Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
STUDI VAKSIN ERYSIPELAS ISOLAT LOKAL: I. TANGGAP KEBAL MENCIT DAN BABI VAKSINASI TERHADAP UJI TANTANG ISOLAT LOKAL ERYSIPELOTHRIX RHUSIOPATHIAE SEROTIPE 1 DAN 2 (Study of Local Isolate Erysipelas Vaccine: I. Respons of Protection in Vaccinated Mice and Swine Against Challenge with Local Isolate of Erysipelothrix Rhusiopathiae Serotype 1 and 2) SITI CHOTIAH Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT The purpose of this experiment is to evaluate the potency of erysipelas vaccines of local isolate against Erysipelothrix rhusiopathiae infections. The purpose of this experiment is to evaluate the potency of erysipelas vaccines of local isolate against E. rhusiopathiae infections. Three kinds of inactive vaccines of local isolate of Erysipelothrix (E) rhusiopathiae serotype 2 containing whole culture (WK), whole cell, (WS) and culture filtrate (FK) were made in oil adjuvant. Mice and swine designated as MK1, MK2, MK3, MK4 and BK1, BK2, BK3, BK4. Each group of mice has twenty and each of group of swine has ten. MK1 group of mice were vaccinated with WK vaccine, MK2 with WS vaccine and MK3 with FK vaccine containing 109 colony forming unit (CFU) per dose by subcutaneous injection and MK4 were control as non vaccinated. BK1 swine group was vaccinated with WK vaccine, BK2 withWS vaccine, BK3 with FK vaccine containing of 2 x 1010 CFU per dose by intra–muscular and BK4 were control as non-vaccinated. The vaccine was injected twice with a two week interval for swine only. All groups of mice and swine, were divided into two subgroups to be challenged with local isolate of E. rhusiopathiae, serotype 1 and serotype 2 respectively. Mice were challenged two weeks after vaccination with 100 MLD50. Swine were challenged eight weeks after the first vaccination except in BK3 group chellenged at thirdteen weeks after the first vaccination by 107.5 CFU. Protective effect of mice and swine were determined by the quantal (live-dead) method and showed by clinical signs of erythem urticaria and dead respectively under the observation of 14 days. All (100%) mice of MK1, MK2 and MK3 groups survived, but none in MK4 group, after challenge exposure with serotype 2 isolate. All (100%) mice of MK1 and MK2 groups, nine of ten (90%) mice of MK3 group survived, but none of MK4 group, after challenge exposure with serotype 1 isolate. All (100%) swines of BK1, BK2 and BK3 group did not show any clinical sign of erythem urticaria, but all (100%) swines of BK4 group showed it, after challenge exposure with serotype 2 isolate. Three of fourh (75%) swines of BK1 group, four of five (80%) swines of BK2 group, three of four (75%) swines of BK3 group and none in BK4 group did not show clinical signs of erythem urticaria, after challenge exposure with serotype 1 isolate. The death found on three of five (60%) swines of BK4 , but none in BK1, BK2, BK3 groups, after challenge exposure with serotype 2 isolate. On challenge test group with serotype 1 group the death happened one of four (25%) swines of BK1 group, one of five (20%) swines of BK2 group, one of four (25%) swines of BK3 group, and tree of five (60%) swines of BK4 group. Key words: Vaccine, erysipelas, local isolate, mice, swine, protective effect ABSTRAK Studi vaksin erysipelas isolat lokal ini bertujuan untuk mengetahui potensi vaksin erysipelas isolat lokal terhadap infeksi Erysipelothrix. rhusiopathiae. Tiga macam vaksin mati dari isolat lokal E. rhusiopathiae serotipe 2 telah dibuat dalam bentuk suspensi ajuvan minyak, masing-masing terdiri atas whole kultur (WK), whole sel (WS) dan filtrat kultur (FK). Mencit dan babi masing-masing terdiri atas empat kelompok dengan nomor kode masing-masing MK1, MK2, MK3, MK4 dan BK1, BK2, BK3, BK4. Setiap kelompok mencit jumlahnya 20 ekor dan setiap kelompok babi jumlahnya 10 ekor telah dipakai sebagai hewan percobaan.
