PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006
Stabilitas Hasil Jagung Hibrida Muhammad Azrai1, Firdaus Kasim2, dan Jan Rachman Hidajat2 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi 279, Maros, Sulawesi Selatan 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jl. Merdeka 147, Bogor
ABSTRACT. Yield Stability of Hybrid Maize. Genotype x environment interaction is of major concern to plant breeders in developing new varieties. The yield stability was studied using dry grain yield data of six promising hybrids and one check variety (A4) from multilocation yield trials. A randomized block design with four replications was arranged at each field experiment. The combined analyses of variance showed that genotype x location interaction was significant, but the genotype x seasons was not significant for grain yield. Hybrid ST14 gave the highest yields at all locations with the average of 10.98 t/ha, except at Janti in dry season, Saning Baka and Kalipang in rainy season. Yield stability analysis indicated that all genotypes showed good stability, except hybrids ST14 and ST24 as expressed by significancy between regression coefficients and deviation from regression. The genotype test ST14 gave higher stability and good adaption under less favorable environment, ST24 gave low stability and adapted under more favorable ecology. The other hybrids, ST34, ST44, STJ33, and STJ44 gave general stability and better adaptation at all environment. Keywords: Hybrid maize, yield, stability ABSTRAK. Interaksi genotipe x lingkungan sangat penting dipertimbangkan dalam pemuliaan tanaman untuk pembentukan varietas baru. Penelitian stabilitas hasil jagung hibrida dilakukan dengan menggunakan data hasil biji kering dari uji multilokasi enam hibrida harapan dan satu varietas pembanding (A4). Tata letak percobaan di lapang berdasarkan rancangan acak kelompok, empat ulangan. Analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa interaksi genotipe x lokasi adalah nyata, tetapi interaksi genotipe x musim tidak nyata terhadap hasil biji. Genotipe ST14 memperlihatkan hasil tertinggi untuk semua lokasi rata-rata 10,98 t/ha, kecuali di Janti pada musim kemarau serta Saning Baka dan Kalipang pada musim hujan. Analisis stabilitas hasil mengindikasikan bahwa semua genotipe uji dinilai stabil, kecuali ST14 dan ST24. Genotipe ST14 memiliki stabilitas hasil di atas rata-rata, ST24 memiliki stabilitas hasil di bawah ratarata, sedangkan STJ33, STJ44, ST24, dan ST44 memiliki stabilitas umum yang baik dan beradaptasi pada semua lingkungan pengujian.
D
Kata kunci: Jagung hibrida, hasil, stabilitas
iperolehnya varietas berdaya hasil tinggi merupakan salah satu tujuan utama pemuliaan jagung. Hasil merupakan karakter kompleks yang dikendalikan oleh beberapa gen bersifat kuantitatif yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Salah satu upaya untuk mendapatkan jagung berdaya hasil tinggi adalah dengan memanfaatkan sifat heterosis membentuk varietas hibrida. Keragaman agroekosistem usahatani jagung, seperti jenis lahan, jumlah dan penyebaran curah hujan, fluktuasi suhu, ketinggian tempat, sebaran hama dan penyakit, tingkat kesuburan tanah dan tingkat pe-
