Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PENGEMBANGAN ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY UNTUK EVALUASI RESPON ANTIBODI PADA EGGYOLK DARI AYAM YANG DIIMUNISASI ANTIGEN SEL UTUH INAKTIF S. enteritidis PHAGE TIPE 4 (The Development Enzyme Linked Immunosorbent Assay for Evaluating Antibody Response of Egg Yolk from Chicken Immunized with Killed Whole Cell Antigen of Salmonella enteritidis Phage Type 4) TATI ARIYANTI, SUPAR, DJAENURI dan ISKANDAR Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Salmonellosis is an important diasese in poultry industries that may occur in the animal level at farms as well as in the laying eggs or egg product. S. enteritidis phage type 4 is one of the most important serotype causing disease in chicken could spread vertically through the eggs as well as horizontally by direct contact. Detection S. enteritidis phage type 4 infections or its antibodies in eggs are important and appropriate for reducing egg-borne disease transmission. In this opportunity we developed enzyme-linked immunosorbent assay to detect the presence of S. enteritidis phage type 4 antibody responses in egg derived from experimental chicken againsted somatic (O), extracellular toksin and H: g, m flagella antigen. A group of 14 weeks old of layer chicken (group I) were immunized with killed whole cell antigen of S. enteritidis phage type 4 isolated from Sukabumi. A group of the same age of other chicken (group II) were left unimmunized used as control. Each of that group were divided into 3 sub group designated as IA, IB, IC and IIA, IIB, IIC respectively. Two weeks post boostered subgroup IB and IIB were challenged with life homologous of S. enteritidis phage type 4 whereas subgroup IC and IIC were challenged 12 weeks post boostered, Subgroup IA, IIA were left unchallenged. ELISA antigen of whole sonicated extract, heated whole sonicated extract, extracellular toxins and H: g, m flagella antigen were prepared from homologous S. enteritidis phage type 4 serotype. The enzyme substract reaction of the ELISA were determined by optical density reading (OD), then converted to ELISA unit based on the positive control. The somatic (O) antibody responses and anti-toksin antibody responses were detected from egg yolk of chicken immunized with killed whole cell antigen. Anti H:g,m flagella antibody responses could be detected earlier at 14 days affer immunization. From four types of the ELISAs developed, the H:g,m flagella antigen coating ELISA microplates demonstrated specific for detecting anti H:g,m flagella antibody responses from eggs yolk, whereas somatic (O) antigen coating ELISA microplates detected anti-somatic (O) antibody from eggs, produced from chicken injected with other Salmonella serotype of group D. From this study concluded, the use of H:g,m flagella for coating ELISA microplate could be used for differentiation Salmonellosis infection status due to the S. enteritidis or other group D Salmonella. Key Words: H:g,m Flagella, ELISA, S. enteritidis, Egg Yolk, Experimental Chicken ABSTRAK Salmonellosis banyak terjadi pada ayam baik pada tingkat peternakan maupun produk ayam seperti telur. S. enteritidis phage tipe 4 merupakan salah satu patogen penyebab penyakit baik pada ayam maupun manusia. Infeksi S. enteritidis phage tipe 4 pada ayam dapat ditularkan secara vertikal dan atau horizontal. Deteksi S. enteritidis phage tipe 4 atau antibodinya pada telur menjadi sangat penting dalam upaya program penurunan dan pencegahan egg-borne disesase transmission. Pada kesempatan ini dikembangkan enzyme linked immunosorbent assay untuk mengetahui adanya respon antibodi pada telur dari ayam percobaan terhadap antigen somatik, ekstraseluler toksin dan flagella H:g,m dari S. enteritidis phage tipe 4. Pembuatan antigen sel utuh inaktif S. enteritidis berasal dari isolat lokal (Sukabumi). S. enteritidis phage tipe 4 diperbanyak menggunakan media nutrien agar dalam botol Roux. Setelah inaktivasi diemulsikan dengan gel alluminium hidroksida. Ayam petelur umur 14 minggu sebanyak 15 ekor (kelompok I) diimmunisasi dengan
1056
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
dosis 0,5 ml, aplikasi subkutan. Ayam diinjeksi ulang (booster) 4 minggu berikutnya dengan dosis dan aplikasi seperti sebelumnya. Satu kelompok ayam umur 14 minggu (kelompok II) dipakai sebagai kontrol, tidak diimunisasi. Tiap kelompok ayam tersebut dibagi menjadi 3 subkelompok (IA, IB, IC; IIA, IIB, IIC). Dua minggu sesudah booster subkelompok IB dan IIB ditantang dengan S. enteritidis phage tipe 4 hidup, subkelompok IC dan IIC ditantang 12 minggu setelah booster, sedang subkelompok IA dan IIA tidak ditantang. Telur dari ayam percobaan dikoleksi, diberi tanda secara individu. Antigen untuk ELISA whole cell sonicated extract (WS), heated sonicated extract (ES), ekstrakseluler toksin (ET) dan flagella H:g,m disiapkan dari stok sel S. enteritidis sama seperti yang digunakan untuk imunisasi. Respon antibodi pada telur ayam percobaan diperiksa secara ELISA masing-masing terhadap keempat jenis antigen tersebut di atas. Sejumlah telur dari 30 ekor ayam petelur yang diinokulasi dengan antigen aktif S. enteritidis, S. pullorum dan S. typhi