753
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Kelompok mencit MK1 divaksinasi dengan vaksin WK, MK2 dengan vaksin WS dan MK3 dengan vaksin FK, dosis 109 colony forming unit (CFU) secara subkutan dan MK4 sebagai kontrol tidak divaksinasi. Sementara itu, kelompok babi BK1 divaksinasi dengan vaksin WK, BK2 dengan vaksin WS, BK3 dengan vaksin FK, dosis 2x1010 CFU secara intramuskuler dan BK4 sebagai kontrol tidak divaksinasi. Buster vaksin hanya diberikan pada babi dengan dosis dan cara pemberian sama dengan vaksinasi pertama, dilakukan dua minggu setelah vaksinasi pertama. Semua kelompok mencit dan babi masing-masing kelompok dibagi menjadi dua subkelompok untuk dilakukan uji tantang terhadap isolat lokal E. rhusiopathiae masing-masing serotipe 1 dan serotipe 2. Uji tantang pada mencit dilakukan dua minggu setelah vaksinasi dengan dosis 100 MLD50, sedangkan pada babi dilakukan delapan minggu setelah vaksinasi pertama, kecuali pada kelompok BK3 dilakukan pada tiga belas minggu setelah vasinasi pertama, dengan dosis 107.5 CFU. Tanggap kebal pada mencit ditentukan dengan metode quantal, dan pada babi ditentukan adanya gejala klinis eritema, urtikaria dan kematian yang diamati selama 14 hari. Semua mencit (100%) kelompok MK1, MK2 dan MK3 dapat bertahan hidup, tetapi tidak satupun (0%) pada mencit kelompok MK4, setelah ditantang terhadap isolat serotipe 2. Semua mencit (100%) kelompok MK1 dan MK2; sembilan dari sepuluh ekor (90%) mencit kelompok MK3 dapat bertahan hidup, tetapi tidak satupun (0%) pada mencit kelompok MK4, setelah ditantang terhadap isolat serotipe 1. Semua babi (100%) kelompok BK1, BK2 dan BK3 tidak menunjukkan adanya gejala klinis eritema urtikaria, akan tetapi semua (100%) babi kelompok BK4 menunjukkan gejala tersebut, setelah ditantang terhadap isolat serotipe 2. Setelah ditantang terhadap isolat serotipe 1, maka tiga dari empat ekor (75%) babi kelompok BK1, empat dari lima ekor (80%) babi kelompok BK2, dua dari empat ekor (50%) babi kelompok BK3 dan tidak satupun (0%) babi kelompok BK4 tidak menunjukkan gejala klinis eritema urtikaria. Kematian ditemukan pada tiga dari lima ekor (60%) babi kelompok BK4 dan tidak satupun (0%) pada babi kelompok BK1, BK2 dan BK3 setelah ditantang terhadap isolat serotipe 2. Pada kelompok uji tantang dengan isolat serotipe 1, kematian terjadi sebanyak satu dari empat (25%) ekor babi pada kelompok BK1, satu dari lima (20%) ekor babi pada kelompok BK2, satu dari empat (25%) ekor babi pada kelompok BK3 dan tiga dari lima (60%) ekor babi pada kelompok BK4 Kata kunci: Vaksin, erysipelas, isolat lokal, mencit, babi, tanggap kebal
PENDAHULUAN Erysipelas adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix rhusiopathiae, terutama menyerang ternak babi. Selain pada babi, penyakit ini juga menyerang domba dan unggas, secara sporadik menyerang berbagai jenis hewan lain serta manusia. Perkembangan penyakitnya pada babi dapat bersifat akut, subakut dan khronis. Sifat akut ditandai dengan adanya septikemi, demam yang akut dan mati secara mendadak. Pada stadium subakut akan menyebabkan kenaikan suhu tubuh, eritema dan urtikaria pada kulit dan apabila penyakit berjalan lebih lanjut akan terjadi artritis dan endokarditis (CHIN and EAMENS, 