Secara administrasi, dari luas 22 kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Besar, kecamatan yang paling luas adalah Seulimum, Lembah Seulawah dan Jantho. Ketiga kecamatan ini memiliki luas sekitar 36% dari luasan kabupaten Aceh Besar yang menunjukkan bahwa wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan usaha peternakan pola kawasan. Luas kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah dan Kota Jantho disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas Kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah dan Jantho Luas No Kecamatan 1 Seulimum 2 Lembah Seulawah 3 Jantho Total 3 Kecamatan Total Kabupaten
2
(km ) 487,26 307,85 274,04 1069,15 2.974,12
(%) 16,38 10,35 9,21 35,94 -
Urutan Terluas dari Seluruh Kecamatan 1 2 3 -
Sumber : Bappeda Aceh Besar (2010)
Ruang lingkup penelitian merupakan wilayah pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar yang meliputi tiga kecamatan, yaitu: Kota Jantho, Lembah Seulawah, dan Seulimum. Ketiga wilayah kecamatan tersebut saling berbatasan langsung, memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan jarak yang bervariasi (antara 5 – 35 km) dengan ibukota Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Aceh
Besar, kecamatan Kota Jantho, Seulimum dan Lembah Seulawah ditetapkan sebagai wilayah pertanian tanaman pangan, palawija, perkebunan dan pengembangan ternak ruminansia dengan pola penggembalaan sehingga menjadikan wilayah tersebut sebagai sentra produksi sapi potong di Kabupaten Aceh Besar (Bappeda Aceh Besar 2006). Upaya pengembangan sapi potong yang dilakukan pemerintah Kabupaten Aceh Besar melalui pembentukan kawasan sapi potong rakyat yang berlokasi di enam desa. Pengembangan kawasan sapi potong rakyat yang dilaksanakan mulai tahun 2008 dibangun pada dua area (kawasan), yaitu : Blang Ubo-ubo (desa Saree Aceh dan Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah) dan Cot Seuribe (desa Rabo dan Data Gaseu kecamatan Seulimum serta desa Cucum dan Bareuh kecamatan Kota Jantho). Pemilihan bangsa sapi Bali pada kawasan sapi potong merupakan
langkah
yang
dilakukan
pemerintah
Aceh
Besar
dalam
pengembangan ternak lokal. Menurut Handiwirawan dan Subandriyo (2006), sapi Bali merupakan sapi lokal (asli) Indonesia yang mempunyai kemampuan beradaptasi dalam lingkungan iklim tropis dan dengan kondisi ketersediaan pakan berkualitas rendah. Sampai dengan bulan Mei tahun 2011 kawasan sapi potong yang masih aktif melaksanakan budidaya pemeliharaan sapi potong meliputi empat desa yaitu desa Saree Aceh, Sukamulia, Data Gaseu, dan Bareuh. Pada kawasan Cot Seuribe sebagian besar tanah terdiri dari pasir sedangkan di Blang Ubo-ubo adalah tanah liat. Tekstur tanah di Cot Seribe umumnya lempung liat berdebu dan lempung berpasir dan di Blang Ubo-ubo umumnya liat. Sifat tanah yang penting dalam hubungannya dengan pencegahan erosi adalah daya serap terhadap infiltrasi air hujan sehingga drainase harus diselenggarakan dengan baik. Kondisi tersebut tergantung pada tekstur tanah, struktur tanah, porositas tanah, dan kandungan tanah akan bahan-bahan organik. Tanah berpasir dengan tekstur halus akan mudah terkena erosi karena agregatnya terbatas dan tidak stabil sehingga berdampak pada cepatnya pencucian unsur hara tanah oleh air. Tekstur tanah mempengaruhi tingkat erosi tanah. Sebagaiman yang ditunjukkan pada Tabel 6 yang menggambarkan kondisi agrofisik lokasi penelitian.
Tabel 6 Kondisi agrofisik lokasi penelitian No
Uraian (Peubah Diamati)
1
Iklim1 : a. Curah Hujan (mm/thn) b.Hari Hujan (Hari) c. Temperatur (0C) d.Kelembaban (%) e. Tekanan udara (mbs) f. Penyinaran matahari (%) Topografi2
2 3 4
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 1 077 – 2 225 5 – 24 25.7 – 35 75 – 94 1 008.7 – 1 012.3 69 – 70 Berbukit Datar, sedikit berbukit 400 – 600 100 – 200
Ketinggian tempat (mdpl)2 Kondisi Tanah2 : a. Jenis tanah b. Tekstur tanah
PMK, Ultisol Liat
c. Kedalaman efektif (cm) d. Kesuburan
30 – 60 Baik
PMK Lempung liat berdebu/berpasir 30 – 60 Rendah
Sumber : 1 : (Bappeda Aceh Besar 2010) 2 : (Hasil Survey Potensi Desa 2011)
Pada umumnya di Kabupaten Aceh Besar ternak sapi potong di digembalakan pada lahan dengan kondisi tanah yang kurang baik untuk pertanian tanaman pangan dan palawija. Sehingga mutu hijauan pakan ternak pada padang penggembalaan relatif rendah tergantung pada jenis, kesuburan, dan kandungan unsur hara tanah. Tanah yang kaya unsur hara akan berdampak pada semakin tinggi produksi dan mutu hijauana pakan ternak. Tingkat kesuburan tanah di Cot Seuribe sangat rendah sebaliknya di Blang Ubo-ubo dengan kondisi relatif baik.
Potensi Wilayah Pola dasar pembangunan wilayah menunjukkan lokasi penelitian berbasis pertanian dengan komoditas utama yang diusahakan berupa padi sawah dan palawija kecuali desa Sukamulia karena tidak memiliki lahan persawahan. Pola pertanian menjamin tersedianya pakan hijauan dan konsentrat berupa dedak, bungkil kacang tanah, kedelai, jagung, limbah singkong dan ubi jalar. Kondisi seperti ini memungkinkan pengembangan sapi potong dengan pola integrasi dengan tanaman pangan, palawija, perkebunan, dan hutan produksi. Kondisi
wilayah yang relatif luas dengan tingkat kepadatan penduduk relatif rendah sampai sedang (15.3 – 56.7 jiwa/km2) berpotensi bagi pengembangan kawasan sapi potong. Potensi Desa di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Potensi desa di lokasi penelitian No
Uraian (Peubah Diamati)
1 2 3 4
10
Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Penduduk (KK) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) Jumlah Rumah Tangga Petani Ternak (KK) Luas Lahan Pangan (Ha) Nisbah Lahan Pangan (Jiwa/Ha) Luas Tataguna Lahan (Ha) : a. Sawah b.Kebun c. Padang penggembalaan d. Semak belukar Populasi Ternak Ruminansia (Ekor) : a. Sapi Potong b. Kerbau c. Kambing d. Domba Pola Dasar Pembangunan
11
Pola Pertanian
12
Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi
5 6 7 8
9
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 3 612 5 000 1 120 1 070 1 852 764 635 417 453 191 112 104 51.3
15.3
56.7
39
394 445
42 410
96 168
90 237
4.16
1.86
3.78
1.76
50 1 395 600 0
0 1 600 1 000 200
125 65 450 96
25 427 230 150
436 601 80 113 35 41 11 21 Pertanian, perkebunan, kawasan lindung Palawija, perkebunan, peternakan Semi-intensif
450 212 600 235 23 76 8 13 Pertanian, perkebunan, padang penggembalaan Padi/palawija, penggembalaan ternak Ekstensif, semiintensif
Sumber : Hasil survey potensi desa (2011)
Jumlah rumah tangga petani ternak keempat desa di lokasi penelitian menunjukkan sebagian besar rumah tangga penduduk bergerak di sektor pertanian yang menunjang pengembangan sapi potong pola ekstensif maupun intensif. Ketersedian rumah tangga petani ternak di wilayah penelitian dan populasi sapi potong yang lebih tinggi jumlahnya dibandingkan ternak
ruminansia lain di desa Saree Aceh dan Sukamulia menggambarkan komoditas sapi lebih disukai untuk budidaya, sedangkan desa Data Gaseu dan Bareuh komoditas sapi dan kerbau merupakan jenis ruminansia yang umum di budidaya. Pemeliharaan ternak ruminansia terutama sapi dilokasi penelitian sebagaimana umumnya petani ternak di kabupaten Aceh Besar adalah ditujukan sebagai ternak penghasil daging (ternak potong) sehingga tipe ternak yang dikembangkan adalah berupa ternak potong. Bangsa ternak sapi yang dibudidayakan adalah sapi lokal (bangsa sapi Aceh), keturunan hasil inseminasi buatan (IB) antara sapi lokal dengan bibit sapi unggul (PO, Brahman dan Simental), dan sapi Bali yang merupakan tipe sapi potong. Sistem budidaya ternak sapi di lokasi penelitian yang berkembang umumnya berupa sistem pemeliharaan induk-anak (cow calf operation) yang lebih diarahkan untuk menghasilkan input untuk produksi sapi potong berupa sapi bibit dan bakalan. Pola pemeliharaan ternak sapi di lokasi penelitian sebagaimana umumnya di Kabupaten Aceh Besar dapat dikelompokan berdasarkan alokasi penggunaan lahan. Pada daerah-daerah dimana terdapat padang penggembalaan yang luas, ternak sapi dipelihara secara ekstensif. Sistem pemeliharaan ekstensif dapat dijumpai di hampir semua wilayah,ternak dipelihara di padang pengembalaan umum maupun perorangan, pinggiran hutan (semak belukar), ladang, dan lahan persawahan bera (tidak ditanami). Lokasi padang penggembalaan ternak yang berisi ternak ruminansia milik sejumlah peternak disebut lahan penggembalaan umum dengan status kepemilikan lahan umum maupun perorangan, dimana lahan tersebut tidak digunakan untuk budidaya tanaman ataupun lahan terlantar. Jumlah sapi dalam lahan penggembalaan umum bervariasi 20 - 100 ekor sapi dengan luas lahan sebesar 10 – 50 ha dan dikelola oleh 10 – 30 peternak. Lahan penggembalaan dapat juga dimiliki oleh perorangan dan umumnya memiliki luas lahan kurang dari 10 ha dengan kepemilikan ternak berkisar 10 – 30 ekor. Pengelolaan ternak pada sistem ekstensif sangat sederhana, yaitu ternak dilepas di padang penggembalaan sepanjang tahun (continuous grazing), dengan tatalaksana pemeliharaan berupa identifikasi ternak sebagai tanda kepemilikan, pemberian air garam pada waktu tertentu dan penyeleksian ternak sapi yang siap dipanen untuk dijual sebagai sapi bibit maupun sapi bakalan. Pengelompokkan
dan pemisahaan pemeliharaan ternak berdasarkan fase produksinya pada sub padang penggembalaan (padok) belum dilakukan. Ternak berkembang biak secara alami dengan mengandalkan sapi jantan yang jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah betinanya. Anak sapi, sapi bibit atau sapi bakalan baru dikeluarkan dari lokasi penggembalaan pada saat akan dijual. Sumber pakan hanya mengandalkan hijauan yang berasal dari padang rumput alam untuk memenuhi semua kebutuhan pakan ternak. Hal ini dapat menyebabkan persaingan dalam mendapatkan pakan hijauan, terutama pada musim kemarau, sehingga ternak yang dominan memiliki kondisi badan yang lebih baik, sementara ternak yang submisif atau kerangka tubuhnya relatif besar akan mempunyai kondisi tubuh kurang baik (kurus).
Gambar 8 Lahan penggembalaan perorangan yang dipagari di desa Cucum kecamatan Kota Jantho Kondisi lahan penggembalaan sangat bervariasi, dimana pada suatu lokasi padang penggembalaan ditemukan kondisi undergrazing (tekanan penggembalaan ringan) sehingga menyebabkan terjadinya invasi gulma, sangat berpengaruh terhadap kualitas rumput yang tumbuh. Dengan demikian ketersediaan dan kualitas rumput sebagai pakan utama sapi menjadi menurun. Sebaliknya di beberapa tempat kondisi overgrazing (tekanan penggembalaan berat) sehingga menyebabkan padang pengembalaan menjadi rusak.
Gambar 9 Kondisi overgrazing padang penggembalaan di desa Bareuh kecamatan Kota Jantho
Gambar 10 Kondisi undergrazing padang penggembalaan di desa Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah Pada padang penggembalaan umum sama sekali tidak memiliki fasilitas yang khusus disediakan sebagai sarana pendukung kegiatan peternakan. Pada padang penggembalaan perorangan ataupun kelompok peternak yang memiliki fasilitas terbatas, yang dicirikan adanya bangunan (balai) penjaga ternak dan adanya juga padang rumput alam yang diberi pagar keliling sebagai batas kepemilikan kandang bersama. Di dalam areal kandang juga terdapat sumber air
berupa embung dan sungai kecil untuk kebutuhan air minum ternak sapi. Fasilitas penanganan ternak di dalam kandang umum tidak tersedia dan kandang pangonan tidak dibagi kedalam sub-kandang (padok) yang berguna untuk pengelompokan ternak sapi sesuai fase produksinya dan mempermudah tatalaksana pemeliharaan.
Gambar 11 Pemberian hijauan pakan pada sistim pemeliharaan semi-intensif
Pemeliharaan ternak dengan sistem semi-intensif umunya dijumpai di wilayah kecamatan Lembah Seulawah dimana terdapat lokasi transmigrasi, perkebunan atau wilayah dengan luasan padang rumput terbatas. Pemeliharaan sapi dilakukan dengan melepas di ladang-ladang yang tidak ditanami atau di sawah-sawah yang telah dipanen, kemudian dikandangkan atau diikat didekat rumah pada malam hari. Hal itu dilakukan untuk mencegah ternak masuk ke areal pertanian tanaman pangan dan palawija. Ternak sapi ada juga yang digembalakan sekitar areal perkebunan (kakao, kelapa, dan hortikltura), hal ini sangat memungkinkan karena cukup banyak rumput dan legum yang merupakan cover crop yang dapat dijadikan sumber pakan ternak. Pada sistem semi-intensif ternak hanya mengandalkan pada pakan hijauan atau rumput, peternak umumnya
tidak memberi pakan tambahan. Tingkat kepemilikan ternak masih relatif rendah, rata-rata 2 – 5 ekor.
Gambar 12 Kandang tertutup yang digunakan untuk penggemukan sapi jantan
Budidaya sapi dengan sistem pemeliharaan intensif umumnya dijumpai di lokasi penelitian yang memiliki lahan persawahan tanaman pangan dan palawija. Pada sistem ini berkembang dua pola pemeliharaan dengan tujuan produksi yang berbeda. Pola pertama ternak sapi ditambatkan sekitar rumah atau di kebun pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari, pemberian pakan hijauan (rumput, jerami) dilakukan setiap hari dengan tujuan produksi menghasilkan ternak bibit atau bakalan. Pola kedua yaitu ternak sapi dikandangkan terus menerus sepanjang hari dengan tujuan produksi sapi potong (penggemukan). Pada pola penggemukan peternak juga melakukan budidaya rumput potongan (Rumput Gajah/P.purpureum) di kebun rumput sebagai sumber hijauan pakan selain yang diperoleh pada lahan tanaman pangan, palawija, pinggiran hutan. Sistim budidaya yang dilakukan yaitu sapi bakalan jantan lepas sapih (± umur 18 bulan) digemukan secara intensif dengan pakan hijauan maupun dengan tambahan konsentrat berupa dedak jumlahnya bervariasi antara 1 – 2 kg/ekor/hari. Lama penggemukan selama 6 – 12 bulan dan ada juga yang
sampai 24 bulan hingga mencapai bobot potong sekitar 300 – 350 kg. Tingkat kepemilikan ternak pada sistem pemeliharaan intensif berkisar 2 – 3 ekor.
Karakteristik Kawasan Sapi Potong
Karakteristik Produktivitas Sapi Bali Dinamika populasi sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar yang diindentifikasi selama tiga tahun (2008 – 2011) pelaksanaan program berfluktuasi dengan tingkat pertumbuhan populasi masih minus (≤ -5.55%) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8. Tingginya angka kematian ternak (≥ 10.26%) terutama pada tahun pertama dan kedua pelaksanaan program diakibatkan buruknya penangganan selama proses pengangkutan ternak yang didatangkan dari luar daerah, seperti dari propinsi Nusa Tenggara Barat, Lampung, maupun dari kabupaten lain di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tabel 8 Kondisi populasi sapi Bali di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No 1 2 3 4
Lokasi (Desa) Saree Aceh (ekor) Sukamulia (ekor) Data Gaseu (ekor) Barueh (ekor)
Tahun 2008 135 135 60 120
1
2009 107 125 49 84
1
20101 73 98 40 40
20112 87 113 50 34
Sumber : 1Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar 2 Hasil survey (2011)
Proses pendistribusian bibit sapi Bali dilakukan melalui transportasi darat dan pada saat ternak sampai ke lokasi kawasan di Aceh Besar tidak dilakukannya proses karantina melainkan langsung didistribusikan ke calon peternak dari kelompok petani ternak yang terlibat program di kawasan sapi potong. Kondisi tersebut berakibat ternak sapi Bali yang baru didatangkan mendapatkan penangganan pasca transportasi yang kurang memadai karena kurangnya keahlian dan pengalaman petani ternak. Penyebab kematian yang diidentifikasi yaitu stres, dehidrasi berat, infeksi luka dan serangan penyakit selama masa adaptasi. Untuk masa yang akan datang itu disarankan mengarantina setiap ternak yang akan dimasukkan kedalam kawasan sapi potong.
