Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 289-305
OPTIMALISASI PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT BERCAK DAUN DAN KARAT PADA KACANG TANAH1) Nasir Saleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101 Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496 e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Di Indonesia, di antara tanaman kacangkacangan, kacang tanah merupakan komoditas utama kedua setelah kedelai. Dengan kandungan minyak dan protein yang tinggi, yaitu masing-masing 42% dan 22%, kacang tanah merupakan sumber lemak dan protein nabati yang penting bagi penduduk Indonesia. Sebagian besar kacang tanah dikonsumsi oleh manusia, dan hanya sebagian kecil digunakan sebagai pakan maupun diproses menjadi minyak. Meskipun demikian, komoditas tersebut belum banyak disentuh oleh programprogram pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah. Pada tataran dunia, 94% kacang tanah dihasilkan oleh negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, dan hanya sebagian kecil dihasilkan oleh negara maju. Negara penghasil kacang tanah utama adalah India dan Cina, masing-masing dengan luas tanam 7.797 dan 3.777 juta ha. Di Asia, Indonesia merupakan negara penghasil
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada tanggal 29 Juli 2002 di Bogor.
kacang tanah terbesar ketiga setelah India dan Cina dengan luas tanam lebih dari 600 ribu ha (Freeman et al. 1999). Di sebagian besar negara-negara Afrika dan Asia, kecuali Cina, teknologi budi daya kacang tanah umumnya masih suboptimal (ala kadarnya) sehingga hasil rata-rata yang diperoleh petani sangat rendah, yaitu 0,71,0 t/ha. Sebaliknya di negara maju, kacang tanah dibudidayakan dengan masukan yang tinggi sehingga hasilnya dapat mencapai rata-rata 4-5 t/ha. Di Indonesia, berdasarkan data statistik selama lima tahun terakhir (1997-2001), laju perkembangan luas tanam, produktivitas, dan produksi kacang tanah per tahun berturut-turut adalah 1,33%, -0,26%, dan 1,08%. Hal ini memberi indikasi bahwa peningkatan produksi kacang tanah lebih banyak ditentukan oleh peningkatan luas tanam, sedangkan produktivitas justru menurun, yakni dari 1,09 t/ha pada tahun 1977 menjadi sekitar 1,08 t/ha pada tahun 2001. Angka ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2002, luas tanam kacang tanah adalah 629.700 ha dengan total produksi 691.404 ton (Ditjentan 2002). Penurunan produktivitas ini menandakan bahwa selama ini transfer teknologi dan sentuhan
teknologi belum banyak dilakukan oleh petani kacang tanah. Meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan di Indonesia mengakibatkan setiap tahun pemerintah harus mengimpor kacang tanah rata-rata 141.842 ton, karena peningkatan kebutuhan tersebut tidak dapat dicukupi dari produksi dalam negeri. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas kacang tanah di Indonesia adalah: (1) cara budi dayanya menggunakan teknologi sederhana; (2) keterbatasan modal dan pengetahuan petani; (3) sebagian besar kacang tanah diusahakan di lahan kering dengan kesuburan tanah yang rendah; dan (4) gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama penyakit yang belum dapat diatasi. Dalam artikel ini diuraikan arti penting penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah, ekobiologi dan strategi pengendalian, serta optimalisasi pengendalian terpadu.
ARTI PENTING PENYAKIT BERCAK DAUN DAN KARAT Arti penting suatu penyakit sangat ditentukan oleh distribusi, tingkat kehilangan hasil yang diakibatkan, nilai ekonomi komoditas tanaman yang terinfeksi, serta tingkat kesadaran dan upaya pengendalian yang dilakukan. Penyakit bercak daun awal, bercak daun akhir, dan karat merupakan penyakit endemis pada tanaman kacang tanah. Ketiga jamur penyebab penyakit tersebut sering menyerang tanaman secara bersamaan. Pada tingkat serangan yang berat, daun menjadi kering dan rontok sehingga dapat menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar. Penyakit bercak daun awal, bercak daun akhir,
dan karat merupakan penyakit yang umum pada kacang tanah dan tersebar luas di Asia, Australia, Afrika, dan Amerika. Hasil penelitian di ICRISAT menunjukkan bahwa penyakit karat dan bercak daun dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 70% (ICRISAT 1989). Di Indonesia, menurut Raciborski (1898) dalam Semangun (1990), penyakit bercak daun kacang tanah pertama kali ditemukan di Pulau Jawa pada tahun 1898. Untuk penyakit karat pertama kali ditemukan oleh Triharso pada tahun 1972 di Yogyakarta, dan pada tahun yang sama ditemukan pula di Lombok dan Kalimantan Selatan. Pada saat sekarang, kedua penyakit tersebut telah tersebar di seluruh sentra-sentra produksi kacang tanah di Indonesia. Penyakit bercak daun dan karat merupakan penyakit endemis dengan intensitas serangan yang bervariasi dari musim ke musim dan antardaerah. Hasil survei pertanian tahun 1995 menunjukkan bahwa luas serangan penyakit karat dan bercak daun di empat provinsi utama penghasil kacang tanah di Jawa masing-masing mencapai 147 ha dan 391 ha dengan intensitas serangan 11,3% dan 9,4% (BPS 1995). Di Indonesia, data kehilangan hasil kacang tanah akibat serangan penyakit bercak daun dan karat belum terdokumentasi dengan baik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil kacang tanah akibat ketiga penyakit tersebut cukup signifikan. Jusfah (1985) melaporkan bahwa bergantung pada cepat atau lambatnya penyakit timbul dan varietas tanaman yang terserang, penyakit bercak daun dapat mengurangi hasil hingga 50%. Serangan penyakit bercak daun dapat menurunkan jumlah polong, jumlah biji, dan bobot biji per tanaman. Pada varietas Pe-
landuk yang tergolong peka, kehilangan hasil yang disebabkan oleh penyakit bercak daun dan karat dapat mencapai 60%. Tingkat kehilangan hasil ini berkorelasi positif dengan intensitas serangan dan tingkat defoliasi daun. Selain kehilangan hasil, penyakit karat dan bercak daun juga dapat menurunkan kualitas biji (ukuran dan kandungan minyak). Di Indonesia, tanaman kacang tanah diserang oleh beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur, antara lain bercak daun, karat, layu Sclerotium, Rhizoctonia, bakteri layu (Pseudomonas solanacearum), virus belang (peanut stripe virus), peanut mottle virus, dan mikoplasma (sapu setan). Namun, di antara penyakitpenyakit tersebut, bercak daun dan karat merupakan penyakit yang penting karena telah tersebar luas dan sering mengakibatkan kerugian yang cukup besar.
