PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN BENIH JAGUNG Rahmawati, Yamin Sinuseng dan Sania Saenong Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros ABSTRAK Benih secara struktural adalah sama dengan biji, tetapi secara fungsional benih merupakan benda hidup dan akan mengalami proses deteriorasi yang mengakibatkan turunnya kualitas benih. Sedangkan ketersediaan benih yang bermutu tinggi adalah merupakan salah satu kunci keberhasilan di bidang pertanian. Untuk itu diperlukan suatu perlakuan yang dapat memperpanjang jangkauan hidup benih. Panen dan pascapanen yang tepat adalah suatu cara yang dapat menangani masalah tersebut dan dapat meningkatkan kualitas benih. Umumnya tahapan penanganan panen dan pascapanen jagung yang tepat adalah panen, seleksi tongkol, pengeringan tongkol, pemipilan, pengeringan biji jagung, sortasi benih, pengemasan dan penyimpanan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan tahapan tersebut secara baik, benih dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan demikian keadaan seperti ini akan sangat menguntungkan bagi petani maupun penangkar benih. Kata kunci : Benih jagung, panen dan pascapanen PENDAHULUAN Benih merupakan benda hidup dan untuk itu harus dipertahankan hingga digunakan untuk usahatani oleh petani pengguna, pada saat yang tepat ataupun pada musim tanam yang akan datang.. Umumnya petani di beberapa tempat masih menggunakan hasil panennya untuk dijadikan benih untuk musim tanam berikutnya. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di Sulsel dan Gorontalo pada tahun 2003 (Saenong et al., 2003) menunjukkan bahwa 60% petani responden di kabupaten Boalemo Propinsi Gorontalo dan 91,9% petani responden di kabupaten Bulukumba Propinsi Sulsel menggunakan hasil panen sebagai benih untuk pertanaman berikutnya. Kasus di kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat, petani lahan kering pada pertanaman musim hujan (Desember – Maret) pada umumnya menggunakan benih F2 dari hibrida yang ditanam pada lahan sawah. Untuk mendapatkan benih jagung yang berkualitas, maka kegiatan produksi benih harus dilakukan dengan cara yang tepat dan benar. Kegiatan produksi benih memiliki tiga komponen yaitu benih atau tanaman, lingkungan tumbuh atau lapangan produksi, dan teknik budidaya serta pengelolaan. Kegiatan panen dan pascapanen merupakan rangkaian proses yang meliputi pemanenan, seleksi tongkol, pengeringan tongkol, pemipilan, penjemuran biji, sortasi biji, pengemasan dan penyimpanan. Setiap proses tersebut merupakan sumber kemungkinan terjadinya susut kualitas dan susut kuantitas baik oleh keterlambatan atau penundaan, kesalahan penanganan maupun karena penggunaan peralatan yang tidak tepat. Sedang dalam konteks agronomi, benih dituntut untuk bermutu tinggi sebab benih harus mampu menghasilkan tanaman yang berproduksi maksimum dengan sarana teknologi yang maju (Sadjad, 1977)). Oleh karena itu untuk memperoleh mutu benih yang tinggi, pengelolaannya harus dilakukan dengan cara yang tepat dan benar sejak di pertanaman, saat panen dan setelah panen (pasca panen).