1986). Pada manusia infeksinya bersifat lokal dan menimbulkan bintik-bintik merah pada kulit yang disebut erysipeloid. Kejadian Erysipelas di Indonesia bersifat sporadis, pernah dilaporkan di Cibinong, Bogor tahun 1964, di Kapuk, Jakarta Barat tahun 1979, di Bali tahun 1980 (ANON, 1980), di Manado tahun 1982 (SULAIMAN et al., 1983), di Temanggung tahun 1991 (POERMADJAYA et al., 1991), dan di Batang tahun 1994 (CHOTIAH, 1998a). Bakteri E. rhusiopathiae pada babi dikenal ada 22 serotipe dan tipe N. Hampir semua serotipe ditemukan di Indonesia, sedangkan serotipe 2 mempunyai prevalensi paling tinggi (ZARKASIE et al., 1991; CHOTIAH, 1994). Sebagian besar isolat yang ditemukan dari babi sakit termasuk ke dalam serotipe 1 dan serotipe 2 (WOOD, 1984). Meskipun demikian, serotipe lain yang relatif jarang, yaitu serotipe 5, 6, 8,11 dan tipe N dalam uji patogenisitas pada babi di Jepang, menunjukkan adanya lesi erysipeloid urtikaria lokal yang bervariasi (TAKAHASHI et al., 1985). Demikian juga hasil penelitian
754
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
di Balitvet, menunjukkan bahwa isolat lokal serotipe 1, 2, 6, 11, 12 dan tipe N mampu menimbulkan lesi eritema urtikaria lokal atau umum yang bervariasi pada babi di Indonesia (CHOTIAH, 1998b). Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat penyakit ini antara lain disebabkan oleh angka kematian yang tinggi pada anak babi, penurunan produksi daging, dan hewan menjadi tidak produktif. Sampai saat ini kejadian erysipelas yang bersifat akut sulit diobati karena penderita akan mati sebelum menunjukkan gejala klinis yang jelas, sehingga pengobatan akan tidak berguna dan vaksinasi merupakan alternatif pertama. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi sangat membantu terutama pada kelompok babi potong. Vaksin erysipelas ada dua yaitu vaksin hidup dan vaksin mati. Vaksin hidup sudah dikembangkan sebelum Perang Dunia ke–2, sedangkan vaksin mati mulai dikembangkan setelah Perang Dunia ke–2. Di peternakan-peternakan babi berskala besar yang ada di Indonesia telah digunakan vaksin erysipelas impor, tetapi efikasinya pada babi belum diketahui. TAKAHASHI et al. (1989) dalam observasinya pada mencit melihat suatu kecenderungan adanya imunitas yang ditimbulkan oleh vaksin tersebut terhadap beberapa serotipe dari isolat lokal E. rhusiopathiae yang ada di Indonesia, tetapi sifat tersebut tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tiga macam vaksin mati erysipelas yang berasal dari E. rhusiopathiae serotipe 2 dan tanggap kebal pada kelompok mencit dan kelompok babi vaksinasi dan kontrol tidak divaksinasi terhadap uji tantang. MATERI DAN METODE Isolat bakteri Bakteri isolat lokal E. rhusiopathie serotipe 2 dengan nomor kode T2 J2 hasil isolasi dari babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Kapuk, Jakarta dipakai sebagai biang vaksin erysipelas. Isolat lokal E. rhusiopathiae serotipe 1 dengan nomor kode OB hasil isolasi dari babi yang mengalami septikemia dari kasus erysipelas di peternakan babi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah dan isolat serotipe 2 dengan nomor kode T2J1 hasil isolasi dari babi di RPH Kapuk, Jakarta dipakai dalam penelitian ini untuk uji tantang. Hewan percobaan