Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
31
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENCEGAH DAN MENANGGULANGI PENYAKIT HEWAN YANG TERKAIT DENGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN SOFYAN SUDARDJAT Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian
PENDAHULUAN Sebagai bagian integral dari agribisnis pertanian, sub sektor peternakan mencakup 3 aspek kegiatan, yaitu agribisnis hulu, on-farm agribisnis dan industri hilir. Pengembangan peternakan diarahkan untuk mengatasi kegagalan atau ketidaksempurnaan pasar dan penyediaan prasarana publik yang tidak mampu dilaksanakan oleh masyarakat. Pengembangan agribisnis peternakan dimaksudkan untuk mengoperasikan kebijakan pembangunan peternakan berwawasan agribisnis, agar seluruh subsistem agribisnis dapat secara produktif dan efisien menghasilkan produksi peternakan yang memiliki daya saing yang tinggi. Tujuan pengembangan agribisnis peternakan adalah mendorong berkembangnya usaha peternakan dengan wawasan bisnis yang mampu menghasilkan produk peternakan dan industri peternakan yang berdaya saing, meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan tenaga kerja peternakan dan mengembangkan ekonomi wilayah dan mendukung pertumbuhan pendapatan nasional. Program yang mendesak adalah tersedianya secara cukup pangan hewani asal ternak, khususnya daging sapi dengan harga terjangkau dan memenuhi syarat aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Swasembada telur terus dipertahankan dengan upaya restrukturisasi industri berbasis sumberdaya lokal melalui pendirian pabrik pakan mini, meningkatkan liquiditas peternak kecil dan pengendalian penyakit. Untuk meningkatkan konsumsi susu masyarakat dilakukan dengan peningkatan suplai dalam negeri dan secara bertahap mengurangi ketergantungan peternak terhadap industri pengolahan susu. Secara operasional dilakukan program sapi pengganti, peningkatan kemampuan manajemen budidaya dan pengendalian penyakit, terutama brucellosis dan mastitis. PELAYANAN KESEHATAN HEWAN Peranan kesehatan hewan dalam kehidupan masyarakat sangat penting meliputi berbagai sumbangan yang nyata bagi kesehatan manusia, kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia melalui peningkatan kesehatan, pemanfaatan dan produktifitas seluruh jenis hewan vertebrata yang ada di dunia. Kesehatan hewan bukan hanya melindungi manusia dari resiko yang berkaitan dengan hewan dan produknya akan tetapi juga memberikan sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan biologik dan medik, melindungi kehidupan lingkungan serta mempertahankan kelestarian sumberdaya genetika. Peran profesi ini sangat beragam dan luas oleh karena melayani kebutuhan baik hewan maupun manusia. 32
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Dengan perubahan lingkungan global yang terjadi sekarang ini, maka tuntutan konsumen terhadap mutu produk (daging, susu, telur), metode produksi (kesejahteraan hewan, isu-isu lingkungan) dan kesehatan masyarakat atau keamanan pangan semakin bertambah penting untuk diperhatikan terutama oleh produsen ternak. Kata kunci yang mendasari kebijaksanaan kesehatan hewan, terutama dikaitkan dengan upaya meraih peluang untuk mendapatkan pasar yang lebih luas baik dalam maupun diluar negeri adalah "kualitas" (mutu). Banyak hal bisa dikaitkan dengan mutu produk asal ternak, bukan hanya menyangkut gambaran isi atau kandungan produk, akan tetapi juga kesehatan hewan, kesejahteraan hewan dan mutu lingkungan. Dalam mengantisipasi kemajuan teknologi maka gambaran mengenai masa depan kesehatan hewan, terutama yang berkaitan dengan profesi kedokteran hewan harus dicermati dan diklarifikasi berdasarkan asas sionalisme. Hal ini perlu karena adanya berbagai kecenderungan mencakup sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mempengaruhi kebutuhan dan permintaan mengenai pelayanan kesehatan hewan baik dalam negeri (lokal) maupun luar negeri (internasional). Disamping itu perubahan tersebut diatas juga mengacu kepada penciptaan peluang dan peningkatan peran serta dalam berbagai perwujudan di masyarakat. Seperti diketahui profesi kedokteran hewan di masa depan semakin lebih berfokus pada perawatan (care), kesehatan (health), kesejahteraan (welfare), penggunaan (utility) dan produktifitas (productivity) hewan dari pada hanya kepada penyakit (disease) dan pengendaliannya. Fokus perubahan tersebut terjadi lebih cepat kepada hal-hal yang berkaitan dengan pangan (food), laboratorium, satwa air (aquatic animals) dan satwa liar (wild animals) dari pada hewan kesayangan (companion animals). PENGARUH KONDISI LINGKUNGAN STRATEGIS TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT HEWAN Strategi kesehatan hewan dirancang dengan mencermati posisinya yang sangat strategis dan fungsinya yang sangat erat sebagai pendukung dalam mewujudkan masyarakat sehat yang berwawasan lingkungan. Penetapan strategi tersebut disesuaikan dengan perubahan kondisi lingkungan strategis baik internasional, nasional maupun sektoral antara lain: •
Penyakit-penyakit hewan menular yang tidak ditemukan di Indonesia atau lebih dikenal sebagai penyakit eksotik menjadi fokus kebijakan penolakan penyakit hewan. Penyakit-penyakit yang perlu diwaspadai tersebut antara lain bovine spongiform encephalopathy (BSE) dibeberapa negara Eropa, penyakit mulut dan Kuku (PMK) di berbagai belahan dunia terutama dinegaranegara tetangga seperti di Malaysia, Thailand dan Philippina, penyakit nipah di semenanjung Malaysia, penyakit hendra di Australia, flu burung (avian influenza) di Hongkong, Italia dan lain-lain.
