Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KINERJA DAN PERSPEKTIF KEMITRAAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA KASUS KEMITRAAN DALAM USAHA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT (Partnership Performance and Perspective in Supporting Sheep Agribusiness Development Case: Partnership in Sheep Raising in Garut District, West Java) RACHMAT HENDAYANA Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor ABSTRACT Most sheep raising is implemented traditionally with very simple practices. There are various partnerships found in the sheep raising from production up to marketing activities. In order to identify partnership perspective in supporting sheep agribusiness, a study on sheep raisers, wholesale traders and related institutions has been executed in FY 1998/1999 in Garut District, West Java. Data were collected through unstructured interview using Participatory Rural Appraisal (PRA). A descriptive discussion reveals that: (a) Most partnership at raiser level occurs only with individual farmer and in conventional nature with sharing system; (b) Wider partnership takes place at wholesale trader level. The wholesaler trader set partnership not only with the sheep raisers but also with entrepreneurs and government; (c) The sheep raiser position in the partnership was discouraging because their unfortunate bargaining position; (d) Suggested sheep raisers should be encouraged to bind themselves in an association of the raiser in order to play an important role in sheep agribusiness development. They have a wider economic opportunity through collaboration with the entrepreneurs and capital sources. Therefore, more intensive technical guidance from government official is required.
Key words: Partnership, agribusiness, sheep raising ABSTRAK Usaha ternak domba sebagian besar masih diusahakan secara tradisional dengan pemeliharaan yang sederhana. Di dalam usaha ternak domba tersebut terdapat berbagai jalinan kerjasama/kemitraan mulai dari kegiatan produksi sampai pemasaran. Untuk mengetahui perspektif kemitraan dalam mendukung agribisnis ternak domba telah dilakukan penelitian terhadap petani ternak domba, pedagang ternak (bandar) dan instansi terkait dengan usaha ternak domba pada tahun 1998/1999 di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur dengan pendekatan partisipatif (PRA). Melalui bahasan secara deskriptif diperoleh gambaran: a) Sebagian besar kemitraan di tingkat peternak hanya terjadi dengan petani secara individu yang sifatnya konvensional antara lain dikenal sebagai sistem gaduhan (bagi hasil); b) Kemitraan yang luas terjadi pada level bandar domba. Bandar menjalin kemitraan tidak hanya dengan peternak, tetapi juga dengan pengusaha dan pihak pemerintah; c) Kedudukan peternak dalam kemitraan ini tetap dalam posisi yang kurang beruntung karena tidak memiliki “bargaining position” yang kuat; d) Implikasi kondisi tersebut terhadap pengembangan agribisnis domba adalah perlunya mendorong petani ternak domba mengikatkan diri dalam suatu wadah kelompok usaha bersama agribisnis sehingga dapat menangkap peluang ekonomi yang lebih besar melalui jalinan kemitraan dengan pengusaha dan pemodal. Untuk itu tentunya diperlukan peningkatan bimbingan teknis yang lebih intensif dari aparat pembina/penyuluh peternakan.
Kata kunci: Kemitraan, agribisnis, ternak domba
484
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PENDAHULUAN Domba memiliki peranan penting dalam perekonomian rumah tangga di pedesaan, karena tidak kurang dari 4,71 juta rumah tangga petani di Indonesia mempunyai sumber pendapatan dari ternak domba/kambing (NURMANAF et al., 1998). Menurut SARAGIH (1996), pengembangan domba sangat strategis karena tidak hanya menyumbang peningkatan sumber pangan hewani (daging), tetapi juga punya andil dalam upaya peningkatan pendapatan golongan miskin di pedesaan. Jenis ternak ini mampu beradaptasi di daerah-daerah marjinal. Dalam prakteknya, meskipun ternak domba mempunyai peran sosial ekonomi yang strategis namun program pengembangan domba masih tertinggal dibandingkan dengan jenis ternak penghasil daging lainnya. Kemitraan dalam usaha ternak domba belum berkembang seperti pada usaha ternak sapi potong yang mengikuti pola Perusahaan Inti Rakyat atau PIR (OETORO, 1996). Dalam usaha ternak domba, kemitraannya masih terbatas dan sebagian besar masih bersifat tradisional dalam wujud sistem gaduhan atau bagi hasil Makalah ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perspektif kemitraan dalam mendukung agribisnis ternak domba. Secara spesifik bertujuan mempelajari kemitraan dalam usaha ternak domba, dan merumuskan alternatif pola kemitraan dalam mendukung agribisnis ternak domba. Bahasan ini penting sebagai bahan masukan dalam kebijakan pembangunan yang terkait dengan upaya pengembangan ternak domba. METODE PENELITIAN Makalah dikembangkan dari hasil penelitian Sistem Pengembangan Peternakan Ruminansia Kecil tahun 1998 di Jawa Barat khususnya di Kecamatan Samarang dan Wanaraja, Garut. Pengumpulan data dilakukan secara partisipatif (PRA) melalui pendekatan kelompok (focus group discussion). Untuk lebih memahami persoalan, dilakukan pula penggalian data melalui wawancara mendalam menggunakan kuesioner tidak terstruktur terhadap beberapa informan kunci yang dianggap memahami kondisi usaha ternak di wilayah penelitian. Dalam hal wawancara mendalam ini, penentuan informan kunci dilakukan dengan metode “gelinding bola salju atau snow balling” yaitu penentuan informan kunci berikutnya didaarkan atas petunjuk dari informan kunci yang susah diwawancara sebelumnya. Untuk melengkapi data primer dikumpulkan juga data sekunder dari instansi terkait. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif
485
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
HASIL DAN PEMBAHASAN Kemitraan dalam usaha ternak domba Kemitraan adalah sebuah kontrak sosial, yaitu kerjasama usaha antara dua pihak dengan memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dari perspektif ilmu sosial, kemitraan usaha pertanian dapat dikatakan sebagai peningkatan interdependensi antar pelaku ekonomi di dalam tubuh kegiatan ekonomi di sektor pertanian. Menurut PRANADJI (1995), dewasa ini paling tidak terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang pada kegiatan agribisnis, yaitu pola kemitraan tradisionil, kemitraan pemerintah dan kemitraan pasar. Sementara itu menurut sifatnya kemitraan dibedakan atas kemitraan horizontal dan vertikal. Pada kemitraan agribisnis horizontal, kemitraan hanya bergerak di bidang produksi atau usahatani, sedangkan kemitraan agribisnis vertikal umumnya diwarnai oleh hubungan hutang (panjar atau ijon) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen (penerima hutang). Dengan pengertian kemitraan seperti itu, kemitraan usaha ternak domba di lokasi penelitian berlangsung mulai dari tingkat produksi sampai dengan tingkat pemasaran. Kemitraan terjadi antara peternak, petani (penggaduh), pencari rumput, pedagang, bandar bibit, pengusaha dan pemerintah. Dalam hal ini peternak adalah pemilik ternak domba yang biasanya tidak sempat memelihara ternaknya sendiri. Pencari rumput adalah orang yang kegiatannya sewaktu-waktu mencari rumput baik atas pesanan pihak lain atau atas inisiatif sendiri untuk dijual kepada pihak yang memerlukan. Peternak menjual ternak kepada pihak bandar yaitu yang berperan sebagai pedagang pengumpul. Bandar biasanya melakukan kerjasama dengan bandar-bandar lainnya di pasar, untuk kemudian menjual ternaknya kepada pihak pengusaha. Pengusaha adalah pihak terakhir dari seluruh aktivitas penjualan ternak. Pihak pengusaha yang memiliki akses paling besar kepada pihak pemerintah maupun ke sumber permodalan. Secara ringkas jalinan kemitraan dalam usaha ternak domba di lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 1.
Pemerintah
Pengusaha
Bank
Pasar
Bandar Bibit
Pedagang Grosir
Petani
Peternak
Pencari rumput
Pedagang Kecil Calo
486
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Gambar 1. Kemitraan dalam usaha ternak domba di lokasi penelitian
Ditinjau dari bentuk/pola dan sifat kemitraannya, hubungan dalam usaha ternak domba memenuhi hipotesa PRANADJI (1995) yaitu ada yang mengikuti pola tradisionil, pola pasar dan pemerintah dengan sifat horizontal dan vertikal (Tabel 1). Umumnya kemitraan yang terjadi dalam usaha ternak domba mengikuti pola kemitraan pasar kecuali yang terjadi dalam kemitraan peternak-petani, petani-pemerintah dan pengusahapemerintah. Tabel 1. Bentuk kemitraan dalam usaha ternak domba di lokasi penelitian Kemitraan
Peternak-petani Peternak–bandar bibit Bandar-bandar Bandar-pencari rumput Bandar-pengusaha Pengusaha-pemerintah Petani-pemerintah
Pola kemitraan
Sifat kemitraan
tradisionil pasar pasar pasar pasar pemerintah tradisionil
horizontal vertikal vertikal vertikal vertikal vertikal vertikal
