Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PENGKAJIAN INTRODUKSI PROGRAM KAWIN SILANG TIGA BANGSA SAPI POTONG DI KAWASAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DATARAN RENDAH: STUDI KASUS DI WILAYAH PROBOLINGGO JAWA TIMUR (Assessment of Cross Breeding Program of Three Breeds of Beef Cows Dryland Agroecosystem of Lowland Area: A Case Study in Probolinggo Area, East Java) MOHAMAD ALI YUSRAN1, LUKMAN AFFANDHY2, BAMBANG SUDARMADI2 dan DIDI BUDI WIJONO2 2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km 4, Malang 2 Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan
ABSTRACT The objective of this assessment was to descript of prospect, problem of support capacity and strategy of introduce the program of three-breed beef crossing in the dry-land agro ecosystem of low-land areas in East Java. This crossbreeding program consisted of Peranakan Ongole (PO), Limousin (L) and Simmental (S) cattle which it resulted F2 : ½ L ¼ PO ¼ S or ½ S ¼ PO ¼ L as a commercial stocks. This study was on-farm research and carried out in the periphery-urban areas of Probolinggo city that it covered 3 villages which have dry-land agro ecosystem of low-land areas. In the selected locations were introduced the program of threebreed beef crossing, and it was observed on farmers’ responses and beef market, support capacity of farmers’ motivation and capable, of environment, and of capacity building. Results showed that the performance of calves produced by this three-breed beef crossing program have positively prospect according to almost all of farmer respondents and the price of the calves was high in the traditional market. However, its developing was predicted that it will be constrained due to the shortage of cows F1 : ½ L ½ PO or ½ S ½ PO as a base population of cow to produce F2 : ½ L ¼ PO ¼ S or ½ S ¼ PO ¼ L. This is associate with (1). The performance of AI program in the location, (2). The weakness of financial capital of almost all of farmers, and of offering high quality ration on the late pregnant and lactation cows, and (3) The absent of support of capacity building for financial capital and marketing. The farmers’ motivation aspect is main support capacity on acceleration adoption of this program in the dry-land agro ecosystem of low-land areas. The strategies alternative which estimated will able to acceleration adoption on the three-breed crossing program are to improve AI program service, to create condition of beef cow enterprises base on working group together, to create access for farmers to financial capital institutions or investors through friendship working system, and applied on farmers’ participatory selection. Key Words: Three-Breeds Crossing, Beef Cattle, Dry-Land, Low-Land Areas ABSTRAK Pengkajian ini bertujuan untuk mendiskripsikan prospek, permasalahan daya dukung dan strategi introduksi program kawin silang 3 bangsa sapi potong di suatu kawasan agroekosistem lahan kering dataran rendah di Jawa Timur. Program persilangan ini terdiri dari bangsa sapi PO, Limousin (L) dan Simmental (S); yang menghasilkan F2 : ½ L ¼ PO ¼ S atau ½ S ¼ PO ¼ L sebagai sapi potong komersial (commercial stocks). Pengkajian ini adalah on-farm research yang berlokasi di kawasan puri-urban Kota probolinggo yang meliputi 3 wilayah kelurahan beragroekosistem lahan kering dataran rendah. Di lokasi pengkajian diintroduksikan program kawin silang 3 bangsa sapi potong dan dilakukan pengamatan tentang respon petani/ peternak dan pasar, daya dukung motivasi dan keberdayaan petani/peternak, wilayah serta kelembagaan. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa pada aspek performance anak sapi yang dihasilkan mempunyai prospek yang positif atas dasar adanya apresiasi positif dari sebagian besar peternak dan harga jual yang tinggi dalam kalangan pangsa pasar sapi potong. Perkembangannya diprediksikan akan terhambat karena masalah keterbatasan ketersediaan sapi induk F1: ½ L ½ PO atau ½ S ½ PO sebagai populasi dasar sapi induk penghasilkan F2 : ½ L ¼ PO ¼ S atau ½ S ¼ PO ¼ L yang berkaitan dengan : (1). Kinerja program IB
