Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN VETERINER (BALITVET) TA 2004 UNTUK MENDUKUNG KESEHATAN HEWAN DAN MASYARAKAT VETERINER DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL (Results of Research at The Research Institute for Veterinary Sciences (RIVS) The Year 2004 to Support Animal Health and Veterinary Public Health to Achieve National Food Security) R.M. ABDUL ADJID dan SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) or the Indonesian Research Institute for Veterinary Science is an implementing unit of Ministry of Agriculture, under the Indonesian Centre Research Institute for Animal Science of Agency for Agriculture Research and Development. The institute holds a mandate to do research on veterinary aspects, with one of the function as reference laboratory for animal health in Indonesia. The output of research covers animal health and veterinary public health aspects, in the forms of information (data epidemiology), products (vaccines, medicines), diagnostic technologies, and germplasms of veterinary microbes. In the finacial year of 2004, the institute has done a range of reasearch on veterinary aspect with substantial results: prototype of Avian Influenza, ND-IB-IBD inactive, and ORT vaccines. For disease control, it has been produced biological control for nematodes larvae using nematophagous fungus Arthrobotrys; the use of Saccharomyces and Rhizopus for controlling the growth of toxigenic fungus in chicken feed. For food savety, it has been developed ELISA for detecting Salmonella enteritidis, techniques for detecting antibiotics enrofloxazin and cyprofloxazin residues, and for the use of formaline in chicken meat. Prototype of a vaccine for anthrax and leptospirosis has also been developed. Important information resulted from researchs this year were: anthrax case in animal and humans in Babakan Madang, Bogor; molecular characteristic and filogenetic tree of Avian Influenza virus as causal agent of outberaks in poultry; and vaccine response and its vaccination strategy in chicken. These results of research program in 2004 may contribute to the achievement of national food security program in Indonesia. Key Words: Technology, Veterinary, Balitvet ABSTRAK Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) sebagai UPT Departemen Pertanian, berada langsung di bawah Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian mengemban tugas pokok melaksanakan penelitian di bidang veteriner, dengan salah satu fungsinya sebagai laboratorium rujukan penyakit hewan. Untuk itu setiap tahunnya Balitvet melakukan penelitian-penelitian bidang veteriner, baik aspek untuk kesehatan hewan maupun untuk kesehatan masyarakat veteriner. Hasil-hasil penelitian dalam bidang tersebut dapat berupa informasi penyakit (epidemiologi), vaksin, obat hewan, teknologi diagnosis, serta plasma nutfah mikroba veteriner. Pada tahun anggaran 2004 Balitvet telah melakukan berbagai kegiatan penelitian, hasil penelitian yang menonjol yaitu: dihasilkan prototipe vaksin Avian Influenza (AI), vaksin kombinasi ND-IB-IBD inaktif, serta vaksin ORT. Untuk pengendalian penyakit telah dihasilkan teknologi pengendalian penyakit secara biologis menggunakan mikroba veteriner kapang nematophagus Arthrobotrys terhadap larva cacing nematoda; kapang Sachharomyces dan Rhizopus untuk mengendalikan cemaran kapang toksigenik dalam pakan unggas. Dalam hal keamanan pangan asal ternak, telah dikembangkan teknik deteksi cepat ELISA untuk kuman Salmonellae, serta deteksi residu antibiotik enrofloxazin dan cyprofloxazin dan deteksi bahan pengawet formalin pada daging ayam. Dua penyakit zoonosis Antraks dan Leptospirosis telah dikembangkan prototipe vaksinnya. Hasil penelitian berupa informasi yang sangat penting adalah terungkapnya kasus kematian manusia akibat kuman anthraks di Babakan Madang, Bogor; karakteristik molekuler dan filogenetik tree virus Avian Influenza (AI) penyebab wabah pada unggas; serta respon vaksin dan rekomendasi strategi
27
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
vaksinasi Avian Influenza pada unggas. Diharapkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh pada tahun anggaran 2004 ini dapat mewujudkan upaya ketahanan pangan nasional. Kata Kunci: Teknologi, Veteriner, Balitvet
PENDAHULUAN Balai Penelitian Veteriner sebagai unit pelayanan teknis Departemen Pertanian di bawah Badan Litbang Pertanian mengemban beberapa tugas pokok dan fungsi antara lain melaksanakan penelitian di bidang veteriner, konservasi plasma nutfah mikroba veteriner dan sebagai laboratorium rujukan nasional kesehatan hewan. Untuk melaksanakan tupoksi ini setiap tahunnya Balitvet selalu berusaha mengembangkan teknologi-teknologi, antara lain untuk keperluan diagnosis, pembuatan vaksin dan obat hewan serta teknik konservasi plasma nutfah mikroba veteriner melalui kegiatan penelitiannya baik dengan menggunakan dana APBN maupun melalui kerjasama. Semua kegiatan penelitian yang dilakukan Balitvet bermuara pada dukungan peningkatan agribisnis pertanian khususnya kesehatan hewan dan ternak, keamanan produk asal ternak, kesehatan masyarakat veteriner dan menekan penularan penyakit zoonosis. Kesemuanya akan bermuara pada dukungan ketahanan pangan yang lebih berkualitas. Masyarakat konsumen merasa lebih aman dan nyaman dalam mengkonsumsi produk asal hewan, juga terhindar dari penyakit menular dari hewan ke manusia. Untuk tahun angggaran 2004, Balitvet telah berhasil mengembangkan beberapa teknologi baik untuk deteksi, pengebalan, kontrol penyakit dengan memanfaatkan agen biologi/hayati., maupun informasi strategis lainnya. Dalam makalah ini diuraikan secara singkat teknologiteknologi yang telah berhasil dikembangkan pada tahun 2004. HASIL-HASIL PENELITIAN MENDUKUNG PENINGKATAN AGRIBISNIS UNTUK HEWAN DAN TERNAK Dalam bab ini akan diuraikan secara singkat hasil-hasil penelitian di bidang veteriner selama tahun anggaran 2004 yang
28
mencakup plasma nutfah mikroba veteriner, pengembangan produk biologik, pengendalian penyakit dan pengembangan obat hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan epidemiologi penyakit. Plasma nutfah mikroba veteriner Penelitian veteriner disamping mengembangkan teknologi teknik deteksi dan pengendalian suatu penyakit hewan juga menghasilkan berbagai jenis koleksi plasma nutfah mikroba veteriner. Hasil samping ini lebih lanjut dikelola oleh suatu unit yaitu Balitvet Culture Collection (BCC) untuk konservasi dan penggunaan lebih lanjut. Unit tersebut bertanggung jawab terhadap kelestarian dan pemanfaatan koleksinya. Kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya adalah: sebanyak 571 isolat plasma nutfah mikroba veteriner bakteri dan cendawan koleksi BCC, yang memiliki data lengkap telah dilakukan kontrol kualitas (uji viabilitas, kemurnian dan identifikasi ulang), hasilnya 393 (68,8%) isolat masih bisa diselamatkan dan dikonservasi kembali pada suhu 18oC dalam bentuk liofilisasi (DARMINTO et al, 2001; DARMINTO et al, 2002; SITI CHOTIAH et al, 2003). Data dari masing-masing plasma nutfah mikroba tersebut telah didokumenkan di BCC. Teknik yang diterapkan untuk menyimpan koleksi plasma nutfah veteriner di BCC sebagian besar adalah freeze-drying dan cryopreservation pada suhu -70°C atau pada suhu -187 C (nitrogen cair). Kedua teknik ini dapat menyimpan mikroba dalam jangka waktu sampai puluhan tahun (SNELL dalam KIRSOP dan DOYLE, 1991) akan tetapi diperlukan biaya mahal dan menggunakan alat yang khusus. Teknik freeze-drying sebagian besar dilakukan terhadap koleksi bakteri dan cendawan yang kemudian penyimpanannya dilakukan pada suhu -20oC sampai dengan 18oC tergantung pada sifat mikrobanya. Sedangkan teknik cryopreservation yang dilakukan untuk penyimpanan koleksi mikroba yang tidak tahan terhadap perlakuan dengan teknik freeze-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
