44 Pengembangan Inovasi Pertanian 5(1), 2012: 44-57
Moh. Cholil Mahfud
TEKNOLOGI DAN STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT DAUN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI KOPI NASIONAL1) Moh. Cholil Mahfud Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 188, Malang 65101 Telp. (0341) 494052; Faks. (0341) 471255 e-mail:
[email protected] Diajukan: 27 Oktober 2011; Disetujui: 16 Februari 2012
ABSTRAK Sejak tahun 1998, posisi Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ketiga dunia tergeser oleh Vietnam karena kopi Indonesia kurang memiliki daya saing akibat rendahnya produktivitas, hanya 539 kg biji kering/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kopi Indonesia berkaitan dengan gangguan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) yang dapat menurunkan hasil 20-70%, serta sebagian besar (95,5%) kopi dihasilkan dari perkebunan rakyat dengan penerapan teknik budi daya yang kurang optimal. Makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan teknologi pengendalian penyakit karat daun yang berpotensi meningkatkan produktivitas kopi dan berpeluang dikembangkan di perkebunan rakyat. Terdapat empat komponen PHT untuk mengendalikan penyakit karat daun kopi, yaitu penggunaan varietas toleran, pengendalian secara biologis, kultur teknis, dan penggunaan fungisida. Penggunaan varietas toleran sering tidak berhasil karena H. vastatrix cepat membentuk ras baru yang dapat mematahkan ketahanan tanaman kopi. Penggunaan jamur Verticillium dalam pengendalian biologis hanya efektif di laboratorium dan rumah kaca, sedangkan aplikasinya di lapangan memperlihatkan tingkat keberhasilan yang rendah. Praktik kultur teknis seperti menyiang gulma 2-3 kali, memupuk dua kali setahun dengan pupuk kandang dan NPK yang dosisnya mengikuti umur tanaman, memangkas tanaman kopi, serta mengatur intensitas naungan menurunkan gangguan penyakit 64% dan meningkatkan produksi 80%. Sebaliknya, pengendalian dengan fungisida, di samping efektivitasnya hanya 20% dan berdampak negatif terhadap lingkungan, juga tidak terjangkau oleh petani karena harganya mahal. Memerhatikan prinsip PHT maka praktik kultur teknis secara benar berpeluang dikembangkan di perkebunan rakyat. Di samping efektif mengendalikan penyakit karat daun dan potensial meningkatkan produktivitas kopi, praktik kultur teknis juga sudah biasa diterapkan petani meskipun belum optimal. Strategi dalam pengendalian penyakit karat daun meliputi: (1) meningkatkan pemahaman petani terhadap penyakit karat daun dan praktik kultur teknis secara benar, melalui penyuluhan pengenalan penyakit dan bimbingan dalam penerapan kultur teknis; dan (2) mempercepat adopsi praktik kultur teknis, antara lain melalui demplot dan pendampingan implementasinya. Dukungan kebijakan yang diperlukan berupa penyediaan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan, serta penelitian/pengkajian untuk menghasilkan varietas kopi tahan penyakit. Implementasi praktik kultur teknis spesifik lokasi diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian penyakit karat daun pada perkebunan rakyat. Kata kunci: Kopi, penyakit karat daun, Hemileia vastatrix, pengendalian penyakit
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 19 Juli 2011 di Bogor.
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
45
ABSTRACT Technology and Strategy on Leaf Rust Disease Control to Increase the National Coffee Production Since 1998, Indonesia’s position as the world’s third largest coffee producer has been displaced by Vietnam due to lack of competitiveness as a consequence of low productivity, which was only 539 kg of dry seed/ha/year. The low productivity related with coffee leaf rust disease (Hemileia vastatrix) infestation which decreased coffee yield by 20-70%, and most (95.5%) of Indonesian coffee are produced by smallholders with less optimal cultivating application. This paper aimed to introduce the leaf rust disease control technologies which are effective and potentially increase coffee productivity and has opportunity to be developed on smallholders’ plantation. There are four components of integrated pest management (IPM) to control coffee leaf rust disease, i.e. the use of tolerant varieties, biological control, technical culture, and the use of fungicides. The use of tolerant varieties was often unsuccessful because H. vastatrix quickly form a new race to break the resistance of coffee plants. The use of Verticillium fungi in biological control was only effective in the laboratory and greenhouse, while its application in the field showed a very low success rate. Technical culture practices such as weeding 23 times, fertilizing twice a year with manure and NPK at a rate following the age of the plant, cutting the coffee plants, and adjusting the intensity of the shade, reduced disease intensity by 64% and increased production by 80%. In contrast, control with fungicides, in addition to its effectiveness is only 20% and gives negative impact on environment, was also not covered by the farmers due to its expensive price. Based on principles of IPM, the proper technical culture practice has the opportunity and potential to be developed on smallholders’ plantation. Beside effectively control leaf rust disease and potentially improve coffee productivity, technical culture has also been applied by farmers although it was not yet optimal. Strategies of controlling coffee leaf rust include: (1) improving farmers’ understanding on leaf rust disease and appropriate technical culture practices through counselling and guidance in the application in the field; and (2) accelerating the adoption of technical culture practices, among others through demonstration plot and assistance in its implementation in the field. Policy supports include provision of infrastructure, institutional strengthening, and research/assessment to generate disease-resistant coffee varieties. Implementation of site-specific technical culture practice is needed to improve the success of leaf rust disease control on smallholders’ plantation. Keywords: Coffee, leaf rust disease, Hemileia vastatrix, disease control
