Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
403
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
USAHA SAPI POTONG RAKYAT SEBAGAI MODEL YANG PROSPEKTIF DAN BERPOLA INDUSTRI SEBUAH KASUS SAPI POTONG RAKYAT DI PROPINSI LAMPUNG (A Prospective Model of Small Holder Beef Enterprises Toward Industrial Orientation) ASHARI1, U.H. PRAYOGO2, NYAK ILHAM2 dan W. BAMBANG2 1 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan Jend. A. Yani No. 70 Bogor
2
ABSTRACT Lampung is the third center of beef production in Indonesia after East and Central Java Provinces with economic density of 70-heads/1000 human population. Before crisis, the development of partnership in beef cattle business between the large and the small scale enterprises in terms of feed component, imported feeder cattle and marketing with technical assistance of farming, all have an effect on significant improvement on technical skill of farmers from traditional toward efficient beef production system. A survey on beef farming, held in March 2001 based on interviews to a number of respondents in three farmers groups, showed that partnership in beef cattle enterprises was sustainable. The crisis has changed the structure of feeder cattle supply from imported based to the local limited resources. The integration of Food Security Program and the utilization of financial loans by farmers either from private or government resources and initiating of a new contract on microbiologically processed manure production between farmers groups and estate crop companies, all challenges offer new opportunity and prospect toward industrial efficiency and food self sufficiency. There are several points are imprtantly noted from those farmers: 1) combat readiness of farmers on technical skill either in production or breeding, 2) the capacity of farmers to collaborate in group, 3) the form of three in one concept in partnership, 4) efficiency and productivity records, 5) significant improvement on farm size (scale) 6) elimination of cut and carry system. Concluded that those farmers are well performed and considered as one of a prospective model of beef industry development in Indonesia. Suggested that those and other self reliant groups 1) needs to be wisely utilized as a pattern of national development, 2) need to be institutionalized as center of transformation, 3) need to be pointed nationally on credit scheme 4) need to be subsidized on strategic component of production as an action program. Key words: Beef farming, small holder, and industrial orientation, Lampung ABSTRAK Lampung merupakan salah satu sentra produksi sapi potong ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengan dengan tingkat kepadatan ekonomi sebesar 70 ekor/1000 penduduk. Berkembangnya pola kemitraan usaha sapi potong dari beberapa perusahaan dengan peternak tradisional dalam bentuk kemitraan pakan, bakalan sapi impor maupun pemasaran secara bersama-sama semuanya telah mampu mendongrak kemampuan tradisional menuju kemampuan teknis yang efisien. Sebuah survei sapi potong yang dilakukan di tiga desa di Kapupaten Lampung Tengah yang dilakukan pada bulan Maret 2001 dengan mewawancarai beberapa peternak dari tiga kelompok sapi potong, menunjukkan bahwa perkembangan kelompok-kelompok tersebut terus bertahan dan berkembang walaupun masih terbatas ruang lingkupnya. Krisis yang telah berlangsung telah menggeser struktur bahan baku berupa bakalan sapi, yang semula berbasis bakalan sapi impor sekarang pada sapi lokal yang populasinya masih terbatas. Kesempatan terintegrasinya dana pemerintah (Bank BRI maupun dana Program Ketahanan Pangan Nasional–PKP) dan swasta maupun berkembangnya kontrak baru berupa pengolahan kotoran ternak secara mikrobiologis dengan perusahaan perkebunan, memberikan peluang dan prospek baru bagi terwujudnya skala ekonomi peternakan rakyat yang berpola industri dan ketahanan pangan.
404
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Ada beberapa prestasi penting yang telah dicapai oleh para peternak tersebut, yaitu 1) kesiapan teknis baik untuk produksi maupun untuk pengembang biakan 2) siap hamparan, yaitu kemampuan berkelompok dan kepercayaan perusahaan terhadap kelompok, 3) terwujudnya konsep three in one, 4) tercapainya nilai-nilai efisiensi, 5) adanya perubahan skala usaha 6) hilangnya budaya mengarit. Disimpulkan bahwa kelompok peternak tersebut merupakan kelompok andalan yang dapat dijadikan sebagai salah satu model pengembangan sapi potong yang prospektif. Disarankan untuk menjadikan model tersebut 1) sebagai salah satu pola andalan pengembangan sapi potong di Indonesia, 2) melembagakannya sebagai salah satu sentra transformasi budaya, 3) perlunya memberikan kemudahan dana bagi kelompok-kelompok yang telah mandiri, 4) perlunya subsidi untuk faktor produksi strategis seperti usaha pembibitan. Kata kunci: Sapi potong, skala kecil, orientasi industri, Lampung Tengah
PENDAHULUAN Perkembangan populasi sapi di Indonesia cenderung semakin menurun sejalan dengan perkembangan waktu dan imbangan antara proses pertumbuhan populasi sapi dengan perkembangan permintaan daging sapi yang terus lebih cepat meningkat. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya sapi potong impor dan daging ke Indonesia. Impor daging dan sapi sebenarnya sudah bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Peternakan/Veteriner 1967 yang kita miliki. sebagaimana tersurat di dalamnya. Pelanggaran Undang-undang menjadi hal biasa, tanpa diimbangi usaha-usaha terobosan terhadap pemborosan devisa negara. Perkembangan pertumbuhan ketersediaan pangan nasional masih terus berpacu dengan pertumbuhan penduduk. Setelah swasembada pangan 1984 (TIM BIMAS, 1986), ternyata prestasi itu tidak bertahan lama. Saat ini perkembangan impor bahan pangan semakin meningkat baik berupa bahan pangan karbohidrat (beras,gula, jagung) maupun non karbohidratnya (ternak, daging, buahbuahan). Bahkan Indonesia yang mempunyai pantai tropis terpanjang di dunia, awal 2001 mulai mengulang impor garam. Ironisnya diantara barang-barang impor strategis pertanian tersebut, diberikan keistimewaan non tarif, yang makin membawa petani semakin terpuruk. Profil petani dengan segala kelemahannya dan ketidak layakannya untuk memperoleh kredit adalah merupakan pihak pensubsidi terbesar bagi negara agraris ini, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional (ASHARI, 1995; ASHARI, 2001). Sementara itu, negara-negara maju pengekpor produkproduk pertanian masih memberikan subsidi pada para petaninya (PAMBUDY, 2001). Propinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi sapi potong ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan tingkat kepadatan ekonomi sebesar 70 ekor sapi per 1.000 penduduk. Berkembangnya pola kemitraan usaha sapi potong dari beberapa perusahaan dengan peternak tradisional dalam perkembangan tersebut telah mampu mendongkrak kemampuan tradisional menuju kemampuan teknis yang efisien. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkomunikasikan gagasan pentingnya model usaha sapi potong yang telah berkembang di masyarakat dalam struktur skala ekonomi sebagai simpul-simpul acuan yang berkemampuan daya saing. Terujinya sebuah model akan menjadi pola pengembangan dan menjadi daya tarik invenstor yang sekaligus sebagai program aksi terobosan dan sebagai andalan jembatan tranformasi.