drying misalnya virus, protozoa dan bakteri tertentu (MILLS dan GHERNA, 1988; VOTAVA 2001). Teknik dan STRITECKA, cryopreservation ini didalam pemeliharaannya memerlukan biaya yang sangat mahal, sehingga Balitvet mulai mencoba untuk menggunakan teknik liquid drying dengan memakai metode Xerovacc (WORRALL et al., 2001) terhadap mikroba yang tidak tahan terhadap proses freeze-drying, misalnya virus dan beberapa bakteri seperti Leptospira. Setiap isolat koleksi BCC setelah mengalami proses freeze-drying maupun cryopreservation, sebelum disimpan terlebih dahulu harus diuji viabilitas dan kemurniannya, sehingga koleksi yang disimpan adalah koleksi yang sudah siap untuk dimanfaatkan. Telah dilakukan konservasi dengan metoda freezedrying menggunakan media preservan 7,5% glucose serum sebanyak 88 isolat bakteri yang terdiri dari 32 isolat Bacillus anthracis, 51 isolat Bacillus thuringiensis, 1 isolat Mycobacterium avium, 1 isolat M. aurum, 1 isolat M. intracellulare, 1 isolat M. kansasi dan 1 isolat M. phlei. Sedang untuk protozoa menggunakan metode cryopreservation dalam nitrogen cair menggunakan media preservan glyserol terhadap 25 isolat protozoa Trypanosoma evansi. Hasil kontrol kualitas Mycobacterium spp. yang telah disimpan pada suhu kamar selama 10 sampai dengan 15 tahun, sebanyak 89 sampel ampul (>20%) dari stok ampul yang ada ternyata tinggal empat isolat (17,4%) yang terdiri dari M. aurum, M. avium, M. intracellulare dan M. kansasii yang masih hidup dan sisanya 82,6% sudah mati. Isolat-isolat yang masih hidup kemudian diperbanyak, lalu dilakukan proses freezedrying masing-masing dibuat 10 ampul. Hasil pengamatan kontrol kualitas (uji viabilitas dan kemurnian) virus Chicken Anaemia Virus (CAV), Canine Parvo Virus (CPV) dan Infectious Laryngotracheitis Virus (ILT), enam bulan setelah konservasi, virus-virus tersebut mengalami penurunan jumlah yang hidup. Sedang untuk virus ND masih hidup setelah disimpan 1 tahun baik yang diproses dengan freeze-drying (dalam 7,5% glukosa serum) maupun liquid-drying (dalam 2,5% trehalosa) dan virus IBR juga masih hidup dalam 2,5% trehalosa atau dalam 10% skim milk protein. Data passport dan karakteristik dari isolatisolat plasma nutfah baru yang dimasukkan ke
dalam database sebanyak: 22 virus (2 CAV, 15 ILT, 5 CPV); 83 bakteri (32 B. anthracis, 51 B. thuringiensis); dan 25 parasit (25 T. evansi). Peningkatan kesehatan ternak Ternak unggas Pada kegiatan penelitian dari komoditas unggas telah berhasil dikembangkan tiga produk vaksin dan satu kontrol biologik. Vaksin-vaksin yang telah berhasil dikembangkan teknologi pembuatannya adalah vaksin inaktif virus AI, kombinasi virus NDIB-IBD dan vaksin bakteri ORT (Ornithobacterium rhinotracheale). Ketiga vaksin tersebut sangat dibutuhkan untuk melindungi unggas dari serangan penyakit dan/ atau menghasilkan tingkat kekebalan yang maksimal terhadap penyakit-penyakit tersebut. Khususnya ORT akan muncul mengikuti program vaksinasi dasar pada industri perunggasan, sehingga bila tidak dilakukan vaksinasi ORT disamping menghambat berkembangnya sistim kekebalan akibat vaksin lain yang diberikan, juga rentan terhadap serangan ORT. Vaksin inakti AI dengan pola vaksinasi ayam umur 3 minggu memberikan respon kekebalan lebih baik (titer zat kebal lebih tinggi dan memberikan perlindungan lebih lama) dibandingkan bila ayam divaksinasi pada umur lebih muda. Titer antibodi meningkat dan mencapai puncaknya pada 8 dan 9 minggu pascavaksinasi, yaitu memiliki rataan titer antibodi 4,04 log2 kemudian menurun sedikit demi sedikit hingga 12 minggu pascavaksinasi. Shedding virus pascavaksinasi dan uji tantang ternyata sudah negatif setelah 5 hari. Pengamanan pakan ternak dari cemaran (misalnya kapang toksigenik) juga sangat penting untuk melindungi akibat patogen dalam pakan. Untuk itu telah berhasil dibuat formula kapang antagonis terhadap kapang toksigenik dalam pakan unggas. Infectious Bronchitis (IB) dan Infectious Bursal Disease (IBD) atau Gumboro merupakan penyakit unggas yang sangat merugikan peternak terutama peternak komersiil, pedaging maupun petelur. Ketiga penyakit ini dikendalikan dengan program vaksinasi yang sudah dikenal masyarakat
29
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
peternak. Berbagai vaksin dan kombinasi kandungan virusnya yang beredar diimpor dari luar negeri, sebagian kecil diproduksi di Indonesia. Telah berhasil dikembangkan teknologi pembuatan vaksin kombinasi 3 macam virus dalam bentuk inaktif yaitu NDIB-IBD dan vaksin bakteri ORT yang cukup kompetitif baik kualitas maupun harganya dibanding dengan produk yang sama yang sudah beredar di pasar khususnya vaksin impor. DARMINTO dan RONOHARDJO (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa vaksin ND inaktif yang berasal dari isolat lokal mampu memberikan proteksi 100%. Bila vaksin tersebut dibandingkan dengan vaksin yang beredar ternyata potensinya tidak berbeda (DARMINTO, 1999; DHARMAYANTI dan DARMINTO, 2001). Penggunaan vaksin ND, IB maupun IBD sudah dikenal peternak (ANON, 1991). Hal ini disebabkan virus ND dan Gumboro menyebabkan kerugian karena angka kematian yang cukup merugikan (BERG et al., 1991), sedangkan virus IB menyebabkan produksi telur menurun. Penggunaan virus yang tidak homolog dan vaksin aktif sering menghasilkan proteksi yang tidak maksimal (LUKERT, 1991). Pengembangan vaksin inaktif kombinasi dengan menggunakan virus isolat lokal dirancang agar mampu memanfaatkan aset dalam negeri dan bersifat homolog, dan dapat mengurangi ketergantungan pada impor. Dari waktu ke waktu, penyakit respirasi pada unggas selalu menyebabkan kerugian yang besar pada industri perunggasan. Sejak tahun 1991 penyakit respirasi dengan manifestasi yang berbeda dari yang umum ditemukan, sering dijumpai di berbagai negara (CHARLTON et al, 1993; VAN BEEK et al, 1994; ODOR et al, 1997; VAN EMPEL and HAFEZ, 1999; SPRENGER et al, 2000; DE HERDT et al, 2001). Penyebab penyakit ini semula dikenal sebagai Pasteurella-like bacterium, Riemerella anatipestifer-like organism, kuman gram negatif dengan bentuk pleomorphic dan baru pada tahun 1994 dinyatakan sebagai species baru Ornithobacterium rhinotracheale atau ORT (VANDAMME et al, 1994). Hingga saat ini sebanyak 18 serotype (A−R) sudah ditemukan dan serotipe A adalah yang paling umum (HAFEZ, 2002). Kejadian ORT sudah dilaporkan pada ayam broiler umur 3−6 minggu, ayam breeder umur 20−50 minggu
30