EKOBIOLOGI PENYAKIT BERCAK DAUN DAN KARAT Penyakit bercak daun pada kacang tanah dibedakan menjadi dua, yaitu bercak daun awal dan bercak daun akhir. Penyakit bercak daun awal disebabkan oleh jamur Cercospora arachidicola Hori. Sebelumnya, jamur ini disebut C. arachidis Henn. var macrospora. Jamur ini mempunyai stadium sempurna yaitu Mycosphaerella arachidis Deighton, yang juga disebut M. arachidicola Jenkins. Penyakit bercak daun akhir disebabkan oleh jamur Cercosporidium personatum Deighton. Jamur ini juga dikenal dengan nama Cercospora personata atau Phaeoisariopsis personata. Penyakit karat disebabkan oleh jamur Puccinia arachidis Speg (Holliday 1980) .
Gejala Penyakit Bercak Daun dan Karat Gejala penyakit bercak daun dipengaruhi oleh genotipe tanaman inang dan faktor lingkungan. Gejala awal berupa bercak klorotik kecil pada daun yang muncul 10 hari setelah terinfeksi. Bercak tersebut kemudian berkembang menjadi lebih besar dan berwarna coklat atau hitam karena jaringan daun mengalami nekrosis. Penyakit bercak daun awal dan akhir mempunyai gejala yang hampir sama, yaitu berupa bercak-bercak berwarna coklat tua sampai hitam pada daun. Gejala bercak daun awal pada umumnya ditandai oleh bercak bulat berwarna coklat tua yang dikelilingi oleh lingkaran halo berwarna kekuningan pada permukaan atas daun. Bercak daun akhir bercaknya lebih bulat, ukurannya lebih kecil dan berwarna lebih gelap (hitam) pada permukaan bawah daun. Lingkaran halo yang terdapat pada bercak daun awal (C. arachidicola) dipengaruhi oleh inang dan lingkungan. Lingkaran halo serupa dapat ditemukan pada bercak daun akhir (P. personata). Oleh karena itu, lingkaran halo tidak dapat digunakan sebagai karakter diagnosis yang tepat. Kedua jamur tersebut juga menyebabkan bercak yang berbentuk agak lonjong pada tangkai daun dan batang. Apabila tingkat penularannya tinggi, daun tanaman menjadi kuning, kering, dan akhirnya rontok. Serangan penyakit bercak daun awal terjadi lebih awal dibandingkan dengan penyakit bercak daun akhir. Namun, keduanya umumnya menyerang tanaman mulai umur 3-5 minggu setelah tanam. Penyakit bercak daun akhir dianggap lebih berbahaya dan merugikan dibanding bercak daun awal.
Gejala infeksi jamur karat ditandai oleh timbulnya bercak-bercak kecil berwarna oranye pada permukaan bawah daun. Bercak-bercak tersebut sebetulnya merupakan uredinia jamur yang berisi spora (urediniospora). Gejala serangan tingkat lanjut ditandai oleh terbentuknya spora pada permukaan atas daun. Jamur karat juga dapat menginfeksi tangkai dan batang tanaman. Berbeda dengan penyakit bercak daun yang dapat merontokkan daun, penyakit karat mengakibatkan daun menjadi kering tetapi masih tetap melekat pada batang atau cabang.
Siklus Hidup Penyakit Bercak Daun dan Karat Meskipun bentuk teleomorf jamur telah ditemukan, askospora jamur bukan merupakan sumber inokulum yang penting. Di lapangan, penyebaran penyakit bercak daun sangat ditentukan oleh konidia yang dihasilkan. Konidia terbentuk pada ujung rumpun tangkai konidia (konidiofor) yang berwarna coklat kehijauan atau coklat kekuningan. Konidia C. arachidicola hampir jernih (hialin) atau agak coklat kehijauan, bersekat sampai 12, pangkalnya bulat dengan ujung meruncing, berukuran 35-110 µm x 3-6 µm. Konidia P. personata berwarna coklat kehijauan, bentuk seperti tabung, biasanya lurus atau agak melengkung, pangkal meruncing pendek, ujung membulat, bersekat 1-9 (biasanya 3-4) tidak menyempit pada sekat, berukuran 20-70 µm x 4-9 µm (Holliday 1980). Kondisi suhu yang agak tinggi (25-30°C) dengan kelembapan relatif yang tinggi akan memacu proses infeksi dan perkembangan penyakit. Sejauh ini belum dapat dibuktikan adanya tanaman inang lain selain genus
Arachis. Diperkirakan jamur dapat bertahan hidup dari satu musim ke musim berikutnya pada tanaman kacang tanah volunter atau pada sisa-sisa daun dan tanaman kacang tanah yang telah dipanen. Penyakit karat disebarkan oleh urediniospora dengan bantuan angin, percikan air hujan ataupun serangga. Urediniospora berbentuk agak bulat atau jorong, dengan ukuran 20-30 µm x 18-20 µm, berdinding tebal berduri halus, berwarna coklat, kebanyakan mempunyai dua lubang (porus), kadang-kadang 3-4 lubang (Holliday 1980). Stadia telia dilaporkan terbentuk pada kacang tanah atau kerabat liarnya dari genus Arachis. Sejauh ini peran telia dalam perkembangan penyakit di lapangan belum diketahui. Urediniospora tidak dapat bertahan lama pada sisa-sisa tanaman sakit, terutama pada kondisi yang panas. Oleh karena itu, diduga jamur karat bertahan dari satu musim ke musim berikutnya pada tanaman kacang tanah volunter karena tidak ada tanaman inang lain di luar genus Arachis. Penyakit berkembang dengan baik pada suhu 20°C dan kelembapan relatif yang tinggi. Infeksi jamur bercak daun dapat terjadi melalui kedua sisi daun dengan cara penetrasi langsung menembus sel-sel jaringan epidermis atau melalui mulut daun (stomata). Infeksi pada daun banyak melalui epidermis atas. Urediniospora jamur karat membentuk buluh kecambah dan apresorium yang mampu menembus sel epidermis atau masuk melalui stomata. Penyakit tanaman merupakan hasil interaksi antara patogen, inang, dan lingkungannya yang dikenal dengan istilah segitiga penyakit (disease triangle). Pada kondisi alamiah telah terjadi keseimbangan antara komponen-komponen tersebut sehingga tidak terjadi ledakan (outbreak) penyakit. Sebaliknya pada tumbuhan yang
diusahakan menjadi tanaman budi daya, campur tangan manusia melalui teknologi (pemilihan varietas, pemupukan, kultur teknis lain) sering mengakibatkan gangguan keseimbangan alam dan menimbulkan ledakan hama/penyakit yang cukup serius. Komponen keempat yaitu manusia berinteraksi dengan tiga komponen penyakit tersebut yang dikenal dengan istilah segi empat penyakit (disease square). Perkembangan penyakit di lapangan ditentukan oleh karakteristik patogen, tersedianya sumber-sumber inokulum, serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit. Ilmu yang mempelajari perkembangan penyakit tersebut dikenal sebagai epidemiologi penyakit.
