EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN PENYAKIT BERCAK DAUN (Helminthosporium sp.) PADA TANAMAN JAGUNG Syahrir Pakki Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274 Maros 90154
ABSTRAK Salah satu kendala dalam meningkatkan dan mempertahankan produksi jagung adalah serangan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Helminthosporium sp. Penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil hingga 59%, terutama bila infeksi terjadi sebelum bunga betina keluar. Spesies yang dominan menyerang pertanaman jagung di dataran rendah adalah Helminthosporium maydis. Konidia pada media potato dextrose agar (PDA) terlihat setelah 6 hari dan makin banyak setelah 12 hari. Gejala visual awal penyakit tampak 13 jam setelah tanaman terinfeksi berupa titik basah yang makin jelas dan berwarna cokelat kekuningan setelah 5−6 hari. Terdapat 13 spesies rumput yang dapat menjadi inang alternatif H. maydis. Di Maros, spesies Rottboellia exaltata tergolong paling rentan. Setiap isolat juga memperlihatkan virulensi yang bervariasi. Isolat asal Lassang (Takalar), Pakkatto (Gowa), Caramming, dan Tana Lemo (Bulukumba) memperlihatkan virulensi yang lebih tinggi daripada isolat lainnya. Perkembangan H. maydis terhambat pada suhu 35oC, dan iklim terbaik untuk perkembangannya adalah suhu sekitar 30oC, sebaran hari hujan tinggi selama musim tanam, kelembapan sekitar 90%, dan radiasi matahari harian rendah, sekitar 41,20%. Penyakit dapat dikendalikan dengan tanam lebih awal untuk pertanaman musim hujan, penyemprotan fungisida berbahan aktif carbendazim 6,20% + mankozeb 73,80% dan mankozeb 80% dengan dosis 2 g/l air, serta penggunaan varietas tahan Bisma dan Semar-2. Kata kunci: Jagung, Helminthosporium sp., epidemiologi, pengendalian
ABSTRACT Epidemiology and control of corn leaf blight disease caused by Helminthosporium sp. One of the constraints in increasing and maintaining maize production is the presence of corn leaf blight disease caused by Helminthosporium sp. The disease causes 59% yield loss, especially when infection occurs before silking. Dominant species of the pathogen which attacks maize in lowland is Helminthosporium maydis. Conidia in potato dextrose agar ( PDA) plates appeared after 6 days and more conidia were found after 12 days. Visual symptoms of the disease appeared at 13 hours after infection as wet small lesion and become yellowish brown after 5−6 days. There were 13 species of grasses known as alternate hosts of H. maydis. In Maros, Rottboellia exaltata was found as the most susceptible grass to H. maydis. There was also variation of virulence of each isolate. Isolates from Lassang (Takalar), Pakkatto (Gowa), Caramming, and Tana Lemo (Bulukumba) showed high rate of virulence among others. Development of the pathogen was impeded at temperature of 35oC and the best climate condition for its development was temperature of 30oC, high rate of rainy days, relative humidity at 90%, and low daily radiation at 41.20%. Control management can be done by early planting in wet season, using fungicide carbendazim 6.20% + mancozeb 73.80% and mancozeb 80% with 2 g/l, and using resistant varieties Bisma and Semar-2. Keywords: Zea mays, Helminthosporium sp, epidemiology, control
P
enyakit bercak daun yang disebabkan oleh Helminthosporium sp. merupakan salah satu penyakit utama pada jagung setelah bulai. Patogen ini menular melalui udara sehingga mudah menyebar. Kehilangan hasil akibat bercak daun mencapai 59%, terutama bila penyakit menginfeksi tanaman sebelum bunga betina keluar (Poy 1970).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
Perkembangan penyakit ditentukan oleh kondisi lingkungan. Suhu optimal untuk perkembangan penyakit adalah 20− 30oC (Schenck dan Steller 1974). Keadaan suhu tersebut umum dijumpai pada areal pertanaman jagung di Indonesia sehingga Helminthosporium sp. hampir selalu ditemukan pada setiap musim tanam. Patogen dalam bentuk miselium dorman
juga mampu bertahan hingga satu tahun pada sisa tanaman jagung (Shurtleff 1980; Sumartini dan Srihardiningsih 1995) sehingga penyakit bersifat laten serta mampu menyebabkan serangan secara sporadis yang serius terutama pada varietas rentan. Di Indonesia sebaran spesies Helminthosporium sp. dan varietas jagung 101
unggul yang tahan belum banyak dilaporkan, sehingga kajian terhadap biologi, dominasi spesies, virulensi, pengaruh cekaman abiotik, inang alternatif yang spesifik untuk iklim tropis, dan varietas tahan perlu dilakukan sebagai basis data dalam upaya pengelolaannya. Makalah ini membahas hasil-hasil penelitian tentang epidemiologi dan upaya pengendalian penyakit bercak daun pada tanaman jagung.