PEMANENAN Pemanenan merupakan salah satu faktor yang penting dalam produksi benih. Waktu panen dan metode panen sangat mempengaruhi kualitas benih yang dihasilkan. Panen benih jagung sebaiknya dilakukan pada saat benih masak fisiologis yang dicirikan dengan telah
terbentuknya minimal 50% lapisan hitam (black layer) dari setiap tongkol dengan mengambil sekitar 4 tongkol secara acak. Panen yang dilakukan pada masak fisiologis benih berada pada kondisi puncak. Namun, pemanenan yang dilakukan saat benih masak fisiologis kadar air benih masih tinggi yaitu antara 25 – 30% dan hal ini menyebabkan benih menjadi mudah rusak serta tidak tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini terjadi karena adanya proses heating yang menyebabkan laju deteriorasi tinggi dan menimbulkan kerawanan karena benih mudah terserang oleh hama dan cendawan (Kuswanto, 2003). Oleh karena itu, pemanenan yang dilakukan pada musim kemarau, tongkol dibiarkan di lapangan antara 5 - 10 hari dengan membuka dan atau tanpa membuka kelobot agar kadar air menurun sekitar 18 – 22%. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Sambelia, NTB tahun 2005, pemanenan yang dilakukan pagi dan sore hari pada hari yang sama diperoleh kadar air panen yang berbeda. Panen yang dilakukan pada pagi hari, kadar air yang diperoleh sebesar 31,07% sedangkan panen yang dilakukan pada sore hari kadar airnya 26,6% (dapat dilihat pada Tabel 1). Dengan terjadinya perbedaan kadar air yang cukup mencolok sangat berpengaruh terhadap proses pengeringan. Kadar air panen yang rendah akan membantu dalam proses pengeringan (tidak membutuhkan waktu yang lama). Tabel 1. Penurunan kadar air panen pada tongkol jagung dengan waktu panen yang berbeda di desa Sambelia, Nusa Tenggara Barat. 2005 Waktu Pengamatan Kadar Air Panen (%) (hari) Pagi Sore 1 pagi 31,07 26,6 sore 25,90 25,9 2 pagi 26,2 23,1 sore Tak diukur/hujan 22,3 3 pagi 24,1 21,6 sore 19,2 17,8 4 pagi 20,5 20,0 sore 18,3 14,9 Sumber : Rahmawati, 2005
SELEKSI TONGKOL Seleksi tongkol umumnya dilakukan secara visual dengan cara manual. Tongkol jagung yang kecil/inferior, ompong dipisahkan dari tongkol yang baik, dan adanya biji warna lain atau yang terinfeksi penyakit dalam satu tongkol juga dikeluarkan. Dengan melakukan seleksi tongkol tanpa sortasi biji, daya berkecambah yang diperoleh setelah penyimpanan 10 bulan masih baik yaitu 96,67 dengan kadar air 8,9% (Penelitian masih berjalan, 2005).
(a)
(b)
(a) (b) Gambar 2. (a) Seleksi tongkol yang dilakukan oleh petani di desa Sambelia, NTB (b) Daya berkecambah periode simpan 10 bulan PENGERINGAN Pengeringan benih bertujuan untuk mengurangi kadar air benih sampai pada taraf yang aman untuk penyimpanan dan mempertahankan viabilitas benih terutama yang berada di daerah bersuhu dan kelembapan tinggi. Proses pengeringan untuk produksi benih umumnya dilakukan dua tahapan. Tahap pertama adalah pengeringan tongkol untuk menurunkan kadar air setelah panen dari kisaran ± 30% menjadi antara 15 – 17% dan tahap kedua pengeringan biji untuk menurunkan kadar air dari 15 – 17% menjadi kadar air yang aman untuk disimpan yaitu berkisar 9 – 10%.
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : menjemur langsung dengan menggunakan sinar matahari dan menggunakan pengering buatan (artifisial). Kedua cara ini masing-masing mempunyai kelemahan dan keunggulan.
100 100 90 T. Pengering Ambient RH 82 78 74 74 80 80 72 72 72 72 68 70 60 60 53.5 53 52 48 47 50 39 47 40 34.5 33.5 33.5 33 36 30 40 33 33 30 30 32 29 20 20 10 0 0 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 Waktu pengamatan (Pukul)
Kelembaban relatif ( % )
o
Suhu ( C )
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari ini mempunyai kelebihan antara lain : 1) tidak memerlukan bahan bakar, 2) memperluas kesempatan kerja dan 3) sinar infra matahari mampu menembus ke dalam sel benih. Sedangkan kekurangannya adalah : 1) suhu pengeringan dan kelembaban nisbi tidak dapat dikontrol, sehingga sering terjadi keretakan pada benih (sun cracking), 2) memerlukan tempat yang luas, 3) hanya berlangsung jika ada sinar matahari, 4) sering terjadi perubahan warna dan fermentasi pada benih dan 5) pengeringan tidak konstan karena penyinaran matahari tidak tetap intensitasnya. Suhu lantai jemur cukup tinggi yaitu mencapai 53oC (Gambar 3), sehingga berpeluang terjadinya pemanasan yang berlebih (over heating) dan terjadinya keretakan pada bahan (sun cracking).