•
Berbagai permasalahan kesehatan hewan di luar negeri seperti kasus cemaran dioksin di Eropa, kejadian wabah PMK di belahan Asia. (Jepang, Korea Selatan, Rusia, Mongolia. Saudi Arabia) dalam awal tahun 2000 ini serta dibeberapa negara Eropa tahun 2001 dilakukan terhadap importasi hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal termasuk bahan baku pakan ternak yang dapat bertindak sebagai sarana penular penyakit dari negara-negara tersebut.
•
Semakin banyaknya tawaran serta gencarnya upaya untuk melakukan importasi daging dari negara-negara seperti India, Irlandia, Cina atau Argentina menyebabkan Indonesia perlu melakukan strategi peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit eksotik seperti PMK, BSE, dan lain sebagainya dengan membuat sistem kesiagaan darurat (KIAT) veteriner Indonesia (VETINDO). 33
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
•
Timbulnya berbagai letupan kejadian penyakit hewan menular yang sering mewabah seperti Septichaemia epizooticae (SE) dan anthrax di Indonesia antara tahun 1986 sampai 2000 sebagai akibat dari perubahan alam seperti pengaruh iklim el nino dan la nina, bencana topan banjir, ataupun kekeringan memerlukan analisis yang komprehensif untuk meramalkan kemungkinan terburuk munculnya wabah.
•
Derasnya lalu lintas niaga dan transportasi terutama darat dan laut antar daerah di Indonesia memberikan dampak kepada terbukanya kemungkinan yang lebih besar penyebaran penyakit hewan menular dari satu daerah atau pulau ke daerah atau pulau lain. Arus transportasi ini antara lain telah menyebabkan menyebarnya penyakit rabies dari Sulawesi Tenggara ke pulau Flores pada tahun 1997, sehingga terjadi wabah rabies di daerah tersebut yang sebelumnya bebas sepanjang sejarah. Begitu juga menyebarnya classical swine fever (hog cholera) ke 11 propinsi dalam waktu 4 tahun yang menimbulkan dampak kerugian ekonomi besar bagi peternak. MANAJEMEN PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN
Kebijakan kesehatan hewan tidak terlepas dari pola kebijakan pemerintah secara umum. Pemerinah sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi pemerintah atau (mission driven government) harus memiliki kebebasan dalam memberikan arah operasionalisasi di daerah dengan aturan-aturan kebijakan nasional, tanpa pembatasan ketat terhadap pelaksanaan internal di daerah yang lebih aspiratif terhadap permasalahan yang ada di wilayah masing-masing. Oleh sebab itu diperlukan penjabaran antara kebijakan nasional dengan arah kebijakan di tingkat regional maupun lokal sebagai manifestasi dari pelaksanaan otonomi daerah secara konsekuen dan bertanggung jawab. Dalam upaya pemantapan program pembangunan peternakan, maka kebijakan pembinaan kesehatan hewan diarahkan pada pengendalian penyakit hewan strategis dengan mengutamakan pemberdayaan infrastruktur kesehatan hewan yang ada, efisiensi sumber dana dan memperhatikan asas desentralisasi kewenangan. Dalam era reformasi saat ini dan restrukturisasi struktur organisasi pemerintah, maka pokok-pokok kebijaksanaan kesehatan hewan disesuaikan dengan kebijaksanaan desentralisasi, debirokratisasi, deregulasi serta penataan kelembagaan sebagai berikut: •
Prinsip pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan yang menjadi tugas pemerintah terutama diarahkan pada penyakit yang berdampak kerugian ekonomi luas oleh karena bersifat menular, menyebar cepat serta berakibat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prioritas pengendalian diberikan terhadap 11 penyakit hewan, yaitu rabies, hog cholera (HC), brucellosis, anthrax, salmonellosis, new castle disease (ND), Jembrana, infectious bursal disease (IBD), infectious bovine rhinotracheitis (IBR), septichaemia epizooticae (SE) dan bovine viral diarhea (BVD). Penyakit-penyakit tersebut sering berubah sifat dari situasi yang endemik di suatu daerah, menjadi mewabah dan menimbulkan kerugian yang besar.