Gambar 13 Kematian Ternak sapi Bali di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
Angka kelahiran anak yang merupakan salah satu gambaran performans reproduksi sapi Bali sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9 Performans reproduksi sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar No
Uraian (Peubah Diamati)
1
Populasi (Ekor) a. Anak b.Muda c. Dewasa Populasi (ST) Pertumbuhan Populasi (%/tahun) Kelahiran dari Jumlah Betina (%/tahun) Kelahiran dalam Populasi (%/tahun) Kematian (%/tahun)
2 3 4 5 6
Sumber : Hasil survey (2011)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 10 – 77 80.5 - 11.85
17 4 88 98.3 - 6.42
15 7 28 35.3 - 5.55
3 – 31 31.8 - 23.89
4.76
7.95
27.16
3.33
3.83
6.19
14.66
2.94
14.32
10.62
17.77
24.72
Berdasarkan hasil identifikasi melalui survey dan catatan buku administrasi kelompok petani ternak di kawasan menunujukkan performans reproduksi sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar memiliki tingkat kelahiran yang masih rendah (≤7.95%) kecuali di desa Data Gaseu (27.16%). Angka kelahiran yang rendah dikarenakan bibit dasar yang dimasukkan merupakan bibit muda dengan rataan umur 1.5 tahun dan buruknya kondisi ternak sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bereproduksi. Faktor kurangnya penangganan peternak dalam program perkawinan dan rendahnya pengetahuan peternak tentang aspek reproduksi ternak juga mempengaruhi performans reproduksi ternak. Sifat kuantitatif adalah sifat pada ternak ada hubungannya dengan sifat ekonomis pada ternak seperti bobot badan. Pendugaan bobot badan ternak berdasarkan umur (gigi) dan jenis kelamin yang dilakukan melalui pengukuran ukuran-ukuran tubuh ternak. Berdasarkan hasil pendugaan menunjukkan bahwa pada sapi Bali umur ≤ 1 tahun (gigi I0) baik jantan maupun betina tidak terdapat perbedaan antara sapi Bali pada ketiga lokasi penelitian untuk bobot badan yang diamati. Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan pertumbuhan sapi Bali pada periode prasapih. Menurut Pratiwi et.al. (2008), bahwa pertumbuhan anak sapi pada masa prasapih umumnya dipengaruhi oleh kemampuan pedet memperoleh nutrisi yang berasal dari air susu induknya. Penampilan produksi berupa bobot badan dan skor kondisi tubuh sapi Bali jantan maupun betina untuk umur
1 sampai ≤ 2 tahun hanya diamati di
desa Sukamulia sedangkan di desa lain belum ada yang mencapai umur tersebut. Hasil pendugaan yang diperoleh menunjukkan bobot badan dan skor kondisi tubuh sapi Bali di kedua lokasi tersebut tidak berbeda nyata, ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang dilaksanakan relatif sama. Menurut Pamungkas (2007), bahwa terjadi perbedaan variasi bobot badan sapi di beberapa lokasi pemeliharaan adalah sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terutama ntrisi dan system pemeliharaan. Bobot tubuh dan skor kondisi tubuh sapi Bali pada umur ≥ 2 tahun (gigi I2) baik jantan maupun betina menunjukkan di desa Data Gaseu memiliki rataan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan ketiga desa lain. Walaupun sistim
pemeliharaan yang dilakukan relatif sama namun kemungkinan bibit awal yang diterima petani ternak di desa Saree Aceh memiliki rataan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan desa lain. Rataan bobot badan dan kondisi tubuh Sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rataan dan hasil uji–t skor kondisi tubuh dan bobot badan sapi Bali menurut umur (I0, I1 dan I2) di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar Kriteria (Peubah Diamati)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
1. Umur ≤ 1 Tahun a. Jumlah Sampel (n) 4 7 Jantan 6 10 Betina b.Skor Kondisi Tubuh 3.25a±0.50 3.57a±0.53 Jantan a 3.50 ±0.55 3.30a±0.48 Betina c. Bobot Badan (kg) Jantan 90.05a±7.32 90.79a±6.62 a Betina 86.18 ±3.71 83.99a±3.41 2. Umur 1–2 Tahun a. Jumlah Sampel (n) Jantan 0 2 Betina 0 2 b.Skor Kondisi Tubuh Jantan 0 3.50a±0.71 Betina 0 4.00a c. Bobot Badan (kg) 0 Jantan 133.25a±1.32 0 Betina 117.59a±3.52 3. Umur ≥ 2 Tahun a. Jumlah Sampel (n) Jantan 7 4 70 Betina 88 b.Skor Kondisi Tubuh Jantan 3.57a±0.53 3.75a±0.50 a 3.41 ±0.63 Betina 3.51a±0.73 c. Bobot Badan (kg) Jantan 273.27a±17.70 279.07a±15.10 Betina 217.36a±21.88 218.62a±20.48
7 8 3.43a± 0.53 3.25a± 0.46
1 2 4.00a 4.00a
89.08a±7.63 85.55a a 84.81 ±3.58 83.82a±5.40
4 3
0 0
3.50a± 0.58 3.67a± 0.58
0 0
131.23a±4.46 117.56a±2.25
0 0
1 27
1 19
4.00a 3.44a± 0.97
3.00a 3.11a±0.79
271.68a 217a±21.11
267.80a 211.8a±20.2
Sumber : Hasil pengamatan dan analisis pendugaan bobot badan sapi Bali (2011) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Penampilan produksi berupa bobot badan dan skor kondisi tubuh pada semua umur (gigi I0, I1, dan I2) di lokasi kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar masih termasuk sedang dan belum memenuhi standar dari tiga kategori kualitas bibit yang ditetapkan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (Deptan 2006). Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan produktifitas dan mutu genetik induk sapi Bali yang dimasukkan ke kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar yang berasal dari daerah lain sehingga berdampak pada kualitas bibit yang dihasilkan.
Gambar 14 Proses pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali di lokasi penelitian Daya Dukung Lahan dan Potensi Pengembangan Pada usaha sapi potong, lahan merupakan salah satu faktor produksi yang berfungsi sebagai tempat terselenggaranya kegiatan produksi dan penyedia hijauan pakan ternak. Pada peternakan rakyat dengan pola penggembalaan, lahan padang rumput merupakan sumber utama penyedia hijauan pakan ternak sehingga potensinya sangat menentukan bagi pengembangan sapi potong. Komposisi botani merupakan indikator dinamika populasi tumbuhan pada padang penggembalaan yang berdampak pada produksi dan kualitas hijauan pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Jenis species dominan merupakan species yang paling mampu bertahan di lokasi dan menunjukkan pola pertambahan ketika dominasi lebih dari 50% menutupi lahan. Tanaman natif (lokal) lebih adaptasi terhadap kondisi lingkungan lokal. Kebanyakan rumput lokal adalah tanaman
abadi dan tidak memerlukan penanaman kembali tiap tahun dan umumnya rumput didaerah tropis mempunyai ketinggian tajuk tanaman yang rendah sesuai dengan fungsinya sebagai vegetasi penutup tanah. Hasil identifikasi komposisi vegetasi hijauan pakan ternak di kawasan Cot Seribe umumnya didominasi oleh rumput alam Polytrias amaura, Paspalum conjugatum, trifolium, Axonopus compresus dan Cynodon dactylon. Untuk kawasan Blang Ubo-ubo selain jenis yang sama dengan kawasan Cot Seuribe juga ditemui rumput unggul yakni Setaria splendida dan Stylosanthes guyanensis, karena kawasan ini sebelumnya pernah dijadikan sebagai tempat pengembalaan sapi dengan introduksi rumput unggul. Salah satu pengaruh yang signifikan dari komposisi botani adalah struktur tanaman yang berdampak pada kualitas dan produksi HMT. Produksi HMT di padang penggembalaan di Blang bo-ubo lebih tinggi dibandingkan dengan produksi HMT di lokasi Cot Seribe. Produksi dari padangan sangat dipengaruhi oleh kepadatan stocking rate. Tidak ada suatu petunjuk yang umum untuk stocking sebab keputusan harus didasarkan pada kharakteristik pastura dan hasil akhir yang diinginkan. Pengembalaan intensif meningkatkan konsumsi bagian dari hijauan yang tidak palatabel. Jika ini terjadi dalam waktu yang panjang akan menyebabkan penurunan produksi per ternak. Pada daerah dimana curah hujan cukup atau dilakukan irigasi, padangan mungkin dapat menampung sebanyak 1-2 ekor sapi/Ha. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian tatalaksana pengembalaan yang dilakukan secara terus menerus sering digunakan. Ini berarti suatu jenis tanaman yang sama dimakan oleh ternak untuk jangka waktu yang lama. Sistem ini mungkin tidak jadi masalah bila stocking rate tidak berakibat pada overgrazing. Pada kondisi tersebut species yang palatabel akan dikonsumsi dulu, selanjutnya baru species non palatabel yang menyebabkan turunnya species-species yang palatabel yang diproduksikan. Rataan produksi hijauan pakan ternak di lokasi kawasan diestimasikan sekitar 18 - 25 ton/ha/tahun hijauan segar atau 3,6- 5,1 ton/ha/tahun hijauan kering. Di Cot Seribe, produksi hijauan pakan lebih rendah dibandingkan dengan di kawasan Blang Ubo-ubo disebabkan kondisi tanahnya yang kurang subur dan ketersediaan air yang kurang di musim kemarau. Potensi lahan di kawasan sapi potong kabupaten Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11 Potensi lahan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No
Uraian (Peubah Diamati)
1
Luas lahan (Ha) a. Padang rumput alam b. Padang rumput buatan (B.humidicola) c. Padang Alang-alang d. Kebun rumput (P.purpureum) Kapasitas Tampung (ST) a.Padang rumput alam b.Padang rumput buatan (B.humidicola) c. Padang Alang-alang d. Kebun rumput (P.purpureum) PMSL (ST) PMKK (ST) KPPTR SL (ST) KPPTR KK (ST) KPPTR Efektif (ST)
2
3 4 5 6 7
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 310 20
300 20
96 20
31 0
107 1
74 1
16 0
12 0
0.60 0.77
0.58 0.68
0.50 0.95
0.68 0
1.09 12.59
0.93 11.17
0.85 0
1.13 0
330.62 3 940 250.12 3 859.5 250.12
267.59 420 169.29 321.7 169.29
80.6 960 45.3 924.7 45.3
34.64 900 2.84 868.2 2.84
Sumber : Hasil survey dan pengukuran produksi hijauan pakan ternak (2011) Keterangan : a. PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan b. PMKK = Potensi maksimum berdasarkan Kepala Keluarga c. KPPTR = Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Kapasitas tampung pada lokasi penelitian menunjukkan jumlah ternak yang dapat ditampung dalam memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak untuk hidup pokok dan berproduksi secara optimal di lokasi kawasan tanpa menyebabkan kemungkinan rusaknya lahan padang penggembalaan tersebut. Kapasitas tampung dihitung berdasarkan konsumsi ternak terhadap hijauan pakan kering, yaitu 6,29 kg/ha/hari. Berdasarkan kapasitas tampung ternaknya, maka populasi ternak maksimal yang dapat dipelihara pada luasan lahan efektif bervariasi diantara lokasi penelitian dan vegetasi hijauan pakan ternak yang tersedia. Pada padang penggembalaan ternak vegetasi rumput alam memiliki kemampuan yang paling rendah (0.50 – 0.68 Satuan Ternak/ha/tahun) dibandingkan vegetasi rumput buatan (B.humidicola) dan rumput alang-alang (P.maximum) di semua lokasi kawasan. Untuk kemampuan kapasitas tampung yang paling tinggi diperoleh dari kebun
rumput dengan vegetasi Rumput Gajah (P.purpurem) berkisar antara 11.17 – 12.59 Satuan Ternak/ha/tahun, yang masih terdapat di lokasi Saree Aceh dan Sukamulia. Ketersedian lahan dan tenaga kerja berupa Rumah Tangga Petani Ternak di Kawasan Blang Ubo-ubo yaitu di desa Saree Aceh dan Sukamulia masih memungkinkan peningkatan populasi ternak sapi potong dengan jumlah lebih besar dibandingkan Cot Seuribe. Untuk pengembangan kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seribe melalui kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia efektif berdasarkan pertimbangan potensi sumberdaya lahan. Sehingga arahan pengembangan kedua kawasan sapi potong tersebut aspek sumberdaya lahan merupakan faktor pembatas dan perlu penangganan dan perbaikan.
Karakteristik Peternak Karakteristik adalah sifat-sifat yang ditampilkan oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dalam lingkungannya sendiri. Keberhasilan dalam mengelola usaha ternak diantaranya dipengaruhi oleh umur peternak, tingkat pendidikan dan pengalaman beternak (Danudiredja 1999; Rakhmat 2000). Sebagian besar (≥ 80% responden) umur peternak berkisar antara 15 – 55 tahun yang termasuk dalam usia produktif, sedangkan di atas 55 tahun kurang dari 20% responden. Banyaknya peternak dengan usia produktif yang ikut terlibat akan berpengaruh positif dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, dimana dengan memiliki pengetahuan formal yang lebih tinggi maka seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian (Rakhmat 2000). Tingkat pendidikan peternak relatif beragam, dengan didominasi oleh tingkat SD (57 – 76%), sedangkan tingkat Perguruan Tinggi (PT) terendah (1 – 2%). Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi motivasi dan partisipasi peternak dalam pelaksanaan program kawasan. Data karakteristik peternak sapi potong pada lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No
Uraian (Peubah Diamati)
1 2
Jumlah Responden (n) Umur Peternak (%) : a. Produktif (15 – 55 thn) b.Tidak produktif (> 55 thn) Tingkat Pendidikan (%) a. SD b.SLTP c. SLTA d. PT Pekerjaan Pokok (%) : a. Petani b.Wiraswasta a. PNS b.Lainnya Usaha Budidaya Ternak (%) a. Pokok b.Sambilan Pengalaman Beternak (%) a. 5 tahun b.5-10 tahun c. >10 tahun
3
4
5
6
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 13 24 12 22 80.71 19.29
83.66 16.34
86.40 13.60
82.42 17.58
57.14 7.14 35.72 0
73.73 11.86 11.86 2.54
57.10 7.18 30.72 5
75.58 15.12 8.14 1.16
86.44 4.23 7.63 1.69
78.57 11.14 0 11.29
78.57 7.14 0 14.29
94.19 2.33 2.33 1.15
12.7 87.3
14,6 85.4
19.08 80.92
11,3 88.7
21.3 38.7 40
36,76 30,34 33,90
40 23.95 36.05
15.2 67.3 18.5
Sumber : Hasil kuisioner karakteristik petani ternak (2011)
Keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan erat kaitannya dengan pengetahuan, motivasi dan partisipasi. Adanya pengetahuan tentang manfaat melakukan suatu kegiatan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap hal tersebut, dan selanjutnya dapat memotivasinya untuk ikut dalam kegiatan itu. Adanya motivasi untuk melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan ataukah tidak (Rakhmat 2000). Petani ternak di kawasan sapi potong kabupaten Aceh Besar memiliki pengetahuan relatif rendah (skor
25) terutama pada aspek manajemen budidaya
sapi potong dengan pola kawasan. Skor paling rendah adalah peternak di desa Bareuh (12.47) dan tertinggi di desa Sukamulia (19.17). Pengetahuan yang rendah tentang budidaya sapi potong dengan pola kawasan erat kaitannya dengan pengalaman peternak dalam budidaya sapi potong di padang pengembalaan secara berkelompok. Sebelumnya sistem pemeliharaan sapi potong di padang
penggembalaan secara ekstensif dan dilakukan tanpa berkelompok sehingga pola kawasan merupakan hal baru bagi petani ternak. Hasil analisis mengenai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak di kawasan sapi potong Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No
1 2 3 4
Uraian (Peubah Diamati) Jumlah Responden (n) Pengetahuan Motivasi Partisipasi
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 13 13.47 ± 2.76 18.23 ± 2.23 21.17 ± 1.45
24 19.17 ± 2.16 34.53 ± 2.43 40.17 ± 3.45
12 22 13.47 ± 2.76 12.47 ± 3.76 13.23 ± 2.23 11.23 ± 2.83 10.17 ± 1.45 12.17 ± 2.15
Sumber : Hasil analisis pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak (2011)
Motivasi petani ternak pada kawasan sapi potong di Aceh Besar termasuk rendah (skor
25) kecuali desa Sukamulia yang memiliki motivasi tinggi (skor
34 – 41). Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa peternak di desa Bareuh memiliki motivasi yang rendah (11.23) dibandingkan dengan petani ternak di desa
lainnya
mengusahakan
dikarenakan sapi
potong
sebelumnya terkait
sebagian
kecil
petani
ternak
keterbatasan
lahan
untuk
padang
penggembalaan dan posisi desa yang berbatasan dengan ibukota kabupaten dimana peraturan yang ditetapkan oleh pihak kecamatan Kota Jantho yang melarang semua jenis ternak ruminansia berkeliaran di kawasan perkotaan Kota Jantho. Motivasi yang tinggi di desa Sukamulia terkait tidak adanya lahan sawah sehingga kurangnya kontribusi lahan pangan bagi perkonomian penduduk setempat dan ternak dijadikan sebagai tambahan sumber pendapatan. Partisipasi peternak dalam budidaya sapi potong dengan pola kawasan yang teridentifikasi juga masih rendah (skor
25) kecuali desa Sukamulia yang memiliki angka
partisipasi tinggi (skor 34 – 41). Nilai partisipasi yang tinggi di desa Sukamulia berkaitan dengan motivasi yang kuat dan manajemen kelembagaan relatif lebih baik dari kelompok petani ternak di desa Sukamulia.