PENDAHULUAN Kopi termasuk komoditas andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup nyata dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, sumber lapangan kerja, dan pengembangan wilayah (Ditjenbun 2006). Area pertanaman kopi di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1,3 juta ha, yang tersebar di 33 provinsi. Sebagian besar (77,9% atau 1,01 juta ha) pertanaman kopi Indonesia adalah kopi
robusta dan sisanya (22,1% atau 286.000 ha) kopi arabika. Produksi kopi Indonesia mencapai 697.543 ton/tahun. Sebagian besar (67,2% atau 469.000 ton) produksi kopi Indonesia diekspor ke berbagai negara dengan nilai US$991,5 juta, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen utama kopi, terutama jenis robusta (Ditjenbun 2009). Sejak tahun 1998, posisi Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ketiga dunia setelah Brasil dan Kolumbia tergeser oleh Vietnam yang mampu memproduksi kopi 750.000 ton dengan kontribusi 10,7%
46
terhadap total produksi dunia (Ditjenbun 2006). Pergeseran ini disebabkan kopi Indonesia kurang memiliki daya saing akibat rendahnya produktivitas, yaitu hanya 539 kg biji kering/ha/tahun, lebih rendah dibandingkan dengan negara produsen utama lainnya seperti Vietnam (1.540 kg/ha/tahun), Kolumbia (1.220 kg/ ha/tahun), dan Brasil (1.000 kg/ha/tahun) (Ditjenbun 2006). Rendahnya produktivitas kopi antara lain disebabkan oleh gangguan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), yang merupakan penyakit paling merugikan usaha tani kopi di Indonesia (Mawardi 1996; Sri-Sukamto 1998; Wiryadiputra et al. 2002). Bahkan salah satu pendorong dibentuknya Karantina Pertanian pada 19 Desember 1877 (Staatsblad No. 262) terkait dengan perkembangan penyakit karat daun pada tanaman kopi di Indonesia (BKP Kelas I Semarang 2008). Meskipun perkembangan penyakit ini sudah berlangsung lebih dari satu abad dan menimbulkan kerugian yang cukup besar, sampai saat ini belum ditetapkan cara yang efektif untuk menanggulanginya (Budiman et al. 2004). Oleh karena itu, perlu dikenalkan cara pengendalian yang efektif dan berpeluang dikembangkan dalam upaya mengurangi gangguan penyakit karat daun dan meningkatkan produktivitas kopi Indonesia. Tulisan ini menyajikan teknologi pengendalian penyakit karat daun yang efektif dan berpeluang dikembangkan di perkebunan rakyat dalam upaya meningkatkan produksi kopi Indonesia.
DINAMIKA PENYAKIT KARAT DAUN DAN ARTI EKONOMISNYA Gangguan penyakit karat daun menjadi masalah utama dalam usaha tani kopi di
Moh. Cholil Mahfud
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Gangguan penyakit ini tidak hanya memengaruhi pertumbuhan tanaman, tetapi juga menurunkan hasil biji kopi. Meluasnya bercak pada daun sebagai tanda berkembangnya penyakit, menyebabkan area fotosintesis berkurang secara signifikan yang berdampak pada menurunnya pertumbuhan tanaman. Banyaknya daun yang gugur sebagai gejala lanjut dari penyakit ini menyebabkan jumlah bunga yang terbentuk berkurang, yang berdampak pada turunnya jumlah biji kopi yang dihasilkan tanaman (Brown et al. 1995). Penyakit karat daun kopi pertama kali ditemukan di Kenya pada tahun 1861. Pada tahun 1869, Berkeley dan Broome mengidentifikasi penyebab penyakit karat daun kopi, yaitu jamur Hemileia, yang kemudian secara lengkap diidentifikasi oleh Marshall Ward sebagai Hemileia vastatrix Berk. & Br (Arneson 2003). Jamur H. vastatrix termasuk parasit obligat (hanya hidup pada daun kopi yang masih hidup), diklasifikasikan ke dalam divisi Basidiomycota, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pucciniaceae, dan genus Hemileia (Kushalappa 1989; Arneson 2003). Di Indonesia, penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di Sumatera dan Jawa (Sri-Sukamto 1998). Perkembangan penyakit tanaman dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu patogen, inang, dan tanaman (Mahfud et al. 1991). Secara spesifik, perkembangan penyakit karat daun kopi dipengaruhi oleh patogen H. vastatrix, kondisi tanaman kopi, dan lingkungan kebun. Di daerah tropis, H. vastatrix bertahan sebagai uredospora (spora jamur karat), uredium (badan buah penghasil uredospora), dan miselium (kumpulan hifa jamur karat) pada daun sakit untuk melanjutkan infeksi pada
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