405
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
METODOLOGI Pendekatan Pendekatan sistem, pada hakekatnya berpangkal pada kata kunci pemberdayaan manusia (petani dan pelaku lainnya), pemberdayaan komoditas dan pemberdayaan wilayah seperti tersurat dalam Tri Matra Pembangunan Pertanian (DEPTAN, 1990). Pendekatan agribisnis, yaitu pendekatan efisiensi produksi, berorientasi pasar. Pendekatan sosial-budaya, yaitu pendekatan partisipatif yang menempatkan kearifan-kearifan lokal dalam konsep pengembangan. Pengertian dan konsep Sistem merupakan suatu tatanan (manajemen) kumpulan obyek atau komponen yang merupakan satu kesatuan (holistik) atau ruang lingkup yang disatukan atau dihubungkan oleh beberapa bentuk interaksi dan ketergantungan. Sistem dapat di rancang dan dibangun melalui penjabaran visi dan misi, sebagai usaha perbaikan terus menerus. Visi pembangunan pertanian pada hakekatnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat berbasis sumberdaya pertanian yang menunjang surplus devisa, apapun bunyinya. Beberapa pengertian sebagai dasar pemahaman konsep Model: adalah hasil rekayasa unggulan teknis, sosial, ekonomi maupun biologis yang perlu dikaji, dikembangkan dan diharapkan menjadi terobosan untuk percepatan proses nilai tambah, baik berasal dari masyarakat, pemerintah ataupun swasta. Pola: adalah model yang telah dibakukan sebagai bentuk paket yang telah lulus uji, diterima dan berkembang di masyarakat. Pola sendiri dapat mengalami perbaikan sesuai dengan tuntutan perkembangan. Agroindustri: Industri peternakan, seperti pengertian industri pada umumnya bercirikan suatu kegiatan produksi yang dinamis, efisien, lumintu dalam satu komitmen kontrak produk massa dalam dimensi waktu, jumlah, kualitas dan keamanan bagi pemenuhan bahan pangan, bahan industri dan perdagangan melalui pemanfaatan teknologi yang terus berkembang bagi kesejahteraan masyarakat luas. Pemanfaatan kemampuan teknologi dengan spesialisasinya, mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan fisik, biologis, menggunakan alat dan mesin yang dikajiterapkan. Lokasi penelitian Tiga desa masing-masing di Kecamatan Terbangge Besar dan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah sebagai lokasi peternak dan pedagang desa di Bandar Lampung sebagai lokasi pelakupelaku ekonomi lainnya. Metoda dan analisis data Survai dilakukan melalui wawancara dengan beberapa petani dalam 3 kelompok peternak sapi potong yang melakukan kerjasama dan kemitraan dan dengan para pelaku ekonomi lain yang terlibat dalam kegiatan agribisnis sapi potong, dilengkapi data sekunder dari instansi terkait. Analisis dilakukan secara deskriptif dalam telaah makna pengembangan. 406
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI LAMPUNG Potensi sapi potong di Lampung (2000) Propinsi Lampung merupakan daerah yang kepadatan ekonominya sedang (ASHARI et al., 1996) yaitu berada dalam kepadatan >100–300 jiwa/km2, mempunyai makna sebagai daerah pertumbuhan kosumen. Oleh karena itu pengembangan peternakan (sapi) perlu intensifikasi pola extensif maupun pola lahan sempit, lebih-lebih dengan kepadatan ekonomi baru 70 ekor/1000 penduduk. Dibandingkan dengan Jawa, misalnya Kabupaten Bantul yang merupakan produsen sapi dan sekaligus sebagai daerah konsumen, kepadatan penduduk sudah mencapai 1.500 jiwa/km2 dengan kepadatan ekonomi 50 ekor/1000 penduduk (DINAS PETERNAKAN YOGYAKARTA, 2000; DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANTUL, 2000), artinya daerah ini hanya dapat dilakukan intensifikasi pada lahan sempit, mempunyai peluang pengembangan yang jauh lebih sedikit. Sementara itu walaupun daerah lampung mempunyai kepadatan ekonomi lebih tinggi, namun tingkat konsumsi daging sapi masih lebih rendah dari pada Kabupaten Bantul yang 0,8 kg/kapita/tahun.Artinya, daya beli sehubungan dengan pendapatan masih lebih rendah daripada Kabupaten Bantul. Lebih-lebih bila dibandingkan dengan negara maju misalnya Amerika, dengan tingkat konsumsi 36 kg perkapita, dan pengeluaran untuk daging sapi sebesar $ 191 (Rp.1,8 juta-1 $ Rp.9.500) yang masih terus ditingkatkan (O’HOGAN, 2001) (Tabel 1). Tabel 1. Potensi sapi potong di Lampung Sumberdaya