dan telur ayam petelur dari lapangan (Sukabumi, Tangerang, Ciputat dan Citayam) diperiksa respon antibodinya terhadap antigen whole cell sonicated extract (WS) dan flagella H: g, m S. enteritidis. Hasil pembacaan ELISA berupa optical density reading (OD), dikonversi menjadi ELISA Unit berdasar nilai OD dari kontrol positif standar dan dibuat grafik atau gambar. Respon anti somatik (O) antibodi, antitoksin dapat dideteksi pada telur ayam yang disuntik dengan antigen sel utuh. Anti flagella H:g,m dapat dideteksi lebih awal (14 hari) setelah imunisasi. Dari keempat jenis ELISA tersebut, ELISA antibodi dengan antigen flagella (H:g,m) sangat sensitif dan bersifat spesifik untuk deteksi S. enteritidis. Antibodi dengan antigen somatik O (grup D) dapat untuk mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh Salmonella spesies lain dalam grup D. Aspek diagnosa Salmonellosis pada ayam petelur dalam penelitian ini dapat dikembangkan menjadi kit diagnosis. Kata Kunci: H:g,m Flagella, ELISA, S. enteritidis, Kuning Telur, Ayam Percobaan
PENDAHULUAN Salmonella serovar pullorum dan gallinarum telah diketahui sejak lama menyebabkan salmonellosis pada ayam, bersifat sistemik, dilaporkan terjadi di berbagai belahan dunia (HOFSTAD et al., 1984) termasuk di Indonesia (POERNOMO, 1978; POERNOMO, 2004). Ayam yang terinfeksi serovar tersebut menimbulkan respon antibodi dalam darah. Hal ini akan sangat mudah dideteksi dengan uji aglutinasi (POERNOMO dan HARJOUTOMO, 1981). Penyakit salmonellosis pada ayam dapat ditularkan secara vertikal melalui telur dan secara horizontal melalui kontak langsung atau tidak langsung (GAST dan BREAD 1990). Serotipe penyebab paratiphoid seperti S. enteritidis dikenal sebagai patogen yang penting baik pada unggas maupun manusia. Phenomena keracunan makanan pada manusia berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah ayam dan telur ayam yang terkontaminasi oleh serotipe S. enteritidis (THORNS et al., 1996). Deteksi terhadap infeksi S. enteritidis pada ayam petelur menjadi sangat penting untuk mengurangi resiko kontaminasi vertikal S. enteritidis pada ayam dan kasus keracunan makanan pada manusia (GAST et al., 1997; THORNS et al., 1996). Infeksi S enteritidis pada ayam umur lebih dari 2 minggu tidak menyebabkan kematian tetapi dapat menyebabkan status karier kronis. Ayam
terinfeksi S. enteritidis terlihat sehat tetapi sewaktu-waktu dapat mensekresikan bakteri tersebut dalam fesesnya. Kondisi ini menyebabkan diagnosis infeksi S. enteritidis pada ayam secara tidak langsung melalui feses sulit dilakukan (NICHOLAS dan CULEN, 1991). S. enteritidis biasanya menstimulir terbentuknya respon antibodi sangat lemah (WILLIAMS dan WHITTEMORE, 1975). Oleh karena itu, uji aglutinasi secara konvensional kurang efektif untuk salmonellosis yang bersifat paratiphoid. Hal ini mungkin disebabkan ayam yang sudah dewasa yang terinfeksi secara peroral, bakteri Salmonella tidak dapat mengkolonisasi pada permukaan usus. Sementara itu, pada ayam muda atau anak ayam lebih sensitif. Namun demikian pada ayam percobaan, infeksi secara sistemik dengan S. enteritidis dapat menimbulkan respon antibodi yang cukup tinggi (GAST dan BEARD, 1990). Kuning telur ayam mengandung antibodi maternal yang dapat dideteksi dengan cara yang sama seperti pada serum ayam (GAST dan BREAD, 1991). Antibodi terhadap S. enteritidis dapat dideteksi pada kuning telur ayam yang terinfeksi S. enteritidis, meskipun respon tinggi yang dihasilkan dari kuning telur muncul lebih lambat dibandingkan dengan respon antibodi serum. Namun demikian sampel kuning telur ayam lebih praktis untuk dikoleksi karena lebih mudah didapat dan tidak menimbulkan stress pada ayam. Dilaporkan dari beberapa
1057
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
penelitian bahwa antibodi spesifik kuning telur berhubungan langsung dengan isolasi S. enteritidis dari sampel jaringan dan ekskresi S. enteritidis dari feses. Deteksi antibodi kuning telur menggunakan Elisa menunjukkan sama efektifnya dengan pemeriksaan kultur bakteri dari feses maupun telur ayam yang terinfeksi S. enteritidis pada pada induk ayam petelur percobaan (GAST et al., 1997). Di samping itu pemeriksaan serologis dengan ELISA memberikan hasil yang lebih sensitif dan spesifik jika dibandingkan dengan pemeriksaan kultur/ bakteriologik secara konvensional (THORN et al., 1996; YAMANE et al., 2000). Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) telah banyak dikembangkan untuk mendeteksi respon antibodi pada ayam yang terinfeksi beberapa serotipe Salmonella (typhimurium, enteritidis, gallinarumpullorum) baik dari infeksi alam, eksperimental maupun untuk monitoring infeksi salmonellosis pada suatu kelompok (flok) di lapangan (OLIVEIRA et al., 2004) dengan menggunakan antigen lipopolisakarida (LPS), outer membrane protein (OPM), crude surface-extract antigen, flagella dan antigen fimbria. Antigen flagella dan fimbria bersifat spesifik untuk mendeteksi adanya infeksi S. enteritidis pada ayam (THORNS et al., 1996). Isu keamanan pangan yang berhubungan dengan adanya cemaran bakteri khususnya Salmonella spp pada ayam dan produknya menjadi penting berkaitan dengan makin tingginya kasus salmonellosis pada manusia baik di negara maju ataupun negara berkembang, oleh karena itu perlu penelitian diagnosis cepat, akurat dan sistem produksi pangan asal unggas. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ELISA antibodi dan aplikasinya untuk diagnosis infeksi S. enteritidis pada telur dari ayam percobaan atau sampel lapangan. MATERI DAN METODA Pembuatan antigen sel utuh inaktif S. enteritidis phage tipe 4 Antigen sel utuh untuk imunisasi dibuat dari Salmonella enteritidis phage tipe 4 isolat lokal yang berasal dari Sukabumi, diperoleh
