Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
TEKNOLOGI PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN JAGUNG A.F. Fadhly Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Indeks pertanaman (IP) menunjukkan kekerapan pertanaman pada sebidang lahan. Peningkatan IP merupakan upaya peningkatan produksi dalam menghadapi masalah peningkatan kebutuhan jagung, penciutan lahan, dan keterbatasan lahan untuk ekstensifikasi. Lahan kering dan lahan sawah perlu dimanfaatkan secara maksimal dengan peningkatan IP, disamping intensifikasi budidaya dan konservasi sumberdaya pertanian. Peningkatan IP dapat diupayakan dengan cara mempersingkat proses produksi, meniadakan waktu lowong antara dua pertanaman, dan menumpang tindihkan dua pertanaman. Untuk itu, teknologi yang dapat digunakan mencakup penyiapan lahan dengan tanpa oleh tanah, drainase, penanaman kultivar genjah, pemanfaatan sumber daya air, pertanaman bersisipan, penanaman sistem logowo, pertanaman jagung untuk konsumsi muda, jagung sayur dan jagung pakan, pengambilan daun tua di bagian bawah tongkol dan pemangkasan batang di bagian atas tongkol. Kata kunci: Indeks pertanaman, jagung, tanam bersisipan, kultivar genjah.
PENDAHULUAN Jagung adalah makanan pokok utama di Indonesia, selain sebagai pakan dan bahan baku dari berbagai industri. Permintaan jagung utamanya untuk pakan, terus meningkat setiap tahun dan telah melampaui 55% dari kebutuhan nasional (Kasryno et al. 2007; Suryana et al. 2008). Dalam upaya pemenuhan kebutuhan, produksi nasional jagung harus didorong untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam tahun 2008, luas panen jagung nasional sekitar 3,81 juta hektar dengan produktivitas 3,90 t/ha (BPS 2009). Usaha peningkatan produksi jagung selain dilaksanakan melalui peningkatan hasil, juga melalui perluasan areal tanam dengan pemanfaatan lahan yang tersedia. Selama ini peningkatan produksi terutama bersumber dari peningkatan hasil, yang jauh lebih besar dibanding dengan melalui perluasan areal tanam. Sawah merupakan lahan yang potensial untuk pengembangan pertanaman jagung. Pengembangan jagung pada areal persawahan merupakan langkah strategis dalam pemenuhan permintaan akan jagung, yang biasanya terjadi dalam musim kemarau. Kualitas biji yang dihasilkan dalam musim kemarau jauh lebih tinggi, demikian pula harganya. Sebagian besar pertanaman jagung diusahakan pada lahan kering, tetapi kondisi tersebut mengalami pergeseran yang tampak pada peningkatan luas pertanaman jagung 10-15% pada lahan sawah irigasi, dan 20-30% pada lahan sawah tadah hujan. Jutaan hektar sawah terlantar dan dibiarkan bero setelah padi dipanen. Lahan tersebut sangat memungkinkan untuk diusahakan sebagai pengembangan areal pertanaman jagung. Jagung dapat ditanam pada sawah lebih dari sekali, dan jika tidak memungkinkan dipanen untuk produksi biji, dapat dipanen lebih dini untuk jagung sayur, jagung muda dan jagung hijauan untuk pakan. Demikian sehingga peningkatan produksi jagung pada sawah dapat diupayakan melalui sistem pertanaman yang sesuai, disamping peningkatan intensitas pertanaman. Sebagian sawah irigasi tidak dapat ditanami padi karena keterbatasan air pengairan, yang berkaitan dengan perubahan iklim, kurangnya air yang terikat dalam tanah akibat penebangan hutan, dan rusaknya sebagian dari fasilitas pengairan. Air irigasi juga