79
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
di wilayah yang bersangkutan, (2). Lemahnya daya dukung keberdayaan peternak untuk masalah permodalan dan penyediaan ransum berkualitas bagi sapi induk bunting tua hingga menyusui/ laktasi, dan (3). Tidak adanya daya dukung kelembagaan permodalan serta pemasaran hasil. Aspek motivasi peternak merupakan daya dukung utama bagi akselerasi adopsi program persilangan 3 bangsa di kawasan agroekosistem lahan kering dataran rendah. Alternatif strategi yang diestimasikan dapat mengakselerasi adopsi program persilangan 3 bangsa adalah peningkatan layan program IB, mengkondisikan usaha ternak sapi potong berbasis kerja kelompok, pembukaan akses peternak ke lembaga permodalan/investor melalui usaha kemitraan, dan penerapan program seleksi partisipatif oleh peternak. Kata Kunci: Kawin Silang 3 Bangsa, Sapi Potong, Lahan Kering, Dataran Rendah
PENDAHULUAN Penerapan kawin silang (crossbreeding) antara bangsa sapi lokal dengan bangsa sapi unggul merupakan sistem pemuliaan ternak yang menarik karena rata-rata prestasi beberapa sifat produksi populasi dapat ditingkatkan dengan cepat, khususnya untuk sifat-sifat yang mempunyai heritabilitas rendah. Seperti telah diketahui, bahwa terjadinya perbaikkan prestasi beberapa sifat produksi melalui kawin silang pada turunan F1nya karena adanya efek heterosis, meskipun hal ini tidak selalu terjadi di keseluruhan kasus kawin silang. Manfaat lain dari kawin silang adalah memungkinkan para penghasil bibit untuk membuat kombinasi sifat-sifat bangsa yang dikehendaki, sekaligus mengurangi sifatsifat yang tidak menguntungkan atau breed complementarity (MCDOWELL, 1982; MASON dan BUVANENDRAN, 1982; TAWFIK dan AKHMAD, 2002). Program kawin silang pada sapi potong yang pernah dan sedang dilaksanakan di Indonesia, termasuk di wilayah Jawa Timur, bertujuan untuk memperbaiki mutu genetik populasi sapi potong. Namun demikian program kawin silang tersebut belum mengarah ke upaya pembentukan suatu bangsa sapi, tetapi lebih cenderung berupa terminal crossing yang menghasilkan sapi final stock atau sapi komersial (TALIB, 2001; UTOYO, 2003). Program kawin silang pada sapi potong dapat dilakukan dengan menggunakan dua, tiga atau lebih sapi yang berbeda bangsa sebagai populasi dasarnya. Akan tetapi hasil perkawinan silang tiga bangsa sapi (threebreed rotation) mempunyai derajat heterosis lebih tinggi daripada perkawinan silang dua bangsa sapi (two-breed system). Secara teoritis, respon potensi heterosis dapat mencapai 87%
80
dari respon maksimum (FRAHM, 1998). HAMMACK (1998) melaporkan, bahwa perkawinan tiga bangsa pada sapi potong dapat menaikan bobot sapih 23% dibandingkan perkawinan dua bangsa yang hanya 8,3%. Atas dasar hal tersebut di atas telah diuji cobakan mengintroduksikan program kawin silang 3 bangsa sapi potong di suatu kawasan agroekosistem lahan kering dataran rendah di Jawa Timur, yaitu di wilayah puri-urban Kota Probolinggo. Program persilangan ini terdiri dari bangsa sapi PO, Limousin (L) dan Simmental (S), yang menghasilkan F2 : ½ L ¼ PO ¼ S atau ½ S ¼ PO ¼ L sebagai sapi potong komersial atau final stock. Keberhasilan dari program kawin silang ini selain dilihat pada aspek heterosis pada beberapa sifat produksi sapi potong, tentunya juga harus dilihat pada ketersediaan aspek daya dukung lingkungan guna menjamin keberlanjutan program serta jaminan terhadap sapi turunan yang dihasilkan untuk dapat menampilkan prestasi produksi sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki. Oleh karena itu pengkajian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendiskripsikan prospek, permasalahan daya dukung dan strategi introduksi program kawin silang 3 bangsa sapi potong di suatu kawasan agroekosistem lahan kering dataran rendah di Jawa Timur. MATERI DAN METODE Pengkajian ini merupakan on-farm research yang dilaksanakan di tiga kelurahan puri-urban yang telah diimplementasikan Program Kawin Silang Tiga Bangsa Sapi Potong semenjak awal tahun 2003, yaitu Kelurahan Sumber Wetan Kecamatan Kademangan, Kelurahan Jembreng Lor dan Jembreng Kidul Kecamatan Wonoasih di
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
wilayah Kodia Probolinggo. Ketiga kelurahan tersebut beragroekosistem lahan kering. Waktu pelaksanaan pengkajian ini adalah setelah program berjalan 6 bulan (Agustus 2003) hingga 22 bulan (Oktober 2004). Teknik pengamatan data primer adalah observasi langsung, monitoring secara periodik dan wawancara semistruktur dan berstruktur menggunakan kuisioner terhadap 44 orang peternak responden yang terpilih secara acak. Populasi peternak responden adalah peternak sapi potong yang telah terlibat dalam Program Kawin Silang Tiga Bangsa Sapi Potong yang telah diimplementasikan di lokasi pengkajian. Data primer meliputi struktur usahatani dan usahaternak, parameter reproduksi sapi induk, preferensi, motivasi dan respon peternak, ketersediaan dan suplai pakan sapi, kelembagaan tani dan tampilan anak sapi/pedet secara kualitatif. Pengkajian ini juga didukung dengan data sekunder tingkat kecamatan dan kelurahan yang bersangkutan. Metoda analisis data secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum lokasi program Ketiga kelurahan lokasi introduksi program kawin silang tiga bangsa sapi potong yang diobservasi merupakan wilayah yang didominasi oleh lahan kering (non-irigasi), seperti terlihat di Tabel 1. Kisaran rata-rata curah hujan tahunannya 1000–1500 mm dan rata-rata lama bulan kering lebih dari 4 bulan secara berturut-turut, sehingga ketiga wilayah kelurahan tersebut termasuk daerah beriklim kering. Kondisi lingkungan biofisik seperti tersebut diatas mengarahkan pada tipelogi usahatani agroekosistem lahan kering dengan pola tanam yang dominan di ketiga kelurahan tersebut adalah Padi–Jagung–Bera dan Jagung– Jagung–Bera. Sebagian besar petani di ketiga kelurahan lokasi program kawin silang 3 bangsa sapi potong secara tradisional mengintegrasikan usahaternak sapi potong ke dalam usahatani tanaman pangannya. Hal ini berkaitan dengan usahaternak sapi potong dipandang sebagai salah satu cabang usaha andalan bagi para petani dalam usahataninya.
Tabel 1. Luas lahan sawah dan kering (tegalan dan pekarangan) kelurahan-kelurahan lokasi introduksi program kawin silang tiga bangsa sapi potong, 2002 Luas lahan (Ha)
Persentase luas lahan kering (%)
Kelurahan
Lahan sawah
Sumber Wetan
94,72
384,78
80
Jebreng Lor
87,71
118,36
57
Jebreng Kidul
81,56
97,54
55
Lahan kering
Sumber: DINAS PERTANIAN KODYA PROBOLINGGO (2003)
Tujuan utama pemeliharaan sapi potong (Tabel 2) menunjukkan bahwa sebagian besar usahaternak yang dilakukan oleh peternak di ketiga kelurahan lokasi program adalah pemeliharaan sapi potong induk penghasil anak sapi atau pedet (Cow and calf program). Kondisi tersebut tentunya sesuai dengan program kawin silang tiga bangsa sapi potong (three-breed static terminal) yang diterapkan di ketiga kelurahan tersebut dengan tujuan menghasilkan F2 : ½ L ¼ PO ¼ S atau ½ S ¼ PO ¼ L sebagai sapi potong komersial atau final stock. Tabel 2. Distribusi peternak responden dalam tipelogi usahaternak sapi potong yang dilaksanakan, Agustus-Nopember 2003 Tipelogi usahaternak sapi potong
Persentase jumlah responden (%)
a.
Penghasil keturunan/ pembibitan (cow and calf operation)
41
b.