Gambar 3. Suhu lantai jemur dan ambient pada pukul 09.00 wita sampai dengan 16.00 wita Pengeringan dengan menggunakan alat pengering Pengeringan dengan menggunakan alat pengering ini mempunyai keuntungan diantaranya :1) tidak tergantung dengan cuaca, 2) kapasitas pengering dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, 3) tidak memerlukan tempat yang luas, dan 4) kondisi pengeringan mudah dikontrol (Taib. G et al., 1987). Sedangkan kekurangannya adalah biaya pengeringan relatif mahal, dan yang menjadi penyebabnya adalah penggunaan bahan bakar minyak (minyak tanah dan solar) di dalam pengoperasiannya. Pengeringan dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial dryer) Dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan mesin pengering yang telah ada dan digunakan oleh petani, maka pada tahun 2003 Balitsereal telah merancang mesin pengering yang dalam pengoperasiannya tidak memerlukan pembalikan. Hasil pengujian di tingkat petani penangkar menunjukkan bahwa pada pengeringan jagung tongkol, waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar air biji jagung rata-rata 24,10% menjadi ± 16,39% adalah 9 jam dengan suhu pengering bervariasi antara 34,80oC sampai 38,00oC, begitu pula dengan kelembaban nisbi bervariasi dari 61% sampai 92%. Untuk menghasilkan dan mempertahankan suhu pengering agar tetap pada kisaran tersebut, dilakukan pengaturan jumlah dan interval waktu pengumpanan bahan bakar (janggel jagung) ke dalam tungku. Jumlah janggel jagung yang diumpankan ke dalam tungku adalah ± 3,0 kg setiap interval waktu 20 menit sehingga janggel jagung yang digunakan selama pengeringan jagung tongkol adalah 81 kg. Sedangkan pengeringan biji jagung pipilan mampu menurunkan kadar air dari ± 16,90% menjadi kadar air ± 11,62% dan membutuhkan waktu selama 7 jam (dapat dilihat pada Tabel 2). Jumlah biji jagung pipilan yang dikeringkan sebanyak 2060 kg dengan ketebalan tumpukan 35 cm. Suhu pengering selama pengeringan berlangsung bervariasi dari 40,90oC sampai 42,80oC begitu pula dengan
kelembaban nisbi bervariasi dari 65% sampai 95%. Untuk mendapatkan dan mempertahankan kisaran tersebut, maka setiap interval waktu 30 menit jumlah janggel jagung yang dimasukkan ke dalam tungku sebanyak ± 6 kg atau 84 kg janggel jagung selama proses pengeringan biji jagung pipilan. Pengeringan benih harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari terjadinya kerusakan benih karena kehilangan air dalam waktu singkat, yang dapat menyebabkan pecahnya benih atau stres. Oleh karena itu, suhu yang digunakan harus dijaga dalam kisaran 38oC – 43oC. Apabila kadar air benih yang akan dikeringkan ≥ 18%, maka suhu pengeringan maksimal 38 oC. Namun, setelah kadar air benih < 18%, maka suhu pengeringan dapat dinaikkan maksimal 43oC. Perbedaan kadar air biji pada lapisan atas, tengah dan bawah selama proses pengeringan jagung tongkol dan pengeringan biji jagung pipilan berlangsung sangat rendah yaitu masing-masing antara 0,05 sampai 0,2% dan 0,02 sampai 0,11% lebih rendah jika dibandingkan dengan alsin pengering yang menggunakan tenaga kerja untuk pembalikan yaitu antara 4 – 6% (Thahir R, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembalikan dapat digantikan dengan pengaturan arah aliran udara pengering dari bawah dan atas secara bergantian setiap 1 jam sehingga dapat mengurangi jumlah tenaga dan beban kerja pada proses pengeringan.