Mencit putih galur Dd white umur empat minggu dengan bobot badan kurang lebih 20 gr sebanyak 160 ekor dan babi sebanyak 40 ekor galur campuran umur kurang lebih tiga bulan berasal dari peternakan komersial yang mempunyai sejarah tidak pernah terserang penyakit erysipelas telah dipakai dalam penelitian ini, sebagai hewan percobaan. Pembuatan vaksin Tahapan pembuatan vaksin dilakukan menurut metode SAWADA et al. (1987) yang telah dimodifikasi. Bakteri E. rhusiopathiae serotipe 2 dengan nomor kode T2 J2 dalam stok kering beku diencerkan dahulu dalam medium kaldu brain heart infusion (BHI) untuk ditanam dalam medium agar darah domba 5% selama 24 jam pada suhu ruang 370C dengan CO2 5%. Beberapa koloni murni yang tumbuh dikultur dalam medium kaldu BHI selama 24 jam pada suhu ruang 370C dengan CO2 5%. Kultur bakteri setelah diketahui jumlahnya 1010 colony forming unit (CFU)/ml, dibunuh dengan 755
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
formalin 0,5% (v/v) disebut whole kultur (WK). Kultur bakteri yang telah dibunuh, disentrifuge 8000 rpm selama 20 menit, kemudian disaring dengan memakai membran filter ukuran 0,22 µm (EKWIP, Australia). Supernatan yang diperoleh, dikonsentrasikan menjadi 10% dari volume semula dengan memakai ultraviltrasi membran semifermiabel (Milliphore, USA) disebut filtrat kultur (FK). Pelet dari hasil senterifuge tadi dibuat suspensi dalam posphate buffered saline (PBS) steril dengan kekeruhan tertentu kira-kira mengandung kuman 1010 CFU/ml disebut whole sel (WS). Ketiga jenis vaksin, yaitu WK, WS, dan FK masing-masing diemulsikan dalam ajuvan minyak yang mengandung 3% arlasel A sebagai emulsifier, dengan perbandingan 1:1. Uji vaksin Ketiga macam vaksin WK, WS, dan FK sebelum digunakan harus sudah memenuhi persyaratan standar uji yang berlaku di Indonesia. Prosedur uji vaksin tersebut dilakukan menurut standar uji untuk vaksin erysipelas (vaksin mati) yang dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (ANON, 1989) yaitu sebagai berikut: uji umum (fisik, kemurnian dan sterilitas), uji keamanan, dan uji potensi dengan prosedur sebagai berikut: Uji umum Uji fisik yang harus diperhatikan ialah warna, bau, homogenisitas, volume, konsentrasi, dan kemungkinan adanya partikel asing dalam kemasan sampel. Pada uji ini, vaksin yang akan dipakai harus mempunyai warna, volume, konsentrasi dan pH yang sama, tidak berbau asing dan tidak mengandung partikel asing serta harus homogen. Uji kemurnian dilakukan dengan membuat preparat ulas dari vaksin yang akan dipakai di atas kaca obyek kemudian diwarnai dengan larutan pewarna Giemsa (1:20) selama 10 menit. Selanjutnya preparat diperiksa di bawah mikroskop tidak kurang dari 30 lapangan pandang. Pada uji ini vaksin yang diuji harus hanya menunjukkan adanya organisme yang dipakai dalam produksinya. Uji sterilitas dilakukan dengan menginokulasikan vaksin ke dalam 4 tabung medium tioglikolat cair masing-masing tabung sebanyak 1 ml. Dua tabung medium yang telah diinokulasi diinkubasikan pada suhu ruang 220C dan dua tabung yang lain diinkubasikan pada suhu ruang 370C selama 14 hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke–3, ke–7 dan ke–14. Pada uji ini sampel harus tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Uji