makaian pupuk, mengakibatkan keragaman hasil biji (Subandi et al. 1988). Suatu genotipe yang memberikan hasil tertinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi yang lain sehingga menyulitkan pemulia tanaman untuk memilih genotipe yang superior (Sumantri et al. 1991; Suwarno et al. 1984; Tirtowirjono 1988). Pendekatan pemuliaan untuk memilih genotipe yang hasilnya tinggi ditentukan oleh tujuan perakitan varietas, yaitu varietas spesifik lingkungan (Kang and Miller 1984) atau varietas yang stabil dan beradaptasi pada lingkungan yang luas (Subandi 1982). Melalui uji multilokasi dapat dilakukan estimasi besaran nilai interaksi genotipe x lingkungan yang beragam. Pemahaman interaksi genotipe x lingkungan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi genotipe yang hasilnya tinggi untuk lingkungan spesifik atau stabil pada lingkungan yang luas. Pemilihan genotipe untuk lingkungan spesifik didasarkan pada nilai duga interaksi suatu genotipe x lingkungan yang nyata, menggambarkan kemampuan suatu genotipe mengekspresikan gengen yang menguntungkan pada lingkungan tertentu sehingga diperoleh hasil yang tinggi. Sebaliknya, pemilihan genotipe yang beradaptasi pada lingkungan yang luas didasarkan pada nilai duga interaksi suatu genotipe x lingkungan yang tidak nyata, yang menggambarkan kemampuan suatu genotipe berpenampilan sama pada kondisi lingkungan berbeda (Soemartono et al. 1992). Untuk mendapatkan genotipe yang beradaptasi luas tersebut perlu diperhatikan stabilitas hasil secara sistematis dan kontinu mulai dari pembentukan populasi dasar sampai tahap evaluasi (Subandi et al. 1979). Metode pragmatis untuk menjelaskan dan menginterpretasikan tanggap genotipe terhadap variasi lingkungan telah banyak dikembangkan. Metodemetode tersebut melibatkan analisis statistik untuk mengukur stabilitas genotipe atau tanggapnya terhadap variasi lingkungan menurut beberapa model yang berbeda. Model yang paling banyak digunakan oleh pemulia jagung di Indonesia adalah model Finlay dan Wilkinson (1963) serta model Eberhart dan Russel (1966) (Subandi et al. 1979; Sujitno et al. 1981; Samaullah 1986; Sudjana dan Setiyono 1986; Sudjana 1992; Soewito 2003; dan Dahlan 2004). 163
AZRAI ET AL.: STABILITAS HASIL JAGUNG HIBRIDA
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui daya hasil dan stabilitas hasil tujuh genotipe jagung hibrida.
BAHAN DAN METODE
Genotipe-genotipe jagung yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua hibrida silang tiga jalur yaitu STJ33, dan STJ35, empat hibrida silang tunggal yaitu ST14, ST34, ST24 dan ST44, serta varietas hibrida A4 sebagai pembanding. Uji daya hasil multilokasi dilakukan di delapan lokasi pada musim kemarau (MK) 2003 dan musim hujan (MH) 2003/2004 (Tabel 1), menggunakan rancangan acak kelompok, empat ulangan. Jarak tanam adalah 70 cm antarbaris dan 20 cm dalam baris atau setara dengan populasi 71.428 tanaman/ha. Tiap lubang ditanam dua biji, kemudian diperjarang menjadi satu tanaman per lubang saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam. Pemupukan tahap pertama dilakukan pada saat tanam dengan dosis 100 kg urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan tahap kedua dilakukan pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam dengan dosis 250 kg urea/ha. Insektisida dan fungisida diaplikasikan sesuai dengan kebiasaan petani setempat. Aplikasi insektisida dan fungisida disesuaikan dengan dosis yang tercantum pada kemasannya. Pengujian ketahanan terhadap penyakit bulai dan hawar daun dilakukan dengan teknik baris penyebar (Azrai et al. 2000) pada petak percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, empat ulangan. Pengujian dilaksanakan di Desa Doulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Tanah Karo pada MK 2003 dan MH 2003/ 2004. Inokulum masing-masing penyakit berasal dari tanaman yang sangat peka terhadap penyakit utama tersebut (jagung manis). Penanaman jagung penular ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan di dalam plot khusus yang terpisah. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, umur berbunga, umur masak fisiologis, dan ketahanan