Gambar 4. Alat pengering buatan model PTP1-4K-Balitsereal
Tabel 2. Kondisi pengeringan dan penurunan kadar air pada pengeringan biji jagung dengan tongkol dengan menggunakan alat pengering buatan, 2004. Kondisi udara Suhu Kadar air biji (%) Periode Suhu lingkungan pengering Pengamatan buangan Lapisan Lapisan Lapisan (°C) Suhu (°C) RH (jam) (°C) bawah tengah atas (%) Tbb Tbk 0 26.0 27.0 92 30.4 30.4 24.10 24.10 24.10 1 26.0 27.0 92 36.8 30.9 23.29 23.20 23.21 2 26.0 28.0 84 36.6 30.6 22.42 22.40 22.41 3 25.0 26.0 91 37.8 32.1 21.64 21.62 21.63 4 25.0 26.0 91 37.0 32.3 20.78 20.70 20.83 5 25.0 26.0 91 37.1 31.9 19.88 19.89 19.93 6 26.5 30.0 73 38.0 31.7 19.04 19.06 19.08 7 28.0 32.5 68 37.5 32.1 18.06 18.08 18.10 8 28.5 33.0 68 37.3 31.5 17.12 17.23 17.24 9 28.5 34.5 61 37.0 31.5 16.31 16.43 16.42 Sumber : Sinuseng et al., 2004 Tabel 3. Kondisi cuaca dan penurunan kadar air pada pengeringan biji jagung pipilan dengan menggunakan alat pengering buatan, 2004. Kondisi udara Kadar air biji (%) Periode Suhu Suhu lingkungan Pengamatan Pengering buangan Lapisan Lapisan Lapisa Suhu (°C) RH (jam) (°C) (°C) bawah tengah n atas (%) Tbb Tbk 0 26.0 27.5 87 34.5 34.5 16.90 16.90 16.90 1 25.0 27.0 83 41.8 35.5 16.25 16.26 16.29 2 25.0 26.0 91 43.0 35.6 15.44 15.49 14.49 3 24.0 24.0 100 42.5 37.9 14.68 14.72 14.73 4 23.5 24.0 95 42.3 36.0 13.89 13.94 13.96 5 24.0 25.0 91 42.8 38.1 13.00 13.17 13.19 6 28.0 32.5 69 42.8 38.0 12.32 12.39 12.42 7 28.0 33.0 65 42.8 36.4 11.56 11.64 11.66 Sumber : Sinuseng et al., 2004 Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari Penjemuran dilakukan dengan menghamparkan benih secara merata di atas lantai jemur yang bersih dan membolak-baliknya sesering mungkin sehingga tidak terjadi pemanasan yang berlebihan (over heating) yang dapat mengakibatkan benih retak (sun cracking) (Suryo Busono. 1983). Apabila diduga akan turun hujan, lebih baik jika benih disebarkan di dalam gedung berventilasi. Pada Tabel 4, menunjukkan penurunan kadar air selama proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari pada biji jagung setelah sortasi biji.
Tabel 4. Pengeringan biji jagung setelah sortasi biji dengan menggunakan sinar matahari di Maros, 2005. Ukuran Diameter Waktu Pengamatan Kadar Air (%) Biji (mm) (hari) Ulangan Jam (wita) I II III Uk. ≥ 8 mm 1 13.45 11,5 11,4 11,7 14.00 2 8.30 10,6 10,3 11,1 14.00 9,2 9,4 10,0 3 10.00 9,5 9,8 9,9 (tak dijemur) 14.00 4 9.45 10,2 10,6 10,6 14.00 5 10.00 9,7 9,9 9,7 (tak dijemur) 14.00 Uk. 7 – 8 mm 1 13.45 11,2 12,0 11,8 14.00 2 8.30 10,6 10,6 10,4 14.00 9,6 10,4 10,5 3 10.00 10,3 9,9 10,6 (tak dijemur) 14.00 4 9.45 10,5 10,7 10,5 14.00 5 10.00 9,8 9,6 10,0 (tak dijemur) 14.00 Uk. 6 – 7 mm 1 13.45 10,9 11,3 10,9 14.00 2 8.30 10,3 10,2 10,2 14.00 9,2 9,4 10,3 3 10.00 9,9 10,0 9,9 (tak dijemur) 14.00 4 9.45 10,1 10,0 10,0 14.00 5 10.00 10,3 10,5 10,3 (tak dijemur) 14.00 Sumber : Rahmawati, 2005
PEMIPILAN Pemipilan benih dapat dilakukan secara manual ataupun dengan menggunakan mesin pemipil. Kadar air benih yang akan dipipil adalah merupakan faktor penentu mutu hasil pipilan. Kisaran kadar air terbaik untuk pemipilan adalah 15 – 17%. Kadar air yang tinggi saat pemipilan dapat mengakibatkan benih mudah rusak. Y. Sinuseng, et al., (2002) melaporkan bahwa pemipilan menggunakan metode mekanis pada jagung varietas lamuru dengan tiga tingkatan kadar air (15%, 21,5% dan 28%) diperoleh tingkat kerusakan yang berbeda pula (Tabel 5).
