STRATEGI PENGELOLAAN PENYAKIT BERCAK DAUN (Helminthosporium maydis) PADA TANAMAN JAGUNG A.Burhanuddin1), A.Haris Talanca1) dan B.Murdolelono2) 1) Balai Penelitian Tanaman Serealia 2) BPTP NTT ABSTRAK Makalah ini mencoba menelaah keragaan beberapa komponen teknologi yang diarahkan dalam rangka mendukung strategi pengendalian penyakit bercak daun H. maydis pada tanaman jagung. Inovasi teknologi yang dipaparkan ada yang bersifat dasar maupun terapan yang dirakit oleh balai-balai riset nasional, mulai dari kajian seleksi genotype tanaman, inventarisasi isolateisolat yang ada di lapangan, identifikasi inang alternative, pengaruh berbagai mediatumbuh, identifikasi wilayah sebaran, kisaran rumpun inanag, hubungan waktu tanam dengan perkembangan penyakit, peranan varietas unggul dan fungisida dan studi kehilangqan hasil. Pendekatan-pendekatan tersebut diharapkan akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul di lapangan dan akan menjadi acuan penting sekaligus sebagai database informasi teknologi pengendalian. Kata Kunci : Teknologi pengendalian, penyakit bercak daun. PENDAHULUAN Salah satu penyakit penting pada tanaman jagung yang mempunyai arti ekonomi diurutan kedua seudah penyakit bulai adalah penyakit bercak daun. Penyakit ini ditularkan oleh cendawan Helminthosporium maydis (Sudjono, 1988; Subandi et al. 1994;; Subandi et al., 1988; Semangun, 1991). Di Jawa Timur, penyakit ini merupakan penyakit utama pada tanaman jagung (Brotonegoro et al., 1988). Penyakit Helminthosporium maydis dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 50% bila serangan terjadi pada stadia sebelum keluar rambut bunga betina (Shurleff, 1980). Di Amerika kerugian hasil pernah tercatat mencapai angka 90% setara dengan 2,5 juta U$ dolar (Shurleff, 1980). Di lapangan penyakit ini menginfeksi tanaman dengan meninggalkan bercak yang terlihat kecil, akan tetapi kemudian akan berkembang menjadi bercak nekrotik yang luas, dan pada kondisi serangan yang berat tanaman akan mati terbakar (Sudjono, 1989). Oleh sebab besarnya arti ekonomi penyakit ini utamanya dalam menekan prodiktivitas tanaman jagung, maka penciptaan komponen teknologi dalam rangka mengatasi kehilangan hasil mutlak perlu diupayakan. Beberapa hasil teknologi telah banyak diinformasikan yang dapat menjadi acuan dalam rangka merakit dan merekomendir komponen teknologi pengendalian. Sebagai contoh, Muis et al. (1996) serta Muis dan Kontong (1997) menyatakan bahwa sebenarnya intensitas serangan H. maydis dapat ditekan dengan pemanfaatan varietas/galur yang tahan. Pada pengujian 39 genotipe jagung pada MT. 1995/1996 diperoleh informasi bahwa ternyata dari hasil pengujian ada 20 varietas/galur yang memperlihatkan nilai skoring yang agak tahan terhadap penyakit ini. Pada pengujian selanjutnya yang dilakukan pada MT. 1996/1997 terhadap 103 genotipe, diperoleh data bahwa ada sekitar 25 varietas/galur yang dinyatakan tahan dan 52 varietas/galur yang agak tahan. Pengujian tersebut memberi arti bahwa dari aspek penggunaan varietas yang tepat saja, masalah penyakit bercak daun ada peluang untuk diatasi. Ini belum kalau aspek teknologi pengendalian lain juga dikaji, seperti pemanfaatan fungisida yang implementasinya diramu dalam suatu konsep yang terpadu. HASIL-HASIL KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT BERCAK DAUN Seleksi Genotipe Tanaman
Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu komponen dalam pengendalian hama terpadu (PHT) yang murah, mudah dilaksanakan, dan aman terhadap lingkungan dibanding komponen PHT lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain (Balitjas) menunjukkan bahwa dari beberapa varietas/galur jagung yang diuji ketahanannya terhadap cendawan H. Maydis, ada yang memperlihatkan reaksi tahan terhadap penyakit tersebut antara lain adalah varietas Kalingga, Arjuna dan Hibrida C1 (Sudjono, 1980). Untuk lebih memperkaya database informasi genotipe jagung yang tahan terhadap H. Maydis, serangkaian pengujian untuk mencari genotipe jagung telah dilakukan di Maros pada MT. 1995/1996 dan MT. 1996/1997. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua genotipe jagung yang diuji pada MT. 1995/1996 di lapangan memperlihatkan reaksi tahan terdap H. Maydis. Tabel 1. Rata-rata skor serangan penyakit hawar daun H. Maydis pada 41 genotipe jagung di lapangan pada umur 6 minggu setelah tanam. Maros, MK. 1995 No Varietas/ Rata- No. Varietas/ Rata- No. Varietas/G RataGalur rata Galur rata alur rata skor skor skor 1 Arjuna 0.1 15 MLG 5040 1.1 29 MLG 5012 1.6 2 MLG 5026 0.6 16 MLG 5015 1.2 30 MLG 5024 1.6 3 MLG 5038 0.6 17 MLG 5016 1.2 31 MLG 5002 1.7 4 MLG 5014 0,7 18 MLG 5018 1.2 32 MLG 5017 1.8 5 MLG 5005 0.7 19 MLG 5023 1.3 33 MLG 5039 1.8 6 MLG 5037 0.7 20 MLG 5041 1.3 34 MLG 5013 1.8 7 MLG 5001 0.8 21 MLG 5042 1.4 35 MLG 5007 1.8 8 MLG 5008 0.8 22 MLG 5019 1.4 36 MLG 5036 1.9 9 MLG 5033 0.9 23 MLG 5022 1.4 37 MLG 5004 2.0 10 MLG 5035 0.9 24 MLG 5029 1.4 38 MLG 5028 2.0 11 MLG 5030 0.9 25 MLG 5025 1.4 39 MLG 5010 2.0 12 MLG 5031 0.9 26 MLG 5003 1.4 40 MLG 5027 2.4 13 MLG 5006 0.9 27 MLG 5011 1.5 41 MLG 5020 2.4 14 MLG 5034 1.0 28 MLG 5021 1.6 Sumber : Muis, . et al. (1996) Pengujian MT. 1996/1997 sebanyak 103 genotipe jagung telah diseleksi ketahanannya terhadap penyakit bercak daun H. maydis di Kebun Percobaan Balai Benih Induk (BBI) Palawija di Batukaropa Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, serta 98 genotipe jagung diuji di rumah kaca Balitjas di Maros. Percobaan di Batukaropa berlangsung dari bulan Mei sampai Agustus 1996, sedangkan di rumah kaca Balitjas dari bulan Nopember 1996 sampai Januari 1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 103 genotipe jagung yang diseleksi ketahanannya terhadap H. maydis di Batukaropa, terdapat 25 genotipe yang menunjukkan reaksi tahan, 52 agak tahan, dan 26 agak rentan. Sedangkan percobaan di rumah kaca Balitjas, dari 98 genotipe yang diuji, terdapat 51 genotipe yang memperlihatkan reaksi tahan, 34 agak tahan, dan 13 yang rentan. Dari genotipe-genotipe yang tahan pada ke dua lokasi pengujian tersebut, terdapat beberapa genotipe lokal seperti terlihat pada Tabel 2 (Muis dan Kontong, 1997). Tabel 2. Reaksi 98 genotipe jagung terhadap H. maydis di rumah kaca. Maros, MT. 1996/1997 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Genotipe Acros 7627-RE (S1)F6 Malang Comp. 4 MBR-SCB-RES-EV MBR-SCB-RES-TU MBR 86 Acros Borer M-Bito 86 MBR-CHI 10 Majene Majene A No. 22 Arjuna
Reaksi T T T T T T T T T T
No. 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Genotipe Bakka Toro Bromo Jagung Ropok Ikene 8149 (SW) Kalukku Lokal Kering Jagung Kuning Biasa Koasa II B. Tinambung Jagung Merah Batara Toro/Punu
Reaksi T T T T T T T T T T
11 Lokal Selayar (107) T 51 12 Lokal Selayar 7 T 52 13 Lokal Selayar 15 (108) T 53 14 Lokal Wajo T 54 15 Lokal polmas (1) T 55 16 No. 20 (111) T 56 17 No. 32 T 57 18 No. 33 T 58 19 Lokal Palopo T 59 20 Takalar A T 60 21 TL 86 Population 26 T 61 22 Tini Quib Syntheril T 62 23 Tew-DMR-Pool 13-HS T 63 24 Tangang T 64 25 Takpa 8531 T 65 26 Takalar C T 66 27 Punu T 67 28 Punu 1 T 68 29 No. 34 T 69 30 Pulut Kl.Pusere Enrekang T 70 31 31-C4-HS-Bulk(SW-882-203) T 71 32 Pool 5/15 (103) T 72 33 Pakelo Kebo T 73 34 Pakelo Biasa T 74 35 No. 36 T 75 36 Lokal Pinrang T 76 37 Lokal Selayar 1 T 77 38 Koasa A T 78 39 Koasa Bt.T. Bissapu Bantaeng T 79 40 Bt. Selayar (106) T 80 81 No. 21 (112) AT 90 82 Lambow Pute (Soppeng) AT 91 83 Jagung Pendek (104) AT 92 84 No. 24 AT 93 85 Pakelo AT 94 86 Muneng 8528 (S1) F3 R 95 87 Takalar B R 96 88 Koasa Kaca Bantaeng R 97 89 Punu (II) R 98 Sumber : Muis dan Kontong (1997) Keterangan : T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan.