246
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
menjadi masalah utama yang dihadapi pada sawah tadah hujan. Masalah air pengairan untuk jagung yang diusahakan dalam musim kemarau dapat diatasi dengan pemanfaatan air permukaan dan air tanah. Ketersedian pompa bermesin sangat berguna dalam pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk pengairan jagung. Jagung pada sawah dapat rusak oleh hujan yang di luar perkiraan, yang menyebabkan kejenuhan air yang dapat mematikan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut, maka saluran drainase perlu disiapkan untuk mengantisipasi kerusakan yang mungkin terjadi. Areal Sawah yang Tersedia Pertanaman jagung mengalami pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah, bahkan ke sawah beririgasi, seiring dengan tersedianya teknologi dan teknik budidaya jagung. Sebelum tahun 1990-an, hampir 80% pertanaman jagung diusahakan pada lahan kering (Mink et al. 1987). Pertanaman jagung di lahan sawah diperkirakan telah mencapai 30-40%, dengan kecenderungan yang meningkat (Pasandaran dan Kasryno 2003). Dalam upaya memenuhi permintaan jagung, pertanaman jagung dapat dikembangkan ke lahan sawah, yang air pengairannya tidak mencukupi untuk mendukung pertanaman padi (Zubachtirodin et al. 2007). Total areal persawahan mencakup 7.391.384 ha, yang terdiri atas 2.209.259 ha irigasi teknis, 988.719 ha irigasi semi teknis, 1.586.589 ha irigasi sederhana, dan 2.015.407 ha sawah tadah hujan (Tabel 1). Table 1. Sistem irigasi dan indeks pertanaman sawah di Indonesia. Pulau
Irigasi teknis
Luas sawah (000ha) Irigasi semiIrigasi sederhana teknis 1x 2x 1x 2x padi padi padi padi 90.527 312.460 156.287 458.738 46.699 211.012 189.688 265.547
1x 2x padi padi 243.605 1.272.647 Jawa Sumatera 51.061 270.232 Bali dan Nusa 65.212 63.235 110.129 49.583 Tenggara 19.420 6.710 22.766 10.489 129.558 Kalimant 18.228 29.167 232.977 28.397 93.005 64.331 an Sulawesi Maluku dan Papua Jumlah 361.481 1.847.778 251.624 737.095 589.447 Badan Litbang Pertanian (2005)
Tadah hujan 1x padi
2x padi 555.044 221.985 372.420 178.578
42.487 59.768 170.602
64.189 282.573 238.160
4.191 57.132 41.135
-
-
-
997.142 1.512.386 503.021
Sawah yang ditanami padi dua kali setahun seluas 4.085.027 ha, tersebar 2.265.830 ha di Jawa, 925.369 ha di Sumatera, 222.019 ha di Bali dan Nusa Tenggara, 134.099 ha di Kalimantan, dan 537.719 ha di Sulawesi. Sawah yang ditanami sekali dalam setahun seluas 2.714.938 ha, tersebar 1.045.463 ha di Jawa, 659.868 ha di Sumatera, 196.427 ha di Bali dan Nusa Tenggara, 453.125 ha di Kalimantan, dan 360.055 ha di Sulawesi. Lahan sawah yang masih memungkinkan untuk dikembangkan sebagai pertanaman jagung masih cukup luas (Tabel 2). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa areal sawah yang tersedia masih sangat luas yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman
247
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
jagung dan peningkatan intensitas pertanaman. Mengingat padi merupakan tanaman utama pada sawah, maka pola tanam dan sistem pertanaman harus ditata sebagaimana mestinya. Sawah yang ditanami padi sekali setahun maupun yang ditanami padi dua kali masih memungkin ditingkatkan intensitas pertanamannya. Tabel 2. Luas pertanaman dan indeks pertanaman padi pada lahan sawah di Indonesia.