(CHIN dan DROUAL, 1997). SPRENGER et al, (2000) melaporkan kejadian ORT pada ayam petelur umur 34 minggu yang mengalami penurunan produksi yang berkepanjangan dan kematian yang lebih tinggi dari kejadian infeksi oleh virus IB. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kuman ORT mudah resisten terhadap antibiotik (DEVRIESE et al, 1995), sehingga efektifitas medikasi sulit diharapkan. Karena sifat mudah resisten ini maka pengendalian infeksi ORT yang efektif adalah dengan pencegahan melalui vaksinasi. Penggunaan Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) untuk menekan aflatoksin telah diuji secara in vivo (dalam pakan dan itik). Uji kemampuan menghambat pertumbuhan kapang toksigenik Aspergillus flavus dan kemampuan mereduksi Aflatoksin menunjukkan bahwa Sc, Ro dan gabungannya mampu menekan pertumbuhan A. flavus dan mereduksi Aflatoksin sampai hari ke 5 pencampuran berturut-turut sebesar 60,7%, 64,5%, 62,25%, namun kemampuan tersebut menurun hingga tinggal ¼-nya setelah 15 hari. Sc dan Ro juga dapat menekan efek Aflatoksin pada itik tetapi gabungan Sc-Ro tidak. Inokulum Sc, Ro dan gabungan Sc-Ro pada suhu 28oC masih dapat tumbuh sampai 2 bulan tetapi jumlah spora mulai menurun setelah 1 bulan penyimpanan. Salah satu alternatif penanggulangan masalah pencemaran aflatoksin ini adalah dengan menggunakan kapang S. cerevisiae dan R. oligosporus. Aflatoksin merupakan senyawa toksik dan karsinogenik yang dihasilkan oleh A. flavus, dimana kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak menyebabkan penurunan produksi dan residu pada hasil ternak. Aflatoksin merupakan senyawa toksik karsinogenik yang merupakan metabolit skunder dari A. flavus Link dan A. parasiticus Spear (COTTY et al., 1994; ELLIS et al., 1991; SCUDAMORE, 1994). Pendekatan yang dinilai paling bagus untuk mengatasi kontaminasi aflatoksin atau mencegah pertumbuhan kapang toksigenik adalah dengan mikroorganisme kompetitif. Mikroorganisme lain seperti R. arrhizus, A. niger (LANCIOTTI and GUERZONI, 1993; PASTER et al., 1992) dan Pichia guilliermondii (PASTER et al., 1993) juga dapat digunakan untuk menurunkan atau menghambat produksi aflatoksin. Kompetisi tempat tumbuh, nutrisi, dan sintesa komponen anti-fungal oleh agen biokompetitif akan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
mempengaruhi sintesis aflatoksin (TAYLOR and DRAUGHON, 2001). Ternak ruminansia Teknik diagnosis ELISA untuk Mycobacterium paratuberculosis yang berhasil dikembangkan mempunyai nilai cut-off 0,29. Teknik ini telah dipakai untuk menguji sampel lapang, dan dari 80 sampel serum sapi perah asal D.I. Yogyakarta, yang diuji semuanya negatif paratuberkulosis (rata–rata OD 0,162 ± 0,015). Teknik ini penting untuk dikembangkan mengingat paratuberkulosis ini bersifat kronis sehingga untuk sapi perah bila terserang penyakit ini akan kehilangan masa emasnya dalam memproduksi susu. Uji serologi yang biasa digunakan untuk diagnosa paratuberkulosis adalah Complement Fixation Test (CFT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Agar Gel Immunodiffusion (AGID) untuk mengukur imunitas humoral, serta Gamma Interferon untuk mengukur imunitas seluler. ELISA adalah metode yang paling spesifik dan sensitif untuk mengukur titer antibodi paratuberkulosis (OIE, 2000). Penyakit lain pada sapi perah yang sangat umum adalah mastitis subklinis. Mastitis ini umumnya (90%) disebabkan oleh bakteri Streptococci dan Staphylococci (VICTORIAN MASTITIS RESEARCH, 1980), seperti Streptococcus sp, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. SASTROAMIDJOYO (1965) melaporkan bahwa tumbuhan sirih memiliki beberapa khasiat obat, antara lain sebagai karminatif, ekspektoran, tonikum, astringen, stimulansia, dan sebagai penguat gigi. Tumbuhan sirih dilaporkan juga bersifat sebagai fungisida karena mengandung senyawa fungicidal profenilfenol (EVANS, 1984). Hasil uji in vitro ekstraksi daun sirih terhadap bakteri-bakteri S. agalactiae, S. aureus dan S. epidermidis, ternyata ekstrak metanol lebih poten daripada ekstrak etanol. Lebih lanjut ekstrak metanol diuji secara in vivo terhadap S. aureus dan S. agalactiae pada berbagai konsentrasi dengan cara irigir, ternyata konsentrsi 6,25% hasilnya paling baik. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat dipakai untuk ”dipping” puting susu dengan hasil dapat menurunkan jumlah bakteri dalam susu yang memenuhi standar Nasional Indonesia (SNI) 2000 bahwa pada susu segar jumlah TPC
maksimum adalah 1 x 106 cfu/ml. Jumlah bakteri ini tetap rendah hingga pengamatan minggu ke-4. Jumlah bakteri di bawah 10.000 cfu/ml susu biasanya dinyatakan dalam kondisi masih segar (DWIDJO SEPUTRO, 1998). Menurut PHILPOT dan NICKERSON, (2000), apabila jumlah mikroba susu lebih dari 200.000 cfu/ml menunjukkan kondisi ambing abnormal dan apabila melebihi standar tersebut dapat dinyatakan sapi menderita mastitis (ARITONANG, 2003). Mikroba lain yang juga dipakai untuk pengendalian penyakit adalah Baccillus thuringiensis (BT). Hasil penelitian in vitro dari 83 isolat, 7 di antaranya mempunyai toksisitas tinggi, 10 isolat dengan toksisitas moderat dan sisanya tidak patogen. Pengembangan bioinsektisida B. thuringiensis didasarkan pada kemampuan bakteri tersebut dalam menghasilkan protein kristal yang toksik terhadap insekta sasaran yang bersifat spesifik, namun tidak toksik terhadap tumbuhan, manusia maupun organisme yang bukan sasarannya. Beberapa isolat B. thuringiensis telah diuji keefektifannya terhadap serangga hama dari berbagai jenis tanaman (BROTONEGORO et al., 1997) yakni sifat toksik dari gen cry (KRONSTAD and WHITELEY, 1986). Penelitian lain menunjukkan bahwa bakteri ini juga berpotensi sebagai kontrol biologis pada lalat peternakan antara lain Hematobia irritans exiqua, Lucilia cuprina, L. sericata, Musca domestica, Bovicola ovis dan Buffalo fly (CHILCHOTT et al., 1998; JOHNSON et al., 1998; GOUGH et al., 2002). Pengungkapan mekanisme kekebalan suatu penyakit, dapat membantu dalam pengembangan imunoterapi atau bahan biologi untuk memodulasi ketanggapan suatu penyakit. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan ekspresi mRNA sitokin IFN, IL−5 dan IL-10 spesifik Fasciola gigantica oleh populasi sel dari limpoglandula hepatika antara domba ET (ekor tipis–asli Indonesia) dan Merino. Pada domba ET polarisasi lebih condong ke arah Th2 sebagai akibat peningkatan tanggap kebal oleh IL-5 dan IL10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sitokin yang diproduksi oleh populasi sel limfosit Th, sangat berperan dalam kaitannya sebagai penentu tingkat kekebalan pada infeksi parasit cacing di mencit (POND et al., 1992). Menurut ELSE et al. (1998) infeksi cacing
31
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