tanaman. Dari beberapa struktur jamur tersebut, uredospora paling berperan dalam perkembangan penyakit karat daun. Uredospora jamur H. vastatrix berwarna oranye, panjang 25-35 µm dan lebar 12-28 µm, berbentuk seperti ginjal dan berduri pada bagian yang cembung (Kushalappa 1989). H. vastatrix mempunyai siklus hidup yang sederhana. Jika uredospora sampai pada daun yang peka, misalnya daun muda, uredospora berkecambah dan secara cepat menginfeksi daun melalui stomata pada permukaan daun bagian bawah. Dalam tempo 10-20 hari, pada permukaan daun bagian bawah terbentuk uredospora baru oleh uredium yang keluar lewat stomata. Tiap uredium menghasilkan + 70.000 uredospora dalam 3-5 bulan sebagai sumber penular penyakit yang sangat potensial. Karena kopi merupakan tanaman tahunan, pembentukan daun berlangsung sepanjang tahun sehingga memungkinkan jamur tersebut hidup dan terus berkembang setiap saat (Agnihothrudu 1992). Jenis kopi, umur tanaman, dan kerapatan daun memengaruhi perkembangan penyakit karat daun. Tanaman kopi jenis arabika lebih peka terhadap penyakit karat daun dibanding jenis robusta (Hulupi 1998; Sri-Sukamto 1998). Daun muda lebih peka terhadap penyakit karat daun dibanding daun yang lebih tua. Jika posisi daun tidak rapat, uredospora jamur H. vastatrix yang sampai ke tanaman kopi akan banyak yang jatuh ke tanah. Sebaliknya, jika posisi daun rapat, permukaan tanaman menjadi luas yang memungkinkan semua uredospora yang sampai ke tanaman kopi menempel pada daun sehingga tersedia banyak sumber penyakit (Partridge 1997). Daun yang saling bersentuhan akan memudahkan perkembangan penyakit, di samping meningkat-
47
kan kelembapan lingkungan yang memacu infeksi dan perkembangan jamur H. vastatrix (Brown et al. 1995). Faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangan penyakit antara lain adalah suhu, kelembapan udara, curah hujan, dan sinar matahari (McCartney 1994; Brown et al. 1995). Suhu di atas 15oC di sekitar tanaman kopi menghambat perkembangan penyakit (Brown et al. 1995). Hujan berperan dalam meningkatkan kelembapan sehingga cocok bagi perkecambahan uredospora dan penyebaran jamur H. vastatrix. Sinar matahari langsung ke permukaan daun menghambat proses perkecambahan uredospora dan memperpanjang periode inkubasi penyakit karat daun (McCartney 1994). Tingkat kerusakan tanaman kopi pada perkebunan rakyat di Indonesia yang mencapai 58% mengindikasikan lingkungan pertanaman kopi mendukung perkembangan penyakit karat daun (Rosmahani et al. 2003). Pada tahun 1970-an, penyakit karat daun merusak pertanaman kopi arabika di Amerika dan menurunkan produksi 80% (Kushalappa 1989). Pada tahun 1980, penyakit ini merusak perkebunan kopi di Sri Lanka dengan kehilangan hasil lebih dari 50% (Brown et al 1995). Di Uganda, diperkirakan penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil 30%, sedangkan di Brasil menurunkan hasil 30% bila tindakan pengendalian tidak dilakukan (Eskes 1989). Kehilangan hasil akibat penyakit ini juga terjadi di India sebesar 70% (Sreenivasan 1989), di Kolumbia 15-25% (Castillo-Z 1989), dan di Papua New Guinea sampai 70% (Brown et al. 1995). Di Indonesia, penyakit ini mulai mengganas pada tahun 1880-an dan merusak sebagian besar perkebunan kopi arabika. Meskipun telah dilakukan rehabilitasi kopi arabika dengan robusta, penyakit ini masih menjadi masa-
48
lah di seluruh wilayah penghasil kopi di Indonesia dan menurunkan produksi 2070% (Puslit Koka 1998a). Berdasarkan data tersebut, kehilangan hasil kopi dunia oleh penyakit ini diperkirakan US$1-2 miliar/ tahun (Kushalappa 1989).
KERAGAAN BUDI DAYA DAN PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT DAUN PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT Rendahnya produktivitas kopi Indonesia antara lain disebabkan oleh tingginya gangguan penyakit karat daun sebagai akibat belum diterapkannya praktik kultur teknis yang benar, termasuk pengendalian penyakit karat daun, terutama pada perkebunan rakyat yang luasnya 1.241.500 ha (95,5% dari luas tanaman kopi) (Mahfud et al. 2000a). Usaha tani kopi pada perkebunan rakyat dikelola oleh 2,33 juta keluarga petani dengan kemampuan permodalan terbatas, penguasaan teknologi masih rendah, dan luas kepemilikan lahan rata-rata 0,63 ha (Wiryadiputra et al. 2002). Mahalnya harga sarana produksi menjadi salah satu kendala bagi petani dalam menerapkan kultur teknis secara optimal (Suryana 2006). Umumnya petani melakukan pemangkasan seadanya, menyiang 1-2 kali pada awal dan akhir musim hujan bersamaan dengan memupuk tanaman dengan pupuk urea dan pupuk kandang saja atau pupuk NPK yang dosisnya di bawah rekomendasi. Penerapan teknik budi daya yang demikian menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal dan kerusakan oleh penyakit karat daun cukup tinggi, yaitu 49-58%, bergantung pada jenis kopi yang ditanam (Mahfud et al. 2001; Rosmahani et al. 2003).
Moh. Cholil Mahfud
Memerhatikan cara budi daya yang demikian, usaha tani kopi pada perkebunan rakyat belum secara khusus melakukan pengendalian penyakit karat daun. Hal ini berkaitan dengan tingkat pemahaman petani terhadap hama dan penyakit yang masih kurang, terlihat dari 60% petani kopi belum memahami hama-penyakit tanaman kopi, 97,5% di antaranya belum memahami cara pengendaliannya, bahkan 10% petani menganggap hama-penyakit sebagai fenomena alam biasa yang pada saatnya akan hilang sendiri (Mahfud et al. 2000b; Wiryadiputra et al. 2002). Dengan pemahaman ini, permasalahan penyakit karat daun pada perkebunan kopi rakyat menjadi tidak teratasi. Selain itu, kondisi lingkungan mikro yang kondusif bagi pertumbuhan jamur (terutama kelembapan tinggi) dan/atau kondisi tanaman dengan pertumbuhan yang kurang prima, makin mendorong serangan penyakit karat dan dengan risiko yang lebih serius.
TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT DAUN DAN PELUANG PENGEMBANGAN PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT Pengendalian Hama Terpadu (PHT) telah menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam setiap program perlindungan tanaman di Indonesia, dengan dasar hukum Inpres No. 3/1986 dan UU No. 12/1992 (Untung 1993).
Komponen PHT dan Permasalahan dalam Penerapan Berdasarkan penelitian, direkomendasikan empat komponen PHT untuk mengendalikan penyakit karat daun kopi, yaitu
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
penggunaan varietas tahan, pengendalian secara biologis, kultur teknis, dan penggunaan fungisida (Mawardi 1996; SriSukamto 1998; Wiryadiputra et al. 2002).
Penggunaan Varietas Toleran Varietas tahan merupakan salah satu komponen PHT yang mudah diterapkan, murah, dan tidak mencemari lingkungan (Mahfud 1991; Mahfud et al. 1993, 1997, 2007). Hingga saat ini baru ditemukan jenis kopi yang toleran (dapat mempertahankan diri dari infeksi H. vastatrix) dan dianjurkan penggunaannya dalam pengendalian penyakit karat daun tanaman kopi (SriSukamto 1998). Dari jenis kopi yang ada, golongan robusta lebih tahan daripada arabika (Hulupi 1998). Pengendalian penyakit karat daun menggunakan varietas toleran untuk jangka lama sering tidak berhasil karena H. vastatrix memiliki daya adaptasi yang tinggi dan cepat membentuk ras baru yang dapat mematahkan gen ketahanan tanaman kopi, sehingga jenis kopi yang sebelumnya toleran menjadi rentan. Ras baru H. vastatrix bisa terbentuk antara lain apabila jenis kopi tahan/toleran ditanam terusmenerus dalam hamparan yang luas. Di Indonesia terdapat lebih dari delapan ras fisiologis jamur H. vastatrix (Mawardi 1996).
Pengendalian secara Biologis Pengendalian secara biologis adalah cara pengendalian penyakit dengan menggunakan musuh alami (Mahfud 1989; Rosmahani et al. 2002; Korlina et al. 2008). Jamur Verticillium dikenal hiperparasit
49
(jamur parasit yang dapat memarasit jamur parasit lain) pada penyakit karat daun kopi. Berbagai spesies Verticillium yang diketahui hiperparasit pada H. vastatrix adalah V. psalliotae dan V. lecanii (V. hemileiae) (Eskes et al. 1991; Mahfud et al. 2004). Uredospora H. vastatrix yang terparasit pertumbuhannya terganggu dan mati, ditandai oleh pertumbuhan jamur Verticillium berwarna putih pada permukaan gejala karat daun (Mahfud et al. 2004). Di laboratorium, V. psalliotae menurunkan perkecambahan uredospora H. vastatrix 59,3% (Mahfud et al. 2004) dan di rumah kaca menurunkan tingkat kerusakan tanaman oleh penyakit karat daun 68,2% (Mahfud et al. 2006a). Namun, aplikasinya di lapangan memperlihatkan tingkat keberhasilan yang rendah karena kesulitan dalam menentukan waktu aplikasi Verticillium yang tepat, pengaruh faktor lingkungan, dan adanya mikroorganisme lain di permukaan daun yang antagonis dengan jamur Verticillium (Mahfud et al. 2006b).
Pengendalian secara Kultur Teknis Rekomendasi kultur teknis dalam usaha tani kopi telah disusun oleh Puslit Koka, yaitu menyiang gulma 2-3 kali, memupuk dua kali setahun (awal dan akhir musim hujan) dengan pupuk kandang dan NPK yang dosisnya disesuaikan dengan umur tanaman, memangkas tanaman (pangkas lepas panen, pangkas tunas/cabang tidak produktif, dan menghilangkan tunas-tunas air), serta mengatur intensitas naungan (Puslit Koka 1998b). Praktik kultur teknis yang benar dapat menurunkan kerusakan tanaman kopi oleh penyakit karat daun
50
Moh. Cholil Mahfud
hingga 64% dan meningkatkan produksi 80% (Mahfud et al. 2002b, 2010).
Pengendalian dengan Fungisida Penyakit karat daun sulit dikendalikan sehingga penggunaan fungisida menjadi pilihan (Rahmawati et al. 2002). Hingga tahun 2005, terdapat 11 jenis bahan aktif fungisida yang direkomendasikan untuk mengendalikan penyakit karat daun kopi di Indonesia, yaitu siprokanazol, heksakanazol, triadimefon, triadimenol, benomil, tembaga oksiklorida, mankozeb, tembaga hidroksida, tembaga oksida, dinikonazol, dan propikonazol (Komisi Pestisida 2005). Apabila diikuti dengan praktik kultur teknis yang benar, aplikasi fungisida dapat menurunkan tingkat kerusakan tanaman oleh penyakit karat daun sampai 64,9% (Mahfud et al. 2002a). Sebaliknya, tanpa diikuti praktik kultur teknis yang benar, aplikasi fungisida hanya menurunkan tingkat kerusakan tanaman oleh penyakit karat daun 20% (Arneson 2003). Pengendalian menggunakan fungisida kurang disukai oleh petani karena selain memerlukan biaya cukup tinggi, juga meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen (Budiman et al. 2004). Di samping itu, penggunaan fungisida sering menimbulkan pengaruh negatif, yaitu: (1) meningkatkan ketahanan patogen terhadap fungisida; (2) mengkontaminasi tanaman; (3) mendorong timbulnya penyakit baru; dan (4) menyebabkan terbunuhnya musuh alami (Mahfud 2001; Mahfud et al. 2002a; Rahmawati et al. 2002; Sarwono et al. 2002b). Harga fungisida yang semakin mahal menyebabkan cara pengendalian ini tidak terjangkau oleh petani.
