Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
DUKUNGAN TEKNOLOGI VETERINER DAN STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT UNGGAS (AYAM) DI SEKTOR 3 DAN 4 R.M.A. ADJID, R. INDRIANI, R. DAMAYANTI, T. ARYANTI, dan DARMINTO Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata No. 30 PO Box 151, Bogor
ABSTRAK Industri peternakan unggas di Indonesia, berdasarkan sistem produksinya, dibagi ke dalam 4 sektor dengan porsi terbesar dari segi jumlah petani-peternak yang terlibat adalah sektor 3 dan 4. Disamping itu, sektor ini memiliki sebaran luas hampir di seluruh wilayah di tanah air. Namun sektor ini memiliki banyak kelemahan dalam hal sistem kesehatan hewannya dibandingkan dengan sektor 1 dan 2, sehingga kedua sektor ini lebih mudah mendapat serangan penyakit. Sistem produksi yang berbeda antar sektor 3 dan 4 juga mengakibatkan perbedaan permasalahan penyakit yang dihadapi. Berbagai penyakit unggas, antara lain Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI) dan internal parasit (cacingan) dianggap sangat menonjol pada ayam di sektor 4. Sementara itu untuk ayam di sektor 3, penyakit Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI), Infectious Bursal Disease (IBD), Kolibasillosis, dan Chronic Respiratory Disease (CRD) sering menimbulkan permasalahan. Permasalahan-permasalahan penyakit tersebut seharusnya sudah dapat diatasi karena telah tersedianya teknologi veteriner untuk mengatasi penyakit tersebut. Berbagai teknologi veteriner berupa obat hewan (vaksin, antibiotika), dan teknik diagnosis telah tersedia di Indonesia, beberapa diantaranya dihasilkan oleh BBalitvet. Namun demikian ketersediaan teknologi tersebut harus diiringi dengan pengetahuan dan tindakan upaya pengendalian penyakit yang efektif dan efisien. Sosialisasi teknologi dan strategi pengendalian penyakit, serta tersedianya obat hewan (vaksin dan obat) di sentra-sentra produksi unggas merupakan upaya pemecahan masalah kesehatan hewan di sektor 3 dan 4 yang perlu dilakukan. Kata kunci: Teknologi veteriner, unggas, ayam, sektor 3, sektor 4
PENDAHULUAN Ternak ayam merupakan komoditas peternakan yang paling banyak dipelihara oleh para petani-peternak di pedesaan. Produk komoditas peternakan ini adalah sumber protein hewani yang dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat secara luas. Berdasarkan sistem produksinya, maka di Indonesia industri peternakan ayam dikategorikan ke dalam 4 sektor, yaitu sektor 1 (industri besar terintegrasi/breeding farm), sektor 2 (populasi 20.000-50.000), sektor 3 (populasi 100020.000 ekor), dan Sektor 4 (ayam kampung populasi 1-100 ekor). Penanganan masalah kesehatan unggas di sektor 1 dan 2 dapat dianggap sudah memadai, karena sektor ini telah melakukan sistim kesehatan hewan yang ketat didukung dengan fasilitas yang sangat lengkap dan dilakukan secara terprogram. Sementara penanganan masalah kesehatan hewan di sektor 3 dan 4
22
masih sangat kurang, sehingga sektor ini mudah terancam serangan penyakit. Sektor 3, dengan populasi berkisar antara 1.000–20.000 ekor per peternakan, kebanyakan adalah ayam ras, baik petelur atau broiler. Sektor ini memiliki sistem produksi dan kesehatan hewan yang cukup baik dalam hal penanganan penyakit, namun tingkat biosekuritinya masih rendah sehingga masih rawan terhadap serangan penyakit. Ayam broiler di sektor 3 sangat terancam dengan penyakit AI karena lemahnya tingkat biosekuriti, dan ayam broiler tersebut tidak divaksinasi terhadap penyakit AI. Sektor 4 adalah usaha peternakan milik petani-peternak dengan jumlah kepemilikan ayam buras sampai sekitar 100 ekor. Sektor ini sangat lemah dalam sistem kesehatan hewan, bahkan tidak ada sama sekali, sehingga sangat rawan terhadap serangan penyakit. Bila tidak disentuh dengan teknologi veteriner, maka sektor ini akan hancur dan bahkan dapat mengganggu terhadap sektor lainnya. Jumlah