Kemitraan yang populer di lokasi penelitian adalah kemitraan konvensional antara peternak dengan petani sebagai penggaduh yang menerapkan sistem bagi hasil. Namun sistem terjadi dalam skala kecil, yakni antara satu sampai dengan tiga ekor dengan pola tradisionil dan bersifat horizontal. Pada pola kemitraan tradisionil ini, kemitraan berlangsung mengikuti pola hubungan patron– client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik ternak dan penggaduh sebagai client. Dalam kemitraan tradisionil ini posisi patron lebih tinggi, yang punya kewenangan untuk memutuskan berlanjut tidaknya kemitraan tersebut. Pola kemitraan pemerintah, mulai muncul di pedesaan ketika ada program bantuan pemerintah dengan sistem revolving. Pola ini sempat menggeser sistem gaduhan di pedesaan, karena petani menganggap pola pemerintah ini lebih menguntungkan. Petani cenderung memilih untuk menerima bantuan pemerintah dari pada menggaduh, karena pada sistem bantuan pemerintah “induk ternak bantuan” akan menjadi miliknya, berbeda dengan yang terjadi pada sistem bagi hasil. Hubungan kemitraan antara petani-peternak dengan para “bandar” bersifat vertikal. Pihak bandar mempunyai motivasi untuk mencari keuntungan dari marjin yang diperoleh, sedangkan petani-peternak menjual ternak untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kalau diperhitungkan, keuntungan yang diperoleh petani peternak tidak dapat dinilai secara ekonomis. Akan tetapi, usaha ternak masih tetap berjalan karena tenaga kerja dan pakan ternak tidak diperhitungkan. Keuntungan yang diperoleh peternak adalah nilai dari tenaga keluarga yang tidak dihitung. Kondisi ini berbeda dengan para bandar ternak yang sepenuhnya mencari keuntungan ekonomis dari usahanya. Hubungan kemitraan baik dengan petani peternak maupun dengan sesama “rekanan” adalah hubungan pasar. Para bandar tidak akan melanjutkan hubungannya apabila tidak mempunyai keuntungan ekonomis. Menurut PRANADJI (1995), kemitraan pasar berkembang sebagai akibat masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Pihak bandar bibit dan pengusaha 487
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
menggalang kerjasama (kemitraan) karena adanya kepentingan (mutually beneficial) untuk berbagi manfaat ekonomi. Selain berhubungan dengan petani peternak, bandar juga menjalin kemitraan yang sepenuhnya bersifat ekonomis dengan para pencari rumput untuk memelihara ternak-ternak yang ditampung. Jalinan kemitraan ini dipelihara bandar dengan cara memberikan pinjaman berbentuk uang tunai yang pengembaliannya diperhitungkan dengan upah tenaga kerja. Untuk membina permodalan di antara para bandar, biasanya terjadi hubungan kemitraan sehingga bisa saling meminjam modal. Modal selain diperoleh dari sesama bandar, juga dapat diperoleh dari para rekanan yang mengadakan transaksi jual beli domba dan juga pinjaman bank pemerintah. Untuk mendapatkan bibit domba yang akan dijual, para bandar menjalin kemitraan dengan para petani peternak di sekitarnya. Bibit domba tersebut dibeli sesuai dengan harga pasar, dan selanjutnya dipelihara di penampungan. Dengan demikian kemitraan yang terjadi adalah bentuk kemitraan pasar yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Bandar-bandar bibit domba menjalin kemitraan dengan aparat pemerintah, untuk memperoleh order atau pesanan bibit. Mereka yang menjalin kemitraan dengan pemerintah biasanya sudah berpengalaman dalam berdagang domba. Keterampilan dalam memelihara domba tersebut diperoleh secara turun temurun dari orang tua. Peluang kemitraan mendukung agribisnis ternak domba Berdasarkan keragaan kemitraan yang terjadi di lokasi penelitian, terdapat peluang untuk mendukung agribisnis ternak domba. Peluang kemitraan yang mendukung agribisnis adalah kemitraan yang didasarkan pada pola kemitraan pasar seperti yang terjadi antara peternak dengan bandar, bandar dengan bandar, bandar dengan pengusaha dan bandar dengan pencari rumput. Pengadaan ternak dilakukan oleh peternak dengan dukungan pakan dari pencari rumput, kemudian pemasarannya didukung oleh adanya bandar dan pengusaha. Keberhasilan agribisnis domba akan sangat dipengaruhi oleh komponen komponen tersebut. Namun demikian menurut PRANADJI (1995), jika pola kemitraan pasar ini diberi kesempatan lebih besar untuk mendukung perkembangan agribisnis, masih terdapat kelemahan pokok yang mungkin sukar untuk diatasi terutama menyangkut ketergantungan peternak terhadap bandar atau pengusaha yang tetap tinggi. Jika rasionalisasi ekonomi dijadikan dasar untuk mengatur pertukaran sosial, maka dapat