Komponen PHT yang Potensial pada Perkebunan Rakyat Prinsip PHT adalah mempertimbangkan aspek ekologis dan ekonomis sehingga komponen PHT yang dikembangkan tidak merusak lingkungan, tetapi dapat memanipulasi lingkungan menjadi kurang cocok bagi perkembangan penyakit dan secara ekonomis menguntungkan. Memerhatikan prinsip PHT, efektivitas, dan permasalahan dalam penerapannya, komponen PHT yang berpeluang dikembangkan di perkebunan rakyat adalah praktik kultur teknis. Di samping efektif mengendalikan penyakit karat daun, cara ini juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman kopi dan aman bagi lingkungan. Praktik kultur teknis juga mudah diterapkan, tidak banyak menambah biaya, dan sudah diterapkan oleh sebagian besar petani meskipun belum sempurna (Mahfud et al. 2002b, 2010; Rosmahani et al. 2004). Teknologi yang berpeluang diadopsi petani adalah perbaikan teknologi yang biasa diterapkan petani, murah, mudah diimplementasikan di lapangan, dan aman bagi lingkungan (Sumarno 2008). Memerhatikan kriteria tersebut, teknologi pengendalian penyakit karat daun yang berpeluang dikembangkan di perkebunan rakyat adalah praktik kultur teknis secara benar.
Praktik Kultur Teknis dan Kinerjanya dalam Pengendalian Penyakit Karat Daun Kopi Penerapan kultur teknis berpotensi mengendalikan penyakit tanaman (Mahfud et al. 2003). Dalam usaha tani kopi, pada
51
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
dasarnya praktik kultur teknis yang direkomendasikan adalah menyiang, memupuk, memangkas tanaman, dan mengelola naungan (Puslit Koka 1998b).
Penyiangan Di area perkebunan kopi, gulma yang dominan adalah wedusan (Ageratum conyzoides) (Zaenudin 1996). Tanaman kopi relatif kalah bersaing dengan gulma dalam mendapatkan unsur hara dari dalam tanah karena perakarannya dangkal (Zaenudin 1998). Lebih dari 80% akar rambut tanaman kopi berada pada kedalaman 0-30 cm (Nur dan Zaenudin 1986). Gulma menurunkan laju pertumbuhan dan hasil kopi sampai 30% (Zaenudin 1987). Penyiangan tiga kali (dua kali pada saat pemupukan dan sekali sesuai keadaan) (Puslit Koka 1998b), di samping mengoptimalkan tanaman kopi dalam mendapatkan usur hara dari dalam tanah, juga menurunkan kelembapan dan menaikkan suhu di sekitar tanaman menjadi kurang sesuai bagi perkembangan penyakit karat daun (Kushalappa 1989).
Pemangkasan Tanaman Pemangkasan tanaman menurunkan intensitas penyakit karat daun dan menghasilkan cabang/ranting produktif. Bagian tanaman sakit dan tidak produktif berperan sebagai sumber penyakit sehingga pemangkasan bagian ini dapat mengurangi sumber penyakit. Pemangkasan juga berperan menaikkan suhu di sekitar tanaman menjadi kurang cocok bagi perkembangan penyakit. Tanpa pemangkasan cabang/ranting, efisiensi fotosintat menjadi rendah karena tanaman menghasilkan cabang/ranting yang tidak produktif. Pemangkasan pada minggu ketiga setelah panen dengan bobot pangkasan 30% menurunkan kerusakan tanaman oleh penyakit karat daun hingga 34,3% dan menaikkan produktivitas kopi arabika sebesar 60% (Sarwono et al. 2002a). Meminimalkan sumber penular penyakit merupakan tindakan paling penting dalam pengendalian penyakit karena menurunkan kecepatan penularan penyakit (Arneson 2003).
Pengelolaan Naungan Pemupukan Tanaman kopi perlu dipupuk dua kali setahun pada awal dan akhir musim hujan untuk dapat tumbuh optimal, menggunakan pupuk berimbang NPK dan pupuk kandang dengan takaran sesuai umur tanaman (Puslit Koka 1998b). Dengan tumbuh optimal, tanaman kopi dapat mempertahankan diri dari penyakit karat daun. Praktik budi daya yang tidak optimal menjadikan tanaman peka terhadap penyakit karat daun (Hulupi 1998).
Dalam budi daya kopi dianjurkan menanam tanaman penaung tetap seperti lamtoro (Leucaena glauca), dadap (Erythrina subumbrans) atau sengon (Albizia falcata). Pada awal musim hujan, tanaman penaung dipenggal setinggi 2,5 m dari permukaan tanah. Dua bulan berikutnya, tunas/cabang dipangkas 50%, menyisakan tiga cabang. Apabila hujan lebat, naungan disisakan hanya 30%. Selama musim kemarau, naungan dipertahankan 100% (Puslit Koka 1998b). Adanya sinar matahari langsung ke permukaan pertanaman kopi
52
Moh. Cholil Mahfud
menghambat proses perkecambahan uredospora, sedangkan difusi sinar matahari ke permukaan bagian bawah daun menurunkan perkecambahan uredospora sehingga memperpanjang periode inkubasi penyakit karat daun (Arneson 2003).
ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT DAUN KOPI Arah Pengembangan Pengembangan kopi di Indonesia, terutama perkebunan rakyat, difokuskan pada peningkatan produktivitas dengan mengoptimalkan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) (Ditjenbun 2006), terutama penyakit karat daun kopi. Memerhatikan faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit karat daun, permasalahan dalam penerapan komponen PHT, dan kondisi sosial-ekonomi petani maka pengembangan teknologi pengendalian penyakit karat daun diarahkan pada penerapan kultur teknis yang benar, meliputi menyiang, memupuk, dan memangkas tanaman kopi serta mengelola naungan (Puslit Koka 1998a).
penyakit karat daun yang perlu ditempuh adalah: 1. Peningkatan pemahaman petani terhadap penyakit karat daun dan praktik kultur teknis secara benar melalui penyuluhan pengenalan penyakit karat daun dan bimbingan lapang cara penerapan kultur teknis. Penyediaan media cetak yang mudah dimengerti oleh petani, berisi pengenalan penyakit karat daun, faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit, kerugian ekonomis yang ditimbulkan, serta potensi praktik kultur teknis dalam mengendalikan penyakit karat daun dan meningkatkan produktivitas tanaman kopi perlu dilakukan untuk mempercepat pemahaman dan memotivasi petani untuk mengendalikan penyakit karat dan kopi. 2. Percepatan adopsi praktik kultur teknis antara lain melalui demplot dan pendampingan dalam implementasinya. Dengan kegiatan ini, petani bisa belajar cara menerapkan kultur teknis secara benar dan cara memecahkan masalah dalam penerapannya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Strategi Pengembangan Kesimpulan Pemahaman petani terhadap penyakit karat daun dan penguasaan teknologi pengendalian secara kultur teknis masih rendah. Kenyataan ini mendorong perlunya upaya peningkatan pemahaman petani terhadap penyakit karat daun dan percepatan pemasyarakatan praktik kultur teknis yang benar. Strategi pengembangan teknologi pengendalian
Produktivitas kopi Indonesia yang kini hanya 539 kg biji kering/ha/tahun atau baru 54% dari potensi produktivitasnya, memberi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dengan cara mengoptimalkan pengendalian penyakit karat daun yang dapat menurunkan produksi kopi 20-70%, terutama pada
53
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
perkebunan rakyat. Rekayasa kultur teknis merupakan teknologi pengendalian penyakit karat daun yang efektif, potensial meningkatkan produktivitas kopi, dan berpeluang dikembangkan pada perkebunan rakyat. Memerhatikan kinerja praktik kultur teknis dan karakteristik petani kopi, pengendalian penyakit karat daun diarahkan pada pengembangan praktik kultur teknis secara benar pada perkebunan rakyat. Peningkatan pemahaman petani terhadap penyakit karat daun, serta pemasyarakatan dan akselerasi teknologi pengendaliannya merupakan strategi yang perlu ditempuh agar implementasi praktik kultur teknis dapat memasyarakat.
dan kios saprotan untuk mendukung keberhasilan penerapan praktik kultur teknis secara massal, berdasarkan keinginan petani sendiri. 3. Pemerintah berperan sebagai fasilitator untuk menggerakkan dan mendorong tumbuh-kembangnya serta berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan di daerah masing-masing dalam melaksanakan program aksi pengendalian penyakit. 4. Dukungan penelitian/pengkajian pengembangan praktik kultur teknis spesifik lokasi yang potensial untuk mengendalikan penyakit karat daun dan meningkatkan produktivitas tanaman. Farmer driven research dapat dilaksanakan untuk menghasilkan teknologi yang dimaksud.
Implikasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA Pengembangan kultur teknis pada perkebunan kopi rakyat untuk pengendalian penyakit karat daun menghadapi beberapa masalah, antara lain makin mahalnya harga sarana produksi, belum berfungsinya kelembagaan pertanian secara optimal, serta belum tersedianya varietas kopi tahan penyakit karat daun. Untuk itu diperlukan dukungan kebijakan berupa penyediaan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan, serta penelitian/ pengkajian untuk menghasilkan varietas kopi tahan penyakit karat daun melalui: 1. Dukungan penyediaan sarana dan prasarana usaha tani kopi di lokasi perkebunan rakyat untuk memudahkan dan memperlancar petani dalam menerapkan praktik kultur teknis secara benar. 2. Revitalisasi kelembagaan pertanian seperti Balai Penyuluhan Pertanian, kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), koperasi tani (koptan),
Agnihothrudu, V. 1992. Leaf rust of coffee. p. 190-201. In Plant Disease of International Importance. PrenticeHall, Inc., New Jersey, USA. Arneson, P.A. 2003. Coffee Rust. The American Phytopathological Society, Minnesota. p. 1-7. BKP (Balai Karantina Pertanian) Kelas 1 Semarang. 2008. Profil BKP Kelas I Semarang. BKP Kelas I Semarang. 1 hlm. Brown, J.S., J.H. Whan, M.K. Kenny, and P.R. Merriman. 1995. The effect of coffee leaf rust on foliation and yield of coffee in Papua New Guinea. Crop Prot. 14(7): 589-592. Budiman, A., I. Susanti, S. Mawardi, D.A. Santoso, dan Siswanto. 2004. Ekspresi α-1,3 glukanase dan kitinase pada tanaman kopi arabika (Coffea arabica L.) tahan dan rentan karat daun. Menara Perkebunan 72(2): 57-71.