Uraian potensi
Keterangan
Penduduk: Populasi
7.000.000
Jiwa
212
Jiwa/km2
Rumah tangga
130.000
Pemelihara sapi
Sapi: populasi
490.000
Ekor
Kepadatan ekonomi
70
Ekor/1.000 jiwa
Penguasan/KK
3-4
Kepadatan
Pengeluaran sapi (ekor) 1997
Lokal 38.000 Ex impor 130.000
Ekor/KK 1998 Lokal Ex impor
61.000 23.400
Pemotongan sapi
23.000
Ekor/tahun
Produksi daging sapi
4.500
Ton/tahun
Konsumsi daging sapi
0,64
Kg/kapita
Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Lampung (2000)
Sistem tata niaga daging dan sapi potong di Lampung Dalam perkembangan tata niaga sapi dan daging sapi Propinsi Lampung telah menunjukkan beberapa keunggulan dibandingkan daerah perodusen daerah lainnya, yang gambaran lengkapnya disajikan pada Diagram 1. Dalam sistem tersebut, meliputi berbagai pelaku-pelaku berikut: 1.
Petani peternak (pembibitan dan budidaya kereman): kedua pelaku ini dalam menjual ternaknya selalu didatangi oleh pedagang.
407
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
2.
Perusahaan penggemukan: saat ini hanya sapi bakalan impor (Brahman crross), yang sebelum krisis juga memanfaatkan bakalan lokal secara terbatas.
3.
Importir daging sapi: di Jakarta. Dalam permintaan yang sangat meningkat, kekurangan cadangan lokal disuplai dari Jakarta.
4.
Pedagang pengumpul: adalah pedagang sapi yang langsung mengumpulkan sapi. Hasil kereman baik petani untuk dijual kepada pejagal lokal maupun kepada bandar yang selanjutnya di kirim ke luar daerah (propinsi).
5.
Pedagang besar yaitu pedagang antar propinsi atau disebut juga bandar sapi, yang memperoleh dagangannya umumnya dari pedagang pengumpul. Mereka melayani kebutuhan sapi ke siap potong ke Palembang, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara.
6.
Pejagal atau bandar daging, umumnya memperoleh barang dagangannya dengan memotong sapi sendiri. Hasil potongannya dijual belikan kepada swalayan, pengecer, pelanggan bakso, disamping juga mengecerkan sebagian dagangannya di pasar tradisional.
7.
Pengecer daging, yaitu pedagang daging yang dagangannya berasal dari bandar daging sebagai pemasok dan langsung menjual dagangannya pada para konsumen rumah tangga. Ada diantaranya (sebagian kecil) yang mensuplai swalayan.
8.
Depot daging atau warung daging: yaitu bandar daging yang menjual dagangannya melalui etalase daging; khusus untuk Lampung, depot daging disajikan di depan rumah tinggalnya.
9.
Swalayan: beberapa swalayan besar menyajikan etalase khusus daging sapi dengan spesialisasi irisan menurut penggunaan konsumen. Swalayan daging sapi mulai bermunculan pada awal 1990 an.
10. Karantina, dan pos pengawasan hewan (PPH) merupakan institusi pengawas perdagangan ternak dari aspek keamanan veteriner dan keamanan pangan asal ternak yang peran dan fungsinya perlu dioptimalkan, lebih-lebih setelah timbulnya kasus anthrax. Satu hal yang belum berkembang dalam sistem transaksi jual beli ternak adalah belum adanya lokasi transaksi, yaitu pasar hewan. Peternak untuk membeli sapi umumnya berasal dari pedagang, disamping juga diperoleh dari tetangga. Oleh karena itu banyak pedagang ternak di tiap desa, sampai 10 orang atau bahkan lebih.
408
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Peternak pembiakan
Pedagang Pengumpul
Peternak kereman Sapi Australia/ Selandia Baru
PAD Padang, PLB,Riau, Jambi (20%)
Bandar sapi
KRT
Bandar daging
Perusahaan sapi kreman
PPH
PAD Jabotabek (70%)
PPH Pengecer daging Depot daging
Swalayan
Importir Daging Austrin/N.Zdi Jakarta
Konsumen Diagram 1. Peternak sapi dalam Sistem Tata Niaga Ternak dan daging sapi di Lampung Keterangan: PAD-perdagangan antar daerah; KRT-karantina; PPH-Pos Pemeriksaan Hewan; // - sebelum krisis
Perkembangan dan prospek usaha sapi potong Perkembangan sapi potong nasional dan ternak lain Perkembangan peternakan secara nasional memberikan gambaran yang pisitip, kecuali untuk kerbau, yaitu sejak dicanangkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tahun 1969 hingga tahun 2000 (lihat Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan populasi ternak 1969 sampai 2000 Perkembangan populasi (000) Jenis ternak
Pertumbuhan
1969
2000
Sapi potong
6.000
12.000
2x
Kerbau
3.000
3.000
1x
50.