Batara Toro/Koasa Punu Kaca T. 950 Jagung Kaget (105) Jagung Koa Improved Tini Quib No. 35 No. 37 Ikene 8149 Guna Caste 8528 Jagung Kuning (1) MLG Comp-c-6-2 Namming 8528 Koasa Bakka Lamalina 8427 Baddo Bage/Kaca Lokal Selayar 11 (109) Koasa Gowa Koasa 1 Maros Ende (3) Pool 5-c-8 Punu (I) Bata Sambi Punu Batang B. Polewali Baddo Samara Takalar (1) Wonomulyo Polmas Pool 5/29 No. 17 Maros A Lokal Takalar Bromo (1) Kalukku Pakelo bangkok Koasa No. 23 Punu Bulukunyi PI.Bkg Lokal Majene
T AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT AT R R R R R R R R R
Inventarisasi Isolat Adanya struktur bertahan dari penyakit ini sampai satu tahun, berupa miselium dorman dalam daun, klobot, ataupun bagian tanaman lainnya seperti sisa-sisa tanaman (Sudjono, 1988)., menyebabkan cendawan tersebut sulit untuk dikendalikan dan sewaktu-waktu dapat menyebabkan intensitas serangan yang berat di lapangan. Pada varietas yang rentan, intensitas spora akan lebih tinggi dibanding varietas yang tahan (Shalabi dan Craiciu, 1985). Menurut Kardin (1989), isolat suatu patogen dapat berbeda, baik dalam hal virulensi maupun agresifitasnya. Faktor lingkungan yang kondusif seperti kisaran suhu 18-270C dengan udara berembun (Shurfleff,1980) akan sangat membantu perkembangan dan penyebaran penyakit ini dan akan menyebabkan kerusakan yang serius di lapangan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pakki et al. (1996) menunjukkan bahwa virulensi tertinggi berasal dari isolat asal ujung Lamuru/Lappariaja Kabupaten Bone, Caramming dan T. Lemo/Bontobahari Kabupaten Bulukumba, Wara, Belopa/Belopa Kabupaten Luwu, Pakatto/Tinggi Moncong Kabupaten Gowa, dan Lassang/Patalassang kabupaten Takalar Sulawesi Selatan (Tabel 3). Selanjutnya Pakki et al. (1997) mengemukakan bahwa dari 41 isolat, ditemukan dua isolat H. maydis masing-masing dari desa Wongabatu, Kecamatan Kota Barat dan Puncak Kecamatan Tibawa Gorontalo yang memperlihatkan virulensi tinggi (Tabel 4). Tabel 3. Wilayah sebaran dan intensitas serangan H. maydis pada tanaman jagung di Sulawesi Selatan No.