•
Secara nasional, pemberantasan penyakit terus diupayakan dengan melakukan pembebasan terhadap 3 penyakit prioritos yaitu, brucellosis, hog cholera dan rabies dengan strategi bertahap yaitu daerah demi daerah atau pulau demi pulau serta mempertahankan status bebas terhadap penyakit daftar A "Animal Health Code" Office International des Epizooties (OIE).
•
Pengendalian dan pemberantasan penyakit-penyakit yang sifatnya endemis dan sporadis menjadi tugas pemerintah daerah termasuk epidemi lintas kabupaten atau lokal sedangkan
34
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
pemerintah pusat menangani kejadian wabah dan pemberantasan penyakit yang dampaknya secara lintas propinsi, regional dan nasional. •
Pemberantasan dan pengendalian penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis seperti rabies, brucellosis dan salmonellosis, dipandang sebagai bagian dari antisipasi perlindungan terhadap kesehatan masyarakat sedangkan penyakit-penyakit lain yang bukan zoonosis dipandang sebagai bagian dari pembangunan pertanian (agriculture development) dan penyediaan pangan asal hewan.
•
Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya wabah penyakit hewan, maka setiap daerah harus memiliki kemampuan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian secara dini. Surveillance penyakit yang dilakukan secara aktif akan mampu memberikan peringatan dini sebelum penyebaran penyakit menjadi meluas dan intensitasnya meningkat. Oleh karenanya surveillance dilakukan bukan hanya terhadap penyakit-penyakit endemik akan tetapi juga beberapa penyakit eksotik penting yang berpotensi untuk menimbulkan resiko penularan seperti PMK, BSE, Nipah dan lain sebagainya.
•
Prinsip penolakan penyakit yang berasal dari luar negeri menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk menerapkan kebijakan yang mampu menangkal setiap ancaman penularan dari luar negeri. Penyakit-penyakit tersebut terutama yang tercantum dalam daftar AOIE seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), rinder pest, rif valley fever (RVF), Lumphy skin disease, blue tongue, penyakit daftar B-OIE, terutama BSE. STRATEGI GLOBAL KESEHATAN HEWAN
Sebagai penjabaran dari kebijaksanaan kesehatan hewan maka strategi dan program kesehatan hewan yang akan ditempuh adalah sebagai berikut: Tingkat Internasional •
Aktif sebagai negara anggota yang ikut serta dalam program-program pemberantasan penyakit hewan menular yang daya penularannya mampu melampaui batas-batas negara (transboundary disease) yang dikoordinasikan oleh OIE dan FAO, seperti program EMPRESS (Emergency Preparedness) untuk penyakit PMK di wilayah Asia Tenggara.
•
Mempertahankan keseluruhan wilayah bebas PMK dan BSE dengan melakukan surveillance setiap tahun.
•
Memberikan laporan secara berkala mengenai situasi penyakit hewan yang wajib dilaporkan kepada OIE.
•
Melaporkan setiap kejadian wabah penyakit hewan menular kepada OIE.
•
Menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi dunia yang terkait seperti OIE, FAO/APHCA dan ASEAN-WGL.
•
Mengadakan kerjasama dengan negara tetangga (Malaysia dan Australia) dalam bidang kesehatan hewan.
Tingkat Nasional
35
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
•
Reformasi peraturan perundangan yang sudah tidak relevan dengan kemajuan teknologi, perubahan politik dan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
•
Melaksanakan pembebasan rabies 2005 ditingkat nasional secara bertahap dengan penerapan prinsip konsolidasi dan pemberantasan.
•
Melakukan pengendalian dan pemberantasan brucelosis pada sapi potong untuk diluar daerah jawa, dan sapi perah untuk jawa.
•
Mengendalikan hog cholera dengan melakukan konsolidasi untuk daerah atau propinsi yang sudah tidak terjadi kasus.
•
Mengarahkan program kesehatan hewan dalam mencapai kecukupan daging 2005, pada penekanan kasus kematian dan pengendalian atau pemberantasan penyakit reproduksi. PENUTUP
Kebijakan pemerintah dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan yang terkait dengan agribisnis peternakan dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: kondisi lingkungan strategis baik nasional maupun internasional; manajemen dasar pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan; dan strategi global operasional. Sasaran akhir yang ingin dicapai adalah menciptakan status kesehatan hewan yang mantap dan kondusif untuk mendukung program pembangunan agribisnis peternakan serta tumbuh dan berkembangnya dunia usaha peternakan dengan daya saing yang tinggi.
36