Teknis Budidaya dan Layanan Peternakan Budidaya sapi potong yang dijalankan oleh peternak sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa peternak di kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar menerapkan sistem semi intensif. Pola yang dijalankan dengan melepaskan ternak di areal padang pengembalaan pada pagi hari dan dikandangkan pada malam hari tanpa tambahan hijauan dimana keseluruhan kebutuhan pakan berasal dari padang penggembalaan. Menyangkut pemberian mineral (mineral blok atau garam dapur), intensitas pemberian hanya 50% tergantung pada ketersedian dana. Untuk limbah pertanian, palawija dan perkebunan walaupun potensial tersedia namun belum dimanfaatkan. Menurut Riady (2004), pemanfaatan teknologi peternakan yang belum optimal mengingat keterbatasan peternak (seperti pengetahuan dan modal) dalam menerapkannya merupakan salah satu permasalahan pengembangan sapi potong di Indonesia. Pelayanan peternakan yang masih diterima oleh petani ternak di kawasan sapi potong Aceh Besar berupa pelayanan kesehatan dan penyakit hewan dan penyuluhan, sedangkan pelatihan teknis hanya diterima pada saat awal program berjalan (tahun 2008 – 2009). Pelayanan peternakan yang diterima oleh petani ternak menunjukkan persentase yang rendah (≤ 18.4). Pelayanan kesehatan ternak pada awal program berjalan dengan baik, namun pada saat ini mulai kurang berjalan walaupun belum pernah dilaporkan kejadian penyakit hewan menular dan berbahaya pada ternak sapi Bali. Vaksinasi yang dilakukan berupa pencegahan berjangkitnya penyakit Septicaemia epizooticae (SE). Penyakit yang sering menyerang ternak sapi pada umumnya disebabkan oleh eksternal parasit, seperti caplak, cacingan, putih mata (istilah lokal), kudis, dan luka (gangguan binatang buas, terkena alat jerat yang dipasang pemburu hewan liar, dan kawat pagar). Penyakit reproduksi terutama Brucellosis dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan produksi anak pada ternak sapi. Data status penyakit ternak sapi di kawasan sapi potong VBC masih terbatas dan memerlukan surveilans untuk mengidentifikasi carriers seropositif pada sapi agar dapat dilakukan tindakan penanganan lebih lanjut.
Tabel 14 Aspek teknis pemeliharaan dan layanan peternakan di kawasan sapi potong lokasi penelitian No
Uraian (Peubah Diamati)
1
Sistem Pemeliharaan (%) a. Digembalakan Sepanjang Hari (Ekstensif) b. Digembalakan Siang Hari & Malam Hari Dikandangkan (Semi-Intensif) c. Dikandangkan (Intensif) Pakan (%) : a.Hijauan Ya Tidak b.Konsentrat Diberikan Tidak c. Suplemen/mineral Diberikan Tidak Pelayanan Keswan (%) Pelayanan IB (%) Penyuluhan (%) Pelatihan Teknis
2
3 4 5 6
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
0
0
0
0
100
100
100
100
0
0
0
0
100 0
100 0
100 0
100 0
0 100
0 100
0 100
0 100
50 0 4.3 0 3.1 0
50 0 5.8 0 3.7 0
50 0 18.4 0 13.4 0
0 100 7.5 0 16.5 0
Sumber : Hasil Survey (2011)
Kesadaran peternak untuk pencegahan dan pengobatan penyakit masih kurang berkaitan dengan lemahnya koordinasi antara petani ternak dengan petugas pelayanan peternakan, khusus kawasan Blang Ubo-ubo sulitnya aksesibilitas ke lokasi karena kondisi jalan tidak beraspal dan rusak parah serta letaknya jauh dari pemukiman anggota kelompok merupakan suatu kendala. Laporan kejadian penyakit ditindaklanjuti oleh petugas dengan mendatangi lokasi dan melakukan pengobatan namun terkadang tidak ditindaklanjuti berkaitan kendala aksesibilitas dan keterbatasan petugas kesehatan hewan. Selain itu anggota kelompok juga mampu melakukan pengobatan pada ternak yang
sakit dengan obat alami dan obat yang tersedia. Secara umum peternak (>85% responden) di kawasan tersebut dapat dikatakan belum melaksanakan aspek teknis tatalaksana pemeliharaan ternak sapi secara baik dan benar. Berbagai sarana prasarana dan fasilitas pelayanan peternakan sapi potong yang
diidentifikasi
relatif
cukup
memadai
dan
perlu
dioptimalkan
pemanfaatannya. Kondisi inisangat mendukung bagi upaya pengembangan dan pembibitan peternakan sapi potong, yang menunjukkan peran aktif pemerintah daerah terutama ditinjau dari segi ketersediaan, mobilitas, dan jangkauan pelayanan peternakan yang akhirnya dapat mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Fasilitas layanan peternakan di Kabupaten Aceh Besar ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15 Kondisi sarana dan fasilitas peternakan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Uraian (Peubah Diamati)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh ** ** ** ** ** – – ** * * * *
Holding ground Karantina ternak Laboratorium diagnostik Unit pendidikan dan * * pelatihan Poskeswan * * Pos IB * * Penyalur sapronak * * Unit pembibitan * * ternak RPH/TPH * * Pasar hewan * * DAM/Embung air ** – Petugas peternakan * * Medis/paramedis * * Penyuluh lapangan * * Jaringan listrik – – Jaringan Telekom – – Jalan usaha tani Rusak berat Rusak berat Jarak dengan 10 6 pemukiman (km)
Sumber : Hasil Survey (2011) Keterangan : *) aksesibilitas **) keberadaan
*
*
* * * *
* * * *
* * ** * * * ** – Aspal 2
* * – * * * – – Rusak 1.5
Gambar 15 Jalan usaha tani menuju lokasi kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe dengan kondisi rusak Tingkat Perkembangan Kawasan Sapi Potong
Analisis kawasan agribisnis peternakan dimaksudkan untuk mengevaluasi tingkat perkembangan suatu kawasan. Evaluasi kawasan ini memiliki peranan yang penting dalam penyusunan program pembinaan dan strategi pengembangan kawasan secara efektif sesuai dengan tahapan perkembangannya sehingga kedepan dapat dicapai suatu kawasan peternakan yang mandiri yang memiliki skala ekonomis baik pada tingkat peternak, kelompok peternak maupun tingkat kawasan yang akan menjadikan fungsi usaha ternak sebagai mesin penggerak agribisnis di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil analisis tingkat perkembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dengan menggunakan metode skoring memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Total skor yang diperoleh, pada kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe dengan kriteria untuk kawasan pembibitan di semua desa menunjukkan skor < 500, yang berarti keempat lokasi penelitian di klasifikasikan sebagai Kawasan Baru. Nilai total skor menunjukkan kawasan Blang Ubo-ubo (desa Saree Aceh dan Sukamulia) memiliki skor sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan Cot Seuribe (desa Data Gaseu dan Bareuh). Kondisi tersebut berkaitan ketersedian lahan dan tingkat kesuburan tanah yang mempengaruhi peningkatan produksi hijauan
pakan ternak yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas ternak di kawasan Blang Ubo-ubo. Tabel 16 Skoring penilaian kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar untuk kriteria pembibitan No
1 2 3 4 5 6 7 8
Kriteria
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh Lahan 50 50 47.5 47.5 Ketersedian HMT 90 90 30 15 Ternak 74 74 45 33 Teknologi budidaya 89 89 85 62 Peternak 40 40 43 33 Tenaga pendamping 22.5 22.5 26 26 Fasilitas 97 93 104 104 Kelembagaan 10 12.5 10 7.5 Total 472.5 471 387.5 325
Sumber : Hasil analisis potensi kawasan (2011)
Pengembangan budidaya ternak ruminansia dengan pola penggembalaan salah satu faktor yang sangat menentukan adalah kemampuan lahan untuk produksi hijauan pakan ternak. Sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian, kawasan Blang Ubo-ubo memiliki kapasitas peningkatan ternak ruminansia berdasarkan ketersedian lahan untuk produksi hijauan pakan ternak dengan sistim penggembalan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan Cot Seuribe. Komponen kawasan lainnya memiliki skor yang relatif sama diantara kedua kawasan kecuali fasilitas sarana prasarana dan tenaga pendamping yang menunjukkan kawasan Blang Ubo-ubo memiliki nilai relatif lebih rendah dibandingkan kawasan Cot Seuribe. Kondisi tersebut disebabkan aksesibilitas ke kawasan Blang Ubo-ubo lebih jauh dan sulit dijangkau oleh tenaga teknis peternakan dan dokter atau hewan dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan karena kondisi jalan yang rusak parah serta jauh dari pemukiman. Komponen yang juga harus diperhatikan dalam pengembangan kawasan adalah kelembagaan yang memiliki nilai relatif pada kedua kawasan yang menunjukkan masih lemahnya kemampuan kelembagaan petani ternak dan permodalan. Menurut Ditjennak (2002), Priyanto, dan Bappenas (2004), kawasan
peternakan
sapi
potong
merupakan
kawasan
khusus
yang
diperuntukkan bagi kegiatan usaha sapi potong maupun terintegrasi dengan komponen usaha tani atau ekosistem tertentu dan dalam pengembangannya banyak
melibatkan
partisipasi
rakyat
dengan
mengoptimalkan
potensi
sumberdaya lokal yang ada.
Perkembangan Komponen Kawasan Sapi Potong Tingkat perkembangan kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar ditentukan oleh beberapa komponen yang mempengaruhi produksi ternak didalam kawasan. Sehingga perlu diuraikan beberapa komponen tersebut dalam mempengaruhi tingkat perkembangan kawasan saat penelitian dilakukan. a. Lahan Skoring kawasan dengan kriteria lahan memiliki nilai tertinggi (47.5 – 50) yang menunjukkan lahan usaha sepenuhnya dikuasai oleh kelompok ternak. Penguasaan lahan di kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar berupa hak guna usaha sebagai lahan milik desa atau lahan terlantar pada kawasan Blang Ubo-ubo dan lahan milik beberapa anggota kelompok pada kawasan Cot Seuribe. Status lahan di kawasan Cot Seuribe sebagai hak milik memiliki kendala yang lebih kecil terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan lahan dibandingkan kawasan Blang Ubo-ubo. Untuk keberlanjutan pengembangan usaha sapi potong dengan pola kawasan perlu kiranya status lahan dipertimbangkan terutama di kawasan Blang Ubo-ubo. Topografi lahan di kawasan Blang Ubo-ubo didominasi wilayah berbukit dengan kemiringan antara 25 – 45% dan berada pada ketinggian diatas 500 m dpl. Selain itu kondisi ekosistem hutan dan letaknya yang berada di pinggiran hutan kawasan konservasi dengan vegetasi tanaman tahunan dan hutan di kawasan tersebut menyebabkan lahan cepat tertutupi dengan semak belukar dan pohon apabila lama tidak digarap. Berbeda dengan kondisi lahan di kawasan Blang Ubo-ubo yang berada pada ketinggian ≥ 300 m dpl dengan topografi wilayah dataran dan berbukit memiliki kemiringan lahan 0 – 45%. Ekosistem padang rumput di kawasan Cot Seuribe didominasi vegetasi rumput alam, padang alang-alang, dan semak belukar merupakan hamparan lahan pertanian
lahan kering dan padang penggembalaan umum yang telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Kawasan Cot Seuribe dengan tingkat kesuburan tanah dan ketersedian air yang rendah dibandingkan kawasan Blang Ubo-ubo menyebabkan pengaruh musim kemarau merupakan faktor pembatas. Berdasarkan kondisi agrofisik lahan pada kedua kawasan tersebut yang berbeda maka perlu adanya penangganan melalui pembangunan sarana prasaran dan kebijakan penggunaan lahan untuk mendukung produktivitas lahan bagi keberlanjutan pengembangan kawasan sapi potong VBC di kabpaten Aceh Besar.
b. Ketersedian Hijauan Makanan Ternak Padang rumput alam dan hijauan pakan yang tumbuh di padang penggembalaan dan pinggiran hutan masih merupakan pakan utama ternak sapi Bali pada sistem pemeliharaan di kedua kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar. Pengembangan hijauan pakan ternak berupa penanaman rumput gajah (Penissetum purpureum) pada lahan kebun rumput dan rumput gembalaan (Brachiaria humidicola) pada lahan penggembalaan telah dilakukan pada saat awal program berjalan. Selain itu pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak (dedak, kulit kakao, limbah tanaman palawija, ampas singkong dan ubi jalar) belum dilakukan walaupun ketersediaannya dapat dimanfaatkan secara optimal. Hasil pengamatan sebagian lahan pengembangan hijauan pakan ternak di kedua kawasan dengan kondisi lahan yang rusak dimana infasi gulma berupa rumput alam dan semak belukar serta dibeberapa tempat kondisi permukaan tanah yang terbuka. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan tatalaksana penggembalaan yang buruk dan terjadinya overgrazing tanpa menerapkan pola penggembalaan bergilir (padok) sehingga kemampuan hijauan rumput unggul untuk beregenerasi terganggu dan pada akhirnya vegetasi tanaman mati. Perbaikan kondisi padang penggembalaan yang dilakukan anggota kelompok melalui kegiatan gotong royong berupa pembersihan lahan, namun jarang dilakukan kecuali di kelompok petani ternak di desa Sukamulia yang melakukannya secara rutin (setiap bulan sekali). Kondisi tersebut berkaitan
dengan ketersedian dana, waktu dan kurangnya motivasi petani ternak karena masing-masing anggota memiliki pekerjaan pokok diluar kegiatan kawasan. Pengembangan hijauan pakan ternak dengan kondisi topografi berbukit di kawasan Blang Ubo-ubo harus dilakukan penerapan pola tanam dan pemilihan jenis hijauan pakan ternak yang sesuai untuk mengatasi erosi, sedangkan kesuburan tanah yang rendah di kawasan Cot Seuribe perlu perlakuan penggolahan tanah maupun penggembalaan bergilir.
c. Ternak Ternak sapi potong yang dikembangkan di kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar adalah bangsa sapi Bali sebagai bibit dasar populasi. Populasi sapi Bali dalam kawasan Blang Ubo-ubo masih rendah dibandingkan dengan ketersedian lahan menghasilkan hijauan pakan ternak yaitu 24.20 – 36.73% sehingga kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) di kawasan tersebut masih cukup tinggi. Berbeda kondisinya dengan kawasan Cot Seuribe dimana tingkat populasi ternak dibandingkan kemampuan lahan menghasilkan hijauan pakan ternak yang rendah sehingga kapasitas peningkatan populasi ternak yang rendah. Hasil pendugaan bobot badan menunjukkan bahwa sapi Bali di kedua kawasan memiliki produktivitas yang rendah. Persentase kelahiran (2.94 – 14.66%) dan kematian (10.62 – 24.72%) dari populasi menunjukkan tingkat kematian relatif masih cukup tinggi dibandingkan dengan tingkat kelahiran. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan kinerja reproduksi dan produksi ternak sapi pada kawasan tersebut masih belum optimal. Salah satu ciri dari kawasan baru adalah ternak sapi yang dipelihara memiliki tingkat reproduksi yang rendah, dicirikan dengan tingkat kelahiran dibawah 50% dan kematian anak sapi ≥15% serta memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dengan rataan pertambahan bobot badan dibawah 0.5 kg/ekor/hari (Deptan 2002).
d. Teknologi Budidaya Untuk komponen teknologi budidaya pada kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar penerapannya hanya pada level produksi subsistem yaitu
teknologi input rendah sehingga pemakaian input dan biaya produksi sangat minim. Pada aspek teknologi budidaya menunjukkan kedua kawasan masih pada tahapan kawasan baru yang dicirikan ; (1) Jenis sapi yang dibudidaya terutama jenis sapi lokal yaitu sapi Bali, (2) Metode pembiakan sapi masih tergatung pada kawin alam, penggunaan pejantan unggul dan teknik inseminasi buatan dengan semen pejantan unggul belum diterapkan dan belum ada seleksi yang terarah untuk memperbaiki mutu bibit sapi Bali, (3) Sumber pakan ternak terutama mengandalkan rumput alam tanpa tambahan hijauan potongan dan limbah sisa hasil pertanian dan perkebunan untuk diolah sebagai sumber pakan maupun konsentrat, hanya mineral (mineral blok dan garam yodim) yang sering diberikan bergantung pada ketersedian dana dari kas kelompok, penggadaan dari Dinas Peternakan kabupaten Aceh Besar maupun perorangan, (3) Sistem budidaya ternak yang diterapkan walaupun secara semi-intensif namun pelaksanaannya masih kurang terarah. Sistem semi-intensif yang diterapkan berupa aktivitas melepaskan ternak pada siang hari dan mengandangkannya pada malam hari, dan (4) Penanganan kesehatan, gangguan reproduksi, dan vaksinasi pada ternak masih tidak rutin dilakukan, hanya pengobatan yang sering dilakukan pada ternak yang sakit oleh anggota kelompok itu sendiri.
e. Peternak Tingkat ketrampilan yang berkaitan dengan pengelolaan usaha dari petani ternak oleh anggota kelompok ternak di kedua kawasan sapi potong VBC cukup baik karena sudah terbiasa melakukan budidaya sapi potong namun secara tradisional dengan input manajemen yang masih rendah. Untuk tingkat pengetahuan terkait dengan penguasaan teknologi dan ketrampilan pengelolaan usaha ternak secara modern dengan memperhatikan aspek bisnis masih rendah begitupula dengan motivasi dan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan manajemen. Umumnya anggota kelompok petani ternak merupakan petani ternak pada lahan pertanian kering sehingga budidaya sapi potong yang dilakukan dengan pola ekstensif. Untuk itu masih dibutuhkan bimbingan maupun pendampingan yang intensif dari intansi pemerintah baik
berupa penyuluhan, pendidikan non formal seperti pelatihan (kursus) maupun pembuatan percontohan budidaya ternak (experimental farm) berupa demplot.
f. Tenaga Pendamping Keberadaan tenaga pendamping pada kawasan sapi potong VBC kabupaten Aceh Besar masih sangat terbatas dari segi keberadaan maupun aksesibilitasnya terutama untuk kawasan Blang Ubo-ubo. Tenaga pendamping berupa Dokter hewan atau mantri hewan dan tenaga teknis walaupun tersedia namun dikarenakan beban kerja dan cakupan wilayah kerja yang luas dikarenakan merangkap sebagai petugas pelayanan di kecamatan sehingga pelayanan peternakan di kawasan tidak optimal. Demikian pula dengan tenaga inseminator dan pemeriksa kebuntingan sudah ada namun kegiatan inseminasi buatan belum berjalan. Berkaitan dengan tenaga pendamping di kawasan juga komunikasi dengan anggota kelompok kurang intensif dan kurang berjalan dengan baik menjadi hambatan dalam memberikan pelayanan teknis terutama pemahaman dari petani ternak terhadap tugas dan tanggung jawab pendamping.
g. Fasilitas Untuk mendukung pelaksanaan program pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2008 dirintis pembangunan UPTD Ternak Ruminansia Besar dan sarana layanan peternakan lainnya. Fungsi UPTD Ternak Ruminansia Besar sebagai pelaksana pengawasan, pelayanan, dan penanggung jawab pengembangan ternak ruminansia besar termasuk kawasan sapi potong Blang bo-ubo dan Cot Seuribe, sehingga perkembangan UPTD tersebut juga akan mempengaruhi perkembangan kawasan sapi potong. Ketersediaan fasilitas sarana prasarana pendukung peternakan di kawasan sudah memadai kecuali di desa Sukamulia yang masih terbatas. Ketersedian fasilitas dasar berupa holding ground dan cattle yard sudah memadai di kedua kawasan namun Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) khusus ruminansia besar, poskeswan, unit penyuluhan, penyalur sapronak, pos IB, pasar hewan, rumah potong hewan dan laboratorium diagnostik untuk kawasan Blang Ubo-ubo walaupun tersedia dan masih dimungkinkan dari kecamatan lain yang berdekatan
namun masih menjadi kendala karena aksesibilitas ke lokasi kawasan masih kurang baik.