300
6x
10.000
20.000
2x
Sapi perah Domba kambing Ayam buras Ayam ras (pedaging) Ayam ras petelur
60.000
270.000
4,5 x
25.000 (1980)
800.000
32x
600
75.000
125x
Sumber: MENTERI PERTANIAN dan KEHUTANAN (2000), WOELKE (1978)
409
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Dari tabel di atas, jelas bahwa pertumbuhan penduduk meningkat dari 110 juta pada 1969 (WOELKE, 1978) menjadi 220 juta jiwa (BPS 2000), yang berarti terjadi peningkaan 2 kali. Ini artinya skala usaha peternakan sapi potong rakyat tidak mengalami perubahan. Yang mengalami perubahan adalah struktur usahanya, yang pada awalnya hanya diusahakan sepenuhnya oleh skala kecil masyarakat, sekarang sudah berkembang diusahakan juga oleh perusahaan sapi potong. Dari perkembangan tersebut disimpulkan bahwa kita telah berbuat keliru, yaitu membiarkan petani kita yang tidak tahu atau tidak sadar bekerja dibawah skala ekonomi untuk menjadikan mereka sejahtera. Memang sudah banyak kegiatan dengan susah payah kita usahakan dengan dana yang tidak sedikit, namun kenyataan hasil yang kita peroleh bahwa: skala usaha tidak berubah, kepadatan ekonomi tidak berubah dan praktis pendapatan peternak tidak berubah. Sementara itu ada pergeseran struktur pemilikan dari peternakan rakyat ke perusahaan dan permintaan yang semakin meningkat sehubungan dengan perubahan kemampuan daya beli masyarakat, pola konsumsi sejalan dengan peningkatan kesadaran gizi sebagai dampak bertambahnya taraf pendidikan masyarakat ditambah lagi mulai berkembangnya pengurasan devisa karena semakin meningkatnya impor sapi dan daging sapi. Lain halnya dengan ayam ras yang telah mampu secara nyata meningkatkan pola konsumsi masyarakat, terlepas dari segala kekurangannya: karena masih besarnya komponen impor, kurang berakarnya pada ekonomi masyarakat luas. Populasinya (pedaging dan petelur) pada 1969 hanya 7 juta (WOELKE, 1978), berarti selama 31 tahun telah mengalami peningkatan yang menakjubkan sebesar 875 juta ekor atau 125 kali. Namun sebenarnya pola industri yang seperti itulah yang kita harapkan untuk komoditas lain seperti halnya pada sapi potong, yang mampu secara massal memenuhi permintaan pasar bahkan ekspor. Untuk itik sendiri dari 7 juta (WOELKE, 1978) menjadi 31 juta (DITJEN PRODUKSI PETERNAKAN, 2000), atau hanya 4,5 kali seperti pada ayam kampung. Propek usaha sapi potong Usaha sapi potong mempunyai prospek yang sangat cerah sebagai agroindustri andalan di Indonesia karena beberapa alasan. 1. Indonesia sendiri dengan jumlah penduduk yang besar, sudah merupakan pasar tersendiri tanpa di cari-cari. 2. Peningkatan pendapatan di Kawasan APEC akan membuka peluang bisnis yang lebih luas dan besar khususnya untuk komoditas yang mempunyai elastisitas perminataan terhadap pendapatan (income elastic demand). Daging sapi meupakan salah satu prduk yang mempunyai sifat tersebut. Sehingga peningkatan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik akan meningkankan konsumsi daging sapi disamping faktor pertumbuhan sadar gisi. Lebih-lebih di Asia Timur dan Tenggara yang merupakan importir daging sapi, dengan tingkat konsumsi yang masih rendah sementara itu, wilayah tersebut merupakan kawasan pusat pertumbuhan ekonomi dunia dimasa mendatang (PAMBUDY, 2001). Ini berarti bahwa disamping pasar domestik, pasar internasional pun terbuka. 3. Merupakan kegiatan usaha yang menyerap tenaga kerja pedesaan, otomatis akan mengurang urbanisasi dan makin berkembang. 4. Kelembagaan pedesaan untuk sapi potong cukup berkembang. 5. Potensi sumberdaya alam dan daya dukung yang masih dan akan terus berkembang semakin luas. Dalam pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, disamping kekuatan mega biodiversitas atau giant diversity, Indonesia berpulang untuk menjadi kelompok besa dunia 410
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
produsen perkebunan dan pangan, yang praktis pemanfaatan limbah-limbahnya semakin menunjang daya dukung peternakan. Praktis harga pakan jauh lebih murah dibandingkan dengan negara-negara maju produsen sapi. 6. Substitusi impor yang berarti penghematan devisa. 7. Menyumbangkan peningkatan pendapatan pada masyarakat pedesaan. 8. Peningkatan pendapatan daerah (PAD). PAD bidang peternakan memberikan kontribusi terbesar dalam sektor pertanian yang sebagian besar dari kegiatan usaha sapi potong. 9. Nilai tambah pupuk olahan yang memberikan terobosan baru bagi pendapatan peternak dan sumbangannya terhadap peningkatan produksi pangan. 10. Sapi potong lokal, tidak terimbas krisis. 11. Berbagai bentuk pemberian kedit sapi potong kepada petani selama ini, tidak mengahadapi masalah. 12. Kesiapan teknologi teknologi tepat guna yang terjangkau oleh peternak. 13. Kesiapan secara teknis peternak dalam budidaya sapi potong dan telah tumbuhnya simpulsimpul model budidaya yang efisien yang berskala eknomi yang menunjang pertumbuhan industri. 