54
Castillo-Z, J. 1989. Breeding for rust resistance in Colombia. p. 307-316. In Coffee Rust: Epidemiology, resistance and management. CRC Press, Inc., Florida. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2006. Arah kebijakan pengembangan kopi di Indonesia. Makalah Simposium Kopi 2006, Surabaya, 2-3 Agustus 2006. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. 8 hlm. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2009. Statistik Perkebunan Kopi 2008-2010. Ditjenbun, Jakarta. 79 hlm. Eskes, A.B. 1989. Natural enemies and biological control. p. 161-168. In Coffee Rust: Epidemiology, resistance and management. CRC Press, Inc., Florida. Eskes, A.B., M.D.L. Mendes, and C.F. Robbs. 1991. Laboratory and field studies on parasitism of Hemileia vastatrix with Verticillium lecanii and V. leptobactrum. Café Cacao Tea 35(4): 275-282. Hulupi, R. 1998. Penggunaan bahan tanaman tahan dalam mengendalikan hama-penyakit. Kumpulan Materi Pelatihan Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 12 hlm. Komisi Pestisida. 2005. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Departemen Pertanian, Jakarta. 490 hlm. Korlina, E., M.C. Mahfud, D. Rahmawati, dan Sarwono. 2008. Pengkajian efektivitas cendawan Beauveria bassiana terhadap perkembangan hama dan penyakit tanaman krisan. hlm. 361-367. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani melalui Informasi dan Teknologi Pertanian, Mojokerto, 16 Juli 2008.
Moh. Cholil Mahfud
Kerja sama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. Kushalappa, A.C. 1989. Rust management: An epidemiological approach and chemical control. p. 84-94. In Coffee Rust: Epidemiology, resistance and management. CRC Press, Inc., Florida. Mahfud, M.C. 1989. Pengendalian Diaphorina citri Kuway dengan jamur Metarrhizium anisopliae. Penelitian Hortikultura 3(2): 24-31. Mahfud, M.C. 1991. Ketahanan beberapa jenis jeruk terhadap penyakit embun tepung. Jurnal Hortikultura 1(2): 54-57. Mahfud, M.C., H.M. Prasetyo, Erwin, dan W. Triwahyuni. 1991. Penyakit tepung pada bibit pepaya dan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangannya. Penelitian Hortikultura 4(3): 43-54. Mahfud, M.C., C. Hermanto, P. Prahardini, dan D. Rachmawati. 1993. Ketahanan beberapa jenis mangga terhadap penyakit antraknose. Penelitian Hortikultura 5(3): 48-57. Mahfud, M.C., S. Purnomo, Handoko, B. Tegopati, dan M. Sugiyarto. 1997. Perbedaan ketahanan di antara varietas melon terhadap penyakit layu Fusarium. Jurnal Hortikultura 7(1): 561-565. Mahfud, M.C., L. Rosmahani, D. Rachmawati, Handoko, dan Sarwono. 2000a. Kajian pengelolaan hama terpadu (PHT) pada tanaman kopi. hlm. 507-518. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/ Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Berwasaan Agribisnis, Malang, 8-9 Agustus 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
Mahfud, M.C., D. Rachmawati, Handoko, Sarwono, dan E. Korlina. 2000b. Peningkatan pemahaman petani kepada PHT. hlm. 529-533. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis, Malang, 8-9 Agustus 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Mahfud, M.C. 2001. Teknologi penghematan pestisida dalam usahatani hortikultura. hlm. 101-106. Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi BPTP Jatim, Malang 11-12 September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Mahfud, M.C., L. Rosmahani, D. Rachmawati, Handoko, Sarwono, E. Korlina, M. Soleh, A. Suryadi, dan W. Istuti. 2001. Studi pengembangan dan penerapan PHT pada tanaman kopi. hlm. 128-139. Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi BPTP Jatim, Malang, 11-12 September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Mahfud, M.C., L. Rosmahani, D. Rahmawati, Handoko, Sarwono, dan E. Korlina. 2002a. Pengaruh pemberian beberapa jenis nematisida botani terhadap perkembangan nematoda parasit pada tanaman kopi arabika. Agritek 10(2): 1849-1854. Mahfud, M.C., L. Rosmahani, E. Korlina, D. Rachmawati, dan Handoko. 2002b. Uji aplikasi komponen PHT penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) pada tanaman kopi arabika. Jurnal Fitopatologi Indonesia 6(2): 12-19. Mahfud, M.C., Handoko, H. Subagio, M.I. Wahab, Suhardi, G. Kustiono, dan W. Istuti. 2003. Uji penerapan pengelolaan
55