Kabupaten
1 1
2 Maros
2
Bone
3
Bulukumba
4
Sinjai
5
Jeneponto
6
Bantaeng
7
Gowa
1 8
2 Barru
Kecamatan/Desa 3 Mallawa/Mattampapole Maros baru/Allepolea Bantimurung/B.murung Lapri/Bengo Lapri/Ujung Lamuru Ulaweng/T.Palie Taccipi/Taccipi Ul.Cinnong/Ulaweng Bontotiro/Dwitiro I Bontotiro/Dwitiro II Bontotiro/B.Lantang Bontobahari/Bontobahari Bontobahari/Caramming Bontobahari/T.Lemo B.kumpa/Batukaropa I B.kumpa/Batukaropa II B.kumpa/Palampang B.kumpa/Palampang Lr S.Selatan/Blp.Soang S.Selatan/Sangiasseri S.Selatan/Talle I S.Selatan/Talle II S.Timur/Tondong Binamu/Binamu Bangkala Bissapu/Birae luar Bissapu/Birae dalam T.moncong/Bontobili T.moncong/Pakkatto T.moncong/T.moncong 3 Soppeng Riaja/Lawellu Soppeng Riaja/Uring
H. maydis 4 +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(3-5) +(1-3) +(3-5) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) +(1-3) 4 -
H.tur cicu m 5 -
Umur tanaman (hari)
Varietas
-
6 60 60 55 60 70 50 70 80 85 60 55 55 50 50 60 80 60 65 70 40 35 60 40 80 60 70 90 70 90 70
7 Lokal Arjuna Lokal Lokal Arjuna Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Arjuna Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Kuning Kuning TC1 Lokal Lokal
5 -
6 60 60
7 Lokal Lokal
Mallusetasi/Bojo I +(1-3) 30 Mallusetasi/Bojo II +(3-5) 60 Mallusetasi/Mallusetasi +(1-3) 70 9 Polmas Campalagian/Labuang 70 Campalagian/Lakelo I 60 Campalagian/Lakelo II +(1-3) 65 Tinambung/Pambusuang1 60 Tinambung/Pambusuang2 +(1-3) 60 10 Luwu/Palopo Bonebone/Mariri I +(1-3) 55 Bonebone/Mariri II 70 Bonebone +(1-3) 70 Sukamaju/S.Lemo I 60 Sukamaju/S.Lemo II 60 Belopa/Wara +(1-3) 70 Belopa/Belopa +(1-3) 70 Belopa/Batue +(1-3) 40 11 Sidrap Pancalautang/Belokka I +(1-5) 30 Pancalautang/Belokka II +(1-5) 40 Massepe/Alikang +(1-3) 20 Massepe/Massepe +(1-5) 20 12 Mamuju Kalukku/Bunde 13 Enrekang Enrekang +(1-3) 60 14 Takalar Pattalassang/Lassang +(3-5) 30 1 2 3 4 5 6 15 Wajo Majauleng/Atapange +(1-3) 60 Mario/Tanasitolo +(1-3) 70 Sabbangparu/Tanasitolo 70 16 Soppeng Lilirilau/Boringen +(1-3) 60 Lilirilau/Bengo +(1-2) 60 Marioriwawo/Panincong +(1-3) 70 Sumber : Pakki et al. (1996) Keterangan : + Gejala visual dan identifikasi laboratorium menunjukkan H. mmydis - Tidak ada gejala Nilai dalam kurung (skoring H. Maydis)
Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Kalingga Arjuna Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Kuning Lokal Arjuna Lokal Lokal 7 Lokal Lokal Kuning Lokal Lokal Lokal
Tabel 4. Daerah sebaran H. maydis dan H. turcicum di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan Spesies/Intensitas Kode Kabupaten Desa/Kecamatan Varietas H. maydis H. turcicum 1 2 3 4 5 6 Minahasa (39.848 ha)* H1 Kakaskasen/Tomohon +(1-3) H2 Kakaskasen/Tomohon +(1-3) H3 Tallate/Tomohon +(1-3) H4 Rukukan/Tomohon +(3-5) H5 Tonsaru/Tondano +(1-3) H6 Tontimomor/Kakas +(1-3) H7 Tontimomor/Kakas +(0-3) H8 Toronget/Langowan +(0-1) H9 Talikurang/Tumposo +(3-5) H10 Kiawa/Kawankoang +(3-7) H11 Timotantang/Tomohon +(0-3) H12 Papontolan/Timpoan +(0-1) H13 Kapita/Tombosan +(0-3) H14 Biongko/Tenga +(0-3) H15 Kalasey/Kalasey +(0-3) Bulaang .Mongondow H16 (11.953 ha)* Lolau/Lolak +(1-3) H17 Gorontalo Winera/Poigar +(1-3) (17.497 ha) H18 H19 H20 H21 H22 H23 H24 H25 H26 H27 H28 H29 H30 H31 H32 H33 H34 H35 H36
1 H37
Malantadu/Koandang Pontalo/Koandang Labanu/Tibawa Datahu/Tibawa Poncongalo/Tibawa Padengo/Limboto Tobago Timur/Batudaa Tobago Timur/Batudaa Mongameme/Batudaa Limboto/Limboto Palubala/Tibawa Wongabatu/Kota Barat Tuladenggi/Kota Barat Bulada/Kota Barat Libuo/Kota Barat Pone/Limboto Yosenogo/Limboto Palubala/Tibawa Puncak/Tibawa
2 Bulukumba
3 Bumeh/Paguyaman
+(0-1) +(0-1) +(0-3) +(0-1) +(0-1) +(0-1) +(0-3) +(0-3) +(0-3) +(1-3) +(0-3) +(0-1) +(0-1) +(0-3) +(0-1) +(0-3) +(0-1) +(3-5) +(0-3)
4 +(1-3)
-
5 -
6 Lokal
H38 H39 H40 H41 H42 HS1 HS2 HS3 HS4 HS5 HS6 HS7 HS8 HS9 HS10 HS11 HS12 HS13 HS14