14. Indonesia sebagai salah satu dari lima negara yang bebas PMK. Dari uraian di atas, potensi pengembangan sapi potong amat sangat cerah, tinggal kemauan dan kemampuan pemerintah untuk mengakomodasi segala potensi yang ada, melalui terobosanterobosan yang berarti. Kalau yang akan dilakukan serupa dengan masa lalu, jangan harap potensi tersebut akan tergali, namun malah sebaliknya kita menjadi sasaran pasaran internasional. Perkembangan peternak di Lampung Perusahaan sapi potong sebelum krisis ada 6 buah yaitu: PT Santosa Agrindo (Suntory) dengan kapasitas tampung 15.000 ekor, PT GGLC (kapasitas 10.000 ekor), PT Tippindo kapasitas 13.000 ekor, PT Desa Indo Jaya, PT Surya Matra, Suti Pratama. Total kapasitas ke enam perusahaan tersebut 40.000 ekor untuk satu siklus usaha (100 hari). Dalam satu tahun dengan kapasitas penuh, maka akan dihasilkan sapi kereman sebanyak 146.000 ekor per tahun. Jumlah tersebut belum termasuk yang dimitrakan dengan peternak, walaupun jumlahnya sedikit. Puncak kejayaan perusahan-perusahaan tersebut, yaitu menjelang krisis, awal 1997. Kedua perusahaan yang terakhir sudah tidak beroperasi lagi semenjak krisis. Salah satu perusahaan yang paling banyak bermitra dengan petani adalah GGLC (Great Giant Livestock Center) dalam berbagai bentuk: 1. Kemitraan pakan: jagung untuk pakan ternak. Perusahaan menyiapkan saprodi, dan hasil daun jagungnya dibeli perusahaan. Sejak krisis tidak dilakukan lagi. 2. Kemitraan bakalan sapi impor: budidaya dilakukan peternak, dengan penyediaan sapronak oleh perusahaan, hasilnya diperhitungkan saat panen. 3. Dalam kemitraan tersebut perusahaan melakukan penyuluhan, bimbingan dan layanan teknis, seperti maslaah kesehatan atau lainnya.
411
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Setelah krisis, tidak lagi ada kemitraan bakalan, maupun jagung untuk pakan. Yang masih berjalan adalah kredit pembelian pakan kulit nanas yang sampai saat ini masih terus berjalan, dengan ternak milik sendiri dari hasil kemitraan dan perusahaan mau menampung penjualan ternak mereka, kalau peternak mengalami kesulitan pemasaran. Dengan pengalaman selama ini dengan GGLC, peternak telah berkembang mempunyai kemampuan lima siap: a). siap mental dan teknis, b) siap hamparan (kelompok), c) siap siaga (produksi akses pasar dan produksi akses kelembagaan, yaitu adanya pemasaran yang dijamin perusahaan maupun adanya kelompok yang menjadi media akses kepada pihak-pihak yang terkait), d) siap data, yaitu kesiapan untuk berkembang, dengan kemampuan berhitung keuntungan yang diperoleh, dan e) siap implementasi, yaitu siap untuk mandiri melakukan wirausaha sapipotong. Dan sekaligus siap sebagai andalan model yang dapat dikembangkan di tempat lain, sebagai pusat permagangan peternak lain, sebagai unggulan daerah dalam transfromasi budaya tradisional menuju berpola industri. Dengan kesiapan tersebut PT Ventura memberi peluang bantuan dana (tanpa agunan untuk meningkatkan skala usahanya (kredit 9 ekor per anggota kelompok) untuk periode penggemukan selama 5 bulan; dulu untuk sapi bakalan impor hanya 100 hari. Kontrak dilakukan dengan bagi hasil berikut: Petani: Rp 50.000+55% (hasil jual–Rp 50.000). Inti: 45% (hasil jual–Rp50.000). Pada saat pembelian bakalan peternak mencari sendiri di pasar (sapi PO). Kredit tersebut melibatkan 3 kelompok ternak sapi di tiga desa. Dari perkembangan tersebut, telah berkembang konsep three in one, yaitu adanya kerjasama antara peternak yang harus diberdayakan, dengan peranan pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan sebagai perantara, pembimbing dan pengawas serta adanya penyandang dana (perusahaan sapi dan PT Ventura) yang memberikan suntikan dana, bimbingan teknis maupun pemasaran Pola kemampun pemberdayaan tersebut telah mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan dengan komoditas sapi potong sebagai cabang usaha maupun usaha pokok. Dengan tingkat kemampuan tersebut, telah memberikan peluang untuk berkembangnya usaha pengembang biakan (breeding) yang oleh banyak pihak dianggap sebagai usaha yang tidak menguntungkan, yaitu dengan masuknya Program Ketahanan Pangan (PKP) yang disalurkan untuk pembelian bibit (sapi betina) sebanyak 5 ekor. Dengan diterapkannya usaha penggemukan bersama pengembang biakan (breeding) melalui dua model kredit. Bentuk usaha tersebut seupa konsep yang telah dipromosikan oleh Menteri Transmigrasi sebelum krisis (DEPTRANSMIGRASI, 1997) dengan kosep transmigrasi dengan usaha pokok peternakan sapi potong, tampaknya menjadi simpul-simpul model yang berkembang di Propinsi Lampung, yang walaupun konsep transmigrasi itu sendiri mengalami berbagai kendala daalam operasionalnya dan belum terwujud karena dilanda krisis. Konsep tersebut