dipastikan posisi daya tukar (bargaining position) peternak akan relatif sangat lemah. Sehubungan dengan hal tersebut, meski pola kemitraan pasar dapat mendukung agribisnis domba tetap saja masih diperlukan strategi yang tepat agar kedudukan petani dapat memiliki posisi daya tukar yang kuat. Dalam kondisi demikian, langkah yang dapat dilakukan adalah mendorong petani ternak domba mengikatkan diri dalam suatu wadah kelompok usaha bersama agribisnis (KUBA). KUBA merupakan rekayasa kelembagaan yang kehadirannya dapat mengintegrasikan kelompok-kelompok petani/peternak, pengelola agroindustri dan agroniaga pedesaan yang menangani komoditas yang sama pada suatu skala ekonomi. Melalui KUBA diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelembagaan ekonomi rakyat di pedesaan untuk mendukung kegiatan
488
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
ekonomi petani, antara lain menyediakan kebutuhan sarana usahatani dan menangani distribusi hasilnya (BADAN AGRIBISNIS, 1999). Implementasi KUBA di beberapa tempat telah menunjukkan keberhasilannya baik dalam pengembangan usaha ternak, tanaman pangan dan perikanan seperti yang diteliti DJAUHARI, et al. (2000). Melalui KUBA, para peternak akan dapat menangkap peluang ekonomi yang lebih besar melalui jalinan kemitraan dengan pengusaha dan pemodal. Untuk lebih memberdayakan KUBA ternak perlu didorong terbentuknya jaringan kelembagaan secara horizontal dengan pelaku agribisnis lainnya dan diciptakan adanya kepemilikan kapital yang dikuasai petani, serta berupaya untuk meningkatkan hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis dengan landasan yang bersifat rasional. Dalam hal ini tentunya bimbingan lebih intensif dari aparat penyuluh peternakan dan pembina teknis lainnya masih tetap diperlukan. KESIMPULAN Sebagian besar kemitraan di tingkat peternak hanya terjadi dengan petani secara individu yang sifatnya konvensional antara lain dikenal sebagai sistem gaduhan (bagi hasil). Kemitraan yang luas terjadi pada level bandar domba. Bandar menjalin kemitraan tidak hanya dengan peternak, tetapi juga dengan pengusaha dan pihak pemerintah. Kedudukan peternak dalam kemitraan ini tetap dalam posisi yang kurang beruntung karena tidak memiliki bargaining position yang kuat. SARAN Implikasi kondisi tersebut terhadap pengembangan agribisnis domba adalah perlunya mendorong petani ternak domba mengikatkan diri dalam suatu wadah kelompok usaha bersama agribisnis (KUBA) sehingga dapat menangkap peluang ekonomi yang lebih besar. Untuk memberdayakan KUBA ternak perlu didorong terbentuknya jaringan kelembagaan secara horizontal dengan pelaku agribisnis lainnya dan diciptakan adanya kepemilikan kapital yang dikuasai petani, serta berupaya untuk meningkatkan hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis dengan landasan yang bersifat rasional. Dalam hal ini tentunya bimbingan lebih intensif dari aparat penyuluh peternakan dan pembina teknis lainnya masih tetap diperlukan DAFTAR PUSTAKA BADAN AGRIBISNIS. 1999. Pedoman Penumbuhan SPAKU dan KUBA sebagai Cikal Bakal dari KOPAKU. Badan Agribisnis. Depaertemen Pertanian. Jakarta. DJAUHARI, A., RACHMAT HENDAYANA, KHAIRINA M NOEKMAN, BAMBANG RAHMANTO. 2000. Studi Prospek dan Kendala Pengembangan Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. KASRYNO. F dan TRI PRANADJI, 1994. Kemitraan Saat ini dan di Masa Datang di Sektor Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. NURMANAF, R. ADANG AGUSTIAN, RACHMAT HENDAYANA, ENDANG L dan ROSMIJATI SAYUTI. 1999. Kajian Sistem Pengembangan Peternakan Ruminansia Kecil. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
489
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
NURMANAF, A.R., ADANG AGUSTIAN, RACHMAT HENDAYANA, ENDANG LESTARI H, dan ROSMIYATI SAYUTI. 1998. Kajian Sistem Pengembangan Peternakan Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian OETORO. 1996. Pengembangan Pola Usaha Peternakan Dalam Menunjang Ekspor Indonesia. Paper dalam Workshop Prospek Pasar dan Permasalahan ekspor Ternak Unggas Indonesia. Badan Pengembangan Ekspor Indonesia. PRANADJI, T. 1995. Wirausaha, Kemitraan dan Pengembangan Agribisnis Secara Berkelanjutan. Centre For Strategic and International Studies. Tahun XXIV. No.5. SARAGIH,B. 1996. Pengkajian Tata Niaga Ternak Domba Regional. Nasional dan Internasional di Jawa Barat dan Daerah Lainnya. Laporan Akhir. Kerjasama Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian-Institut Pertanian Bogor.
490