terhadap penyakit bulai dan hawar daun. Pengamatan uji ketahanan genotipe terhadap penyakit bulai dilakukan dengan mencabut dan menghitung jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi bulai pada tiap genotipe. Jadwal pengamatan dilakukan mulai dari umur 14, 21, 28, dan 35 HST. Data dari pengamatan pertama hingga keempat dijumlahkan kemudian dikonversi ke dalam persentase infeksi (PI) penyakit bulai dengan menggunakan rumus: PI =
Ti —— X 100% T
di mana : PI = Persentase infeksi penyakit Ti = Jumlah tanaman terinfeksi per petak T = Jumlah tanaman per petak
Penyakit hawar daun diamati secara visual dengan menggunakan sekor 1-5 yang dilakukan pada akhir stadia pembungaan (CIMMYT 1994) sebagai berikut: Sekor 1 : daun tidak terinfeksi penyakit Sekor 2 : dua-tiga daun yang berada di bawah tongkol tertular penyakit Sekor 3 : infeksi penyakit mencapai dua-tiga daun di atas tongkol Sekor 4: infeksi mencapai hampir semua daun, kecuali dua-tiga daun bagian atas Sekor 5 : hampir semua daun tanaman terinfeksi. Hasil tongkol panen (dalam kg) di setiap lokasi dikonversi ke dalam pipilan kering simpan (kadar air 14%) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (CIMMYT 1994): 10000 100-KA Hasil (t/ha) = ———— x — — — x B x SP L.P 100-14 KA L.P B SP
=Kadar air biji waktu panen = Luas panen (m2). = Bobot tongkol kupasan (kg) = Rata-rata shelling percentage/rendemen
Tabel 1. Deskripsi lokasi pengujian hibrida jagung pada MK 2003 dan MH 2003/2004. Tanaman sebelumnya Nama lokasi
Samura, Sumatera Utara Doulu, Sumatera Utara Sei Semayang, Sumatera Utara Saniang Baka, Sumatera Barat Bukit Tandang, Sumatera Barat Janti, Jawa Timur Tempursari, Jawa Timur Kalipang, Jawa Timur
164
Ketinggian (m dpl)
Jenis lahan
MK
MH
1,000 1,050 60 450 250 360 80 120
Tegalan Sawah Tegalan Sawah Sawah Tegalan Sawah Sawah
Kacang tanah Tomat Jagung Padi Padi Kacang tanah Padi Padi
Jagung Jagung Jagung Jagung Jagung Jagung Jagung Jagung
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006
Analisis data karakter hasil dilakukan secara individu (per lokasi, per musim) dengan menggunakan model matematik sebagai berikut (Villena 1990):
Bi > 1,0: memiliki stabilitas di bawah rata-rata, beradaptasi khusus di lingkungan subur.
Yi = + i + j + ij
di mana: Y i = hasil pengamatan setiap peubah = nilai tengah umum i = pengaruh genotipe j = pengaruh blok ij = pengaruh galat
Untuk membandingkan hibrida-hibrida baru dengan varietas pembanding, dilakukan uji LSI (Least Significant Increase) pada t= 0,05 (Petersen 1994). Analisis gabungan menggunakan model linear sebagai berikut (Villena 1990): Yi = + i + j + ()ij +k + ()ik +()jk+ ()ijk +ijk di mana: Yi = = i = j = ()ij = k = ()ik = ()jk = ()ijk = ijk =
hasil pengamatan nilai tengah umum pengaruh lokasi ke-i pengaruh genotipe ke-j interaksi genotipe x lokasi ke-i pengaruh musim ke-k interaksi lokasi x musim interaksi genotipe x musim interaksi genotipe x lokasi x musim pengaruh galat
Interaksi hasil x lingkungan apabila nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan uji stabilitas hasil metode Eberhart dan Russel (1966), dengan model linear sebagai berikut: Yij = Ui + BiIj + dij