keamanan Pada uji keamanan dipakai 40 ekor mencit untuk kelompok vaksin WK, vaksin WS, vaksin FK, dan kontrol (tidak divaksinasi). Tiga puluh ekor mencit masing-masing disuntik vaksin dengan dosis 0,2 ml secara subkutan, sedangkan 10 ekor sisanya, digunakan sebagai kontrol. Pengamatan dilakukan selama 10 hari, dan semua mencit perlakuan dan kontrol tidak menunjukkan adanya gejala abnormal (mati). Uji potensi Pada uji ini dipakai 40 ekor mencit yang dibagi menjadi empat kelompok masing-masing kelompok vaksin WK, kelompok vaksin WS, kelompok vaksin FK, dan kelompok kontrol (tidak divaksinasi). Masing- masing mencit pada kelompok vaksinasi disuntik masing-masing jenis vaksin 756
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
dengan dosis 0,1 ml secara subkutan. Sepuluh hari setelah vaksinasi semua mencit dari kelompok vaksinasi dan kontrol masing-masing ditantang dengan bakteri E. rhusiopathiae galur virulen (isolat Batang) dengan dosis 100 MLD50 (CHOTIAH, 1998a). Pengamatan dilakukan tidak kurang dari 14 hari, dan mencit vaksinasi tidak kurang dari 80% yang tetap hidup, sedangkan mencit kontrol 100% mati. Persiapan kuman untuk uji vaksin Isolat bakteri dengan nomor kode OB dalam stok kering beku diencerkan dalam medium kaldu BHI untuk ditumbuhkan pada medium agar darah domba 5%, kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu ruang 370C dengan CO2 5%. Beberapa koloni murni yang tumbuh ditanam pada medium kaldu BHI pada suhu ruang 370C dengan CO2 5% selama 24 jam. Panenan kultur yang telah diketahui MLD50-nya (mouse lethal dose 50) siap diinokulasikan pada mencit (CHOTIAH, 1998a). Persiapan kuman untuk uji tantang Masing-masing isolat dengn nomor kode OB dan T2J1 berasal dari biakan stok dalam ampul kering beku, setelah diencerkan dengan medium BHI, ditumbuhkan pada medium agar darah dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu ruang 370C dengan CO2 5%. Beberapa koloni murni berasal dari agar darah tadi ditanam dalam medium kaldu BHI dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C dengan CO2 5% sebagai inokulum. Masing-masing inokulum setelah ditentukan dosisnya (100 LD50) siap diinokulasikan pada mencit, sedangkan inokulum yang akan diinokulasikan pada babi ditentukan dahulu jumlah kumannya menjadi 107.5 CFU/ml (CHOTIAH, 1998b). Tanggap kebal pada mencit Delapan puluh ekor mencit dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri atas 20 puluh ekor dengan nomor kode MK1, MK2, dan MK3 sebagai kelompok perlakuan (divaksinasi), dan MK4 sebagai kelompok kontrol (tidak divaksinasi). Masing-masing mencit pada kelompok vaksinasi disuntik vaksin dengan dosis 0,1 ml secara subkutan, kelompok MK1 disuntik vaksin WK, kelompok MK2 disuntik vaksin WS dan kelompok MK3 disuntik vaksin FK. Dua minggu setelah vaksinasi, masing-masing kelompok dibagi menjadi dua subkelompok untuk dilakukan uji tantang terhadap bakteri isolat lokal E. rhusiopathiae masing-masing serotipe 1 dan serotipe 2 dengan dosis 100 MLD50 (CHOTIAH, 1998a, 1998b). Pengamatan terhadap adanya kematian pada semua mencit perlakuan dan kontrol dilakukan selama 14 hari. Tanggap kebal pada babi Empat kelompok babi dengan nomor kode BK1, BK2, BK3, dan BK4 masing-masing terdiri atas 10 