1058
dari penelitian sebelumnya dan disimpan dalam bentuk kering beku dengan kode BCC 821/SE 94. Bakteri tersebut dihidupkan kembali dan diperbanyak pada media nutrien cair dan diinkubasikan pada suhu 37o C selama 48 jam. Setelah inkubasi dipindah-biakkan pada media nutrien agar dalam botol Roux dan diinkubasikan semalam pada suhu 37oC. Tiap kultur dalam botol Roux diperiksa kemurniannya. Setelah diketahui murni, sel bakteri pada permukaan agar dalam botol Roux dibilas dan ditambah dengan larutan NaCL fisiologis (BARBOUR et al., 1993). Suspensi sel disatukan, sel bakteri dalam suspensi dihitung, sehingga diketahui jumlah kandungan sel/ satuan volume/stok sel. Setelah diketahui kandungan jumlah selnya kemudian diinaktifkan dengan formalin 0,3%, pada suhu 37oC selama 3 kali 24 jam. Setelah semua sel mati, dicuci 3 kali dengan phospat buffer saline (PBS) pH 7,2 dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 30 menit. Pada pencucian terakhir supernatan dibuang dan endapan sel dilarutkan dalam PBS (dengan volume yang sama seperti semula pada saat sel dihitung) sebagai stok sel atau antigen. Dari suspensi stok dibuat antigen S. enteritidis yang diemulsikan dalam adjuvan Al(OH)3 dengan konsentrasi akhir 1,5% dan konsentrasi sel lebih 1010 sel/ml pada waktu sel masih hidup atau setara dengan kekeruhan tabung Mc Farland No. 10 (BARBOUR et al., 1993; GAST et al., 1992). Imunisasi ayam percobaan dengan antigen sel utuh S. enteritidis Pada uji ini dipergunakan 30 ekor ayam petelur umur 14 minggu yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I (15 ekor) disuntik antigen sel utuh S. enteritidis phage tipe 4 dan kelompok II (15 ekor) tidak disuntik antigen. Tiap kelompok dibagi menjadi sub kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor (IA, IB, IC; IIA, IIB, IIC). Tiap sub kelompok dipelihara dalam satu ruang kandang, diberi pakan dan air minum ad libitum. Sub kelompok IA, IB, IC diberi antigen sel utuh inaktif S. enteritidis phage tipe 4 secara subkutan dengan dosis 0,5 ml (1010 sel/ml) dan 4 minggu kemudian dilakukan suntikan kedua (booster) dengan dosis dan cara yang sama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Sub kelompok IIA, IIB, IIC adalah kelompok kontrol yang tidak mendapat suntikan antigen (BARBOUR et al., 1993; GAST et al., 1992). Dua minggu setelah suntikan antigen kedua (booster), sub kelompok IB dan IIB ditantang dengan isolat aktif S. enteritidis phage tipe 4 (107 sel/ml) dengan dosis 1 ml yang diberikan peroral (BARBOUR et al., 1993; OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES, 2000). Sub kelompok IC dan IIC ditantang 12 minggu sesudah booster. Sub kelompok IA dan IIA, tidak dilakukan uji tantang. Telur yang dihasilkan sejak ayam mulai berproduksi dikumpulkan setiap 2 minggu sekali sampai ayam berumur 34 minggu. Respon antibodi dalam kuning telur selanjutnya diperiksa secara enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Inokulasi antigen sel utuh S. enteritidis, S. pullorum dan S. typhi pada ayam percobaan Sebanyak 30 ekor anak ayam petelur umur 5 hari dibagi menjadi 3 kelompok, masingmasing terdiri dari 10 ekor (kelompok A, B dan C). Pada kelompok A masing-masing anak ayam diberi antigen aktif S. enteritidis (108 CFU) dengan dosis 0,25 ml secara per oral (melalui cekok). Pada kelompok B diberi antigen aktif S. pullorum sedang kelompok C diberi antigen aktif S. typhi dengan dosis dan cara yang sama. Ayam-ayam tersebut dipelihara sampai usia produksi. Telur-telur yang dihasilkan dikoleksi setiap minggu. Respon antibodi dalam kuning telur selanjutnya diperiksa secara enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Telur ayam lapang Telur ayam lapang di peroleh dari daerah Sukabumi, Tangerang, Ciputat dan Citayam masing-masing sebanyak 8 butir telur. Pemeriksaan respon antibodi kuning telur dilakukan terhadap antigen whole cell sonicated dan antigen flagella S. enteritidis secara enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pembuatan antigen ELISA whole cell sonicated (WS) S. enteritidis phage tipe 4. Sebanyak 10 ml stok sel antigen inaktif S. enteritidis yang kekeruhannya setara dengan