di mana: Yij = hasil genotipe ke-i pada lingkungan ke-j Ui = rata-rata hasil varietas ke-i pada semua lingkungan Bi = koefisien regresi varietas ke-i pada indeks lingkungan Ij = indeks lingkungan ke-j yang dikurangi rata-rata umum dij = simpangan regresi varietas ke-i pada lingkungan ke-j
Nilai Bi juga digunakan untuk menilai daya adaptibilitas suatu genotipe uji (Finlay and Wilkinson 1963) sebagai berikut: Bi < 1,0: memiliki stabilitas di atas rata-rata, tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan, beradaptasi baik pada lingkungan kurang subur. Bi = 1,0: memiliki stabilitas rata-rata, beradaptasi baik di semua lingkungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis gabungan menunjukkan bahwa lokasi dan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap hasil biji dan terdapat interaksi genotipe x lokasi, namun interaksi yang nyata genotipe x musim tidak nyata (Tabel 2). Nilai kuadrat tengah genotipe uji yang lebih tinggi daripada kuadrat tengah interaksi genotipe x musim, genotipe x lokasi, dan genotipe x musim x lokasi mengindikasikan bahwa pengaruh genetik lebih dominan daripada lingkungan. Interaksi genotipe x lokasi seperti yang terjadi pada penelitian ini memberikan petunjuk bahwa terdapat genotipe yang memiliki peringkat hasil yang tidak konsisten pada lokasi yang berbeda. Soemartono et al. (1992) mengemukakan terjadinya interaksi genotipe x lingkungan seperti musim, lokasi, dan menggambarkan penampilan genotipe tidak sama pada lingkungan yang berbeda dan sebaliknya. Penampilan suatu karakter materi pemuliaan yang diseleksi ditentukan oleh tingkat kepekaannya terhadap lingkungan. Kebanyakan materi seleksi memberikan penampilan yang tinggi pada lingkungan yang baik, namun sebaliknya pada lingkungan yang jelek. Tingkat kepekaan genotipe terhadap lingkungan turut menentukan tingkat kestabilannya, yang dapat diukur melalui besaran nilai interaksi genotipe x lingkungan. Karena hasil biji merupakan karakter kuantitatif, pengulangan musim dan lokasi dapat menghilangkan pengaruh lingkungan yang berbeda di antara bahan uji apabila pengaruh interaksinya tidak besar (Petersen 1994).
Tabel 2. Analisis gabungan untuk karakter hasil biji, MK 2003 dan MH 2003/2004. Sumber variasi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Musim (M) Lokasi (L) MxL Ulangan/M x L Genotipe (G) GxM GxL GxMxL Galat
1 7 7 48 6 6 42 42 288
0,636 19,871 10,214 26,414 117,743 0,731 14,354 6,788 318,072
0,636 tn 2,839** 1,459 tn 0,550 19,624** 0,122 tn 0,342* 0,162 tn 1,104
Total KK
447
514,824 11.66%
**) nyata pada uji F 0,01; *) nyata pada uji F 0,05; tn tidak nyata
165
AZRAI ET AL.: STABILITAS HASIL JAGUNG HIBRIDA
Rata-rata hasil biji per lokasi dan per musim disajikan pada Tabel 3. Analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe ST14 memberikan hasil yang nyata lebih tinggi pada hampir semua lokasi, kecuali di Janti pada musim kemarau serta di Saning Baka dan Kalipang pada musim hujan. Genotipe ST24 memberikan hasil tertinggi dan nyata lebih tinggi dari varietas A4, baik pada musim kemarau maupun musim hujan, sedangkan hasil ST14 nyata lebih tinggi dari varietas A4 pada MK 2003. Oleh karena pengaruh interaksi genotipe x musim tidak nyata (Tabel 2), maka dilakukan analisis ragam gabungan musim untuk tiap-tiap lokasi pengujian (Tabel 4). Hasil analisis menunjukkan hampir semua genotipe uji pada delapan lokasi memberikan hasil yang berbeda nyata dengan varietas pembanding, kecuali hibrida STJ33 yang tidak nyata di Doulu, Sei Semayang, dan Saniang Baka. Nilai koefisien keragaman di lokasi pengujian seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, 3, dan 4 umumnya kecil, di bawah 20%. Hal ini berarti keragaman antarulangan akibat faktor lain yang tidak bisa dikendalikan adalah kecil. Nilai koefisien regresi (bi) calon varietas hibrida yang diuji bervariasi antara 0,71-1,25 dan tidak berbeda nyata