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
peternakan sektor 4 merupakan yang terbanyak dan tersebar merata di seluruh provinsi/ kabupaten/desa yang ada. Secara keseluruhan populasi ayam buras di Indonesia diperkirakan mencapai 297 juta ekor. Kontribusi produk dari ayam buras (daging dan telur) ini untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak boleh diabaikan. KUSNADI et al. (2001) melaporkan dari hasil studinya di Jawa Tengah pada tahun 1998, yaitu suplai ayam buras mencapai 58.000 ton daging dan 34.000 ton telur. Angka ini memperlihatkan bahwa ayam buras mensuplai 20% daging dan 70% telur dari total produksi asal ternak. Selanjutnya bila diusahakan secara baik, dengan skala 300 – 500 ekor ayam buras petelur, peternak akan mendapat keuntungan sebesar Rp. 475.000,per bulan. Berbagai jenis penyakit unggas menular tersebar hampir secara merata di wilayah di Indonesia. Pada daerah endemik penyakit unggas berbahaya, maka penyakit menjadi faktor penghambat atau pembatas bahkan penghancur industri unggas. Saat ini penyakit AvianiInfluenza (AI) atau Flu Burung menjadi bukti nyata sangat bahayanya keberadaan suatu penyakit di sentra produksi unggas. Sementara itu penyakit lainnya, seperti ND, telah ada dan harus terus menerus dicegah untuk melindungi ternak unggas di semua sektor. Upaya pencegahan penyakit tentunya memberikan konsekuensi penambahan biaya operasional/ produksi. Makalah ini menginformasikan dukungan teknologi veteriner untuk mengendalikan penyakit unggas yang sering menimbulkan masalah di sektor 3 dan 4. Beberapa teknologi veteriner tersebut telah dihasilkan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet). Rekomendasi strategi pengendalian penyakit unggas di sektor 3 dan 4 juga dituangkan dalam makalah ini. PENYAKIT MENULAR PADA AYAM DI SEKTOR 3 DAN 4, SERTA TEKNOLOGI VETERINER YANG TERSEDIA Berbagai jenis penyakit ayam telah banyak dilaporkan kejadiannya di Indonesia, antara lain Avian influenza (AI), Newcastle Disease (ND), Infectious Bursal Disease (IBD), Marek, IB, ILT, Snot, Kolera Unggas, CRD, Pullorum,
Kolibasillosis, Kekerdilan, Ascariasis, Koksidiosis, dan Leukositozoonosis (DHARMAYANTI et al., 2004; SAEPULLOH et al., 2003; HERNOMOADI et al., 2002; POERNOMO dan JUARINI, 1996; RONOHARDJO et al., 1992; DARMINTO, 1992; ISTIANA et al., 1992; POERNOMO, 1975; RONOHARDJO, 1974; SYAMSUDIN, 1987). Meskipun penyakit tersebut telah dilaporkan kejadiannya, informasi yang rinci dan akurat mengenai prevalensi, distribusi, morbiditas, mortalitas, serta pengaruhnya pada produktifitas untuk beberapa penyakit tertentu masih sangat terbatas. Oleh karena itu maka penelitian tentang penyakit unggas perlu terus dilakukan, teknologi veteriner perlu terus dikembangkan, serta teknologi yang sudah ada perlu disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produktifitas unggas. Untuk unggas di sektor 3, diantara penyakit tersebut di atas yang paling sering terjadi adalah penyakit Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), Infectious Bursal Disease (IBD), Kolibasillosis, serta Chronic Respiratory Disease (CRD). Sementara untuk unggas di Sektor 4, maka penyakit yang paling dianggap mengganggu adalah Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND). Penyakit