EPIDEMIOLOGI Biologi dan Media Tumbuh Gejala visual yang menunjukkan ciri khas serangan Helminthosporium maydis adalah bercak agak memanjang, bagian tengah agak melebar, makin ke pinggir makin kecil, berwarna cokelat keabuan, dikelilingi oleh warna kekuningan sejajar tulang daun. Isolat H. maydis yang ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) berwarna hitam putih keabuan dengan zonasi beraturan dan tidak beraturan. Konidia mulai terlihat setelah 6 hari dan semakin banyak pada 12 hari. Bentuk konidia agak melengkung, ujungnya tumpul, bersekat 3−10 buah (Dickson 1956; Pakki et al. 1997b; Shurtleff 1980; Gambar 1). Gejala awal pada varietas yang peka terlihat 13 jam setelah infeksi, berupa titik transparan agak basah yang kemudian makin membesar dan warnanya menjadi cokelat kekuningan setelah 5−6 hari (Pakki et al. 1997a). Rahamma et al. (1998) malaporkan bahwa pertumbuhan H. maydis pada media oat milk, beras jagung, jerami jagung, dan PDA lebih cepat dibanding pada media lainnya. Namun, keadaan ini tidak diikuti oleh jumlah konidia yang terbentuk. Media beras jagung, jerami jagung, dan PDA menghasilkan konidia 48.000−58.666/ml. Hasil uji lanjutan dengan menginokulasikannya pada tanaman jagung membuktikan bahwa suspensi inokulum H. maydis dapat menimbulkan bercak terbanyak pada media beras jagung, jerami jagung, dan PDA. Ini disebabkan jumlah konidia yang terbentuk dan diinokulasikan pada daun jagung lebih banyak sehingga potensi menginfeksi juga lebih besar dibanding media lain. Media yang sesuai untuk pertumbuhan sebagian besar jamur adalah media yang mengandung karbohidrat 102
tinggi. Pada media tersebut, spora yang terbentuk lebih banyak dibanding pada media yang miskin karbohidrat (Streets 1980). Kecepatan tumbuh, jumlah konidia, dan jumlah bercak H. maydis pada berbagai media tumbuh disajikan pada Tabel 1. Menurut Massie (1973), sporulasi H. maydis di lapang terjadi pada permukaan tanaman yang terinfeksi. Setelah itu spora lepas, kemudian terbawa oleh angin dan hinggap pada permukaan tanaman yang lain. Selanjutnya spora beradhesi, melakukan penetrasi awal, kemudian membentuk bercak dan berkembang. Siklus hidup cendawan H. maydis berlangsung 2–3 hari. Dalam 72 jam satu bercak mampu menghasilkan 100–300 spora (Govitawawong dan Kengpiem 1975). Dengan demikian penyakit bercak daun berpotensi berkembang cepat pada areal pertanaman jagung dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang berarti, sekitar 59% (Poy 1970).
Gambar 1.
Sebaran dan Dominasi Spesies H. maydis merupakan spesies yang dominan di sentra-sentra pertanaman jagung pada dataran rendah di Sulawesi Selatan (Tabel 2). Di Indonesia baru dua spesies yang dilaporkan menyerang tanaman jagung, yaitu H. turcicum dan H. maydis (Sudjono 1988). Dickson (1956) juga mengindentifikasi tiga spesies Helminthosporium sp. yang sering ditemukan yaitu H. maydis, H. turcicum, dan H. carbonum. Spesies H. maydis ditemukan pada dataran rendah dengan suhu optimum 20−30oC (Shurtleff 1980). Keadaan suhu ini umumnya ditemukan pada areal pertanaman jagung sehingga memberi peluang berkembangnya H. maydis dibanding spesies lain. Tanaman jagung yang diusahakan pada awal dan akhir musim hujan juga dapat mendukung perkembangan H. maydis pada awal pertumbuhan tanaman, sehingga H.
Bentuk konidia dan gejala visual daun jagung terinfeksi Helminthosporium maydis.