Jeneponto Maros Gowa Bantaeng Polmas
Parengi/Paguyaman Wonggahu/Paguyaman Sorepi/Paguyaman Bongomeme/Paguyaman Bulele/Bulele
+(1-3) +(1-3) +(0-3) +(0-1) +(0-1)
-
Lokal Lokal Local Lokal Introduksi/Lokal
Caramming/Bontobahari Tanah Beru/Bontobahari Bontojolong/Btbahari Bira/Bontobahari Buhung Boddong/Btiro Batukaropa/Bulukumpa Batukaropa/Bulukumpa Panaikang/Binamu Bonto Jai/Tamalote Instalasi Balitjas/Maros Instalasi Balitjas/Bbili Bissapu/Birae Bissapu Birae Campalagiang/Clagiang
-
+ + -
Local Lokal Lokal Lokal Local Lokal Lokal Lokal Local Introduksi Introduksi Lokal Lokal Lokal
+ + -
Sumber : Pakki et al. (1997) Keterangan: + = Hasil identifikasi menunjukkan adanya gejala H maydis dan H. turcicum - = Tidak ada gejala H maydis dan H. turcicum dpl = dari permukaan laut (Data primer dari petugas setempat) * = Luas panen jagung
Pengaruh Suhu dan Kelmbaban Udara Perkembangan suatu jenis penyakit sangat ditentukan oleh tiga faktor yaitu patogen, inang (varietas yang rentan) dan lingkungan (Robinson, 1976). Faktor lingkungan yang sangat berperan dalam perkembangan penyakit seperti Helminthosporium sp. adalah suhu dan kelembaban udara. H. maydis merupakan penyakit penting pada daerah yang mempunyai suhu antara 20-320 C (Shurleff, 1980). Suhu optimun untuk pertumbuhan, pembentukan dan perkecambahan konidia adalah 300 C dan keberadaan patogen ini lebih banyak ditemukan pada dataran rendah (Renfro dan Ullstrup, 1976), suhu optimum untuk terjadinya infeksi adalah antara 18-270 C. Pada suhu tersebut waktu yang dibutuhkan untuk menginfeksi hanya 6-18 jam (Semangun, 1991), dan pembentukan konidia optimum terjadi pada kelembaban udara di atas 90%. Penyakit bercak daun maydis mempunyai ukuran konidia antara 70-160 (98) um, panjang dan lebar 15-20 (17,3) nm. Ukuran konidia patogen ini bervariasi tergantung jenis isolat dan jenis media tumbuhnya. Informasi tentang pengaruh suhu dan kelembaban udara terhadap perkembangan H. maydis masih sangat kurang. Penelitian tentang pengaruh suhu dan kelembaban udara terhadap H. maydis yang dilakukan di Maros menunjukkan bahwa isolat-isolat H. maydis yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi adalah H. maydis. Dari 7 isolat yang berhasil diisolasi, ada tiga isolat yang suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan H. maydis adalah 300C. Pada suhu udara 350C pertumbuhan sangat tertekan. Kelembaban udara yang paling menguntungka bagi perkembangan H. maydis adalah kelembaban udara di bawah 90%. Kelembaban udara di bawah 90%, pertumbuhan dan perkembangan cendawan mulai tertekan (Rahamma et al., 1996). Identifikasi Inang Alternatif Intensitas dan epidemi penyakit bercak daun di lapangan ternyata tidak selalu sama dari waktu ke waktu dan bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Fluktuasi ini mungkin disebabkan cara bercocok tanam, waktu tanam, penggunaan varietas, dan keadaan lingkungan yang berbeda. Hasil penelitian yang intensif dilakukan di Bogor menunjukkan bahwa serangan patogen bercak daun terjadi secara sporadis di daerah yang sangat lembab (Subandi, 1989). Pada musim hujan intensitas serangan relatif lebih tinggi dibanding dengan musim kemarau. Hal ini dimungkinkan karena suhu dan kelembaban udara pada musim hujan mendukung