Gambar 16 Fasilitas Unit Pelaksana Terknis Daerah (UPTD) Ruminansia Besar Kabupaten Aceh Besar
Gambar 17 Kondisi fasilitas peternakan di kawasan Blang Ubo-ubo desa Saree Aceh
Pos pelayanan peternakan (Poskeswan dan Pos IB) dan Balai penyuluhan sudah tersedia di tingkat kecamatan dan sudah terlembaga, selain itu tempat penjualan daging juga sudah tersebar di beberapa kecamatan walaupun aktivitas tidak berlansung setiap hari. Tempat penjualan daging dan pemotongan ternak sapi juga diawasi oleh instansi terkait dengan mendata yang dilanjutkan pengeluaran izin penjualan daging dan pemotongan ternak sapi di wilayah kabupaten Aceh Besar.
h. Kelembagaan Pada aspek kelembagaan petani ternak di kedua kawasan masih berupa kelompok pemula walaupun di kawasan Blang Ubo-ubo di desa Saree Aceh dan Sukamulia sebelumnya sudah pernah terbentuk kelompok petani ternak namun belum menerapkan pola kawasan dengan kandang komunal. Walaupun program pengembangan kawasan telah berjalan selama tiga tahun namun kelembagaan petani ternak di kawasan belum berkembang menjadi kelembagaan yang kuat dan masih merupakan kelompok pemula dengan aktivitas yang masih terbatas (pemagaran, pemeliharaan kandang, pemberian air garam pada sapi). Keberadaan kelembagaan keuangan perbankan maupun non bank sangat penting karena merupakan alternatif pembiayaan usaha. Pada lokasi penelitian sepenuhnya belum ada akses permodalan melalui perbankan. Seluruh bantuan pengembangan kegiatan usaha peternakan sapi potong di kedua kawasan masih berasal dari program pemerintah daerah kabupaten Aceh Besar. Sesuai dengan tingkat perkembangannya sebagai kawasan baru dimana peternak belum banyak berhubungan dengan lembaga keuangan formal. Menurut Deptan (2002) dan Saragih (2000), upaya mewujudkan kawasan agribisnis peternakan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi membutuhkan dukungan ketersedian sumber permodalan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing usaha. Langkah yang harus ditempuh dalam pengembangan kawasan sapi potong berkaitan dengan kendala permodalan yaitu memperkenalkan kerjasama dengan pihak perbankan atau pihak swasta (pengusaha peternakan dan lainnya) kepada kelompok peternak. Untuk menjalankan langkah tersebut keterlibatan instansi pemerintah sebagai pihak ketiga untuk menjembatani maupun penjamin
sangat dibutuhkan. Bantuan permodalan tidak hanya mengandalkan pemerintah tetapi juga dari pihak swasta dan masyarakat. Berdasarkan evaluasi komponen kawasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar, sesuai dengan tingkat pertumbuhannya, termasuk kedalam kawasan baru dengan tipe kawasan sapi potong yang berkembang berbasis pada padang rumput. Berdasarkan kondisi dan ketersedian lahan yang berbeda pada kedua kawasan tersebut, maka perlu ada pengembangan pola produksi hijauan pakan ternak yang sesuai untuk masing-masing kawasan tersebut. Bentuk kerjasama yang dapat diaplikasikan bagi pengembangan kawasan sapi potong adalah sistem bagi hasil dan inputoutput hasil produksi.
Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Strategi pengembangan kawasan sapi potong merupakan proses berkelanjutan dimulai dari perencanaan awal, kemudian pelaksanaan strategi diantaranya mencakup penentuan tujuan, kegiatan recording, optimalisasi struktur kelembagaan kawasan, dan evaluasi untuk mengetahui hasil yang dicapai. Penyusunan strategi pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dilakukan secara efektif pada level strategis dan taktis. Penelaahan pada level strategis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis SWOT. Hasil kajian pada level strategis ini akan menghasilkan suatu arahan sebagai masukan untuk penelaahan pada level taktis. Penelaahan pada level taktis dilakukan dengan menggunakan metode IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan berikutnya. Keberhasilan program kawasan sapi potong sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan budidaya yang dilakukan serta peran peternak yang terlibat dalam kegiatan budidaya tersebut. Untuk pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar harus menerapkan beberapa program yang meliputi; on farm strategis, recording dan data processing, monitoring kemajuan produktivitas ternak, kebijakan pembangunan pertanian dan pasar,
nilai-nilai sosial dan budaya, sistem produksi, karakteristik populasi, dan infrastruktur (sarana dan prasarana) pendukung. Berdasarkan kerangka di atas komponen yang harus diperhatikan dalam pengembangan program kawasan sapi potong dapat dikelompokkan menjadi dua faktor antara lain faktor internal yaitu faktor-faktor yang langsung terlibat dalam program kawasan sapi potong dan faktor eksternal yaitu faktor pendukung dalam program kawasan sapi potong. Faktor internal antara lain sumber daya lahan, sumber daya manusia, sumber daya ternak, sistem produksi, fasilitas layanan peternakan dan manajemen pengelolaan kawasan, sedangkan faktor ekstemal antara lain adalah sarana dan prasarana (infrastruktur) penunjang, kebijakan pemerintah, pasar, dan sosial budaya Identifikasi Faktor Internal – Eksternal Kekuatan (Strenghts) Kekuatan (strenghts) merupakan faktor strategi internal dari kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar yang harus dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dari pengembangan kawasan sapi potong. Analisis kekuatan dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar melibatkan beberapa aspek penting yaitu : (a) agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong, (b) tingkat produktivitas ternak cukup baik, (c) tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai, (d) potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha, dan (e) kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat Kondisi agrofisik dan potensi lahan merupakan unsur kekuatan bagi budidaya ternak ruminansia pada peternakan rakyat sehingga komponen ini sangat penting bagi pengembangan ternak sapi potong dengan pola kawasan. Kondisi ini memungkinkan sebagian besar sapi potong di wilayah tropis seperti halnya sapi Bali dapat berkembang dengan baik, yang didukung oleh posisi geografis yang strategis. Lokasi kawasan yang dekat dengan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Kota Banda Aceh memudahkan aksesibilitas terhadap fasilitas layanan peternakan.
Lahan padang penggembalan yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sapi potong, selain itu lahan pertanian dan areal perkebunan merupakan potensial bagi tambahan penyedian pakan ternak berupa hijauan, konsentrat, dan limbah pertanian. Kontribusi dari padi sawah di lokasi penelitian kurang mendukung peningkatan pendapatan petani sehingga dapat diarahkan ke usaha sapi potong dengan sistem ekstensif maupun semi intensif. Struktur penduduk di wilayah kawasan sapai potong sebagian besar adalah petani ternak merupakan modal tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sapi potong di daerah tersebut. Keragaan penduduk seperti ini mengindikasikan potensi yang relatif besar bagi upaya pengembangan sapi potong karena dari kelompok inilah sebagian besar menjadi ujung tombak aktivitas peternakan rakyat. Hal tersebut terkait kebiasaan petani ternak yang memelihara ternak sapi sebagai
bagian dari
usaha
taninya
yang merupakan dukungan bagi
pengembangan sapi potong yang tidak dapat berjalan sendiri, tetapi memrlkan masyarakat petani disekitarnya. Keberadaan UPTD Ternak Ruminansia Besar di kecamatan Seulimum sebagai instansi yang terlibat langsung dengan kegiatan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar merupakan komponen pendukung pengembangan kawasan sapi potong. Tersedianya poskeswan, tenaga teknis peternakan, penyuluh, tenaga medis dan paramedis menjadi suatu kemudahan pelayanan ternak maupun peningkatan ketrampilan petani ternak. Selain itu adanya Balai Pembibitan Ternak Unggul di kecamatan Indrapuri kabupaten Aceh Besar memungkinkan kerjasama pengembangan kawasan sapi potong kearah sentra pembibitan ternak untuk menghasilkan sapi unggul. Guna menunjang keberhasilan pengembangan program kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar di masa mendatang maka perlu diupayakan peningkatan pengetahuan dan partisipasi peternak melalui program penyuluhan, pelatihan atau magang. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Ternak Ruminansia Besar harus dapat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan kawasan sapi potong sehingga tenaga ahli/trampil perlu ditambah, atau dalam tataran tertentu UPTD perlu melakukan kerjasama dengan instansi terkait seperti
perguruan tinggi atau badan penelitian dan pengembangan peternakan yang memiliki tenaga ahli bidang peternakan yang dibutuhkan.
Kelemahan (Weakness) Kajian mengenai unsur kelemahan dalam pengembangan kawasan ternak sapi potong pada lokasi penelitian meliputi aspek : (a) rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak, (b) kemampuan manejerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah, (c) penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang, (d) terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan, (e) sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong, (f) koordinasi kelompok petani ternak dengan lembaga terkait (stakeholders) lemah. Peternak sebagai pelaku usaha, merupakan unsur penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong. Pada konteks yang lebih modern, peternak dituntut berperan aktif sebagai pelaku sekaligus manajer bagi usaha ternak sapi potongnya. Relatif masih lemahnya kualitas SDM peternak terlihat dari masih kurang efektifnya teknis produksi peternakan. Peternak sapi potong di Kabupaten Aceh Besar sebagian besar termasuk dalam usia produktif dengan pengalaman beternak kurang dari 5 tahun. Banyaknya peternak usia produktif namun pengalaman yang masih rendah dalam usaha sapi potong di kawasan akan berpengaruh terhadap pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Pengalaman beternak yang masih kurang, tingkat pendidikan, pengetahuan, motivasi dan partisipasi masih rendah akan sangat berpengaruh kurang baik terhadap pengembangan program kawasan yang akan dilaksanakan. Penguasaan teknologi peternakan masih relatif rendah oleh kalangan peternak di kawasan pengembangan juga menjadi hambatan. Hasil pengkajian di lapangan, para peternak menegaskan pentingnya peningkatan kualitas SDM peternak melalui penyuluhan dan pelatihan baik yang menyangkut aspek pengetahuan dan ketrampilan manajemen pembibitan, pemeliharaan, produksi, pakan maupun kesehatan ternak sapi potong. Penguasaan teknologi penanganan limbah peternakan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong, teknologi ini diperlukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani ternak.
Peluang (Opportunities) Kajian mengenai unsur peluang dalam upaya pengembangan kawasan sapi potong meliputi aspek : (a) prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat, (b) dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah, (c) berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat, dan (d) fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong. Dukungan pemerintah daerah merupakan unsur penting dalam upaya pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Hal ini terlihat dari Rencana Strategis dan Program Kerja Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Prioritas kerjanya meliputi : a) peningkatan ketahanan pengan, (b) pengembangan agribisnis peternakan, (c) peningkatan kesehatan hewan dan masyarakat veteriner, (d) peningkatan populasi dan produksi ternak, (e) peningkatan SDM peternak dan petugas peternakan dan (f) peningkatan PAD dari sektor peternakan.
Ancaman (Threats) Kajian secara mendalam mengenai unsur-unsur ancaman meliputi : (a) adanya wabah penyakit menular, (b) pemotongan induk betina produktif, (c) kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas, dan (d) kondisi politik, keamanan dan konflik internal. Belum berjalannya proses karantina ternak yang memasuki wilayah Kabupaten Aceh Besar, khususnya kedalam kawasan dan belum optimalnya layanan peternakan memungkinkan terjadinya wabah penyakit menular tertentu dengan sangat cepat. Apabila hal ini tidak ditanggulangi dapat mengarah pada makin menurunnya populasi sapi potong sehingga akan menghambat upaya pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Otonomi daerah mengharuskan setiap daerah memprioritaskan arah pembanggunannya untuk menggali seluruh sumber pendapatan daerah yang potensial. Daerah dengan orientasi SDA yang tidak mendukung sektor peternakan sebagai basis andalan daerah tentunya
sedikit
banyak
pengembangan kawasan sapi potong.
akan
menjadi
ancaman
bagi
upaya
Analisis Faktor Internal – Eksternal Analisis faktor internal pada penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Faktor lingkungan internal adalah faktor-faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan serta faktor-faktor kelemahan yang harus diantisipasi dalam pengembangan kawasan sapi potong. Hasil evaluasi faktor internal ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Hasil Evaluasi Faktor Internal (IFE) No
Faktor Penentu Internal
A
Kekuatan Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong Tingkat produktivitas ternak cukup baik Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat Total Kelemahan Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong Total Total Skor Internal
1 2 3 4 5
B 1 2 3 4 5
Bobot
Peringkat
Skor
0.127
3
0.381
0.110
3
0.330
0.123
3
0.369
0.119
3
0.357
0.107
2
0.214
0.586
1.651
0.122
4
0.488
0.112
3
0.336
0.060
1
0.060
0.055
2
0.110
0.065
2
0.130
0.414 1
1.084 2.735
Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden, diperoleh beberapa faktor internal yang mempengaruhi pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Secara keseluruhan total skor tertimbang untuk keseluruhan faktor lingkungan internal mencapai 2.735. Menurut David (2006), total nilai tersebut berada di diatas nilai rata-rata tertimbang (rata-rata = 2.5). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara internal komponen kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dalam rangka pengembangan ternak sapi potong saat ini memiliki komponen internal yang cukup potensial dalam memanfaatkan kekuatan yang ada dengan faktor kendala (kelemahan) yang masih mungkin diatasi Berdasarkan hasil pembobotan menunjukkan terdapat dua komponen yang menjadi kekuatan utama dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar yaitu : (a) agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong dan (b) tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai. Kondisi agrofisik dan potensi lahan dan tersedianya fasilitas layanan peternakan cukup kuat dalam memanfaatkan faktor kekuatan tersebut (peringkat = 3), sehingga faktor tersebut diperoleh skor tertimbang yang hampir sama. Faktor lingkungan eksternal adalah faktor-faktor peluang yang dapat dimanfaatkan serta faktor-faktor ancaman yang harus diantisipasi dalam pengembangan kawasan sapi potong. Berdasarkan Tabel 18, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan total skor tertimbang faktor lingkungan eksternal sebesar 2.782. Menurut David (2006), total nilai tersebut berada di atas nilai rata-rata tertimbang (rata-rata = 2.5). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara eksternal, perkembangan kawasan sapi potong sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal dengan memanfaatkan peluang yang cukup baik dan ancaman yang harus diantisipasi juga cukup tinggi. Hasil perhitungan EFE menunjukkan bahwa faktor peluang yang sangat penting pengaruhnya dalam rangka pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah terbukanya peluang pasar hasil ternak sapi potong baik lokal maupun ekspor dengan bobot tertinggi sebesar 0.180. Menurut pendapat responden, faktor terbukanya peluang pasar hasil ternak sapi potong baik lokal maupun ekspor direspon dengan baik oleh para pelaku (stakeholders)
yang terlibat langsung dengan kegiatan kawasan sapi potong yang ditunjukkan dengan nilai peringkat sebesar 3, sehingga diperoleh skor tertimbang sebesar 0.540. Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar seperti ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Hasil Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) No
Faktor Penentu Eksternal
A
Peluang Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong Total Ancaman Adanya wabah penyakit menular Pemotongan induk betina produktif Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas Kondisi politik, keamanan dan konflik internal Total Total Skor Eksternal
1 2 3
4
B 1 2 3 4
Bobot
Peringkat
Skor
0.180
3
0.540
0.151
3
0.453
0.095
3
0.285
0.070
2
0.140
0.496
1.418
0.117 0.172
2 3
0.234 0.516
0.101
2
0.272
0.114
3
0.342
0.504 1
1.364 2.782
Faktor peluang pasar hasil ternak sapi potong terutama daging baik lokal maupun ekspor merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan ternak sapi potong. Peluang pemenuhan kebutuhan daging sapi di Provinsi Aceh sangat terbuka dan juga peluang ekspor daging sapi ke negara tetangga dan negara timur tengah sangat terbuka karena permintaan di negara tersebut cenderung meningkat. Selain itu kebijakan ekspor pangan ke negara-negara tersebut mengharuskan adanya label produk pangan dengan label ASUH (aman,
sehat, utuh dan halal) dan hal ini sangat memungkinkan dilakukan daerah-daerah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan mayoritas penduduk muslim sehingga peluang ekspor ke negara-negara tersebut dapat dimanfaatkan.