Tabel 5. Mutu pipilan menggunakan mesin pipil model PJ-M1-Balitsereal pada tiga tingkatan kadar air Mutu pipilan Kadar air (%) Biji pecah Kotoran Tidak terpipil
....................... % .................... 15,0 0.20 0.20 21,5 1.21 1.30 28,0 3.19 1.51 Sumber : Sinuseng et al. 2002
0.10 1.54 3.82
Metode Pemipilan Metode Manual Perontokan secara manual mempunyai kelebihan karena benih yang pecah kurang. Namun, kapasitas perontokan rendah sehingga akan berpeluang terjadinya penundaan kegiatan selanjutnya (proses pengeringan biji). Dengan terjadinya penundaan tersebut, memungkinkan terjadinya kontaminasi cendawan dan serangan hama yang dapat mempengaruhi viabilitas benih. Metode Mekanis Perontokan untuk produksi benih dapat dilakukan dengan menggunakan mesin perontok. Mesin perontok telah banyak dibuat oleh bengkel lokal di pedesaan dan telah digunakan oleh petani. Namun, sebagian kecil yang dapat digunakan untuk merontok benih karena konstruksi dari mesin tersebut tidak dirancang khusus untuk benih. Khusus untuk produksi benih jagung, Balitsereal telah merancang mesin pipil jagung yang diberi nama mesin pipil jagung model PJ-M1-Balitsereal (Gambar 7). Mesin pipil hasil rancangan Balitsereal tersebut telah digunakan oleh beberapa petani penangkar benih jagung. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa untuk memipil jagung varietas Lamuru dengan kadar air 15% diperoleh kapasitas pemipilan 1,4 ton jagung pipilan/jam dengan kualitas hasil pipilan meliputi biji pecah 0,2%, kadar kotoran 0,20% dan biji tidak terpipil 0,10%.
Gambar 7. Mesin pipil jagung model PJ-M1-Balitsereal SORTASI BIJI Sortasi benih dalam bentuk biji bertujuan memisahkan kotoran, benih pecah, dan benih berukuran besar dan kecil. Sortasi biji ini dilakukan dengan menggunakan ayakan (sieve) baik dengan cara manual maupun secara mekanis. Cara manual dilakukan dengan menggunakan tampi yang diberi lubang sesuai dengan ukuran diameter jagung yang dikehendaki. Dari hasil penelitian benih kecil lebih cepat terjadi penurunan viabilitas daripada benih besar. Pada periode simpan 10 bulan, daya berkecambah benih berukuran diameter ≥ 8 mm adalah 96%, diameter 7 – 8 mm sebesar 97,33% dan benih yang berdiameter 6 - 7 mm sebesar 94,67% dengan kadar air berturut-turut 9,33%; 9,24% dan 9,32% (Penelitian masih berjalan, 2005). Sedangkan Hussaini et al, (1984) mendapatkan bahwa ukuran benih jagung yang lebih besar setelah mengalami penderaan masih mempunyai kemampuan berkecambah dan vigor yang lebih baik dari pada benih yang lebih kecil. Selanjutnya Abd-El-Rahman dan Bourdu (1986) menemukan bahwa laju pertumbuhan kecambah jagung meningkat dengan semakin besarnya ukuran biji. Demikian pula benih yang berbentuk bulat, lebih tinggi laju pertumbuhannya dari pada yang berbentuk pipih. Pada saat dilakukan sortasi kadar air benih ± 11%. Jika kadar air masih terlalu tinggi akan menyulitkan proses sortasi. Pada poses pengeringan sering ditemui benih yang keriput akibat panen muda.