Penggemukan (Fattening)
4
c.
Pembesaran (Rearing)
0
d.
Tenaga kerja (Draught Animal)
24
e.
Kombinasi (a) + (b)
4
f.
Kombinasi (a) + (c)
9
g.
Kombinasi (a) + (d)
18
81
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Peternak sapi potong induk di lokasi program hampir seluruhnya (91%) mengaplikasikan program IB dalam perkawinan sapinya. Bangsa sapi pejantan yang disukai adalah Limousin (76%) dan Simmental (24%), sedang bangsa pejatan lainnya (Brahman dan Brangus) tidak dikehendaki oleh para peternak setempat. Hal ini dikarenakan harga anak sapi hasil silangan antara PO dengan Limousin maupun Simmental lebih tinggi daripada hasil silangan dengan Brahman maupun Brangus. Pilihan peternak ini sesuai dengan peternak di wilayah Probolinggo pada umumnya (YUSRAN et al., 2001). Teradopsinya secara luas program IB tersebut dapat dipandang sebagai modal dasar untuk pengeterapan dan pengembangan program kawin silang 3 bangsa sapi potong, sebab program IB merupakan sarana utama dalam program ini. Potensi sifat reproduksi sapi potong induk dan daya hidup pedet mempunyai nilai ekonomi tinggi dalam sistem produksi sapi potong di daerah tropis (MASON dan BUVANENDRAN, 1982). Hasil pengamatan prestasi reproduksi populasi sapi potong induk di ketiga lokasi program mengestimasikan, bahwa persentase kelahiran 47,7%, persentase kematian pedet prasapih kurang dari 1% dan pertambahan populasi secara alami (Natural Increase) adalah 24,48% (Tabel 3). Sebagai pembanding data Natural increase sapi potong di Jawa Timur yang pernah disurvai dan dilaporkan pada dekade awal tahun 1990 adalah berkisar 21,30%−21,40% (HARDJOSUBROTO et al., 1992).
Tabel 3. Natural increase sapi potong di ketiga kelurahan lokasi penerapan program kawin silang tiga bangsa sapi potong, Agustus 2003 Uraian
Perhitungan (%)
Persentase sapi induk Kelahiran pedet Terhadap populasi induk Terhadap total populasi Angka kematian Natural Increase (2b–3)
55 47,7 28,7 4,2 24,5
Prospek keberlanjutan program Suatu program pembangunan pertanian dapat dijamin keberlanjutannya apabila keuntungan secara ekonomi/finansial dapat berlanjut bagi petani dan secara luwes aspek sosial (non teknik) disenangi pula oleh petani (REINTJES et al., 2003). Demikian pula dengan program kawin silang tiga bangsa sapi potong yang diintroduksikan tersebut, prospek keberlanjutannya dapat diawali dengan melihat respon peternak responden berdasarkan preferensinya terhadap performance turunan anak sapi yang dihasilkan (efek heterosis diabaikan). Hasil observasi menunjukkan, bahwa pada umumnya peternak responden memberikan apresiasi yang positif dari hasil pengamatannya terhadap kondisi anak sapi/ pedet pada saat lahir, postur tubuh, tinggi badan, kecepatan pertumbuhan dari lahir hingga umur 4 bulan dan harga jual dibandingkan pedet hasil kawin silang 2 bangsa F1 : Limousin X PO atau Simmental X PO, seperti yang tertera di Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi persentase jumlah peternak responden berdasarkan preferensinya terhadap hasil kawin silang 3 bangsa dibandingkan kawin silang 2 bangsa sapi potong Aspek Warna bulu (%)
Penilaian hasil kawin silang 3 bangsa dibandingkan 2 bangsa sapi potong Lebih suka
Lebih cepat
Lebih mahal
5
Sama saja
Tidak memberi penilaian
95
0
Postur tubuh (%)
85
15
0
Tinggi badan (%)
73
25
2
8
2
8
5
Kecepatan pertumbuhan prasapih (%) Harga jual (%)
82
90 87