Tabel 1. Kecepatan tumbuh, jumlah konidia, dan jumlah bercak Helminthosporium maydis pada beberapa jenis media. Jenis media Beras jagung Jerami jagung Gabah Sorgum Oat milk PDA
Kecepatan tumbuh (cm/hari)
Jumlah konidia/ ml
Bercak yang ditimbulkan setelah inokulasi
1,25 1,25 1,20 1,18 1,28 1,24
53.330 58.666 16.000 16.000 21.333 48.000
19,20 19,30 4,80 5,70 6,20 18,20
Sumber: Rahamma et al. (1998).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
Tabel 2. Sebaran dan virulensi Helminthosporium maydis asal Sulawesi Selatan. Intensitas di lapangan
Intensitas infeksi hasil inokulasi
Kabupaten
Kecamatan/desa
Keadaan geografi
Maros
Mallawa/Mattampapole Maros Baru/Allepolea Bantimurung/Bantimurung
(1-3)* 60** (1-3) 60 (1-3) 55
7* 7 7
Dataran rendah Dataran rendah Dataran rendah
Bone
Lapri/Ujung Lamuru Ulaweng Cinnong/Ulaweng
(1-3) 70 (3-5) 80
9 7
Dataran rendah Dataran rendah
Bulukumba
Bontotiro/Dwitiro I Bontotiro/Dwitiro II Bontotiro/Buhung Lantang Bontobahari/Caramming Bontobahari/Tana Lemo Bulukumpa/Batukaropa I Bulukumpa/Batukaropa II Bulukumpa/Palampang Bulukumpa/Palampang luar
(1-3) (3-5) (1-3) (1-3) (1-3) (1-3) (1-3) (1-3) (1-3)
85 60 55 50 50 60 80 60 65
7 7 7 9 9 7 5 7 5
Dataran Dataran Dataran Dataran Dataran Dataran Dataran Dataran Dataran
rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
Sinjai
Sinjai Selatan/Sangiasseri Sinjai Selatan/Talle I Sinjai Selatan/Talle II Sinjai Timur/Tondong
(1-3) (1-3) (1-3) (1-3)
40 35 60 40
7 7 5 5
Dataran Dataran Dataran Dataran
rendah rendah rendah rendah
Jeneponto
Binamu/Binamu
(1-3) 80
5
Dataran rendah
Gowa
Tinggi Moncong/Bontobili Tinggi Moncong/Pakatto
(1-3) 70 (1-3) 90
7 9
Dataran rendah Dataran rendah
Barru
Mallusetasi/Bajo I Mallusetasi/Bajo II Mallusetasi/Mallusetasi
(1-3) 30 (3-5) 60 (1-3) 70
7 7 7
Dataran rendah Dataran rendah Dataran rendah
Polmas
Campalagiang/Loleko Tinambung/Pambusuang
(1-3) 65 (1-3) 60
5 7
Dataran rendah Dataran rendah
Luwu
Bone-Bone/Mariri I Bone-Bone Belopa/Wara Belopa/Belopa Belopa/Batue
(1-3) (1-3) (1-3) (1-3) (1-3)
55 70 70 70 70
7 7 9 9 7
Dataran Dataran Dataran Dataran Dataran
rendah rendah rendah rendah rendah
Sidrap
Pancalautang/Belokka I Pancalautang/Belokka II Massepe/Alikang Massepe/Massepe
(1-5) (1-5) (1-3) (3-5)
30 40 20 20
7 9 7 9
Dataran Dataran Dataran Dataran
rendah rendah rendah rendah
Enrekang
Enrekang
(1-3) 60
7
Dataran rendah
Takalar
Pattallassang/Lassang
(3-5) 30
9
Dataran rendah
Wajo
Ajang Uleng/Attapange Mario/Tanah Sitolo
(1-3) 60 (1-3) 70
5 5
Dataran rendah Dataran rendah
Soppeng
Lilirilau/Boringen Lilirilau/Bengo Marioriawa/Panincong
(1-3) 60 (1-3) 60 (1-3) 70
5 5 5
Dataran rendah Dataran rendah Dataran rendah
* = nilai skor H. maydis (Mayee dan Datar 1986), ** = umur tanaman, 0 = tidak ada infeksi, 1 = lebih kecil 1% dari permukaan daun dengan bercak warna terang, 3 = gejala pada daun terbawah meliputi 1−10%, 5 = bercak pada daun bawah dan tengah meliputi 11−25%, 7 = bercak pada semua daun meliputi 26−50% daun bawah mati, 9 = bercak pada semua daun lebih besar 50%, daun tengah, bawah dan kadang tanaman mati. Sumber: Pakki et al. (1997a).
maydis dijumpai pada berbagai umur tanaman dan tersebar luas di Sulawesi Selatan (Tabel 2). Di Lassang (Takalar) dan Massepe (Sidrap), tanaman berumur sekitar 20 hari terinfeksi dengan intensitas 25%, yang berarti H. maydis mempunyai potensi merusak yang tinggi, terutama Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
pada jagung yang ditanam pada awal musim hujan. Uji virulensi (Pakki et al. 1997a) memperlihatkan bahwa isolat Lassang (Takalar), Pakkatto (Gowa), Caramming, Tana Lemo (Bulukumba), Massepe dan Pancalautang (Sidrap), dan Lapri (Bone)
memiliki tingkat virulensi yang tinggi, intensitas lebih dari 50% dan menyebabkan beberapa tanaman mati (skor 9). Isolat-isolat tersebut menimbulkan tingkat kerusakan yang relatif cepat dibanding isolat lainnya. Virulensi yang tinggi menyebabkan varietas tahan tidak efektif 103
untuk pengendalian karena patogen mampu mengatasi gen tahan, sehingga varietas yang semula tahan dapat menjadi rentan.