ekor dikandangkan dalam kandang yang terpisah. Kekompok BK1, kelompok BK2, dan kelompok BK3 masing-masing berturut-turut diberi vaksin WK, WS, dan FK, dosis yang diberikan sebanyak 2 ml dengan pemberian secara intramuskuler, sedangkan sebagai pembanding dipakai kelompok BK4 yang merupakan kelompok kontrol (tidak divaksinasi). Dua minggu setelah divaksinasi semua kelompok perlakuan diberi buster vaksin dengan dosis 2 ml. Delapan minggu setelah vaksinasi pertama semua kelompok babi percobaan dibagi menjadi dua subkelompok yang masing-masing terdiri atas lima ekor. Kemudian, masing-masing subkelompok ditantang terhadap isolat lokal E.rhusiopathiae masing-masing serotipe 1 dan serotipe 2 dengan dosis 107.5 CFU secara 757
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
intramuskuler, sedangkan kelompok BK3 uji tantang dilakukan pada waktu tiga belas minggu setelah vaksinasi pertama, dengan dosis dan cara pemberian sama seperti kelompok lain. Pengamatan terhadap gejala klinis eritema urtikaria dan kematian dilakukan setiap hari selama 14 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Tiga jenis vaksin yang dibuat yaitu vaksin WK, WS, dan FK masing-masing berturut-turut terdiri atas whole kultur, whole sel dan filtrat kultur merupakan vaksin mati yang dibunuh dengan formalin dan diemulsikan dalam ajuvan minyak. Pada uji umum vaksin-vaksin tersebut sudah memenuhi persyaratan uji menurut standar yang dilakukan di Indonesia (ANON, 1989). Dari ketiga jenis vaksin tersebut, yang memiliki penampilan bentuk fisik yang lebih halus ialah vaksin whole kultur, sedangkan bentuk yang lebih kental ialah vaksin whole sel. Tabel 1. Hasil uji keamanan vaksin erysipelas isolat lokal pada mencit Kelompok
Jumlah mencit yang hidup/ jumlah mencit yang diuji
%
10/10
100%
Whole kultur Whole sel
10/10
100%
Filtrat kultur
10/10
100%
Kontrol
10/10
100%
Pada Tabel 1 tersebut bahwa semua mencit baik vaksinasi maupun kontrol (tidak divaksinasi) tidak menunjukkan gejala abnormal atau kematian sehingga ketiga vaksin tersebut aman digunakan untuk penelitian selanjutnya. Demikian pula pada uji potensi pada mencit kelompok vaksinasi dengan vaksin WK, WS, dan FK masing-masing berturut-turut 100%, 100%, dan 90% mencit dapat bertahan hidup dan sebaliknya mencit kelompok kontrol (tidak divaksinasi) 100% mati setelah dilakukan uji tantang (Tabel 2), sehingga ketiga jenis vaksin tersebut sudah memenuhi standar dan layak digunakan dalam penelitian lebih lanjut. Tabel 2. Hasil uji potensi vaksin erysipelas isolat lokal pada mencit Jumlah mencit yang hidup/Jumlah mencit yang diuji
%
Whole kultur
Kelompok
10/10
100
Whole sel
10/10
100
Filtrat kultur
9/10
90
Kontrol
0/10
0
Tanggap kebal pada mencit Semua mencit percobaan pada kelompok MK1, MK2, dan MK3 masih tetap hidup setelah ditantang dengan isolat lokal E. rhusiopathiae serotipe 2 dan serotipe 1, kecuali kelompok MK3 ada delapan ekor mencit yang masih hidup (80%) setelah ditantang dengan isolat serotipe 1. Sebaliknya, mencit kelompok kontrol (tidak divaksinasi), (MK4), semua mencit mati dalam pengamatan setelah dilakukan uji tantang terhadap isolat serotipe 2 dan serotipe 1 (Tabel 3), sehingga tanggap kebal mencit kelompok vaksinasi dengan vaksin whole kultur, whole sel, dan kultur filtrat cukup baik. 758