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Hasil pengamatan terhadap transaksi harga jual pedet yang terjadi selama pengkajian ini adalah kisaran harga jual pedet umur 3−5 bulan hasil kawin silang 3 bangsa sapi potong (jantan/betina) adalah Rp 3.500.000 sampai Rp 4.250.000,00, sedang hasil kawin silang 2 bangsa sapi potong adalah Rp 3.000.000,00 sampai Rp 3.500.000,00. Per kondisi akhir tahun 2000 di Wilayah Kabupaten Probolinggo harga jual pedet hasil kawin silang 2 bangsa sapi potong adalah berkisar Rp 2.000.000,00 sampai Rp 3.000.000,00 (YUSRAN et al., 2001). Kondisi harga jual yang cukup tinggi tersebut merupakan peluang dari sisi eksternal peternak sebagai produsen yang dapat menjamin keberlanjutan program. Hasil pengamatan tentang pendapat peternak responden terhadap perlu atau tidak program kawin silang 3 bangsa sapi potong ini dilanjutkan menunjukkan, bahwa 93% menyatakan perlu dan sisanya menyatakan terserah pemerintah. Berdasarkan hasil-hasil pengamatan tersebut, maka dapat dikatakan aplikasi program kawin silang tiga bangsa sapi potong di suatu kawasan lahan kering yang status sosial-ekonominya identik dengan lokasi penerapan program kawin silang 3 bangsa sapi potong di Wilayah Probolinggo ini tidak akan mendapat hambatan dari aspek respon peternaknya. Sehingga aplikasi program tersebut mempunyai prospek yang positif untuk dikembangkan. Daya dukung Program kawin silang pada sapi potong dapat digunakan dengan efektif untuk memperbaiki mutu genetik populasi, apabila dapat diidentifikasi secara akurat sifat-sifat yang dapat menyebabkan tingginya nilai ekonomi seekor sapi potong dalam kondisi lingkungan yang ada (McDowell, 1982). Pernyataan ini mengisyaratkan, bahwa faktor daya dukung lingkungan (dalam arti luas) mempunyai arti penting bagi timbulnya heterosis maupun perbaikkan sifat produksi yang diharapkan dari suatu program kawin silang. Motivasi untuk beternak sapi potong induk dari para peternak merupakan salah satu daya dukung yang penting bagi keberlanjutan
aplikasi program kawin silang 3 bangsa sapi potong. Hasil pengamatan tentang motivasi peternak untuk beternak sapi potong induk yang dicerminkan pada asal modal untuk beternak sapi potong menunjukkan, bahwa 76% peternak merupakan pemilik sapi (milik sendiri) atau asal modal berasal dari diri sendiri, 14% asal modal dari pinjaman/kredit pemerintah maupun swasta, dan 10% kombinasi antara keduanya. Tingginya persentase status kepemilikan ternak sapi yang dipelihara adalah merupakan milik sendiri dapat dipandang sebagai faktor kekuatan atau daya dukung yang kuat dari sisi internal peternak bagi akselerasi keberhasilan pelaksanaan dan keberlanjutan program kawin silang tiga bangsa sapi potong. Hal ini didukung pula dengan kenyataan, bahwa 100% peternak yang berstatus pemilik sapi sendiri menyatakan program kawin silang tiga bangsa sapi potong perlu dilanjutkan. Tabel 5 menyajikan faktor–faktor internal peternak yang dapat melemahkan pelaksanaan program kawin silang tiga bangsa sapi potong di wilayah lahan kering. Sebagian besar peternak menempatkan posisi sapi peliharaannya sebagai tabungan/walking bank, yaitu ditandai dengan saat penjualan sapi tergantung keperluan keluarga yang mendadak/ tidak terprogram (61%), jalur penjualan sapi yang utama adalah ke belantik yang datang ke rumah (67%), dan dana hasil penjualan sapi pada umumnya untuk keperluan sekunder keluarga/tanpa ada bagian yang dikembalikan untuk modal beli sapi lagi (76%). Faktor ketersediaan sapi potong induk F1 : ½ L ½ PO atau ½ S ½ PO dan kondisi layanan program IB juga berperan penting bagi terlaksananya program kawin silang 3 bangsa sapi potong. Laju perkembangan program kawin silang tiga bangsa sapi potong di ketiga kelurahan lokasi program kemungkinan akan terhambat berkaitan dengan masalah keterbatasan ketersediaan sapi potong induk F1 : ½ L ½ PO atau ½ S ½ PO. Hal tersebut didasarkan atas hasil observasi langsung terhadap jenis-jenis bangsa sapi induk yang ada per Agustus 2003, yakni 80% sapi induk yang ada adalah sapi PO, sedang sapi potong induk F1 : ½ L ½ PO atau ½ S ½ PO hanya sekitar 15% dan sisanya 5% tidak teridentifikasi.