Perkembangan Penyakit Bercak Daun dan Karat Berdasarkan pola perkembangan epidemi penyakit di lapangan, penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah termasuk ke dalam kelompok penyakit yang mengikuti pola bunga berganda (compound interest). Hal ini karena daur hidup jamur yang pendek sehingga dalam satu periode pertumbuhan tanaman kacang tanah, terjadi beberapa kali perkembangan generasi jamur. Pada penyakit tanaman dengan pola perkembangan epidemi bunga berganda, tersedianya sumber inokulum berupa populasi tanaman sakit awal (Xo) sangat menentukan besarnya populasi tanaman sakit akhir (Xt), mengikuti rumus van der Plank (1963) sebagai berikut: Xt = Xo ert Keterangan: Xt = proporsi tanaman sakit pada saat t Xo= proporsi tanaman sakit pada saat awal
e = konstan, bilangan alam (2,718281828) r = laju infeksi t = waktu terjadinya epidemi
STRATEGI DAN OPTIMALISASI PENGENDALIAN Strategi Pengendalian Kerugian hasil kacang tanah akibat serangan penyakit bercak daun dan karat cukup tinggi, namun sejauh ini petani belum melakukan upaya pengendalian. Hal ini terutama karena terbatasnya biaya untuk pengendalian serta rendahnya pengetahuan petani tentang penyakit tersebut maupun kerugian yang diakibatkan. Berdasar rumus van der Plank (1963), bahwa pola perkembangan epidemi penyakit bunga berganda mengikuti rumus Xt = Xo ert, maka pendekatan matematis yang dilakukan untuk mengurangi Xt adalah dengan mengurangi Xo, r, dan atau t. Hal ini berarti bahwa strategi pengendalian penyakit bercak daun awal atau akhir dan karat dapat dilakukan dengan cara menghilangkan atau mengurangi sumber inokulum, memanipulasi faktor lingkungan untuk mengurangi laju infeksi, serta memanipulasi waktu dan peluang terjadinya infeksi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penanaman varietas tahan, teknik budi daya, serta pengendalian secara kimiawi dan biologi.
Menanam Varietas Tahan Pengendalian penyakit dengan menanam varietas tahan merupakan cara yang paling murah, mudah diadopsi petani, dan kompatibel dengan cara pengendalian yang
lain. Pengendalian dengan menanam varietas tahan juga dirasa efektif dan efisien, terutama bagi petani yang tidak cukup modal (Saleh 1989). Upaya untuk mendapatkan varietas kacang tanah yang tahan terhadap penyakit bercak daun dan karat telah banyak dilakukan peneliti di berbagai negara. Beberapa genotipe kacang tanah diketahui tahan terhadap penyakit bercak daun akhir, karat, atau keduanya. International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT) di India telah mengidentifikasi sejumlah koleksi plasma nutfah kacang tanah yang dimilikinya. Sampai tahun 1989, lembaga penelitian internasional tersebut memiliki 124 genotipe kacang tanah yang tahan terhadap penyakit karat, 54 genotipe tahan terhadap bercak daun akhir, dan 29 genotipe tahan terhadap kedua penyakit tersebut (ICRISAT 1989). Kacang tanah liar dilaporkan memiliki tingkat ketahanan yang tinggi, bahkan kebal (imun) terhadap serangan penyakit karat dan bercak daun. Jenis liar pada umumnya merupakan landrace asal Amerika Selatan. Gen-gen ketahanan terhadap penyakit karat banyak ditemukan di Peru. Jenis liar mempunyai mekanisme ketahanan yang berbeda dengan tanaman kacang tanah budi daya. Hal tersebut memberi peluang untuk mengombinasikan ketahanan jenis liar dan jenis yang dibudidayakan sehingga diperoleh ketahanan yang lebih efektif dan stabil. Untuk memindahkan gen-gen tahan dari Arachis liar ke jenis kacang tanah budi daya antara lain dapat dilakukan melalui persilangan konvensional atau dengan bantuan bioteknologi. Para ahli sitogenetika di beberapa negara telah mencoba menyilangkan jenis liar dengan kacang tanah yang dibudidayakan, dan beberapa hasil persilangan interspesifiknya menun-
jukkan tingkat ketahanan yang tinggi. Pada umumnya terdapat korelasi positif antara sifat tahan terhadap penyakit bercak daun akhir dengan produktivitas yang rendah dan umur masak yang panjang (Miller et a1. 1990). Ketahanan terhadap penyakit bercak daun dan karat dikendalikan oleh gen yang berbeda dan independen sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan genotipe kacang tanah yang sekaligus tahan terhadap penyakit bercak daun dan karat. Di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, kegiatan pemuliaan untuk mendapatkan varietas kacang tanah yang tahan penyakit bercak daun dan karat telah dilakukan sejak 1989. Dari kegiatan ini telah dihasilkan galur yang tahan atau toleran terhadap penyakit karat dan bercak daun akhir, seperti galur ICGV 87165, ICGV 86745, dan ICGV 88369 (Soekarno dan Sharma 1989). Galur K/SHM-2-58-B-7 dan N 7620 agak tahan terhadap penyakit bercak daun, berumur genjah (83-85 hari), dan hasilnya tinggi (Kasno dan Trustinah 1993). Saleh (1995a) melaporkan bahwa dari 250 genotipe yang diuji di lapang, enam genotipe bereaksi tahan terhadap penyakit bercak daun. Saleh dan Nugrahaeni (1996) melaporkan terdapat 12 genotipe asal ICRISAT yang diketahui tahan terhadap penyakit bercak daun, namun semuanya rentan terhadap penyakit bakteri layu, kecuali galur ICG 6280 dan ICGV 87073 yang agak tahan. Saleh dan Trustinah (1996) juga melaporkan bahwa dari 51 genotipe asal ICRISAT, 21 genotipe bereaksi agak tahan terhadap penyakit karat, 11 genotipe agak tahan penyakit bercak daun, dan 10 genotipe agak tahan terhadap kedua penyakit tersebut. Beberapa varietas unggul kacang tanah seperti Rusa, Anoa, Kelinci, dan Badak