Inang Alternatif Terdapat tiga spesies gulma yang dapat menjadi inang alternatif H. maydis yaitu Leptochloa chinensis, Digitaria ciliaris, dan Echinochloa colona (Koesnang et al. 1996). Hasil uji lanjut inang alternatif menunjukkan bahwa dari 28 jenis rumput yang diinokulasi, 13 jenis terinfeksi H. maydis dan Rottboellia exaltata tergolong yang paling rentan (Tabel 3). Hal ini berarti 13 jenis rumput dapat menjadi inang H. maydis dan baru pertama kali dilaporkan di Indonesia. Govitawawong dan Kengpiem (1975) melaporkan terdapat enam jenis rumput yang terinfeksi H. maydis, yaitu Jonhson grass, R. exaltata, Setaria sphacelata, Pennisetum setosum, Sorghum vulgare, dan Brachiaria decumbens. Spesies R. exaltata pada
kondisi lapang sangat rentan sehingga jenis rumput ini cukup potensial sebagai sumber inokulum awal. Spesies-spesies rumput tersebut dominan ditemukan pada areal pertanaman jagung sehingga dapat menjadi sumber inokulum awal yang penting. Akibatnya H. maydis selalu ditemukan pada setiap musim tanam.
Pengaruh Lingkungan Abiotik Pertumbuhan miselia H. maydis cenderung meningkat mengikuti peningkatan suhu (Gambar 2). Rata-rata kecepatan pertumbuhan pada suhu 20oC, 25oC, dan 30oC berturut-turut adalah 3,30; 7,44; dan 12,32 mm/hari (Tabel 4). Pada suhu 35 oC pertumbuhan H. maydis tertekan dan hanya mencapai 1,47 mm/hari (Rahamma et al. 1997). Kelembapan juga mempengaruhi pertumbuhan H. maydis. Pada kelembapan > 90% pertumbuhan miselia lebih cepat (11,51 mm/hari) dibanding pada kelembapan < 90% (7,44 mm/hari). Semakin rendah kelembapan, pertum-
Tabel 3. Reaksi beberapa spesies rumput terhadap penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Helminthosporium maydis. Nama rumput
Reaksi
Axonopus compressus (Sw. Beav) Brachiaria distachya (L) Stapt Brachiaria paspaloides (Presl.) C.E. Hubb Brachiaria reptans (L) Cardn & Hubb Cenchrus echinatus L. Chloris barbata Sw. Chrysopogon aciculatus (Retz.) Trin. Cynodon dactylon (L) Pers. Digitaria ciliaris (Retz.) Koel Digitaria longiflora (Retz.) Pers. Digitaria nuda (Schumach). Digitaria sp. (Tegak, berbulu) Dactyloctenium aegyptium (L.) Beauv. Echinochloa colona (L.) Link. Echinochloa crusgalli (L.) Link Eleusine indica Gaertn. Ischaemum rugosum Salisb Ischaemum timorense Leplochloa chinensis (L. Ness). Panicum repens L. Panicum maximum Iacqi Paspalum distichum L. Paspalum conjugatum Perg. Rottboellia exaltata Lf. Rhynchelitrium repens Willd. C.E. Hubb. Setaria geniculata (Lam) Beauv. Sporobolus indicus (L) R. Beauv. Polytrias amaura * = terinfeksi dengan gejala bercak nekrosis; − = tidak ada bercak. Sumber: Wakman et al. (1997).
104
− − − − * − * − − − − * * * * * * * * − * − * − − − *
buhan miselia makin lambat. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi terbaik untuk perkembangan H. maydis adalah pada suhu sekitar 30oC dengan kelembapan > 90%. Pada varietas hibrida yang rentan, ukuran bercak H. maydis meningkat pada suhu 20−30oC. Demikian pula pada galur-galur inbrida, sporulasi dan ukuran bercak meningkat pada suhu 15−30oC (Nelson dan Tung 1973; Warren 1975). Sudjono (1990) mengemukakan bahwa dengan curah hujan yang rendah (6−16,50 mm/bulan) pada musim kemarau, intensitas penyakit hawar daun sangat rendah dibanding pada musim hujan dengan curah hujan 210−480 mm/bulan. Perkembangan penyakit tersebut berkaitan dengan suhu dan kelembapan. Pada musim kemarau, suhu udara meningkat dan kelembapan pada siang hari menurun. Sebaliknya pada musim hujan suhu siang hari lebih rendah dan stabil serta kelembapan cenderung lebih tinggi dengan variasi tidak ekstrim. Kondisi tersebut mengakibatkan sporulasi H. maydis meningkat atau spora di udara cukup tersedia sehingga peluang terjadinya infeksi cukup besar. Akibatnya intensitas serangan selalu lebih tinggi pada musim hujan dibanding musim kemarau. Intensitas serangan H. maydis juga dipengaruhi oleh iklim. Pada sebaran hari hujan lebih tinggi dengan kelembapan lebih besar (83,20%) serta sebaran radiasi harian matahari yang rendah (38,15%), jumlah bercak yang ditemukan lebih tinggi (Tabel 5). Keadaan ini cukup kondusif bagi perkembangan H. maydis. Pengaruh waktu tanam dengan interval 10 hari (W1–W7) yang dimulai Tabel 4. Rata-rata kecepatan tumbuh Helminthosporium maydis pada berbagai suhu dan kelembapan. Kecepatan tumbuh/ hari (mm) Suhu (oC) 20 25 30 35
3,30 7,44 12,32 1,47
Kelembapan (%) >70−80 >80−90 > 90 −
5,50 7,44 11,51 −
Sumber: Rahamma et al. (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
Diameter koloni/hari 10
Suhu
123 123 1234
8
1234 1234
20 26 30 35
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12123 123 12123 12123 123 123
6
4
2
123 123 123 123 123123 123
0
1
12 12 121234 121234 1234 121234 1234 2
Gambar 2.