pada dasarnya adalah usaha sapi kereman yang disiapkan dengan usaha pembibitan untuk memenuhi kebutuhan bakalan sapi sendiri, berada dalam satu kawasan, dilengkapi fasilitas-fasilitas khusus dengan sumberdana dari pemerintah dan perusahaan swasta. Perkembangan lebih lanjut adalah adanya peluang baru untuk melakukan diversifikasi dengan adanya tawaran dan pelatihan dan kontrak baru untuk melakukan pengolahan kotoran ternak secara mikrobiologis untuk memenuhi kebutuhan Perkebunan Tebu dan kelapa sawit. Perkembangan tersebut, telah mampu memengantarkan transformasi secara utuh, yaitu mewujudkan sebuah model usaha yang prospektif, sebagai simpul-simpul pertumbuhan baru, yang apabila model ini diluas kembangkan sebagai sebuah program aksi, dengan perhatian dan bantuan yang lebih dari yang sudah-sudah (diantaranya perlunya adanya subsidi), maka program tersebut akan merupakan terobosan baru dan menumbuhkan berkemampuan daya saing. Dalam 412
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
sistem model produksi tersebut, hubungan fungsional antara peternak, Dinas Peternakan dan Perusahaan serta pelaku-pelaku lain yang terkait dapat digambarkan pada diagram berikut: DINAS PETERNAKAN KARANTINA HEWAN
KONSUMEN
KONSUMEN
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ANDAR DAN PEDAGANG TERNAK PAKAN,
BAKALAN,
KOMPOS KOMPOS PT PERKEBUNAN
BANDAR, PENGECER DAGING SWALAYAN
PETERNAK
BIMBINGAN
DANA
PERUSAHAAN SAPI POTONG
PT VENTURA, PKP, BRI
Diagram 2. Hubungan fungsional antara peternak, perusahaan sapi kereman, Dinas Peternakan, sumber modal dan pelaku-pelaku lain sebagai sebuah model
Ada beberapa catatan penting dalam sistem produksi budidaya sapi potong peternakan rakyat yang berkembang di Lampung: 1. Dengan cenderung berkurangnya limbah nenas yang dibeli karena diekpornya limbah kulit nenas dalam bentuk kering, maka peternak mulai memanfaatkan limbah lain, yaitu onggok yang dicampur dengan limbah nenas, sehingga dengan demikian dapat menambah ternaknya sewaktuwaktu, seperti yang dilakukan diantara responden yang telah memanfaatkan jasa BRI untuk pembelian ternak, yang diantaranya betina. 2. Penggunaan minuman penambah nafsu makan komersial untuk sapi, sudah umum digunakan untuk meningkatkan nafsu makan. 3. Diantara penyakit yang terjadi adalah “bloat” atau kembung, yang diobati secara tradisional menggunakan sprit, yang telah banyak digunakanpeternak. 4. Dengan intensifnya program pembinaan oleh Dinas Peternakan dalam hal reproduksi melalui program ATR dan PKB dan melalui intensifikasi pembinaan lainnya maka petani telah mencapai pretasi jarak beranak 12 bulan, seperti dapat dicapai pada sapi perah maupun pada sapi Bali sehingga dapat dicapai panenan pedet (calf crop) atau. Efisiensi reproduksi (reproduction rate) seekor induk menghasilkan anak sampai Sapih (biologis) sebesar: R=% Ksx12/JarakxJunapx% Kelana % Ks-% persentase kesuburan atau jumlah induk yang melahirkan dari 100 induk yang dikawinkan, dengan potensi peternak, diasumsikan 80%. Jarap–Jarak beranak sampai sapih, yaitu jarak beranak+sapih biologis yang diasumsikan selama 3 bulan. Pada responden, jarak beranak dicapai 12 bulan, sehingga nial jarap: 15 bulan. Junak-jumlah anak yang dilahirkan seekor induk per kelahiran, satu (1) ekor. Kelana-kelangsungan hidup anak (sampai sapih). Dengan asumsi tingkat kematian anak sebesar 5%, maka nilai kelana=95%. 413
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Dengan profil reproduksi seperti di atas, maka diperoleh tingkat efisiensi reproduksi R=80%x1x95%x12/15x1 ekorx95%=0,68 ekor anak merupa sapih/ekor/tahun. Nilai ini 2 kali lipat dari peternak sapi pada umumnya, sungguh merupakan suatu prestasi walaupun masih dalam lingkup (lokasi) terbatas. Peternak sapi pada umumnya, jarak beranak masih dengan nilai 18 bulan, dan umur sapih 6 bulan atau lebih, sehingga lama waktu dari melahirkan sampai umur sapih anak dicapai 24 bulan atau lebih. 5. Di Desa Karang Endah telah dikenalkan alat (mesin) kemasan pakan kering (hay), akan merupakan terobosan apabila inovasi ini dapat dengan baik diterapkan oleh masyarakat. Alat ini rekayasa teknik Lembah Hijau yang masih dalam proses kajian. 6. Terwujudnya konsep three in one dalam sinergi sistem produksi. 7. Kesiapan peternak secara teknis, hamparan yang menarik kepercayaan pendana. 8. Terjadi perubahan skala usaha ternak yang mencapai skala ekonomi dan efisiensi. 9. Hilangnya budaya ngarit, bukan lagi beban pokok. 10. Tetap adanya kepedulian perusahaan (GGLC) untuk alokasi kulit nenas, walaupun telah berkembang sebagai bahan ekpor dengan harga yang lebih mahal. Perkembangan tersebut dalam alur proses mekanisme pertumbuhan agribisnis digambarkan dalam diagram berikut: Pelaku kerjasama PERUSAHAAN (GGLC)
Saprodi
Budidaya
Pakan limbah nanas
Pengolahan
Pemasaran Ekspor ?