perkembangan penyakit tersebut. Selama musim hujan, tanaman jagung dan sorgum merupakan inang utama Helminthosporium sp. Sebaran inang penyakit ini cukup luas, dalam keadaan tidak ada tanaman jagung di lapangan, Helminthosporium dapat bertahan dalam bentuk miselium dan spora pada sisa-sisa tanaman, pada biji dalam penyimpanan dan berkembang pada rumputrumputan sebagai inang alternatif seperti sorgum, sudan grass, jobson grass, gama grass, pearl, millet, teosinte, dan lovegrass (Shurleff, 1980). Namun belum pernah dilaporkan adanya Helminthosporium sp. penyebab penyakit bercak daun jagung yang menyerang rumput-rumputan di Indonesia Penelitian yang dilakukan di Maros membuktikan adanya Helminthosporium sp. pada jagung yang dapat menginfeksi jenis rumput-rumputan lainnya. Selain itu, ditemukan 8 jenis gulma yang dominan pada pertanaman jagung di Kabupaten Barru, Pinrang, Polmas (sekarang Polman), Sidrap, Luwu, Enrekang, Wajo, dan Soppeng, yaitu Eleusine indica, Echinocloa colona, Leptochloa chinensis, Digitaria ciliaris, Commelina benghalensis, Cyperus rotundus, C. Iria, dan Fimbristylis miliace. Dari 8 jenis gulma tersebut dapat berperan sebagai inang alternatif ke tanaman jagung H. Maydis adalah Leptochloa chinensis dan Digitaria ciliaris (Koesnang et al., 1996). Kegiatan penelitian pada MT. 1996/1997, merupakan penelitian lanjutan dari kegiatan sebelumnya. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Wakman et al. (1977) menunjukkan bahwa dari 28 jenis gulma asal Sulawesi Utara, 13 jenis di antaranya menunjukkan reaksi positif terhadap H. Maydis. Pengaturan Media Tumbuh Untuk memperoleh varietas jagung yang resisten terhadap H. maydis dilakukan melalui upaya skrining varietas/galur. Dalam kegiatan skrining varietas / galur jagung diperlukan tersedianya sumber inokulum yang cukup. Oleh karena itu, usaha perbanyakan perlu dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan medium yang kaya nutrisi seperti senyawa karbohidrat yang sangat dibutuhkan pada fase awal pertumbuhan cendawan untuk proses metabolisme (Defigueiredo dan Splittstoeser, 1984; Elizabeth Moore landecker, 1990). Hasil penelitian di maros menunjukkan bahwa dari segi kecepatan tumbuh miselia H. maydis, media havermout, beras jagung, jerami jagung, dan PDA menghasilkan konidia yang lebih banyak dibanding denga media lainnya (Rahamma et al., 1997). Pengaruh Waktu tanam Potensi serangan H. maydis yang ada di daerah Sulawesi Selatan cukup tinggi, hal ini terlihat dari laporan Pakki et al. (1997a dan 1997b) yang menyatakan bahwa H. maydis merupakan penyakit bercak daun utama di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara yang ditemukan dibeberapa lokasi yang memiliki virulensi yang tinggi. Telah diketahui pula bahwa perkembangan H. maydis akan terhambat pada suhu udara 350C dan kelembaban udara di bawah 90% (Rahamma et al., 1997). Pengelolaan penyakit tersebut yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh lingkungan (suhu, kelembaban, dan curah hujan) perlu dikaji lebih lanjut dan diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor utama yang mempengaruhinya. Hal lain adalah dapt mengetahui waktu tanam yang sesuai guna menghindari serangan berat sebagai akibat waktu tanam dan kondisi lingkungan sekitar kondusif untuk perkembangan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan dan hari hujan yang tinggi dibarengi dengan intensitas penyinaran yang rendah (<50 %) serta kelembaban udara yang cukup tinggi (>80 %) merupakan kondisi yang sangat kondusif begi perkembangan cendawan H. maydis. Kelembaban udara dan intensitas penyinaran adalah faktor iklaim yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit bercak daun (Muis et al., 1999). Penggunaan Varietas dan Fungisida Menanam varietas tahan adalah salah satu cara yang paling efektif dalam mengendalikan penyakit bercak daun pada tanaman jagung. Penggunaan varietas tahan sebagai salah satu komponen dalam PHT, sangat efektif dan aman terhadap lingkungan. Namun demikian, penggunaan varietas tahan semata-mata tidak cukup untuk mengatasi kompleks penyakit sehingga masih dibutuhkan bahan kimia fungisida. Penggunaan bahan kimia fungisida dalam mengendalikan suatu penyakit merupakan alternatif terakhir dari konsep PHT. Untuk komoditi tertentu, fungisida bahkan merupakan pilihan yang paling utama (Suparyono, 1995).