mempunyai sifat tahan/toleran terhadap penyakit bercak daun dan karat. Varietas Panter, Singa, dan Jerapah bersifat toleran dan agak tahan terhadap bercak daun dan karat. Dua varietas unggul baru kacang tanah yang dilepas pada tahun 2001 yaitu Turangga dan Kancil masing-masing bersifat agak tahan terhadap penyakit bercak daun dan karat (Tabel 1). Penilaian ketahanan varietas kacang tanah terhadap karat dapat ditentukan dengan memerhatikan gejala serangan pada daun yang terinfeksi, yaitu 50% dari luas daun. Apabila gejala tersebut terjadi
pada waktu kurang dari 50 hari setelah tanam (hst), varietas tersebut dianggap peka. Namun, apabila gejala tersebut muncul setelah 60 hst maka varietas tersebut dinilai tahan (Sudjono 1989).
Rotasi Tanaman Sejauh ini belum diketahui adanya tanaman inang jamur bercak daun awal, bercak daun akhir, dan jamur karat selain kacang tanah dan kerabat liarnya dari genus Arachis (Subrahmanyam dan McDonald
Tabel 1. Reaksi ketahanan beberapa varietas unggul kacang tanah terhadap penyakit bercak daun dan karat. . Nama Ketahanan terhadap Tahun Hasil varietas dilepas (t/ha) unggul Bercak daun Karat Gajah Macan Banteng Kidang Rusa Anoa Tapir Pelanduk Tupai Kelinci Landak Mahesa Badak Komodo Biawak Trenggiling Simpai Zebra Panter Singa Jerapah Turangga Kancil
1950 1950 1950 1950 1983 1983 1983 1983 1983 1989 1989 1991 1991 1991 1991 1992 1992 1992 1998 1998 1998 2001 2001
1,6-1,8 1,5-1,8 1,5-1,8 1,2-1,8 1,9 1,8 1,8 1,8-2,0 1,8 2,5-3,1 1,8 1,6 1,5-2,6 1,4-3,3 1,2-3,2 1,8 1,9 2,4 2,6 2,6 1,92 1,4-3,6 1,3-2,4
Peka Peka Peka Peka Tahan Tahan Peka Peka Peka Toleran Peka Toleran Tahan Agak tahan Toleran Toleran Agak tahan Toleran Agak tahan Agak tahan
- = tidak ada keterangan. Sumber: Kasim dan Djunainah (1993); Sunihardi et al. (1999); Balitkabi (2002).
Peka Peka Peka Peka Tahan Tahan Peka Peka Peka Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan Toleran Toleran Tahan Toleran Agak tahan Agak tahan
1983; McDonald et al. 1985). Oleh karena itu, rotasi kacang tanah dengan tanaman lain dapat dilakukan untuk mengurangi intensitas serangan penyakit bercak daun dan karat.
Waktu Tanam Bergantung pada panjang musim dan varietas yang ditanam, waktu tanam dapat diatur untuk mencegah infeksi dari sumber pertanaman lain dan menghindari kondisi lingkungan yang mendorong perkembangan penyakit. Perkembangan penyakit bercak daun sangat dibantu oleh kelembapan udara. Pada kondisi lembap, penyakit sudah berkembang pada tanaman umur 40-45 hari, dan pada kondisi kering penyakit baru berkembang pada umur 70 hari. Tanaman tua selalu menjadi sumber infeksi bagi tanaman muda di sekitarnya. Oleh karena itu, penanaman kacang tanah perlu dilakukan secara serentak.
Sanitasi dan Eradikasi Di daerah tropika, sanitasi lahan perlu mendapat perhatian karena tidak terjadi “sanitasi alami” berupa musim dingin dan musim kering yang panjang. Sanitasi dimaksudkan untuk menekan populasi awal. Namun, untuk dapat melakukan sanitasi yang baik, diperlukan pengetahuan tentang gejala dan daur hidup patogen (Semangun 1989). Untuk beberapa waktu, konidia jamur bercak daun dan urediniospora jamur karat dapat bertahan pada sisa-sisa daun dan brangkasan tanaman kacang tanah setelah panen. Oleh karena itu, membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman dengan cara membakar, membenamkan ke dalam tanah,
atau digunakan untuk pakan ternak merupakan cara pengendalian yang dianjurkan. Tanaman volunter yang tumbuh dari biji yang tertinggal ketika panen juga perlu dihilangkan karena dapat menjadi tempat bertahan jamur (Subrahmanyam dan McDonald 1983; McDonald et al. 1985). Di daerah tropis, urediniospora jamur karat dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman dalam waktu tidak lebih dari empat minggu (Subrahmanyam dan McDonald 1984). Penanaman kacang tanah secara terusmenerus setiap musim mengakibatkan tingginya serangan penyakit bercak daun dan karat. Intensitas serangan kedua penyakit pada tanaman kacang tanah musim tanam kedua umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan musim tanam pertama (Saleh et al. 1991). Spora jamur juga sering ditemukan mengontaminasi permukaan biji dan polong kacang tanah. Namun, viabilitas spora akan hilang setelah disimpan selama 45 hari pada suhu kamar. Sejauh ini belum ada bukti bahwa jamur karat dan bercak daun ditularkan melalui benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih yang terkontaminasi spora dan ditanam pada tanah steril tidak menghasilkan tanaman yang terinfeksi oleh penyakit karat (Subrahmanyam dan McDonald 1983). Penyiangan gulma juga diperlukan. Selain dapat berkompetisi dengan tanaman utama dalam memperoleh unsur hara, gulma juga dapat menciptakan iklim mikro yang membantu perkembangan penyakit.