12 12 12 12 12 12 12 12123 123 12123 12123 123 123 3
4 Hari
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12123 12123 12123 123 12123 123 5
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12123 123 123 12123 12123 123
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 123 12123 123 12123 12123 123
6
7
Perkembangan miselia Helminthosporium maydis pada media PDA pada berbagai suhu (Rahamma et al. 1997).
Tabel 5. Jumlah bercak Helminthosporium maydis, rata-rata curah hujan, suhu, kelembapan dan radiasi matahari pada umur 2 bulan. Waktu tanam 1
Jumlah bercak pada daun bawah
W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 KK
50,95 51,97 46,80 53,07 298,42 221,55 100,85 11%
Hari hujan
Suhu (oC)
Kelembapan 2 (%)
Radiasi2 harian (%)
33 39 36 35 44 42 36 −
26,90 26,30 26,60 26,80 26,40 26,10 26,10 −
79,80(60−69) 80,50(59−96) 82,30(66−86) 84,40(59−96) 83,20(61−91) 84,10(62−98) 80,60(59−87) −
79,30(60−80,30) 70,20(20−83,30) 46,10(17,50−78,80) 31,20(11,30−83,30) 38,15(11,30−65) 41,20(5−83,90) 41,10(10−83,80) −
Waktu tanam interval 10 hari. Angka dalam kurung adalah kisaran kelembapan dan radiasi harian. Sumber: Pakki dan Muis (1999). 1 2
pada awal musim hujan juga dilaporkan oleh Pakki et al. (1998). Variasi intensitas serangan di lapangan dipengaruhi oleh curah hujan, kelembapan, radiasi matahari, sedangkan suhu tidak berpengaruh karena pada saat penelitian tidak terjadi variasi yang ekstrim. Apabila kelima faktor cuaca yang berpengaruh tersebut dihubungkan akan diperoleh persamaan sebagai berikut: - Hari hujan - Curah hujan
Y : 2,74 + 0,18 X R : 0,89 Y : 3,39 + 0,81 X R : 0,91
Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
- Suhu - Radiasi - Kelembapan
Y : -23,12 + 1,14 X R : 0,20 Y : 16,83 + 0,15 X R : 0,93 Y : -25,32 + 0,39 X R : 0,92
Hari hujan yang rendah menyebabkan kelembapan juga rendah dan radiasi tinggi. Pada keadaan tersebut penguapan cepat terjadi sehingga spora yang hinggap di permukaan daun bersama embun belum melalui fase penetrasi yang sempurna atau belum terjadi infeksi sehingga persentase serangan rendah. Kondisi iklim ini
ditemukan pada pertanaman jagung yang ditanam lebih awal di musim hujan, dan keadaan ini cukup menguntungkan bagi pengelolaan penyakit tersebut.
KOMPONEN PENGENDALIAN Berbagai upaya pengendalian H. maydis telah diteliti, yang meliputi pengendalian secara kimiawi dengan fungisida, kombinasi fungisida dan varietas, varietas tahan, pengaturan waktu tanam serta komponen pengendalian lainnya.
Pengendalian secara Kimiawi Penggunaan fungisida dan kombinasi fungisida dan varietas Pada penelitian in vitro penggunaan fungisida mankozeb 5 g/l air dapat menekan perkembangan H. maydis (Sayang dan Sutjiati 1987). Muis et al. (2001) melaporkan bahwa perkembangan miselia jamur H. maydis sangat tertekan pada pengamatan hari ke-10 dengan perlakuan fungisida mankozeb 80% dengan diameter koloni 0,68 cm serta carbendazim 6,20% + mankozeb 73,80% dengan diameter koloni hanya 1,04 cm, sedangkan tanpa perlakuan mencapai 9 cm (Tabel 6). Keefektifan fungisida sistemik tersebut pada uji in vitro dilanjutkan di lapangan dikombinasikan dengan varietas tahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyemprotan mankozeb 80% 2 g/l air pada umur tanaman 15, 25, dan 35 hari efektif mengendalikan H. maydis (Tabel 7). Tingkat penularan H. maydis terendah terdapat pada varietas Semar-2 dan Bisma masing-masing 14,07% dan 18,76%, sedangkan padi varietas rentan (Pulut Takalar) mencapai 32,96%. Kombinasi perlakuan fungisida mankozeb 80% dan varietas tahan efektif mengendalikan H. maydis. Varietas Semar2 dan Bisma memperlihatkan reaksi ketahanan yang tinggi terhadap H. maydis. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa penyemprotan fungisida carbendazim 6,20% dan mankozeb 73,80% dengan interval 10 hari dapat mengendalikan Helminthosporium sp. (Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang 1991). 105
Tabel 6. Rata-rata diameter koloni Helminthosporium maydis pada sembilan perlakuan fungisida. Fungisida (kandungan bahan aktif/ konsentrasi (g/l)
Diameter koloni pada 10 hari (cm)
Carbendazim 50%/0,50 Benomol 50%/2 Carbendazim 6,20% dan mankozeb 73,80%/2 Mankozeb 80%/2 Trichlorometylthio 4-cyclohexene 1,2 dicorboximide Zineb 80%/2 Tembaga ridroxida 77%/2 Propineb 70,50%/2 Tembaga oksiklorida 50% CU/3 Kontrol
4,12 4,60 1,04 0,68 2,16 3,94 2,98 4,10 2,80 9
Sumber: Muis et al. (2001).