dengan satu, sedangkan simpangan regresi ST14 dan ST24 berbeda nyata dengan nol (Tabel 5). Nilai bi tersebut memiliki makna bahwa hasil genotipe uji akan meningkat sebesar bi pada setiap penambahan satu unit indeks lingkungan (Petersen 1994). Suatu genotipe dikatakan stabil jika nilai koefisien regresinya tidak berbeda nyata dengan satu atau simpangan regresinya tidak berbeda nyata dengan nol (Eberhart and Russel 1966). Jika koefisien regresi tidak berbeda nyata dengan satu, maka penentuan kestabilan daya hasil genotipe adalah simpangan regresinya. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Langer et al. (1979) serta Soegito dan Toxopeus (1989) yang menyatakan bahwa koefisien regresi dapat digunakan sebagai penilai tanggap genotipe terhadap lingkungan, sedangkan parameter simpangan regresi dapat bertindak sebagai pengukur kestabilan. Berdasarkan kriteria tersebut, semua genotipe uji dinilai stabil, kecuali ST14 dan ST24. Finlay dan Wilkinson (1963) menyatakan bahwa genotipe yang memiliki nilai bi yang tidak berbeda nyata dengan satu dan hasilnya lebih tinggi dari rata-rata hasil seluruh galur yang diuji, berpeluang untuk beradaptasi baik pada semua lingkungan atau memiliki adaptasi umum. Berdasarkan kriteria tersebut maka STJ33, STJ45,
Tabel 3. Hasil biji kering genotipe uji dan varietas pembanding pada kadar air 14% di delapan lokasi, MK 2003 dan MH 2003/2004. Hasil (t/ha) Genotipe Samura
Doulu
Sei Semayang
Sanian Baka
Bukit Tandang
Janti
Tempur Sari
Kalipang
Rata-rata
MK 2003 STJ33 STJ45 ST14 ST24 ST34 ST44 A4
10,34 10,24 11,25* 12,08* 10,90* 11,02* 9,93
9,87 10,14 10,87* 11,17* 10,17 10,66* 9,49
9,95 10,08 10,91* 11,24* 10,55 10,72* 9,49
9,66 10,14 11,18* 11,11 10,46 10,61 9,57
10,08 10,26 11,06* 10,98 10,86 10,75 9,73
10,16 10,25 10,97 10,96 10,00 10,81 9,75
9,84 10,02 11,04* 11,22* 10,48 10,92 9,59
9,71 9,83 10,48* 10,92* 9,90 10,65* 9,33
9,95 10,12 10,97* 11,21* 10,42 10,77 9,61
Rata-rata LSI 5% KK %
10,82 0,97 7,3
10,34 1,00 7,9
10,42 1,19 9,3
10,39 1,57 12,3
10,50 1,25 9,7
10,41 1,30 10,1
10,44 1,34 10,4
10,12 1,07 8,7
10,43 1,21 9,5
10,27 10,32 11,26* 12,39* 11,53* 11,01 9,82
11,36 11,72* 11,33 11,28 10,65 11,17 10,32
9,75 10,09 11,17* 11,00* 10,77 10,69 9,74
10,19 9,9 10,95 10,87 10,72 10,89 9,40
9,63 10,1 10,76* 10,62 10,08 10,78· 9,30
9,97 10,27 10,91 10,97* 10,27 10,73 9,57
9,74 9,96 10,75* 11,06* 10,40 10,61 9,51
9,69 10,01 10,86 10,89 10,02 10,72 9,61
10,08 10,30 11,00* 11,14* 10,59 10,83 9,66
10,94 1,26 9,4
11,12 1,19 8,7
10,46 1,20 9,3
10,45 1,65 12,9
10,18 1,40 11,2
10,38 1,37 10,7
10,29 1,24 9,8
10,26 1,43 11,3
10,51 1,34 10,4
MH 2003/2004 STJ33 STJ45 ST14 ST24 ST34 ST44 A4 Rata-rata LSI 5% KK %
* = berbeda nyata dengan varietas hibrida pembanding (A4) pada taraf uji 0,05 LSI
166
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006
Tabel 4. Rata-rata hasil genotipe uji dan varietas pembanding pada delapan lokasi, berdasarkan analisis gabungan MK 2003 dan MH 2003/ 2004. Hasil (t/ha) Genotipe Samura
Doulu
Sei Semayang
Sanian Baka
Bukit Tandang
Janti
Tempur Sari
Kalipang
Rata-rata