Alternatif Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Aceh Besar Alternatif strategi dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dilakukan dengan pendekatan analisis matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats).
Analisis
matriks
SWOT
merupakan kelanjutan dari analisis matriks IFE dan EFE melalui pencocokkan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Hasil penggabungan faktor internal dan ekternal melalui matriks SWOT, maka alternatif strategi yang diperoleh adalah; strategi SO (Strenghts-Opportunities); strategi ST (Strenghts-Threats); strategi WO (Weaknesses-Opportunities); dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Matriks SWOT pengembangan ternak sapi potong dapat dilihat pada lampiran 2. Strategi SO (Strenghts – Opportunities) Perumusan strategi SO (Strenghts – Opportunities) didasarkan kepada pengelolaan kekuatan yang dimiliki kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam pengembangan produktifitas kawasan sapi potong. Perumusan strategi SO (Strenghts – Opportunities) menghasilkan strategi yaitu: “Peningkatan produktifitas kawasan sapi potong melalui optimalisasi potensi lahan, sumberdaya petani ternak dan sumberdaya ternak yang ditunjang dengan peningkatan fasilitas layanan peternakan, mengadopsi teknologi dan akses pemasaran untuk meningkatkan skala usaha dan pendapatan petani ternak”. Pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar adalah melalui pola pengembangan kawasan agribisnis sapi potong yang diarahkan pada keterpaduan usaha tani antara ternak sapi potong dengan tanaman pangan, perkebunan (kawasan peternakan terpadu) dan kehutanan yang
memiliki kegiatan utama usaha ternak sapi potong, seperti lahan pengembalaan umum, ranch peternakan dan kawasan hutan tanaman industri. Pengembangan dan peningkatannya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga mengarah kepada wilayah/daerah yang berkembang, mandiri dan memiliki nilai ekonomis. Pencapaian
tujuan
tersebut
maka
penataan,
pembinaan
dan
pengembangannya harus dilakukan secara bertahap dan terpadu berdasarkan kesepakatan dan berbagai instansi terkait daerah, sehingga semua kegiatan, fasilitas, sarana, prasarana dapat terarah dan terkait, menuju kepada: a). komoditas yang diunggulkan; b).wilayah yang diandalkan sebagai sentra produksi; c). peternak yang mandiri dan partisipatif; d). kelembagaan peternak yang berkembang dan dinamis; e). usaha ternak sapi potong yang menguntungkan dengan skala usaha yang ekonomis, baik tingkat peternak, kelompok, usaha bersama antar kelompok, koperasi maupun skala usaha pada tingkat kawasan dan sentra-sentra produksi; f). Kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan yang terpadu; g). pakan yang cukup baik kuantitas dan kualitas; serta h). sumber pembiayaan/perkreditan yang menunjang. Strategi WO (Weaknesses – Opportunities) Perumusan strategi WO (Weaknesses – Opportunities) didasarkan kepada mengatasi kelemahan yang dimiliki Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis di Provinsi Aceh. Perumusan strategi WO (Weaknesses – Opportunities) menghasilkan strategi yaitu: “Peningkatan partisipasi dan motivasi petani ternak serta kemampuan manajerial kelompok tani ternak melalui penguasaan dan adopsi teknologi dengan melakukan koordinasi yang intensif dengan pemerintah untuk mendapatkan akses permodalan dan jaminan”. Seluruh Stakeholders yang terkait dengan pengambangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar diperlukan koordinasi yang baik, karena akan sangat menentukan keberhasilan dari pembangunan tersebut. Stakeholders yang terlibat dalam pembangunan peternakan sapi potong tersebut harus memiliki
peran yang jelas dalam pembangunan peternakan sapi potong yang terdiri dari : Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Aceh Besar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Promosi dan Investasi, Dewan Legislatif (DPRA Tingkat I dan II), Perguruan Tinggi, Lembaga permodalan dan peternak/swasta. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan provinsi dan kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam memiliki peran dalam pengembangan usaha ternak sapi potong sebagai insulator sekaligus sebagai regulator, oleh karena itu fungsi dan kontribusinya adalah: pembangunan kebijakan sektoral dan penyedian dana pengembangan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan lebih memiliki peran pada subsistem hilir, yaitu pengembangan industri hasil olahan daging sapi dan ikutannya dan sistem perdagangan dalam maupun luar negeri. Badan Promosi dan Investasi berperan mempromosikan peluang usaha sapi potong dan produk daging sapi dan hasil olahannya dalam rangka menarik investor untuk menanamkan modalnya di sektor usaha sapi potong. Dewan legislatif berperan sebagai pendukung dan pengawasan dalam kegiatan pengembangan usaha ternak sapi tersebut. Perguruan tinggi negeri maupun swasta yang berperan sebagai konduktor harus mampu menjadi mitra inovatif bagi lembaga lain. Pemberian bantuan kredit merupakan peran yang diemban oleh lembaga permodalan serta swasta/peternak berperan sebagai pelaku usaha dalam pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Koordinasi dari seluruh stakeholders yang terkait sangat dibutuhkan dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada seperti: daya dukung sumber daya lahan dan pakan, perkembangan teknologi dan sistem informasi serta jumlah rumah tangga petani ternak yang masih cukup tersedia sebagai pelaku usaha. Dengan adanya koordinasi yang baik antar seluruh stakeholders dalam memanfaatkan potensi yang ada maka akan memberikan dampak positif bagi pengembangan kawasan sapi potong. Strategi ST (Strenghts – Threats) Perumusan strategi ST (Strenghts – Threats) didasarkan kepada pengelolaan kekuatan yang dimiliki kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh
Besar untuk mengantisipasi ancaman yang ada dalam pengembangan ternak sapi potong . Perumusan strategi ST (Strenghts – Threats) menghasilkan strategi yaitu: “Peningkatan Sumber Daya Manusia Peternakan (peternak, penyuluh, inseminator, paramedis) melalui pola pembinaan kelompok peternak, pelatihanpelatihan, magang dan studi banding dalam upaya meningkatkan motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari SDM peternakan”. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) peternakan khususnya peternak, dilakukan dengan mengintesifkan penyuluhan, pembinaan peternak, pelatihan
dan
peningkatan
pengetahuan
manajerial
dan
kelembagaan.
Peningkatan SDM peternak, diharapkan agar peternak dapat mengelola kelompok atau koperasi dengan baik dan lebih berperan aktif dalam menerima penyuluhan yang berhubungan dengan pengembangan permodalan, manajemen usaha ternak sapi potong, distribusi dan pemasaran hasil, serta mempunyai daya saing dalam memasuki era pasar bebas. Peningkatan penguasaan manajerial dan teknologi dapat dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan teknologi tepat guna dan melaksanakan magang ke kelompok-kelompok ternak yang sudah maju atau perusahan peternakan. Strategi WT (Weaknesses – Threats) Perumusan strategi WT (Weaknesses – Threats) didasarkan kepada mengatasi kelemahan yang dimiliki kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar untuk mengantisipasi ancaman yang ada dalam
rangka
pengembangan ke tahapan kawasan mandiri dengan konsep agribisnis. Perumusan strategi WT (Weaknesses – Threats) menghasilkan : “Penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang berkesinambungan dan dikontrol dengan baik oleh dinas peternakan Aceh Besar”. Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dan usaha menengah atau besar yang disertai dengan pembinaan oleh usaha menengah atau usaha besar tersebut. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip saling mebutuhkan, memperkuat dan menguntungkan. Secara ekonomi kemitraan merupakan esensi kemitraan yang terletak pada kontribusi bersama, baik berupa
tenaga (labour) maupun benda (proverty) atau keduanya untuk tujuan kegiatan ekonomi. Pengendalian kegiatan dilakukan bersama dimana pembagian keuntungan dan kerugian didistribusikan diantara pihak yang bermitra. Kemitraan usaha ditujukan untuk menumbuhkan, meningkatkan kemampuan dan peranan usaha
kecil
dalam
perekonomian nasional
khususnya
dalam
mewujudkan usaha kecil sebagai usaha yang tangguh dan mandiri yang mampu menjadi tulang punggung dan mampu memperkokoh struktur perekonomian daerah yang berbasis pada komoditi peternakan. Model Kemitraan Usaha Ternak sapi potong di kabupaten Aceh Besar yang dapat dilaksanakan melalui kerjasama diantara pengusaha pengolahaan atau eksportir (inti), petani ternak (plasma) dengan melibatkan UPTD Ruminansia Besar (pemerintah) dan bank pemerintah atau swasta (perbankan) sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan pengusaha pengolahan atau eksportir dalam Pola Kemitraan, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat
(PIR). Petani/usaha
kecil merupakan plasma
dan Perusahaan
Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikutsertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Hal ini bertujuan antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Hubungan kemitraan perusahaan inti (industri pengolahan atau eksportir) dan petani plasma/usaha kecil memiliki kedudukan hukum yang setara dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. Rumusan model kemitraan pada komoditi ternak sapi potong diindikasikan bahwa kerangka dasar pola kemitraannya terdiri dari inti dan plasma, dimana perusahaan inti bertindak sebagai penyedia sarana produksi sapi bakalan, teknologi dan pakan untuk selanjutnya menampung hasil penggemukan yang dilakukan oleh peternak plasma serta melakukan pengolahan dan
pemasaran. Plasma berkewajiban memelihara sapi yang digemukkan. Rumusan model kemitraan pengembangan kawasan agribisnis sapi potong dapat dilihat pada Gambar 18. Kemitraan Tripartit
Sapronak
Perusahaan Inti (pengusaha/ eksportir)(peng
(peng
Permodalan
Bibit Teknologi Layanan Teknis(peng
UPTD
(peng
Budidaya
(peng
Bakalan Pakan Lahan Tenaga Kerja
Pemasaran
Penggemukan Dalam Negeri
(peng Daging konsumsi Dendeng Sosis dll
Pembibitan
(peng Peternak Plasma (kelompok ternak)
Pengolahan
(peng
Luar Negeri
(peng
Pembiakan (cow calf operation)
(peng
Gambar 18 Rumusan Model Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong
Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Penetapan prioritas strategi pengembangan kawasan sapi potomg di Kabupaten Aceh Besar dilakukan dengan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Analisis QSPM merupakan kelanjutan dari analisis SWOT sebagai tahapan pengambilan keputusan (decision stage). Pada analisis QSPM, alternatif strategi yang diperoleh dari analisis SWOT diprioritaskan berdasarkan tingkat ketertarikan dari lingkungan internal dan eksternal pada pengembangan kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar, sehingga strategi alternatif tersebut dapat dilakukan berdasarkan tingkatan prioritas kepentingannya. Urutan prioritas strategi ditunjukkan oleh total kemenarikan terbobot atau Total Attractiveness Score (TAS), total TAS tertinggi menempatkan alternatif strategi pada prioritas utama dan seterusnya sampai pada total TAS terendah yang merupakan alternatif strategi dengan urutan prioritas terendah. Hasil
perhitungan QSPM terdapat empat alternatif strategi sehubungan dengan pengembangan kawasan sapi potong VBC di kabupaten Aceh Besar, diperoleh hasil sebagaimana diperlihatkan pada lampiran 8. Berdasarkan hasil perhitungan QSPM didapatkan bahwa strategi I (SO) memperoleh nilai TAS tertinggi sebesar 7.1711 yaitu strategi penerapan kawasan agribisnis sapi potong terpadu (cluster) yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-subsistem dalam agribisnis dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang. Hal ini menunjukkan bahwa strategi tersebut menjadi prioritas utama dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar. Prioritas strategi kedua dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah strategi peningkatan Sumber Daya Manusia Peternakan (peternak, penyuluh, inseminator, paramedis) melalui pola pembinaan kelompok peternak, pelatihan-pelatihan, magang dan studi banding dalam upaya meningkatkan motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari SDM peternakan, dengan nilai TAS sebesar 6.1925. Prioritas strategi ketiga dalam pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang berkesinambungan yang dikontrol dengan baik oleh Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar dengan nilai TAS sebesar 6.1926. Strategi peningkatan koordinasi dengan semua pihak yang terkait (stakeholders) dalam memanfaatkan sumberdaya alam, perkembangan teknologi dan informasi serta ketersedian rumah tangga petani ternak untuk meningkatkan daya saing usaha sapi potong menjadi strategi keempat untuk pengembangan kawasan agribisnis sapi potong di Kabupaten Aceh Besar, dengan nilai TAS sebesar 6.0975.
Faktor Penentu Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Melalui analisis yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa sub elemen
kunci yang merupakan faktor penggerak keberhasilan program
pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar. Sub elemen tersebut sebagai penyusun pola pengembangan kawasan sapi potong berkaitan dengan ; sumberdaya lahan dan bibit ternak, sumberdaya manusia, teknologi dan informasi peternakan, fasilitas budidaya sapi potong, fasilitas karantina hewan,
fasilitas layanan peternakan dan kesehatan hewan, pasar dan pemasaran, kelembagaan petani ternak, dan lembaga keuangan (permodalan). Ketersedian sumberdaya manusia peternakan merupakan salah satu kebutuhan dan sub elemen kunci yang memiliki daya gerak besar bagi suksesnya program pengembangan kawasan agribisnis sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Menurut Deptan (2002), peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan peternakan, sumberdaya manusia tidak hanya sekedar faktor produksi melainkan yang lebih penting lagi adalah pelaku langsung kawasan peternakan. Sasaran penting pengembangan sumberdaya manusia di kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar mencakup tiga hal pokok ; (1) meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan ketrampilan sehingga sejalan dengan pengembangan teknologi peternakan pada sistem usaha agribisnis, (2) mengembangkan kewirausahaan bagi peternak sehingga dapat menjadi pelaku ekonomi bidang peternakan yang handal, (3) meningkatkan kemampuan kerja stakeholders langsung pengembangan kawasan sapi potong sehingga dapat terbentuk jaringan akses di kelembagaan yang ada pada setiap sub-sistem agribisnis (hulu, on-farm, hilir, dan pendukung). Untuk mencapai sasaran yang diharapkan dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar maka ada beberapa kebijakan dan operasional yang dapat dilakukan. Penerimaan tenaga teknis yang bertugas pada UPTD Ruminansia Besar Kabupaten Aceh Besar masih diperlukan, selain itu diusahakan tenaga tersebut berdomisili berdekatan dengan kawasan sapi potong dan baik sebagai tenaga kontrak atau honorer namun diupayakan sebagai pegawai negeri dalam lingkup pemerintah daerah. Pembinaan terhadap sumberdaya mansia yang ada pun harus dilakukan secara kontinu melalui pelatihan dan magang. Pembinaan terhadap peternak dan petugas peternakan diarahkan pada upaya terjadinya transfer teknologi dalam budidaya sapi potong, teknologi penanganan limbah sumber biogas dan pupuk organik. Bila dilakukan pengelolaan yang baik, hasil pengolahan limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan tambahan penghasilan. Selain itu diharapkan pembuatan instalasi biogas dapat menjadi motivator bagi peternak
pemula dan penduduk sekitarnya untuk beternak sapi potong Hal tersebut sangat dimungkinkan karena dengan beternak sapi potong, ketergantungan akan bahan bakar konvesional (minyak dan gas) sebagai sumber energi dan penerangan dapat digantikan oleh KTS (kotoran ternak segar) sapi potong. Pembinaan terhadap kelompok ternak sebagai peternak binaan dan partner dari UPTD Ruminansia Kabupaten Aceh Besar perlu diintesifkan karena fungsi kelompok ternak akan mendukung kegiatan UPTD Ruminansia Besar. Kelompok peternak memerlukan pembinaan intensif dari petugas peternakan karena sebagian besar responden menyatakan kurang memperoleh pembinaan dari petugas peternakan. Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar diharapkan dapat lebih mengintesifkan program terpadu lintas sektoral dan instasi yang terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan sapi potong sehingga dapat dicapai efektifitas pemanfaatan sumberaya lahan dan sumberdaya manusia. Kualitas bibit sapi potong yang rendah di kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar dipengaruhi oleh kurang tersedianya bibit berkualitas sehingga bibit dasar dalam populasi yang dikembangkan memiliki mutu genetik rendah. Kondisi tersebut apabila tidak ada suatu penangganan dan manajemen budidaya yang baik akan mengakibatkan produktifitas ternak akan menurun. Oleh karena it perlu diterapkan “good breeding practice” yang dapat dilakukan berupa ; (1) sistem perkawinan silang melalui proses seleksi bibit, (2) memasukkan pejantan sapi Bali unggul yang memiliki performans baik, dan (3) pencatatan (recording) ternak secara teratur. Fasilitas layanan peternakan dan prasarana transportasi yang belum memadai perlu ditingkatkan terutama untuk layanan kesehatan ternak. Pembangunan poskeswan beserta sarana dan prasarana serta penambahan tenaga dokter hewan dan paramedis kesehatan hewan perlu direalisasikan, guna menunjang perbaikan kesehatan dan penangganan penyakit serta perbaikan penangganan reproduksi ternak. Prasarana jalan menuju lokasi perlu diperbaiki dan ditingkatkan guna memudahkan aksesibilitas petani ternak maupun petugas teknis. Sarana dan prasarana seperti embung air (dam) perlu dibangun apabila belum tersedia atau ditingkatkan apabila sudah tersedia untuk menjamin
ketersedian air sepanjang tahun, selain itu pagar di area kawasan sapi potong juga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menjamin keamanan. Berkaitan dengan ketersedian hijauan pakan ternak maka peningkatan kualitas padang penggembalaan dapat dilakukan beberapa mekanisme dan tahapan dengan menerapkan manajemen pengelolaan padang penggembalaan. Introduksi hijauan pakan ternak unggul dan pola budidayanya disesuaikan dengan kondisi agrofisik lahan dan ekosistem setempat. Kombinasi rumput dan legum yang tahan injakan dan penggembalaan sangat disarankan untuk meningkatkan nilai gizi dan produksi hijauan padang rumput di kawasan dengan pola penggembalaan. Penyediaan instalasi tepat guna untuk pengolahan limbah pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan nilai gizi pakan ternak baik berupa sillase maupun konsentrat, serta instalasi pembuatan biogas dan kompos untuk memanfaatkan limbah sapi potong. Sistem pemasaran ternak yang berjalan selama ini di lokasi penelitian merupakan sistem pemasaran tradisional. Untuk itu pemerintah dalam hal ini UPTD Ruminansia Besar difungsikan sebagai penyedia fasilitas dan pelaksana pasar sekaligus pengontrol pasar, seluruh hasil panen berupa ternak sapi hidup dijal peternak dengan standar harga pasar tertinggi kepada UPTD. Hal ini dimaksudkan agar peternak terhindari dari persaingan pasar yang cenderung merugikan peternak sebagai produsen, selain itu akan memotivasi kelompok ternak untuk semakin mengembangkan usaha ternaknya.