Tabel 7. Tingkat penularan Helminthosporium maydis pada enam varietas jagung dengan dua perlakuan fungisida pada 30 hari setelah inokulasi. Tingkat penularan H. maydis (%) Trichlormetylthio 4-cyclohexene 1,2-dicorboximide
Mankozeb
Kontrol
Rata-rata
Lagaligo Semar-2 Wisanggeni Bisma Pulut Takalar Antasena
17,78 11,11 25,92 15,55 31,85 14,75
16,29 12,59 18,52 17,03 28,15 16,29
23,70 18,52 27,41 23,70 38,89 28,15
19,26 14,07 23,95 18,76 32,96 19,73
Rata-rata
19,49
18,15
26,73
21,46
Varietas
Sumber: Muis et al. (2001).
Penggunaan Varietas Tahan Penggunaan varietas tahan untuk pengendalian H. maydis tergolong efektif. Muis et al. (1996) melaporkan dari 42 varietas (galur) yang diinokulasi secara buatan di rumah kaca dan lapangan, 21 galur bereaksi agak tahan dan 20 galur agak rentan pada umur 6 minggu setelah tanam. Tanpa membedakan spesies, Chang (2002) juga menemukan adanya perbedaan sifat ketahanan varietas jagung terhadap H. maydis. Pada varietas tahan, jumlah bercak lebih sedikit dibanding pada varietas rentan. Pada varietas tahan, tanaman mengandung enzim yang dikeluarkan oleh dinding sel daun yang mampu melawan sifat agresivitas dari spora cendawan tersebut (Zhinhuan et al. 2000). Ekspresi ketahanan varietas jagung terhadap H. maydis dilaporkan oleh 106
Rahamma dan Kontong (2001, Tabel 8). Melalui infeksi buatan isolat H. maydis, setelah tanaman berumur 21 hari, varietas Bisma, Bisi-3, Bisi-4, Bisi-5, Pioner 10, dan CP1-2 memberikan reaksi sifat ketahanan yang tinggi terhadap H. maydis (skor 1) dan pada varietas pembanding peka (Pulut Takalar) mencapai skor 8. Dalam jangka panjang, melalui persilangan pemuliaan diharapkan dapat dihasilkan varietas jagung yang tahan terhadap H. maydis. Namun, perakitan varietas tahan memerlukan waktu lama dan penggunaan fungisida tergolong mahal. Oleh karena itu, dengan menilik pengertian toleran yang diartikan sebagai kemampuan tanaman disakiti oleh patogen tanpa menurunkan hasil yang berarti (Kardin 1989), uji varietas (galur) yang toleran dengan potensi hasil yang tinggi perlu dipertimbangkan peng-
Tabel 8. Rata-rata skor serangan Helminthosporium maydis serta reaksinya pada 41 varietas (galur) jagung. Varietas (galur) CPI-2 Pioneer-10 BISI-3 BISI-4 BISI-5 Bisma AMATL(HS)C-1 Bayu BISI-1 Kresna SATP-2(S2)C5 Pioneer-5 BISI-2 Parikesit Bromo Pool 2(S1) C8 GM 27 Penjalinan Manja Lamuru Lagaligo Surya SATP 1(S2) C5 Pioneer-4 Permadi Sadewa Pioneer-8 Pioneer-9 Exp. 9572 Malin Wisanggeni Arjuna GM 30 Genjah Kretek Gumarang Jawa Kuning Jagung Manis Manado Kuning Pioneer-7 Antasena Pulut Takalar
Skor pada pengamatan I
II
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 3 1 1 3 3 3 3 3 3 2 4 5 5 5 6 5 6 6 7 6
1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 3 5 5 5 5 6 6 6 7 7 7 7 8
Reaksi T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT AT AT AT AR AR AR AR AR AR AR R
T = tahan (0−3), AT = agak tahan (4−5), AR = agak rentan (6−7), R = rentan (8−9) Sumber: Rahamma dan Kontong (2001).
gunaannya untuk masa yang akan datang.