tabung Mc farland standar No. 10 dilakukan sonikasi 4 kali 30 detik dengan kecepatan maksimum (soniprep UK) pada kondisi dingin (YAMANE, 2000). Setelah sonikasi suspensi sel disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm. Supernatan dipisahkan kemudian ditambah ammonium sulfat jenuh (1 : 1) dan disimpan pada lemari es semalam. Adanya partikel endapan halus disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm. Supernatan dibuang, endapan dilarutkan dalam PBS fisiologik steril 10 ml, dimasukkan dalam kantong dialisis selanjutnya didialisis melawan PBS selama 1 malam di dalam lemari es. Setelah dialisis, antigen dikeluarkan dari kantong didialisis, kemudian disimpan pada suhu 4oC sampai saatnya digunakan untuk ELISA. Pembuatan antigen ELISA ekstrak sonikasi (ES) heated S. enteritidis phage tipe 4 Stok Whole cell yang diperoleh seperti di atas, setelah dicuci dan diinaktivasi dengan formalin 0,3% dicuci 3 x dengan PBS. Pelet dari pencucian terakhir disuspensikan dalam PBS, kekeruhan dibuat setara dengan tabung Mc Farland No. 10. Suspensi sel dipanaskan 100oC selama 1 jam kemudian disonikasi selama 4 x 30 detik kecepatan maksimum (soniprep. UK). Setelah sonikasi suspensi disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 25-30 menit. Supernatan dipisahkan, kemudian ditambah ammonium sulfat jenuh 1 : 1. Campuran disimpan dalam lemari es semalam. Partikel presipitat disentrifugasi 8000 rpm selama 15 menit. Endapan dilarutkan dalam PBS, kemudian didialisis melawan PBS semalam pada suhu 4oC. Setelah didialisis suspensi crude antigen ekstraksonikasi tersebut disimpan -20oC sampai saatnya uji ELISA. Pembuatan antigen extracelullar ELISA S. enteritidis phage tipe 4 ekstraselular toksin (ET) Bakteri S. enteritidis phage tipe 4 disubkultur pada nutrien agar plate. Dipilih 3-4 koloni yang besarnya serupa, diambil dengan ose kemudian diinokulasi pada tryptic soy broth, diinkubasi 37oC selama semalam. Setelah inkubasi disentrifugasi 8000 rpm selama 25-30 menit. Cairan di bagian atas kira-
1059
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
kira setinggi 2–3 cm dari permukaan dipisahkan dan dimasukkan dalam tabung sentrifuse kemudian ditambah amonium sulfat jenuh 1 : 1, simpan dalam lemari es semalam. Setelah sentrifugasi 8000 rpm selama 25–30 menit, supernatan dibuang dan endapan disuspensikan dalam PBS dan didialisis seperti butir b, dan setelah didialisis suspensi ekstraselular protein/toksin disimpan -20oC sampai saatnya uji ELISA. Pembuatan antigen flagella enteritidis phage tipe 4
(H:g,m)
S.
Bakteri S. enteritidis phage tipe 4 dihidupkan kembali dan diperbanyak pada media cair dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Dari kultur nutrien cair tersebut diinokulasikan melalui tabung “Craigie” pada media semisolid dan diinkubasikan pada 37oC semalam, untuk pertumbuhan flagella. Dengan ose, kultur pada media semisolid (diluar tabung “Craigie”) diinokulasikan pada nutrien cair dan diinkubasikan pada 37oC semalam. Kultur diinaktifkan dengan formalin konsentrasi akhir 0,1% kemudian disimpan dalam lemari es suhu 4oC semalam. Setelah sel mati disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Pelet dicuci 3 kali dengan PBS, pelet dari pencucian terakhir dilarutkan dengan PBS dan disimpan pada suhu 4oC untuk proses berikutnya. Dibuat suspensi sel setara tabung Mc Farland No. 10 dipanaskan 60 oC selama 1 jam. Disentrifugasi 6000 rpm. Supernatan ditambah ammonium sulfat jenuh 1 : 1 dan disimpan dalam lemari es 4oC satu malam. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifugasi 6000 rpm. Endapan tersebut dilarutkan dalam larutan PBS dan didialisis melawan larutan yang sejenis. Setelah dialisis suspensi flagella selanjutnya untuk coating cawan mikro dan diproses secara ELISA. Penyiapan reagensia untuk ELISA Coating buffer disiapkan dari sodium carbonat-bicarbonat. Sebanyak 1,06 g, NaHCO3 (anhydrous) dan 0,84 g NaHCO3 (anhydrous) dilarutkan dalam 100 ml air suling, setelah larut pH 9,6. PBS untuk keperluan ELISA dibuat dengan komposisi 10
1060
x konsentrasi. PBS terdiri dari NaCl 85 g, KCl 2 g, Na2HPO4 11,5 g dan KH2PO4 2 g, kemudian bahan-bahan tersebut dilarutkan dalam air suling 1000 ml, setelah larut diencerkan 1 bagian ditambah dengan 9 bagian air suling pH disesuaikan 7,2. Untuk keperluan pencucian reaksi ELISA dan bahan pengencer reagen ELISA, PBS ditambah 0,05% Tween 20 (PBST). Dibuat citrate phophat buffer terdiri dari sitrat (C6H8O7H2O) sebanyak 21,01 g dan 14,2 g Na2HP04, Masing-masing bahan dilarutkan dalam 500 ml air suling. Larutan phospat ditambahkan ke dalam larutan citrate sehingga pH menjadi 4,2. Sebagai subsrat enzyme digunakan ABTS dalam buffer sitrat. Sebanyak 286 mg 2,2-azino di 3-ethylbenzothiazoline-6sulphonic acid (ABTS, SIGMA), dilarutkan dalam 10 ml air suling dan disimpan dalam botol gelap. Dua ratus mikrorespon ABTS tersebut dimasukkan ke dalam 10 ml buffer sitrat yang telah dibubuhi H2O2 0,005%. Titrasi antigen, sample kuning telur kontrol dan konjugat Dari percobaan penentuan penggunaan enceran antigen yang tepat dilakukan titrasi antigen dan coating cawan ELISA, diketahui enceran antigen WS atau ES yang optimal adalah pada konsentrasi 150 µl/ 5000µl buffer carbonat-bicarbonat sedangkan untuk antigen ET dan flagella diperlukan 300 µl/ 5000µl buffer carbonat-bicarbonat. Sebanyak 50 µl dari tiap enceran antigen tersebut dimasukkan ke dalam lubang cawan ELISA. Kuning telur kontrol positif dimasukkan pada enceran 1/200 ke dalam lubang (A11, 12) diencerkan in situ mulai dari enceran 1/200 dengan faktor pengenceran ½ sampai pada lubang (G11, 12) sedangkan lubang H11, 12 berisi PBST. Konjugat yang dipakai adalah anti-chicken Ig Y-HRP (Jackson 303-035-003). Dalam pemakaian, konjugat diencerkan 1:5000 dengan menggunakan larutan PBS yang mengandung 0,05% Tween 20 (PBST). Langkah-langkah secara singkat