dan ketersediaan teknologinya dalam rangka pengendalian penyakit diuraikan seperti di bawah ini. Avian influenza (AI) atau flu burung Avian influenza (AI) atau Flu Burung disebabkan oleh virus influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae) (EASTERDAY, et al., 1997). Sejak mewabahnya penyakit ini tahun 2003 sampai dengan saat ini di Indonesia penyakit terus mengakibatkan kematian unggas yang masih rentan. Pada awalnya penyakit mewabah di pulau Jawa, selanjutnya secara cepat merebak ke daerah lain seperti Lampung, Bali, Madura, Kalimantan, Sumatera, NTB, NTT, Sulawesi dan Papua. Penyakit AI ini tidak hanya menyerang ayam ras dan lokal, tetapi juga jenis unggas lainnya seperti itik, entok, angsa, burung puyuh, merpati, burung unta, burung merak, beo juga dapat terserang penyakit AI (BALITVET, 2004). Sampai dengan saat ini virus AI yang menyerang unggas di
23
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Indonesia adalah virus AI yang sangat ganas atau Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Teknologi veteriner yang telah tersedia adalah vaksin dan teknologi diagnosis. Vaksin AI produksi dalam dan luar negeri telah beredar dengan luas di daerah endemik. Teknologi diagnosis, berupa uji cepat (Rapid Test) produk impor juga dapat diperoleh dengan mudah, meskipun harganya relatif mahal. Untuk analis genetik virus AI, BBalitvet telah menguasai teknologinya dan jasa teknologi telah dimanfaatkan oleh pengguna (Pemda, Produsen vaksin dll) (DHARMAYANTI et al., 2005). BBalitvet juga telah menguasai pembuatan vaksin dan prototipe vaksinnya sudah dibuat (INDRIANI et. al., 2005). Teknologi pemeriksaan antibodi, baik pasca vaksinasi ataupun akibat infeksi, dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) (OIE, 2000 dan INDRIANI et al., 2004), juga telah secara rutin digunakan. Uji lainnya yaitu, uji agar gel presipitasi (AGP) dari corion alantoic membran (CAM) telur terinfeksi dengan antiserum AI (OIE, 2000, WIYONO et al., 2004; dan DHARMAYANTI et al., 2004), serta teknologi deteksi virus pada sediaan organ dengan teknik immunohistokimia juga telah dikembangkan (DAMAYANTI et al., 2004). Penyakit Newcastle Disease (ND) atau Tetelo Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang saluran pernafasan dan pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus paramyxovirus (ALEXANDER, 1997). KRANEVELD (1926) menemukan penyakit ini di Jawa untuk pertama kalinya dan sampai saat ini penyakit bersifat endemik di seluruh wilayah Indonesia. Menurut derajat keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3 macam, yaitu velogenik, mesogenik dan lentogenik (SIMON, 1997). Teknologi yang tersedia untuk penyakit ND adalah vaksin dan teknologi diagnosis. Vaksin ND baik produk impor dan lokal terlah tersedia di pasaran. Teknologi vaksin telah dikuasai oleh BBalitvet, seperti vaksin ND peroral pada ayam buras di Indonesia (RONOHARJO et al., 1988a, DARMINTO et al., 1989, RONOHARJO et al., 1992). Demikian halnya dengan vaksin ND aktif-RIVS2, vaksin ND inaktif isolat lokal,
24