Cara Kimiawi Di Indonesia, penelitian pengendalian penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah dengan menggunakan fungisida telah banyak dilakukan. Penyemprotan
bubur bordo, mankozeb, dan tembaga oksiklorida sejak tanaman berumur 20 hst dengan selang waktu penyemprotan enam hari dapat menekan penyakit dan meningkatkan hasil kacang tanah (Tjahjani 1975). Fungisida benomil, karbendazim, mankozeb, bitertanol, dan klorotalonil juga efektif menekan penyakit bercak daun (Amir dan Sumantri 1975; Mujim et al. 1989; Neering dan Hardaningsih 1989; Rochyadi dan Ali 1989; Hardaningsih et al. 1992). Untuk mendapatkan hasil polong yang optimal, penyemprotan fungisida perlu dilakukan sebelum atau segera setelah muncul gejala penyakit. Penyemprotan berikutnya dapat dilakukan pada selang waktu 10-14 hari dan dihentikan 2-3 minggu sebelum panen. Dengan demikian, selama periode pertumbuhan tanaman kacang tanah diperlukan lebih kurang enam kali penyemprotan fungisida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi fungisida benomil, mankozeb, klorotalonil, dan bitertanol enam kali pada saat tanaman berumur 4-14 minggu dengan interval dua minggu, dapat menekan intensitas serangan penyakit bercak daun dan karat masing-masing 55-90% dan 2889%, serta meningkatkan hasil kacang tanah. Bahkan dengan pemberian fungisida, umur panen dapat ditunda dan penundaan itu masih meningkatkan hasil. Tanpa aplikasi fungisida, penundaan waktu panen justru menurunkan hasil (Hardaningsih dan Neering 1989). Pada percobaan lain, penggunaan fungisida tiofanat metil, klorotalonil, bitertanol atau kombinasinya yang diaplikasikan 4-5 kali juga dapat menekan penyakit bercak daun dan karat. Perlakuan tersebut juga meningkatkan hasil 23-100% (Saleh dan Hardaningsih 1994). Penyemprotan fungisida 4-5 kali terbukti dapat menekan penyakit dan me-
ningkatkan hasil yang diperoleh. Namun, bagi petani yang kurang mampu, frekuensi penyemprotan fungisida 4-5 kali dirasa cukup mahal. Oleh karena itu, perlu dicari teknologi aplikasi fungisida yang lebih efisien. Aplikasi fungisida tiofanat metil dua kali, yaitu ketika tanaman berumur 7 dan 9 minggu, ternyata dapat menekan serangan penyakit bercak daun dan karat serta meningkatkan hasil 30-50% (Saleh et al. 1993; Saleh 1995b). Analisis usaha tani sederhana menunjukkan bahwa penyemprotan fungisida tiofanat metil dua kali memberikan tambahan hasil per hektar senilai Rp280.000 (harga kacang tanah Rp800/kg). Apabila biaya pembelian fungisida dan ongkos semprot dua kali adalah Rp24.000 maka petani akan memperoleh tambahan pendapatan Rp256.000/ha (Saleh dan Hardaningsih 1994). Meskipun pengendalian kimiawi dengan fungisida terbukti efektif dan menguntungkan, teknologi ini belum sepenuhnya diadopsi petani karena berbagai alasan, yaitu: (1) kesulitan mendapatkan fungisida dan alat semprot; (2) keterbatasan modal; (3) tidak ada kepastian harga; dan (4) keterbatasan pengetahuan tentang penyakit tanaman dan cara pengendaliannya. Keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan pengendalian perlu diambil di lapangan dengan mempertimbangkan tingkat serangan penyakit, kerugian hasil yang akan diakibatkan, biaya untuk melakukan pengendalian, dan perkiraan tambahan pendapatan yang akan diperoleh. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan fungisida dapat berpengaruh terhadap organisme bukan sasaran. Penggunaan fungisida benomil secara terus-menerus dapat meningkatkan serangan penyakit hawar Sclerotium. Demikian pula penggunaan fungisida klo-
rotalonil atau kaptafol dapat meningkatkan serangan penyakit hawar Sclerotinia.
Cara Biologis Di Indonesia, penelitian pengendalian penyakit bercak daun dan karat secara biologis pada kacang tanah belum banyak dilakukan. Di luar negeri, beberapa jenis parasit/jamur yaitu Verticillium lecani (Zimmerim), Penicillium islandicum Sopp., Eudarluca caricis Fr., Acremonium persinicum (Nicot), Darluca filum (Biu), dan Tuberculina costaricana Syd., dilaporkan dapat memarasit jamur Puccinia arachidis. Dilaporkan pula, jamur Dicyma pulvinata (Berk & Curt) dan V. lecani juga dapat memarasit Cercospora arachidicola dan Cercosporidium personatum. Percobaan di rumah kaca menunjukkan bahwa parasitparasit tersebut efektif menekan jamur karat atau bercak daun, namun belum dimanfaatkan secara luas di lapangan (Subrahmanyam dan McDonald 1983; McDonald et al. 1985).