mengerjakan
ELISA,
Sebanyak 50 µl dari tiap antigen (WS, ES, ET dan F yang telah dilarutkan dalam larutan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
buffer carbonat-bicarbonat, pH 9,6) dimasukkan ke dalam tiap-tiap lubang cawan ELISA). Setelah proses pelapisan (coating), cawan ditutup dan dibungkus selanjutnya diinkubasikan pada suhu 4oC selama satu malam. Esok harinya cawan yang dilapisi antigen dicuci dengan larutan PBST pH 7,2 sebanyak 4 kali. Sampel kuning telur diencerkan 1/200 dalam PBST dan sebanyak 50 µl sampel dimasukkan ke dalam setiap lubang mikroplat secara duplikat (satu sampel 2 lubang). Inkubasikan selama 1 jam pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, pencucian dilakukan lagi sebanyak 4 kali dengan PBST, selanjutnya setelah dicuci ditambah 0,05% bovine serum albumin (BSA) sebanyak 50 µl per lubang sebagai blocking reagent dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC. Setelah inkubasi dilakukan lagi sebanyak 4 kali dengan PBST selanjutnya sebanyak 50 µl enzyme konjugat (1/5000 dalam PBST) dimasukkan ke dalam setiap lubang, diinkubasikan pada suhu 37oC selama 1 jam. Cawan ELISA dicuci dengan PBST 4 kali seperti sebelumnya. Sebanyak 100 µl substrat (ABTS dalam buffer sitrat pH 4,2) dimasukkan ke dalam tiap lubang cawan ELISA dan diinkubasi seperti sebelumnya selama 1 jam pada suhu 37oC. Reaksi ELISA dibaca dengan alat pembaca ELISA (Multiscan Plus Plate Reader) dengan panjang gelombang 414 nm. Data dari pembacaan berupa optikal densitas (OD) tersebut dikonversikan ke dalam ELISA Unit (EU) berdasarkan pada hasil pembacaan sample serum kontrol positif yang diencerkan pada lubang mikroplat ELISA A11, 12 sampai pada G11,12 berturut-turut tertinggi 1024, 512, 256, 128, 64, 32, 16 ELISA Unit (EU). Selanjutnya, hasil pembacaan OD dari tiap ayam dalam kelompok yang disuntik antigen sel utuh S. enteritidis dan S. pullorum dan yang tidak disuntik, dihitung nilai rata-ratanya. Dari hasil tersebut kemudian dibuat grafik, untuk mempermudah interpretasi hasil terjadinya perubahan respon antibodi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan respon anti-flagella (H:g,m) antibodi pada telur ayam percobaan terhadap antigen whole cell sonicated S. enteritidis
phage tipe 4 (WS) menunjukkan bahwa kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif (Kel. IA, IB dan IC) dapat dideteksi pada telur ayam 2 minggu setelah suntikan antigen pertama (Gambar 1). Dua minggu berikutnya sedikit menurun, setelah diberi suntikan antigen kedua (booster) respon antibodi meningkat lagi pada minggu-minggu berikutnya. Pada telur dari kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi tidak diberi uji tantang (IA), respon antibodi setelah booster terlihat tetap bertahan cukup tinggi sampai akhir pengamatan. Pada telur ayam dari kelompok yang disuntik antigen sel utuh inaktif dan ditantang 2 minggu pasca booster (IB) dan 12 minggu pasca booster (IC), respon antibodi terlihat mengalami kenaikan mulai 2 minggu pasca uji tantang dan terus meningkat dalam periode 4 minggu. Respon antibodi yang terdeteksi pada telur tersebut seperti yang terjadi pada ayam petelur percobaan yang diinfeksi secara peroral dengan S. enteritidis (GAST et al., 1997). Dalam percobaan ini antibodi terhadap antigen somatik S. enteritidis dapat dideteksi 14 hari pasca suntikan antigen yang pertama. Hasil ini menyerupai penelitian yang dilaporkan oleh GAST dan BEARD (1991) bahwa antibodi dalam kuning telur dapat dideteksi 9 hari setelah ayam diinfeksi secara peroral. Pada telur dari kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif dan tidak diberi uji tantang, hampir tidak ada respon antibodi (IIA) terhadap antigen WS. Akan tetapi dari kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif dan ditantang (IIB dan IIC), respon antibodi terlihat mengalami kenaikan dalam periode 4 minggu pasca uji tantang dan 2 minggu kemudian respon terlihat mulai menurun. Kenaikan respon antibodi pada kuning telur tersebut akibat antigen S. enteritidis dari bakteri yang dipakai uji tantang. Pemeriksaan respon antibodi dalam kuning telur ayam percobaan terhadap antigen supernatan ekstrak sonikasi (ES) S. enteritidis phage tipe 4 (dari whole cell yang dipanaskan pada suhu 100oC menunjukkan bahwa setelah diberi suntikan antigen inaktif S. enteritidis phage tipe 4 yang pertama, ketiga kelompok ayam suntikan (Kel. IA, IB dan IC) terdapat kenaikan respon antibodi dalam kuning telur pada 2 minggu setelah suntikan yang pertama tertera pada Gambar 2. Pola terbentuknya
1061
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
1000 900 800 700 EU
600 500 400 300 200 100 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
minggu keIA
IIA
IB
IIB
IC
IIC
Gambar 1. Respon antibodi kuning telur ayam yang di imunisasi antigen sel utuh dan yang tidak terhadap antigen whole cell sonicated extract (WS) IA : Diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang IB : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster IC : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster IIA : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang IIB : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster IIC : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster
E n d a p a n s u p e rn a ta n e k s tra s o n ik a s i a n tig e n 500 450 400 350
EU
300 250 200 150 100 50 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
m in g g u k e IA
IIA
IB
IIB
IC
IIC
Gambar 2. Respon antibodi kuning telur ayam yang diimunisasi antigen sel utuh dan yang tidak terhadap antigen endapan supernatan ekstrasonikasi (ES) IA : Diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang IB : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster IC : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster IIA : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang IIB : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster IIC : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster
1062
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
respon antibodi terhadap antigen ES serupa dengan antigen WS. Respon antibodi terlihat menurun pada minggu ke-4 namun setelah diberi suntikan kedua (booster) respon antibodi terlihat mengalami kenaikan. Sampel telur dari kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi tidak diberi uji tantang (IA), respon antibodi setelah booster terlihat tetap bertahan cukup tinggi sampai akhir pengamatan, sedangkan pada kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif dan tidak diberi uji tantang (IIA) tidak terlihat adanya respon antibodi (tetap datar). Pada sampel telur ayam dari kelompok yang disuntik antigen sel utuh inaktif dan ditantang 2 minggu pasca booster (IB) dan 12 minggu pasca booster (IC), respon antibodi terlihat mengalami kenaikan pada 2 minggu pasca uji tantang dan terus meningkat dalam periode 4 minggu sedangkan dari sampel telur pada kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi ditantang (IIB dan IIC), respon antibodi terlihat mengalami kenaikan pada 2 minggu pasca uji tantang dan terus meningkat dalam periode 4 minggu dan 2 minggu kemudian sedikit menurun. Kenaikan respon antibodi dalam telur tersebut disebabkan antigen dari bakteri uji tantang. Pemeriksaan respon antibodi sampel telur ayam terhadap antigen ekstraseluler toksin (ET) menunjukkan bahwa ketiga kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif (IA, IB dan IC) memberikan kenaikan respon antibodi 2 minggu setelah suntikan antigen yang pertama terteraa pada Gambar 3. Pola respon antibodi terhadap antigen ET juga serupa dengan antigen WS, dan antigen ES. Respon antibodi terlihat menurun pada minggu ke-4 namun setelah booster, respon antibodi terlihat mengalami kenaikan. Sampel telur dari kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi tidak diberi uji tantang (IA), terlihat tetap bertahan sampai akhir pengamatan, akan tetapi pada kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif dan tidak diberi uji tantang (IIA) tidak terlihat adanya respon antibodi (tetap datar). Telur dari kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif dan ditantang 2 minggu pasca booster (IB) dan 12 minggu pasca booster (IC), respon antibodi terlihat
mengalami kenaikan pada 2 minggu pasca uji tantang dan terus meningkat dalam periode 4 minggu selanjutnya respon antibodi terlihat sedikit menurun 2 minggu kemudian. Antibodi telur dari kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi ditantang (IIB dan IIC),dapat terlihat adanya respon antibodi pada 2 minggu pasca uji tantang dan terus meningkat dalam periode 4 minggu namun respon antibodi terlihat mengalami penurunan pada 2 minggu kemudian (akhir pengamatan). Pemeriksaan respon antibodi dalam telur ayam terhadap antigen flagella menunjukkan bahwa ketiga kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif (Kel. IA, IB dan IC) terbentuk antibodi pada 2 minggu setelah suntikan antigen yang pertama tertera pada Gambar 4. Respon antibodi dari sampel telur terlihat menurun pada minggu ke-4 namun setelah booster respon antibodi terlihat mengalami kenaikan. Sampel telur dari kelompok ayam yang disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi tidak diberi uji tantang (IA), respon antibodi setelah booster terlihat tetap bertahan cukup tinggi sampai akhir pengamatan. Pada kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif dan tidak diberi uji tantang (IIA) tidak terjadi respon antibodi terhadap antigen flagella. Namun demikian pada sampel telur dari kelompok ayam yang tidak disuntik antigen sel utuh inaktif tetapi ditantang (IIB dan IIC), dapat dilihat adanya respon antibodi mulai 2 minggu pasca uji tantang dan terus meningkat dalam periode 4 minggu dan 2 minggu kemudian respon terlihat mengalami penurunan. Respon antibodi ini disebabkan oleh antigen flagella pada bakteri yang dipakai uji tantang. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang pernah dilaporkan oleh BARROW et al. (1992), GAST dan BEARD (1992), GAST et al. (1997) yang menunjukkan bahwa injeksi S. enteritidis pada ayam petelur dapat dideteksi secara serologik dengan adanya antibodi terhadap bakteri tersebut melalui kuning telur. Dari penelitian lain dilaporkan bahwa infeksi buatan S. enteritidis peroral, bakteri dapat diekskresi pada telur sampai hari ke-11 pasca inokulasi (SHIVAPRASAD et al., 1990).