vaksin kombinasi ND-IBD inaktif isolat lokal. Vaksin kombinasi ND, IB dan IBD inaktif dalam bentuk emulsi adjuant juga telah dikembangkan (BALITVET, 2005). Teknologi diagnosis dengan cara isolasi dan identifikasi agen serta serologi Hemaglutinasi Inhibisi (HI) juga telah dikuasai dan secara rutin digunakan untuk mendeteksi kandungan antibodi dalam serum ayam. Infectious Bursal Disease (IBD) Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) atau Gumboro menyerang organ utama bursa fabrisius disebabkan oleh virus dari famili birnaviridae. Tingkat morbiditas bervariasi (5– 50%) dengan angka kematian yang meningkat dengan cepat (5–50%), tergantung pada patogenisitas virus dan kerentanan unggas. Virus ini bersifat imunosupresif sehingga memudahkan terjadinya infeksi penyakit lainnya. AKIBA, et al., (1976) melaporkan kejadiaan penyakit ini secara serologis untuk pertamakalinya di Indonesia, yang kemudian kasusnya secara klinis dan patologis dilaporkan oleh PARTADIREJA et al., (1981). Penyakit ini pernah dilaporkan mengakibatkan kerugian sebesar 7,9 milyar pada saat terjadi wabah di daerah padat ternak di Jawa barat (KOMPAS, 1991). PAREDE (1994) melaporkan kejadian pertama Gumboro pada ayam layer jantan di Bogor. Penyakit Gumboro ini menyebabkan kematian yang lebih tinggi, sulit dikontrol dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar (PAREDE, et al., 1998). Teknologi vaksin dan diagnosis untuk penyakit Gumboro telah tersedia di Indonesai. Produk vaksin asal impor sudah banyak beredar. BBalitvet mengembangkan vaksin inaktif gumboro isolat lokal kombinasi dengan ND dan IB (BALITVET, 2004). Teknologi diagnosis, mulai dari aspek patologis, isolasi dan identifikasi sampai uji serologi telah dikuasai oleh BBalitvet. Respon antibodi pada ayam yang divaksinasi dilakukan dengan menggunakan ELISA, namun masih menggunakan produk impor TropBio, Australia. Penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) Penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit menular saluran
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
pernafasan bersifat kronis pada unggas disebabkan oleh Micoplasma gallisepticum. Pada umumnya ayam muda bersifat lebih rentan dengan gejala ngorok, batuk-batuk dan cairan lendir dari mata dan hidung. Penyakit akan menjadi semakin parah jika disertai penyakit lainnya, seperti E. coli atau virus ND dan akan mengakibatkan morbiditas tinggi namun mortalitas rendah. Penularan dapat terjadi secara kontak langsung atau juga tidak langsung antara ayam sakit dengan yang sehat melalui udara. Penularan penyakit dapat berlangsung secara vertikal dari induk ke anak melalui telur (AKOSO, 1993). Di Indonesia penyakit CRD dilaporkan pertamakali oleh RICKEY dan DIRDJOSOEBROTO pada tahun 1965. Selanjutnya, hasil pemeriksaan serologik diketahui bahwa prevalensi pada ayam ras di Jawa Barat mencapai 90% (ANONIMUS, 1980). Reaktor CRD juga ditemukan pada ayam buras dengan prevalensi 80% dari 231 ekor ayam jantan dan 92% dari 982 ekor ayam betina (RONOHARDJO, 1974). Beberapa tahun kemudian, M. Gallisepticum dapat diisolasi dari anak ayam broiler pada tahun 1977 (POERNOMO dan HARDJOUTOMO, 1980). Teknologi vaksin, obat hewan untuk pengobatan serta teknik diagnosis untuk penyakit CRD sudah tersedia di Indonesia. Berbagai vaksin CRD produk impor dapat dibeli dengan mudah. Obat hewan berupa antibiotik makrolida (spiramisin, tilosin, kitamisin, eritromisin) dan antibiotik tiamulin, linkomisin dan spektomisin untuk pengobatan penyakit juga telah tersedia di pasaran (AKOSO, 1983). Teknologi diagnosis, mulai dari isolasi dan identifikasi virus penyebab, serta uji serologis untuk mendeteksi adanya antibodi yang bersirkulasi di dalam serum juga telah dikuasai. Penyakit Kolibasillosis Kolibasillosis adalah penyakit unggas disebabkan oleh infeksi kuman Escherichia coli galur pathogen. Ayam yang terserang kolibasillosis ditandai oleh septicemia, radang kantung udara dan getah radang berfibrin dengan lesi menyerupai tumor, ayam kurus, bulu kusam, nafsu makan turun, pertumbuhan lambat dan diare (AKOSO, 1993; BARNESS dan GROSS, 1995). Infeksi penyakit dapat terjadi