Pulau Jawa Sumatera Bali and Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi
Luas sawah (ha) Intensitas pertanaman padi Sekali Dua kali 1.045.463 2.265.830 659.868 925.369 196.427 222.019 453.125 134.099 360.055 537.719
Indeks pertanaman 1,68 1,93 1,53 1,23 1,59
Sumber: Badan Litbang Pertanian (2005) Penyiapan Lahan dengan Tanpa Olah Tanah Pada lahan sawah, lengas tanah yang tinggi akan mengganggu pertumbuhan tanaman, sementara penundaan waktu tanam akan menyebabkan terjadinya cekaman kekeringan pada fase pertumbuhan sampai pembentukan biji. Penyiapan lahan dengan tanpa olah tanah akan menghemat waktu dalam upaya mempercepat penanaman agar peningkatan indeks pertanaman terlaksana dengan baik. Selain menghemat waktu, penyiapan lahan tanpa olah tanah menekan penggunaan tenaga dan biaya usahatani. Gulma yang sering menjadi masalah dalam penyiapan lahan tanpa oleh tanah dapat dikendalikan dengan herbisida. Banyak herbisida yang tersedia untuk pengendalian gulma pada pertanaman jagung. Herbisida yang akan digunakan tergantung dari jenis gulma yang ada di pertanaman dan berbagai pertimbangan lainnya (Fadhly dan Tabri 2007). Drainase Pada sawah tertentu, air dalam tanah dan dalam petakan masih banyak dan berlebih, padahal jagung sangat peka dengan kandungan air tanah yang berlebihan, sehingga drainase sangat diperlukan untuk mempercepat waktu penanaman. Drainase juga diperlukan untuk mencegah kelebihan air karena hujan. Jagung terutama rentan terhadap kelebihan air pada tahap perkecambahan ketika titik tumbuh di bawah permukaan tanah dan berkurang ketika tanaman telah muncul di permukaan tanah, dan pertumbuhan akan terhambat yang selanjutnya akan berakibat pada menurunnya hasil. Pada pertumbuhan setinggi lutut, kelebihan air selama 3-6 hari akan mengakibatkan hasil berkurang 30-50%, tetapi apabila kelebihan air ini terjadi pada stadia pembungaan, pengurangan hasil lebih rendah. Dalam banyak kasus, drainase permukaan dapat membantu mengurangi kelebihan air (Violic 2000). Saluran drainase dibuat keliling pertanaman dan setiap 10-20 m melintang dan membujur dari pertanaman, tergantung dari jumlah air hujan yang harus dikeluarkan dari petak persawahan. Saluran drainase hendaknya dibuat sebelum penanaman. Untuk mempercepat pembuatan saluran drainase dapat digunakan alat pembuat alur PAI-M2 (Aqil et al. 2004).
248
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Kultivar yang Sesuai Untuk pengaturan pola tanam yang sesuai dengan pola curah hujan dan waktu yang tersedia, diperlukan kultivar yang tepat. Umur kultivar yang akan ditanam perlu dipertimbangkan dengan baik, dan untuk itu tersedia cukup banyak kultivar sebagai pilihan (Tabel 3). Tabel 3. Kultivar bersari bebas dan hibrida silang tunggal unggul jagung yang telah dilepas Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tinggi tanaman (cm)
Umur berbunga (hari)
Umur panen (hari)
Rata-rata hasil (t/ha)
Bersari bebas Wiyasa Kalingga Rama Antasena Wisanggeni Bisma Lagaligo Gumarang Lamuru Kresna Srikandi Palakka Sukmaraga Srikandi Putih-1 Srikandi Kuning-1 Anoman-1
200 215 190 200 180 190 185 180 185 195 195 185 161
58 57 57 50 50 60 50 50 55 50 57 52 58 58 56 56
96 96 95 95 90 96 90 82 90 90 97 95 105 105 105 103
5,3 5,4 5,0 5,0 5,25 5,7 5,25 5,0 5,6 5,2 6,0 6,0 6,0 5,9 5,4 6,6
Hibrida Bima-1 Bima-2 Bima-3 Bima-4 Bima-5 Bima-6
215 200 200 212 204 202
54 57 56 59 60 63
97 100 100 102 103 104
7,3 8,51 8,27 9,6 9,3 9,4
Kultivar
Syuryawati et al. (2007) Iceri (2008)
Pengairan Air merupakan salah satu pembatas utama dalam pengembangan jagung. Secara umum, jagung membutuhkan sedikitnya 500-700 mm hujan yang tersebar merata selama pertumbuhannya. Kekeringan yang terjadi pada awal pertumbuhan dapat mematikan tanaman, dan mengurangi kepadatan tanaman. Pengaruh utama dari kekeringan dalam periode pertumbuhan vegetatif adalah mengurangi pertumbuhan daun sehingga intersepsi cahaya berkurang. Kekeringan yang terjadi sekitar pembungaan, dari sekitar dua minggu sebelum dan dua minggu sesudah bunga betina (silking) muncul merupakan stadia pertumbuhan jagung yang sangat rentan terhadap cekaman air. Hasil biji dapat