Fungisida diperlukan bila terjadi kasus ledakan suatu penyakit (outbreak). Untuk itu, maka perlu diketahui jenis fungisida yang efektif dan varietas yang dapat digunakan untuk mengendalikan H. maydis. Hasil penelitian komponen varitetas tahan dan fungisida Kebun Percobaan Bajeng Kabuapten Gowa Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa varietas tahan lebih berperan dalam menekan penyakit bercak daun dibanding dengan fungisida (Muis et al., 2000). Studi Kehilangan Hasil Kerugian hasil akibat serangan patogen tersebut bervariasi pada kisaran 5-50%. Menurut Sudjono (1988), jika Helminthosporium sp. menyerang tanaman jagung sebelum bunga betina keluar, penurunan hasil dapat mencapai 90%. Laporan lainnya menyebutkan bahwa pengurangan hasil akibat serangan H. maydis mencapai 28,91% (Ullstrup, 1951; Chenulu dan Hora, 1962; Sarma dan Aujla, 1968, dalam Shankar Lingam et al., 1989). Laporan tentang banyaknya kerugian hasil akibat serangan H. maydis masih terbatas, terutama akibat infeksi pada setiap stadia umur tanaman jagung, oleh karena itu kajian untuk mengetahui penurunan hasil akibat serangan H. maydis pada setiap stadia umur tanaman jagung perlu dilakukan. Hasil penelitian di Kebun Percobaan Bajeng Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa semakin awal tanaman terinfeksi H. maydis, semakin tinggi pula persentase serangannya dan semakin besar penurunan hasilnya (Rahamma et al., 2000). PENUTUP Inovasi teknologi yang dipaparkan ada yang bersifat dasar maupun terapan yang dirakit oleh balai-balai riset nasional, mulai dari kajian seleksi genotipe tanaman, inventarisasi isolatisolat yang ada di lapangan, identifikasi inang alternatif, pengaruh berbagai media tumbuh, identifikasi wilayah sebaran, kisaran rumput inang, hubungan waktu tanam dengan perkembangan penyakit, peranan varietas dan fungisida, dan studi kehilangan hasil. Pendekatanpendekatan tersebut diharapkan akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul di lapangan dan akan menjadi acuan penting sekaligus sebagai database informasi teknologi pengendalian. DAFTAR PUSTAKA Defigueiredo, M. P., D. F. Splittstoesser. 19080. Food Microbiology health and spoilage aspect Westport, Counecticut. P 456-461. Elizabeth Moore-Landecker. 1990.Fundamentals of the fungi. Third edition. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey 07632. 561 p. Kardin, K. 1989. Resistensi tanaman terhadap penyakit. Makalah disajikan pada latihan Metodologo Penelitian Pengendalian Terpadu Hama dan Penyakit, 12 Juli – 12 Agustus 1989. Balittan Sukamandi. Koesnang, S. Pakki, A. Muis, dan A. M. Usman. 1996. Identifikasi inang alternatif penyakit hawar daun Helminthosporium sp. pada jagung dan sorgum. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit 1995/1996. Badan Litbang Pertanian,. Balitjas Maros. P. 86-89. Mayee, C. D. And V. V. Datar. 1986. Phytopathometry. Technical Bulletin-1 (Special Bulletin 3). Marathwada Agricultural University. Pabhami. India. 218 p. Muis, A., M. S. Kontong, dan S. Rahamma. 1996. Seleksi genotipe sorgum dan jagung terhadap penyakit hawar daun H. Maydis, hal. 59-64. Hasil-hasil penelitian Hama dan Penyakit Tahun 1995/1996. Balijas.