Kebijakan dan Program Pengembangan Kawasan Sapi Potong
Konsep pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar hendaknya berbasis pendekatan agribisnis terpadu dengan memanfaatkan sumberdaya lokal. Pengembangannya dimulai dengan perencanaan di tingkat kelembagaan petani ternak dan UPTD Ruminansia Besar yang selanjutnya diarahkan kemitraan dengan pengusaha (pengusaha daging atau eksportir) dan perbankan. Kelembagaan petani ternak sebagai pelaku usaha yang bergerak di sub sistem agribisnis hulu dan budidaya, sedangkan UPTD Ruminansia Besar meliputi kegiatan pada sub sistem hulu dan pendukung. Integrasi hulu-hilir dan
horizontal-vertikal perlu mendapatkan tekanan perhatian dalam pendekatan agrisbisnis terpadu agar pengembangan kawasan sapi potong berjalan efisien dan bermanfaat secara ekonomis bagi semua stakeholder. Integrasi yang dimaksud meliputi : (a) keterpaduan sistem produksi , (b) pengembangan skala usaha, (c) penyediaan dan pengembangan modal, (d) adopsi teknologi tepat guna khususnya dalam hal pakan, pengendalian penyakit, dan pengembangan model kawasan, (e) pemberdayaan kelembagaan petani ternak, (f) seleksi target peternak dan lokasi yang tepat, (g) peningkatan dan distribusi fasilitas pelayanan peternakan, dan (h) pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif dan berkelanjutan. Berdasarkan
hasil
rumusan
yang
telah
ditetapkan
dengan
mempertimbangkan potensi dan faktor kendala pengembangan kawasan sapi potong, maka ditetapkan kebijakan sebagai berikut : (1). Penguatan Sistem Pengembangan Kawasan Kawasan perlu dukungan beberapa kebijakan berikut ini : a. Perlindungan penggunaan lahan pengembangan kawasan sapi potong VBC Kabupaten Aceh Besar dalam rangka mewujudkan jaminan dan keberlanjutan usaha sapi potong. Kawasan yang telah ada beserta area pengembangannya perlu mendapat kepastian status lahan sehingga tidak menimbulkan kekawatiran akan adanya peralihan lahan untuk kegiatan lain. Kejelasan status lahan diperlukan dalam penyiapan dan pengembangan kawasan dengan sistem agribisnis terpadu yang mendukung sistem produksi secara berkesinambungan. b. Penetapan prioritas produksi dalam pengembangan kawasan sapi potong melalui penerapan konsep agribisnis secara terpadu pada semua kawasan. Kawasan sapi potong VBC di Kabupaten memiliki prioritas pengembangan kawasan yang hampir seragam melihat pada daya dukung wilayah dan potensinya, tetapi khusus lokasi desa Sukamulia akan diarahkan kepada pengembangan pilot proyek (demplot) informasi kawasan sapi potong. Kondisi ini memperhatikan potensi yang dimiliki kelompok petani ternak di desa Sukamulia dengan motivasi dan
partisipasi yang cukup kuat untuk melaksanakan pengembangan kawasan sapi potong walaupun keterbatasan sarana dan prasarana. c. Pengendalian pemasukan dan pengeluaran ternak untuk mencegah pengurasan stok khususnya bibit berkualitas. Sistem insentif bagi peternak yang mendukung upaya tersebut dapat diterapkan demi terjaganya sumberdaya bibit berkualitas. d. Pemanfaatan dana pembangunan pemerintah daerah untuk mendukung investasi pembibitan baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun swasta. Dalam anggaran pembangunan daerah, pemerintah perlu mengalokasikan dana secara khusus untuk mendukung pengembangan usaha pembibitan di samping mobilisasi dana yang berasal dari masyarakat luas dan investor. e. Mewujudkan iklim yang kondusif untuk mendorong partisipasi semua stakeholder melalui peraturan dan ketentuan yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam pengembangan usaha sapi potong. (2). Kebijakan yang ditempuh dalam Peningkatan Kualitas Pakan meliputi : a. Fasilitasi kerjasama lintas sektor dalam pemanfaatan sumber hijauan alami sebagai makanan ternak serta perlindungan terhadap kawasan sumber-sumber hijauan pakan, baik rumput maupun limbah pertanian. b. Kemudahan dalam investasi pengembangan industri pengolahan pakan berbasis sumberdaya lokal khususnya di sentra produksi. Selain peran investasi pemerintah, pihak swasta didorong dalam pembangunan industri pakan melalui fasilitasi pemerintah. (3). Dukungan kebijakan yang diperlukan dalam peningkatan iklim investasi yang kondusif menyangkut regulasi yang dapat meningkatkan minat investor dalam penanaman modal dalam berbagai lapangan usaha di bidang peternakan. Perijinan yang dewasa ini menjadi wewenang pemerintah daerah perlu dikelola secara lebih baik dengan sistem kelembagaan yang saling menguntungkan antara pemerintah, swasta dan peternak.
(4). Dalam mendukung strategi standardisasi mutu terpadu, kebijakan yang diperlukan meliputi : a. Up-grading bibit sehingga bibit yang dikembangkan semakin berkualitas. Teknologi budidaya diarahkan menggunakan standar Good Farming System (GFS) sehinga produk yang dihasilkan dapat bersaing secara internasional. Tuntutan konsumen akan semakin tinggi terhadap kualitas produk yang sangat ditentukan oleh manajemen budidaya. b. Standarisasi penanganan pasca panen. Nilai tambah pada kegiatan pasca panen umumnya lebih tinggi dari kegiatan budidaya. Oleh karena itu penanganan pasca panen memerlukan Standard Operasional Proccedure (SOP) secara lebih ketat. Hal ini sangat penting, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga dimaksudkan menurunkan tingkat resiko kerusakan dan kehilangan. c. Perbaikan sistem transportasi. Transportasi memiliki posisi strategis dalam kegiatan usaha sehingga pemerintah daerah perlu memberi perhatian terhadap tersedianya sarana transportasi untuk menjamin distribusi produk peternakan karena jarak lokasi antara produsen dengan konsumen produk ternak umumnya relatif jauh. (5). Peningkatan skala ekonomis dilakukan melalui kebijakan yang meliputi: a. Penyediaan paket bantuan ternak pemerintah kepada petani yang memiliki potensi pengembalian yang cukup tinggi. Pendampingan secara intensif dalam implementasi paket tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan tenaga pendamping yang kompeten. Lokasi dengan kepemilikan sumber daya pakan yang tinggi perlu mendapat prioritas. Penyebaran bibit atau bakalan lebih diorientasikan pada pengembangan usaha komersial skala cabang usaha dan usaha pokok. b. Memberikan kesempatan kepada pihak swasta dalam melakukan kemitraan dengan masyarakat peternak melalui model kemitraan dalam pengembangan usaha secara lebih efisien dan ekonomis. Kerjasama kemitraan yang perlu dikembangkan menyangkut kegiatan penyediaan sapronak dan pemasaran;
(6). Kebijakan yang perlu ditempuh dalam pengembangan riset dan sistem informasi antara lain meliputi: a. Memberikan kesempatan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam kegiatan riset dalam melakukan kajian potensi dan pengembangan sumberdaya kawasan sapi potong di Aceh Besar. Kerjasama pengembangan riset dengan instansi tertentu ini sangat strategis dalam upaya pembelajaran bagi masyarakat luas serta mengembangkan budaya riset di kalangan masyarakat luas. b. Penyediaan sarana dan pembinaan personel yang dapat mendukung kegiatan
koleksi
data
(recording)
informasi
peternakan
serta
memberikan pelayanan secara lebih efektif. Dalam hal ini perlu dialokasikan
dana
secara
khusus
untuk
membangun
jaringan
penyediaan dan pelayanan data dalam bentuk sistem informasi terpadu yang lebih murah dan mudah diakses. Kebutuhan data yang sangat diperlukan antara lain
menyangkut data produksi, teknologi,
permodalan, harga dan pasar. (7).
Kebijakan untuk strategi Optimalisasi Pelayanan Publik meliputi: a. Penyediaan dana pemerintah untuk pembangunan fasilitas pelayanan teknis budidaya dan pemanfaatan fasilitas bagi peternak. Efisiensi dan produktifitas yang masih rendah di tingkat peternak sangat memerlukan bantuan pemerintah dalam
kemudahan akses fasilitas
layanan yang disediakan. b. Penyediaan subsidi untuk pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan hewan dan kesmavet. Fasilitas pelayanan kesehatan hewan dan masyarakat veteriner yang memadai diperlukan dalam upaya mendukung proses produksi menghasilkan produk hasil ternak yang bersih, sehat, dan halal. c. Penyediaan
subsidi
dalam
pembangunan
fasilitas
pelayanan
penanganan produksi hasil ternak. Fasilitas pengolahan hasil ternak diperlukan untuk menghasilkan produk ternak dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
d. Menciptakan pelayanan prima dalam pemanfaatan fasilitas secara menyeluruh oleh peternak. Manajemen pelayanan fasilitas harus dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan efisiensi pelayanan di berbagai lokasi yang tersebar. e. Penempatan fasilitas pelayanan di lokasi yang strategis dengan konsep minimalisasi beban pelayanan. Tingkat kebutuhan fasilitas pelayanan di setiap daerah ditentukan berdasarkan faktor pembobot populasi ternak atau penduduk sesuai dengan jenis fasilitas yang tersedia. (8).
Kebijakan penguatan kelembagaan dan SDM meliputi : a. Kemudahan dan fasilitasi bagi petugas dan peternak dalam peningkatan wawasan, pengetahuan dan keterampilan terkait dengan sumberdaya peternakan. Dalam jangka panjang pengembangan sumberdaya perlu juga menyangkut teknik perencanaan, pembinaan masyarakat, manajemen proyek, monitoring dan evaluasi merupakan beberapa aspek pembinaan yang harus ditingkatkan. b. Intensifikasi komunikasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, balai penelitian, dan LSM untuk meningkatkan kerjasama dalam pengembangan teknologi, konsep, model dan manajemen yang terkait dengan pembangunan peternakan. Sasaran pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh
Besar dengan konsep agribisnis terpadu yang akan dicapai meliputi : 1) Peningkatan ketahanan produksi sapi potong. Di masa yang akan datang, produk ternak termasuk ruminansia akan semakin memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat luas yang cenderung terus mengalami peningkatan baik sebagai bahan pangan maupun untuk kegiatan jasa. Program peningkatan produksi sapi potong dimaksudkan untuk menjamin masyarakat dalam memperoleh pangan asal ternak dalam jumlah yang cukup dengan kondisi yang ’Aman, Sehat, Utuh dan Halal’ (ASUH). Secara spesifik aspek yang diperhatikan dalam ketahanan produksi sapi potong di Kabupaten Aceh Besar mencakup: (a) ketersedian input produksi, (b) ketersediaan produksi sapi potong; (c) ketersedian dan distribusi daging sapi yang merata; (d) diversifikasi produk, dan; (e) kesehatan dan kehalalan produk daging.
2) Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk. Persaingan pasar baik secara nasional maupun internasional masih menjadi kendala pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. Efisiensi produksi yang memerlukan biaya tinggi menjadi salah satu faktor kendala yang dihadapi peternak sapi potong di Aceh Besar dalam berkompetisi dengan peternak di wilayah lain. Perbaikan dalam sistem pengelolaan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah serta memiliki daya saing yang lebih baik. 3) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Ternak sapi potong dalam kehidupan masyarakat Aceh Besar telah memberikan kontribusi dalam sistem ekonomi rumah tangga petani ternak. Namun demikian, kontribusinya relatif mengalami penurunan beberapa tahun belakangan karena semakin terbatasnya bibit dan bakalan sehingga skala usaha semakin kecil. Posisi ternak dalam usahatani masih sebagai usaha sambilan karena kontribusinya masih sulit ditingkatkan. Di sisi lain waktu luang peternak cenderung semakin tinggi dengan menurunnya aktivitas tenaga kerja keluarga petani akibat menyempitnya kepemilikan lahan sawah dan ladang. Kondisi ini merupakan peluang lebih terbukanya kesempatan usaha pemeliharaan ternak dalam rangka peningkatan kontribusi usaha ternak dalam ekonomi rumah tangga. Peluang usaha ternak sebagai cabang usaha atau usaha pokok masih terbuka apabila didukung fasilitas dan program pembangunan secara tepat. 4) Pengembangan Unsur Penunjang Agribisnis Peternakan. Dalam upaya mencapai ketiga program utama di atas, diperlukan program penunjang yang diharapkan dapat mengakselerasi program utama. Program pengembangan unsur penunjang dalam agribisnis secara garis besar mencakup aspek sumberdaya manusia, fasilitas, dan kelembagaan.
Untuk mewujudkan sasaran pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dengan konsep agribisnis perlu disusun dalam suatu program yang terbagi menjadi program jangka panjang dan program jangka pendek. Program Jangka Panjang Program jangka panjang dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Program Jangka Panjang Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar No 1
2
Sasaran
Program
Peningkatan ketahanan a. Pengembangan model kawasan produksi sapi potong agribisnis terpadu b. Pengembangan teknologi hijauan pakan dan konsentrat c. Pengembangan fasilitas layanan peternakan Peningkatan nilai tambah dan a. Pengembangan teknologi diversifikasi daya saing produk pasca panen dan pengolahan b. Pengembangan sistem transportasi dan pemasaran
3
Peningkatan pendapatan dan a. Pengembangan sistem usaha skala kesejahteraan peternak ekonomis berbasis sumberdaya lokal b. Pengembangan sistem kemitraan budidaya ternak
4
Pengembangan penunjang peternakan
unsur a. Pengembangan riset peternakan agribisnis b. Pengembangan sistem informasi
1) Program peningkatan ketahanan produksi sapi potong meliputi : a. Pengembangan model kawasan agribisnis terpadu yang diarahkan untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya kawasan sapi potong melalui integrasi vertikal dan horizontal antar stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan sapi potong dan antar kawasan sapi potong yang berada di Kabupaten Aceh Besar. Integrasi yang dimaksudkan berkaitan dengan keterpaduan pada aspek budidaya,
manajemen padang penggembalaan, kebutuhan fasilitas, sarana dan prasarana serta kelembagaan. b. Pengembangan teknologi hijauan pakan dan konsentrat dengan bahan baku lokal dalam rangka peningkatan nilai gizi hijauan dari padang pengembalaan, sisa hasil tanaman pangan dan perkebunan dalam rangka efisiensi dan produktivitas dalam proses produksi budidaya sapi potong. c. Pengembangan fasilitas layanan peternakan dengan memperhatikan kebutuhan jenis fasilitas, kecukupan pelayanan fasilitas setiap sentra produksi serta pengembangan kelembagaan. 2). Program peningkatan nilai tambah dan daya saing produk peternakan meliputi: a. Pengembangan diversifikasi teknologi pasca panen melalui perbaikan dalam penanganan hasil ternak dan pengembangan teknologi pengolahan daging, kulit, dan hasil ikutan lainnya, b. Pengembangan sistim transportasi ternak dan hasil ternak yang mengarah pada adanya standardisasi alat pengangkutan ternak, manajemen pengangkutan ternak dan sarana penunjang
transportasi ternak yang
memadai untuk menjamin terpeliharanya kualitas produk dalam jangka waktu lebih lama dan jarak yang lebih jauh. 3). Program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak meliputi: a. Pengembangan model usaha skala ekonomis berbasis sumberdaya lokal dalam wadah kelompok peternak dengan harapan dapat dicapai efisiensi dalam proses produksi dan volume usaha komersial. b. Pengembangan sistem kemitraan budidaya ternak, dengan kajian tentang pihak stakeholders terkait, model kerjasama, jangka waktu kerjasama, bidang kerjasama, serta sistem pembagian hasil yang memberikan kepuasan dan kenyaman semua pihak terlibat. 4). Program pengembangan unsur penunjang agribisnis peternakan meliputi : a. Pengembangan riset dengan mengkaji bidang yang dibutuhkan melalui kerjasama dengan lembaga riset yang berkompeten.