pada unggas segala umur, namun pada umumnya ayam muda lebih rentan. Kematian embrio sebelum telur menetas biasanya terjadi pada akhir masa pengeraman, sedang kematian pada anak ayam sampai umur 3 minggu sering disertai omphalitis, edema, dan jaringan sekitar pusar lunak. Pada ayam umur tua, kolibasillosis biasanya timbul akibat infeksi sekunder oleh penyakit lainnya. Pada kasus air sacc disease, infeksi E. coli pada saluran pernafasan terjadi bersamaan dengan infeksi penyakit CRD dan infeksi virus (IB dan ND). Gejala umum yang muncul berupa perikarditis, perihepatitis, kadang-kadang penophtalmitis dan salpingitis (AKOSO, 1993; GROSS dan DOMERMUTH, 1980). Di Indonesia penyakit kolibasillosis sering dijumpai dan menimbulkan masalah. Pengamatan yang dilakukan oleh POERNOMO dan JUARINI (1996) memperlihatkan bahwa dalam periode 1991-1992 penyebaran E. Coli serotype pathogen 01K1, 02K1 dan 078K80 sebagai penyebab kolibasillosis pada ayam di Jabotabek, Sukabumi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Lampung menunjukkan serotipe 02K1 adalah dominan (51,5%), kemudian serotype 078K80 (10,6%) dan 01K1 (9%), serta selebihnya serotype lain sebanyak 28,9%. Teknologi vaksin untuk kolibasillosis pada unggas belum tersedia di Indonesia. Namun obat hewan berupa antibiotika untuk pengobatan penyakit, seperti kanamisin, ampisillin, trimetopin atau sulfametoksazol dapat dibeli di pasaran. STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT UNGGAS (AYAM) DI SEKTOR 3 DAN 4 Strategi pengendalian terhadap suatu penyakit disusun dengan berdasar pada epidemiologi dari penyakit tersebut di lingkungan atau kawasan peternakan. Penggunaan obat hewan berupa bahan biologis (vaksin, antisera) ataupun bahan kimia (antibiotik, antiparasit, desinfektan dll) disesuaikan dengan jenis agen penyakit. Sementara penggunaan fisik (pembatas kawasan/konstruksi kandang dll) dan peraturan-peraturan atau prosedur (tatacara masuk kawasan/kebersihan kandang dll)
25
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
merupakan komponen dalam rangka meningkatkan biosekuriti suatu peternakan atau kawasan budidaya yang tidak kalah pentingnya. Secara umum pengendalian penyakit dapat dilakukan sangat efektif dan efisien dengan menerapkan kombinasi fisik dan prosedur, obat hewan, pengetahuan sifat penyakit/agen penyakit dan kondisi lingkungan budidaya peternakan. Secara khusus, maka pengendalian penyakit disusun dengan memperhatikan lebih mendalam sifat khusus yang dimiliki oleh agen penyakit. Saat ini sangat menonjol didengungkan tentang istilah biosekuriti dalam pengendalian penyakit Avian influenza (AI). Namun pada kenyataannya biosekuriti semata tidak akan menjamin unggas terlindungi secara efektif dan efisien dari serangan penyakit sangat infeksius tersebut. Hal ini membuktikan bahwa dukungan teknologi lainnya sangat diperlukan. Berdasarkan informasi dan pengalaman yang diperoleh, untuk peternakan unggas di sektor 3, maka penyakit Avian Influenza (AI), Infectious Bursal Disease (IBD), Newcastle Disease (ND), Kolibasillosis, dan Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah yang paling sering menyerang. Sementara untuk unggas di sektor 4, maka penyakit yang paling dianggap mengganggu adalah Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND). Dengan demikian maka penyakit tersebut di atas harus dicegah dan dikendalikan sesuai dengan jenis penyakitnya, induk semang rentan dan kondisi lingkungan