83
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 5. Alasan penjualan sapi potong, jalur penjualan sapi yang biasa dilakukan, dan penggunaan dana hasil penjualan sapi (%) Uraian
Persentase jumlah (%)
Alasan penjualan sapi potong Keperluan mendadak dalam urusan rumah tangga*
61
Keperluan membangun rumah/biaya sekolah
18
Memang saatnya dijual sesuai dengan program usaha
18
Pada saat hari raya kurban
2
Setiap saat apabila ada harga bagus
1
Jalur penjualan ternak sapi Ke belantik sapi yang datang ke rumah
67
Dibawa ke pasar hewan
33
Ke petani peternak langsung/jagal sapi (tanpa lewat belantik)
0
Ke rumah potong hewan
0
Penggunaan dana hasil penjualan sapi Sebagian untuk beli ternak sapi kembali (modal baru)
24
Keseluruhan untuk keperluan yang ada (tanpa ada bagian untuk modal baru)
76
Adapun alasan utama rendahnya tingkat pemeliharaan sapi potong induk F1 : ½ L ½ PO maupun ½ S ½ PO adalah lemahnya daya dukung keberdayaan peternak untuk penyediaan pakan. Suatu kenyataan umum bahwa bangsa sapi bergenetik tinggi (improved breeds) membutuhkan pakan yang lebih banyak dan bermutu tinggi, meskipun berdasarkan kebutuhan pakan per unit produksi (konversi pakan) lebih rendah daripada bangsa sapi dengan genetik rendah. Oleh karena itu daya dukung ketersediaan pakan merupakan masalah yang paling utama sebagai dasar pertimbangan penetapan program pemuliaan ternak (MASON dan BUVANENDRAN, 1982; SUBANDRIYO, 2000; SILCOX, 2001; UTOYO, 2003). Hasil pengamatan tentang indek kapasitas suplai per unit kandang di ketiga kelurahan lokasi program per Agustus–Nopember 2003 secara umum memperoleh rata-rata 0,86 ± 0,31 untuk BK dan 0,75 ± 0,25 untuk PK. Hal ini mempunyai arti, bahwa pada saat musim kemarau sapi-sapi potong induk yang dipelihara peternak responden memperoleh 86% kebutuhan BK dan hanya sekitar 75% untuk kebutuhan PK. Kondisi ini dapat digolongkan sebagai faktor dari sisi eksternal
84
peternak yang dapat mengancam keberhasilan pelaksanaan program kawin silang tiga bangsa sapi potong. Apabila indek kapasitas suplai pakan ini identik dengan indek kapasitas tampung wilayah, maka nilai kurang dari 1,00 mengidentifikasikan kondisi yang sangat kritis atau bahkan dapat dikatakan hampir tidak mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut populasi ternak sapi di wilayah yang bersangkutan, terutama untuk bangsa sapi yang termasuk improved breeds (THAHAR dan MAHYUDDIN, 1993). Oleh karena itu masalah daya dukung wilayah untuk ketersediaan pakan dapat dieliminir sebagai faktor penghambat manakala dapat diterapkan: (1) rasionalisasi antara kapasitas tampung wilayah dengan jumlah sapi yang dipelihara, (2) Suplementasi strategis dalam periode postpartum (surge feeding postpartum), dan (3) pembangunan legume bank sebagai sumber PK yang murah. Permasalahan daya dukung wilayah untuk layanan program IB nampaknya sama dengan permasalahan yang umum terjadi di keseluruhan wilayah program IB lainnya, yakni S/C yang terlalu tinggi berkaitan dengan inseminasi yang tidak tepat waktu dan kemungkinan juga karena kualitas semen beku
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