(a)
(b)
Gambar 8. (a) Alat sortasi benih model STB1 – Balitsereal, (b) Alat sortasi manual
PENGEMASAN BENIH Untuk mempertahankan kualitas benih yang telah dikeringkan, maka perlu dilakukan pengemasan dengan menggunakan bahan pengemas yang dapat mencegah terjadinya peningkatan kadar air benih karena hal tersebut dapat meningkatkan laju deteriorasi benih. Peningkatan kadar air benih dapat terjadi karena kondisi lingkungan yang memiliki kadar air lebih tinggi serta sifat benih yang selalu ingin mencapai kondisi keseimbangan sehingga dibutuhkan bahan pengemas yang dapat menghambat perubahan kadar air benih. Bahan kemasan yang digunakan untuk benih harus terbuat dari bahan yang kedap udara, tahan terhadap regangan dan tidak mudah pecah / sobek. Plastik high density poly Etilen dengan ketebalan 0,2 mm mampu menghambat perubahan kadar air benih selama proses penyimpanan. Selain jenis kemasan yang digunakan, produsen benih juga harus memperhatikan volume kemasan sehingga saat kemasan dibuka seluruh benih dapat habis terpakai. Saenong et al., (2003) melaporkan bahwa benih jagung yang dikemas menggunakan plastik tebal (double plastik, tebal 0,09 mm) dengan volume kemasan 5 kg adalah yang terbaik. Pada penelitian yang dilakukan di Gorontalo tahun 2003 menunjukkan bahwa pada periode simpan 6 bulan, benih jagung yang tidak dikemas (hanya menggunakan karung plastik) daya berkecambahnya hanya sekitar 26 % dengan kadar air 13,5%. PENYIMPANAN BENIH Benih yang sudah dikemas sebaiknya disimpan dalam silo plastik atau silo kayu untuk menekan proses deteriorasi benih. Benih bersifat hygroskopis dan selalu berusaha mencapai kondisi equilibrium dengan lingkungannya, sehingga apabila ruangan tempat menyimpan benih mempunyai kadar air lebih tinggi dari kadar air benih, maka benih akan menyerap air dari udara sehingga kadar air benih meningkat. Peningkatan kadar air ini akan memacu laju respirasi benih dan hal ini akan meningkatkan proses perombakan cadangan makanan (proses metabolisme). Oleh Harrington (1972) dan Delouche (1990) mengatakan bahwa ketahanan simpan benih dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kadar air benih dan suhu ruang simpan. Benih jagung jika disimpan pada kadar air <10% pada suhu ruang simpan 28 oC daya berkecambah masih di atas 80% sampai pada penyimpanan 16 bulan, akan tetapi jika kadar air dinaikkan menjadi 12% daya berkecambah benihnya hanya sekitar 60%, pada kadar air 14% daya berkecambahnya hanya 40%, bahkan pada kadar air 16% sudah tidak berkecambah pada penyimpanan 6 bulan (Saenong et al., 1998). Hal ini dapat pula dilihat pada penyimpanan dengan tiga tingkatan kadar air yaitu : kadar air 9,8%; 11,6%; dan 13,5% (Tabel 6). Pada penyimpanan (menggunakan silo plastik) dengan kadar air awal 13,5% baik benih kecil, sedang dan besar periode simpan 6 bulan daya berkecambahnya sekitar 83,33 – 86,67%; kadar air 11,6% daya berkecambahnya 90,00 – 98,67 dan kadar air 9,8% daya berkecambahnya 88 – 100%. Sedangkan penyimpanan yang dilakukan di Gorontalo tahun 2003 dengan periode simpan 6 bulan, daya berkecambah pada volume kemasan 5 kg dengan menggunakan kemasan plastik tebal namun penyimpanannya
menggunakan karung plastik daya berkecambahnya 90% dan dengan perlakuan yang sama disimpan pada silo plastik daya berkecambahnya masih 99,33%. Tabel 6. Mutu fisiologis benih dari berbagai tingkat kadar air dan ukuran biji setelah benih disimpan 6 bulan di desa Sambelia, NTB. 2004 Perlakuan Kadar Daya Kecepatan Berat Panjang Bobot Air kecambah tumbuh kering akar 100 (%) (%) (%/etmal) kecambah primer butir (g) (g) (cm) A. Kadar air 13,5% 1. S1 (biji besar) 13,17 86,67 26,68 0,194 13,30 33,71 2. S2 (biji sedang) 13,10 84,67 24,40 0,194 13,43 26,89 3. S3 (biji kecil) 12,90 83,33 24,18 0,160 12,90 20,75 B. Kadar air 11,6% 1. S1 (biji besar) 2. S2 (biji sedang) 3. S3 (biji kecil) C. Kadar air 9,8% 1. S1 (biji besar) 2. S2 (biji sedang) 3. S3 (biji kecil)