nematoda pada mencit menginduksi diferensiasi sel T ke arah Th2. Begitu juga proliferasi sel limfosit T yang distimulasi antigen Schistosoma mansoni berkaitan erat dengan tingkat kekebalan pada manusia terhadap infeksi S. mansoni (BUTTERWORTH, 1994). Penelitian pada mencit menunjukkan bahwa berdasarkan sitokin yang diproduksinya, subpopulasi sel T CD4+ terdiri dari sel T-helper-1 (Th1) dan sel Th2. Sel Th1 memproduksi Interleukin-2, IL-12, IL-18, IFNγ, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 (MOSMANN et al., 1986). Selanjutnya LICHTMAN et al. (1987) mengungkapkan bahwa sebagian besar sitokin beraksi dekat dengan tempatnya diproduksi, baik dalam sel yang memproduksinya maupun pada sel yang letaknya berdekatan. Sel Th yang mengekspresikan sitokin dengan pola Th1 maupun Th2 disebut sebagai Th0, merupakan populasi sel yang heterogen terdiri atas sel-sel efektor yang belum berdiferensiasi lengkap. Domba ET menunjukkan level antibodi IgG2 lebih rendah secara signifikan daripada domba Merino, sebaliknya IgM, IgG1, IgE dan sel eosinofil lebih tinggi (HANSEN et al, 1999). Pada domba ET pada 3-6 minggu setelah infeksi ke2 terjadi ekspresi imunitas spesifik terhadap antigen yang ditandai dengan produksi sitokin Th2, yaitu IL-5 dan IL-10 yang akan meningkatkan proliferasi eosinofil. Bukti adanya aktivasi Th2 pada domba ET juga tampak dari jumlah eosinofil dalam sirkulasi darah lebih banyak dibanding pada domba Merino. Fungsi utama IL-5 tidak saja menginduksi eosinophilopoiesis, tetapi juga meningkatkan metabolisme oksidatif (oksidative burst). Sedangkan pada domba Merino metabolisme oksidatif menurun, selain karena jumlah IL-5 yang lebih rendah juga karena IFN yang jumlahnya lebih tinggi dan mengakibatkan terhambatnya produksi superoksida (BIELEFELDT OHMANN dan BABIUK, 1984). Hasil penelitian uji in vivo menunjukkan bahwa serbuk kulit buah nanas pada berbagai konsentrasi tidak mampu menurunkan jumlah telur cacing Haemonchus contortus. Sedang penelitian terdahulu pada uji in vitro, dapat berfungsi sebagai anthelmintika (HE et al., 1991; LISMAYANTI, 2002; JOVELLANOS, 1997; BALDO, 2001). Dari hasil ini tampaknya pengujian secara in vitro belum cukup
32
memberikan gambaran yang baik akan potensi suatu tanaman sebagai obat sebelum diuji secara in vivo, khususnya untuk nanas ini. Kapang nematofagus adalah kapang yang mempunyai kemampuan mengurangi populasi larva cacing nematoda dengan cara membunuh dan memangsa larva infektif melalui jeratan hifa, sebagai endoparasit, membunuh kista, membunuh telur cacing dan menghasilkan toksin. Pada saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 150 spesies kapang nematofagus di dunia (BARRON, 1977; GRONVOLD et al., 1993; AHMAD, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian 6x106 konidia Arthrobotrys oligospora, baik per oral maupun dicampur tinja menyebabkan penurunan jumlah larva dalam petak rumput. Pengendalian secara biologi ini mempunyai prospek cukup baik karena ada peluang pemanfaatan kekayaan plasma nutfah asli untuk penanggulangan masalah nematodiasis (khususnya di daerahdaerah dimana cacingnya sudah resisten terhadap antelmintika). WALLER dan LARSEN (1996) yang menyatakan pemakaian A. oligospora aman untuk ternak. Penyakit zoonosis Dalam beberapa tahun terakhir penyakit antraks menyerang manusia dan menyebabkan kematian. Sifat spora kuman antraks yang sangat tahan di tanah dalam kurun waktu yang sangat lama menyulitkan pengendaliannya. Untuk pencegahan penyakit antraks, saat ini di dunia masih menggunakan vaksin antraks dari Bacillus anthracis galur 34F2. Vaksin ini mengandung kira-kira 1x106 spora/ml yang disuspensikan dalam 0.5% saponin dan 50% glycerine-saline (WHO, 1967). Galur bibit vaksin ini juga dapat mempertahankan virulensinya pada ternak seperti kambing sehingga perlu perhatian dan kehati-hatian dalam penggunaannya (CARTWRIGHT et al., 1987; TURNBUL et al., 1998). Proteksi terhadap penyakit antraks pada hewan yang peka hampir seluruhnya tergantung pada respon imun terhadap antigen tunggal (PA), sedangkan 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya beperan kecil dalam memberikan proteksi. Vaksin subunit yang akan dikembangkan akan diarahkan kepada pemblokiran interaksi komponen toksin.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Subunit PA akan digunakan sebagai kandidat vaksin. Karena toksin antraks sangat kompleks, vaksin subunit ini akan dibandingkan dengan filtrat biakan yang mengandung kompleks eksotoksin B. anthracis (mengandung PA, LF dan EF) yang akan diinaktivasi menjadi vaksin toksoid. Imunisasi dengan PA efektif untuk toksemia bukan septikemia, dan respon kekebalan terhadap antigen spora akan dapat meningkatkan daya proteksi, karena akan melindungi pada tahap pertama infeksi. Molekul PA yang mengalami nick oleh protease masih memiliki kemampuan mengikat reseptor dan mentranslokasikan EF dan LF karena aktifitas biologis tersebut terletak pada PA63 (LEPPLA, 1999). Dengan demikian PA yang telah berhasil diproduksi dan dipurifikasi akan dapat digunakan sebagai komponen utama vaksin dan juga sebagai antigen untuk pengembangan diagnosis, serta produksi antibodi spesifik terhadap PA. Kandidat vaksin Leptospira dibuat dari isolat lokal berupa serovar. Serovar yang paling sering ditemukan yakni serovar javanica, bataviae, icterohaemorrhagicae, dan canicola. Sedang vaksin Leptospira yang banyak beredar selama ini adalah vaksin impor yang mengandung serovar icterohaemorrhagicae dan serovar canicola. Menurut pengamatan seorang dokter hewan praktek di Jakarta vaksin tersebut tidak melindungi anjing-anjing yang ditanganinya dari serangan leptospirosis komunikasi pribadi). (KOESHARYONO, Ketidakcocokan serovar-serovar Leptospira inilah yang diduga sebagai penyebab gagalnya vaksinasi leptospirosis. Pada umumnya dalam leptospirosis tidak terjadi imunitas silang antara serovar-serovar L. interrogans (ALEXANDER, 1976). Oleh karena itu keberhasilan pengembangan teknologi pembuatan vaksin Leptospira dengan menggunakan 4 serovar yang paling umum tersebut akan dapat lebih cepat membantu penanganan masalah leptospirosis pada hewan karena menggunakan vaksin homolog. Dampak dari penggunaan vaksin ini pada anjing akan mengakibatnya penurunan pencemaran Leptospira di lingkungan, karena anjing-anjing terbebas dari penyakit ini. Hasil analisis pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat Indonesia yang diisolasi pada tahun 2004, masih berada dalam satu kelompok dengan isolat AI yang diisolasi
pada tahun 2003, dan mempunyai kedekatan tinggi dengan isolat yang berasal dari itik yaitu: A/Duck/China/E319-2/03 dari China. Patogenitas isolat Indonesia yang dikoleksi Balitvet yang di teliti berdasarkan sekuen di daerah cleavage site gen Hemagglutinin (HA) menunjukkan bahwa semua isolat adalah virus avian influenza highly pathogenic. Dari 15 subtipe HA hanya virus influenza subtipe H1, H2 dan H3 yang sebelumnya pernah menyebabkan penyakit dan kematian pada manusia (WELLS et al., 1981; MURPHY dan WEBSTER, 1996; HARIMOTO dan KAWAOKA, 2001). Klasifikasi virus avian influenza sebagai HP berdasarkan pada intravenous pathogenicity index (IVPI) isolat virus dan sekuen asam amino pada cleavage site HA (WOOD et al., 1993). Hasil monitoring selama tahun 2004 menunjukkan bahwa sejumlah sampel yang diambil di beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Timur yang dideteksi secara imunohistokimia tidak ditemukan antigen avian influenza pada sampel organ yang dideteksi. Hal ini menunjukkan bahwa isolat AI Indonesia yang menyebabkan wabah pada tahun 2004 masih belum mengalami perubahan dibandingkan dengan isolat yang menyebabkan wabah pada tahun 2003. Keamanan pangan asal ternak Formaldehyda bersifat sangat racun, dapat merusak kulit dan berbau sangat merangsang. Formaldehyda sebesar 25−30 ppm yang tertelan dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang mengakibatkan penumpukan cairan paru-paru (pulmonary edema) dan pnumonia. Sedangkan bila tertelan dapat menyebabkan gangguan perut, pusing dan diare, pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan penurunan suhu badan, sakit di saluran pencernaam, lemah nadi, ketidaksadaran bahkan kematian (MALLINNCKDRODT BAKER, 2003). Formalin yang dicampur atau ditambahkan pada pakan ternak harus lebih kecil dari 1% karena ternak masih dapat menyerap sebesar 0,25% formalin pada pakannya (SCEUPLEIN, 1988). FLORENCE dan MILMER (1981) melaporkan bahwa formalin yang ditambahkan pada susu skim untuk pakan babi di Inggris maupun dalam cairan wey untuk pakan ternak anak sapi dan