Optimalisasi Pengendalian Untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman, pemerintah telah menetapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 3/1986, yang diperkuat dengan UU No. 12/ 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Untung 1993). Menurut UU No. 12/1992, yang dimaksud dengan sistem pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan
organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah dan mengurangi timbulnya kerugian secara ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup. Paling sedikit ada dua teori yang melandasi konsep PHT, yaitu keseimbangan alami yang dinamis dan toleransi tanaman terhadap suatu tingkat populasi hama/penyakit. Teori pertama menegaskan bahwa meskipun ekosistem pertanian monokultur kurang stabil dibanding ekosistem alami, mekanisme pengendalian untuk mempertahankan populasi hama agar tetap berada pada aras keseimbangannya masih berjalan. Aras keseimbangan ini dapat diturunkan melalui pengelolaan ekosistem yang tepat, seperti penanaman varietas tahan, pengaturan pola tanam, pergiliran tanaman, pengaturan pemupukan, pengairan, dan penerapan teknik budi daya lainnya. Teori kedua menerangkan bahwa setiap tanaman mempunyai toleransi tertentu terhadap tingkat populasi hama/ penyakit dan kerusakan tanaman. Selama aras toleransi ini tidak dilampaui, keberadaan populasi hama/penyakit tidak menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani. Berdasarkan konsep PHT tersebut, untuk mengendalikan penyakit pada tanaman kacang tanah, petani harus melakukan berbagai tindakan yang diintegrasikan dalam usaha kultur teknik (Saleh dan Hardaningsih 1998). Pengendalian penyakit secara terpadu pada kacang tanah di lahan sawah sesudah padi dapat meningkatkan hasil hingga 50,8% (Saleh dan Hardaningsih 2000) . Dalam konsep PHT, usaha pengendalian tidak dimaksudkan untuk memberantas hama/penyakit sampai habis, namun diarahkan agar populasinya tidak melam-
paui ambang ekonomi (economic threshold). Ambang ekonomi yaitu suatu kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah terjadinya peningkatan populasi berikutnya sehingga mencapai tingkat kerusakan ekonomi (economic damage), yaitu tingkat kerusakan yang membenarkan adanya pengeluaran biaya untuk pengendalian hama (Stern et al. 1959). Dari pengertian tersebut tampak bahwa ambang ekonomi merupakan aras keputusan tindakan pengendalian sehingga beberapa ahli menggunakan istilah ambang tindakan atau ambang pengendalian. Untuk itu, pemantauan secara berkala terhadap agroekosistem pertanaman dengan memerhatikan populasi awal dan keadaan iklim sangat diperlukan dan menjadi dasar untuk tindakan pengendalian. Untuk memahami hal tersebut, dikemukakan kurva perkembangan epidemi suatu penyakit oleh Zadoks dan Schein (1979) (Gambar 1). Dengan memerhatikan kurva pada Gambar 1, petani dapat melakukan berbagai cara untuk menghambat laju perkembangan penyakit. Kurva-1 menggambarkan perkembangan penyakit secara alamiah dalam kondisi yang sesuai sehingga akan menyebabkan kerusakan dan mencapai ambang ekonomi jauh sebelum waktu panen. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan dapat dimulai sebelum tanam dengan tindakan sanitasi (a) terhadap lingkungan maupun bahan tanaman, yang berarti menekan inokulum awal (Xo), atau mengatur waktu tanam (b) sehingga saat kepekaan tanaman tidak bersamaan dengan penyebaran spora. Tindakan ini akan menggeser kurva ke kanan (kurva-2), yang berarti penyakit akan mencapai ambang ekonomi pada saat men-
dekati panen sehingga kerusakan dan kerugian yang diakibatkan lebih kecil. Skenario lain adalah apabila perkembangan penyakit diduga akan mencapai ambang ekonomi, segera dilakukan penyemprotan fungisida baik yang bersifat protektif (d) maupun eradikatif (e) pada saat yang tepat, yaitu ambang kendali sehingga akan menggeser kurva ke kanan (kurva-2). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan menyemprotkan fungisida secara berkala (f) yang akan mengubah perkembangan penyakit mengikuti kurva-3, yang berarti penyakit tidak mencapai garis ambang sampai waktu panen. Skenario alternatif lain adalah menanam varietas dengan ketahanan vertikal yang tinggi, yang berarti mengurangi laju infeksi (r) sehingga perkembangan penyakit tidak mencapai garis ambang ekonomi (kurva-4). Untuk menentukan periode umur tanaman yang menunjukkan kepekaan yang kritis sehingga menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil, dapat didekati dengan model titik kritis (Zadoks dan Schein 1979). Model titik kritis penyakit bercak daun pada kacang tanah adalah Y = 312,533,70X, yang berarti hasil kacang tanah (Y) akibat serangan penyakit bercak daun dapat diduga dari tingkat serangan penyakit pada umur 87 hari (Sastrahidayat 1989). Untuk melaksanakan PHT di tingkat petani, terdapat empat prinsip penerapan, yaitu: (1) budi daya tanaman sehat, (2) pelestarian dan pemberdayaan fungsi musuh alami, (3) pemantauan lahan, dan (4) petani menjadi ahli PHT di lahannya. Meskipun konsep dasar PHT dikembangkan dari hama tanaman, prinsip-prinsip penerapannya dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman, termasuk pe-
Waktu panen
Waktu tanam Awal tanam
Xh
Tingkat kerusakan ekonomi
Xd
1
2 3
50%
X0,5
f 4
Ambang tindakan
e
Xa d Xf c
Inokulum awal
b
Xo
10,5 a
1
Gambar 1. Kurva perkembangan penyakit tanaman.
nyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah.
•
Budi Daya Tanaman Sehat
•
Tanaman kacang tanah yang sehat, tegar, dan kuat mempunyai ketahanan yang lebih baik dibandingkan tanaman yang tumbuh merana. Oleh karena itu, semua teknologi budi daya harus dapat menghasilkan tanaman yang sehat dan berproduktivitas tinggi, yang meliputi: • Pengaturan pola tanam dan rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan
• •
inang penyakit bercak daun dan karat. Pemilihan varietas kacang tanah yang tahan atau toleran terhadap jamur bercak daun dan karat. Penentuan saat tanam yang tepat (tidak bersamaan dengan puncak penyebaran spora jamur dan kondisinya mendukung perkembangan penyakit). Pengolahan tanah untuk membantu tanaman tumbuh optimal. Sanitasi lingkungan serta eradikasi sumber inokulum, berupa brangkasan tanaman kacang tanah yang terserang penyakit bercak daun dan karat, untuk menghilangkan atau mengurangi sum-
•
•
•
•
ber inokulum penyakit bercak daun dan karat. Pemupukan yang seimbang (tidak berlebih pupuk N yang mengakibatkan tanaman lebih rentan terhadap infeksi penyakit). Pengairan yang optimal sehingga tanaman tidak mengalami cekaman kekeringan. Pengendalian gulma karena merupakan pesaing tanaman dalam mendapatkan hara dan menciptakan iklim mikro yang kondusif bagi perkembangan penyakit. Panen pada saat yang tepat dan tidak membiarkan tanaman lebih lama terpapar gangguan di lapangan.