tanaman padi secara terpadu pada sawah irigasi di Jatim. hlm. 12-36. Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi BPTP Jatim, Malang, 9-10 Juli 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Mahfud, M.C., Z.A. Mior Ahmad, S. Meon, and J. Kadir. 2004. Characteristic of Verticillium psalliotae Treschow and parasitism of the coffee leaf rust pathogen, Hemileia vastatrix Berk.& Br. p. 317-318. Proceeding of the Agriculture Congress, Selangor, Malaysia, 4-7 October 2004. Mahfud, M.C., Z.A. Mior Ahmad, S. Meon, and J. Kadir. 2006a. In vitro and in vivo tests for parasitism of Verticillium psalliotae Treschow on Hemileia vastatrix Berk. and Br. Malays. J. Microbiol. 2(1): 46-50. Mahfud, M.C., Z.A. Mior Ahmad, S. Meon, and J. Kadir. 2006b. Potential of Verticillium psalliotae Treschow as a Mycoparasite of Coffee Leaf Rust Pathogen, Hemileia vastatrix Berk.& Br. PhD Thesis, Universiti Putra Malaysia. 367 pp. Mahfud, M.C., S. Nurbanah, dan Suprapto. 2007. Kajian ketahanan beberapa varietas unggul baru bunga krisan terhadap penyakit karat daun (Puccinia horiana) di sentra produksi Kecamatan Tutur. Agritek 15 (Edisi Khusus): 97100. Mahfud, M.C., S. Nurbanah, Ismiyati, dan Ardiansyah. 2010. Kajian penerapan teknologi produksi pada usahatani kopi robusta di lokasi Prima Tani Kabupaten Pasuruan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 13(2): 141-147. Mawardi, S. 1996. Kajian Genetika Ketahanan Tak Lengkap Kopi Arabika
56
terhadap Penyakit Karat Daun di Indonesia. Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 221 hlm. McCartney, H.A. 1994. Spore dispersal: environmental and biological factors. p. 172-181. In Ecology of Plant Pathogen. CAB International, Wallingford. Nur, A.M. dan Zaenudin. 1986. Hasil penelitian pola sebaran akar rambut kopi robusta asal benih dan asal stek. Pelita Perkebunan 2(2): 55-59. Partridge, J.E. 1997. Coffee rust. http:// plantpath.unl.edu/peartree/homer/ disease.skp/Hort/Trees/CoffeeRst. html. [ 6 April 2004]. Puslit Koka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao). 1998a. Program penelitian PHT tanaman kopi. Makalah pada Workshop Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Kopi, Surabaya, 24 Februari 1998. Bagpro PHT-PR/IPMSECP Jatim. 9 hlm. Puslit Koka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao). 1998b. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kopi Arabika. Puslit Koka, Jember. hlm. 32-61. Rahmawati, D., L. Rosmahani, M.C. Mahfud, Sarwono, dan E. Korlina. 2002. Pengaruh pemberian fungisida bubur bordo terhadap perkembangan penyakit Cercospora (Cercospora coffeicola) pada bibit kopi arabika Kartika-1. Agritek 10(4): 2433-2437. Rosmahani, L., E. Korlina, D. Rahmawati, dan M.C. Mahfud. 2002. Keefektifan beberapa strain Beauveria bassiana dalam mengendalikan hama PBKo (Hypothenemus hampei) pada kopi robusta. Agritek 10(4): 2449-2455. Rosmahani, L., M.C. Mahfud, Handoko, D. Rahmawati, Sarwono, M. Soleh, dan H. Subagio. 2003. Uji penerapan teknologi
Moh. Cholil Mahfud
PHT tingkat petani oleh petani pada kopi arabika rakyat di dataran tinggi. hlm. 441-453. Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi BPTP Jatim, Malang, 9-10 Juli 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rosmahani, L., M.C. Mahfud, D. Rahmawati, Sarwono, dan Jumadi. 2004. Uji aplikasi komponen kultur teknis dan pestisida botani untuk mengendalikan jasad pengganggu utama kopi arabika mendukung pengembangan PHT. Agritek 12(1): 901-913. Sarwono, Handoko, M.C. Mahfud, dan Jumadi. 2002a. Pengauh bobot pangkasan terhadap tingkat keparahan penyakit karat daun dan produksi kopi arabika. hlm. 221-226. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Bogor, 17-18 September 2002. Sarwono, M.C. Mahfud, L. Rosmahani, D. Rachmawati, Jumadi, dan E. Korlina. 2002b. Pengendalian penyakit karat daun Hemileia vastatrix B. Et. Br pada tanaman kopi arabika dengan bubur bordo berdasarkan ambang kendali. Jurnal Agrosains 4(1): 37-42. Sreenivasan, M.S. 1989. Breeding for rust resistance in India. p. 316-323. In Coffee Rust: Epidemiology, resistance and management. CRC Press, Inc. Florida. Sri-Sukamto. 1998. Pengelolaan penyakit tanaman kopi. Kumpulan Materi Pelatihan Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 15 hlm. Sumarno. 2008. Memfasilitasi petani agar responsif terhadap inovasi teknologi. hlm. 1-18. Prosiding Seminar Pem-
Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun ...
berdayaan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Petanian, Mojokerto, 16 Juni 2008. Kerja sama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. Suryana, A. 2006. Arah penelitian dan pengembangan pertanian dalam mendorong perkopian nasional yang tangguh. Makalah Simposium Kopi, Surabaya, 2-3 Agustus 2006. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. 11 hlm. Untung, K. 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Andi Ofset, Yogyakarta. hlm. 69-70. Wiryadiputra, S., Y.D. Junianto, E. Sulistyowati, Saidi, R. Hulupi, M.C. Mahfud, dan L. Rosmahani. 2002.
57
Analisis status penelitian dan pengembangan PHT pada pertanaman kopi. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Bogor, 17-18 September 2002. Bagian Proyek Tanaman Perkebunan. hlm. 129-146. Zaenudin. 1987. Beberapa cara penyiangan pada kopi robusta, pengaruhnya terhadap lengas tanah dan pertumbuhan pada pengamatan tahun pertama. Pelita Perkebunan 2(4): 152158. Zaenudin. 1996. Pengujian herbisida terhadap gulma campuran pada pertanaman kopi. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 12(3): 201-207. Zaenudin. 1998. Pengendalian gulma pada perkebunan kopi dan kakao. Kumpulan Materi Pelatihan Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 12 hlm.