STJ33 STJ45 ST14 ST24 ST34 ST44 A4
10,31 10,28 11,25 12,24 11,21 11,02 9,88
10,61 10,93 11,10 11,22 10,41 10,91 9,91
9,85 10,09 11,04 11,12 10,66 10,70 9,61
9,92 10,02 11,06 10,99 10,59 10,75 9,48
9,86 10,18 10,91 10,80 10,37 10,76 9,51
10,07 10,26 10,94 10,96 10,14 10,77 9,66
9,79 9,99 10,89 11,14 10,44 10,76 9,55
9,70 9,92 10,67 10,90 9,96 10,68 9,47
10,01 10,21 10,98 11,17 10,47 10,79 9,63
Rata-rata LSI 5% KK %
10,88 0,365 8,4
10,73 0,765 8,3
10,44 0,287 9,3
10,40 0,444 12,6
10,34 0,279 10,5
10,40 0,208 10,4
10,37 0,144 10,1
10,19 0,208 10,1
10.46 0.25 11.66
· = berbeda nyata dengan varietas hibrida pembanding (A4) pada taraf uji 0,05 LSI.
Tabel 5. Hasil, koefisien regresi, dan simpangan regresi tujuh genotipe uji dan varietas pembanding di delapan lokasi pada MK 2003 dan MH 2003/2004. Rata-rata hasil biji (t/ha)
Koefisien regresi (bi)
Simpangan regresi
STJ33 STJ45 ST14 ST24 ST34 ST44 A4
10,01 10,21 10,98 11,17 10,47 10,79 9,63
1,11 tn 1,01 tn 0,82 tn 1,25 tn 1,12 tn 0,89 tn 0,81 tn
0,02 0.00 0,15* 0,12* 0,03 0,09 0,03
Rata-rata
10,46
1,00
Genotipe
*=berbeda nyata dengan nol, tn= tidak berbeda nyata dengan b=1
ST34, dan ST44 memiliki daya adaptasi umum yang baik, sehingga berpeluang dibudidayakan di lahan sawah dan tegalan, baik pada dataran rendah, menengah maupun dataran tinggi. Genotipe ST14, memiliki stabilitas di atas rata-rata dengan nilai bi < 1 sehingga tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan, dan dapat beradaptasi baik pada lingkungan kurang subur. ST24 memiliki stabilitas di bawah rata-rata dengan nilai bi > 1, sehingga beradaptasi khusus di lingkungan subur dan hasilnya semakin meningkat dengan semakin suburnya lahan. Menurut Subandi et al. (1988), genotipe-genotipe yang dapat mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan cenderung memiliki stabilitas yang tinggi, sehingga dalam program pemuliaan perlu diperhatikan karakter-
karakter lain yang dapat mendukung stabilitas suatu genotipe. Beberapa karakter agronomis penting dan ketahanan genotipe uji terhadap penyakit utama jagung disajikan pada Tabel 6. Pengamatan terhadap karakter agronomis menunjukkan bahwa ST14 dan ST24 memiliki tanaman yang nyata lebih pendek dan umur panen nyata lebih genjah dibandingkan varietas A4. Informasi tentang tinggi tanaman dan letak kedudukan tongkol sangat penting untuk budi daya jagung karena ada daerah-daerah tertentu yang cocok untuk tanaman yang lebih pendek, terutama pada daerah yang tinggi dengan tiupan angin kencang (Azrai et al. 2004). Selain itu, ST14 dan ST24 juga memiliki umur berbunga dan matang fisiologis yang nyata lebih cepat daripada varietas pembanding. Umur berbunga merupakan salah satu kriteria yang digunakan oleh para pemulia jagung sebagai salah satu indikator seleksi untuk menghasilkan varietas berdaya hasil tinggi dan dapat dipanen lebih awal. Selain faktor agronomis, faktor ketahanan terhadap penyakit juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendukung stabilitas hasil suatu varietas. Penyakit yang paling berbahaya pada tanaman jagung di Indonesia adalah bulai dan hawar daun (Mikoshiba 1983; Sumartini dan Sri Hardiningsih 1995). Informasi ketahanan genotipe uji terhadap kedua penyakit utama tersebut disajikan pada Tabel 6. Hasil pengujian menunjukkan bahwa genotipe STJ33, STJ45, ST34, dan ST44 memiliki tingkat ketahanan yang nyata lebih tinggi terhadap penyakit bulai dan hawar daun, sedangkan genotipe ST14 dan ST24 nyata lebih rentan dibandingkan dengan varietas A4.