budidaya/kawasan. Inti dari pencegahan dan pengendalian penyakit secara praktis adalah menerapkan biosekuriti, vaksinasi, pengobatan, stamping out/culling, didukung sosialisasi penyakit kepada masyarakat/peternak/petugas secara terus menerus. Biosekuriti: adalah upaya agar agen penyakit tidak masuk/keluar peternakan/ kawasan. Biosekuiti didukung oleh komponen sarana fisik dan prosedur. Sarana fisik berupa batas kawasan peternakan (pagar luar), dinding kandang, bentuk kandang/panggung, pintu masuk, ruang isolasi (karantina) bagi hewan baru. Prosedur seperti pengelolaan kandang oleh petugas khusus (satu kandang satu petugas); alur masuk kandang; alur keluar kandang; desinfeksi saat masuk, desinfeksi saat keluar; ganti pakaian/perlengkapan kerja dll. Vaksinasi merupakan tindakan pencegahan
26
penyakit melalui perangsangan sistem kekebalan tubuh spesifik secara aktif. Vaksinasi dilakukan secara teratur sesuai rekomendasi disertai monitoring antibodi setelah vaksinasi. Pengobatan adalah upaya penyembuhan hewan sakit akibat agen penyakit melalui pembunuhan agen penyakit dengan obat hewan (antibiotik, antiparasit dll). Stamping out/pemusnahan merupakan tindakan pemutusan rantai penularan penyakit melalui pemusnahan hewan sakit/tersangka pembawa agen penyakit. Tata cara pemusnahan mengikuti kode etik perlakuan hewan serta pembuangan limbahnya memperhatikan kesehatan lingkungan. Sosialisasi merupakan penyampaian informasi cara pengendalian penyakit, sifat penyakit serta ketersediaan teknologinya kepada masyarakat/peternak/ petugas dalam rangka upaya mengendalikan penyakit. DAFTAR PUSTAKA AKIBA, K.K., Y. IWATSUKI, Y. SASAKI, FURUYU dan Y. ANDO. 1976. Report on the Investigation of Poultry Disease in Indonesia. Japan International Cooperation Agency. AKOSO, B.T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius, Jakarta. ALEXANDER, D.J. 1997. Newcastle Disease and Other Avian Paramyxoviridae Infection. Deseases of Poultry. 10th ed. pp. 541-581. BALITVET. 2004. Pengembangan Vaksin Inaktif Kombinasi ND, IB dan IBD. Laporan APBN. BALITVET. 2004. Laporan APBN: Dinamika Penyakit Avian Influenza di Indonesia. BARNES, H.J., dan GROSS. 1995. Colibacillosis. In: Isolation and Identifications of Avian Pathogens. Second Ed. (Eds. BAY S.B. HITCHNER, C.H. DOMERMUTH, H.G. PURCHASE, and J.E. WILLIAMS) American Association of Avian Pathologist. Creative Printing Company, Inc. 2001. East Main Street, Endwell, New York, 13760. pp. 131142. DAMAYANTI. R., NLP. I. DHARMAYANTI., R. INDRIANI, A. WIYONO dan DARMINTO. 2004. Deteksi Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 pada Organ Ayam yang Terserang Flu Burung Sangat Patogenik di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan Teknik Imunohistokimia. JITV. 9(3): 197 – 203.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
DARMINTO, P. RONOHARDJO. N. SURYANA. M. ABUBAKAR, dan KUSMAEDI. 1989. Vaksinasi Penyakit Newcastle melalui Makanan: Studi Pendahuluan Pemakaian Virus Penyakit Newcastle Tahan Panas (RIVS)V4 sebagai Vaksin di Laboratorium. Penyakit Hewan.21 (37):35-39. DARMINTO. 1995. Diagnosis, Epidemiologi and Control of Two Major Avian Viral Respiratory Diseaseas in Indonesia: Infectious Bronchitis and Newcastel. Disesease. PhD Thesis. Departemen of Biomedical and Tropical Veterinary Science, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia. DHARMAYANTI, NLP. I., R. DAMAYANTI, A. WIYONO, R. INDRIANI, dan DARMINTO. 2005. Karakterisasi Molekuler Virus Avian influenza Isolat Indonesia pada Wabah Oktober 20032004. JITV. In press.