249
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
dipengaruhi secara nyata jika kekeringan terjadi selama periode pembungaan tersebut. Selama periode pengisian biji, pengaruh utama dari kekeringan adalah mengurangi ukuran biji (Lafitte 1994; FAO 2001). Apabila pada waktu penanaman, kelembaban tanah dalam kapasitas lapang, hujan yang tercurah 350-400 mm yang terdistribusi baik selama pertanaman cukup untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Untuk pertumbuhan yang optimum, kelembaban tanah hendaknya berkisar 60-70% dari kapasitas lapang. Solum tanah yang dalam memungkin akar tanaman berkembang hingga kedalaman 1,5 m untuk menyerap air yang diperlukan. Air untuk pertanaman jagung dapat bersumber dari kelembaban yang terdapat dalam tanah sebelum penanaman, dari air hujan selama pertanaman, dari air pengairan (Violic 2000). Umumnya tanaman jagung di persawahan ditanam menjelang musim kemarau atau dalam musim kemarau. Kebanyakan pertanaman jagung dalam musim kering membutuhkan air pengairan, yang meskipun mahal tetapi sangat penting. Jika air tersedia, penggunaan masukan yang tinggi dengan resiko yang rendah, utamanya pupuk, akan sangat efektif jika kelembaban tanah cukup. Pengairan merupakan faktor yang penting dalam usahatani jagung. Berbagai sumber pengairan dapat digunakan, mencakup sungai, kali, bendungan, saluran irigasi, dan sumur. Umumnya petani menggunakan sumur bor sebagai sumber air dan mengairi pertanaman jagungnya dengan menggunakan pompa yang digerakkan oleh mesin. Petani menggali dan mengebor sumur dengan gotong-royong, dan mereka hanya membeli pipa paralon, lem pipa dan bahan lainnya yang diperlukan. Pada beberapa kabupaten penghasil jagung di Sulawesi Selatan, biasanya satu sumur bor untuk satu hektar pertanaman (Bahtiar et al. 2006; Fadhly et al. 2008). Pertanaman jagung hibrida di Jawa Timur yang meliputi 57% areal pertanaman diusahakan di sawah berpengairan dibantu pemompaan air tanah. Pada Kabupaten Kediri malah 97% jagung ditanam di lahan sawah beririgasi pompa dengan kapasitas 11,5 ha tiap pompa (Pasandaran dan Kasryno 2003). Budidaya jagung di Indonesia umumnya masih bergantung pada air hujan. Pengelolaan air yang optimal, yaitu tepat waktu, tepat jumlah dan tepat cara pemberian diperlukan agar air termanfaatkan secaraf efisien dalam upaya peningkatan areal tanam, peningkatan intensitas tanam, dan peningkatan produktivitas. Kekeringan yang akan berakibat ketidakcukupan pasokan air hujan yang mengancam keberhasilan pertanaman perlu diantisipasi dengan berbagai upaya, antara lain dengan pompanisasi. Pengelolaan air bertujuan mengefisienkan penggunaan air dan tercapainya produksi tanaman yang tinggi, efisien biaya penggunaan air, pemerataan penggunaan air atas dasar sifat keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak merata kejadian serta jumlahnya, dan tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumber daya air yang hemat lingkungan. Frekuensi dan kedalaman pemberian air dan curah hujan mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil jagung. Tanaman jagung lebih toleran terhadap kekurangan air pada fase vegetatifdan fase pematangan. Penurunan hasil tertinggi terjadi apabila tanaman mengalami kekurangan air pada fase pembungaan (Aqil et al. 2007). Pertanaman Bersisipan Dua minggu sebelum pertanaman jagung pertama dipanen, pertanaman jagung berikutnya dapat ditanam untuk memanfaatkan waktu dan air yang tersedia dengan baik. Dalam musim kemarau air sangat berharga dan mahal. Penanaman bersisipan akan memanfaatkan air dengan baik dan tidak hilang percuma melalui penguapan. Penanaman jagung secar bersisipan dapat dilakukan 2 minggu sebelum tanaman jagung yang ada di pertanaman dipanen. Dengan cara ini, indeks pertanaman, utamanya di lahan kering dapat ditingkatkan hingga 400%.