167
AZRAI ET AL.: STABILITAS HASIL JAGUNG HIBRIDA
Tabel 6. Nilai tengah beberapa karakter agronomis genotipe uji dan varietas pembanding di delapan lokasi pada MK 2003 dan MH 2003/2004. Genotipe
Tinggi tanaman (cm)
50% umur berbunga betina (hari)
50% umur berbunga jantan (hari)
Umur masak fisiologis (hari)
Bulai (%)
STJ33 STJ45 ST14 ST24 ST34 ST44 A4
201 a 202 a 197 b 196 b 204 a 203 a 200
58 a 58 a 54 b 54 b 59 a 59 a 581
56 tn 56 tn 50 b 53 b 57 tn 56 tn 56
103 tn 103 tn 99 b 99 b 103 tn 104 tn 103
5,4 4,5 47,5 50,4 0,8 0,5 10,8
LSI 0,05 KK (%) GxL
0,62 5,00 **
0,32 9,00 **
1,48 8,00 tn
0,48 4,00 **
1,73 12,5 tn
Hawar daun (skor 1-5)
b b a a b b
1,5 b 1,4 b 2,7 a 2,8 a 1,0 b 1,0 b 2,2 0,10 6,5 tn
* = berbeda nyata pada uji t 0,05; ** = berbeda nyata pada uji t 0,01 a = nyata lebih tinggi dari varietas pembanding (A4); b = nyata lebih rendah dari varietas pembanding (A4); tn = tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding (A4). Nilai skor: 1 sangat tahan, 5 sangat peka.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Semua genotipe uji memberi hasil yang nyata lebih tinggi dari varietas pembanding (A4). 2. Genotipe ST14 memperlihatkan hasil yang nyata lebih tinggi pada hampir semua lokasi, kecuali di Janti pada musim kemarau serta di Saning Baka dan Kalipang pada musim hujan. Genotipe ST24 memberi rata-rata hasil tertinggi. 3. Semua genotipe uji dinilai stabil, kecuali ST14 yang memiliki stabilitas hasil di atas rata-rata, sehingga dapat beradaptasi baik pada lahan kurang subur, ST24 yang memiliki stabilitas hasil di bawah rata-rata sehingga hasilnya semakin tinggi dengan semakin suburnya lahan. 4. ST14 dan ST24 memiliki tinggi tanaman yang nyata lebih pendek dan umur tanaman nyata lebih genjah daripada varietas A4, namun kedua genotipe rentan terhadap penyakit bulai dan hawar daun.
Azrai, M., F. Kasim, dan M. Jabbar. 2000. Teknik penyaringan galur jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan tanaman baris penyebar. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasmanutfah. PERIPI. Bogor, 2: 239-245.