11,73 11,63 11,80
96,00 98,67 90,00
29,39 30,45 26,49
0,250 0,195 0,146
12,07 13,73 11,83
33,45 26,97 21,16
10,97 10,80 10,57
92,00 100,00 88,00
28,27 30,80 26,35
0,273 0,234 0,150
13,27 11,90 11,67
33,51 26,80 20,96
Sumber : Rahmawati et al., 2004
KESIMPULAN
1. Panen benih jagung sebaiknya dilakukan pada saat benih masak fisiologis yang dicirikan 2. 3. 4. 5.
6.
dengan telah terbentuknya minimal 50% lapisan hitam (black layer) dari setiap tongkol dengan mengambil sekitar 4 tongkol secara acak. Seleksi tongkol diperlukan untuk memisahkan jagung yang kecil/inferior, ompong dari tongkol yang baik, dan adanya biji warna lain atau yang terinfeksi penyakit dalam satu tongkol juga dikeluarkan. Kadar air tongkol sebaiknya 15 – 17%. Pada kadar air ini benih siap dipipil dan akan mengurangi persentase biji rusak. Sortasi benih dalam bentuk biji diperlukan untuk mendapatkan benih yang berkualitas, karena benih yang berukuran kecil viabilitasnya cepat menurun dan akan menghasilkan berat kering kecambah yang lebih rendah. Bahan kemasan yang digunakan untuk benih harus terbuat dari bahan yang kedap udara, tahan terhadap regangan dan tidak mudah pecah / sobek. Plastik high density poly Etilen dengan ketebalan 0,2 mm mampu menghambat perubahan kadar air benih selama proses penyimpanan. Penyimpanan benih dengan menggunakan suhu kamar sebaiknya disimpan dalam silo plastik atau silo kayu. Oleh karena benih bersifat hygroskopis dan selalu berusaha mencapai kondisi equilibrium dengan lingkungannya, sehingga apabila ruangan tempat menyimpan benih mempunyai kadar air lebih tinggi dari kadar air benih, maka benih akan menyerap air dari udara sehingga kadar air benih meningkat. DAFTAR PUSTAKA
Abd-El-Rahaman dan Bourdu. 1986. The Effect of Grain Size and Shape on Some Charachteristics of Early Maize Development. Agronomic 6 : 181-186. Delouche, J.C. 1990. Research on Seed Aging Techniques for Predicting the Relative Storability of Seeds Lots. Seed Science and Technol. 1 : 427 – 452.
Harrington, J.F. 1972. Seed Storage and Longevity. In. T.T. Kozlowski ed.p. 145-245. Seed Biology. Vol. III. Academic Press. New York. Hussaini. S.H., Sarada,P. and Reddy, B.M. 1984. Effect of Seed Size on Germination and Vigour in Maize. Seed Recearch 12 (2) : 98 – 101 Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan dan Penyimpanan Jagung. Penerbit Kanesius Yogyakarta. Sadjad S. 1977. Pembinaan Program Sertifikasi Benih. Proc. Kursus Singkat Pengujian Benih. IPB. Bogor, hal. 112 – 133. Saenong, S. Margaretha. SL., J. Tandiabang, Syafruddin, Y. Sinuseng dan Rahmawati. 2003. Sistem Perbenihan Untuk Mendukung Penyebarluasan Varietas Jagung Nasional. Laporan Hasil Penelitian Kelompok Peneliti Fisiologi Hasil. Balitsereal. Maros. Sinuseng, Y., Margaretha SL., Bahrun, A., Imam Uddin Firmansyah dan IGP. Sarasutha. 2002. Evaluasi alat dan mesin pascapenen primer jagung. Laporan hasil penelitian Fisiologi Hasil 2002. Balitsereal, Maros. Suryo Busono. 1983. Kajian Teknologi Pengeringan Gabah di Balai Teknologi Pangan Badan Urusan Logistik, Tambun-Jawa Barat. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Taib, G., Gumbira, S dan Sutedja, W. 1987. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Ed. 1. Cet. Penerbit : Pt. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarata. Thahir, R., 1993. Pengujian Dryer. Materi Latihan Pengujian Alat dan Mesin Pertanian. Serpong. Jawa Barat.