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tabel 3. Tanggap kebal pada mencit vaksinasi dengan vaksin erysipelas isolat lokal dan pada mencit kontrol (tidak divaksinasi), setelah ditantang terhadap isolat lokal E. rhusiopathiae serotipe 1 dan serotipe 2 Isolat tantang:
Kelompok
Hasil pengamatan:
Nomor kode
Serotipe
Asal babi
Dosis (CFU)
Jumlah mencit yang hidup/jumlah mencit yang diuji
T2J1
2
Sehat
104,2
10/10
100
4,6
%
OB
1
Septikemia
10
10/10
100
T2J1
2
Sehat
104,2
10/10
100
OB
1
Septicemia
104,6
10/10
100
4,2
10
10/10
100
104,6
8/10
80
MK1 MK2
T2J1
2
Sehat
OB
1
Septicemia
MK3
T2J1
2
Sehat
OB
1
Septicemia
MK4
4,2
10
0/10
0
104,6
0/10
0
Tanggap kebal pada babi Semua babi pada kelompok BK1, BK2 dan BK3 tidak menunjukkan gejala klinis eritema urtikaria dan tidak ada yang mati setelah ditantang dengan isolat lokal E. rhusiopathiae serotipe 2. Sementara itu, setelah dilakukan uji tantang terhadap isolat serotipe 1 pada masing-masing kelompok tersebut, terjadi gejala klinis eritema urtikaria dan kematian masing-masing sebanyak satu ekor. Sebaliknya pada kelompok BK4, yaitu kelompok kontrol (tidak divaksinasi), gejala klinis eritema urtikaria terjadi pada semua babi setelah ditantang dengan isolat lokal E. rhusiopathiae, baik serotipe 1 maupun serotipe 2. Pada masing-masing kelompok tersebut kematian terjadi sebanyak 3 ekor (Tabel 4). Tabel 4. Tanggap kebal pada babi vaksinasi dengan vaksin erysipelas isolat lokal dan pada babi kelompok kontrol tidak divaksinasi, setelah ditantang terhadap isolat lokal E. rhusiopathiae serotipe 1 dan serotipe 2 Isolat tantang: Kelompok
Nomor
Serotipe
Asal babi
2
Normal
kode BK1
T2J1 OB
BK2 BK3 BK4
Hasil pengamatan Dosis
Be/Bu
%
Bm/Bu
%
10 7,5
0/4
0
0/4
0
10
7,5
1/4
25
1/4
25
10
7,5
(CFU) 1
Septikemia
T2J1
2
Normal
0/5
0
0/5
0
OB
1
Septikemia
10 7,5
1/5
20
1/5
20
T2J1
2
Normal
10 7,5
0/4
0
0/4
0
7,5
1/4
25
1/4
25
10 7,5
5/5
100
3/5
60
7,5
5/5
100
3/5
60
OB
1
Septikemia
T2J1
2
Normal
OB
1
Septikemia
10 10
Keterangan: Be/Bu=Jumlah babi yang eritema urtikaria/jumlah babi yang diuji Bm/Bu=Jumlah babi yang mati/jumlah babi yang diuji
759
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa ketiga macam vaksin dapat memberikan kekebalan yang solid (100%) terhadap tantangan isolat serotipe yang sama (2) dan sedikit variasi (70%) terhadap tantangan isolat serotipe yang berbeda (1) dengan isolat yang dipakai untuk pembuatan vaksin. Perbedaan tingkat kekebalan dapat disebabkan oleh banyaknya perbedaan sifat antigenisitas antara galur vaksin dan galur isolat untuk uji tantang (SAWADA et. al., 1987), dan menurut TIMONEY dan GROSCHUP (1993), kekebalan bukan merupakan spesifik serotipe. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil uji vaksin whole kultur, whole sel dan kultur filtrat di laboratorium memenuhi persyaratan standar uji di Indonesia. Tiga jenis vaksin yang diuji mempunyai tanggap kebal pada babi yang baik (100%) terhadap tantangan isolat serotipe yang sama (2) dan cukup (75%) terhadap tantangan isolat serotipe yang berbeda (2) dengan serotipe isolat vaksin. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui tanggap kebal pada babi terhadap uji tantang dengan isolat-isolat lain yang ada di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini menggunakan dana dari APBN tahun anggaran 1995/1996. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Balai dan Pimpinan Proyek pada Balai Penelitian Veteriner Bogor yang telah memberi fasilitas sehingga penelitian ini dapat terselenggara. Ucapan yang sama ditujukan kepada Sdr. Yusuf Mukmin, Sdr. Supartono dan Sdr. Sukatma yang telah membantu dalam penyiapan bahan dan cara kerjanya. Tidak lupa pula ucapan yang sama ditujukan kepada para petugas kandang yang telah membantu pemeliharaan hewan percobaan. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Jilid 2: 74-81. ANONIMUS. 1989. Pengujian Mutu Produk Biologik Bakteri. Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia–Jakarta. CHIN, J.A. and EAMENS. 1986. Immunoreactivity of Fractionated Antigen Obtained From Autoclaved Extracts of An Arthritogenic Isolate of Erysipelothrix Rhusiopathiae Isolated From Pigs, Sheep, Turkey And Man. Aust. Vet. J. 63: 355-358. CHOTIAH, S. 1994. Laporan Kegiatan Penelitian Erysipelas Babi Tahun 1993/1994. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. CHOTIAH, S. 1998a. Isolasi dan Karakterisasi Erysipeloytrix Rhusiopathiae dari Kasus Erysipelas Babi Di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Pebruari 1998: 79-86. CHOTIAH, S. 1998b. Patogenisitas Isolat Lokal Erysipelothrix Rhusiopathiae Serotipe-Serotipe 1, 2, 6, 11, 12 dan Tipe N Pada Mencit dan Babi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 3(4): 251-256. POERMADJAYA, B., S. WITONO, W. SUBEKTI dan S. WICAKSONO. 1991. Isolasi dan Identifikasi Erysipelothrix rhusiopathiae pada Babi. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah IV Yogyakarta. Buletin Laboratorium Veteriner. 1 (1): 1-4.
760
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
SAWADA, T., T. TAKAHASHI, and Y. TAMURA. 1987. Protective Effect of Sera From Swine Immunized With Different Fractions From Broth Culture of An Attenuated Strain of Erysipelothrix Rhusiopathiae. Jpn. J. Vet. Sci. 49 (1): 37-42. SULAIMAN, T., SULAIMAN, dan H. HUSAIN. 1983. Penyidikan Erysipelas Pada Babi di Kotamadya Manado dan Sekitarnya. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1981-1982: 58-63. TAKAHASHI, T., T. SAWADA, K. SETO,. M. MURAMATSU, T. MARUYAMA, and M. KANZAKI. 1985. Pathogenicity of Erysipelothrix rhusiopathiae Strain of Serovar 1a, 3,5,6, 8, 11, 21 And Type N Isolated From Slaughter Pigs Effected With Chronic Erysipelas. Jpn. J. Vet. Sci. 47 (1): 1-8. TAKAHASHI, T., K. ZARKASIE, S. MARIANA, SUMADI, and M.OGATA. 1989. Serological and Pathogenic Characterization of Erysipelothrix rhusiopathiae Isolates from Tonsils of Slaughter Pigs in Indonesia. Vet. Microb. 21: 165-175. TIMONEY, J., F. and M.M. GROSCHUP. 1993. Properties of a Protective Protein Antigen of Erysipelothrix rhusiopathiae. Vet. Microb. 37: 381387. WOOD, R.L. 1984. Swine erysipelas: A Review of Prevalence and Research. J. Am. Vet. Med. Assoc. 181: 944918. ZARKASIE, K., T. TAKAHASHI, S. MARIANA, and SUMADI. 1991. Isolation, Serotyping, Antimicrobial Minimum Inhibitory Concentration and Pathogenicity Determination of Erysipelothrix Rhusiopathiae From Tonsils of Apparently Healthy Slaughter Pigs. Hemera Zoa. 74(1): 15-20.
761