RPH
Domestik Trsansaksi PT VENTURA, PKP, BRI
Kredit
Modal Peternak Berkelompok/ Berkoperasi
Betina Kereman dan Induk
Kompos
Domestik
Perkebunan
Diagram 3. Diagram alir antar pelaku kemitraan dan kerjasama agribisnis sapi Potong di Propinsi Lampung
Dalam proses kontrak yang berlangsung pelaku-pelaku kontrak melakukan kewajiban masingmasing dalam menerima hak keuntungan yang diperoleh dari kerjasama dan kemitraan.
414
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini, disajikan beberapa hal penting yang terkait dengan pemberdayaan peternak sapi potong dengan segala permasalahan terkait dan peluang akses-akses potensial yang belum dirasakan para peternak. Perlindungan petani/peternak Negara-negara maju pengekspor sapi dan daging seperti Amerika Serikat, beberapa negara Eropa dan beberapa negara Amerika Lain sebagai pengekspor sapi dan daging sapi menerapkan subsidi bagi beberapa komoditas pertanian unggulannya, termasuk sapi potong. Sementara itu negara-negara importir daging sapi dan sapi melindungi kepentingan produsen sapi potong dalam negeri. Jepang dan Korea Selatan mengenakan tarif impor daging sapi lebih dari 100% (PAMBUDY, 2001). Namun impor sapi dari Australia dan negara lain dikenakan non tarif dan tidak ada perbedaaan apa itu sapi jantan atau betina. Hal serupa diberlakukan untuk beberapa komoditas pertanian lainnya. Hal ini jelas tidak melindungi petani, yang terus semakin tepuruk dengan kebijakan tersebut. Perlu keberpihakan kepada petani, tanpa merugikan konsumen. Subsidi untuk faktor-faktor produksi yang sangat strategis dalam rangka ketahanan pangan dan pertumbuhan devisa negara perlu menjadi perhatian dan diperjuangkan, seperti untuk pembibitan, perbenihan. Bahan lokal untuk petani/peternak Yang dilakukan oleh GGLC dengan tetap mengalokasikan limbah nanasnya untuk petani setempat adalah merupakan kebijakan yang arif yang harus dikembangkan secara nasional untuk memberdayakan para petani dalam memanfaatkan sumber-sumber bahan potensial lainnya. Molases. Molases merupakan bahan lokal yang sangat potensial percepatan budidaya sapi khususnya ruminansia pada umumnya. Namun karena bahan ini merupakan potensi bahan ekspor dan bahan industri dalam negeri, peternak nyaris tidak kebagian. Di Jawa Barat, KUD Cilawu– Garut (sapi perah) telah mempu meproduksi urea molasis (mineral) blok atau UMB dan mengkomersialkannya ke anggota atau ke peternak lainnya di luar propinsi. Namun tidak mudah untuk memperoleh molases ke perusahaan tebu/gula terdekat dan diperlakukan sama dengan pembeli yang lain yang umumnya perusahaan-perusahaan penyedap rasa. Pembelian dengan potongan harga (discount) hanya dilayani untuk pembelian skala 10 ton. Lain halnya di Magetan (Jawa Timur), pabrik gula melayani pembelian skala kecil oleh petani. Oleh karena itu perlu ada kebijaksanaan umum untuk alokasi penggunaan molases bagi peternakan di seluruh Indonesia seperti yang dilakukan oleh GGLC lebih-lebih dalam rangka menunjang ketahanan pangan nasional. Limbah kelapa sawit. Hal serupa untuk limbah kelapa sawit, berupa lumpur sawit. Lumpur sawit mempunyai potensi sebagai sumber pakan potensial untuk sapi potong, khususnya lumpur sawit yang pertama. Pada kasus di Propinsi Jambi, ketika peternak mau memanfaatkan lumpur sawit untuk sapi setelah berhasil melalui kajian penelitian, maka terbentur untuk memperolehnya, karena ada sumber pemanfaatan lain yang lebih besar dan ekonomis sebagai bahan sabun. Dengan adanya kontrak perusahaan kelapa sawit dengan pabrik sabun, maka petani tidak dapat memperolehnya walaupun menggunakan rekomendasi pejabat tertinggi setempat. Jadi perlu kebijakan pusat dalam memanfaatkan bahan-bahan lokal potensial untuk ketahanan pangan.