Pelestarian dan Pemberdayaan Musuh Alami Meskipun beberapa jamur telah diidentifikasi bersifat antagonis dan dapat menekan perkembangan penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah, sejauh ini baik di luar negeri maupun di dalam negeri, pemanfaatannya untuk mengendalikan kedua penyakit tersebut belum optimal. Penggunaan fungisida yang selektif dan efektif terhadap jamur bercak daun dan atau karat pada kacang tanah pada periode kritis diharapkan dapat meningkatkan peran jamur antagonis tersebut. Penggunaan fungisida berspektrum luas sedapat mungkin dihindarkan.
Pemantauan Lahan Secara Berkala Jamur bercak daun dan karat umumnya mulai menyerang tanaman kacang tanah pada umur 3-5 minggu, dan berkembang seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Laju perkembangan penyakit di
lapangan sangat ditentukan oleh populasi awal dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit. Oleh karena itu, pemantauan secara berkala terhadap perkembangan intensitas serangan penyakit bercak daun dan karat serta memerhatikan kondisi lingkungan yang diperkirakan akan membantu perkembangan penyakit perlu dilakukan.
Petani Menjadi Ahli PHT di Lahannya Pada dasarnya petani adalah penanggung jawab, pengelola, dan penentu keputusan di lahannya sendiri. Oleh karena itu, petani perlu dilatih untuk menjadi ahli PHT. Sebagai ahli PHT, petani harus mampu menjadi pengamat, penganalisis ekosistem, pengambil keputusan, dan pelaksana teknologi pengendalian yang sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. PHT yang mendasarkan pada pengelolaan ekosistem, akan memberi hasil optimal apabila dilakukan oleh kelompok petani sehamparan. Prinsip ini juga selaras dengan penyakit bercak daun dan karat kacang tanah yang penyebaran dan penularannya melalui konidia dan urediniospora yang kecil, ringan, dan dibantu oleh angin, sehingga mudah tersebar pada hamparan luas, tidak terbatas pada satu petakan lahan. Oleh karena itu, agar pengendalian penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah memberi hasil yang optimal, tindakan pengendalian hendaknya tidak dilakukan secara perorangan dalam skala luasan yang sempit, tetapi secara bersama dalam kelompok tani dan mencakup hamparan yang luas. Semua tindakan sejak perencanaan hingga pelaksanaan perlu didiskusikan bersama dalam kelompok dengan bimbingan tenaga terlatih. Prog-
ram Sekolah Lapang Pengendalian HamaPenyakit Terpadu (SLPHT) yang sudah berkembang pada kelompok tani komoditas padi dan sedang dikembangkan pada komoditas palawija khususnya kedelai, perlu pula dikembangkan pada kacang tanah. Bimbingan teknis secara langsung di lapangan sangat membantu adopsi teknologi dan keberhasilan usaha peningkatan produktivitas kacang tanah di Indonesia (Saleh et al. 1994).
secara berkelompok dan mencakup hamparan yang luas. Pembentukan kelompok-kelompok petani kacang tanah, penyelenggaraan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) kacang tanah, dan pemberian bimbingan teknis sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas kacang tanah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penyakit bercak daun awal, bercak daun akhir, dan karat merupakan penyakit utama pada sentra produksi kacang tanah dan mengakibatkan kerugian yang besar sehingga perlu dikendalikan. 2. Pola perkembangan epidemi penyakit bercak daun dan karat di lapangan mengikuti pola bunga berganda (compound interest). 3. Berdasarkan pola perkembangan epidemi tersebut, strategi pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara menekan proporsi tanaman sakit pada saat awal, memperkecil laju infeksi, dan memperpendek/mempersingkat waktu terjadinya epidemi. 4. Upaya pengendalian penyakit secara terpadu (PHT) dapat dilakukan dengan mengatur pola tanam, rotasi tanaman, mengatur saat tanam, menanam varietas kacang tanah yang tahan atau toleran, melakukan sanitasi lingkungan dan eradikasi tanaman sakit, dan apabila diperlukan menggunakan fungisida. 5. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tindakan pengendalian perlu dilakukan
Amir, M. dan O. Sumantri. 1975. Pemberantasan beberapa penyakit padi dan kacang-kacangan dengan fungisida. Kongres Nasional PFI V, Malang 18-20 Januari 1975. 8 hlm. Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian). 2002. Deskripsi Varietas Unggul Kacang Tanah. Balitkabi, Malang. BPS. 1995. Survei Pertanian. Luas dan Intensitas Serangan Jasad Pengganggu Padi dan Palawija di Indonesia. BPS, Jakarta. 241 hlm. Ditjentan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan). 2002. Tantangan dan Peluang Pengembangan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian dalam rangka Mendukung Ketahanan Pangan. Ditjentan, Jakarta. 20 hlm. Freeman, H.A., S.N. Nigam, T.G. Kelly, B.R. Ntare, P. Subrahmanyam, and D. Boughton. 1999. The World Groundnut Economy. Fact, Trends, and Outlook. ICRISAT, Patancheru, Andhra Pradesh, India. 48 pp. Hardaningsih, S. dan K.E. Neering. 1989. Pengendalian kimiawi penyakit bercak daun Cercospora dan karat pada kacang tanah. hlm. 15-18. Risalah Hasil Pene-