yang rendah serta sistem jaringan komunikasi antara peternak dengan inseminator yang tidak efektif. Lemahnya daya dukung layanan IB tersebut diprediksikan dapat menghambat laju pelaksanaan kawin silang 3 bangsa sapi potong, meskipun akseptabilitas peternak terhadap program IB sangat tinggi di lokasi program kawin silang 3 bangsa sapi potong. Berdasarkan rata-rata luas penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 Ha dan skala usahaternak sapinya hanya berkisar 1–3 ekor, mengindikasikan sebagian besar peternak di ketiga kelurahan lokasi program merupakan peternak kecil/rakyat bermodal rendah. Oleh NURMANAF (2003) peternak seperti ini dicirikan mempunyai tingkat kemampuan yang rendah dalam masalah penguasaan aset produksi, aksesibilitas terhadap sumber permodalan dan peluang ekonomi, tingkat pendidikan formal serta sumberdaya manusianya. Peternak yang demikian ini biasanya kurang responsif terhadap suatu inovasi teknologi atau pola produksi. Dalam kondisi usahatani/ternak seperti tersebut diatas, efisiensi usaha akan lebih mudah dicapai melalui strategi yang berbasis pada kerja kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat KASIJADI et al. (2001) bahwa dengan banyaknya petani berskala usaha kecil, maka untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian yang dikuasai petani harus melalui perbaikan sistem usahatani secara kelompok atau adanya pemberdayaan kelembagaan tani. Dengan demikian, adanya kelembagaan tani yang bersifat internal (Kelompok Tani/Ternak) akan memacu keberhasilan implementasi program kawin silang tiga bangsa sapi potong. Hasil pengamatan pengkajian menunjukkan, bahwa di ketiga kelurahan program daya dukung kelembagaan tani yang bersifat internal (Kelompok Tani/Ternak) kurang memadai. Sehingga diprediksikan akan menghambat keberlanjutan pelaksanaan program kawin silang tiga bangsa sapi potong yang telah diintroduksikan. Daya dukung kelembagaan eksternal untuk aspek permodalan (Bank) di ketiga kelurahan program juga kurang memadai atau bahkan dapat dikatakan tidak ada untuk usahaternak sapi potong. Hal ini dibuktikan dari hasil pengamatan pengkajian ini, bahwa keseluruhan (100%) peternak responden menyatakan tidak
pernah berurusan dengan bank dalam kaitannya dengan bantuan permodalan untuk usahaternak sapi potong, kecuali dari program bantuan pinjaman dari pemerintah. Adapun penyebabnya adalah (1) Kenyataannya memang tidak terdapat skim kredit untuk usahaternak sapi potong, dan (2) Peternak akan kesulitan dalam pengadaan jaminan/anggunan kredit, apabila memang ada kredit untuk usahaternak sapi potong. Dengan demikian lemahnya daya dukung kelembagaan tani internal (Kelompok Tani/ Ternak) dan kelembagaan permodalan, yang umum terjadi di kawasan agroekosistem lahan kering, akan menekan laju pencapaian keberhasilan dan keberlanjutan program kawin silang tiga bangsa sapi potong yang diimplementasikan. Program yang komprehensif untuk peningkatan mutu genetik pada ternak komersial sebaiknya mengkombinasikan program kawin silang dan seleksi. Kawin silang untuk pemanfaatan heterosis guna memperbaiki fertilitas dan daya hidup, sedang seleksi akan mempunyai dampak pada sifatsifat yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi, misal kecepatan pertumbuhan (SUBANDRYO, 2000). Pada implementasi program kawin silang 3 bangsa sapi potong di wilayah Probolinggo ini tidak diiringi dengan program seleksi, sehingga hasilnya untuk perbaikan mutu genetik sapi-sapi final stock tidak dapat maksimal. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengkajian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa introduksi atau implementasi program kawin silang tiga bangsa sapi potong di kawasan agroekosistem lahan kering, seperti halnya yang terjadi di tiga wilayah kelurahan puriurban Kodia Probolinggo, mempunyai prospek positif dan terdapat peluang keberlanjutan apabila didasarkan atas respon peternak dan aspek daya dukung motivasi berternak sapi. Namun demikian akan terdapat hambatan karena lemahnya daya dukung ketersediaan pakan, layanan program IB, ketersediaan sapi induk F1 : ½ L ½ PO maupun ½ S ½ PO dan kelembagaan.