250
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Sistem Legowo Pertanaman dengan sistem legowo akan memudahkan pemeliharaan tanaman, seperti penyiangan, pembumbunan dan pemberian air. Selain itu, penyisipan tanaman juga lebih mudah dilakukan. Sinar matahari yang lebih banyak masuk di antara pertanaman akan meningkatkan hasil jagung yang membutuhkan banyak sinar untuk pertumbuhannya. Pengambilan Daun Pengurangan daun dengan mengambil pada bagian bawah tongkol akan mengurangi naungan serta meningkatkan intersepsi cahaya dan laju asimilasi sehingga hasil turut meningkat. Daun yang diambil dapat dimanfatkan untuk pakan. Nilai gizi dari daun tersebut lebih tinggi daripada daun jagung yang telah dipanen buahnya. Daun yang diambil juga dapat digunakan sebagai penutup tanah untuk mengurangi penguapan dari permukaan tanah. Setelah membusuk dan terurai, hara yang terkandung di dalamnya dapat diserap tanaman. Bobot daun bagian bawah tongkol dapat mencapai lebih dari 5 t/ha, dan beragam tergantung dari kultivar yang ditanam. Waktu pengambilan daun antara 20-30 hari setelah keluarnya bunga jantan memberikan hasil biji yang tinggi (Fauziati et al. 1998). Pemangkasan Batang Menjelang dan dalam musim kemarau, batang di atas tongkol dapat dipangkas untuk mempercepat pematangan dan pengeringan biji. Batang yang dipangkas dapat digunakan untuk pakan ternak, atau digunakan sebagai mulsa untuk menekan kehilangan air karena penguapan dan menghemat pemberian air. Pemangkasan batang untuk pengeringan langsung ketika jagung di pertanaman dilakukan dengan membiarkan tongkol pada tanaman selama 7-14 hari. Dengan cara demikian, kadar air biji dapat diturunkan hingga 18% (Firmansyah et al. 2007). Jika hujan dipastikan tidak turun, pengeringan dapat dipercepat dengan membuka klobot, sehingga sinar matahari dapat langsung memanasi biji dan pelepasan air dari biji tidak terhalang klobot tongkol. Pemangkasan batang bagian atas sinkron dengan penerapan pertanaman bersisipan. Benih yang ditanam di antara tanaman yang belum dipanen akan lebih cepat tumbuh dalam kondisi cukup cahaya karena tidak ternaungi oleh dedaunan. Panen Muda Jagung dipanen muda sebelum biji masak untuk berbagai tujuan. Untuk jagung sayur, tongkol dipanen ketika rambut tongkol sekitar 2 cm panjangnya. Panen muda juga dapat dilakukan ketika biji telah terbentuk untuk jagung rebus atau jagung bakar. Pada akhir pertanaman, panen muda sering terpaksa dilakukan karena hujan terlanjur turun dan tidak memungkinkan untuk menunggu biji sampai tua. Kondisi tersebut sebaiknya diantisipasi dengan menanam kultivar yang sesuai untuk jagung sayur atau jagung muda. Untuk jagung sayur dipilih kultivar yang menghasilkan beberapa tongkol dalam satu tanaman, dan untuk jagung muda biasanya digunakan jagung ketan atau jagung manis. Jagung yang ditanam untuk pakan sebagai pengganti rumputan dipanen pada umur tertentu, utamanya sebelum keluar bunga jantan, memiliki gizi yang tinggi untuk ternak (Tangendjaja dan Wina 2007).