33
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
sapi perah di Kanada tidak berbahaya. Oleh karena itu maksimun konsentrasi formalin pada susu untuk makanan sapi ditentukan sebesar 0,15% naik 10 kali lipat bila dibandingkan dengan susu tanpa formalin atau kontrol (BUKLEY et al., 1986; 1988). Konsentrasi formalin pada susu segar juga ditemukan berkisar antara 0,013–0,057 mg/kg, pada susu olahan berkisar antara 0,075–0,225 mg/kg (KAMINSKI et al., 1993). Hasil penelitian distribusi enrofloksasin menunjukkan bahwa residu enrofloksasin bertahan lebih lama di dada dan paha hingga sekitar 3−7 hari, namun di hati lebih cepat menghilang dan konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dada dan paha. Residu enrofloksasin yang terdeteksi konsentrasinya lebih rendah dibandingkan residu siprofloksasin. Residu enrofloksasin bertahan lebih lama di dada dan paha, namun di hati lebih cepat menghilang, dimana hasil ini mirip dengan hasil-hasil penelitian terdahulu (SOLIMAN, 2000; GARCIA-OVANDO, 1999; ABD EL-AZIZ, 1997; ANADON, 1995). Formalin dalam sampel dapat dideteksi dengan cara sistim destilasi uap dan dianalisis menggunakan spektrofotometer dan didapatkan bahwa limit deteksi formalin adalah 0,124 ng/g. Menurut BAILEY (1993) kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas biasanya ditemukan dalam jumlah besar (>10.000 CFU). ROSENTHAL (1999) melaporkan bahwa Campylobacter jejuni adalah penyebab gastroenteritis pada manusia, yang berasal dari daging ayam, daging sapi, daging babi yang belum dimasak, dan susu mentah serta bahan pangan lainnya yang berasal dari hewan (KRAMER et al., 2000; ALTEKRUSE, 1998). Menurut Sifat Campylobacter yang sulit dikultur (BLACKBURN dan CLURE, 2003), maka deteksi serologik perlu dibuat dengan menggunakan antigen flagellin (MANSFIELD dan ABNER, 2000) sebagai komponen diagnosis. Hasil yang telah diperoleh adalah format ELISA dan atigen flagellin. Salmonellosis merupakan penyakit penting pada unggas yang bersifat zoonosis. Salmonellosis tersebut penyebab utama food borne disease. Program pemerintah untuk memberantas penyakit Pullorum sudah dimulai sejak tahun 1972 dan Balitvet telah mengembangkan antigen berwarna bivalen
34
pullorum untuk mendiagnosa kejadian pullorum disease (POERNOMO, 1984). Di Indonesia infeksi S. enteritidis pada ayam kejadiannya terus meningkat sejak pertama kali diisolasi pada tahun 1991 (POERNOMO dan BAHRI, 1997; PRATIWI et al., 1999; POERNOMO, 2000). Berdasarkan strukur antigennya menurut KAUFFMANN (1972), S. enteritidis termasuk dalam grup D, yang memiliki antigen O(1,9,12) dan antigen flagella fase 1 : H(g,m). Uji deteksi cepat terhadap Salmonella spp berdasarkan enzyme immunoassay (LEE et al., 1990; BLAIS et al., 1998; YEH et al., 2002) sudah dikembangkan. Pengembangan teknik ELISA untuk uji deteksi cepat S. enteritidis dalam produk ternak (telur dan daging), swab kloakal dan organ ternak dapat mengganti metoda konvensional dalam analisis produk pangan. Teknik ELISA tersebut hanya memerlukan waktu 1 hari sedang cara konvensional memakan waktu 4-7 hari dan tidak praktis (CERQUIRA-CAMPOS, 1986; MC CHELLAND dan PINDER, 1994). Dengan berhasil dikembangkannya teknik ELISA ini (teknik ini dapat membedakan antara infeksi S. enteritidis dengan Salmonella spp lainnya). Balitvet telah membuat terobosan baik untuk pengamanan ternak dari infeksi penyakit (S. Pullorum) maupun pencemaran bahan pangan asal ternaktelur dan daging (S. Enteritidis) sehingga masyarakat terhindar dari keracunan makanan. Sumber pencemaran E. coli adalah feses, saluran pencernaan hewan atau manusia. Pencemaran E. coli dalam pangan dapat menyebabkan diare pada manusia. E. coli yang bersifat hemolitik dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman tersebut diabsorbsi pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat seperti di ginjal sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti haemolitik uremik syndrome (HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan gejala syaraf (MAINILL, 1999). E. coli verotoksigenik (VTEC) bersifat enteroinvasif, sehingga dapat menyebabkan diare berdarah berkepanjangan dan mempertinggi kasus kematian (SUPAR, 1996). Dari hasil isolasi dan identifikasi E. coli 26% dari 351 sampel susu terdapat cemaran E. coli. Lima puluh empat dari 91 isolat E. coli menunjukkan adanya pengaruh sitotoksik pada sel vero (47 isolat bersifat toksik moderat dan 7 isolat tidak toksik). Cemaran tersebut kemungkinan besar
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
berasal dari kotoran sapi sebagai akibat dari sanitasi di tingkat peternak yang masih kurang. Menurut HEUVELINK et al. (1998) adanya E. coli dalam susu sudah dianggap membahayakan konsumen dan menunjukkan tingkat sanitasi yang rendah. Hasil pemeriksaan swab milk can satu dari 24 sampel positip E. Coli. Hal ini menunjukkan bahwa tempat penyimpanan dari susu tersebut sudah terkontaminasi. SNI susu segar No 01-3141-1998 bahwa susu segar jumlah cemaran mikroba <1 juta/ml, Salmonella negatip, E. coli patogen negatip, dan koliform 20 MPN/ml. Syarat air yang digunakan dalam peternakan jumlah koliformnya 10.000 MPN/100ml dan jumlah E. colinya 2000 MPN/100ml. Alih teknologi Masalah kudisan pada ternak kambing kejadiannya sangat umum terutama pada musim kemarau. Akibat penyakit ini tidak hanya menurunkan harga jual ternak, tetapi disamping menyebabkan kematian juga menular ke manusia. Hasil penelitian di Balitvet telah membuktikan bahwa oli bekas 50% dan salep belerang 2,5% efektif sebagai obat anti kudis (MANURUNG et al., 1992; MANURUNG, 1994). Alih teknologi yang dilakukan di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di kabupaten Deli Serdang bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Kehewanan Kabupaten Deli Serdang membuktikan bahwa salep belerang dan oli bekas secara klinis cukup efektif (sama baiknya dengan obat pabrikan) sebagai anti kudis. Namun salep belerang kurang disukai oleh peternak karena minimbulkan ketombe setelah pemberian obat tersebut. Teknik alih teknologi dengan cara penyuluhan berulang-ulang dengan atau tanpa dilengkapi dengan praktek cukup efektif dalam proses alih teknologi bila dibandingkan dengan yang hanya dilakukan dengan cara penyuluhan sekali saja. Dinas Peternakan dan Kehewanan Kabupaten Deli Serdang berkeinginan untuk melanjutkan dan memperluas kegiatan ini di wilayah kerjanya dengan menyediakan dana sebesar 40% dan sisa 60%-nya dibebankan kepada peternak.