85
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Alternatif strategi yang disarankan agar dapat mengakselerasi adopsi program kawin silang tiga bangsa sapi potong dan menjamin keberlanjutannya adalah peningkatan layan program IB, mengkondisikan usaha ternak sapi potong berbasis kerja kelompok, pembukaan akses peternak ke lembaga permodalan/ investor melalui usaha kemitraan, dan penerapan program seleksi partisipatif oleh peternak. DAFTAR PUSTAKA DINAS PERTANIAN KODYA PROBOLINGGO. 2003. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kodia Probolinggo Tahun 2002. Probolinggo. DIWYANTO, K. 2003. Pengelolaan Plasma Nutfah Untuk Mendukung Industri Sapi Potong Berdaya Saing. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Sapi Lokal, 29 Maret 2003. Fapet-Unibraw, Malang. FRAHM, R.R. 1998. Systems of crossbreeding. OSU Extension Facts. No. 3151. HARDJOSUBROTO WARTOMO, ENDANG BALIARTI dan A. SIDQI-ZAED. 1992. Kapasitas suplai sapi Madura dari pulau Madura. Proc. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak, Grati, Pasuruan. HAMMACK, S.P. 1998. Sire types for commercial beef herds. Agrc. Communications. The Texas A&M. University System.
MASON, I.L. and V. BUVANENDRAN. 1982. Breeding plans for ruminant livestock in the tropics. FAO Anim. Prod. and Health Paper. FAO of The United Nations, Rome. NURMANAF, A.R. 2003. Partisipasi masyarakat petani terhadap program penanggulangan kemiskinan. J. Analisis Kebijakan Pertanian. 1(2), Juni 2003. hlm. 110–122. REINTJES COEN, BERTUS HAVERKORT DAN WARTESBAYER. 2003. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Cetakan ke 5. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. SUBANDRIYO. 2000. Pemuliaan dan efisiensi reproduksi pada ternak ruminansia. Materi Pelatihan: Revitalisasi keterpaduan usaha ternak dalam sistem usaha tani. Bogor, April 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor SILCOX RONNIE. 2001. Breeding programs for small beef herds. The Univ. of Georgia College of Agric. And Environmental Sci. Cooperative Extension Service. TALIB CHALID. 2001. Pengembangan system perbibitan sapi potong nasional. Wartazoa 11(1): 10–19. THAHAR, A. and P. MAHYUDDIN. 1993. Feed resources. In: Draught Animal System and Management: an Indonesian study. TELENI et al. (Eds.). 1993. ACIAR Monograph. No. 19. Canberra. Australia. TAWFIK EZZAT S. dan AKHMAD SODIQ. 2002. Basic concept of animal breeding: Some considerations in genetic improvement. J. Produksi Ternak 4(1): 44–51.
KASIJADI, F., A. SURYADI dan SUWONO. 2001. Pemberdayaan petani lahan sawah melalui pengembangan kelompok tani dalam perspektif Corporate Farming di Jawa Timur. Pros. Seminar Dan Ekspose Teknologi Pertanian BPTP Jawa Timur. Malang, 11–12 September 2001. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
UTOYO, D.P. 2003. Strategi pembibitan sapi potong secara nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Sapi Lokal. Malang, 29 Maret 2003. Fak. Peternakan Univ. Brawijaya.
MCDOWELL, R.E. 1982. Strategy for improving beef and dairy cattle in the tropics. Adapted from paper presented: 2nd Congress of the AsianAustralian Association of Anim. Prod. Societies and 19th Annual Convention of the Philippine Society of Anim. Sci., Manila, November 10–13, 1982.
YUSRAN, M.A., LUKMAN AFFANDHY dan SUYAMTO. 2001. Pengkajian keragaan, permasalahan dan alternative solusi program IB sapi potong di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17–18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor.
86