1063
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
E k s tra s e lu le r to k s in a n tig e n 600 500
EU
400 300 200 100 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
m in g g u k e IA
IIA
IB
IIB
IC
IIC
Gambar 3. Respon antibodi kuning telur ayam yang diimunisasi antigen sel utuh dan yang tidak terhadap antigen ekstraseluler toksin (ET) IA : Diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang IB : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster IC : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster IIA : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang IIB : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster IIC : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster
Flagella antigen 700 600
500 EU
400 300 200 100 0 0
2
4
6 IA
8 IIA
10
12
minggu keIB
14
16
IIB
18 IC
20
22
IIC
Gambar 4. Respon antibodi kuning telur ayam yang diimunisasi antigen sel utuh dan yang tidak terhadap antigen flagella (H:g,m) IA IB IC IIA IIB IIC
: Diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster : Diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, tidak diuji tantang : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 2 minggu pasca booster : Tidak diimunisasi antigen sel utuh, ditantang 12 minggu pasca booster
1064
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
R esp o n an tib o d i ku n in g telu r terh ad ap an tigen W S S . en teritid is
600 500
EU
400 300 200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
m in ggu ke S . p u llo ru m
S . typ h i
S .en teritid is
Gambar 5. Respon antibodi kuning telur ayam yang diinokulasi dengan antigen aktif S. enteritidis, S. pullorum dan S. typhi terhadap antigen whole cell sonicated (WS) S. Enteritidis
Respon antibodi kuning telur terhadap antigen flagella S. enteritidis 200
EU
150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
minggu keS. pullorum
S. typhi
S.enteritidis
Gambar 6. Respon antibodi kuning telur ayam yang diinokulasi dengan antigen aktif S. enteritidis, S. pullorum dan S. typhi terhadap antigen flagella (H:g,m) S. enteritidis
Penggunaan antigen WS S. enteritidis untuk pelapisan cawan ELISA dalam pemeriksaan sampel telur ayam yang diperoleh dari ayam percobaan yang diinjeksi antigen S. enteritidis, S. pullorum dan S. typhi dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 1. Kuning telur dari suntikan bakteri tersebut menunjukkan respon antibodi yang tidak dapat dibedakan, semua
bersifat positif salmonellosis. Demikian halnya telur ayam komersial yang dibeli dari pasar menunjukkan adanya respon antigen somatik tergolong dalam grup D (Tabel 2). Berdasarkan sifat antigen somatik, S. enteritidis, S. pullorum dan S. typhi termasuk dalam kelompok grup D. Dengan demikian ELISA menggunakan antigen whole cell sonicated S. enteritidis yang
1065
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 1. Hasil deteksi anti H:g,m dan antisomatik (WS) antibodi pada kuning telur ayam percobaan
Kelompok ayam/rute inokulasi antigen
Respon antibodi (EU) terhadap antigen Somatik (WS) 493 1024 1024 469 853 256 205 853 410 256
Interpretasi
Flagella (H:g,m)
Interpretasi
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D
256 512 683 512 462 110 118 160 153 118
+ S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis
Ayam pullet, antigen aktif S. enteritidis phage tipe 4/ intra muskuler
1024 399 1024 913 563 1024 440 476 438 1024
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D
132 133 135 136 136 136 130 130 136 132
+ S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis
Ayam pullet, antigen aktif S. enteritidis phage tipe 4/ per oral
486 307 179 179 154 379 140 149 456 384
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D
165 165 96 96 128 198 128 128 170 198
+ S. enteritidis + S. enteritidis ± S. enteritidis ± S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. enteritidis + S. Enteritidis
Ayam umur 5 hari. antigen aktif S. pullorum/ per oral
165 214 118 512 303 214 256 171 214 96
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D ± Salmonella Grup D
16 16 16 64 16 48 16 16 16 16
- S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. Enteritidis
Ayam umur 5 hari. antigen aktif S.typhi/ per oral
512 256 280 128 263 128 259 128 256 597
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D
23 16 16 16 16 16 16 16 32 48
- S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis
Ayam pullet, antigen inaktif S. enteritidis phage tipe 4/ intra muskuler
1066
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 2. Hasil deteksi anti H:g,m dan antisomatik (WS) antibodi pada kuning telur dari lapangan
Sampel telur ayam lapangan Sukabumi infeksi alam
66 131 68 68 141 70 137 136
Respon antibodi (EU) terhadap antigen Interpretasi Flagella (H: g,m) 16 - Salmonella Grup D 16 + Salmonella Grup D 16 - Salmonella Grup D 16 - Salmonella Grup D 16 + Salmonella Grup D 16 - Salmonella Grup D 16 + Salmonella Grup D 16 + Salmonella Grup D
Tangerang infeksi alam
34 69 66 257 67 259 260 134
- Salmonella Grup D - Salmonella Grup D - Salmonella Grup D + Salmonella Grup D - Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D
16 16 16 16 16 16 16 16
- S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis
Ciputat Infeksi alam
276 258 74 516 276 278 258 64
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D - Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D - Salmonella Grup D
16 16 16 16 16 33 16 16
- S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis
Citayam (Bogor) infeksi alam
130 128 66 132 264 34 66 140
+ Salmonella Grup D + Salmonella Grup D - Salmonella Grup D + Salmonella Grup D + Salmonella Grup D - Salmonella Grup D - Salmonella Grup D +Salmonella Grup D
16 16 16 16 16 16 16 16
- S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis
Somatik (WS)
Interpretasi - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis - S. enteritidis
Nilai ≤ 80 EU negatif Salmonella Grup D ( - ) Nilai 81 – ≤ 100 EU dubius (± ) Nilai ≥ 101 EU positif Salmonella Grup D ( + )
mengandung antigen somatik O1,9,12 belum bersifat spesifik karena dapat mendeteksi ketiga jenis infeksi Salmonella tersebut. Hal ini dimungkinkan adanya reaksi silang (crossreactivity) antigen determinan O1,9,12 (EWING, 1984). Namun demikian penggunaan antigen flagella H:g,m untuk pelapisan cawan ELISA dalam upaya membedakan telur ayam dari kelompok ayam yang diinjeksi dengan ketiga serovar Salmonella spp tersebut diketahui
bahwa hanya telur yang berasal dari kelompok ayam yang diinjeksi S. enteritidis yang memberikan reaksi positif tertera pada Gambar 6. Hasil ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh BARROW et al. (1992). Salmonella enteritidis mempunyai antigen flagella H:g,m, sedangkan serotipe S. pullorum dan S. typhi tidak mempunyai flagella tersebut (CHAUBAL dan HOLT, 1999). S. pullorum mempunyai flagella yang berbeda yaitu H:d,y sedangkan S. typhi mempunyai
1067
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
flagella H:d (EWING 1984 dan MCDONOUGH et al., 2004) Dengan demikian antigen flagella H:g,m tersebut dapat dipakai dasar untuk membedakan dalam deferensiasi infeksi salmonellosis grup D terutama S. enteritidis dan S. pullorum. Di samping itu, ELISA antibodi dengan antigen H:g,m dapat dipakai sebagai alat diagnostik untuk profiling secara akurat adanya status karier infeksi S. enteritidis pada ayam dan sangat penting diaplikasikan pada breeder farm. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian pengembangan ELISA dengan antigen flagella H:g,m untuk mengetahui respon antibodi ayam terhadap S. enteritidis yang diturunkan melalui telur, bersifat spesifik. Implikasinya dapat dipakai sebagai alat diagnostik untuk deteksi adanya infeksi S. enteritidis pada ayam petelur atau breeder dalam suatu kelompok. Aplikasi teknik ELISA untuk deteksi flagella H:g,m antibodi pada ayam-ayam petelur dapat digunakan untuk mengeliminasi reaktor positif salmonellosis pada ayam sehingga akan dihasilkan produk pangan asal ternak yang aman/bebas salmonellosis. DAFTAR PUSTAKA
BARBOUR E.K., W.M. FRERICHS, N.H. NABBUT, P.E. POSS and M.K. BRINTON, 1993. Evaluation of bacterins containing three predominant phage types of Salmonella enteritidis for prevention of infection in egg laying chickens. Am. J. Vet. Res. 84(8): 1306–1309. BARROW, P.A., A. BERCHIERI, JR. HADDAD, 1992. Serological chickens to injection with gallinarum and S. pullorum Enzyme linked immunosorbent Dis. 36: 769–783.