----------, dan M. S. Kontong, 1997. Seleksi genotipe jagung terhadap penyakit hawar daun Helminthosporium maydis. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tahun 1996/1997. Badan Litbang Pertanian. Balitjas Maros. P. 1-7. ---------., S. Pakki, dan Sutjiati. 2000. Peranan varietas tahan dan fungisida dalam mengendalikan penyakit bercak daun (Helminthosporium maydis) pada tanaman jagung. Seminar Mingguan Balitjas, tanggal, 24 Juni 2000. 7 hlm. Pakki, S., M. S. Kontong, S. Rahamma, dan W. Wakman. 1996. Studi sebaran penyakit hawar daun pada pertanaman jagung di Sulawesi Selatan. Hal. 204-210. Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X PEI Cab. Ujung Pandang, PFI Komda Sulsel, HPTI Komda Sulsel, Maros. ----------, M. S. Kontong, S. Rahamma, dan W. Wakman 1997a. Inventarisasi isolat-isolat Helminthosporium sp. Pada tanaman jagung dan sorgum di Sulsel. Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain. Badan Litbang Pertanian. Balitjas. Vol. 1(1):63-75. ------------, A. Muis, dan S. Rahamma. 1997b. Inventarisasi Helminthosporium sp. Di beberapa pertanaman jagung di Sulut dan sorgum di Sulsel. Hasil Penelitan Hama dan Penyakit Tahun 1996/1997. Badan Litbang Pertanian. Balitjas. P. 8-16. Rahamma, S., M. S. Kontong, S. Pakki, dan W. Wakman. 1996. Pengaruh faktor suhu dan kelembaban udara terhadap perkembangan Helminthosporium sp. yang menyerang tanaman jagung. Hasil-Hasil Penelitan Hama dan Penyakit Tahun 1995/1996. Badan Litbang Pertanian. Balitjas. P. 77-85. ------------, M. S. Kontong, S. Pakk, dan W. Wakman. 1997. Pengaruh faktor suhu dan kelembaban udara terhadap perkembangan Helminthosporium sp. yang menyerang tanaman jagung. Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain. Badan Litbang Pertanian. Balitjas. Vol. 1(1):19-27. ------------, M. S. Kontong, S. Pakk, dan W. Wakman. 2000. Kehilangan hasil tanaman jagung akibat serangan penyakit bercak daun Helminthosporium maydis. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tahun 1999/2000. badan Litbang pertanian. Balitjas. P. 53-67. Renfro, B. L., and A. J. Ullstrup. 1976. A comparison of maize diseases in Temperate and in Tropical Environment. PANS 22(4):491-498. Robinson, R. A. 1976. Plant Pathosymptoms Springler Verleg Berlin Heidelberg New York. 184 p. Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University. 449 hlm. Shalabi, M. A. K., D. draiciu 1985. Evaluation of infection by Helminthosporium turcicum (Pass) and its implication for testing the resistance of carious maize genotypes to the pathogen. Nilacoe Balcicum inst. Agron. Bucharest Romania. In Maize abstracts. Int. Maize and Wheat Improvement Centre. Vol. 3, No.4. Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of corn diseases. Second Edition. The American Phytopathological Society, USA, 105 p. Subandi, I. Manwan, dan Blumenshein. 1988. National Coordinated research program Corn Central Research Institute for Food Crops. Agency for Agricultural Research and Development. 83 p.
----------. 1989. Pengaruh masa tanam dan fektor meteorology terhadap penyakit hawar daun dan busuk tongkol jingga serta hasil jagung. Laporan Balittan Bogor (belum dipulikasikan). ----------, M. Dahlan, dan A. Arifin. 1994. Hasil-hasil dan strategi penelitian jagung, sorgum dan terigu dalam pencapaian dan pelestarian swasembada pangan, hal. 286-307. Dalam Mahyudin Syam et al. (eds). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan, Buku I. Puslibang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Sudjono. M. S. 1988. Penyakit jagung dan pengendaliannya. Dalam Subandi, M. Syam, dan Adi Wijono. Jagung. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor: 205-241. -----------. 1989. Penyakit jagung dan pengendaliannya. Dalam Subandi, M. Syam, dan Adi Wijono (eds). Jagung. Puslitbang Tanaman pangan, Bogor. Badan Litbang pertanian. P.205-241. Wakman, W., Koesnang, dan M. S. Kontong. 1997. Rumput inang Helminthosporium sp. Penyebab penyakit hawar daun jagung. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tahun 1996/1997. Badan litbang Pertanian. Balitjas maros. p. 63-67.