b. Pengembangan sistem informasi untuk penataan database dan promosi potensi setiap kawasan. Selain sumberdaya manusia yang kompeten, teknologi dan sarana yang mendukung sangat diperlukan. c. Pengembangan sumberdaya manusia yang handal, baik pada tingkat petani-peternak maupun tenaga pendamping. Program Jangka Pendek Program jangka pendek dalam pengembangan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Program Jangka Pendek Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar No 1
2
3
4
Sasaran
Program
Peningkatan ketahanan a. Pengembangan sumber hijauan makanan produksi sapi potong ternak b. Pengembangan inovasi teknologi pakan aplikatif c. Pengembangan teknologi budidaya sapi potong Peningkatan nilai tambah a. Peningkatan kualitas bibit dan bakalan sapi dan daya saing produk potong b. Pengembangan fasilitas pemotongan ternak ruminansia c. Pengembangan teknologi pengolahan produk, sisa produk, dan limbah ternak d. Pengembangan sistem promosi hasil ternak Peningkatan pendapatan a. Pengembangan pola dan skala usaha dan kesejahteraan b. Pengembangan sistem pemasaran ternak peternak Pengembangan unsur a. Pengembangan iklim investasi penunjang agribisnis b. Penigkatan kelembagaan dan sumberdaya peternakan manusia (capacity building)
1). Program peningkatan ketahanan pangan produk peternakan meliputi : a. Pengembangan sumber hijauan makanan ternak yang diharapkan dapat menunjang terciptanya sistem produksi yang berkelanjutan melalui pemanfaatan sumberdaya hijauan yang tersedia di lokasi setempat. b. Pengembangan teknologi pakan aplikatif dengan sasaran dapat tercapainya ketersediaan pakan berkualitas secara kontinu sesuai dengan tingkat
kebutuhan setiap lokasi. Pengembangan inovasi teknologi pakan yang aplikabel dan ekonomis, manajemen pengelolaan pakan dan penyimpanan, dan sistem kelembagaan menjadi perhatian dalam program ini. c. Pengembangan teknologi budidaya ternak sapi potong untuk mewujudkan proses produksi secara lebih efisien dan ketersedian stok bibit dan bakalan secara berkesinambungan. 2). Program peningkatan nilai tambah dan daya saing produk meliputi : a. Peningkatan kualitas bibit dan bakalan sapi potong, b. Pengembangan fasilitas pemotongan ternak melalui pembangunan dan perbaikan sarana pemotongan hewan maupun Rumah Potong Hewan, c. Pengembangan teknologi pengolahan produk, sisa produk, dan limbah ternak melalui introduksi aneka teknik pengolahan, d. Pengembangan sistem promosi melalui strategi perluasan segmen dan wilayah pemasaran produk ternak dan hasil ternak sapi potong. 3). Program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak meliputi : a. Pengembangan pola usaha secara lebih ekonomis melalui manajemen pemeliharaan yang lebih efisien, penentuan produk yang menguntungkan, pengaturan waktu produksi dan penjualan, b. Pengembangan sistem pemasaran ternak yang efisien dan memberikan nilai jual yang lebih tinggi bagi peternak. 4). Program pengembangan unsur penunjang agribisnis peternakan meliputi : a. Pengembangan iklim investasi yang kondusif yang dapat menarik berbagai stakeholder untuk terlibat dalam pengembangan usaha peternakan baik dari masyarakat setempat maupun luar wilayah, b. Program peningkatan kelembagaan dan SDM (capacity building) dengan sasaran utama personil peternak dan petugas dari lembaga terkait.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Secara umum kondisi lokasi penelitian merupakan kawasan baru yang didominasi oleh wilayah yang datar dan sesuai bagi pengembangan sapi potong, didukung agrofisik lahan 30 – 40% daerah dataran berupa padang penggembalaan, alang-alang dan semak belukar. 2. Jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan untuk memenuhi daya tampung berdasarkan produksi hijauan yaitu sebesar 285.9, 225.3,
54.3, dan 2 ST masing-masing untuk kawasan yang berlokasi di
desa Saree Aceh , Sukamulia, Data Gaseu, dan Bareuh. 3. Produktivitas sapi Bali di kawasan sapi potong Kabupaten Aceh Besar baik kawasan Blang Ubo-ubo maupun Cot Seuribe masih termasuk rendah dan belum memenuhi kriteria sebagai kawasan pembibitan ternak karena belum diterapkannya konsep pembibitan ternak. 4. Beberapa faktor internal memiliki potensi yang cukup baik yaitu agrofisik dan ketersedian lahan, ketersedian tenaga kerja dan kontribusi usaha sapi poton terhadap pendapatan petani besar dapat ditingkatkan.
Saran 1. Untuk pengembangan sapi potong di kawasan Village Breeding Centre Aceh Besar pola yang memungkinkan diterapkan melalui integrasi disesuaikan dengan penggusahaan budidaya pertanian di lokasi kawasan tersebut seperti pola pengembangan sapi potong terintegrasi dengan usaha budidaya tanaman pangan, perkebunan, dan hutan produksi. 2. Berdasarkan kerangka pengembangan kawasan sapi potong maka dapat dilakukan dengan pola dua strata dimana UPTDTernak Ruminansia Besar dan Balai Pembibitan Ternak Unggul sapi Aceh sebagai inti dan peternak rakyat sebagai plasma dengan skala ekonomis pengembangan (minimal 10 ekor) dan berbasis pendekatan agribisnis terpadu.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah L. 2009. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Sebagai Sumber Penghasil Hijauan Pakan dalam Upaya Peningkatan Populasi Sapi. Panduan Seminar Nasional: Percepatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi di Indonesia. Bogor: Centras LPPM-IPB. Andini L, WT Sasongko, A Kurniawati, Suharyono. 2007. Pengaruh Jerami Jagung dan SPM Terhadap Produksi Gas Secara In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK. Bogor. Hlm 116-120. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Aceh Besar. 2010. Aceh Besar dalam Angka. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Kota Jantho. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal. 2004. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan. Jakarta: Bappenas. Bamualim AM, T Bess, C Talib. 2008. Arah penelitian untuk pengembangan sapi potong di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional; Palu 24 Nov 2008. Hlm 4-12. Daryanto A. 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Jakarta: PT. Permata Wacana Lestari. David FR. 2001. Strategic Management: Concepts and Cases. 8 th ed. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Departemen Pertanian RI. 2001. Keputusan Menteri Pertanian No.417/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Umum Penyebaran dan Pengembangan Ternak. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Departemen Pertanian RI. 2002a. Penyusunan Standar Kawasan Agribisnis Peternakan dalam Rangka Pengembangan Sistem Informasi. Jakarta: Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Departamen Pertanian Republik Indonesia. Departemen Pertanian RI. 2002b. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan NAD. 2010. Laporan Tahunan 2009. Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar. 2011. Laporan Tahunan 2010. Kota Jantho: Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Petunjuk Pelaksanaan Analisis Potensi Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Buku II. Bogor : Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Direktorat Jendral Peternakan. 2001. Pengembangan Kawasan Berbasis Peternakan. Jakarta: Departemen Pertanian.
Djagra IB, IB Arka. 1994. Pembangunan peternakan sapi Bali di Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Lokakarya Pengembangan Peternakan Sapi di Kawasan Timur Indonesia; Mataram. 6-8 Februari 1994. Glueck WF, LR Jauch. 1994. Manajemen Strategi dan Kebijakan Perusahaan. Jakarta: Erlangga. Gurnadi E. 1998. Livestock Development in Indonesia. Makalah Seminar Pengembangan Peternakan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gurnadi E. 2004. Prospek Agroindustri-Peternakan Sub Sektor Penggemukan Sapi. Workshop Sesi II Prospek Dunia Usaha dan Potensi Pembiayaannya Oleh Perbankan. Jakarta: Bank Indonesia Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Kay RD. 1981. Farm Management; Planing, Control and Implementation. Sao Paulo, Singapure, Sydney Tokyo: Mc Grawhill, Internative Book Company Martoyo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Maryono, E Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Musa S, AH Nasoetion. 2007. Landasan Statistika Kontemporer. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Natasasmita A, K Mudikdjo. 1980. Beternak Sapi Daging. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Otsuka J, K Kondo, S Simamora, SS Mansjoer dan H Martojo. 1980. Report: The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock. The Research Group of Overseas Scientific Survey Peranginangin. 1990. Perkembangan dan Pengendalian Penyakit Sapi Bali di Wilayah Pelayanan BPPH VI Denpasar. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Denpasar. Denpasar: Fapet Universitas Udayana. Putu IG, P Dewyanto, P Sitepu, TD Soedjana. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasioanl Peternakan dan Veteriner, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm 50-63. Rakhmat J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Rajab. 2009. Kajian pengembangan pembibitan sapi Bali di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Hijauan Makanan ternak. Yogyakarta: BPFE Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Sabrani M, M Panjaitan, A Mulyadi. 1981. Prospek Pengembangan Kambing dan Domba Bagi Petani Kecil dan Perlunya Pendekatan Keilmuan Terpadu. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Saputra H. 2010. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Provinsi Aceh. [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan (Kumpulan Pemikiran). Bogor: Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Siregar SB. 1997. Penggemukan Sapi. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Soekartawi A, Soehardjo, JL Dillon JB Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia. Soesanto M. 1997. Pengintegrasian Pembangunan Sub-sektor Peternakan dengan Pelestarian Keanekaragaman Hayati. Seminar Nasional Peningkatan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Subagio I, Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan. NUFIC. Malang: Universitas Brawidjaya. Sudardjat S. 2000. Potensi dan Prospek Bahan Pakan Lokal dalam Mengembangkan Industri Peternakan di Indonesia. Buletin Peternakan Edisi 10. Hlm 11-15. Tanari M. 1999. Estimasi Dinamika Populasi dan Produktivitas Sapi Bali di Propinsi Daerah Tingkat I Bali [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tawaf R. 1993. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Makalah Seminar. Jakarta: CIDES. Toelihere MR. 1983. Tinjauan Tentang Penyakit Reproduksi pada Ternak Ruminansia Besar. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Wiyono DB, Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Yusdja Y, N Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian RI.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
A B
Keterangan: A. Lokasi Penelitian I = Kawasan Blang Ubo-Ubo B. Lokasi Penelitian II = Kawasan Cot Seuribe
Lampiran 2 Rataan Skor Kondisi Tubuh dan Karakterisrik Sifat Kuantitatif Sapi Bali umur ≤ 1 tahun (gigi I0) di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar Kriteria (Peubah Diamati)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
1. Jumlah Sampel (n) (ekor) 4 7 7 1 Jantan 6 10 8 2 Betina 2.Skor Kondisi Tubuh 3.25a± 0.50 3.57a± 0.53 3.43a± 0.53 4.00a Jantan 3.50a± 0.55 3.30a± 0.48 3.25a± 0.46 4.00a Betina 3. Lingkar Dada (cm) 114.15a±2.40 113.99a±1.64 113.91a±2.13 112.50a Jantan a a a 109.42 ±1.38 109.35 ±0.97 109.58 ±1.02 109.40a±1.56 Betina 4. Tinggi Pundak (cm) 84.70a±0.81 85.00a±1.26 84.61a±1.04 84.00a Jantan 80.62a±1.24 79.42a±2.09 79.58a±2.21 79.00a±1.41 Betina 5. Tinggi Pinggul (cm) Jantan 86.68a±0.47 87.03a±0.69 86.53a±0.58 87.00a a a a Betina 83.32 ±1.06 81.95 ±2.47 82.14 ±2.63 83.35a±1.91 6. Panjang Badan (cm) Jantan 82.10a±0.58 82.64a±0.90 81.67a±0.82 81.00a a a a Betina 81.05 ±0.59 79.07 ±3.52 79.15 ±3.48 80.50a±0.71 7. Lebar Pinggul (cm) Jantan 24.50a±0.24 25.53a±0.97 24.39a±0.32 24.50a a a a Betina 25.13 ±1.16 26.08 ±1.87 26.15 ±1.85 22.50a±0.71 8. Lebar Dada (cm) Jantan 25.53a±0.21 25.71a±0.61 25.44a±0.38 27.00a a a a Betina 29.22 ±0.75 29.07 ±1.77 29.26 ±0.85 26.75a±0.35 9. Lingkar Cannon (cm) 11.40a±0.14 11.51a±0.38 11.36a±0.37 11.50a Jantan a a a 11.12 ±0.21 11.87 ±1.10 11.74 ±0.82 11.00a±0.71 Betina 10. Bobot Badan (kg) 90.05a± 7.32 90.97a±6.62 89.08 a±7.63 85.55a Jantan a a a 86.18 ± 3.71 83.99 ±3.41 84.81 ±3.58 83.82a± 5.40 Betina Sumber: Hasil Survey dan Analisis (2011) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05)
Lampiran 3 Rataan Skor Kondisi Tubuh dan Karakterisrik Sifat Kuantitatif Sapi Bali umur 1 – 2 tahun (gigi I1) di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar Kriteria (Peubah Diamati)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
1. Jumlah Sampel (n) (ekor) 0 2 4 0 Jantan 0 2 3 0 Betina 2.Skor Kondisi Tubuh 0 3.50a± 0.71 3.50a± 0.58 0 Jantan a a 0 4.00 3.67 ± 0.58 0 Betina 3. Lingkar Dada (cm) Jantan 0 123.55a±3.89 124.00a±2.12 0 Betina a a 0 119.10 ±0.85 119.10 ±0.79 0 4. Tinggi Pundak (cm) Jantan 0 99.25a±2.47 98.13a±1.31 0 Betina 0 95.50a±2.12 96.00a±1.73 0 5. Tinggi Pinggul (cm) Jantan 0 98.50a±2.12 96.75a± 1.19 0 Betina 0 96.80a±2.26 96.93a±1.62 0 6. Panjang Badan (cm) Jantan 0 97.20a±0.28 97.63a±0.75 0 Betina 0 94.15a±0.92 94.10a±0.66 0 7. Lebar Pinggul (cm) Jantan 0 28.45a±0.64 27.63a±0.48 0 Betina 0 28.40a± 0.14 28.43a±0.12 0 8. Lebar Dada (cm) Jantan 0 26.15a±0.78 25.70a± 0.22 0 Betina 0 26.00a± 0.14 26.00a±0.10 0 9. Lingkar Canon (cm) 0 14.15a±0.92 14.00a±0.41 0 Jantan a a 0 12.95 ± 0.07 0 Betina 12.97 ±0.06 10. Bobot Badan (kg) 0 0 Jantan 133.25a±1.32 131.23a±4.46 a a 0 0 Betina 117.59 ±3.52 117.56 ±2.25 Sumber: Hasil Survey dan Analisis (2011) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05)
Lampiran 4 Rataan Skor Kondisi Tubuh dan Karakterisrik Sifat Kuantitatif Sapi Bali umur ≥ 2 tahun (gigi I2) di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar Kriteria (Peubah Diamati)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh
1. Jumlah Sampel (n) (ekor) 7 4 1 1 Jantan 70 88 27 19 Betina 2.Skor Kondisi Tubuh 3.57a± 0.53 3.75a± 0.50 4.00a 3.00a Jantan 3.41a± 0.63 3.51a± 0.73 3.44a± 0.97 3.11a±0.79 Betina 3. Lingkar Dada (cm) Jantan 164.93a± 4.51 167.25a±3.59 162.00 a 161.00 a a a Betina 149.09 ± 6.85 149.36 ±6.37 150.17 ±6.19 149.37a± 4.73 4. Tinggi Pundak (cm) Jantan 122.86a±2.17 121.88a±1.65 121.00a 119.00a a a a Betina 111.44 ±3.72 111.49 ±3.66 111.46 ±3.70 107.68a±2.87 5. Tinggi Pinggul (cm) 116.89a± 2.10 117.55a± 2.15 118.00a 116.50a a a a Jantan 111.21 ± 4.12 111.03 ±4.20 111.25 ±3.67 111.27a±2.91 Betina 6. Panjang Badan (cm) 106.00a±2.02 106.38a±1.38 106.50a 108.00a a a Jantan 99.71 ± 6.02 99.29 ±5.66 96.46a± 3.48 99.51a±6.23 Betina 37.75a±0.65 38.00a 37.50a 7. Lebar Pinggul (cm) 37.86a±0.90 a a 36.07 ±2.65 36.66 ± 2.52 35.81a±1.89 Jantan 35.96a±2.66 Betina 42.00a 41.50a 8. Lebar Dada (cm) 39.83a±3.17 41.70a± 1.88 a a Jantan 33.46a±6.29 32.74a± 6.05 34.52 ±4.29 32.72 ±1.71 Betina 20.00a 19.50a 9. Lingkar Canon (cm) 18.71a±0.76 18.05a±0.71 a a 16.61a±0.63 16.59a±0.62 16.58 ±0.79 16.66 ±0.47 Jantan Betina a a 267.80a 271.68a 10. Bobot Badan (kg) 273.27 ±17.70 279.07 ±15.10 a 217.36a±21.88 218.62a±20.48 217a± 21.11 211.79 ±20.19 Jantan Betina Sumber: Hasil Survey dan Analisis (2011) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05)
Lampiran 5 Produksi Hijauan Pakan Ternak dan KPPTR di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar Uraian (Peubah Diamati) Jumlah Sampel (n) 1. Rataan Berat Segar (gr/m2) a.Rumput alam campuran b.Rumput introduksi (B.humidicola) c.Alang-alang d.Rumput potongan/R.Gajah (P.purpureum)
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 2 2 2 2 330 430
320 375
275 530
375 0
605 6990
515 6200
470 0
625 0
79.42 98.86
74.24 72.98
56.63 136.98
83.12 0
179.69 1564.48
152.96 1319.22
139.59 0
186.34 0
0.60 0.77
0.58 0.68
0.50 0.95
0.68 0
1.09 12.59
0.93 11.17
0.85 0
1.13 0
310 20
300 20
96 20
31 0
107 1
74 1
16 0
12 0
330.62
267.59
80.6
34.64
6. Jumlah Rumah Tangga Petani Ternak (KK)
394
42
96
90
7. PMKK (ST)
3940
420
960
900
8. Populasi Sapi Bali (ST)
80.5
98.3
35.3
31.8
9. KPPTRSL (ST)
250.12
169.29
45.3
2.84
10. KPPTRKK (ST)
3859.5
321.7
924.7
868.2
11. KPPTR Efektif (ST)
250.12
169.29
45.3
2.84
12. Kapasitas Tampung Relatif
32.18
58.07
77.92
1119.72
2. Rataan Bahan Kering (gr/m2) a.Rumput alam campuran b.Rumput introduksi (B.humidicola) c.Alang-alang d.Rumput potongan/ R.Gajah (P.purpureum) 3. Kapasitas Tampung (ST/Ha) a. Padang rumput alam b.Padang rumput buatan (B.humidicola) c. Padang Alang-alang d.Kebun rumput (P.purpureum) 4. Luas Lahan (Ha) a.Padang rumput alam b.Padang rumput buatan (B.humidicola) c.Padang Alang-alang d.Kebun rumput (P.purpureum) 5. PMSL (ST)
Sumber: Hasil Survey dan Analisis (2011
Lampiran 6 Penilaian Tingkat Perkembangan Kawasan untuk Kriteria Pembibitan pada Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar
Kriteria
Lahan a. Penguasaan lahan b. Alokasi untuk HMT
Bobot
Lokasi Penelitian Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor
2.5 2.5
10 10
25 25
10 10
25 25
10 9
25 22.5
10 9
25 22.5
Ketersedian HMT a. KPPTR efektif Ternak a. Tingkat kelahiran b. Tingkat kematian c. Skala usaha/Peternak d. Populasi e. Populasi
15
6
90
6
90
2
30
1
15
2.5 2.5 8 3.5 3.5
1 5 3 2 8
2.5 12.5 24 7 28
1 6 4 2 5
2.5 15 32 7 17.5
2 4 2 1 3
5 10 16 3.5 10.5
1 3 2 1 1
2.5 7.5 16 3.5 3.5
Teknologi Budidaya a. Jenis sapi b. Metode Pembiakan c. Pakan Ternak d. Penangganan Keswan
4 7 5 4
5 4 5 4
20 28 25 16
5 4 5 4
20 28 25 16
5 4 5 3
20 28 25 12
5 4 2 1
20 28 10 4
5
4
20
4
20
4
20
3
15
5
4
20
4
20
4
20
3
15
1 1 1
3 5 5
3 5 5
3 5 5
3 5 5
3 6 6
3 6 6
3 6 6
3 6 6
1 0.5 0.5
5 5 4
5 2.5 2
5 5 4
5 2.5 2
6 6 4
6 3 2
6 6 4
6 3 2
4 1 2 4 2 3 4
9 3 4 5 3 4 3
36 3 8 20 6 12 12
8 3 4 5 3 4 3
32 3 8 20 6 12 12
8 4 4 6 4 4 4
32 4 8 24 8 12 16
8 4 4 6 4 4 4
32 4 8 24 8 12 16
2.5 2.5
3 1
7.5 2.5
4 1
10 2.5
3 1
7.5 2.5
2 1
5 2.5
Peternak a. Tingkat pengetahuan b. Ketrampilan kelola usaha Tenaga Pendamping a. Dokter hewan b. Mantri hewan c. Inseminator d. Petugas pemeriksa kebuntingan e. Vaksinator f. Penyuluh Fasilitas a. Holding ground b. Lab. diagnostik c. Unit pelatihan d. Poskeswan e. Penyalur sapronak f. Pos IB g. Pasar heawan Kelembagaan a. Petani ternak b. Permodalan
Total Skor 100 472.5 Sumber: Hasil Survey dan Analisis (2011)
471
387.5
325
Lampiran 7 Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar STRENGTHS
IFAS
EFAS
1. Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 2. Tingkat produktivitas ternak cukup baik 3. Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 4. Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha 5. Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat
WEAKNESSES 1. 2.