Pengaturan Waktu Tanam dan Komponen Lainnya Penanaman lebih awal pada musim hujan dapat menciptakan kondisi iklim yang kurang menguntungkan bagi perkembangan H. maydis sehingga intensitas serangan juga rendah. Hal yang sama Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
juga dilaporkan oleh Muis et al. (1999, Tabel 9). Persentase serangan mulai meningkat setelah pertanaman ketiga, yang pada 45 HST mencapai 71,11% sedangkan pada pertanaman lebih awal sekitar 46,67%, bersamaan dengan mulai meningkatnya curah hujan dan menurunnya intensitas penyinaran matahari. Keadaan tersebut memberi gambaran bahwa pengaturan waktu tanam, yaitu tanam lebih awal saat curah hujan dan intensitas penyinaran tidak menguntungkan bagi perkembangan H. maydis, dapat menekan perkembangan penyakit. Pengendalian H. maydis pada daerah endemis dapat dilakukan dengan pembenaman sisa-sisa panen untuk mengurangi sumber inokulum awal. Cara ini efektif menekan intensitas serangan pada daerah endemis H. maydis (Summer dan Litteral 1974). Pengendalian secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme antagonis belum banyak dilaporkan. Cendawan antagonis Trichosporom sp. (Wang dan Wu 1987) dan bakteri Pseudomonas cepacia (Upadhyal dan Jasaswal 1992) berpotensi dikembangkan di areal pertanaman jagung .
KESIMPULAN DAN SARAN H. maydis merupakan spesies dominan patogen bercak daun pada pertanaman jagung di dataran rendah. Gejala visual awal terlihat 13 jam setelah infeksi berupa titik transparan, basah, dan menjadi jelas
Tabel 9. Rata-rata serangan Helminthosporium maydis untuk tujuh waktu tanam pada 30, 45, dan 65 HST.
Waktu tanam
1 2 3 4 5 6 7
(3 November 1998) (13 November 1998) (23 November 1998) (1 Desember 1998) (13 Desember 1998) (23 Desember 1998) (2 Januari 1999)
Serangan H. maydis (%) 30 HST
45 HST
65 HST
Hari hujan 1
18,34 11,67 32,78 52,22 58,89 55 47,22
46,67 37,22 71,11 75,56 92,22 78,46 77,78
65,56 66,67 99,45 98,89 100 99,45 100
4* 4 6 8 7 I0 9
Curah hujan2
Intensitas penyinaran (%)
7,10 6,10 12,90 9,90 10,10 14,50 15,50
68
41
33
HST: hari setelah tanam, 1Rata-rata dalam 10 hari, 2Rata-rata intensitas penyinaran berturutturut pada bulan November, Desember, Januari Sumber: Muis et al. (1999).
berwarna cokelat kekuningan pada 5–6 hari setelah infeksi. Terdapat 13 spesies rumput yang dapat menjadi inang alternatif H. maydis, yaitu Cenhrus echinatus, Cynodon dactylon, Doctyloctenium aegyptium, Echinoclhoa colona, E. crusgalli, Eliusine indica, Ischaemun rugosun, I. timorence, Leplochloa chinensis, Panicum repens., Phaspalum distchum, Rottboellia exaltata, dan Polytrias amaura. Rumput R. exaltata tergolong paling rentan. Setiap isolat menunjukkan virulensi yang bervariasi. Isolat asal Lassang (Takalar), Pakkatto (Gowa),
Caramming, dan Tana Lemo (Bulukumba) memperlihatkan virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat lainnya. Pertumbuhan H. maydis pada suhu 35oC akan terhambat. Kondisi iklim terbaik untuk perkembangannya adalah suhu sekitar 30oC, sebaran hari hujan tinggi, kelembapan sekitar 90%, dan radiasi matahari harian rendah, sekitar 41,20%. Upaya pengendalian H. maydis dapat dilakukan dengan tanam lebih awal di musim hujan, penggunaan fungisida mankozeb 80% + carbendazim 6,20% dan mankozeb 73,80%, serta menanam varietas tahan seperti Bisma dan Semar-2.
Metodologi Penelitian Pengendalian Terpadu Hama dan Penyakit, 12 Juli–12 Agustus 1989. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. 34 hlm.
Maratwada Agricultural University, India. p. 146.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 1991. Hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 127 hlm. Chang, S.W. 2002. Relationships of host genotype to Bipolaris leaf blight severities and yield components of adlay. Plant Dis. 86: 774−779. Dickson, J.G. 1956. Diseases of Field Crops. Tata Mc.Graw-Hill Publishing Co. Ltd. and Aroon Pupie at Thomson Press Limited. Faridabat, Haryana. 517 pp.
Koesnang, S. Pakki, A. Muis, dan A.M. Usman. 1996. Identifikasi inang alternatif penyakit hawar daun (Helminthosporium sp.) jagung dan sorgum. Dalam Hasil-hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. hlm. 86−89.
Govitawawong, P. and Kengpiem. 1975. Studies on southern corn leaf blight (Helminthosporium maydis). Thailand National Corn and Sorgum Program. 1975. Annual Report. Kasetsart University, Thailand. p. 293−298.
Massie, L.B. 1973. Modelling and simulation of sourthen corn leaf blight diseases caused Helminthosporium maydis Nisik Miyake. Tesis Ph.D Pennsylvana State University. 185 p.