INDRIANI R., NLP. I. DHARMAYANTI, A. WIYONO, R.M.A. ADJID, dan T. SYAFRIATI. 2005. Pengembangan Prototipe Vaksin Inaktif AI H5N1 Isolat Lokal. JITV. In press. KRANEDVELD, T.D. 1926. A Poultry Disease in Dutch East Indies Ned Indisch Diergeneested 38:448-450. MURPHY, F.A. and KINGSBURY. 1990. Virus Taxonomy. In: Fields Virology, 2nd ed., vol 1 (Eds. B.N. FIELDS. D.M. KNIPE, R.B. CHANOCK, M.S. HIRSCH, J.L. MELNICK, T.P. MONATH, and B. ROIZMAN). Raven Press, New York. pp. 9-35. OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES. 2000. Manual of Standards for Diagnostik Tests and Vaccines. pp 212 – 219. PAREDE, L. 1994. Laporan Hasil Penelitian Penyakit Gumboro. Balai Penelitin Veteriner; Proyek ARMP 1994-1995.
DHARMAYANTI, NLP. I., R. DAMAYANTI, A. WIYONO, R. INDRIANI, dan DARMINTO. 2005. Karakterisasi Molekuler Virus Avian influenza Isolat Indonesia pada Wabah Oktober 20032004. JITV. In press.
PAREDE, L., R. INDRIANI, dan S. BAHRI, R. 1998. The Occurrence of Virulent Infectious Bursal Diseases Virus Infection in Indonesia. Poster at 4th Asia Pacific Poultry Health Conference, November 1998, Moulbourne, Australia.
DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN. 2004b. Perkembangan Wabah Avian influenza. Workshop Avian influenza. Hotel Kaisar, Jakarta, Indonesia. 10 Maret 2004.
PARTADIREJA, M dan B.JOENIMAN. 1985. Isolasi dan Identifikasi Virus Gumboro di Indonesia. Hemera Zoa 72:7-14.
EASTRADAY, B.C., S. VIRGINIA, HINSHAW, and D.A. HALVORSON. 1997. Poultry of Diseaser 10th in: Influenza. pp 583- 605. GROSS, W.B., and C.H. DOMERMUTH. 1980. Colibacillosis. In: Isolation and Identifications of Avian Pathogens. Second Ed. (Eds. BAY S.B. HITCHNER, C.H. DOMERMUTH, H.G. PURCHASE, and J.E. WILLIAMS) American Association of Avian Pathologist. Creative Printing Company, Inc. 2001. East Main Street, Endwell, New York, 13760. pp. 9-10 INDRIANI, R., NLP.I. DHARMAYANTI, L. PAREDE, A.WIYONO, dan DARMINTO. 2004. Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemagglutinasi Inhibisi dan Titer Proteksi terhadap Virus Avian influenza Subtipe H5N1. JITV. 9(3):204 – 209.
POERNOMO, S., dan E. JUARINI. 1996. Penyebaran E. Coli Serotipe 01K1, 02K1 dan 078K80 pada Ayam di Indonesia. JITV 1(3): 194-199. RONOHARDJO,P, DARMINTO, and M.I. DIRJA. 1988a. Oral Vaccination Against Newcastle Diseses in Kampong Chicken in Indonesia. In Poultry Disese, Proceeding 112 the Asian/Pasific Poultry Health Contfrence, Surfers Paradise, Australia. pp 473-480. RONOHARDJO, P., DARMINTO, A. SAROSA, and L. PAREDE. 1992. Vaksinasi Penyakit Tetelo secara Oral pada Ayam Buras: Uji Efikasi Laboratorium dan Uji Lapang di Beberapa Daerah di Indonesia dalam rangka Pemantapan Studi. Penyakit Hewan. Vol 24. No. 43A. pp 1 – 9.
27