Kegiatan kerjasama dengan Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT) ini dilakukan untuk introduksi teknologi dan pengujian lebih lanjut perangkat ELISA kit Balitvet, untuk monitoring kandungan AFB1 pada sampel pakan dan jagung di BPMPT. Hasil analisis sampel secara duplo yang dibagi dalam 3 tahap menunjukkan bahwa sebanyak 20 (16,3%) pakan dan 18(58%) mengandung AFB1 di atas nilai yang dipersyaratkan Direktorat Jendral Peternakan (DITJENNAK) dan SNI, yaitu >50 ppb. Dari analisis Balitvet dan BPMPT nilai R2 = 0.99 untuk pakan dan R2 = 1,0 untuk jagung. Pakan atau bahan pakan yang telah tercemar oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus sudah dipastikan mengandung senyawa toksik aflatoksin. Di negara Asia Tenggara ditemukan sekitar 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas terkontaminasi mikotoksin. Akibatnya kerugian sebesar 400 juta dollar/tahun, karena menurunnya produktifitas ternak (ZANNELI, 2000). Keracunan aflatoksin pada ternak akan menurunkan bobot hidup dan produksi telur (EXARHOS dan GENTRY, 1982; GINTING, 1983), gangguan metabolisme, kegagalan vaksinasi, pertumbuhan terhambat serta kematian meningkat (JASSAR dan BALWAN-SINGH, 1989; ABDELHAMID dan DORRA, 1990; DASS dan AURORA, 1994). Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan 80% pakan ayam tercemar aflatoksin. Kadar aflatoksin B1 yang bervariasi antara 10,1−54,4 ppb (BAHRI et al, 1994). Sedang pada produk ternak juga ditemukan aflatoksin dalam hati dan daging ayam (MARYAM, 1996). Pemerintah Indonesia mengeluarkan batasan kadar aflatoksin pada pakan (20-50 ug/kg) dan bahan baku pakan (50−200 ug/kg) dan nilai maksimum residu limit (MRL) aflatoksin B1 pada daging (20 ug/kg) dan susu sapi (1,0 ug/kg) (DITJENNAK, 1995; SNI, 2000). Untuk menjaga kualitas pakan, bahan pakan dan produk asal ternak dari residu aflatoksin maka metoda ELISA sangat cocok, lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif. Bimbingan dan pelatihan secara formal juga dilakukan terhadap 8 staf laboratorium lainnya yang bertugas di BPMPT. Teknologi ini ternyata tidak sulit untuk ditransfer/dipahami dan dipraktekkan bagi karyawan di laboratorium.
35
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
KESIMPULAN DAN SARAN
ANON. 1991. Vaksin Gumboro yang beredar di Indonesia. Poultry Indonesia 142: 55−57.
Pada tahun anggaran 2004 Balitvet berhasil mengembangkan prototipe 5 vaksin (3 unggas dan 1 ruminansia dan 1 anjing). Beberapa teknologi kontrol dengan menggunakan agen hayati juga telah berhasil dikembangkan. Beberapa teknik deteksi cepat untuk penyakit hewan, dan keamanan bahan pangan asal ternak juga telah berhasil dibuat baik untuk deteksi zat kebal maupun antigen, serta adanya residu/cemaran dalam pakan atau bahan bangan asal ternak. Informasi epidemiologik dan karakter beberapa agen penyakit juga sudah diperdalam sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan maupun penelitian lebih lanjut. Kekayaan plasma nutfah mikroba veteriner sudah bertambah lebih dari 100 isolat baru dan juga beberapa metode konservasi telah berhasil dikembangkan. Beberapa teknologi telah diuji-cobakan di lapang dengan hasil yang cukup memuaskan walau cakupannya belum luas. Baik vaksin, kontrol dengan agen hayati maupun teknik-teknik deteksi perlu disebarluaskan ke laboratorium diagnostik (teknik deteksi), uji lapang terbatas (vaksin dan kontrol dengan agen hayati) untuk melihat keragaan pada kondisi lapang. Dengan demikian teknologi yang telah dihasilkan Balitvet dapat dirasakan manfaatnya secara luas oleh masyarakat pengguna.
ARITONANG, P.J. 2003. Kasus mastitis subklinis pada kambing perah di PT Taurus Dairy Farm Sukabumi menggunakan pereaksi IPB-1 dan metode breed. Skripsi Fakultas kedokteran Hewan IPB. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA ABD EL-AZIZ MI, AZIZ M.A, F.A SOLIMAN and N.A AFIFY. 1997. Pharmacokinetic evaluation of enrofloxacin in chickens. Br. Poult. Sci. 38(2): 164−8. ABDEL HAMID, A.M. and T.M. DORRA. 1990. Archieves of Animal Nutrition. 40(4): 305−316. ALEXANDER, A.D. 1976. Immunity in leptospirosis. In R.C Johnson.(ed). The biology of parasitic spirohetes. Academic Press, New York, USA. ALTEKRUSE, S.F. 1998. Campylobacter jejuni in Foods. JAVMA 213(12): 1774−1775. ANADON, A., M.R MARTINEZ-LARRANAGA, M.J DIAZ, P. BRINGAS, M.A MARTINEZ, M.L FERNANDEZ-CRUZ, M.C FERNANDEZ and R. FERNANDEZ. 1995. Pharmacokinetics and residues of enrofloxacin in chickens. Am. J. Vet. Res. 56(4): 501−6.
36
BAHRI, S., YUNINGSIH, R. MARYAM dan P. ZAHARI. 1994. Cemaran aflatoksin pada pakaan ayam yang diperiksa di Laboratorium Toksikologi Balitvet tahun 1988-1991. Peny Hewan 47: 39−42. BAILEY, J.S. 1993. Control of Salmonella and Campylobacter in Poultry Production. A Summary of Work at Research Center. Poult. Sci. 72: 1169−1173. BALDO, R.C. 2001. Comparative efficacy of pineapple (Ananas comosus) leaves bolus and albendazole against gastrointestinal nematodes of sheep. Thesis DVM. University of the Philippines Los Banos. BERG, T.P. VAN-DEN, M. GONZE and G. MEULEMANS. 1991. Acute infectious bursal disease in poultry: isolation and characterization of a highly virulent strain. Avian Pathol. 20(1): 133−143 BIELEFELDT OHMANN (interleukin)
dan
BABIUK.
1984
BLACKBURN, C.W. dan P.J. CLURE. 2003. Campylobacter dan Arcobacter. Dalam Foodborne pathogens. Hazards, risk analysis and control. CRC Press. New York. BLAIS, B.W, E. PIETRZAK, D. OUDIT, C. WILSON, L.M PHILLIPPE and J. HOWLLET. 1998. Polimacron enzyme immunoassay system for detection of naturally contaminating Salmonella in foods, feeds, and environmental samples. J. Food. Protect. 61: 1187−1190. BROTONEGORO, S., B. SUTRISNO, B. SOEGIARTO, LISTANTO dan B. SANTOSO. 1997. Perbaikan sifat beberapa isolat Bacillus thuringiensis untuk mendukung pemanfaatannya sebagai insektisida mikroba. Laporan Hasil Penelitian APBN. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor. BUTTERWORTH, A.E. 1994. Human immunity to schistosomes: some questions. Parasitol. Today 10: 378−380. CARTWRIGHT, M.E., A.E. MCCHESNEY and R.L. JONES. 1987. Vaccination-related anthrax in three llhamas. JAVMA 191: 715−716.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
CERQUEIRA-CAMPOS, M.L, P.I PETERKIN dan A.N SHARPE, 1986. Improved immunological membrane filter method for detection of foodborne Salmonella strains. Appl. Environ. Microbiol. 52: 124−127. CHARLTON, B.R., S.E. CHANNING-SANTIAGO, A.A. BICKFORD, C.J. CARDONA, R.P. CHIN, G.L. COOPEER, R. DROUAL, J.S. JEFFREY, C.U. METEYER, H.L. SHIVAPRASAT and R.L. WALKER. 1993. Preliminary characterization of a pleomorphic gram-negative rod associated with avian respiratory disease. J. Vet. Diag. Invest. 5: 47−51. CHILCHOTT, C.N., P.J. WIGLEY, A.H. BROADWELL, D.J. PARK and D.J. ELLAR. 1998. Activities of Bacillus thuringiensis insecticidal chrystal proteins cyt1Aa and cyt2Aa against three species of sheep blow fly. Appl. Environ. Microbiol. 64: 4060−4061. CHIN, R.P. and R. DROUAL. 1997. Ornithobacterium rhinotracheale infection. In: Disease of Poultry. 10th ed., B. Calnek ed., Iowa State University Press, Ames, IA. pp. 1012−1015. COALLIER-ASCAH, J. and E.S. IDZIAK. 1985. “Interaction between Steptococcus lactis and Aspergillus flavus on production of Aflatoxin”. Appl. Environ. Microbiol. 163−167. DARMINTO. 1999. Pengembangan vaksin Infectious bronchitis virus inaktif isolat lokal. JITV 4(2): 113−120. DARMINTO, S. CHOTIAH, J.S POERNOMO, L. NATALIA, T. ARIYANTI, S.M. NOOR, S. HASTIONO, ISTIANA, R.Z. ACHMAD dan INDRANINGSIH. 2002. Laporan Akhir Tahun Kegiatan Evaluasi, Karakterisasi dan Konservasi Plasma Nutfah Mikroba Veteriner Koleksi Balitvet. Proyek/bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. DARMINTO, S. CHOTIAH, L. NATALIA, M.B PURWADIKARTA, S.M. NOOR dan R. DAMAYANTI. 2001. Laporan Akhir Tahun Kegiatan Evaluasi, Karakterisasi dan Konservasi Plasma Nutfah Mikroba Veteriner Koleksi Balitvet. Proyek/bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