UCAPAN TERIMA KASIH
Mikoshiba, H. 1983. Studies on the control of downy mildew disease of maize in tropical countries of Asia. Tech. Bull. Trop. Agric. Res. Cent. 16: 1-62.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Citra Nusantara Mandiri dan PT Pertani (Persero) yang telah membiayai penelitian ini.
Azrai, M., F. Kasim, M.B. Pabendon, J. Wargiono, J.R. Hidayat, dan Komaruddin. 2004. Penampilan beberapa genotipe jagung protein mutu tinggi (QPM) pada lahan kering dan lahan sawah. Penelitian Pertanian. 23 (3): 123-131. CIMMYT. 1994. Managing Trials and Reporting Data for CIMMYT’s International Maize Testing Program. Mxico, DF. Dahlan, M.M. 2004. Stabilitas jagung hibrida. Makalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor, 15 Januari 2004. 10p. Eberhart, S.A. and W.A. Russel. 1966. Stability parameters for comparing verieties. Crop Sci. 6: 36-40.
Finlay, K.W. and G.N. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in plant breeding program. Aust. J. Agric. Res. 13: 742-754.
Kang, M.S., and J.D. Miller. 1984. The genotype-environment for cane and sugar yield and their implications in sugarcane breeding. Crop. Sci. 24: 455-459. Langer, I., K.J. Frey, and T. Bailey. 1979. Associations among productivity, production response, and stability indexes in oat varieties. Euphytica 28: 17-24.
Petersen, R. G. 1994. Agricultural Field Experiment, Design and Analysis. Marcel Dekker, Inc. New York. Samaullah, M.Y. 1986. Adaptasi dan daya hasil populasi jagung umur sedang. Penelitian Pertanian 6 (2): 80-83.
Soegito dan H. Toxopeus. 1989. Pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan terhadap hasil kedelai. Dalam T. Adisarwanto et al. (Eds). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balittan Malang, p.47-50.
168
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006 Soemartono, Nasrullah, dan H. Hartiko. 1992. Genetik kuantitatif dan bioteknologi tanaman. PAU–Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan. Bogor. 2:389-396.
Soewito, T. 2003. Stabilitas hasil beberapa genotipe padi sawah umur genjah. Penelitian Pertanian. 6 (2):77-80.
Sujitno, Subandi dan A. Sudjana. 1981. Stabilitas hasil jagung umur genjah di berbagai lokasi dan musim. Penelitian Pertanian. 1(1) : 12-15.
Subandi. 1982. Yield stability of early to late corn varieties. Penelitian Pertanian. 1(1):6-10.
Sumartini dan Sri Hardiningsih. 1995. Penyakit jagung dan pengendaliannya. Monografi Balittan Malang, p.19-40.
Subandi, M.R. Hakim, A. Sudjana, M.M. Dahlan, and A. Arifin. 1979. Mean and stability for yield of early and late varieties of corn in varying environments. Cont. 51:24 p. Subandi, I. Manwan, dan A. Blumenschein. 1988. Koordinasi program penelitian nasional jagung. Puslitbangtan, Bogor. 83p. Sudjana, A. dan Setiyono. 1986. Stabilitas hasil dan kemajuan seleksi ”Gene Pool” jagung genjah. Penelitian Pertanian 6 (2):80-83.
Sudjana, A. 1992. Daya hasil dan stabilitas beberapa varietas jagung umur genjah di lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah.
Sumantri, I.H., Sutjihno, dan Suharsono. 1991. Pengaruh koefisien keragaman pada analisis stabilitas hasil galur-galur padi sawah. Penelitian Pertanian. 11(1):38-41. Suwarno, Z. Harahap, dan H. Siregar. 1984. Interaksi varietas dan lingkungan pada daya hasil padi. Penelitian Pertanian. 4 (2):86-90. Tirtowirjono, S. 1988. Adaptasi dan stabilitas hasil galur-galur harapan padi sawah. Penelitian Pertanian. 8 (1):9-11.
Villena, W.D. 1990. Analisis of data across environments and yield stability analysis. Maize Breeding at CIMMYT. 31p.
169