Kardin, K. 1989. Resistensi tanaman terhadap penyakit. Makalah Disajikan pada latihan
Mayee, C.D. and V.V. Datar. 1986. Phytopatometry. Departemen of Plant Pathology,
Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005
Muis, A., K. Said, dan S. Rahamma. 1996. Seleksi genotipe sorgum dan jagung terhadap penyakit hawar daun Helminthosporium maydis. Dalam Hasil-hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman 1995/1996. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. hlm. 59−64. Muis, A., S. Pakki, dan S. Rahamma. 1999. Hubungan antara waktu tanam jagung dengan perkembangan Helminthosporium maydis dan Rhizoctonia solani. Muis, A., S. Pakki, dan Sutjiati. 2001. Peran varietas dan fungisida dalam pengendalian penyakit bercak daun (Helminthosporium maydis) pada tanaman jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20(2): 6−11.
107
Nelson, R.R. and G. Tung. 1973. Effect of dew temperature, dew period, and post-dew temperature on infection of a male sterile corn hybrid by races O of Helminthosporium maydis. Plant Dis. Rep. 56(9): 767−770.
minthosporium sp. pada tanaman jagung. Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. hlm. 19−27.
Pakki, S., K. Said, S. Rahamma, dan W. Wakman. 1997a. Inventarisasi isolat-isolat Helminthosporium sp. pada tanaman jagung dan sorgum di Sulawesi Selatan. Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia 1 (1): 63−73.
Rahamma, S., M.S. Kontong, dan W. Wakman. 1998. Pengaruh berbagai media tumbuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan Helminthosporium maydis. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia 1: 39−43.
Pakki, S., A. Muis, dan S. Rahamma. 1997b. Inventarisasi Helminthosporium sp. dibeberapa pertanaman jagung dan sorgum di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam Hasil Penelitian Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. hlm. 8−16. Pakki, S., A. Muis, dan S. Rahamma. 1998. Perkembangan penyakit bercak daun (Helminthosporium maydis) dan Curvularia sp. pada berbagai variasi cuaca. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia 2: 49−55. Pakki, S. dan A. Muis. 1999. Fluktuasi penyakit bercak daun jagung (Helminthosporium maydis) pada beberapa waktu tanam. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwokerto 16−18 September 1999. PFI dan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. hlm. 189−194. Poy, C. 1970. Corn seed production of Helminthosporium maydis and future seed prospects. Plant Dis. Rep. 54(12): 1118−1121. Rahamma, S., M.S. Kontong, S. Pakki, dan W. Wakman. 1997. Pengaruh suhu dan kelembapan udara terhadap perkembangan Hel-
108
Rahamma, S. dan M.S. Kontong. 2001. Penyaringan ketahanan 41 varietas dan galur jagung terhadap penyakit bercak daun (Helminthosporium maydis). Rísalah Penelitian Jagung dan Serealia, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia 1(1): 19−28. Sayang, Y. dan Sutjiati. 1987. Hubungan konsentrasi Dithane M-45 dengan perkembangan jamur bercak daun (Helminthosporium maydis) di laboratorium. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros. hlm.101−106.
Sudjono, M.S. 1990. Influence of planting date and meterological factor on leaf blight and purple ear rot and yield of maize. Prosiding Lokakarya Hasil Penelitian Komoditas dan Studi Khusus Proyek Pembangunan Penelitian Terpadu (AARP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. hlm. 243−259. Sumartini dan Srihardiningsih. 1995. Penyakit jagung dan pengendaliannya. Monograf Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang No. 13. Summer, D.R. and R.H. Litteral. 1974. Influence of tillage planting date, inoculum survival and mixed population on epidemiology of southern corn leaf blight. Phytopatology 64: 168: 173. Upadhyal, R.S. and R.K. Jasaswal. 1992. Pseudomonas cepacia causes mycelial deformities and inhibition of conidiation in phytopathogenic fungi. Current Microbiol. 24(4): 181−187.
Schenck, N.C. and T.J. Steller. 1974. Southern corn leaf blight development relative to temperature, moisture, and fungicide application. Phytopathology 64: 619−624.
Wakman, W., Koesnang, M.S. Kontong, dan S. Pakki. 1997. Rumput inang dari penyakit mosaik jagung dan bercak daun jagung Helminthosporium. Seminar Mingguan 7 Juni 1997. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. 12 hlm.
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of corn disease. Second Ed. The American Phytopathological Society. 105 pp.
Wang and W.S. Wu. 1987. Survivability and biological control of Bipolaris maydis on corn. Plant Prot. Bull. Taiwan 29(1): 1−2.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman Terjemahan Iman Santoso. The University of Arizona Press. USA. 180 pp.
Warren, H.L. 1975. Temperature effects on lesion development and sporulation after infection by races O and T of Bipolaris maydis. Phytopathology 65(5): 623−626.
Sudjono, M.S. 1988. Penyakit jagung dan pengendaliannya. Dalam Jagung. Subandi, Mahyuddin Syam, dan Adi Wijono (Ed). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 204−241.
Zhinhuan, G., X. Yongbiao, and D. Jingrui. 2000. The pathogenic site of the C-toxin derived from Bipolaris maydis race C in maize (Zea mays). Chinese Sci. Bull. 45(19): 176−179.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005