3.
4.
5.
Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong
OPPORTUNITIES 1. Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 2. Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah 3. Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 4. Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong THREATS 1. Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 2. Pemotongan induk betina produktif 3. Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 4. Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
SO STRATEGIES
WO STRATEGIES
Optimalisasi sumberdaya lahan, petani ternak, dan fasilitas layanan peternakan melalui adopsi teknologi dan perluasan akses informasi yang melibatkan instansi pemerintah secara aktif guna meningkatkan produktifitas ternak, skala usaha, dan pendapatan petani (mengelola S1, S2, S4, dan memanfaatkan O1, O2 dan O3)
Meningkatkan kemampuan manajerial kelompok tani ternak kearah kelembagaan usaha berbadan hukum secara partisipatif dengan konsep agribisnis dan mengadopsi teknologi inovatif guna meningkatkan daya saing komoditas dan percepatan perkembangan wilayah sentra produksi sapi potong (memanfaatkan O2 dan O3, dan mengatasi W1, W2, W3, W4 dan W5)
ST STRATEGIES
WT STRATEGIES
Peningkatan kompetensi pelaku (stakeholders) pengelola kawasan sapi potong dalam mengoptimalkan potensi lahan dan ternak, efektifitas layanan peternakan dan kebijakan strategis guna menciptakan iklim usaha yang kondusif (mengelola S2, S3, S4 untuk mengantisipasi T1, T2, T3, dan T4)
Mengoptimalkan kemampuan kelola usaha untuk perbaikan teknis budidaya dan adopsi teknologi melalui peningkatan partisipasi dan kelembagaan petani ternak serta berkoordinasi dengan pemerintah dalam mengakomodasi akses permodalan dan jaminan pemasaran (mengatasi W1, W2 dan mengantisipasi T2, T3, T4 dan T5)
Lampiran 8 Hasil Penilaian Prioritas Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC di Kabupaten Aceh Besar A. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi I (SO). Optimalisasi sumberdaya lahan, petani ternak dan ternak serta fasilitas layanan peternakan melalui adopsi teknologi dan perluasan akses informasi yang melibatkan instansi pemerintah secara aktif guna meningkatkan skala usaha dan pendapatan petani Faktor - Faktor Strategis KEKUATAN Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong Produktivitas ternak dapat lebih ditingkatkan Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha Kontribusi usaha sapi potong dalam pendapatan petani ternak meningkat KELEMAHAN Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong PELUANG Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat Fungsi strategis sebagai wilayah sentra produksi sapi potong ANCAMAN Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi Pemotongan induk betina produktif Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
Responden 6 7 8 AS AS AS
1 AS
2 AS
3 AS
4 AS
5 AS
4 3 4 3 3
4 4 4 3 3
3 4 3 4 3
4 4 3 3 3
3 4 3 3 3
4 3 4 3 3
4 3 3 3 3
3 4 3 3 3
3 3 3 3 3
4 3 2 3 3
3 4 3 2 2
4 3 2 2 3
3 3 3 4 3
3 4 3 2
3 4 3 3
3 4 4 2
2 4 3 3
3 4 3 2
3 4 2 3
3 4 2 3
3 3 2 3
3 4 2 2
3 3 2 3
Rata12 Jumlah Rata AS
9 AS
10 AS
11 AS
4 3 4 3 3
2 4 3 2 2
3 4 3 3 3
4 3 4 3 3
4 3 4 3 2
43 42 42 36 34
4 4 4 3 3
3 4 3 3 3
4 3 2 2 2
3 3 2 2 3
3 3 2 3 2
4 3 2 3 3
3 3 3 3 3
40 39 30 33 33
3 3 3 3 3
2 3 3 3
3 4 3 2
4 3 4 3
3 3 3 3
4 4 3 2
3 3 4 3
4 4 3 3
37 44 39 31
3 4 3 3
3 4 3 4
4 3 2 3
3 3 3 3
3 4 2 3
3 3 2 3
3 3 3 3
3 3 3 3
37 41 28 36
3 3 2 3
B. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi II (WO). Meningkatkan kemampuan manajerial kelompok tani ternak kearah kelembagaan usaha berbadan hukum secara partisipatif dengan konsep agribisnis dan mengadopsi teknologi inovatif guna meningkatkan daya saing komoditas dan percepatan perkembangan wilayah sentra produksi sapi Responden Faktor - Faktor Strategis KEKUATAN Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong Tingkat produktivitas ternak cukup baik Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat KELEMAHAN Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong PELUANG Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong ANCAMAN Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi Pemotongan induk betina produktif Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
Rata12 Jumlah rata AS
1 AS
2 AS
3 AS
4 AS
5 AS
6 AS
7 AS
8 AS
9 AS
10 AS
11 AS
3 3 3 3 4
3 3 3 2 4
2 2 3 3 3
3 2 3 3 4
3 2 3 2 3
3 3 3 2 3
3 3 2 4 3
2 2 3 3 2
3 3 4 3 3
4 2 4 3 3
3 2 3 2 3
3 2 3 2 2
35 29 37 32 37
3 2 3 3 3
4 4 3 4 4
3 4 3 4 4
4 4 3 4 4
4 4 3 4 4
3 3 4 4 3
4 4 3 4 3
4 3 4 3 4
3 3 4 4 3
4 4 4 4 4
3 4 3 3 4
4 4 3 4 3
3 3 3 4 3
43 44 40 46 43
4 4 3 4 4
3 3 4 4
3 4 4 3
3 3 4 4
4 4 4 3
4 4 4 4
3 4 3 3
3 3 3 3
3 3 4 4
3 4 3 2
4 3 4 3
3 4 3 3
3 3 4 4
39 42 44 40
3 4 4 3
3 3 2 3
3 3 2 3
3 3 3 3
3 3 2 3
4 3 2 3
3 3 3 3
4 4 3 3
3 3 3 3
4 3 3 3
3 3 2 3
3 3 3 4
3 3 3 3
39 37 31 37
3 3 3 3
C. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi III (ST). Peningkatan kompetensi pelaku (stakeholders) pengelola kawasan sapi potong dalam meningkatkan produktifitas lahan dan ternak, efektifitas layanan peternakan, dan kebijakan strategis guna menciptakan iklim usaha yang kondusif Faktor - Faktor Strategis KEKUATAN Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong Tingkat produktivitas ternak cukup baik Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat KELEMAHAN Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong PELUANG Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong ANCAMAN Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi Pemotongan induk betina produktif Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
Responden 6 7 8 AS AS AS
1 AS
2 AS
3 AS
4 AS
5 AS
3 3 4 4 3
3 3 4 3 3
3 4 3 4 4
3 3 4 4 3
3 4 3 3 4
3 4 4 3 3
3 3 4 4 2
4 3 3 2 3
3 2 3 3 2
3 3 2 2 3
4 2 2 2 2
3 3 2 3 3
3 3 1 2 3
3 3 3 3
3 3 3 2
3 4 3 3
2 3 3 2
3 4 2 2
3 4 2 3
3 4 2 4
3 4 3 3
3 3 2 3
4 4 2 4
Rata12 Jumlah Rata AS
9 AS
10 AS
11 AS
3 2 3 4 3
3 3 4 3 3
4 3 3 4 3
3 4 4 3 2
3 4 4 3 3
37 40 44 42 36
3 3 4 4 3
4 2 2 2 2
4 3 2 3 2
3 3 1 2 2
3 3 2 3 2
3 2 2 2 3
3 2 3 3 3
40 31 25 29 30
3 3 2 2 3
2 3 4 3
2 4 3 2
2 3 3 3
2 4 3 2
3 3 2 2
2 3 4 2
2 4 3 3
29 41 36 29
2 3 3 2
3 3 3 4
4 4 3 3
4 4 3 3
4 3 3 4
3 4 2 4
3 3 3 4
3 3 3 3
40 43 31 42
3 4 3 4
D. Penilaian Attractiveness Score untuk Strategi VI (WT). Mengoptimalkan kemampuan kelola usaha untuk perbaikan teknis budidaya dan adopsi teknologi melalui peningkatan partisipasi dan kelembagaan petani ternak serta berkoordinasi dengan pemerintah dalam mengakomodasi akses permodalan dan jaminan pemasaran Faktor - Faktor Strategis KEKUATAN Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong Tingkat produktivitas ternak cukup baik Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat KELEMAHAN Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong PELUANG Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong ANCAMAN Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi Pemotongan induk betina produktif Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas Kondisi politik, keamanan dan konflik internal
Responden 6 7 8 AS AS AS
1 AS
2 AS
3 AS
4 AS
5 AS
2 3 3 3 2
3 3 3 2 2
3 3 3 3 2
3 2 3 2 2
3 2 3 3 2
2 2 3 3 3
3 3 3 2 1
4 4 3 3 3
3 3 3 3 3
3 4 3 3 4
4 4 3 3 3
4 4 3 2 3
3 3 4 3 4
3 3 3 2
3 3 3 2
2 4 3 2
2 4 3 3
2 4 3 2
3 3 2 3
3 3 2 3
3 3 3 3
3 3 2 3
4 3 2 3
Rata12 Jumlah Rata AS
9 AS
10 AS
11 AS
3 1 3 3 2
2 1 3 2 2
3 2 2 3 2
3 2 3 2 3
3 3 2 3 2
33 27 34 31 25
3 2 3 3 2
4 4 3 3 2
4 3 3 3 3
3 3 3 3 3
3 4 3 2 3
4 3 3 3 4
3 3 3 3 4
42 42 37 34 39
4 4 3 3 3
3 3 2 2
2 4 2 2
3 3 2 3
2 3 3 3
2 4 3 2
3 3 4 2
2 4 3 3
29 42 34 28
2 4 3 2
3 3 3 3
4 4 3 3
4 3 3 3
4 3 3 3
3 3 2 3
3 3 3 4
3 3 3 3
40 37 31 37
3 3 3 3
E. Hasil Penetapan Prioritas Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC di Kabupaten Aceh Besar Kekuatan (Strengths)
Bobot
Agrofisik dan lahan cukup potensial untuk pengembangan sapi potong 0.127 Tingkat produktivitas ternak cukup baik 0.110 Tersedianya fasilitas layanan peternakan yang memadai 0.123 Potensi Rumah Tangga Petani Ternak memungkinkan peningkatan skala usaha 0.119 Kontribusi usaha sapi potong terhadap pendapatan petani ternak meningkat 0.107 Total Kelemahan (Weakness) Bobot Rendahnya partisipasi dan motivasi petani ternak 0.122 Kemampuan manajerial kelembagaan di tingkat petani ternak masih rendah 0.112 Penguasaan dan adopsi teknologi belum berkembang 0.060 Terbatasnya akses terhadap lembaga permodalan dan kemitraan usaha 0.055 Sistim tataniaga belum menjamin peningkatan insentif usaha sapi potong 0.065 Total Peluang (Opportunities) Bobot Prospek pasar dan harga produksi ternak relatif meningkat 0.180 Dukungan kebijakan program pemerintah pusat dan daerah 0.151 Berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin pesat 0.095 Fungsi strategis sebagai wilayah pengembangan sentra produksi sapi potong 0.070 Total Ancaman(Treaths) Bobot Adanya penyakit menular dan gangguan reproduksi 0.117 Pemotongan induk betina produktif 0.172 Kekuatan hukum peruntukkan dan pengguasaan lahan belum jelas 0.101 Kondisi politik, keamanan dan konflik internal 0.114 Total Nilai Total Prioritas Alternatif
Strategi I (SO) AS TAS 4 0.506 4 0.440 4 0.492 3 0.357 3 0.321 2.116 AS TAS 3 0.366 3 0.336 3 0.180 3 0.165 3 0.195 1.242 AS TAS 3 0.540 4 0.604 3 0.285 3 0.210 1.639 AS TAS 3 0.351 3 0.516 2 0.202 3 0.342 1.411 6.4082 II
Alternatif Strategi Strategi II (WO) Strategi III (ST) AS TAS AS TAS 3 0.380 3 0.380 2 0.220 3 0.330 3 0.369 4 0.492 3 0.357 4 0.476 3 0.321 3 0.321 1.647 1.999 AS TAS AS TAS 4 0.488 3 0.366 4 0.448 3 0.336 3 0.18 2 0.120 4 0.22 2 0.110 4 0.26 3 0.195 1.596 1.127 AS TAS AS TAS 3 0.54 2 0.360 4 0.604 3 0.453 4 0.38 3 0.285 3 0.21 2 0.140 1.734 1.238 AS TAS AS TAS 3 0.351 3 0.351 3 0.516 4 0.688 3 0.303 3 0.303 3 0.342 4 0.456 1.512 1.798 6.4886 6.1616 I III
Strategi IV (WT) AS TAS 3 0.380 2 0.220 3 0.369 3 0.357 2 0.214 1.540 AS TAS 4 0.488 4 0.448 3 0.180 3 0.165 3 0.195 1.476 AS TAS 2 0.360 4 0.604 3 0.285 2 0.140 1.389 AS TAS 3 0.351 3 0.516 3 0.303 3 0.342 1.512 5.9166 IV