DE HERDT, P., K. CAUWERTS, J. VARVLOESEM and R. DUCATELLE. 2001. The relevance and efficacy of Ornithobacterium rhinotracheale control in chickens. World Poult. 17: 32−33. DHARMAYANTI, N.L.P.I. dan DARMINTO. 2001. Pengendalian newcastle disease (ND) pada ayam buras melalui vaksinasi serta analisis efikasi dalam pengembangan ayam buras Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pros. hasil penelitian bagian Proyek Rekayasa Teknologi peternakan/ARMP-II. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 315−326. DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN. 1995. Kadar maksimum aflatoksin pada pakan dan bahan dasar pakan. Deprtemen Pertanian, Jakarta, Indonesia. DWIDJOSEPUTRO, D. 1998. Dasar-dasar mikrobiologi. Djambatan Jakarta. ELSE, K.J. and F.D. FINKELMAN. 1998. Intestinal nematode parasites, cytokines and effector mechanisms. Int. J. Parasitol. 28: 1145−1158. EVANS, P.H., W.S. BOWERS and E.J. FUNK. 1984. J. Agric. Food. Chem. 31: 1254. EXARHOS, C.C. and R.E. GENTRY. 1982. Effect of aflatoxin on egg production. Avian. Dis. 26: 191−195. FLORENCE, E. and D.F. MILNER. 1981 Determintation of free and loosly protein bound formaldehyde in the tissues of pigs fed formalin-treated skim milk as a protein supplement. J. Sci. Food. Agric. 32: 288−292. GARCIA OVANDO, H., N. GORLA, C. LUDERS, G. POLONI, C. ERRECALDE, G. PRIETO and I. PUELLES. 1999. Comparative pharmacokinetics of enrofloxacin and ciprofloxacin in chickens. J. Vet. Pharmacol. Ther. 22(3): 209−12. GINTING, N.G. 1983. Aflatoksikosis pada ternak itik. Wartazoa 1: 1−3. GRONVOLD, J., J. WOLSTRUP, S.A. HENRIKSEN and P. NANSEN. 1987. Filed experiments on the ability of Arthrobotrys oligospora (Hyphomycetales) to reduce the number of larvae of Cooperia oncophora (Trichostrongylidae)in cow pats and surrounding grass. J. Helminthol. 61: 65−71. HAFEZ, H.M. 2002. Diagosis of Ornithobacterium rhinotracheale. Int. J. Poult. Sci. 1: 114−118.
DASS and AURORA, S.P. 1994. Effect of aflatoxins on immunoglobulin level in blood ant the growth of buffalo calves. Buffalo. Bull. 13(2): 37−41.
37
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
HANSEN, D.S., S.E. ESTUNINGSIH, S. WIDJAJANTI, S. PARTOUTOMO and T.W. SPITHILL. 1999. Immune responses in Indonesian thin tail and Merino sheep during a primary infection with F. gigantica: lack of a specific IgG2 antibody response is associated with increased resistance to infection in Indonesian sheep. Int. J. Parasitol. 29: 1027−1035. HARDJOUTOMO S., M.B. POERWADIKARTA dan E. MARTINDAH. 1995. Antraks pada hewan dan manusia di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 305−318. HARIMOTO, T. and Y. KAWAOKA. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin. Microbiol. Rev. 14(1): 129–149. HE, S., R. TIURIA dan E.B. RETNANI. 1991. Laporan penelitian biologis aktivitas anthelmintik sari buah nanas muda, daun miana dan ranting puring terhadap cacing Aspiculuris tetraptera (nematode) dan Hymenolepis nana (cestoda) pada mencit putih (Mus musculus albinos). Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. HEUVELINK A.E., B. BLEUMINK, F.A.L.M BIGGELAAR, M.C.T. GIFFEL, R.R. EUMER dan E. BOER. 1998. Occurrence and Survival of verocytotoxin producing Escherichia coli O157 in Raw Cow’s milk in the Netherlands. J. food. Protection. 61(12): 1597−1601. JASSAR, B.S. and BALWAN-SINGH. 1989. Indian J. of Anim. Sci. 59(1): 305−316. JOHNSON, C., A.H. BISHOP and C.L. TURNER. 1998. Isolation and activity of strains of Bacillus thuringiensis toxic to larvae of the house fly (Diptera: Muscidae) and tropical blow flies (Diptera: Calliphoridae). J. Invertbr. Pathol. 71: 138−144. JOVELLANOS, J. 1997. Efficacy of three selected herbal plants on gastro intestinal parasites of cattle. Undergraduate thesis. Univ. of the Philippines Los Banos. KARUNARATNE, A.E, E. WEZENBERG and L.B. BULLERMAN. 1990. Inhibition of mold growth and aflatoxin production by Lactobacillus species. J. Food. Prot. 53: 230−236. KAUFFMANN, F.M.D. 1972. Serological Diagnosis of Salmonella species Kauffmann-WhiteSchema. 1st Ed. Munkgaard, Copenhagen, Denmark.
38
KIRSOP, B.E. and A. DOYLE. 1991. Maintenance of Microorganisms and Cultured Cells. A Manual of Laboratory Methods. Second Edition. Academic Press. Harcourt Brace Javanovich Publishers. London, San Diego, New York, Boston, Sydney, Tokyo, Toronto. KRAMER, J.M., J.A. FROST, F.J. BOLTON and D.R.A. WAREING. 2000. Campylobacter Contamination of Raw Meat and Poultry at Retail Sale: Identification of Multiple Types and Comparison With Isolates From Human Infection. J. Food. Prot. 63(12): 1654−1659. KRONSTAD, J.W. and H.R. WHITELEY. 1986. Three classes of homologous Bacillus thuringiensis crystal-protein genes. Gene. 43: 29−40. LANCIOTTI, R. and E. GUERZONI. 1993. Competitive inhibition of Aspergillus flavus by volatile metabolites of Rhizopus arrhizus. Food. Microbiol. 10: 367−377 LEE, H.A, G.M. WYATT, S. BRAMHAM dan M.R.A. MORGAN. 1990. Enzyme-linked immunosorbent assay for Salmonella typhimurium in food: Feasibility of 1-day Salmonella detection. Applied and environmental Microbio.. 56: 1641−1546. LEPPLA, S.H. 1999. The anthrax toxin complex. In: J.E. ALOUF and J.H. FREER (eds.) Sourcebook of bacterial protein toxin. Academic Press, London. pp. 276−302. LICHTMAN, A.H, E.A KURT-JONES and A.K ABBAS. 1987. B-cell stimulatory factor 1 and not interleukin 2 is the autocrine growth factor for some helper Tymphocytes. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 84: 824−827. LISMAYANTI, F. 2002. Uji pengaruh umur buah, cara sterilisasi, waktu simpan dan daya anthelmintik perasan nanas (Ananas comosus) terhadap cacing Ascaridia galli. Skripsi Sarjana ISTN, Jakarta. LUKERT, P.D. 1991. Use of live Infectious Bursal Disease vaccines in the presence of maternal antibody. Seminar sehari bersama Romindo, Jakarta. MAINIL, J. 1999. Shiga/Verocytotoxins and Shiga/ Verotoxigenic Escherichia coli in animals. Vet. Res. 30(2−3): 235−257. MALLINNCKDRODT BAKER. 2003. Material safety Data Sheet. Mallinnckdrodt Chemicals, JT Baker. north Nine teenth Street, silide 210. Airlington, Virginia 22209 USA. Official methods of Analysis “Association of Official Analytical Chemists”, 1984. 1111
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
MANSFIELD, L.S. dan S.R. ABNER. 2000. Molecular Mechanism Governing Campylobacter Pathogenicity. In: Microbial Foodborne Disease. CARY, J.W., J.E LINZ dan D. BHATNAGAR (Eds.). Technomic Publishing Inc. Lancaster, Pennsylvania. MANURUNG, J. 1994. Studi pendahuluan pengobatan kudis pada kambing rakyat di Kabupaten Bogor dengan kombinasi larutan sabun dan belerang dalam air dan belerang dalam vaselin. Majalah Parasitol. Indones. 7(1): 17−23. MANURUNG, J., T.B MURDIATI dan T. ISKANDAR. 1992. Pengobatan kudis pada kambing dengan oli, vaselin belerang dan daun ketepeng (Cassia alatas L.). Penyempurnaan Percobaan. Penyakit Hewan 24(43): 27−32. MARYAM, R. 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Proc. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor: 336−9. MC CHELLAND, R.G. dan A.C. PINDER. 1994. Detection of Salmonella typhimurium in dairy produvt with flow cytometry and monoclonal antibodies. Appl. Environ. Microbiol. 60: 4255−4262.