251
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Pola Tanam pada Sawah Indeks pertanaman pada sawah masih rendah yaitu satu atau dua kali tanam per tahun (Tabel 2) yang menunjukkan adanya peluang peningkatan intensitas pertanaman jagung. Padi dan jagung dapat ditanam dalam pola tanam padi-padi-jagung, padi-jagungjagung, atau padi-jagung-bero. Pada beberapa daerah, jagung ditanam secara monokultur di sawah dengan pola jagung-jagung-jagung. Hal tersebut antara lain dilakukan oleh petani di Desa Kulo, Kabupaten Sidenreng Rappang (Bahtiar et al., 2006). DAFTAR PUSTAKA Aqil, M., I.U. Firmansyah dan M. Akil. 2007. Pengelolaan air tanaman jagung. Dalam Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.219-237. Aqil, M., I.U. Firmansyah, Y. Sinuseng dan Riyadi. 2004. Peningkatan efisiensi model alur pada pertanaman jagung. Prosiding Seminar Mekanisasi Petanian. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Petanian, Serpong, p.204-211. Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis jagung. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian, Jakarta, 51p. Bahtiar, A.F. Fadhly, M. Rauf, A. Najamudddin, Margaretha, N. Syam, A. Tenrirawe, Syuryawati, A. Biba, H.A. Dahlan, S. Panikkai, B. Hafid, A.M. Mappiare dan M. Tahir. 2006. Studi karakterisasi sistem produksi serta persepsi dan sikap pengguna teknologi serealia. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. BPS. 2009. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, p.177. Fadhly, A.F., Bahtiar, Syafruddin, M. Aqil, S. Panikkai, F. Tabri, Zubachtirodin dan A. Gani. 2008. Laporan Tengah Tahun. Konsorsium padi-jagung (sistem usahatani padi-jagung pada sawah irigasi). Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 27p. Fadhly, A.F. dan F. Tabri. 2007. Pengendalian gulma pada pertanaman jagung. Dalam Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.238-254. FAO. 2001. Crop water management – maize. Land and Water Development Division (www.fao.org). Fauziati, N., Y. Raihana dan S. Raihan. 1998. Hasil jagung dan produk hijauan pada beberapa cara pemangkasan daun. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Maros, p.443-449. Firmansyah, I.U., M. Aqil dan Y. Sinuseng. 2007. Penanganan pasca panen jagung. Dalam Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.364-385. Iceri. 2008. Field book of the tenth Asian maize workshop. Indonesian Cereals Research Institute (Iceri), Maros, 22p. Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto dan M.O. Adnyana. 2007. Gambaran umum ekonomi jagung Indonesia. Dalam Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.474-497. Lafitte, H.R. Identifying production problems in trapical maize. A Field Guide. International Maize and Wheat Improvement Center. CIMMYT, D.F. Mexico, p.122. Mink, S.D., P.A. Dorosh and D.H. Perry. 1987. Corn production systems. In C.P. Timmer (ed) The Corn Economy of Indonesia, Cornell University Press, London, p.62-87. Pasandaran, E. dan F. Kasryno. 2003. Sekilas ekonomi jagung Indonesia: Suatu studi di sentra produksi jagung. Dalam Ekonomi Jagung Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, p.1-13. Suryana, A., Suyamto, Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan S. Saenong. 2008. Panduan umum pengelolaan tanaman terpadu jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, 27p.
252
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Suryawati, C. Rapar dan Zubactirodin. 2007. Deskripsi varietas unggul jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 115p. Tangendjaja, B. dan E. Wina. 2007. Limbah tanaman dan produk samping industri jagung untuk pakan ternak. Dalam Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.427-455. Tangendjaja, B. dan Gunawan. 1988. Jagung dan limbahnya untuk makanan ternak. Dalam Jagung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.349-378 Violic, A.D. 2000. Integrated crop management. In Maize Improvement and Production. Food and Agricultural Organization of the United Nations, Rome, p.265-268. Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan Subandi. 2007. Wilayah produksi dan potensi pengembangan jagung. Dalam Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p.426-473.
253