415
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Subsidi perbibitan dan perbenihan Tidak terlalu berlebihan apabila faktor-faktor strategis agro-industri diberikan subsidi. Negaranegara maju yang sekarang menjadi pengekspor daging dan sapi potong mereka mensubsidi produkproduk pertaniannya termasuk bidang peternakannya (PAMBUDY, 2001). Sebagaimana kita ketahui bahwa status petani yang merupakan pensubsidi negara terbesar (ASHARI, 2001) masih belum tertuntaskan dari keterpurukan. Tidak berlebihan bila dilakukan subsidi kepada para petani untuk faktor-faktor produksi strategis, seperti dilakukan negara-negara maju ketika tertimpa krisis setelah Perang Dunia II. Prioritas pembangunan pada sektor pertanian. Seperti di Inggris pemerintah memperjuangkan para penganggur, anak-anak, warga lansia dan orang tidak berdaya lainnya melalui Parlemen sebagai konsep negara kesejahteraan dikenal sebagai Beveridge Plan (ORMEROD, 1999), yang terus dikembangkan sampai sekarang di negara-negara maju. Skenario baru Diantara sebab-sebab menurunnya populasi sapi potong adalah tergusurnya basis-basis peternakan sapi potong, baik dalam pola keterpaduan maupun dalam pola khusus. Dalam pola keterpaduan, seperti tergesernya ternak kerja, memerlukan skenario baru dalam bentuk keterpaduan. Berkembangnya model-model pengembangan merupakan sisi lain untuk mewujudkan skenario baru, yang tentu saja harus menuju berpola industri, disamping adanya dukungan kepastian usaha teknis dan hukum. KESIMPULAN Perkembangan populasi sapi potong secara nasional nyaris tidak dapat melayani pertumbuhan kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Berkembangnya pola kemitraan sapi potong peternakan rakyat dengan berbagai sumberdana di Lampung dalam konsep three in one (peternak yang telah siap, pemerintah sebagai perantara dan sumberdana/pemasar) telah membuka peluang baru usaha peternakan rakyat sapi potong yang mencapai perubahan skala ekonomi, dicirikan oleh kesiapan teknis baik untuk produksi pembiakan maupun produksi potong atau konsumsi sebagai sebuah model simpul pertumbuhan berpola atau menuju berpola industri yang prospektif. SARAN-SARAN Perlu menjadikan kelompok mandiri sebagai salah satu pola andalan pengembangan sapi potong di Indonesia, meningkatkan keberdayaannya dengan memberikan kemudahan-kemudahan yang diperlukan serta melembagakannya sebagai salah satu sentra transformasi budaya. Perlunya subsidi untuk faktor produksi strategis komoditi pertanian seperti usaha pembibitan sebagai program asksi terobosan. DAFTAR PUSTAKA ASHARI. 1995. Telaah Makna Kemitraan dalam Industrialisasi Peternakan. Dalam Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ternak, diselenggakan oleh Balai Penelitian Ternak. 30–31 Agustus 1995. Bogor.
416
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
ASHARI. 2001. VOLARE. Konsep percepatan transformasi tradisional menuju berbudaya industri Dalam Prosiding SeminarNasional Nasional “Agribisnis Peternakan“, diselenggakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, 30–31 Agustus 1995, Purwokerto. DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANTUL. 2000. Statistik Peternakan Kab.Bantul. 1999.Bantul. DINAS PETERNAKAN PROPINSI LAMPUNG. 2000. Statistik Peternakan 1999. Bandar Lampung. DINAS PETERNAKAN PROPINSI DI YOGYAKARTA. 2000. Laporan Tahunan 1999. Yogyakarta DINAS PETERNAKAN PROPINSI DI YOGYAKARTA. 2000. Statistik Peternakan 1999. Yogyakarta. DIT. JEN. PRODUKSI PETERNAKAN. 2001. Data Populasi 2000.belum di publikasi. Jakarta. MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN RI. 2000. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis di Indonesia Berbasiskan Bahan baku Lokal. Seminar Nasional Diesnatalis 31 Tahun Fapet UGM, 9 November 2000. 0’HOGAN, S. 2001. US Beef Industry: Demand, Spending and Consumption. Factsheet–March 2001. ORMEROD, P. 1999. Matinya Ilmu Ekonomi 2 (The Death of Economics). Menuju Ilmu Ekonomi Baru. KPG. Jakarta. PAMBUDY, R. 2001. Prospek Pengembangan Agribisnis Ternak Ruminansia Berbasis Sumberdaya Lokal dan Prospek Kewirausahaan Bidang Peternakan. Seminar Nasional, 17 Februari 2001, Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto. UNDANG-UNDANG POKOK PETERNAKAN/VETERINER. 1967. Dit. Jen. Bina Produksi Peternakan. Jakarta. YUDO HUSODO, S. 1999. Kebangkitan Petani Peternak Dalam Reformasi Sistem Pertanian. Seminar Nasional Peternakan dalam Rangka Lustrum VI Fapet UGM, 8 November 1999, Yogyakarta. WOELKE, M. 1978. Statistical Information on Indonesian Agriculture. German Agency for Technical Cooperation Ltd. Jakarta. hal: 57.
DISKUSI Pertanyaan: Data apa yang dapat mendukung bahwa Lampung berpotensi untuk pengembangan sapi potong (sebutkan dimakalah)? Apakah pola integrasi sapi potong dalam usaha tani padi (tanaman pangan) dapat mendukung pola industri? Jawaban: Dari Tabel 1 di makalah ini menunjukkan secara umum tentang potensi Lampung sebagai salah satu wilayah untuk pengembangan sapi potong, disamping kesiapan teknis para peternaknya, telah berkembangnya kemitraan yang mapan dari berbagai sumberdana, letak geografisnya sebagai pintu Sumatera ke Jakarta. Tentu saja pola integrasi sapi potong dalam sistem usahatani padi dapat mendukung pengembangan sapi potong menuju berpola industri, yang dicirikan oleh perubahan skala ekonomi dan muatan usaha pembiakan dan penggemukan. Kalau dulu integrasinya sapi potong adalah sebagai ternak kerja yang benar-benar dibutuhkan, sekarang sebagai kebutuhan yang dapat memberi keuntungan dan mensejahterakan petani. Oleh karena itu diperlukan skenario baru, dengan model yang telah berkembang di Lampung. Yang berarti diperlukan kemitraan dengan sumber dana dalam konsep three in one dan menyiapkan kesiapan teknis para peternak serta perlu dihilangkannya budaya ngarit yang merupakan beban utama.
417