PHILPOT, W.N. and C. NICKERSON. 2000. Winning the fight against Mastitis. Westfalia Surge Inc. USA. POERNOMO, S. dan S. BAHRI. 1997. Salmonella Serotyping Conducted at The Bogor Research Institute for Veterinary Science During April 1989−Maret 1996. Med. J. Ind. 7: 133−142. POND, L., D.L. WASSOM and C.E. HAYES. 1992. Influence of resistant and susceptible genotype, IL-1, and lymphoid organ on Trichinella spiralis-induced cytokine secretion. J. Immunol. 149: 957−965. PRATIWI, S., S. POERNOMO dan I. SUHADI. 1999. The Current Management of Salmonella Typhi and Salmonella in Indonesia. In: Typhoid Fever and Other Salmonellosis The Fourth International Symposium on Typhoid Fever and Other Salmonellosis Taipei, Taiwan. pp. 25−30. ROSENTHAL, T.M. 1999. Reducing Bacterial Contamination Through Vaccination on The Farm. In: Infectious Disease in Children. http://www.slackine.com/child/ide/199609/chi cken.htm. SASTROAMIJOJO, A.S. 1965. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat, Cetakan III. Jakarta.
MOSMANN, T.R., H. CHERWINSKI, M.W. BOND, M.A. GIEDLIN and R.L. COFFMAN. 1986. Two types of murine helper T cell clones:I. Definition according to profiles of lymphokine activities and secreted proteins. J. Immunol. 7: 2348−2357.
SCHEUPLEIN, R.J. 1988. Formaldehyde. The Food and Drug Administraltion’s perspective. In Turoski V, ed. Formaldehyde Analytical Chemistry and Toxicology. Washington, DC, American Chemical Society. pp. 237−245, (Advances in Chemistry Series 210)
MURPHY, B.R. and R.G. WEBSTER. 1996. Orthomyxoviruses. In: Fields Virology, 3rd Ed. FIELDS, B.N., D.M. KNIPE and P. M. HOWLEY (Eds.). Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. pp. 1397−1445.
SITI-CHOTIAH, SUDARISMAN, L. PAREDE, R. INDRIANI, SOERIPTO, M. DARODJAT, KUSMIYATI dan DARMINTO. 2003. Kegiatan Evaluasi, Karakterisasi dan Konservasi Plasma Nutfah Mikroba Veteriner Koleksi Balitvet. Laporan Akhir Tahun Proyek/bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
OIE. 2000. Manual Of Standards for Diagnostik tests and vaccines. pp. 212–219. OIE.
2000. Paratuberculosis In: Manual of Standards Diagnostic Test and Vaccines. Off. Inter. Epiz. pp. 292–303.
ODOR, E.M, M. SALEM, C.R. POPE, B. SAMPLE, M. PRIMM, K. VANCE and M. MURPHY. 1997. Isolation and Identification of Ornithobacterium rhinotracheale from commercial Broiler Flocks on the Delmarva Peninsula. Avian. Dis. 41: 257−260. PASTER, N., S. DRODY, E. CHALUTZ, M. MENASHEROV, R. NITZAN and C.L. WILSON. 1993. Evaluation of the potencial of the yeast Pichia gilliermondii as a biocontrol agent against Aspergillus flavus and fungi of stored soya beans. Mycol. Res. 97: 1201−1206.
SNI.
2000. Batas maksimum residu untuk kontaminasi mikroba dan bahan kimia pada produk ternak. Badan Standarisasi Nasional, Indonesia
SOLIMAN, G.A. 2000. Tissue distribution and disposition kinetics of enrofloxacin in healthy and E. coli infected broilers. Dtsch. Tierarztl. Wochenschr 107(1): 23−7. SPRENGER, S.J, D.A HALVORSON, K.V NAGARAJA, R. SPASOJEVIC, R.S DUTTON and D.P SHAW. 2000. Ornithobacterium rhinotracheale infection in commercial laying-type chickens. Avian. Dis. 44: 725−729
39
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
SUPAR. 1996. Supar.1996. Studi kolibasilosis pada anak sapi perah dan deteksi Escherichioa coli K99, F41 dan K99F41. Pros. Temu Ilmiah Bidang Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 148−155.
W.H.O. 1967. Requirements for anthrax spore vaccine (live–for veterinary use) (requirements for biological substances no. 13). World Health Organization Technical Report Series 1967; No. 361.
TAYLOR, W.J. and F.A. DRAUGHON. 2001. “Nannocystis exedens: A Potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus”. J. Food. Prot. hlm. 1030−1034.
WALLER, P.J. and M. LARSEN. 1996. Workshop Summary: Biological control of nematode parasites of livestock. Vet. Parasitol. 64: 135−137.
TURNBULL, P.C.B, R. BOHM, O. COSIVI, M. DOGANAY, M.E HUGH JONES, D.D. JOSHI, M.K. LALITHA dan V. DE VOS. 1998. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals, 3rd Ed. Departement of Communicable Disease Surveillance and Response, World Health Organization. hlm. 51–61. VAN
BEEK, P. 1994. Ornithobacterium rhinotracheale (ORT), clinical aspects in broilers and turkeys. Annual Meeting of the Veterinery Study Group of the EU, Amsterdam, November, 1994.
VAN EMPEL, P.C.M and H.M HAFEZ. 1999. Ornithobacterium rhinotracheale: a review. Avian. Pathol. 28: 217−227. VANDAMME, P., P. SEGERS, M. VANCANNEYT, K. VAN HOVE, R. MUTTERS, J. HOMMEZ, F. DEWHIRST, B. PASTER, K. KERSTERS, E. FALSEN, L.A. DEVRIESE, M. BISGAARD, K.H. HINZ and W. MANNHEIM. 1994. Ornithobacterium rhinotracheale gen. Nov., sp. Nov., isolated from the avian respiratory tract. Int. J. Syst. Bacteriol. 44: 24−37.
40
WELLS, M.A, P. ALBRECHT and F.A. ENNIS. 1981. recovery from a viral respiratory infection. I. Influenza pneumonia in normal and Tdeficient mice. J. Immunol. 126: 1036−1041. WORRALL, E., J.K LITAMOI, B.M SECK and G. AYELET. 2001. Xerovac: an ultra rapid method for the dehydration and preservation of live attenuated Rinderpest and Peste des Pettis Ruminants vaccine. Vaccine. 19: 834−639. YEH, K.S., C.E. TSAI, S.P. CHEN dan C.W. LIAO, 2002. Comparison between VIDAS automatic enzyme-linked fluorescent immunoassay and culture method for Salmonella recovery from pork carcass sponge samples. J. Food. Protect. 65: 1656−1659. ZANELLI. 2000. Mould, Bacteria and Solution. Feed Industry Service (FIS). Italy: 2.