and O. Alresponse of Salmonella detected by assay. Avian
and P.S. HOLT. 1999. CHAUBAL, L.H. Characteristization of swimming motility and identification of flagellar proteins Salmonella pullorum isolates. A. M. J. Vet Res 60(10): 1322–1327. EWING, W.H. 1984. Edward and Ewing’s identification of enterobacteriaceae. 11th Ed. Elsevier. Science Publishing New York pp. 274–318.
1068
GAST, R.K., H.D. STONE, P.S. HOLT and C.W. BEARD, 1992. Evaluation of the Efficacy of on Oil-Emulsion Bacterin for Protecting Chickens Against Salmonella enteritidis. Avian Dis. 36: 992–999. GAST, R.K. and C.W. BEARD. 1990. Serological Salmonella detection of experimental enteritidis infection in laying hens. Avian Dis. 34: 721–728. GAST, R.K. and C.W. BEARD. 1991. Detection Salmonella Serogroup D-spesific antibodies in yolk of eggs laid by hens infected with Salmonella enteritidis. Poult. Sci. 70: 1273– 1276. GAST, R.K., R.E. JR. PORTER and P.S. HOLT. 1997. Assessing the sensitivity of egg yolk antibody testing for detecting Salmonella enteritidis infection in laying hens. Poult. Sci. 76: 798– 801. HOFSTAD, M.S., B.W. CALNEK, F.F. HELMBOLDT, W.A.M. REID and H.W. YODER Jr. 1984. Diseases of Poultry 8th Ed. The Iowa. MC DONOUGH, P.L., R.H. JACOBSON, J.F. TIMONEY, A. MUTALIB, D.C. KRADEL, C. YUNG-FU, S.J. SHIN, D.H. LEIN, S. TROCK and K. WHEELER. 2004. Interpretations of antibody responses to Salmonella enteritica serotipe enteritidis g, m. flagellin in poultry flocks are enchanced by kinetics-based enzyme-linked immunosorbent assay. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunol. 5: 550–555. NICHOLAS, C.J. and CULLEN. 1991. Development and application of an ELISA for detecting antibodies to S. enteritidis in chicken flocks. Vet Record. 128: 74–76. OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES, 2000. Fowl Typhoid and Pullorum Disease. In Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. pp. 697–698. OLIVEIRA, G.H. DE, A. BERCHIERI JR., H.J. MONTASISIER and A.A. FERNANDES. 2004. Assement of serological response of chickens to Salmonella and Salmonella pullorum by ELISA Brazillian. J. Poult. Sci. 6(2): 111–115. POERNOMO, S. dan S. HARDJOUTOMO. 1981. Penelitian pendahuluan distribusi Salmonella spp. pada hewan. Bulletin Balai Penelitian Penyakit Hewan 22: 16–28. POERNOMO, S. 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO). Wartazoa 14(4): 143–159.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
POERNOMO, S. 1978. Penyakit pullorum di Indonesia: Uji aglutinasi cepat serum pada ayam kampung. Bull. LPPH X(16): 32–34. SHIVAPRASAD, H.L., J.F. TIMONEY, S. MORALES, B. LUCIO and R.C. BAKER. 1990. Pathogenesis Salmonella enteritidis injection in laying chickens. I. Studies on egg transmission, chemical signs, fecal shedding and serologic responses. Avian Dis. 34: 548–557. THORNS, C.J., M.M. BELL, M.G. SOJKA and R.A. NICHOLAS. 1996. Development and application of enzyme-linked immunosorbent assay for specific detection of Salmonella enteritidis in chicken based on antibodies to SEF 14 fimbrial antigen. J. Clinic. Microbiol. 34(4): 729–737.
WILLIAMS J.E. and A.D. WHITTEMORE. 1975. Influence of age on the serological respon of chickens to Salmonella typhimurium. Avian Dis. 19: 745–760. YAMANE Y., N. AWAMURA, H. FUJII, H. OHTA, Y. TOYOTA, K. OTSUKI and T. INOUE. 2000. Establishment of an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay with a Coated Deflagellated Salmonella enteritidis Antigen for Detection of a Spesific Chicken Antibody. Avian Dis. 44: 291–296.
1069