litian Tanaman Pangan. Balittan Malang. Hardaningsih, S., N. Saleh, dan K.E. Neering. 1992. Pengendalian kimiawi penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah di Tuban. hlm. 77-81. Risalah Hasil Penelitian Kacang Tanah di Tuban Tahun 1991. Balittan, Malang. Holliday, P. 1980. Fungus Diseases of Tropical Crops. Cambridge Univ. Press., Cambridge. 607 pp. ICRISAT. 1989. ICRISAT Annual Report. 1989. ICRISAT, Patancheru, Andhra Pradesh, India. 335 pp. Jusfah, J. 1985. Pengaruh Cercospora personata terhadap hasil kacang tanah (Arachis hypogaea). hlm. 81-82. Kongres Nasional VIII PFI, Jakarta, Oktober 1985. Kasim, H. dan Djunainah. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Palawija, Jagung, Sorgum, Kacang-kacangan, dan Umbiumbian 1918-1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 155 hlm. Kasno, A. dan Trustinah. 1993. Identifikasi galur-galur kacang tanah umur genjah dan tahan penyakit daun. hlm. 87-95. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. McDonald, P. Subrahmanyam, R.W. Gibbons, and D.H. Smith. 1985. Early and late leaf spot of groundnut. Information Bull. No. 21. ICRISAT. 19 pp. Miller, I.L., A.J. Norden, D.A. Knauft, and D.W. Gorbet. 1990. Influence of maturity and fruit yield on susceptibility of peanut to Cercosporidium personatum (late leafspot pathogen). Peanut Sci. 17(2): 52-58. Mujim, S., Efrit, dan M. Nurdin. 1989. Pengaruh fungisida Cupravit dan Del-
sene MX-200 terhadap bercak daun Cercospora pada kacang tanah. Dalam Subandi, S. Sunarno, dan A. Widjono (Eds.). hlm. 365-371. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Neering, K.E. dan S. Hardaningsih. 1989. Pengaruh beberapa fungsida terhadap penyakit-penyakit bercak daun, karat dan hasil kacang tanah. hlm. 138-141. Prosiding Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah PFI, Denpasar, 14-16 November 1989. Rochyadi, A. dan Y. Ali. 1989. Lama kemampuan residu beberapa fungisida sistemik menghambat serangan jamur Cercospora spp. penyebab bercak daun kacang tanah. hlm. 147-149. Prosiding Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah PFI, Denpasar, 14-16 November 1989. Saleh, N. 1989. The importance of disease resistance for upland crops in ricebased farming systems. p. 75-79. Proceeding of the International Workshop on Varietal Improvement of Chickpea, Pigeonpea, and Other Upland Crops in Rice-Based and Other Cropping Systems, Kathmandu, Nepal, 19-23 March 1989. Saleh, N., Supriyatin, Marwoto, dan S. Hardaningsih. 1991. Status hama dan penyakit tanaman kacang tanah di Kabupaten Tuban dan usaha pengendaliannya. hlm. 63-70. Risalah Hasil Penelitian Kacang Tanah di Tuban, 1991. Balai Penelitian Tananam Pangan Malang. Saleh, N., T. Adisarwanto, A. Harsono, dan Purwanto. 1993. Penelitian pengembangan teknologi budi daya kacang tanah. hlm. 175-187. Teknologi untuk
Menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. Saleh, N., A. Harsono, T. Adisarwanto, dan Sumarno. 1994. Rakitan paket teknologi budi daya kacang tanah untuk lahan tegal di Jawa Timur. Edisi Khusus Balittan Malang No. 1: 124-137. Saleh, N. dan S. Hardaningsih. 1994. Efisiensi penggunaan fungisida dalam mengendalikan penyakit bercak daun dan karat pada kacang tanah. hlm. 293-299. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1993. Balittan Malang. Saleh, N. 1995a. Evaluasi ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun dan karat. Edisi Khusus Balitkabi No. 1: 71-75. Saleh, N. 1995b. Control of rust and leafspot disease of groundnut. p. 39-49. In On-farm Research for Groundnut and Pigeon Pea Production Technique in Indonesia. MARIF. Saleh, N. and N. Nugrahaeni. 1996. Evaluating groundnut genotype for resistance to late leafspot, rust and bacterial wilt in Indonesia. Int. Arachis Newsl. No.16: 13-15. Saleh, N. and Trustinah. 1996. Evaluating advanced groundnut lines for resistance to late leafspot and rust in Indonesia. Int. Arachis Newsl. No.16: 1517. Saleh, N. dan S. Hardaningsih. 1998. Pengendalian penyakit utama pada tanaman kacang tanah. Edisi Khusus Balitkabi No.12: 115-123. Saleh, N. dan S. Hardaningsih. 2000. Pengendalian terpadu penyakit tanaman kacang tanah di lahan sawah setelah padi. Edisi Khusus Balitkabi No. 16: 329-335.
Sastrahidayat, I.R. 1989. Penggunaan model critical point dan multiple point pada hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) terhadap penyakit bercak daun Cercospora. hlm. 81-85. Risalah Seminar Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Semangun, H. 1989. Ekologi patogen tropika dan pemanfaatannya dalam mengendalikan penyakit tumbuhan. hlm. 1-11. Prosiding Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Denpasar. Semangun, H. 1990. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. 449 hlm. Soekarno, B. dan D. Sharma. 1989. Evaluasi ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit karat dan bercak daun. Penelitian Palawija 4(2): 93-101. Stern, V.M., R.E. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia 29: 81-101. Subrahmanyam, P. and McDonald. 1983. Rust disease of groundnut. Inform. Bull. No. 13. ICRISAT. 15 pp. Subrahmanyam, P. and McDonald. 1984. Groundnut rust disease; epidemiology and control. p. 27-39. In Groundnut Rust Disease. ICRISAT, Patancheru, Andhra Pradesh, India. Sudjono, M.S. 1989. Ketahanan varietas unggul dan kehilangan hasil kacang tanah terhadap penyakit karat dan bercak daun Cercospora. Penelitian Pertanian 9(1): 19-22. Sunihardi, Yunastri, dan S. Kurniasih. 1999. Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 66 hlm. Tjahjani, A. 1975. Penggunaan fungisida dalam pemberantasan penyakit karat
pada beberapa varietas kacang tanah. Kongres Nasional III dan Seminar Ilmiah PFI, Cibogo, 22-26 Februari 1975. 9 hlm. Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. 273 hlm.
van der Plank, J.E. 1963. Plant Disease: Epidemics and control. Acad. Press, New York. 349 pp. Zadoks, J.C. and R.D. Schein. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford Univ. Press, New York. 427 pp.